Anda di halaman 1dari 19

13

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap
merupakan masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti
asma. Mengacu pada data epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini
diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari seluruh populasi asma. Selain
karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri dari bayi , anak,
dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi
khusus pada penatalaksanaannya.
Pengetahuan dasar tentang masalah sensitisasi alergi dan inflamasi
khususnya, telah banyak mengubah sikap kita terhadap pengobatan asma anak,
terutama tentang peran anti-inflamasi sebagai salah satu dasar pengobatan asma
anak. Oleh karena itu pengertian yang lebih baik tentang peran faktor genetik,
sensitisasi dini oleh alergen dan polutan, infeksi virus, serta masalah lingkungan
sosioekonomi dan psikologi anak dengan asma diharapkan dapat membawa
perbaikan dalam penatalaksanaan asma.
3.2 Epidemiologi
Penderita asma didunia diperkirakan memiliki prevalensi 7,2% (6% pada
dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-
10 kali di negara berkembang di banding negara maju. Di Indonesia, prevalensi
asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar
5,2 %. Berdasarkan laporan National Center For Health Statictics (NCHS),
prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak
(jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah
dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki- laki 3 kali
lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir
sama dan pada dewasa laki- laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.
14

3.3 Faktor Risiko


Faktor Prenatal
Pengaruh lingkungan intrauterine
Lingkungan intrauterin dilengkapi dengan system imunologik untuk
mempertahankan janin terhadappenolakan sel T dari ibunya sehingga janin
dapattumbuh. Telah diketahui bahwa Interleukin-4 (IL-4),Interleukin-5 (IL-5),
dan Interleukin-10 (IL-10)terdapat dalam uterus dan cairan amnion. Sitokin
inimeregulasi respons imun maternal, misalnya IL-4 danIL-5 adalah sitokin dari
sel Th-2 yang berfungsimenekan IFN-α (interferon-α) Tumor Necrosis Factor-α
(TNFα) dari sel Th-1 ibu yang bersifat sitotoksik.
Sitokin IL-4 dan IL-5 yang melindungi janin dari efek sitotoksik akan
mempengaruhi pula pengembang-an sistem imun janin, karena kadar sitokin Th-2
danIL-10 akan mengurangi IFN-α, sitokin Th-1 dari janindan ibu. Efek ini akan
meningkatkan sitokin Th-2 yangakan berperan dalam proses alergi. Tambahan
lagi bila ibu seorang penderita alergi yang akan meningkatkanTh-2 plasenta
kejadian tersebut dapat menjelaskan bahwa risiko janin untuk alergi akan lebih
besar diturunkan dari ibu, dibandingkan bila ayah yang alergi.
Diet ibu hamil
Sensitisasi sudah terjadi sejak dalam kandungan, hal ini dapat dibuktikan yaitu
terjadinya reaksi alergi makanan pada neonatus yang baru pertama kali mendapat
susu sapi. IgE dari ibu tidak dapat melewati sawar plasenta, sedangkan partikel
protein susu sapiyang beredar dalam sirkulasi darah ibu dapat melewatisawar
plasenta yang kemudian akan merangsang limfosit janin. Ini dapat dibuktikan
karena terdapat proliferasi limfosit tali pusat neonatus. Hal ini menunjukkan
bahwa sensitisasi sudah terjadi semasajanin masih dalam uterus. Bila kadar
imunoglobin E tali pusat > 0,9kU/l dan mempunyai lebih dari 2 anggota keluarga
yang atopi maka anak tersebut akan mempunyai faktor risiko untuk
perkembangan penyakit atopi. Bayi baru lahir sudah tersensitisasidalam
kandungan bila kadar IgE spesifik tali pusat>0,35 kU/l. Kadar IgE tali pusat juga
tinggi pada ibuhamil yang perokok. Sehingga dapat disimpulkanbahwa kadar IgE
tali pusat dapat dipakai sebagai faktor peramal dugaan sensitisasi dini.
15

