SEMESTER GENAP
ANGGOTA:
Cindy Aulia Kuscahyanti (NIM. 175070501111021)
Cynthia Anggun Lestari (NIM. 175070500111005)
Dewi Fortuna (NIM. 175070520111001)
Lisa Tri Damayanti (NIM. 175070501111009)
Livia Mabella (NIM. 175070501111025)
Maulidyah Indriawati (NIM. 175070501110011)
Rachmad Rizky Dharmawan (NIM. 175070507111013)
Riana Nur Elistin (NIM. 175070501111003)
Rima Nuraini (NIM. 175070500111023)
Rupti Sekar Asri (NIM. 175070500111021)
1. DEFINISI
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang sebelumnya sudah tersentisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya mediator-mediator kimia pada saat terpapar
kembali dengan allergen tersebut. Menurut WHO-ARIA (Allergic Rinitis its Impact on
Asthma), rhinitis alergi merupakan suatu peradangan yang diperantarai oleh
immunoglobulin E (IgE) yang terlibat menyebabkan suatu peradangan alergi bila terpapar
kembali oleh alergennya. Gejala khas pada rhinitis alergi yaitu terdapatnya bersin yang
berulang bisa disertai gejala lain sepert rinore yang encer, hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal disertai lakrimasi yang banyak. Selain menyebabkan iritasi dan terkadang
melemahkan pasien , rhinitis alergi sering terjdi bersamaan dengan penyakit lain,
termasuk asma, otitis media, dan dermatitis atopic. Selanjutnya sejumlah penelitian
lanjutan jangka panjang melaporkan bahwa penderita gejala-gejala rhinitis alergi atau uji
kulit positif alergi berpeluang tiga kali lebih tinggi menderita asma, seperti halnya pasien
dengan riwayat alergi negatif (Irawati,2007).
Sinusitis dalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran
mukosa sinus pranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. Secara
tradisional terbagi dalam akut (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3
minggu sampai 3 bulan), dan kronik. Sinus pranasal adalah rongga di dalam tulang
kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dngan rongga hidung
melalui ostiumnya. Ada empat pasang sinus yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus
frontalis, stenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel –sel kecil yang merupkan sinus etmoid
anterior dan posterior. Sinusitis dapat berkembang dari demam yang lebih dari seminggu,
tetapi tidak semua rang dengan demam berkembang menjadi sinusitis. Prinsip utama
dalam menanngani infeksi sinus adalah menyadari bahwa hidung dan sinus pranasalis
hanyalah sebagian dari sitem penafasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paru paru
juga dapat menyerang hidung dan sinus pranasalis. Oleh karena itu, dalam kaitannya
dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus
dianggap sebagai satu kesatuan ( Syamsudin,2013).
2. EPIDEMIOLOGI
a. Rhinitis
Dari data WHO tahun 2000 mengenai epidemiologi rhinitis alergi di Amerika
Utara dan Eropa Barat, terjadi peningkatan prevalensi rhinitis alergi dari 13-16%
menjadi 23-28% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi pada
usia anak sekolah di Eropa Barat menjadi dua kali lipat. Prevalensi rhinitis alergi
seasonal dan perenial di USA meningkat mencapai 14,2%, tertinggi pada usia 18-34
tahun dan 35-49 tahun (Nugraha BW,2005)
Meskipun data prevalensi yang dilaporkan untuk rhinitis alergi sangat
bervariasi, diperkirakan bahwa rhinitis alergi diderita oleh sekitar 20% penduduk
Amerika Serikat dan prevalensi ini mungkin akan terus meningkat. National Center
for Health Statistics (NCHS) melaporkan prevalensi rhinitis alerg tanapa asma adalah
98,2 per 1.000 orang-angka ini sama dengan sekitar 25 juta orang di Amerika
Serikat. Angka ini mungkin akan lebih besar jika penderita asma diperhitungkan. Di
Indonesia, angka kejadian rhinitis alergi yang pasti belum diketahui karena sampai
saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter. Prevalensi rhinitis alergi
perenial di Jakarta besarnya sekitar 20%, sedangkan menurut Sumarman dan
Haryanto pada 1999, di daerah padat penduduk kota Bandung menunjukkan 6,98%,
di mana prevalensi pada usia 12-39 tahun. Berdasarkan survey dari ISAAC
(International Study of Asthma and Allergies in Childhood), pada siswa SMP umur
