Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SWAMEDIKASI

RHIINITIS

ANGGOTA KELOMPOK :
Andi ismail maulana syam (23175227A)
Fitri Nur Laily (24185569A)
Privia Sukma R. (24185588A)
Finna Shoffiotul Hasanah (24185493A)
Lina Noviana Azmia Adinda (24185506A)
Dhea Anggelin (25195840A)
Sheila Afrilawati (24185653A)
Marcherriva Iqlima Kurnia Putri (24185594A)
Andi Dhea Puspita Sari (23175154A)
Prasedya Septa Wiradana (25195908A)
Ira Juliani Anwar (25195870A)
Dewi Mega Sekar Sejati (24185399A)
Intan Olivia Putri (25195827A)
Meta Kristiana (24185598A)
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIABUDI
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang (Finna Shoffiotul Hasanah_24185493A)
Rinitis alergi merupakan suatu reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi
hipersensitivitas tipe 1 (Gell & Coomb) yang diperantarai oleh Imunoglobulin E (IgE)
ditandai dengan gejala bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan disertai gejala lain
seperti gatal pada hidung, mata, tenggorok dan telinga. Rinitis alergi bisa
mengakibatkan penurunan kualitas hidup penderitanya baik fisik maupun emosional,
berupa sakit kepala, lemah, malas, gangguan tidur yang mengakibatkan gangguan
bekerja dan gangguan belajar di sekolah, gangguan fungsi psikologis seperti depresi,
serta penurunan kewaspadaan (O’Neil JT, Mims JW, 2014).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) tahun 2007,
rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Rinitis
alergi dahulu dibedakan menjadi dua macam berdasarkan sifat berlangsungnya yaitu
rinitis alergi musiman dan rinitis alergi sepanjang tahun atau 4 perenial. Rinitis alergi
musiman hanya ada di negara yang mempunyai empat musim. Alergen penyebabnya
spesifik yaitu serbuk sari dan spora jamur. Rinitis alergi perenial timbul intermiten
atau terus menerus tanpa variasi musim. Penyebab paling sering adalah alergen
inhalan dan ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah seperti
tungau dan alergen diluar rumah. Sedangkan klasifikasi rinitis alergi menurut WHO
ARIA berdasarkan pada sifat berlangsungnya dan berat ringannya penyakit (Gentile
D, Bartholow A, Valovirta E, Scadding G, Skoner D, 2013).
Penyakit ini merupakan penyakit atopi yang sering dijumpai sehari-hari dengan
prevalensi 10-25 %. Prevalensi terbesar terjadi pada usia 15-30 tahun. Rinitis alergi
merupakan penyakit inflamasi yang banyak ditemui dan merupakan masalah
kesehatan global. Di Indonesia prevalensinya 40 % anak-anak, 10-30 % dewasa. Di
beberapa negara, 50% orang dewasa dilaporkan mengalami gejala rinitis dan
cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan rhinitis alergi di
masyarakat menjadi masalah baru yang harus ditangani secara serius karena
berdampak pada penurunan kualitas hidup penderitanya seperti, terjadi penurunan
produktifitas kerja, prestasi di sekolah, aktifitas sosial serta dapat menyebabkan
gangguan psikologi (Girish. 2004; Nurcahyo & Eko, 2009; Mabry, 2001).
Rhinitis alergi dapat terjadi pada wanita dan pria dengan kemungkinan yang
sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi genetik kuat, bila salah satu dari
orang tua menderita alergi maka kemungkinan 30% bakat alergi diwariskan pada
keturunannya, dan bila kedua orang tua menderita akan diperkirakan mengenai
sekitar 50% keturunannya. Rhinitis alergi dapat terjadi kepada siapa saja baik anak,
remaja maupun dewasa, namun gejala rhinitis alergi biasa tampak pada usia remaja
ataupun dewasa muda. Gejala rhinitis alergi berupa bersin (5-10 kali berturut-turut),
rasa gatal (pada mata, telinga, hidung, tenggorok, dan palatum), hidung berair, mata
berair, hidung tersumbat, post nasal drip, tekanan pada sinus, dan rasa lelah (Girish,
2004; Nuty, 2007; Goerge, 2013).
Rhinitis alergi menjadi kajian intensif oleh para peneliti untuk di teliti melihat dari
terjadinya peningkatan prevalensi rhinitis alergi di Indonesia akibat minimnya strategi
kesehatan dalam terapeutik dan prevensi. Di lain halnya, meskipun penyakit ini tidak
tergolong penyakit mengancam nyawa namun keluhan yang ditimbulkannya sangat
mengganggu sehingga menyebabkan penurunan kualitas hidup penderitanya.
Berdasar segi pengobatan pun juga menjadi alasan rhinitis alergi untuk di teliti lebih
jauh, dimana pengobatan rhinitis alergi dapat dikatakan tidak mudah serta berbiaya
tinggi serta rhinitis alergi berpotensi 3 tinggi mengalami komplikasi. Oleh karena itu,
rhintis alergi memperoleh prioritas tinggi untuk di teliti.