Chandra dkk. mengamati 109 bayi yang berasaldari keluarga atopi sampai
berumur 1 tahun. Bila ibu diberikan diet susu sapi, telur, ikan, kacang semasa
kehamilan trimester ketiga dan semasa laktasi, dan bayi mendapat air susu ibu
eksklusif sampai umur 6 bulan maka prevalens DA pada bayi tersebut sangat
rendah. Pernyataan ini kemudian dibantah bahwa ibu yang diberikan diet pada
kehamilan trimester ketiga akan menghindarkan bayinya dari penyakit alergi
hanya sampai umur 5 tahun.
Merokok saat hamil
Ibu yang merokok saat hamil akan melahirkan bayi prematur yang akan
mempunyai ukuran paru lebih kecil dan akan mempunyai faktor risiko mengi
pada usia neonatus, di samping itu asap rokok akan mengurangi fungsi paru bayi.
Dengan menggunakan teknik tertentu dapat dibuktikan bahwa sudah terdapat
obstruksi saluran napas derajat ringan pada bayi usia 3 hari bila ibunya perokok
waktu hamil. Penelitian juga membuktikan bahwa bayi prematur dari ibu perokok
waktu hamil akan rentan terhadap infeksi saluran napas disebabkan oleh virus,
dan karena IgE tali pusat bayi ini tinggi >0,9 IkU/l.
Faktor Pascanatal
Diet
Insidens alergi makanan tertinggi pada usia tahun pertama kehidupan dan
sebagian besar alergi makanan akan sembuh sekitar usia 3 tahun. Kecuali untuk
beberapa makanan seperti kacang, ikan laut akan menetap seumur hidup. Dari 150
anak alergi makanan, 42% berusia di bawah 2 tahun dan hanya 3% berusia di atas
12 tahun. Zeiger dan Heller pada studi kontrol terhadap 103 bayi yang diamati
sampai berumur 7 tahun; pada ibunya diberikan diet susu sapi, telur, gandum
selama masa laktasi, maka pada usia 1 tahun terdapat perbedaan bermakna antara
2 kelompok terhadap kejadian DA dan alergi makanan. Alergi susu sapi akan
berkurang sekitar usia 2 tahun, tetapi pada usia 7 tahun tidak nampak perbedaan
prevalens antara DA dan alergi makanan pada 2 kelompok tersebut.
Kesimpulannya yaitu diet hipoalergenik waktu menyusukan bayi akan
menurunkan prevalens alergi makanan dan DA pada usia dini.
16

Oehling dkk melaporkan bahwa 8,5% dari 284 anak asma disebabkan oleh
alergi makanan, dan terbanyak sensitisasi terjadi pada tahun pertama kehidupan,
dan penyebab makanan yang tersering adalah telur. Dermatitis atopi dengan uji
kulit positip terhadap telur pada usia dini akan meningkatkan derajat
hipersensitivitas seorang anak untuk mengidap asma di kemudian hari. Penelitian
lain di National Jewish Center melaporkan bahwa penelitian prospektif selama 18
tahun terhadap 410 anak asma, diantaranya 68% mempunyai riwayat alergi
makanan, sedangkan anak dengan DA dan DBPCFC positip akan mempunyai
risiko asma dan alergi. Penelitian Subbagian Alergi-Imunologi IKA mendapatkan
DA terjadi pada umur kurang dari 1 tahun jika awitan maka akan mendapatkan
alergi respiratorik (rinitis alergi dan atau asma) di kemudian hari, dan penundaan
pemberian telur setelah umur 1 tahun akan melindungi anak terhadap risiko alergi
respiratorik. Bagaimana peran makanan dapat mencetuskan serangan asma belum
diketahui dengan pasti. Beberapa hipotesis menerangkan bahwa anak dengan DA
dan alergi makanan akan mempunyai kadar histamin yang tinggi di dalam
darahnya, karena mediator inflamasi sel mast. Teori tersebut lemah karena
mediator akan cepat dimetabolisme. Kemungkinan lain adalah alergen yang
dimakan akan mencapai sel inflamasi di saluran napas.
Alergi makanan kebanyakan dihubungkan dengan IgE spesifik yang dapat
diperiksa secara invitro (RAST) atau dengan uji kulit. Uji kulit negatif
mempunyai nilai prediktif yang tinggi dengan gejala klinik, sebaliknya uji kulit
mempunyai nilai prediksi positip sebesar 50%. Serangan asma yang tercetus
akibat menghirup gandum yang sedang dibakar (baker’s asthma), biasanya uji
kulit terhadap gandum akan positip juga. Seorang yang alergi terhadap ikan akan
mengalami serangan asma bila ia menghirup uap gorengan ikan.
Paparan Aeroalergen
Polusi Data mengenai paparan polusi udara hubungannya dengan asma dan rinitis
alergik masih kontroversi. Polusi udara oleh ozone, nitrogen dioksid, dan sulfur
dioksid dikenal bersifat iritasi terhadap saluran napas dan akan memperberat asma
karena akan meningkatkan reaksi hipersensitivitas non spesifik. Tetapi tidak
demikian halnya dengan penelitian yang diadakan di Jerman, yaitu anak yang
17

