Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Selama tiga dekade terakhir, prevalensi alergi pada anak, seperti asma
alergika, rinitis alergika, dan dermatitis atopik mengalami peningkatan. Prevalensi
asma di semua usia pada penduduk Singapura mencapai 20% dan sekitar 50%
anak di Singapura memperlihatkan cikal bakal alergi yang akan terus berlanjut
hingga dewasa.1, 2, 3
Allergic March merupakan istilah untuk sebuah proses perjalanan dari
alergi pada bayi terhadap makanan dan dermatitis atopik untuk berkembang
menjadi asma dan rinokonjungtivitis..4 Selama beberapa dekade terakhir ini,
allergic march menjadi sebuah topik yang sering dibahas dan diteliti oleh para
peneliti, baik itu mengenai terapi untuk mencegah perjalanan allergic march,
pemeriksaan penunjang yang dapat membantu mendeteksi IgE sebagai tanda dari
alergi, ataupun mengenai penyebab pasti dar alergi dan allergic march itu sendiri.
Hal ini dikarenakan hingga saat ini alergi merupakan salah satu permasalahan
kesehatan yang utama. Prevalensi eczema (dermatitis atopik) yang berkembang
menjadi asma saat dewasa diketahui mengalami peningkatan yang sangat pesat.
Hal ini diyakini dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah gaya hidup,
psikologi, dan riwayat alergi pada keluarga.5

Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,
patomekanisme, diagnosis, dan pencegahan dari allergic march.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Allergic March merupakan istilah untuk sebuah proses perjalanan
dari alergi pada bayi terhadap makanan dan dermatitis atopik untuk
berkembang menjadi asma dan rinokonjungtivitis. Beberapa ahli
mengatakan allergic march merupakan perjalanan alamiah penyakit alergi
yang timbul sesuai dengan perkembangan usia. Perjalanan alamiah alergi
tersebut menunjukkan bahwa pada usia tertentu manifestasi klinis atau
organ tubuh yang terganggu tampak berbeda. Meskipun banyak variasi
Allergic March yang terjadi, tetapi secara umum digambarkan setiap usia
manifestasi organ yang terganggu berbeda. Pada usia sejak lahir hingga
usia 5-7 tahun organ tubuh yang sangat sensitif adalah kulit dan saluran
cerna. Setelah itu saluran napas termasuk asma dan hidung mulai sering
terganggu. Pada usia remaja setalah memasuli usia dewasa asma
berkurang tetapi gangguan hidung masih berkepanjangan.4

B. Prevalensi
Prevalensi asma di semua usia pada penduduk Singapura mencapai 20%
dan sekitar 50% anak di Singapura memperlihatkan cikal bakal alergi yang
akan terus berlanjut hingga dewasa.3. Sedangkan di beberapa negara barat,
sekitar 20 30% individu memiliki alergi dengan sebagian besar asma
sebagai manifestasi klinisnya dan setelah ditelusuri, alergi tersebut mereka
dapatkan sejak mereka kanak-kanak.5

C. Faktor Resiko
Seorang anak dengan orang tua yang memiliki riwayat alergi pada
kedua orang tuanya akan memiliki risiko untuk berkembangnya alergi
hingga 90%. Jika hanya ibu yang memiliki riwayat alergi, sedangkan ayah
tidak, maka sang anak akan memiliki risiko hingga 50% untuk menjadi
alergi. Sebaliknya, jika hanya ayah yang memiliki riwayat alergi,

2
sedangkan ibu tidak, maka sang anak akan memiliki risiko hingga 40%
untuk mengalami alergi. Anak yang tidak memiliki orang tua dengan
riwayat alergi tetap memiliki risiko untuk mengalami alergi sebanyak
20%. Beberapa ahli juga memiliki hipotesis mengenai faktor risiko
terjadinya alergi pada anak. Hipotesis tersebut dikenal dengan nama
hygiene hypothesis. Hipotesis ini berisi bahwa kontak dini dengan
produksi bakterial (contoh hidup di perkebunan, pengembangan infeksi,
mendtangi pusat perawatan harian) dapat memberikan efek perlindungan
dari alergi.6, 7
Sebaliknya, faktor risiko dihubungkan dengan peningkatan
prevalensi dari alergi termasuk polusi indoor dan outdoor, infeksi beberapa
virus (seperti infeksi virus pada pernapasan) dan peningkatan penggunaan
obat-obatan (seperti antibiotik dan paracetamol) di awal kehidupan. 8, 9
Sebuah penelitian di Taiwan menunjukkan bahwa jamur di dinding
rumah juga dapat meningkatkan risiko dermatitis atopik pada bayi yang
sangat muda. Fungi mungkin memiliki jalur sensitisasi, secara partikular
pada iklim yang lembab dimana efeknya dalam alergi mungkin dirasakan
pada bayi yang sangat muda. 10