13-14 tahun d Semarang tahun 2001-2002 prevalensi rhinitis alergi sebesar 18%
(Syamsudin,2013)
Dari hasil penelitian yang dilakukan Poliklinik THT-KL Rumah Sakit Umum
Daerah Arifin Achmad Pekanbaru periode Januar 2006-Desember 2006 terhadap 221
kasus rhinitis alergi menunjukkan kasus rhinitis alergi terbanyak pada umur 15-24
tahun (22,3%) dan lebih banyak pada perempuan 128 (57,92%). Gejala klinis rhinitis
alergi pada kelompok umur 2-14 tahun adalah rinore sebanyak 29 kasus (50,88%),
hidung tersumbat 14 kasus (24,56%). Sedangkan gejala klinis pada penderita dengan
kelompok umur 15-24 tahun hingga kelompok umur >65 tahun adalah hidung
tersumbat (Syamsiyah,2008)
b. Sinusitis
Meskipun jarang terjadi pada anak anak, saat ini diketahui bahwa sinusitis
dapat mempersulit hingga 10% infeksi saluran napas atas karena virus di awal masa
kanak kanak. Sesungguhnya sinusitis akut lebih sering terjadi pada anak anak
daripada orang dewasa. Faktor resiko utama untuk terjadinya sinusitis adalah rhinitis
alergi atau infeksi saluran napas atas karena virus. Terjadinya kedua faktor risiko ini
lebih lazim pada anak anak daripada orang dewasa. Sebuah penelitian menilai
pevalensi sinusitis pada sebuah populasi anak. Hasil temuannya menunjukkan bahwa
diagnosis sinusitis oleh dokter terdapat pada 13,1 % anak, dan riwayat rhinitis alergi
secara bersamaan terdapat pada 78% anak penderita sinusitis. Meskipun penderitaan
ini dibatasi oleh ketergantungan terhadap survey yang diisi orang tua untuk
mengonfrmasi adanya diagnosis sinusitis, penelitian ini menunjukkan bahwa
prevalensi penyakit sinus yang dilaporkan bersama rhinitis alergi sangat tinggi
( Syamsudin,2013).
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek sehari
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu gangguan kesehatan tersering di di seluruh
dunia. Sinusitis menyerang 1 dari 7 orang dewasa di United States dengan lebih dari
30 juta individu yang didiagnosis tiap tahunnya. Individu dengan riwayat alergi atau
asma beresiko tinggi terjadinya rhinosnusitis. 1,2 prevalensi sinusitis tertinggi pada
usia dewasa 18-75 tahun dan kemudian anak anak berusia 15 tahun. Pada anak anak
berusia 5-10 tahun, infeksi saluran pernafasan dihubungkan dengan sinusitis akut.
3. ETIOLOGI
a. Rhinitis
Rhinitis melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik
dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa
allergen sekaligus. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi.
Alergen yang menyebabkan rinitis musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies
utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, kecoa, dll. Berbagai pemicu yang dapat memberatkan adalah beberapa faktor
nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau
merangsang dan perubahan cuaca.
b. Sinusitis
Infeksi kronis pada sinusitis kronis dapat disebabkan oleh (a) gangguan drainase
yang dapat disebabkan oleh obstruksi mekanik dan kerusakan silia, (b)perubahan
mukosa dapat disebabkan oleh alergi, defisiensi imunologik, dan kerusakan silia,
(c)pengobatan yang tidak sempurna . sebaliknya kerusakan silia disebabkan gangguan
drainase, perubahan mukosa dan poluis bahan kimia. Beberapa penyebab sinusitis
maksilaris :
a. Infeksi virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas;
virus yang lazim menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus
karena mukosa sinus paranasalis berjalan kontinu dengan mukosa hidung.
b. Bakteri
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus
menciptakan suatu lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi
bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri.
Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis
media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun
adalah Streptococcus pneumonia (30-50%), Haemophilus influenza (20-
40%), Moraxella catarrhalis (4%), bakteri anerob, Branhamella
catarrhalis, streptokok alfa, Staphyolococcus aureus, dan Streptococcus
pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan oleh
bakteri yang sama seperti yang menyebabkan sinusitis akut.