tinggal di Jerman Timur yang lebih banyak menghirup udara polusi mempunyai
insiden asma rendah dibandingkan anak yang tinggal di Jerman Barat yang
udaranya lebih bersih.
Aeroalergen
Aeroalergen sangat berperan pada asma dan rinitis alergik. Alergen rumah
seperti tengu debu rumah (Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides
farinae, Euroglyphus, dan Blomiantropicalis), serpihan binatang piaraan, kecoa
dan jamur merupakan aeroalergen tersering sebagai penyebab penyakit alergi.
Prevalens tengu debu rumah berbeda pada tiap negara tetapi tengu debu rumah
berkembang biak pada suhu hangat dan lembab. Prevalens tengu debu rumah
sebagai penyebab asma di Meksiko sebesar 5%, Atlanta 66% dan Papua 91%.
Enam puluh persen sampai 80% asma anak akan alergi terhadap 1 atau lebih
aeroalergen yang dibuktikan dengan uji kulit positip. Aeroalergen di dalam rumah
(indoor) di berbagai negara tidak sama, seperti laporan dari Subbagian Alergi-
Imunologi IKA RS Cipto Mangunkusumo Jakarta, aeroalergen terbanyak adalah
tengu debu rumah (45%), debu rumah (37%), serpihan binatang piaraan kucing,
anjing, ayam dan burung (26%), dan jamur 6%. Sedangkan di Amerika,
aeroalergen yang terbanyak adalah alteraria (38%), kecoa (36%), tengu debu
rumah (35%), kucing (24%), dan anjing (16%).
Pada DA tengu debu rumah juga turut berperan karena terdapat limfosit T
spesifik tengu debu rumah yang meningkatkan proliferasi sel T helper yang akan
meningkatkan sel eosinofil dan produksi IL-5. Kesimpulannya ialah sensitisasi
tengu debu rumah yang dimulai usia bayi pada DA akan berisiko untuk
berkembang menjadi alergi respiratorik di kemudian hari dengan alergen yang
sama. Aeroalergen asap rokok juga sangat berperan mencetuskan serangan asma
dan rinitis alergi.
Virus
Infeksi virus respiratory syncytial (RSV) sering menyebabkan bronkiolitis
pada bayi usia 3-6 bulan dan 75% dari mereka akan mengalami mengi pada usia 2
tahun, 50% masih mengi pada usia 3 tahun dan 40% akan tetap mengi sampai usia
di atas 5 tahun. Infeksi dengan RSV akan menyebabkan kerusakan epitel saluran
18

