Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MATERI TENTANG RINITIS

Dosen : dr. Nopri Esmiralda M.kes

Disusun oleh kelompok 3 :

1.Rofifah (61118041)
2. Siska Frida Utari (61118061)
3. Thessalonika Dwi (61117075)
4. Nadza Aqila Khairunnisa (61118015)
5. Puja Monitra Transmika (61117062)
6. putriani (61118033)
7.Rezha Irshadi Ashari (61118081)
8.
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BATAM

2021

Kata Pengantar

Puju dan syukur kepada Tuhan YME yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga kami Kelompok 3 dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Materi tentang Rinitis” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
pada Blok SP Respirasi.Selain itu makalah ini juga berguna dan bertujuan untuk
menambah wawasan bagi pembaca dan juga bagi yang membuatnya.
DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

Bab I : Pendahuluan

a.Latar Belakang

b.Rumusan Masalah

c.Tujuan Masalah

Bab II : Pembahasan

a.Definisi

b.Efidemiologi

c.Etiologi
d.Manifestasi Klinis

e.Faktor Resiko

f.Patofisiologi

g. Diagnosis

h. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

i.Penatalaksaanan

j.Komplikasi

k.Prognosis

Bab III : Penutup

a.Kesimpulan

b.Saran

Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan

a. Latar Belakang
Rinitis alergi (RA) merupakan suatu gejala hipersensitivitas di hidung yang diinduksi oleh
inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE) setelah membran mukosa hidung
terpapar dengan alergen. Rinitis alergi sering dikaitkan dengan konjungtivitis alergi yang
mana gejala klinis yang dimiliki oleh rinitis alergi adalah hidung berair (rinore), hidung
tersumbat, gatal-gatal pada hidung dan mata yang disertai dengan produksi lakrimasi yang
banyak, sering bersin dan adanya post nasal drip. 1 Secara epidemiologi, angka kejadian RA
di Amerika Serikat mengenai 10-30% pada usia dewasa dan angkanya meningkat menjadi
40% pada usia anak-anak. 2 Pada suatu survei di Amerika Serikat mengenai gejala RA pada
pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala RA menjadi tidak produktif selama 36 hari
dalam satu tahun.3 Di Asia Pasifik, prevalensi RA tinggi terutama pada negara dengan
pendapatan rendah dan menengah, yaitu sekitar 5-45%. Namun, angka tersebut berubah
mengikut negara.2Menurut data nasional Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi RA di
Indonesia sebesar 24,3% dengan peringkat daerah tertinggi secara berurutan yaitu 49,8% di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 40,1% di DIY, 38,6% di Sulawesi Tengah, 37,7% di DKI
Jakarta, dan 36,2% di Jawa Barat. 4 Suatu penelitian di Kota Palu, Sulawesi pada tahun 2014
ditemukan 1278 kasus dan terjadi peningkatan pada tahun 2015 dengan ditemukannya 3356
kasus. Untuk data penderita RA di RSU Anutapura Palu pada tahun 2016-2017 berturut-turut
ialah 47 dan 75 kasus.5 Akan tetapi, angka prevalensi rhinitis.
alergi pada dewasa di Indonesia masih belum diketahui. Suatu penelitian di Bandung pada
tahun 2013 menemukan prevalensi kasus RA di Rumah Sakit Hasan Sadikin sebanyak 38.2%
dan sekitar 64.6% pasien RA tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan sekitar