Namun, karena sinusitis kronik biasanya berkaitan dengan
drainage yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu,
maka agen infeksi yang terlibat cenderung opurtunistik, dimana proporsi
terbesar merupakan bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan
dalam frekuensi yang makin menurun antara lain Staphyolococcus aureus,
Streptococcus viridians, Haemophilus influenza, Neisseria flavus,
Staphyolococcus epidermidis, Streptococcus pneumonia, dan Eischerichia
coli. Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium,
Bacteroides, dan Veillonella. Infeksi campuran antar organisme aerob dan
anaerob seringkali terjadi.
c. Infeksi Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus
merupakan jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita
gangguan sistem kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur
merupakan sejenis reaksi alergi terhadap jamur.
4. PATOFISIOLOGI
5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
- Menggunakan masker apabila sedang bekerja sebagai pelukis dan tata rias ruangan
agar tidak terpapar oleh bahan kimia
- Buat lingkungan menjadi bersih, infeksi yang terjadi pada penderita penyakit sinus
karena lingkungan yang kurang steril atau kurang bersih,
- Hindari merokok, asap dari rokok mengandung toksin atau racun yang sangat
membahayakan saluran pernapasan terutama untuk penderita sinusitis, maka dari itu
jika menderita sinusitis hindari rokok mulai sekarang juga.
- Konsumsi makanan higenis, makanan yang higenis atau bersih akan sangat penting
untuk mendukung proses penyembuhan dari penyakit sinusitis ini, konsumsilah
makanan yang higenis seperti makanan yang telah terjamin mutunya.
- Melakukan terapi uap panas. Dengan cara mendidihkan 4-6 gelas air, tempatkan
dalam mangkuk yang cukup besar, lalu tundukkan kepala (sambil diselubungi
handuk) di atas mangkuk tersebut sehingga uap panas dapat di hirup secara
maksimal. Terapi ini biasanya dilakukan selama 10-15 menit.
- Minum banyak cairan, seperti air, jus buah dan teh untuk mengencerkan lendir dalam
rongga hidung. Banyak istirahat, terutama di tempat yang cukup lembab. Sedapat
mungkin hindari pemicu alergi.
-
6. TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologis harus mempertimbangkan khasiat, keamanan dan efektivitas
biaya obat, preferensi pasien juga sebagai tujuan pengobatan, keparahan penyakit dan
kehadiran co-morbiditas. Obat yang digunakan untuk rhinitis yang paling sering
diberikan intranasal atau oral. Kemanjuran obat mungkin berbeda antara pasien. Banyak
obat yang digunakan dalam pengobatan rhinitis alergi tersedia tanpa resep dokter
meskipun ada disparitas yang besar antar negara. Antihisamin oral non sedatif merupakan
obat yang paling banyak direkomndasikan, dimana obat ini memiliki efek samping yang
lebih rendah dibandingkan dengan antihistamin golongan sedatif. Selain itu, pasien juga
tidak selalu menerima adanya efek sedasi dan perubahan mental. Kortikosteroid
intranasal adalah pengobatan yang paling efektif pada rhinitis alergi, khususnya pada
penyakit yang parah atau ketika sumbatan hidung mendominasi.
Gamba
r 2. Tabel terapi farmakologi Rhinitis Alergi (Bousquet, 2001)
7. KASUS
KASUS 1 : (SINUSITIS)
Tn. MJ usia 21 tahun datang ke apotek anda dan mengeluh hidung terasa
tersumbat yang teramat parah disertai nyeri kepala dan pandangan kabur selama 3 hari.
Sehari-hari Tn MJ bekerja sebagai pelukis serta tata hias ruangan. Pasien mengatakan
baru saja mengalami gejala flu. Pasien juga menggunakan 2 tablet paracetamol untuk
meredakan nyeri kepalanya meski sebentar. Teman Tn.MJ memberitahunya untuk
menggunakan antihistamin untuk mengatasi keluhannya. Oleh karena itulah, Tn. MJ
ingin berkonsultasi serta meminta rekomendasi anda sebagai apoteker di apotek.
Diketahui bahwa Tn.MJ mempunyai riwayat asma sejak kecil serta riwayat alergi
terhadap penisilin.
1. Apakah pertanyaan yang anda ajukan sebagai apoteker kepada pasien untuk
memperkirakan kondisi medis yang dialami oleh Tn.MJ?
- Apa saja yang bapak keluhkan ?
- Sejak kapan bapak mengalami gejala tersebut ?
- Apa selama flu disertai dengan hilangnya penciuman ?