D. Patomekanisme
Sensitisasi Prenatal
Penyebab alergi adalah multifaktorial, dan perkembangan penyakit
alergi merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara susunan
genetika dan faktor lingkungan. Susunan genetik merupakan hal yang
penting, karena hanya individu yang memiliki predisposisi secara genetika
yang dapat disensitisasi oleh lingkungan untuk menjadi alergi.11 Pada
anak-anak dari orang tua dengan asma, tingkat alergi makanan yang
diamati menjadi 4 kali lebih tinggi daripada anak lainnya.12
Pengaruh dari sensitisasi prenatal terhadap alergen masih menjadi
perdebatan. Dalam beberapa penelitian, telah disarankan respon imun
alergi dimulai sewaktu janin di dalam kandungan, dan bahwa janin sudah
merespon alergen dari minggu ke-20 selama masa kehamilan.13

3
Paparan janin terhadap alergen yang berbeda telah dibuktikan dari
ditemukannya alergen tungau debu rumah dalam cairan ketuban dan
adanya mekanisme transportasi transplasenta aktif dari alergen yang
berbeda (alergen makanan dan alergen inhalan). Alergen penting yang
dicurigai menyebabkan sensitisasi prenatal meliputi makanan alergen
(kacang tanah, telur, dan susu sapi) dan alergen yang dihirup, seperti
tungau debu rumah. 14, 15
Namun, dari penelitian lain, tampaknya bahwa sel T di darah dalam
tali pusat yang merespon alergen bukanlah sel-sel memori, tetapi emigran
thymus immature yang berinteraksi secara non spesifik dengan alergen,
dan bahwa reaksi imun ini tidak berhubungan dengan perkembangan
selanjutnya dari sel memori T helper 2 (Th2) spesifik alergen atau
imunoglobulin E (IgE).16
Terlepas dari susunan genetik, faktor gizi, imunologi, dan
lingkungan yang berlangsung selama kehamilan, semuanya berperan
dalam menentukan apakah seorang anak akan lahir dengan kecenderungan
untuk mengembangkan sensitisasi alergi dan penyakit alergi selanjutnya.

Permulaan Postnatal
Salah satu faktor risiko lingkungan utama yang berinteraksi dengan
predisposisi genetik dalam pengembangan alergi adalah alergen hirup.
Namun, paparan protein makanan asing tertentu, seperti yang ditemukan
dalam susu sapi(5%), di kehidupan awal dapat juga berkontribusi terhadap
pengembangan alergi di individu yang memiliki predisposisi secara
genetik. Dalam susu sapi yang dimodifikasi, ada lebih dari 32 jenis protein
dengan potensi yang dapat memicu alergi makanan.17
Demikian pula, protein nabati, seperti kedelai protein, juga
memiliki potensi untuk memicu alergi makanan. Bayi, 15% sampai 50%
dari mereka, yang alergi terhadap susu sapi ternyata juga alergi terhadap
susu soya.18 Meskipun makanan apapun dapat menyebabkan alergi
makanan, yang lebih kuat adalah telur, susu, kacang tanah, kacang-