45.1% berprofesi sebagai pelajar.2 Dari data di Instalasi Rekam Medis RUSP Dr. M. Djamil
Padang pada tahun 2010-2014 mendapatkan bahwa jumlah pasien rinitis alergi adalah 379
orang. Walaupun penyebab pasti yang menyebabkan terjadinya peningkatan prevalensi
masih belum dapat dijelaskan, namun terdapat beberapa faktor yang diduga mempengaruhi
angka kejadian RA. Sebagai contoh, status sosial ekonomi. Di negara Eropa, lebih banyak
terjadi pada penduduk berstatus ekonomi tinggi berbeda di negara Asia, lebih banyak pada
penduduk berpendapatan rendah dan menengah. Selain itu, faktor lain seperti jenis alergen
yaitu tungau debu rumah, asap kenderaan, asap rokok, serpihan epitel/ bulu binatang,
makanan dan faktor genetik.2,6 Klasifikasi RA yang direkomendasikan adalah menurut
World Health Organisation - Allergic and Rhinitis on Its Impact on Asthma (WHO-ARIA)
berdasarkan lama dan derajat gejala. Lama gejala terdiri atas intermiten (gejala ≤ 4 hari
perminggu atau ≤ 4 minggu) dan persisten (gejala >4 hari dan sekurang kurangnya 4
minggu). Derajat gejala (ringan, atau sedang-berat) tergantung dari gejala dan kualitas
hidup. Dikatakan ringan apabila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, olah raga, belajar dan bekerja. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau
lebih dari gangguan di atas.
RA dapat dikontrol dengan menghindari paparan alergen penyebabnya. Untuk itu, dilakukan
tes kulit yang mana merupakan alat diagnosis yang paling sering digunakan untuk
membuktikan adanya IgE spesifik yang terikat pada sel mastosit dan memiliki sensitivitas
yang tinggi. Pengujian skin prick test (SPT) adalah metode untuk mendiagnosis penyakit
alergi IgE-mediated pada pasien dengan rhinoconjunctivitis, asma, urtikaria, anafilaksis,
dermatitis atopik (eksim), alergi makanan dan alergi obat yang dapat memberikan bukti
sensitisasi dan dapat membantu dalam mengkonfirmasi diagnosis curiga alergi.8 RA sering
disertai dengan penyakit lain, yang juga disebut sebagai kondisi komorbid. Kondisi komorbid
yang paling sering adalah asma. Selain itu, kondisi komorbid lainnya adalah seperti
konjungtivitis, polip hidung, rinosinusitis, dan otitis media. 9 Masih banyak masyarakat yang
belum terdiagnosa dengan RA karena mereka menganggap gejala yang dialami tidak terlalu
berat untuk berjumpa dengan dokter. Namun, RA bisa menjadi predisposisi bagi penyakit
komorbid.10 Berdasarkan data dan uraian di atas, rinitis alergi adalah penyakit yang
terkesan sepele tetapi ternyata cukup mengganggu dan diderita oleh cukup banyak orang,
tetapi di Indonesia masih sedikit penelitian yang dilakukan mengenai rinitis alergi terutama
di Sumatera Barat. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran
karakteristik penderita rinitis alergi yang berobat di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil
Kota Padang, Sumatera Barat pada tahun 2016-2018.
b. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, dapat disusun pertanyaan yang akan menjadi fokus
pembahasan dalam makalah ini, yaitu bagaimana penjelasan tentang apa Definisi
Epidemiologi, Etiologi,Klasifikasi, Indikasi klinis, Faktor resiko, Penggunaan ventilasi,
diagnosis, Pemeriksaan diagnostik, Penatalaksanaan, Komplikasi dan prognosis dari
Rinitis.