- Apakah ketika mengalami nyeri kepala disertai dengan demam ?
- Obat apa saja yang telah bapak konsumsi selama mengalami gejala tersebut ?
- Apakah bapak mempunyai alergi terhadap suatu obat atau makanan ?
- Apakah bapak mempunyai riwayat penyakit ?
- Apakah saat bekerja gejala tersebut muncul?
- Apakah riwayat penyakit asma bapak pernah muncul?
- Apakah hidung bapak mengeluarkan banyak cairan? Bila iya apa warnanya?
2. Pasien diketahui muncul gejala ingus berwarna hijau kekuningan selama 3 hari
sebelumnya disertai nyeri pada wajah dan hidung. Pasien juga mengeluh kehilangan
penciuman serta perasa sejak mengalami gejala flu dalam seminggu terakhir. Tidak
ditemukan gejala demam pada pasien. Berdasarkan gejala yang muncul, sebagai
apoteker anda mencurigai Tn.MJ mengalami sinusitis akut. Apa factor yang dapat
memicu terjadinya sinusitis?
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko sinusitis pada orang dewasa. Di
antaranya adalah:
Factor pekerjaan. Pekerjaan yang banyak terpapar bahan kimia dapat
meningkatkan resiko sinusitis
Factor infeksi.
Factor allergen
Factor riwayat penyakit (asma)
Factor allergic rhinitis
Selain itu, ada beberapa kondisi medis yang dapat memicu terjadinya sinusitis. Di
antaranya adalah:
a) Polip hidung, yaitu jaringan yang tumbuh dan membentuk massa di dalam hidung.
b) Tulang hidung bengkok.
c) Alergi, misalnya rinitis alergi atau asma. Kondisi ini dapat menyebabkan
terhambatnya saluran sinus.
d) Cystic fibrosis, yaitu kelainan genetik yang menyebabkan lendir mengental,
kemudian menumpuk dan menyumbat berbagai saluran di dalam tubuh, terutama
pernapasan dan pencernaan.
e) Kondisi lain, seperti melemahnya sistem kekebalan tubuh.
KASUS 2 : (RHINITIS)
Tn. AR (55 tahun) datang ke apotek anda untuk berkonsultasi tentang keluhan
kesehatan yang sedang dialaminya. Keluhan pasien: hidung tersumbat dan berair, bersin-
bersin serta tenggorokan gatal sehingga mengganggu saat tidur di malam hari. Pasien
mengalami keluhan tersebut sesaat setelah mengikuti pelatihan budidaya jamur. Pasien
beranggapan dirinya mengalami flu berat sehingga menggunakan Decolgen tablet untuk
mengatasi keluhannya tersebut. Tidak ada perubahan yang signifikan pada keluhan
pasien setelah penggunaan obat tersebut tetapi pasien mengeluh dada terasa berdebar
setelah minum Decolgen.
HPI
hidung tersumbat dan berair, bersin-bersin dan tenggorokan gatal
PMH
Hipertensi (sejak 5 tahun yang lalu) tidak terkontol
FH
Ayah dan ibu sudah meninggal dan mempunyai riwayat hipertensi; Istri (50 tahun) tidak
mempunyai masalah kesehatan yang berat; Anak (25 tahun) mempunyai riwayat alergi
terhadap bulu binatang
SH
Pensiunan PNS; jarang sekali melakukan aktivitas olahraga; rokok 1 pak/hari dan
konsumsi kopi 2 cangkir/hari
Meds
Captopril 12.5 mg 2 dd 1 pasien jarang minum obat ini karena sering mengalami batuk
setelah meminum obat ini
Allergy
Tidak diketahui
VS
TD 150/90 mmHg; N 90; RR 24 x/menit; T 36.9°C; BB 70 kg; Tinggi 165 cm
4. Jelaskan rekomendasi terapi yang dapat anda berikan untuk mengatasi permasalahan
yang dialami pasien?
Terapi menggunakan decolgen dianggap kurang tepat karena decolgen
mengandung fenilpropanolamin hcl yang menyebabkan dada terasa berdebar. Juga
captropil kurang tepat untuk mengatasi hipertensi pada pasien dimana pasien
mengalami ketidaknyamanan akibat efek samping yaitu batuk yang mengakibatkan
ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat. Antihistamin yang dipakai dapat
diganti dengan generasi kedua (cetrizine) yang lebih rendah resiko aritmia.