napas yang akan mempermudah absorbsi aeroalergen dan pembentukan antibodi


IgE spesifik RSV, yang dapat menyebabkan degranulasi sel mast dan akan
melepaskan mediator di saluran napas yang akan menyebabkan spasme bronkus
dan penumpukan sel eosinofil. Pada anak besar lebih berperan rhinovirus,
adenovirus, dan parainfluenza virus yang merupakan penyebab eksaserbasi asma
pada 80-85% pasien. Di antara bayi yang meninggal akibat infeksi RSV, pada
autopsi terdapat tumpukan limfosit dan sel eosinofil di paru yang menunjukkan
proses inflamasi dan ditemukan antibodi RSV IgE spesifik di sekret nasofaring
serta peningkatan histamin. Insidens mengi akan bertambah bila terdapat
kombinasi alergen IgE spesifik antibodi dan infeksi virus RSV atau Rhinovirus.
Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang
menjadi asma bila ditemukan antibodi RSV IgE spesifik dalam sekret hidung. Bila
mengi menetap apakah disebabkan IgE spesifik RSV atau IgE spesifik alergen
lain (seperti debu rumah, tengu debu rumah), telah dibuktikan bahwa asma pada
anak berumur 7 tahun mempunyai lebih dari dari 2 macam aeroalergen positip
dengan uji kulit.
Imunopatologi Inflamasi Alergik
Mekanisme imun yang berperan adalah mekanisme tipe I klasifikasi Gell
dan Coombs yang diperankan oleh antibodi IgE. Imunoglobulin E ini mempunyai
reseptor pada sel mast, basofil, sel limfosit T, sel makrofag dan sel eosinofil.
Walaupun daya ikatnya dengan sel mast mempunyai afinitas paling kuat. Jaringan
saluran napas, saluran cerna, kulit, dan mata banyak mengandung sel-sel tersebut
di atas. Seorang yang menderita riwayat atopi akan membuat antibodi IgE
terhadap alergen tersebut, bila ia terpajan dengan alergen tersebut. Antibodi IgE
yang terbentuk akan terikat pada sel mast dan sel lainnya. Bila di kemudian hari ia
terpajan kembali dengan alergen yang serupa, maka alergen tersebut akan terikat
pada IgE yang sudah terikat pada sel mast yang sudah tersentitisasi dan akan
terjadi fusi granula dengan membran sel mast sehingga terjadi degranulasi.
Akibatnya mediator yang sudah ada dalam granula keluar dari sel mast. Granula
yang sudah ada ini adalah histamin yang mempunyai efek pelebaran pembuluh
darah di mukosa sehingga terjadi pembengkakan saluran napas dan terjadi
19

perembesan cairan ke jaringan sekitarnya. Pada saluran napas akan menimbulkan


gejala sumbatan hidung, pilek, batuk sedangkan pada kulit pembengkakan dan
kemerahan disertai rasa gatal. Selain histamin dilepaskan juga mediator lain
seperti kemotaktik eosinofil (ECF-A) dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF) yang
akan menarik sel eosinofil dan sel netrofil ke tempat alergen berada, dengan
tujuan memfagosit alergen. Tetapi pada reaksi alergi ada beberapa enzim dalam
sel eosinofil yang akan merusak sel epitel mukosa pejamu. Reaksi yang terjadi ini
disebut reaksi alergi fase cepat (RAFC) karena terjadi segera yaitu beberapa detik
sampai beberapa menit dan berakhir 1-2 jam kemudian setelah terpajan dengan
alergen. Bersamaan dengan lepasnya mediator dari sel mast juga terjadi aktivasi
enzim fosfolipase yang ada pada membran sel mast, basofil yang akan mengubah
fosfolipid yang ada pada membran sel menjadi asam arakidonat yang kemudian
dimetabolisme oleh tubuh. Hasil metabolit ini antara lain adalah prostaglandin dan
leukotrien yang disebut mediator yang terbentuk kemudian atau disebut juga
sebagai slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A). Mediator ini akan
menarik sel-sel radang ke tempat alergen berada dan juga meningkatkan
permeabilitas dan pelebaran pembuluh darah, sehingga terjadi inflamasi alergi.
Pada reaksi inflamasi di atas terdapat berbagai produk aktivasi sel inflamasi yang
disebut petanda biologis (PB). Kadarnya akan berhubungan dengan derajat
inflamasi dan aktivasi sel inflamasi. Petanda biologis ditemukan dalam darah,
jaringan sekitar inflamasi seperti cairan bilas bronkus, sputum, sekret hidung dan
cairan skin window. Petanda biologis masuk ke dalam sirkulasi akibat kebocoran
di tempat reaksi alergi. Berbagai sel seperti eosinofil, basofil, mastosit, sel T dan
mediator sitokin, leukotrien, granula asal sel dan molekul adhesi dikenal sebagai
PB alergi. Sel limfosit T yang berada di mukosa saluran napas, dan kulit
mempunyai reseptor IgE dengan afinitas rendah. Dikenal 2 macam sel T helper
yaitu sel Th-1 dan sel Th-2. Sel Th-1 akan menghasilkan sitokin IFN-α sedangkan
sel Th-2 menghasilkan sitokin Interleukin 4 (IL-4) dan Interleukin-5 (IL-5).
Interleukin-4 merangsang pembentukan IgE dan juga ekspresi CD23 (reseptor IgE
dengan afinitas rendah pada sel limfosit B dan monosit) serta menginduksi
ekspresi Vascular Cellular Adhesion Molecul-1 (ICAM1) dan kelangsungan hidup
20

