Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

ASMA BRONKIAL

Disusun Oleh:

Chairunnisa Rida Oktafiani I4061212032


Dita Rahma Sumarna I4061211015
Ahmad Wildan Alkamil I4061221023

Pembimbing:
dr. Ari Prabowo, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PULMONOLOGI


RSUD DR. ABDUL AZIZ SINGKAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2022
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit paru inflamasi kronis yang sering diderita oleh
anak-anak, orang dewasa, maupun para lanjut usia. Ditandai dengan adanya mengi
episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas,
termasuk dalam kelompok penyakit saluran napas kronik. Asma mempunyai
tingkat fatalitas yang rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan
dalam masyarakat. World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150
juta penduduk dunia menderita asma.1 Di Indonesia telah dilakukan penelitian
pada anak usia 13-14 tahun menggunakan kuesioner baku ISAAC (International
Study of Asthma and Allergies in Childhood) dan hasil penelitian ini menunjukkan
hasil 5,2%. Penelitian mengenai asma juga telah dilakukan di Padang, dilakukan
pada anak berumur 6-7 tahun didapatkan prevalensi asma pada anak tersebut
adalah 8%. 2
Asma memiliki banyak faktor risiko. Asma alergik disebabkan oleh
kepekaan individu terhadap alergen diantaranya debu, spora jamur, serbuk sari
yang dihirup, bulu halus binatang, serat kain atau yang lebih jarang terhadap
makanan. Faktor non spesifik juga dapat mencetuskan asma diantaranya latihan
fisik, flu biasa dan emosi.3Asma yang saat ini dipandang sebagai penyakit
inflamasi jalan nafas memang tidak bisa lepas dari pengaruh alergen, sifatnya
sangat subyektif, tergantung kepekaan masing-masing penderita asma. Serangan
asma juga disebut eksaserbasi bisa berakibat fatal, bahkan pada orang dengan
asma yang tampaknya ringan. Mereka lebih umum dan lebih parah ketika asma
tidak terkontrol, dan pada beberapa pasien berisiko tinggi. Namun, serangan asma
dapat terjadi bahkan pada orang yang menjalani pengobatan asma, jadi semua
pasien harus memiliki rencana tindakan asma. Penyakit alergi tidak bisa
disembuhkan, satu-satunya cara adalah dengan menghindari paparan terhadap
alergen spesifik, yang sumber terbesarnya adalah dari lingkungan. Apabila tidak
dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta menganggu kualitas
hidup penderita asma. Mengingat terapi farmakologis tidak dirancang untuk

2
menyembuhkan asma, maka perilaku pencegahan terhadap paparan faktor risiko
asma lebih diutamakan dari pengobatan 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit asma berasal dari kata “Ashtma” yang merupakan bahasa yunani
yang memiliki arti “sukar bernapas. Penyakit asma merupakan penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan adanya mengi, batuk,
dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam atau
menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan. 5 Asma merupakan
penyakit heterogen yang ditandai dengan adanya peradangan saluran napas
kronis diikuti dengan gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas dan
batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu dengan intensitas yang berbeda
dan bersamaan dengan keterbatasan aliran udara saat ekspirasi.6
2.2 Epidemiologi
Berdasarkan Global Asthma Report 2018, empat puluh juta kematian, atau
70% dari negara berkembang, Penyakit pernapasan kronis, termasuk asma,
menyebabkan 15% kematian di dunia. Asma penyebab beban penyakit yang
substansial, termasuk kematian dini dan penurunan kualitas hidup, pada
semua kelompok umur di seluruh dunia. Asma berada di peringkat ke-16
dunia di antara penyebab utama tahun hidup dengan disabilitas dan
peringkat ke-28 di antara penyebab utama beban penyakit, yang diukur
dengan Diability Adjusted Life Years (DALY). 7
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya,
meskipun belakangan ini obat-obatan asma telah banyak dikembangkan.
National Health Interview Survey di Ameriksa Serikat memperkirakan
bahwa setidaknya 7,5 juta orang penduduk negeri itu mengidap bronchitis
kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema, dan setidaknya 6,5 juta
orang menderita salah satu bentuk asma. 7

3
Gambar 1. Prevalensi Asma menurut provinsi pada tahun 2018

Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2018 terdapat Sembilan


belas provinsi yang mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka
nasional yaitu DI Yogyakarta, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Tengah, Kep. Bangka Belitung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Gorontalo,
DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Sulawei Selatan, Bengkulu, Kepulauan
Riau, Dan Sulawei Tenggara. Terdapat Lima Belas Provinsi Yang Memiliki
Prevalensi Asma Di Bawah Angka Nasional Yaitu Aceh, Papua Barat, Riau,
Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Maluku, Papua, Jawa
Tengah, Maluku Utara, Jambi, Lampung, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi
Barat, dan Sumatera Utara. 7