II. Tujuan (Andi ismail maulana syam_23175227A)


1. Untuk megetahui karateristik penderita rinitis alergi berdasarkan jenis kelamin.
2. Untuk mengetahui karakteristik penderita rinitis alergi berdasarkan usia.
3. Untuk mengetahui karakteristik penderita rinitis alergi berdasarkan pekerjaan.
4. Untuk mengetahui karateristik penderita rinitis alergi berdasarkan keluhan
gejala/manifestasi klinis.
5. Untuk mengetahui karakteristik penderita rinitis alergi berdasarkan jenis alergen.
6. Untuk mengetahui karakteristik penderita rinitis alergi berdasarkan klasifikasi
diagnosis.
7. Untuk mengetahui karakteristik penderita rinitis alergi berdasarkan jenis terapi
yang.

III. Rumusan Masalah (Intan Olivia Putri_25195827A)


Dari latar belakang masalah tersebut, penyusun merumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit rhinitis alergi ?


2. Bagaimana epidemiologi, etimologi, paofisiologi serta pengobatan dari rhinitis
alergi ?
3. Bagaimana karateristik penderita rinitis alergi berdasarkan jenis kelamin baik laki-
laki maupun perempuan, usia penderita baik anak-anak hingga dewasa, pekerjaan
penderita, keluhan gejala/manifestasi klinis agar memahami tingkatan keparahan
dari penderita, jenis allergen yang dialami penderita, klasifikasi diagnosis agar
tepat obat dan jenis terapi agar tepat sasaran?

IV. Manfaat (Marcherriva Iqlima Kurnia Putri_24185594A)


Agar mahasiswa mampu memahami karateristik penderita rinitis alergi
berdasarkan jenis kelamin baik laki-laki maupun perempuan, usia penderita baik
anak-anak hingga dewasa, pekerjaan penderita, keluhan gejala/manifestasi klinis agar
memahami tingkatan keparahan dari penderita, jenis allergen yang dialami penderita,
klasifikasi diagnosis agar tepat obat dan jenis terapi agar tepat sasaran.
BAB II
DASAR TEORI
I. Definisi Rhinitis (Lina Noviana Azmia Adinda_24185506A)
Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan mukosa hidung yang ditandai dengan
bersin-bersin, hidung tersumbat dan rhinorea. Rhinitis alergi yang berat sangat
berpengaruh terhadap kualitas hidup, tidur dan bekerja. Rhinitis alergi mempengaruhi
10-40% dari anak-anak di seluruh dunia dan cenderung meningkat jumlahnya. Rhinitis
dapat menyebabkan rhinosinusitis, otitis media dan gangguan pendengaran (sekunder
karena disfungsi tuba Eustachian), gangguan tidur dan konsekuensi buruk untuk
kinerja kognitif/sekolah.
Diagnosis rhinitis alergi didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, riwayat pasien harus mencakup
evaluasi gejala seperti rinorea, hidung gatal, bersin, konjungtivitis alergi, dan hidung
tersumbat. Waktu timbulnya gejala perlu diketahui karena sangat penting dalam
menentukan alergen mana yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya gejala.
Riwayat penyakit lain seperti asma juga harus dinilai. Secara epidemiologi, hingga
40% pasien dengan rhinitis alergi memiliki riwayat asma. Riwayat atopi dalam
keluarga juga merupakan salah satu faktor risiko kuat yang dapat mendukung
diagnosis rhinitis alergi
Pemeriksaan fisik dilakukan dengan menilai kondisi eksternal dan
internal dari hidung. Pada pemeriksaan fisik dicari gejala gatal pada
hidung, telinga, palatum atau tenggorok, sekret bening cair, kongesti nasal, nyeri
kepala sinus, disfungsi tuba estachius, bernafas lewat mulut atau mengorok,
post nasal drip kronis, batuk kronis non produktif, sering mendehem, dan
kelelahan pagi hari. Secara khusus, penanda atopi dicari diantaranya allergic
shiner, allergic salute, danallergic crease. Bila disertai keluhan pada mata maka
pemeriksaan palpebra dan konjungtiva diperlukan untuk menemukan edema,
sekret, dan kelainan lainnya.