eosinofil serta peningkatan penglepasan histamin. Eosinofil beredar di sirkulasi


dan menuju ke organ target dengan bantuan histamin yang dilepaskan dari sel
mast/sel basofil. Eosinofil akan menembus pembuluh darah dengan bantuan faktor
kemotaksis dan molekul adhesi yang terdapat pada endotel pembuluh darah.
Setelah menembus pembuluh darah, sel target yang mengekspresikan molekul
adhesi memberi jalan pada sel eosinofil untuk kembali ke tempat sel mast semula.
Eosinofil yang diaktifkan pada reaksi inflamasi alergi melepaskan mediator major
basic protein (MBP), myelopreoxidase (MPO), eosinophilic cationic protein
(ECP), eosinophil peroxidase (EPO) yang juga PB. major basic protein merusak
sel epitel mukosa setempat. Kerusakan epitel ini mengakibatkan ujung saraf
eferen terpapar sehingga mukosa menjadi hiperaktif, artinya mudah terangsang
faktor non spesifik seperti asap rokok, bau bauan, perubahan cuaca dan garukan
pada kulit; ECP dapat dipakai sebagai petanda keterlibatan eosinofil pada reaksi
alergi, karena ECP dapat dipakai sebagai petanda keterlibatan eosinofil pada
reaksi alergi, karena ECP pada anak alergi akan tinggi daripada anak normal. Pada
provokasi anak asma dengan alergen akan meningkatkan kadar ECP dan PEF dan
akan berkurang setelah diberikan inhalasi steroid. Pada fase akut DA kadar ECP
meningkat dan akan berkurang pada fase perbaikan. Penelitian di atas
menunjukkan bahwa ECP dapat dipakai sebagai petanda inflamasi eosinofil,
eksaserbasi penyakit alergi dan menilai hasil pengobatan dengan anti-inflamasi.
Untuk menghentikan kerusakan jaringan oleh eosinofil dengan cara
menghalangi sel ini terkumpul di jaringan target. Karena bila ia tidak dapat
mencapai jaringan target, sel ini tidak akan berbahaya sebab lingkaran visius
inflamasi alergi dapat diputuskan. Cetirizine adalah obat yang telah digunakan
pada studi ETAC dan telah terbukti secara signifikan mengurangi migrasi sel
eosinofil menuju jaringan target
3.4 Patogenesis
Reaksi inflamasi
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai
bronkokonstriksi akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran
napas. Karena itu pemberian anti-inflamasi memegang peranan penting pada
21