c. Tujuan Masalah
Tujuan penulisan dari makalah ini yaitu agar mahasiswa mampu mengetahui konsep
tentang teori dan pengertian Rinitis yang tepat.

Bab II
Pembahasan
A. Definisi
B. Epidemiologi

Rhinitis alergi secara epidemiologi merupakan penyakit yang bersifat global dan dapat
terjadi di semua usia.
 Global

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia. Di Amerika,
prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada usia dewasa dan hampir 40% pada usia
anak anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang
berat karena pada umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam
menjalankan aktivitasnya dan penurunan kualitas hidup. Pada suatu survei di Amerika
mengenai gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55% (8267 pekerja) dengan gejala
rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama 3.6 hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik,
prevalensi rhinitis alergi tinggi terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan
menengah, yaitu sekitar  5-45%.

 Indonesia

Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di Indonesia. Suatu penelitian di
Bandung menemukan prevalensi kasus rhinitis alergi di RS. Hasan Sadikin sebanyak 38.2%
dan sekitar 64.6% pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan
sekitar 45.1% berprofesi sebagai pelajar

 Mortalitas

Dibandingkan dengan beberapa kondisi medis yang lain, rhinitis alergi jarang sekali
menimbulkan masalah yang berat karena penyakit ini tidak menimbulkan kejadian morbiditas
dan mortalitas yang berat namun beban biaya menjadi suatu hal yang penting pada kasus ini.
Rhinitis alergi akan menurunkan kualitas hidup penderita, gangguan jumlah dan kualitas
tidur, fungsi kognitif sehingga pasien menjadi semakin lelah dan tidak dapat menjalankan
fungsinya, baik dalam pekerjaan atau sekolah.
C. Etiologi
Penyebab rinitis alergi berbeda-beda bergantung apakah gejala yang muncul
merupakan episode musiman, perenial, maupun sporadik. Beberapa pasien sensitif
terhadap lebih dari satu alergen dan bisa mempunyai rinitis alergi perenial dengan
eksaserbasi musiman. Perkembangan penyakit rinitis alergi memerlukaninteraksi antara
lingkungan dengan predisposisi genetik. Faktor genetik dan herediter sangat berperan
pada ekspresi rinitis alergi. Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas:
1. Alergen inhalan, yaitu alergen yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang, serta jamur.
2. Alergen ingestan, yaitu alergen yang masukke saluran cerna, berupa makanan
misalnya susu, telur, coklat, ikan, dan udang.
3. Alergen injektan, yaitu alergen yang masuk melalui suntikanatau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasanPenyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak, dimana pada anak-anak
sering dijumpai gejala alergi lain serperti urtikaria dan gangguan pencernaan.
Sedangkan berdasarkan jenis alergennya, penyebab rinitis alergi dapat
digolongkan menjadi dua kelompok, yakni penyebab spesifik dan non spesifik.
1. Penyebab Spesifik
Sebagian besar anggota kelompok ini merupakan alergen hirupan (inhalan),
dimana alergen inhalan merupakan alergen yang sering ditemukan, biasanya terbagi
ke dalam 2 jenis berdasarkan kemampuan hidup dalam lingkungannya, yaitu perenial
dan seasonal.
a. Alergen perennial. Merupakan alergen yang ada sepanjang tahun dan sulit
dihindari. Contoh:
1) Debu rumah. Debu rumah adalah alergen gabungan yang terdiri dari tungau,
kecoa, partikel kapas, serpih kulit manusia, dan lain-lain. Merupakan alergen
udara dengan ukuran >10μm yang sering pada ruang tertutup.
2) Tungau debu rumah. Merupakan komponen alergi tersering yang hidup dari
serpihan kulit manusia. Terdapat dua spesies utama yaitu Dermatophagoides
farinaedan Dermatophagoides pteronyssinus. Mereka lebih suka hidup pada
suhu 21,1-26,6 ̊C sehingga tidak ditemukan pada ketinggian lebih dari 5000
kaki.
3) Serpihan kulit binatangSerpihan kulit kucing mengandung antigen Fel D1
yang diproduksi pada kelenjar sebasea kulit kucing. Serpihankulit anjing
mempunyai antigen yang bervariasi dan umumnya kurang kuat untuk
menyebabkan alergi. Serpihan kulit binatang lainnya juga ditemukan
menyebabkan alergi seperti unggas, kuda, atau sapi yang biasanya terjadi di
kawasan pertanian dan peternakan.
4) Jamur. Jamur merupakan alergen yang ditemukan baik di dalam maupun di
luar ruangan. Berkembang dengan baik pada daerah yang lembab diatas
barang yang busuk, ruang bawah tanah, tumpukan koran lama, debu kayu, dan
tempat lainnya. Penyebab tersering diantaranya genus Alternaria, Aspergillus,
Pullularia, Hormodendrum, Penicillium, dan Cephalosphorium.
5) Kecoa. Alergen ini sulit dihilangkan dan terdapat pada rumah yang kotor.
Pada anak-anak, alergi terhadap kecoa berhubungan dengan asma. Alergen
berasal dari sekresi serangga, yang terdapat padabadan dan sayap kecoa.
b. Alergen musiman (Seasonal). Biasanya disebabkan oleh serbuk sari tanaman yang
muncul secara musiman. Postulat Thommen menyatakan alergen serbuk sari yang
efektif harus: (1) dapat diterbangkan angin, (2) ringan, diameter lebih <38μm dan
terbawa sampai jarak jauh, (3) terdistribusi luas, dan (4) bersifat alergenik. Tipe-
tipe dari alergen musiman adalah:
1) Pohon, biasanya pada musim dingin dan musim semi, bulan Februari-Mei.
2) Rumput, biasanya pada musim semi, panas, dan gugur, bulan April-Desember.
3) Rumput liar, biasanya pada musim panas dan gugur, bulan Juli-Desember
2. Penyebab Nonspesifik
Penyebab nonspesifik rinitis alergi diantaranya iklim, hormonal, psikis,
infeksi, dan iritasi. Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan lingkungan. Udara
lembab, perubahan suhu, dan angin secara tidak langsung berpengaruh terhadap
penyebaran debu rumah dan serbuk sari bunga, disamping memberi suasana yang baik
untuk tumbuhnya berbagai macam jamur.
Sumber : sinta.unud.ac.id
D. Manifestasi Klinis
Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu bersin-bersin, beringus, dan hidung
tersumbat. Gejala tambahan berupa gatal atau rasa pedih pada hidung,gatal pada mata,
urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal pada tenggorok, serta
asma dapat menyertai apabila reaksi alergi terjadi juga pada organ-organ lain.
Bersin berulangmerupakan gejala khas rinitis alergi. Bersin merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersindianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata
keluar (lakrimasi).
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang–garis hitam melintang pada tengah punggung
hidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic
salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid ataucair. Tanda di mata termasuk edema kelopak
mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, dan post nasal drip. Beberapa orang juga
mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.