II. Epidemiologi (Privia Sukma R._24185588A)


Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang prevalensinya terus
meningkat dan diperkirakan mengenai 10-25% populasi di seluruh dunia. Di Amerika
Serikat 1 dari 5 orang atau sekitar 60 juta orang terkena rinitis alergi. Prevalensinya
pada orang dewasa 10-30% dan lebih dari 40% pada anak-anak. Anak-anak yang
mengidap satu komponen atopi yaitu rinitis alergi, asma atau ekzema memiliki risiko
tiga kali lipat untuk terkena komponen atopi lainnya. Talango dkk pada tahun 2011
melaporkan rasio penderita rinitis alergi lakilaki dan perempuan adalah 1:1,1 dengan
distribusi terbanyak pada umur 18-30 tahun. Soediro melaporkan rasio laki-laki dan
perempuan adalah 1:1,3.

III. Etiologi (Fitri Nur Laily_24185569A)


Berdasarkan jenis alergennya, penyebab rinitis alergi dapat digolongkan menjadi
dua kelompok, yakni penyebab spesifik dan non spesifik. Penyebab spesifik dibedakan
menjadi musiman dan menahun.Rinitis alergi musiman (seasonal) adalah rinitis alergi
yang lebih banyak dihubungkan dengan alergi serbuk sari (pollen) yang muncul secara
musiman, sedangkan rinitis alergi sepanjang tahun (perennial) banyak dihubungkan
dengan tungau debu rumah (house-dust-mite), serpihan kulit binatang dan jamur.
Selain itu penyebab non spesifik rinitis alergi diantaranya adalah pajanan udara dingin,
debu, uap, polusi udara, hormonal dan psikis. Udara lembab, perubahan suhu, dan
angin secara tidak langsung berpengaruh terhadap penyebaran debu rumah dan serbuk
sari bunga, dan juga memberi suasana yang baik untuk tumbuhnya berbagai macam
jamur (Kairavini et al., 2020)

IV. Patofisiologi (Sheila Afrilawati_24185653A)


Patofisiologi terjadinya rhinitis alergi diperankan oleh beberapa proses, yaitu
sensitisasi alergen, reaksi tipe cepat dan lambat, inflamasi neurogenik,
hiperresponsivitas nonspesifik, serta konsep one airway one disease.
Patofisiologi rinitis alergi diawali dengan masuksnya alergen pada udara kedalam
mukosa hidung, menyebabkan terbentuknya alergen imunoglobulin E spesifik (IgE).
Paparan yang berulang terhadap alergen menghasilkan presentasi alergen oleh antigen
presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan interleukin
(IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin tersebut memiliki efek
proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan
berlanjut dengan terjadinya kaskade respon imun sehingga menimbulkan gejala-gejala
klinis rinitis alergi. Respon alergi pada rinitis alergi dibagi atas fase awal dan fase
lambat. Selama fase awal, terjadi peningkatan IgE yang berikatan pada sel mast yang
menimbulkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator yang telah terbentuk
(preformed mediators) seperti histamin, triptase, kininogenase (menghasilkan
bradikinin), heparin dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, sel mast juga mengeluarkan
mediator seperti prostaglandin-D2 (PGD2) dan sulfidopeptidyl leukotrienes (LT)C4,
LTD4, dan LTE4.34 Mediator-mediator tersebut menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, menimbulkan gejala klinis bersin, edema mukosa,
hidung berair dan gatal yang merupakan gejala klinis rinitis alergi. Respons imun fase
awal timbul dalam beberapa menit segera setelah paparan alergen.
V. Pemgobatan (Andi Dhea Puspita Sari_23175154A)