Gambar 2. Prevalensi Asma Karakteristik Umur Tahun 2007 dan 2018

4
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui hasi Riskesdas 2007
menunjukkan peningkatan prevalensi asma seiring bertambahnya usia. Akan
tetapi prevalensi 12,4% pada kelompok usia 75+ kemungkinan bukan murni
disebabkan penyakit asma, karena untuk mendiagnosa asma pada orang
lanjut usia sedikit lebih sulit, karena gejala asma yang dialami hamper sama
dengan gejala penyempitan saluran nafas pada PPOK, berupa sesak dan
batuk. Kemudian pada hasil Riskesdas 2018 terlihat hasil yang konsisten
dengan 2007, dimana prevalensi asma semakin meningkat sesuai dengan
penambahan kelompok usia, dimana kelompok usia < 1 tahun memiliki
prevalensi terendah dan kelompok usia 75+ memiliki prevalensi tertinggi. 7

Gambar 3. Jumlah Total Pasien Baru Kunjungan Pasien Asma Rawat Jalan Tahun 2015-
2017

Gambar diatas menginformasikan jumlah kasus baru asma rawat jalan


selama periode tahun 2015-2017, dimana jumlahnya terus meningkat.
Selain itu, total pasien rawat jalan selama tahun 2015-2017 juga
bertambah lebih dari empat kali lipat selama periode waktu tersebut
2.3 Etiologi
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan asma atau hiperreaktivitas
saluran napas dapat mencakup salah satu dari berikut ini: 8-12
1. Alergen lingkungan (misalnya, tungau debu rumah; alergen hewan,
terutama kucing dan anjing; alergen kecoa; dan jamur)
2. Infeksi saluran pernapasan virus
3. Latihan

5
4. Penyakit refluks gastroesofagus
5. Sinusitis kronis atau rinitis
6. Hipersensitivitas aspirin atau obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID),
sensitivitas sulfit
7. Penggunaan penghambat reseptor beta-adrenergik (termasuk persiapan
mata)
8. Obesitas
9. Polusi lingkungan, asap tembakau
10. Paparan pada lingkungan kerja
11. Iritan (misalnya, semprotan rumah tangga, asap cat)
12. Berbagai senyawa dengan berat molekul tinggi dan rendah (misalnya,
serangga, tanaman, lateks, getah, diisosianat, anhidrida, debu kayu, dan
fluks; terkait dengan asma akibat kerja)
13. Faktor emosional atau stres
14. Faktor perinatal (prematuritas dan peningkatan usia ibu; ibu yang
merokok dan paparan asap tembakau sebelum melahirkan; menyusui
belum terbukti secara pasti melindungi)
a. Asma yang diinduksi aspirin
Trias asma, sensitivitas aspirin, dan polip hidung mempengaruhi 5-
10% pasien asma. Kebanyakan pasien mengalami gejala selama dekade
ketiga sampai keempat. Dosis tunggal dapat memicu eksaserbasi asma
akut, disertai dengan rhinorrhea, iritasi konjungtiva, dan pembilasan pada
kepala dan leher. Ini juga dapat terjadi dengan obat antiinflamasi
nonsteroid lainnya dan disebabkan oleh peningkatan eosinofil dan sisteinil
leukotrien setelah terpapar.
Sebuah studi oleh Beasley et al menunjukkan beberapa bukti
epidemiologi bahwa paparan asetaminofen dikaitkan dengan peningkatan
risiko asma. Namun, tidak ada studi klinis yang secara langsung
menghubungkan gejala asma dengan penggunaan asetaminofen.
Pengobatan utama adalah menghindari obat-obatan ini, tetapi
antagonis leukotrien telah menjanjikan dalam pengobatan, memungkinkan
pasien ini untuk mengambil aspirin setiap hari untuk penyakit jantung atau