pengobatan dan kontrol asma. Terlihat bahwa setelah pemberian inhalasi


kortikosteroid akan terjadi penurunan bermakna sel inflamasi dan pertanda
permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi bronkoalveolar. Pemberian
bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi dengan baik. Pada
tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta rangsang infeksi
maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor kemotaktik yang
menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada tingkat molekul terjadi
pelepasan berbagai mediator serta ekspresi serangkaian reseptor permukaan oleh
sel yang saling bekerjasama tersebut yang akan membentuk jalinan reaksi
inflamasi. Pada orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2
sebagai regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi
sel inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta
sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi
rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertrofi otot polos.
Sensitisasi
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola
hubungan antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan
penyakit alergi yang dikenal sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit
alergi). Secara klinis allergic march terlihat berawal sebagai alergi saluran cerna
(diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi alergi kulit (dermatitis
atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis alergi). Suatu
penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia
kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi
ibu asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan
dengan kelompok anak dengan mengi yang tidak menetap.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan
berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk
respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses
sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa kehidupan, secara bertahap
mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai kemudian
rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul respons imun
22

yang akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2. Kecenderungan aktivitas Th2


akan menurunkan produk IL-2 dan IFN-γ oleh Th2 . Terbukti bahwa anak dengan
respons IFN-γ rendah pada masa awal kehidupannya akan lebih tersensitisasi oleh
aeroalergen dan menderita asma pada usia 6 tahun dibandingkan dengan anak
dengan respon IFN-γ normal.
3.5 Klasifikasi
Berat- ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain
gambaran klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi beta-2 agonis dan faal paru) serta obat- obat yang
digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat- ringannya suatu penyakit.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut) :
1. Asma saat tanpa serangan
Asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari :
a. intermitten
b. persisten ringan
c. persisten sedang
d. persisten berat
Klasifikasi derajat asma berdasarkan Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik
sering dan asma persisten.
23

Tabel . Klasifikasi asma berdasarkan PNAA

2. Asma dengan serangan


Tabel . Klasifikasi asma menurut derajat serangan
24

Sumber : GINA, 2006


3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan
sesak napas, tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan
satusatunya gejala klinis yang ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan
dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu harus dipikirkan pula kemungkinan
asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap aktivitas fisik atau
gejala batuk malam hari.
Mengi pada bayi
Sebagian besar manifestasi akan muncul sebelum usia 6 tahun dan
kebanyakan gejala awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi berulang
atau tanpa batuk yang berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan antara mengi
semasa bayi dengan kejadian asma pada masa kehidupan selanjutnya telah banyak
dibahas, para peneliti umumnya melaporkan bahwa hanya sebagian kecil saja (3-
10%) dari kelompok bayi mengi yang berhubungan dengan infeksi virus tersebut
akan memperlihatkan progresivitas klinis menjadi asma bronkial. Infeksi virus
semasa bayi yang menimbulkan bronkiolitis dengan gejala mengi terutama
25

disebabkan oleh virus sinsitial respiratori (RSV), virus parainfluenza, dan


adenovirus. Kecenderungan bayi mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan
oleh faktor genetik atopi. Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat
keluarga atopi serta menunjukkan positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan
dengan bayi mengi yang tidak menjadi asma.
Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai
status sensitisasi terhadap alergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu atopi
yang mengandung lgE anti-RSV tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan
hal ini merupakan faktor risiko terjadinya asma. Sejalan dengan hal itu maka
banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik terhadap berbagai
alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada bayi
merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya asma. Para peneliti
tersebut juga menyatakan semakin dini terjadi sensitisasi maka risiko untuk
menjadi asma menetap juga semakin besar. Dengan demikian maka tidak begitu
penting hubungan antara saat timbul mengi pada bayi dengan besarnya risiko
terjadinya asma, karena yang menentukan sebetulnya adalah seberapa dini tejadi
sensitisasi alergen pada bayi mengi tersebut. Penelitian umum bayi mengi
memperlihatkan bahwa kejadian asma akan lebih kerap pada bayi yang mulai
mengi pada usia lebih besar, berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa
semakin muda timbulnya mengi maka risiko untuk kejadian asma semakin besar.
b. Pemeriksaan fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung audible (wheeze) atau
terdengar dengan stetokop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula di jumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographictongue.
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori atau adanya
atopi pada pasien.
26

Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan:
 peak flow meter
 Uji cukit kulit (skin prick test)
 eosinophil total darah
 pemeriksaan IgE spesifik
 Uji inflamasi saluran respiratori fractional exhaled nitric oxide (FeNO),
eosinofil sputum
 Uji provokasi bronkus dengan excercise, mrtakolin dan larutan salin
hipertonik.
3.7 Diagnosis Banding
Terdapat banyak kondisi masa anak yang dapat menyebabkan mengi dan
batuk asma, namun bukan semua batuk dan mengi adalah asma. Kesalahan
diagnosis dapat memperlambat tatalaksana terhadap penyebab yang mendasari
dan menyebabkan anak terpapar terapi asma yang tidak tepat.
Saluran respiratori atas Saluran respiratori tengah Saluran respiratori bawah
Rinitis alergi Stenosis bronkus Asma
Hipertrofi adenoid/tonsil Pembesaran KGB Brokiektasis
Benda asing Epiglotitis Displasia bronkopulmonar
Rinitis terinfeksi Laringomalasia Cystic fibrosis
Sinusitis Pertusis Refluks gastroesofagus
Stenosis trakea Sindrom hiperventilasi
Trakeomalasia Bronkiolitis obliteratif
Disfungsi pita suara Bronkiolitis virus

Sumber: Nelson edisi ke-6


Aspergilosis bronkopulmonar alergi merupakan reaksi hipersensitivitas
terhadap antigen jamur aspergillus fumigatus. Hal ini biasanya terjadi pada pasien
dengan asma yang dependen steroid dan pada anak dengan cystic fibrosis.
27

3.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana medis asma antara lain mencakup beberapa hal penting:
kontrol lingkungan, terapi fakmakologi, dan edukasi pasien termasuk ketrampilan
untuk tatalaksana mandiri. Karena banyak anak dengan asma mempunyai alergi
lainnya. Untuk anak dengan asma, paparan terhadap rokok dan asap kayu serta
orang yang sedang menderita infeksi virus harus di minimalisasi. Pengobatan
asma dapat dibagi menjadi pengobatan jangka panjang dan pengobatan pelega.

a. Asma episodik jarang


Asma episodik jarang cukup di obati dengan obat pereda (reliever) seperti
beta-2 Agonis dan teofilin. Penggunaan beta-2 Agonis untuk meredakan serangan
asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat
inhalasi/ hirupan Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler cukup sulit untuk
anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya di berikan pada anak > 5 tahun
dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar. Bila obat hirupan tidak
ada atau tidak dapat di gunakan, maka beta-2 Agonis diberikan per oral.
28

Konsensus International III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermitten, dan baru perlu memberikannya pada asma
persisten ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti inflamasi yaitu steroid hirupan dosis
rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian beta-2 Agonis hirupan
lebih dari 3x/minggu (tanpa hitungan penggunaan pra-aktivitas fisik) atau
serangan sedang – berat muncul > 1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah
adekuat dalam waktu 4 -6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik
maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.
b. Asma Episodik Sering
Jika penggunaan beta-2 Agonis hirupan > 3x/minggu (tanpa menghitung
penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/ berat terjadi lebih dari sekali
dalam sebulan, maka penggunaan anti- inflamasi sebagai pengendali sudah
terindikasi. Tahap pertama obat pengendali pada asma episodik sering adalah
pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering
digunakan pada anak adalah budesonid. Dosis rendah steroid hirupan adalah
setara dengan 100- 200 ug/hari, budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak
berusia >12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis
100-200 ug/hari atau secara flutikason 50-100 ug belum pernah di laporkan
adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali
berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh
karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang
diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-
8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih
terdapat gejala asma, gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan
dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400
ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana asma persisten. Jika tatalaksana dalam
suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responnya tetap tidak baik
dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksananya berpindah ke yang lebih berat
29