Pengobatan Swamedikasi untuk penyakit Rhinitis alergi:


1. Antihistamin
a. Loratadin
Indikasi :
Rhinitis alergi seperti : bersin,pilek,rasa gatal pada hidung, dan terbakar
pada mata.Hipersensitivitas atau idiosinkresi terhadap komponennya.
Dosis :
Dewasa =10mg/hari.Anak-anak 2-12 tahun= 5mg/hari
b. Klorfeniramin Maleat
Indikasi :
Rhinitis,urtikaria,hay fever
Dosis :
Dewasa dan anak” ≥12 Tahun =4mg (Tiap 4-6 jam) DM=24mg/hari
Anak-anak 6-12 Tahun=2mg (Tiap 4-6 jam ) DM=12mg/hari
Anak usia 1-2 tahun= 1mg/2x sehari
Aturan pakai :
Setelah makan atau sebelum makan

2. Kortikosteroid
a. Flunisolid
Indikasi :
Profilaksis dan pengobatan rhinitis alergi
Cara pakai :
Dewasa beri 50 mcg (2 semprotan) ke dalam lubang hidung 2 kali sehari,
ditingkatkan bila perlu hingga maksimum 3 kali sehari kemudian kurangi untuk
perawatan.
Anak :
Di atas usia 5 tahun, mula- mula 25 mcg (1 semprotan) ke dalam lubang
hidung sampai 3 kali sehari untuk pengobatan yang tidak lebih lama dari
minggu berturut-turut.

b. Beklametason Dipropoionat
Indikasi :
Profilaksis dan pengobatan rinitis alergi dan rinitis vasomotor.
Cara pakai :
Dewasa dan anak di atas 6 tahun, beri 100 mcg (2 semprotan) ke dalam
tiap lubang hidung dua kali sehari atau 50 mcg (1 semprotan) ke dalam tiap
lubang hidung 3-5 kali sehari; total maksimum 400 mcg (8semprotan) tiap hari.

c. Budesonid
Indikasi :
Profilaksis dan pengobatan rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor; polip
nasal.
Cara pakai :
Dewasa dan anak di atas usia 12 tahun, beri 200 mikrogram (2semprotan)
ke dalam tiap lubang hidung 1 kali sehari di pagi hari atau 100 mcg (1
semprotan) ke dalam lubang hidung 2 kali sehari; bila gejala dapat
dikendalikan kurangi hingga 100 mcg (1 semprotan) ke dalam lubang hidung 1
kali tiap hari.
3. Dekongestan
a. Oksimetazolin
Indikasi :
Terapi simtomatik pada rhinitis alergi,rhinitis akut ,dan sinusitis
Dosis :
Dewasa dan anak usia ≥ 6 Tahun,gunakan 2-3 tetes/semprot pada setiap
lubang hidung 10-12 jam.