Sumber : sinta.unud.ac.id
E. Faktor Resiko Rinitis Alergi

Faktor risiko RA diduga berkaitan dengan usia. Faktor risiko untuk RA termasuk
yaitu faktor genetik (riwayat keluarga atopi), pemberian makanan padat terlalu dini,
ibu merokok selama kehamilan, serta ibu perokok berat selama menyusui. Sedangkan
faktor usia ibu dimana saat hamil ibu berusia muda, kehamilan multipel, bayi lahir
prematur, berat badan lahir rendah, gangguan pertumbuhan serta perinatal asfiksia
secara signifikan berhubungan dengan penurunan risiko seorang anak untuk
menderita RA.
F. Patofisiologi Rinitis Alergi

Patofisiologi Reaksi hipersensitivitas pada mukosa hidung yang memicu


bermacam – macam respon hidung terhadap paparan alergen merupakan proses
dinamis yang disebabkan oleh alergen yang spesifik. Pada proses ini terlibat berbagai
macam tipe sel, mediator, dan mekanisme yang berbeda pada setiap jenjang dan level
yang berbeda. Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

G. Diagnosis
Diagnosis Rinitis
1 Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal/kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu
ditanyakan adalah:
1) Bersin-bersin lebih dari 5 kali setiap serangan
2) Rinore (ingus bening encer)
3) Hidung tersumbat yang menetap atau berganti-ganti
4) Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga

5) Mata gatal, berair, atau kemerahan

6) Hiposmia atau anosmia

7) Post nasal drip atau batuk kronik


8) Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari dan membaik saat
malamhari)
9) Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten
10) Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap perkerjaan,
sekolah, tidur, dan aktivitas sehari-hari. Selain itu perlu ditanyakan mengenai manifestasi
penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis seperti asma bronkhial,
dermatitis atopik, urtikaria, dan alergi makanan, riwayat atopi di keluarga, faktor pemicu
timbulnya gejala, dan riwayat pengobatan.
H. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai menderita rinitis alergi termasuk pemeriksaan
tanda-tanda “outward” yaitu hidung, telinga, sinus, orofaring posterior (daerah tenggorokan
yang berada dibelakang mulut), dada, dan kulit. Tanda-tanda outward yang menunjukkan
rinitis alergi meliputi: bernafas lewat mulut secara persisten, menggaruk hidung atau daerah
lipatan hidung transversal, sering pilek, batuk/membersihkan tenggorokan, dan allergic
shiners (daerah hitam di bawah mata akibat kongesti nasal).
Pemeriksaan hidung menunjukkan:
1) Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung: udim dari
konka inferior/media yang diliputi sekret cair, mukosa pucat, kemungkinan adanya polip
nasi.
2) Nasoendoskopi Terdapat gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius
dan keadaan kompleks ostiomeatal