4
kacangan pohon (misalnya, almond, walnut, mete, hazelnut, dll), ikan,
kerang, dan kacang kedelai.19
Keadaan saluran pencernaan dan usia anak saat pertama kali
terkena makanan yang memicu merupakan hal yang sama penting. Jika
pada anak-anak muda dan bayi mungkin akan bermanifestasi menjadi
eksim, pada anak-anak yang lebih tua sering bermanifestasi dengan
pembengkakan dan gatal-gatal. Sensitivitas terhadap sebagian alergen
makanan, seperti susu, gandum, dan telur, cenderung berakhir pada akhir
masa kanak-kanak, namun alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon,
dan seafood cenderung berlangsung seumur hidup. Sedangkan alergi
makanan (telur, susu sapi) merupakan jenis utama dari reaksi selama tahun
pertama kehidupan, alergi terhadap alergen hirup (tungau debu rumah,
tungau hewan peliharaan) jarang terjadi pada masa bayi (meskipun
sensitisasi bisa sudah dimulai). Pada anak-anak, eksim dan gastroenteritis
kronik biasanya merupakan manifestasi pertama dari alergi, sedangkan
untuk subyek yang lebih tua, manifestasi alergi yang terjadi lebih sering
sebagai penyakit pernapasan kronis atau berulang (asma dan / atau rhinitis
alergika).

E. Hubungan Mutasi Filaggrin dengan Alergi


Pada tahun 1977, Beverly Dale mengidentifikasi, protein kaya
histidin yang sangat insoluble atau tidak dapat larut, yang dijernihkan
dengan protein filamen keratin dalam ekstrak epidermal.20 Penjernihan
protein dipekatkan dan digabungkan dengan filamen keratin in vitro dan
karenanya, bernama filaggrin (untuk filamen yang menggabungkan
protein).21
Dermatitis atopik merupakan penyakit kompleks primer yang
terkait dengan defisiensi filaggrin, ditandai dengan kulit kering, rusaknya
pelindung kulit, meningkatnya pajanan alergen, dan kulit rentan terhadap
kolonisasi bakteri dan infeksi (terutama Staphylococcus aureusinfection),
dan inflamasi kulit yang didorong oleh sel T helper 2 (Th2)22

5
Mutasi FLG mungkin berperan dalam perkembangan dari
dermatitis atopik. Meskipun secara luas menjelaskan bahwa mutasi ini
menyebabkan rusaknya pelindung kulit fungsional,23 mekanisme cacat ini
masih sedang dijelaskan. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
kekurangan filaggrin dapat menyebabkan penyakit patogenesis melalui
berbagai efek spesifik yang berbeda. Integritas perlindungan stratum
korneum terutama disediakan oleh lamellae lipid ekstraseluler.
Kekurangan filaggrin dapat menyebabkan lamellae lipid yang rusak
melalui sejumlah mekanisme. Di zona transisi dari strata korneum,
defisiensi filaggrin merusak filamen agregasi, yang pada gilirannya
merusak pematangan dan ekskresi ekstraseluler lamellar bodies.24
Efek kerusakan produk filaggrin25 mungkin penting. Peningkatan
pH permukaan kulit yang diamati pada kekurangan FLG26,27 menunjukkan
mekanisme alternatif untuk kerusakan pada pelindung kulit. pH normal
atau alkali optimal untuk beberapa protease serin.28 Aktivasi protease serin
kallikrein memiliki konsekuensi yang penting, termasuk aktivasi dari
reseptor aktivator plasminogen tipe 2 yang dimediasi blokade sekresi
lamellar body.29,30 Aktivasi protease serin juga dapat secara langsung
menyebabkan inflamasi Th2 yang dimediasi oleh kallikrein 5, bahkan
tanpa adanya pajanan alergen.31Peningkatan pH dari stratum korneum
dapat menyebabkan peningkatan adesi S. aureus dan multiplikasi.32
Meskipun mutasi FLG mengarah pada kelainan pprimer seperti
diuraikan di atas, penting untuk dicatat bahwa dermatitis atopik
berkembang hanya sekitar 42% dari semua FLG heterozygote; 33 dengan
demikian, baik perubahan genetik maupun faktor lingkungan merupakan
hal yang penting.

F. Diagnosis Awal Alergi


Sejumlah penanda awal telah diidentifikasikan untuk atopi, menunjukkan
kecenderungan untuk berkembangnya allergic march:34
a. Peningkatan kadar IgE pada darah tali pusat