VI. Terapi non-Farmakologi (Meta Kristiana_24185598A)


1. Menghindari alergen yang menjadi pencetus terjadinya alergi, contohnya seperti
kelembaban rumah dijaga hingga tidak ada jamur yang tumbuh dan
menghilangkan jamur yang sudah ada dengan desinfektan.
2. Jika pasien yang memiliki alergi terhadap hewan seperti alergi apabila terkena
bulunya maka dapat mengeluarkan hewan peliharaan tersebut dari rumah jika
memungkinkan.Mengurangi paparan terhadap tungau debu dengan menutup
tempat tidur dengan penutup kedap air dan mencuci seprai dengan air panas
memiliki sedikit manfaat untuk pencegahan terjadinya alergi.
3. Pasien dengan alergi rinitis akibat musim (seperti musim tumbuh bunga, musim
hujan) harus menutup jendela dan meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar
rumah selama musim serbuk sari. Masker bisa dipakai saat berkebun atau
memotong rumput untuk pencegahan alergi.
BAB III
RUMUSAN MASALAH
I. Pembahasan (Ni putu yunia krisna_25195880A)
Rinitis alergi adalah penyakit simtomatis pada membran mukus hidung akibat
inflamasi yang dimediasi oleh IgE pada lapisan membran yang diinduksi oleh paparan
alergen. Pada tahun 1929 ditetapkan 3 gejala utamanya antara lain bersin – bersin,
hidung tersumbat dan keluarnya sekret hidung.Selain itu juga terdapat gejala hidung
gatal dan gejala – gejala tersebut berlangsung lebih dari 1 jam sehari dalam dua hari
berurutan atau lebih. Rinitis alergi merupakan manifestasi penyakit alergi tipe I yang
paling sering ditemui di masyarakat, jika tidak mendapatkan penanganan dapat terjadi
komplikasi berupa asma, rinosinusitis, konjungtivitis alergi, polip hidung, otitis media
dengan efusi, dan maloklusi gigi. Berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
Intermiten (kadang-kadang) bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih
dari 4 minggu. Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1) Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2) Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa kelompok umur dengan frekuensi
terbanyak pada 18 - 35 tahun. Penderita perempuan lebih banyak (54,1%)
dibandingkan laki-laki (45,9%) dengan perbandingan RA intermiten dengan persisten
1 : 5. Manifestasi RA terbanyak adalah RA persisten sedang– berat yaitu sebesar
59,5%.22 Selain mengakibatkan gejala lokal pada hidung, juga dapat mengakibatkan
gejala sistemik berupa rasa lelah, mengantuk di siang hari, gangguan kognitif, nyeri
kepala, dan pada beberapa kasus berat penderita dapat mengalami depresi sehingga
mempengaruhi kualitas hidup penderita.
Rinitis alergi persisten sedang berat dapat mengakibatkan keluhan mengantuk di
siang hari seperti dilaporkan 23% penderita rinitis alergi persisten sedang berat di
klinik THT RS dr Kariadi. Keluhan mengantuk meningkat menjadi 46,37% pada
penderita yang mendapatkan anti alergi yang memiliki efek samping sedasi. Pada anak
– anak penderita rinitis alergi, gangguan belajar saat jam sekolah dapat terjadi baik 11
karena secara langsung akibat kurang tidur di malam hari, atau secara tidak langsung
karena rasa capai di siang hari.
Etiologi dan faktor risiko Rinitis alergi merupakan penyakit multifaktorial yang
meliputi interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik pada rinitis
alergi dapat dilihat dari hubungan fenotipik yang erat antara pilek alergi dan asma
bronkial ( penyakit diturunkan).
Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga. Jika hanya salah satu orang
tuanya menderita alergi, maka risiko anaknya terkena alergi adalah 50%. Dan jika
kedua orang tua memiliki alergi, risiko anaknya terkena alergi adalah 75 %. Penelitian
dengan imigran sebagai subyek, menunjukkan bahwa terdapat faktor genetik yang
mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari orang tua, khususnya dari ibu. Faktor
risiko rinitis alergi dari lingkungan berupa paparan alergen. Berdasarkan penelitian di
RSCM, diperoleh data 59% sensitivitas terhadap alergen inhalan dan 49% terhadap