(step- up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka
derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step- down). Bila memungkinkan steroid
hirupan di hentikan penggunaannya.
Nama Generik Sediaan Dosis
Metilprednisolon Tablet 4mg, 8mg 0,5mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Pednison Tablet 5mg 0,5-1mg/kgBB/hari-tiap 6 jam
Metilprednisolon Vial 125mg-500mg 30 mg dalam 30 menit (dosis
suksinat injeksi tinggi)- tiap 6 jam
Hidrokortison suksinat 4 mg/kgBB/kali- tiap 6 jam
Vial 100mg
injeksi
Ampul
Deksamethason injeksi 0,5 – 1 mg/kgBB- bolus,
dilanjutkan 1 mg/kgBB/hari
diberikan tiap 6-8 jam
Betamethason injeksi Ampul 0,05 – 0,1 mg/kgBB- tiap 6jam

c. Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternatif yaitu dengan
menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budesonid 200-
400 ug/hari (100- 200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia <12 tahun, 400-
600ug/hari budesonid (200-300ug/hari flutikason)untuk anak berusia > 12 tahun.
Selain itu dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan steroid
hirupan dosis rendah di tambah dengan Long Acting Beta-2 Agonist (LABA) atau
ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau di tambahkan Anti
Leukotriane Receptor (ALTR).
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena
perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Demikian juga kemauan anak
perlu dipertimbnagkan, lebih dari 50% anak dengan asma tidak dapat memakai
alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler) perlu dilakukan pelatihan yang benar
dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan
dengan usia.
30

Usia Alat inhalasi


< 2 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler
2 -4 tahun Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler alat hirupan (MDI) dengan
perenggang (spacer)
5-8 tahun Nebuliser MDI dengan spacer alat hirupan bubuk (spinhaler,
diskhaler, rotahaler, turbuhaler)
>8 tahun Nebuliser MDI alat hirupan bubuk autohaler.
3.9 Pencegahan
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi
terhadap alergen sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada
pasien penyakit atopi yang belum menderita asma, serta pencegahan serangan dan
eksaserbasi asma. Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk
menghindari pajanan alergen dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi
maupun penghindaran pencetus. Para peneliti umumnya menyatakan bahwa
alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah, kecoa, bulu hewan
peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan harus
dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah.
Polutan yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah
asap kendaraan, kayu bakar, ozon, dan SO2. Penghindaran maksimal harus
dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar tidur dan tempat bermain
sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang menyokong,
agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak.
Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap
fetus dan bayi, antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta
penghindaran asap rokok. Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik
pada masa trimester ketiga kehamilan sangat menarik, ternyata bukti klinis
penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak terlihat perbedaan kejadian
penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok perlakuan dan kelola. Hasil
lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari ibu dengan diet
hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan
membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum
31

maupun setelah kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko


terjadinya mengi dan infeksi virus serta asma kronik anak.
Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic
march maka upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan
menghambat perjalanan alamiah penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah
dengan mencegah timbulnya suatu penyakit alergi (asma) pada anak yang telah
tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter Early Treatment Of The Atopic Child
(ETAC) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat timbulnya asma
pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap
alergen tertentu tetapi belum menderita asma. Untuk anak yang sudah menderita
asma dilakukan pengobatan pencegahan dan kontrol asma yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan, atau menurunkan kekerapan serta derajat serangan asma,
dengan pemberian sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis leukotrien,
serta kortikosteroid.
Sodium kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan inhibitor
serta antagonis leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun) saja.
Ketotifen sejauh ini memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan.
Berbagai jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai
pencegah asma tetapi uji klinis yang memadai untuk itu belum ada. Sejauh ini
kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif untuk
pencegahan asma. Pemberian kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol asma
kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan
sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi.

Anda mungkin juga menyukai