6
b. SPT positif untuk telur atau tungau debu rumah pada tahun pertama
kehidupan, dan
c. Antibodi IgE spesifik untuk makanan yang umum dan alergen inhalasi
pada awal masa bayi.
SPT masih dianggap sebagai standar kriteria dalam mendiagnosis
alergi pada anak-anak dari segala usia dan pada orang dewasa, tetapi
penentuan IgE spesifik dalam serum juga dapat diandalkan. SPT rentan
terhadap kesalahan manusia, dan permasalahan dengan kotoran
proinflamasi dalam beberapa persiapan alergen SPT dapat menyebabkan
hasil yang berpotensi untuk menjadi positif palsu. Oleh karena itu, akurasi
SPT tergantung pada keahlian dan pengalaman orang yang melakukan
SPT. Meskipun sensitivitas dan spesifisitas SPT sebanding dengan serum
IgE, SPT menawarkan sejumlah keuntungan: hasil yang lebih cepat (dalam
waktu 30 menit) dan lebih murah daripada tes IgE in vitro. SPT dapat
dilakukan pada semua umur (bahkan pada bayi baru lahir), tidak
menyakitkan, dan sangat aman (risiko sangat rendah untuk efek samping).
Pada anak-anak, SPT lebih terfokus pada alergen makanan (susu sapi,
telur), sedangkan pada anak yang lebih tua dengan alergi, alergen inhalasi,
seperti tungau debu rumah digunakan. SPT dapat dilakukan secara rawat
jalan. Di masa depan, metodologi assay antibodi yang lebih canggih
(seperti muncul teknologi array protein) mungkin menjadi standar
mendiagnosis alergi.

G. Penatalaksanaan
Karena penyakit alergi terutama ditentukan secara genetik, tidak
ada obat yang spesifik. Namun, baru-baru ini studi tentang imunoterapi
telah menunjukkan bahwa pengobatan ini dapat mengakibatkan
desensitisasi berkelanjutan pada pasien, bahkan setelah menghentikan
pengobatan.35
Imunoterapi, terutama penggunaan imunoterapi sublingual,
hasilnya dapat menjanjikan untuk seterusnya, meskipun pengobatan jenis
ini hanya akan efektif dalam kelompok-kelompok tertentu dari pasien

7
monosensisitisasi dengan rhinitis atau asma dan tidak untuk semua anak-
anak dengan alergi (seperti anak-anak dengan alergi makanan atau eksim
parah).36
Dalam beberapa tahun terakhir, studi pertama dengan anti-IgE
(omalizumab) memberikan hasil yang menjanjikan, dan dalam sebuah
studi, kombinasi anti-IgE dan imunoterapi spesifik sangat efektif dalam
anak-anak dengan rinitis alergi musiman.37 Namun, pengobatan penyakit
alergi pada kebanyakan anak terutama adalah menghindari alergen dan
pengobatan simtomatik menggunakan kortikosteroid, antihistamin, dan
obat-obatan antiasthmatic yang berbeda.

H. Pencegahan
Pencegahan penyakit alergi dan gejala sisa merupakan topik
bahasan yang paling menarik hingga saat ini dalam pertempuran untuk
menghentikan allergic march. Beberapa penelitian ada yang menunjukkan
manfaat dari suplementasi ibu dengan omega-3 asam lemak tak jenuh (dari
minyak ikan) dan selenium sebelum kelahiran.38,39
Sedangkan pada penelitian lain menunjukkan bahwa cara tersebut
tidak memiliki efek apapun, dan saat ini bukti keseluruhan menunjukkan
bahwa intervensi diet ibu mungkin tidak memiliki efek pencegahan pada
pengembangan alergi. Pencegahan dini sering bergantung pada
pencegahan sensitisasi pada bayi yang sehat. Langkah-langkah tersebut
termasuk menghindari kontak alergen awal (makanan dan inhalansia) dan
menghindari polusi (terutama asap rokok). Efek dalam menghindari
alergen secara dini masih menjadi masalah perdebatan, dan masih belum
jelas apakah penghindaran utama alergen memiliki efek menguntungkan
atau, sebaliknya, dapat memfasilitasi sensitisasi alergi. Dalam sejumlah
studi, menghindari tungau debu rumah dan serbuk sari telah terbukti
mengurangi terjadinya penyakit alergi berikutnya. Namun, dalam
penelitian lain, tidak ada efek yang diamati. Sebaliknya, konsentrasi tinggi
alergen kucing di awal tampaknya menginduksi toleransi.40