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diagnosis dipertimbangkan sesuai dengan fasilitas yang ada. Adapun
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain skin prict test (SPT/tes cukit kulit),
IgE serum total, IgE serum spesifik, maupun pemeriksaan histologis. SPT merupakan tes yang
paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat ditoleransi oleh sebagian besar penderita
termasuk anak. Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi terhadap hasil
pemeriksaan IgE spesifik. Sekitar 12-18 ekstrak alergen terstandar digunakan dalam setiap
pemeriksaan SPT bergantung pada jenis kit SPT komersial yang digunakan. Beberapa ekstrak
alergen merupakan alergen yang telah dicampur, sehingga total jumlah alergen yang diuji
mencapai 50. Histamin hidroklorin (10mg/Ml) dan saline gliserol digunakan berturut-turut
sebagai kontrol positif dan kontrol negatif. SPT dilakukan pada permukaan volar kulit yang
sehat lengan bawah pasien, 5 cm dibawah siku dan 5 cm diatas pergelangan tangan, dengan
jarak alergen masingmasing 20-30 mm. Pada permukaan kulit diteteskan masing-masing 1
tetes dari setiap ekstrak alergen, kemudian ditusuk menggunakan lanset steril. Dua puluh
menit kemudian weal dihitung diameternya. Pemeriksaan diaggap valid apabila ukuran
kontrol positif ≥ 4mm dan kontrol negatif ≤ 3 mm. Reaksi dianggap positif apabila diameter
weal lebih besar > 2mm dibanding kontrol negatif. Diameter weal ≤ 3mm dianggap negatif.
(Aburuz, 2011) Adapun pemeriksaan IgE serum total dinilai kurang bermanfaat sedangkan
IgE serum spesifik tergolong mahal.Pemeriksaan histologis dilakukan bila ingin menentukan
jenis rinitis antara alergi/non alergi dan rinitis akibat infeksi dan menindaklanjuti respons
terhadap terapi atau melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung

I. Penatalaksaanan
Berobat Jalan
Penatalaksanaan utama pada kasus ini adalah menghindari pencetus alergi. Sesuai
dengan alergen yang paling sering menimbulkan keluhan rhinitis alergi yaitu tungau
debu rumah dan sel epitel pada bulu hewan peliharaan, upaya menghindari alergen ini
dapat dilakukan dengan membersihkan peralatan rumah dengan air yang memiliki
suhu 60° C.
Imunoterapi
Terapi jangka panjang yang dapat dilakukan untuk pasien rawat jalan adalah
dengan melakukan imunoterapi. Imunoterapi adalah pilihan yang digunakan dengan
memodifikasi mekanisme alergi dasar dengan cara melakukan desensitisasi dan
menimbulkan keadaan anergi terhadap alergen pencetus. Pada awalnya imunoterapi
ini digunakan untuk alergen berupa serbuk sari namun saat ini sudah diindikasikan
untuk alergen lain seperti tungau debu rumah, sel epitel hewan peliharaan dan jamur.
Ekstrak alergen ini akan disuntikkan melalui subkutan dengan peningkatan dosis yang
bertahap sampai mencapai dosis tetap, dosis ini akan tetap dipertahankan dalam tubuh
sampai tiga tahun. Namun teknik penyuntikan secara subkutan ini sudah mulai
dihindari karena terjadinya risiko anafilaksis. Saat ini sudah dikembangkan
imunoterapi sublingual (sublingual immunotherapy  / SLIT). Pada SLIT ini, keadaan
anergi terhadap alergen pencetus dapat terjadi karena terjadinya regulasi dari sel T
yaitu penekanan produksi IL-10 dan TGF-beta sehingga menekan reaksi radang.
Suatu meta analisis menunjukkan pemberian SLIT selama 4-5 tahun dapat
menurunkan gejala rhinitis alergi dan terjadinya asma pada pasien rhinitis alergi. Efek
samping yang mungkin terjadi pada penggunaan SLIT adalah gejala pruritus dan
keluhan gastrointestinal.
Terapi obat-obatan
Pada rhinitis alergi dilakukan dengan stepwise approach sesuai dengan tingkat
keparahan dan frekuensi penyakit. Obat yang dapat digunakan untuk rhinitis alergi ini
adalah:
Antihistamin Oral
Antihistamin oral yang disarankan pada penatalaksanaan rhinitis alergi adalah
antihistamin H1 oral generasi dua karena mekanisme penetrasi obat ini pada sawar
darah otak jauh lebih kecil dari pada antihistamin H1 generasi satu sehingga efek
samping seperti sedasi, disfungsi psikomotor dan gangguan memori dapat dicegah.
Golongan antihistamin H1 generasi dua yang paling sering digunakan adalah
acrivastin, azelastin, cetirizine, desloratadine, ebastine, fexofenadine,
levocetirizine, loratadine, mequitazine, mizolastine dan rupatadine. Pada penggunaan
ebastine disarankan untuk dilakukan monitor karena obat ini dapat menimbulkan
pemanjangan interval QT jika dikombinasikan dengan ketoconazole dan eritromycin.
Kortikosteroid Intranasal
Golongan obat ini banyak digunakan karena menimbulkan efek samping yang
lebih minimal. Obat ini akan menimbulkan efek antiinflamasi dengan menghambat
sintesis protein akibat adanya kompleks DNA dan reseptor steroid. Obat ini
menghambat reaksi alergi tipe cepat dan tipe lambat serta mengurangi produksi IgE
dan eosinofil melalui inhibisi sekresi beberapa sitokin seperti IL-4, IL-5, dan IL-13.
Efek terapeutik kortikosteroid inhaler ini didapatkan pada 7 jam setelah pemakaian
dan mencapai efek maksimal setelah 2 minggu. Obat yang termasuk ke dalam
golongan kortikosteroid intranasal ini antara lain budesonide, triamcinolone,
fluticasone proprionate, mometasone furoat dan fluticasone furoat. Penggunaan
kortikosteroid inhaler ini relatif aman termasuk penggunaan pada anak. Namun pada
suatu studi dilaporkan penggunaan beclomethasone selama satu tahun dapat
menimbulkan hambatan pada pertumbuhan anak. Obat ini juga dapat digunakan pada
pasien rhinitis alergi yang disertai dengan gejala asma.
Antagonis Leukotrien
Penggunaan obat ini pada rhinitis alergi didasarkan pada konsep one airway one
disease karena obat ini sebelumnya sudah dimanfaatkan untuk tata laksana asma.
Penggunaan obat ini dapat meringankan gejala hidung berair, hidung tersumbat dan
mata berair. Obat yang termasuk golongan antagonis leukotrien ini adalah pranlukast,
montelukast, dan zafirlukast. Sebagian besar obat ini dimetabolisme oleh enzim
CYP3A4 di hati sehingga kombinasi dengan obat lain seperti ketoconazole,
eritromisin dan terfenadine sebaiknya dihindari.
Antibodi Anti Immunoglobulin E (Anti IgE)
Mekanisme golongan obat ini adalah dengan mengganggu interaksi antara sel mast
atau eosinofil dengan ikatan IgE bebas sehingga dapat menurunkan kadar IgE bebas
pada darah selain itu juga dapat menekan reaksi peradangan pada darah dan mukosa
hidung. Efek samping yang dapat terjadi antara lain nyeri kepala, infeksi saluran
napas atas, sinusitis dan urtikaria pada bekas penyuntikan.

J. Komplikasi
Rhinitis yang tidak ditangani dengan baik dapat menimbulkan komplikasi berupa:
 Sinusitis
Rhinitis dapat menyebabkan rongga sinus terinfeksi dan mengalami
peradangan
 Infeksi telinga bagian tengah (otitis media)
Rhinitis dapat menyebabkan infeksi telinga bagian tengah karena terdapat
saluran yang menghubungkan hidung dengan telinga.   
 Polip hidung
Polip hidung dapat tumbuh akibat rhinitis berkepanjangan.

K. Prognosis
Prognosis rhinitis cenderung baik karena jarang menyebabkan mortalitas tetapi
penyakit ini memiliki risiko komplikasi dan komorbid yang cukup tinggi, serta
penurunan kualitas hidup.
Rhinitis jarang menimbulkan keadaan yang membahayakan jiwa, sehingga
prognosis pada pasien ini cenderung baik selama tidak terjadi komplikasi dan
penyakit komorbid yang berat. Walau demikian, penyakit ini memiliki dampak
penurunan kualitas hidup yang signifikan bagi pasien jika tidak terkontrol
Bab III
Penutup

a.Kesimpulan

b.Saran
Daftar Pustaka

“Factor resikp rhinitis alergi dan patofisiologi rhinitis alergi”


http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/45656/Chapter
%20II.pdf;jsessionid=B0F2034D1FB6769AACFED8D168B7A352?sequence=4

http://eprints.undip.ac.id/29135/2/Bab_1.pdf

Anda mungkin juga menyukai