alergen makanan.
Aeroalergen yang tersering dengan hasil uji cukit kulit positif pada penelitian di
klinik THT – KL RSUP Dr Kariadi adalah kecoa (44,6%), disusul mite culture
(40,5%), house dust (25,7%), cat dander (16,2%) dan dog dander (5,4%).22 Penelitian
menunjukkan bahwa odd ratio rinitis alergi lebih tinggi pada anak yang memelihara
hewan, terutama anjing.
Terdapat teori bahwa endotoksin merupakan agen proinflamasi yang biasa
ditemukan di debu rumah. Paparan endo-toksin akan memicu peradangan saluran
nafas dengan bercirikan invasi neutrofil, iritasi membran mukus, dan penyempitan
diameter saluran nafas.
Patofisiologi Reaksi hipersensitivitas pada mukosa hidung yang memicu
bermacam – macam respon hidung terhadap paparan alergen merupakan proses
dinamis yang disebabkan oleh alergen yang spesifik. Pada proses ini terlibat berbagai
macam tipe sel, mediator, dan mekanisme yang berbeda pada setiap jenjang dan level
yang berbeda.
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. Fase sensitisasi Pada kontak pertama dengan alergen atau
tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen
Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses di dalam endosom, antigen akan membentuk fragmen pendek
peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin
1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2
akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-
13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE) serta menghambat
produksi sitokin dari sel Th1. Paparan alergen dosis rendah yang terus – menerus dan
presentasi alergen oleh sel penyaji kepada sel limfosit B akan memicu bertambahnya
produksi IgE oleh sel limfosit B. IgE yang bertambah banyak akan beredar bebas di
sirkulasi darah kemudian IgE akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di
permukaan sel mast atau basofil (sel mediator) termasuk di mukosa hidung, sehingga
kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel
mediator yang tersensitisasi. Artinya, individu tersebut sudah menjadi hipersensitif
terhadap alergen tertentu.
. Fase elisitasi Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,
maka dua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan
Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT
D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai
sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase
Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rhinorrhea. Gejala lain adalah hidung
tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf
Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada Reaksi alergi fase cepat, sel mast juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8
jam setelah pemaparan serta dapat menetap hingga 24 – 48 jam. Respon ini disebut
reaksi alergi fase lambat. Pada Reaksi alergi fase lambat ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil
dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Hal ini mengakibatkan gejala utama berupa hidung tersumbat pada
reaksi alergi fase lambat. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Mediator – mediator ini dapat
berikatan dengan proteoglikan dan hyaluran membran basalis menyebabkan
disagregasi sel dan deskuamasi epitel. EDP dapat menginaktifkan saraf mukosa dan
EPO dapat menyebabkan kerusakan sel oleh karena radikal bebas. Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi.26 Reaksi alergi fase lambat ini menjadi alasan mengapa gejala rinitis
alergi dapat terjadi selama 24 jam dan paling berat di pagi hari. Gejala hidung gatal
pada anak penderita rinitis alergi menyebabkan anak sering menggosok – gosok
hidungnya yang gerakannya disebut “allergic salute”. Jika berlangsung lama, akan
menimbulkan bekas yang disebut “nasal crease”. Anak dengan rinitis alergi berat
biasanya memiliki manifestasi sulit bernafas melalui hidung sehingga biasanya
memiliki ciri mulut 16 menganga atau terbuka, wajah yang lonjong, maloklusi dental,
allergic shiner, allergic salute dan allergic crease.