8
Seperti halnya pada setiap bayi, menyusui umumnya dianggap
sebagai pilihan pertama untuk bayi atopik, meskipun hal yang berpotensi
untuk menghambat perkembangan alergi masih belum jelas. Namun,
kebanyakan penelitian menunjukkan setuju bahwa, setidaknya, menyusui
tampaknya dapat menunda atau mencegah terjadinya alergi, terutama
alergi susu sapi.41 Formula hypoallergenic memiliki efek penghambatan
pada perkembangan alergi susu sapi. Menggunakan formula kasein
dihidrolisis ekstensif telah terbukti bermanfaat dalam mengurangi alergi
makanan dan eksim atopik.42
Bayi dengan dermatitis atopik harus menjadi kelompok sasaran
untuk pencegahan asma. Pengenalan yang lambat (lebih tua dari 6 bulan)
dari makanan padat juga tampaknya dianjurkan pada bayi atopik,
sedangkan pemberian telur harus dihindari dalam bayi yang memiliki
riwayat dermatitis atopik parah.43
Baru-baru ini, Penelitian Pengobatan Dini Anak atopik yang
melibatkan 795 anak-anak Eropa menemukan bahwa cetirizine, diberikan
selama 18 bulan, mampu menunda atau mencegah pengembangan asma
pada anak-anak dengan eksim atopik dan yang alergi terhadap tungau debu
rumah (51% vs plasebo 28,6% cetirizine) dan / atau serbuk sari rumput
(58% plasebo vs 27,8% cetirizine).44,45
Namun, dalam sebuah studi besar kedua pada levocetirizine
dikenal sebagai Pencegahan Dini Asma di atopik Children Study, seperti
hasilnya tidak dikonfirmasi kebenarannya. Awal Pencegahan Asma pada
Anak-anak atopik Studi dan tindak lanjut diperiksa peran levocetirizine
dalam menunda perkembangan alergi. Penelitian ini menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan antara kelompok dengan levocetirizine dan
kelompok dengan plasebo dalam pengembangan asma. Peran prebiotik,
Synbiotics, dan probiotik masih belum jelas, dan penelitian lebih lanjut
diperlukan sebelum umum rekomendasi dapat diberikan. Prebiotik
merupakan oligosakarida fermentasi dicerna yang merangsang
pertumbuhan Bifidobacteriumand Lactobacillusspecies. Mengubah asupan
makanan yang mengandung produk ini dapat langsung mempengaruhi

9
komposisi dan aktivitas mikrobiota usus, dan ini bisa menjelaskan
beberapa efek protektif biji-bijian dan sereal yang telah diamati dalam
studi epidemiologi.46,47 Sedangkan probiotik adalah mikroba hidup
suplemen makanan yang diyakini menguntungkan dan aman mengubah
keseimbangan mikroba usus.46
Synbiotics adalah kombinasi dari prebiotik dan probiotik. Fungsi
dalam saluran pencernaan sebagai penghalang terhadap antigen dari
mikroorganisme dan makanan, dan sebagai mikrobiota usus strain tertentu
yang sehat membantu dalam mengatur sekresi mediator inflamasi dan
dalam mengarahkan pembentukan sistem kekebalan tubuh selama masa
hidup ketika risiko penyakit alergi sangat tinggi. Dari mempelajari tikus,
setidaknya beberapa efek anti-inflamasi tampaknya dimediasi melalui toll-
like receptor 9 (TLR9) dan mungkin TLR2 dan TLR4 diekspresikan pada
enterosit.48 Mikrobiota usus juga menyebabkan terjadinya produksi
enterocyte dari tumor necrosis factor-B dan prostaglandin E2, yang
menyebabkan pengembangan sel dendritik tolerogenic.46
Sebuah penelitian yang meneliti pengembangan alergi dan flora usus
selama tahun pertama kehidupan menemukan bahwa tampaknya
administrasi awal probiotik (mulai selama kehamilan), dalam kombinasi
dengan ASI, dapat mengurangi terjadinya eksim.47
Lactobacillus, diberikan selama kehamilan dan bayi selama 6 bulan
dapat menawarkan manfaat perlindungan terhadap dermatitis atopik untuk
2 tahun pertama kehidupan.40,41 Baru-baru ini penelitian menunjukkan
bahwa Lactobacillus reuteri dan Lactobacillus casei, tapi tidak
Lactobacillus plantarum, membantu sel dendritik monosit untuk
mendorong pengembangan regulasi Sel T (lebih Th1).48
Penelitian lebih lanjut telah menunjukkan efek menguntungkan
dengan spesies yang termasuk Lactobacillus Gorbach Goldin,
Lactobacillus rhamnosus, dan Lactobacillus fermentum, bersamaan
dengan Bifidobacterium lactis. Sebah penelitian menunjukkan bahwa
kombinasi dari strain dan prebiotik galactooligossaccharides menyebabkan