Obat diganti golongan Kortikosteroid intranasal karena dapat mengurangi
bersin dan penyumbatan hidung melalui mekanismenya menekan produksi sitokin,
sel mast, basofil, mencegah perubahan sintesis IgE oleh sel B, dan menurunkan
migrasi sel inflamasi, menghambat mast cell yang memicu pengeluaran histamin.
Efek samping juga minimal sehingga menjadi pilihan obat yang baik untuk rhinitis
Terapi lainnya dilakukan dengan mengganti captopril dengan anti hipertensi
lain seperti diuretik. Karena efek samping dari captopril yang menyebabkan batuk
kering karena peningkatan kadar bradikinin. Dengan Angiotensin Renin Block
(ARB) maka terjadi degradasi bradykinin sehingga tidak terjadi batuk dan pasien
bisa mengkonsumsi obat dengan teratur tanpa mengalami gangguan. Contoh ARB :
Losartan, valsartan, kandesartan, olmesartan, telmisartan, eprosartan, dan
Irbesartan
5. Informasi apa yang dapat anda berikan pada pasien untuk meningkatkan keberhasilan
terapi?
Informasi yang diberikan yaitu terapi farmakologi dan non-farmakologi
a. Terapi farmakologi
Tujuan dari terapi farmakologi ini yaitu untuk mencegah dan mengurangi atau
meminimalkan gejala.
1) Informasi mengenai penggunaan obat yang sesuai (keteraturan penggunaan
obat)
2) Informasi mengenai kontra indikasi dan efek samping obat
3) Informasi mengenai interaksi obat satu dengan lainnya
4) Informasi mengenai cara penyimpanan obat
5) Informasi mengenai dosis obat
b. Terapi non farmakologi
1) Menggunakan masker saat mengikuti pelatihan budidaya jamur dan ketika
beraktivitas di luar untuk mencegah alergi yang semakin parah
2) Istirahat yang cukup, untuk memperbaiki kualitas kesehatan
3) Mengurangi konsumsi kopi karena kopi mengandung kafein yang dapat
meningkatkan tekanan darah
4) Mengurangi konsumsi rokok agar hipertensi tidak semakin memburuk
5) Mengkonsumsi makanan bergizi untuk memperbaiki kualitas kesehatan
6) Mengurangi konsumsi garam karena dapat meningkatkan tekanan darah.
7) Menjaga kebersihan lingkungan dan memperbanyak tanaman hijau agar
diperoleh udara bersih dan ventilasi yang bagus untuk menghindari debu
penyebab rhinitis
8. PEMBAHASAN KASUS
8.1 SUBJEKTIF
A. KASUS 1 (SINUSITIS)
- Pasien mengalami hidung tersumbat karena adanya aliran udara yang
terhambat yang disebabkan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan
rongga ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan efek
vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih.
- Pasien mengalami nyeri kepala karena adanya peradangan mukosa hidung
yang memicu 2 permukaan mukosa hidung atau sinus yang menempel
menimbulkan stimulus sensorik.
- Pandangan kabur yang dikarenakan peradangan di bagian sinus dekat mata.
Gejala flu dapat memperbesar resiko terkenanya sinusitis.
B. KASUS 2 (RHINITIS)
Pasien mengalami hidung tersumbat dan berair, bersin-bersin, serta
tenggorokan gatal yang merupakan tanda reaksi alergi. Dengan adanya aktivasi
dua jenis sel-sel inflamasi, yang disebut sel mast dan basofil, sel-sel ini
menghasilkan zat inflamasi, seperti histamin, yang menyebabkan cairan
menumpuk di jaringan hidung, hidung terasa gatal-gatal, dan bersin.
8.2 OBJEKTIF
A. KASUS 1 (SINUSITIS)
Pasien diketahui muncul gejala ingus berwarna hijau kekuningan selama 3
hari sebelumnya disertai nyeri pada wajah dan hidung. Pasien juga mengeluh
kehilangan penciuman serta perasa sejak mengalami gejala flu dalam seminggu
terakhir. Tidak ditemukan gejala demam pada pasien. Berdasarkan gejala yang
muncul, sebagai apoteker anda mencurigai tn.mj mengalami sinusitis akut. Apa
factor yang dapat memicu terjadinya sinusitis?