II. Contoh Masalah (Dhea Anggelin_25195840A)


Rhinitis Alergi
Seorang anak perempuan berusia 5 tahun 2 bulan dibawa oleh orang tuanya ke
poliklinik anak dengan keluhan sering pilek pilek sejak usia 2 tahun. Pilek disertai
bersin, ingus cair bening. Jarang disertai demam. Batuk tak ada/jarang. Hidung sering
di gosok-gosok. Pasien mendapat ASI sampai dengan usia 3 bulan, selain pemberian
susu formula (susu sapi) sesuai usia sampai sekarang.Pasien anak pertama dari
seorang ibu yang diketahui menderita asma sejak kecil sampai sekarang. Kakek dari
ibu menderita eksim yang tidak kunjung sembuh pada kaki.

III. Penyelesaian (Ira Juliani Anwar_25195870A)


Penilaian
1. Apa yang harus anda lakukan untuk menilai keadaan anak ini ?
a. Diagnosis (identifikasi masalah/kebutuhan)
 Identifikasi ulang faktor risiko alergi (status atopi) pada orang tua dan
keluarga
 Identifikasi masalah pemberian ASI/PASI sejak bayi, jenis dan waktu
pemberian makanan tambahan serta makanan saat ini
 Identifikasi adanya gejala penyakit alergi pada anak yang telah timbul
pada masa bayi
 Anamnesis secara rinci mengenai lingkungan rumah untuk kemungkinan
alergen inhalan
 Anamnesis rinci mengenai gejala pilek : waktu timbulnya, lama gejala,
frekuensi dan beratnya penyakit. Juga mengenai hidung berair, hidung
tersumbat, gatal di hidung dan palatum. Perlu ditanya gejala mata merah,
gatal dan berair?
 Pemeriksaan penunjang : Laboratorium darah tepi, IgE total dan hitung
eosinofil total.
b. Hasil penilaian yg ditemukan pada keadaan tersebut adalah :
Dari anamnesis tambahan: selain bersin dan hidung berair pada pagi dan
sore hari, kadang-kadang hidung tersumbat terutama pada malam hari.
Banyak boneka berbulu di kamar pasien dan lantai kamar ditutup karpet.
Karena susah minum susu, orang tua menambah coklat pada susu yang
diminum 3 x 200 cc/hari. Terdapat riwayat dermatitis atopi di pipi pada masa
bayi (sebelum 1 tahun).
Anak cukup aktif, tidak demam, tanda vital dalam batas normal. Berat
badan 28 kg dengan tinggi badan 118 cm. Pada muka dijumpai allergic
shiner, lidah: geographic tongue. Sekresi hidung encer bening, mukosa
hidung edema dan pucat. Faring tak hiperemis. Laboratorium darah tepi
dalam batas normal. IgE total dan hitung eosinofil total dalam batas normal.
2. Berdasarkan pada temuan yang ada, apakah diagnosis yang paling mungkin
pada anak tersebut?
Jawaban : Rinitis alergi
Pelayanan (perencanaan dan intervensi)
3. Berdasarkan diagnosis, apakah rencana penatalaksanaan pada pasien ini?
Jawaban :
Tata laksana utama adalah penghindaran alergen, baik alergen inhalan
maupun alergen makanan. Pengobatan medikamentosa tergantung dari lama dan
berat – ringannya gejala. Pengobatan medikamentosa dapat berupa pilihan tunggal
maupun kombinasi dari antihistamin H1 generasi I maupun generasi 2. Bila
terdapat gejala hidung tersumbat dapat ditambah dekongestan seperti
pseudoefedrin 1 mg/kg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Bila tidak ada perbaikan atau
bertambah berat dapat diberikan kortikosteroid misalnya prednison 1mg/kg/hari
dibagi 3 dosis, paling lama 7 hari.
Penilaian Ulang
Pasien dianjurkan kontrol kembali untuk penilaian hasil tata laksana yang telah
diberikan. Sangat penting untuk mengetahui faktor penyebab (pencetus), karena
dengan penghindaran yang baik dan tepat, gejala rinitis lebih jarang timbul sehingga
prognosis dapat lebih baik. Skin Prick Test dapat dilakukan bila sudah memungkinkan,
untuk menentukan status atopi serta menentukan kemungkinan alergen penyebab.
Mengingat rinitis alergi adalah penyakit kronis yang gejalanya akan hilang timbul,
perlu dijalin komunikasi yang erat antara dokter yang mengobati dengan orangtua dan
pasien. Pemeriksaan berkala juga perlu dilakukan agar pemberian obat dapat
disesuaikan dengan fluktuasi gejala yang timbul.
Pada gejala yang menetap dan berat, diperlukan penilaian menyeluruh dan tata laksana
lanjut antara lain imunoterapi.
BAB IV
KESIMPULAN
(Dewi Mega Sekar Sejati (24185399A)
Rhinitis alergi perenial (muncul sepanjang tahun) paling sering dikaitkan dengan tungau
debu, spora jamur, dan bulu binatang, sedangkan rhinitis alergi musiman (muncul beberapa
kali dalam setahun) dikaitkan dengan paparan alergen berupa serbuk sari yang bervariasi
bentuknya, tergantung wilayah geografis. Rhinitis alergi sendiri secara patofisiologi dimediasi
oleh reaksi hipersensitivitas tipe 1
Rhinitis alergi didefinisikan sebagai radang mukosa nasal yang disebabkan oleh proses
inflamasi, dan dipicu oleh riwayat paparan alergen. Rhinitis alergi merupakan masalah
kesehatan global yang dapat memicu asma bronkial. Hubungan keduanya dijelaskan secara
patofisiologis melalui efek fisiologi hidung terhadap bronkus, mekanisme reflek nasobronkial,
mekanisme hipereaktivitas non spesifik oleh bronkus, mekanisme inflamasi yang serupa, serta
mediator dan marker apa saja yang terlibat. Secara epidemiologis diketahui bahwa rhinitis
merupakan faktor risiko signifikan timbulnya asma yang beronset saat dewasa, baik pada
subyek atopik maupun nonatopik.
Rinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan alergen
melalui inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE dengan gejala karakteristiknya rinore,
obstruksi hidung, dan hidung gatal, serta bersin-bersin dapat sembuh spontan dengan atau
tanpa pengobatan.
SARAN
1. Tutupi mulut dan hidung dengan masker saat beraktivitas di luar rumah.
2. Biasakan untuk segera mandi setelah beraktivitas di luar rumah.
3. Bersihkan lantai tidak hanya dengan disapu namun juga dipel.
4. Jaga kualitas tidur dan banyak olahraga.
5. Mengindari alergen atau pemicu alergi.
6. Rajin mencuci hidung dengan regimen yang sesuai, umunya adalah larutan NaCl.