10
pengurangan eksim atopik, tetapi tidak berpengaruh pada sensitisasi atau
penyakit alergi lainnya.47
Dalam sebuah penelitian pada L. Gorbach Goldin, efek
menguntungkan hanya didapatkan pada anak-anak dengan bukti sensitisasi
alergi dan tidak pada anak-anak dengan dermatitis atopik tanpa sensitisasi
dimana mereka menerima probiotik yang sama. Temuan ini menyoroti
heterogenitas dermatitis atopik dan fakta bahwa pola penyakit dapat secara
signifikan mempengaruhi efek menguntungkan probiotik yang seharusnya.
Selain itu perlu juga untuk dicatat bahwa kurangnya efek probiotik
tersebut pada orang tua dengan asma dan rhinitis alergi, efek
menguntungkan mungkin terbatas pada kehidupan awal sebelum penyakit
alergi menjadi semakin jelas.46

BAB III

11
KESIMPULAN

Allergic March merupakan istilah untuk sebuah proses perjalanan dari alergi pada
bayi terhadap makanan dan dermatitis atopik untuk berkembang menjadi asma
dan rinokonjungtivitis. Faktor risiko untuk terjadinya alergi itu sendiri adalah
orang tua yang memiliki riwayat alergi, pajanan alergen di awal kehidupan seperti
susu sapi, tungau debu rumah, jamur pada tembok rumah.
Perjalanan penyakit untuk allergic march sendiri masih menjadi bahan perdebatan
hingga sekarang. Beberapa peniliti mengatakan bahwa allergic march sudah
dimulai sejak janin berada dalam kandungan, beberapa peneliti lainnya
mengatakan allergic march dimuali pada saat awal mula kehidupan atau saat bayi
dilahirkan. Sedangkan terdapat pula beberapa peneliti yang menyatakan bahwa
allergic march juga dipengaruhi oleh mutasi filaggrin (FLG).
Pengobatan alergi yang masih dilakukan hingga saat ini adalah menghindari
alergen dan mengkonsumsi kortikosteroid, antihistamin, ataupun antiasmatik.
Namun terdapat pula beberapa penelitian yang dapat membuktikan bahwa
penggunaan ceterizine dapat mencegah perkembangan alergi dari dermatitis
atopik menjadi asma pada anak-anak. Sedangkan untuk pencegahan yang saat ini
masih ramai diperdebatkan adalah fungsi probiotic dalam mencegah alergi.

DAFTAR PUSTAKA

12
1. Goh DY, Chew FT, Quek SC, Lee BW. Prevalence and severity of asthma,
rhinitis, and eczema in Singapore schoolchildren.Arch Dis Child.
1996;74:131-135.
2. Chew FT, Goh DY, Lee BW. Geographical comparison of the prevalence
of childhood asthma and allergies in Singapore.Ann Trop Paediatr.
1999;19:383-390.
3. Tan TN, Lim DL, Lee BW, Van Bever HP. Prevalence of allergy-related
symptoms in Singaporean children in the second year of life.Pediatr
Allergy Immunol. 2005;16:151-156.
4. Baba M, Yamaguchi K. The allergy march: Can it be prevented?Allergy
& Clinical Immunology News1989;1: 71-3.
5. E.M.Ling,T.Smith,X.D.Nguyenetal.,Relationof CD4+CD25+ regulatory
T-cell suppression of allergen-driven T-cell activation to atopic status and
expression of allergic disease,The Lancet,vol.363,no.9409,pp.608
615,200
6. Schaub B, Lauener R, von Mutius E. The many faces of the hygiene
hypothesis.J Allergy Clin Immunol. 2006;117:969-977.
7. von Mutius E. Infection: friend or foe in the development of atopy and
asthma? The epidemiological evidence.EurRespirJ. 2001;18:744-747
8. Riece K, Yiong Huak C, Teng Nging T, Van Bever HP. A matched patient-
sibling study on the usage of paracetamol and the subsequent development
of allergy and asthma.Pediatr Allergy Immunol. 2007;18:128-134.
9. Van Bever HP, Shek LP, Lim DL, Lee BW. Viewpoint: are doctors
responsible for the increase in allergic diseases?Pediatr Allergy Immunol.
2005;16:464-470.
10. Wang IJ, Guo YL, Weng HJ, Hsieh WS, Chuang YL, Lin SJ, Chen PC.
Environmental risk factors for early infantile atopic dermatitis.Pediatr
Allergy Immunol. 2007;18:441-447.
11. Sebok B, Schneider I, Harangi F. Familiar and environmental factors
influencing atopic dermatitis in the childhood. J Eur Acad Dermatol
Venereol. 2006;20:418-422.