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan sebagai objektif karena merupakan
penjelasan berdasarkan realita atau yang sebenarnya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Faktor faktor yang dapat memicu sinusitis juga
merupakan objektif karena hal fakta yang terjadi. Faktor faktor yang dapat
memicu terjadinya sinusitis antara lain ; infeksi virus, infeksi bakteri, infeksi
jamur, infeksi gigi, kelainan septum hidung sehingga mempersempit saluran
sinus, kebiasaan merokok, serta flu atau pilek dapat memicu sinusitis karena dapat
menyebabkan dinding sinus mengalami inflamasi karena pasien seorang pelukis,
memungkinkan dia sering membau zat kimia dari cat, setelah flu bisa terjadi
infeksi bakteri sekunder dpt menyebabkan inflamasi,infeksi virus, alergi zat zat
kimia, dan polutan
B. KASUS 2 (RHINITIS)
a. Pasien mengalami bersin dan tenggorokan terasa gatal yang merupakan reaksi
alergi terhadap allergen.
b. Suhu tubuh 36.9°C dan masih dalam rentang normal.
c. Tekanan darah dan nadi pasien 150/90 mmHg dan N 90 yang termasuk tinggi,
hal ini dikarenakan pasien mempunyai riwayat hipertensi yang tidak
terkontrol.
d. Pasien mengalami hidung tersumbat karena adanya aliran udara yang
terhambat yang disebabkan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan
rongga ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan efek
vasodilatasi atau sekresi mukus yang berlebih.
8.3 ASSESMENT
A. KASUS 1 (SINUSITIS)
- Antihistamin : digunakan sebelum terpapar alergen(tindakan preventif),
sebelum kontak langsung dengan pemicu alergi yang sekiranya telah diketahui,
dikonsumsi obat ini sebagai pencegahan. Mekanisme kerjanya adalah
mengeblok kerja histamin pada reseptornya. Contoh antihistamin yang dapat
diberikan yaitu loratadine.
- Parasetamol : parasetamol sebagai analgesik digunakan untuk meredakan
nyeri kepala yang diderita pasien. Obat paracetamol termasuk terapi
simtomatik yang berarti boleh digunakan ketika gejala muncul. Parasetamol
tidak memiliki efek antiinflamasi. Parasetamol bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin dalam jaringan tubuh dengan menghambat
2 enzim cyclooksygenase yaitu cyclooksygenase-1 (COX-1)
dan cyclooksygenase-2 (COX-2). Dosis maksimal dari penggunaaan
paracetamol adalah 4 gram perhari.
- Nasal-spray: (semprot hidung) dapat mengurangi inflamasi dan mengurangi
sensitifitas reseptor kolinergik mukosa rongga hidung. Beberapa kortikosteroid
yang tersedia dalam bentuk semprot hidung diantaranya adalah:
beklometason,flutikason,mometason. Pasien tidak perlu diberikan terapi
beclometasone nasal spray karena pasien mengalami sinusitis akut sedangkan
terapi beclometasone nasal spray merupakan obat yang cocok untuk pasien
yang menderita sinusitis kronik.Obat ini dapat mengganggu fungsi mediator
dan respon inflamasi dengan menekan respon imun humoral.
- Antibiotik: Pemberian antibiotik juga perlu, karena sesuai gejala, tampaknya
sinusitis yang dialami pasien terjadi karena adanya infeksi dari bakteri. Namun,
harus diperhatikan bahwa pasien juga mengalami riwayat alergi terhadap
penisilin, oleh karena itu dipilihkan antibiotik yang tidak satu golongan dengan
penisilin. Penisilin termasuk ke dalam golongan beta laktam. Kita dapat
memberikan rekomendasi terapi golongan fluoroquinolon yaitu Levofloxacin
atau Moxifloxacin. Pemilihan obat antibiotik didasarkan pada durasi
pemakaian paling pendek dan yang paling sedikit perhari.
B. KASUS 2 (RHINITIS)
- Phenylpropanolamin (PPA) adalah salah satu obat dalam komposisi
decolgen. Phenylpropanolamin (PPA) memiliki indikasi mengatasi hidung
tersumbat akibat flu, pilek, sinusitis, atau alergi. Mekanisme kerja
Phenylpropanolamin yaitu merangsang pelepasan norepinefrin (NE) dari saraf
simpatis dimana norepinefrin ini kemudian akan terikat pada α-
adrenoreseptor sehingga menghasilkan vasikontriksi pembuluh darah.