EDITOR MAKALAH : Prasedya Septa Wiradana (25195908A)


DAFTAR PUSTAKA
ARIA-WHO 2001 (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma) Workshop report.
Introduction. J Allergy Clin Immunol. 2001;Suppl 5:S148.
http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v42n1.2
Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma, 2008. ARIA Guidelines. Avalaible from :
www.whiar.org/docs/aria-report-2008.pdf (diakses 16 oktober 2021)
Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paransal sinuses. Dalam: Snow BJ,
Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s otorhynolaryngology head and neck
surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc, 2003; h. 547-9.
BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan POM RI
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M. (Eds). 2008.
Pharmacotherapy a Pathophysiological Approach, 7th ed.USA: McGraw-Hill
Companies, Inc . p. 1729-1740.
Gentile D, Bartholow A, Valovirta E, Scadding G, Skoner D. Current and future directions in
pediatric allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol in Practice. 2013; 1(3):214-26.
Kairavini, A., Ariani, T., & Hikmallah, N. 2020. Hubungan Tungau Debu Rumah Terhadap
Angka Kejadian Rinitis Alergi Yang Berobat Di Poli THT RSUD Bangli Tahun
2019. Jurnal Kedokteran, 5(2), 57-68.
Kowalak PJ, Welsh W, Mayer B. Buku Ajar Patofisiologi. Jakata : Penerbit Buku Kedokteran
Indonesia EGC; 2014. Hal 486-487.
ansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi ketiga. Jakarta: FK UI, 1999. Hal.106-108
O’Neil JT, Mims JW. Allergic rhinitis. Dalam: Johnson JT,Rosen CA, penyunting. Head&
Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-5. Texas: Lippincott Williams&Wilkins,
2014; h. 460-8.
Pratama, Redi Bintang. 2021. “MANAJEMEN TERAPI RHINITIS” Vol 02 No 03 April
2021. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas
Lampung.
Sitompul, M. N. D. 2016. Hubungan Rinitis Alergi dengan Kualitas Hidup Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan.
Sur DK, Scandale S. Treatment of allergic rhinitis. American Family Physician.
2010;18(12):1440-6.
Talango R, Aminuddin, Punagi AQ, Djufri NI. Perbandingan efektifitas flutikason furoat
intranasal dengan dan tanpa loratadin oral pada penderita rinitis alergi. ORLI.
2011; 41(2):71-7.
Tran, N. P., Vickery, J., & Blaiss, M. S. (2011). Management of rhinitis: allergic and
nonallergic. Allergy, asthma & immunology research, 3(3), 148-156.
https://doi.org/10.35816/jiskh.v11i1.293

Anda mungkin juga menyukai