13
12. Barclay L, Lie D. New guidelines issued for food allergies.Ann Allergy
Asthma Immunol. 2006;96:S1-S68.
13. Warner JO. The early life origins of asthma and related allergic disorders.
Arch Dis Child. 2004;89:97-102.
14. Chung EK, Miller RL, Wilson MT, McGeady SJ, Culhane JF. Antenatal
risk factors, cytokines and the development of atopic disease in early
childhood.Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2007;92:F68-F73.
15. Frank L, Marian A, Visser M, Weinberg E, Potter PC. Exposure to peanuts
in utero in infancy and the development of sensitization to peanut allergens
in young children.Pediatr Allergy Immunol. 1999;10:27-32.
16. Rowe J, Kusel M, Holt BJ, Suriyaarachchi D, Serralha M, et al. Prenatal
versus postnatal sensitization to environmental allergens in a high-risk
birth cohort.J Allergy Clin Immunol. 2007;119:1164-1173.
17. Exl BM. A review of recent developments in the use of moderately
hydrolyzed whey formulae in infant nutrition.Nutr Res2001;21:355-379.
18. Kjellman N-IM, Johansson SGO. Soy versus cow_smilkininfantswith a
biparental history of atopic disease: development of atopic disease and
immunoglobulins from birth to 4 years of age.Clin Allergy.1979;9:347.
19. Taylor SL, Lehrer SB. Chemistry and detection of food allergens.Food
Technol. 1992;39:146-152.
20. Dale BA. Purification and characterization of a basic protein from
the stratum corneum of mammalian epidermis. Biochim Biophys Acta
1977;491:193-204.
21. Steinert PM, Cantieri JS, Teller DC, Lonsdale-Eccles JD, Dale BA.
Characterization of a class of cationic proteins that specifically interact
with intermediate filaments. Proc Natl Acad Sci U S A 1981;
78:4097-101.
22. Boguniewicz M, Leung DYM. Recent insights into atopic dermatitis
and implications for management of infectious complications. J Allergy
Clin Immunol 2010; 125:4-13.

14
23. Rodrguez E, Illig T, Weidinger S. Filaggrin loss-of-function mutations
and association with allergic diseases. Pharmacogenomics 2008;9:399-
413.
24. Gruber R, Elias PM, Crumrine D, et al. Filaggrin genotype in ichthyosis
vulgaris predicts abnormalities in epidermal structure and function. Am J
Pathol 2011;178: 2252-63.
25. Krien PM, Kermici M. Evidence for the existence of a self-regulated
enzymatic process within the human stratum corneum an
unexpected role for urocanic acid. J Invest Dermatol 2000;115:414-20.
26. Kezic S, ORegan GM, Yau N, et al. Levels of filaggrin degradation
products are inf luenced by both filaggrin genotype and atopic dermatitis
severity. Allergy 2011;66:934-40
27. Jungersted JM, Scheer H, Mempel M, et al. Stratum corneum lipids, skin
barrier function and filaggrin mutations in patients with atopic
eczema. Allergy 2010;65:911-8.
28. Brattsand M, Stefansson K, Lundh C, Haasum Y, Egelrud T. A
proteolytic cascade of kallikreins in the stratum corneum. J Invest
Dermatol 2005;124:198-203.
29. Hachem JP, Man MQ, Crumrine D, et al. Sustained serine proteases
activity by prolonged increase in pH leads to degradation of lipid
processing enzymes and profound alterations of barrier function and
stratum corneum integrity. J Invest Dermatol 2005;125:510-20.
30. Demerjian M, Hachem JP, Tschachler E, et al. Acute modulations in
permeability barrier function regulate epidermal cornification: role of
caspase-14 and the protease-activated receptor type 2. Am J Pathol
2008;172:86-97.
31. Briot A, Deraison C, Lacroix M, et al. Kallikrein 5 induces atopic
dermatitis-like lesions through PAR2-mediated thymic stromal
lymphopoietin expression in Netherton syndrome. J Exp Med
2009;206:1135-47
32. Miajlovic H, Fallon PG, Irvine AD, Foster TJ. Effect of filaggrin
breakdown products on growth of and protein expression by