Phenylpropanolamin menimbulkan kontriksi pembuluh darah mukosa hidung
dan menimbulkan kontriksi pembuluh darah lain sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah dan dapat menimbulkan stimulasi jantung.
Sehingga pada pasien ini mengeluh dada terasa berdebar. Hal ini
menunjukkan bahwa phenylpropanolamin memiliki efek samping hipertensi,
padahal pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi yang dapat memperparah
keadaan pasien. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa penanganan dengan
menggunakan decolgen tidak sesuai dan harus dihentikan.
- Pasien mengonsumsi captopril sebagai obat hipertensi namun jarang diminum
karena mengalami batuk setelah meeminum captopril. Mekanisme kerja
captopril yaitu menghambat konversi angiotensin I inaktif menjadi
angiotensin yang aktif (vasokonstriktor poten). Captopril memiliki efek
samping yaitu menyebabkan batuk yang terjadi karena peningkatan kadar
bradikinin sehingga mengganggu dan membuat tidak nyaman pasien yang
menyebabkan pasien tidak patuh terhadap aturan pemakaian obat. Hal ini
dapat mengakibatkan kondisi pasien yang memiliki riwayat penyakit
hipertensi tidak terkontrol. Sehingga, penggunaan captopril sebagai
antihipertensi harus dihentikan dan diganti dengan obat antihipertensi tanpa
efek samping seperti batuk sehingga pasien dapat meminum obat secara rutin
dan mencapai efek terapi yang diinginkan.
8.4 PLAN
A. KASUS 1 (SINUSITIS)
MONITORING
Hidung tersumbat, kehilangan penciuman : memantau perkembangan
sinusitis pada pasien
Nyeri kepala : memantau perkembangan sinusitis pada pasien
Pandangan kabur : memantau perkembangan sinusitis pada pasien
KONSELING
Kepada pasien untuk selalu teratur dalam mengonsumsi obat yang telah
diberikan, dimana dalam pengonsumsiannya harus sesuai dengan dosis dan tepat
dalam penggunaannya. Selain itu, pasien diharap untuk selalu menghindari
penyebab alergi yang dapat menyebabkan pasien mengalami kekambuhan.
B. KASUS 2 (RHINITIS)
MONITORING
LEMBAR KONSELING
No. Sasaran Uraian Rekomendasi/Saran
Konseling
1. pasien Obat obat yang dikonsumsi Tidak perlu dikhawatirkan karena ESO tidak
memiliki ESO selalu muncul
Menghindari penyebab penyakit
2. keluarga Demi kesembuhan Selalu mengingatkan pasien dalam hal
sehingga butuh bantuan meminum obat dan menjaga kesehatan serta
orang sekitar lingkungan
4. perawat Obat bermacam macam dan Dilakukan monitoring ketat, dan melalukan
ESO bermacam macam penjelasan terhadap pasien maupun keluarga
8.5 DAFTAR PUSTAKA
Bousquet, J. et al., 2001. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) 2001 Update
(In collaboration with the WHO). In : Journal allergy : vol 108 no.5.Nov
2001
Cody R. 2001. Sinusitis, dalam Andrianto P, editor, Penyakit Telinga Hidung dan
Tenggorokan. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC; 229 – 241
Dwi, Marliyawati. 2016. Pengaruh irigasi hidung terhadap derajat sumbatan hidung pada
perokok. Jurnal kedokteran diponegoro : Volume 5, Nomor 4.
Greiner, N.A., Hellings, P.W., Ratiroti, G., and Scadding, G.K. 2011. Allergic Rhinitis.
Lancet 2011;378:2112-22.
Mangunkusumo E., Soetjipto D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI
Nugraha, BW. 2005 Validitas pemeriksaan Sitologi Eosinofil Mukosa Hidung Metode
Sikatan untuk Diagnosis Rhinitis Alergi. Tesis. Bagian Ilmu Penyakit Telinga,
Hidung, dan Tenggorok. Yogyakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Gajah
Mada
Soepardi, E, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher Edisi 6. Jakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Soetjipto D, Mangunkusumo E. 2002. Sinus Pranasal Dalam:Soepardi EA, Iskandar N
(editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala Leher
Edisi ke-5. Jakarta;Balai Penerbit FK UI.120-4.
Stokes, J.R., Casale, T. 2009. Allergic Rhinitis, Asthma, and Obstructive Sleep Apnea.
Allergy Frontiers. Vol: 3. P. 129-140.