15
Staphylococcus aureus. J Allergy Clin Immunol 2011;126(6):1184.e3-
1190.e3.
33. Henderson J, Northstone K, Lee SP, et al. The burden of disease associated
with filaggrin mutations: a population-based, longitudinal birth cohort
study. J Allergy Clin Immunol 2008;121(4):872.e9-877.e9.
34. Kjellman NM, Croner S. Cord blood IgE determination for allergy
predictionVa follow-up to seven years of age in 1651 children.Ann
Allergy. 1984;53:167-171.
35. Fiocchi A, Bouygue R, Terracciano L, Sarratud T, Martelli A. Ruling out
food allergy in paediatrics and preventing theBmarch[of the allergic
child.Allergy Asthma Proc. 2006;27:306-311.
36. Cools M, Van Bever HP, Weyler JJ, Stevens WJ. Long-term effects of
specific immunotherapy, administered during childhood, in asthmatic
patients allergic to either house-dust mite or to both house-dust mite and
grass pollen.Allergy. 2000;55:69-73.
37. Pajno GB. Sublingual immunotherapy: the optimism and the issues. J
Allergy Clin Immunol. 2007;119:796-801.
38. Kuehr J, Brauburger J, Zielen S, Schauer U, Kamin W, et al. Efficacy of
combination treatment with anti-IgE plus specific immunotherapy in
polysensitized children and adolescents with seasonal allergic rhinitis.J
Allergy Clin Immunol. 2002;109:274-280.
39. Arshad SH. Primary prevention of asthma and allergy.J Allergy Clin
Immunol. 2005;116:3-14.
40. Arshad SH, Bateman B, Sadeghnejad A, Gant C, Matthews SM.
Prevention of allergic disease during childhood by allergen avoidance: The
Isle of Wight Prevention Study.J Allergy Clin Immunol. 2007;119:307-
313.
41. Woodcock A, Lowe LA, Murray CS, Simpson BM, Pipis SD, et al. Early
life environmental control: effect on symptoms, sensitization, and lung
function at age 3 years.Am J Respir Crit Care Med. 2004; 170:433-439.
42. Friedman NJ, Zeiger RS. The role of breast-feeding in the development of
asthma and allergies.J Allergy Clin Immunol. 2005; 115:1238-1248

16
43. Sullivan PB. Food allergy and food intolerance in childhood.Indian J
Pediatr1999;66(suppl 1):S37-S45.
44. Prescott SL, Bjorksten B. Probiotics for the prevention or treatment of
allergic diseases.J Allergy Clin Immunol. 2007;120:255-262.
45. Kukkonen K, Haahtela T, Juntunen-Backman K, Korpela R, Poussa T, et
al. Probiotics and prebiotic galacto-oligosaccharides in the prevention of
allergic diseases: a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. J
Allergy Clin Immunol. 2007;119:192-197.
46. Rachmilewitz D, Katakura K, Karmeli F, Hayashi T, Reinns C, et al. Toll-
like receptor 9 signaling mediates the anti-inflammatory effects of
probiotics in murine experimental colitis.Gastroenterology. 2004;126:520-
528.
47. Newberry RD, McDonough JS, Stenson WF, Lorenz RG. Spontaneous and
continuous cycloxygenase-2-dependant prostaglandin E2 production by
stromal cells in the murine small intestine lamina propria: directing the
tone of the intestinal immune response.J Immunol. 2001;166:4465-4472.
48. Kalliomaki M, Salminen S, Arvilommi H, Isolauri E. Probiotics in
primary prevention of atopic disease: a randomised placebo-controlled
trial. Lancet. 2001;357:1076-1079.

17

Anda mungkin juga menyukai