6
rematik. Desensitisasi aspirin juga telah dilaporkan mengurangi gejala
sinus, memungkinkan pemberian aspirin setiap hari.
b. Penyakit refluks gastroesofagus
Kehadiran asam di kerongkongan distal, dimediasi melalui vagal
atau refleks saraf lainnya, dapat secara signifikan meningkatkan resistensi
saluran napas dan reaktivitas saluran napas. Pasien dengan asma 3 kali
lebih mungkin untuk juga memiliki GERD. Beberapa orang dengan asma
memiliki refluks gastroesofageal yang signifikan tanpa gejala esofagus.
Refluks gastroesofagus ditemukan sebagai faktor penyebab asma yang
pasti (didefinisikan oleh respons asma yang baik terhadap terapi
antirefluks medis) pada 64% pasien; refluks klinis diam hadir di 24% dari
semua pasien.
c. Asma terkait pekerjaan
Faktor pekerjaan berhubungan dengan 10-15% kasus asma dewasa.
Lebih dari 300 agen pekerjaan tertentu telah dikaitkan dengan asma.
Pekerjaan berisiko tinggi termasuk pertanian, pengecatan, pekerjaan
kebersihan, dan manufaktur plastik. Mengingat prevalensi asma terkait
pekerjaan, American College of Chest Physicians (ACCP) mendukung
pertimbangan asma terkait pekerjaan pada semua pasien dengan onset baru
atau asma yang memburuk. Pernyataan konsensus ACCP mendefinisikan
asma yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai termasuk asma
pekerjaan (yaitu, asma yang disebabkan oleh sensitizer atau paparan
pekerjaan yang mengiritasi) dan asma yang diperburuk oleh pekerjaan
(yaitu, asma yang sudah ada sebelumnya atau asma yang bersamaan yang
diperburuk oleh faktor pekerjaan).
Dua jenis asma kerja diakui yaitu terkait kekebalan dan non-
kekebalan. Asma yang dimediasi kekebalan memiliki masa laten berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun setelah terpapar. Asma yang dimediasi non-
imun, atau asma yang diinduksi iritan (sindrom disfungsi saluran napas
reaktif), tidak memiliki periode laten dan dapat terjadi dalam 24 jam
setelah pajanan yang tidak disengaja terhadap iritan pernapasan
konsentrasi tinggi. Perhatikan baik-baik riwayat pekerjaan pasien. Mereka

7
dengan riwayat asma yang melaporkan memburuknya gejala selama
seminggu dan perbaikan selama akhir pekan harus dievaluasi untuk
paparan pekerjaan. Pemantauan aliran puncak selama bekerja (optimal,
setidaknya 4 kali sehari) selama minimal 2 minggu dan periode yang sama
jauh dari pekerjaan adalah salah satu metode yang direkomendasikan
untuk menegakkan diagnosis.
2.4 Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
faktor genetik dan faktor lingkungan: 1
1. Faktor Genetik
Studi keluarga dan analisis asosiasi kontrol kasus telah
mengidentifikasi sejumlah kromosom yang berkaitan dengan
kerentanan asma. Kecenderungan untuk menghasilkan kadar serum IgE
total yang meningkat bersamaan dengan terjadinya hiperresponsif jalan
napas merupakan salah satu contoh penyebab terjadinya asma yang
disebabkan oleh faktor genetik. Kromosom 11, 12 dan 13 yang
berperan dalam perkembangan terjadinya atopi dan asma
a. Hiperaktivitas
b. Atopi atau alergi bronkus
c. Jenis kelamin
d. Ras atau etnik
2. Faktor Lingkungan
a. Alergen di dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, bulu kucing,
alternaria atau jamur, dll.
b. Alergen di luar ruangan yaitu alternaria dan tepung sari pada bunga
c. Makanan seperti bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan,
kacang, makanan laut, susu sapi dan telur
d. Obat-obatan tertentu misalnya golongan aspirin, NSAID, beta
blocker, dll
e. Bahan yang mengiritasi seperti parfum, household spray, dll.
f. Ekspresi emosi berlebih
g. Asap rokok dari perokok aktif dan pasif

8
h. Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
i. Excersise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
j. Perubahan cuaca
2.5 Klasifikasi
Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma
lainnya. Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang
muncul pada waktu kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui
reaksi alergi tipe 1 terhadap alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila
tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Menurut Global
Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu: 6
1. Asma intermitten, ditandai dengan:
a. Gejala kurang dari 1 kali seminggu
b. Eksaserbasi singkat
c. Gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan
d. Bronkodilator diperlukan bila ada serangan
e. Jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid
f. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
g. variabiliti APE atau VEP1 < 20%
2. Asma persisten ringan, ditandai dengan:
a. Gejala asma malam >2x/bulan
b. Eksaserbasi >1x/minggu, tetapi eksaserbasi mempengaruhi aktivitas
dan tidur
c. Membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid
d. APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
e. Variabiliti APE atau VEP1 20-30%
3. Asma persisten sedang, ditandai dengan:
a. Gejala hampir tiap hari
b. Gejala asma malam >1x/minggu
c. Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
d. Membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari
e. APE atau VEP1 60-80%

9
f. Variabiliti APE atau VEP1 >30%
4. Asma persisten berat, ditandai dengan:
a. APE atau VEP1 <60% prediksi
b. Variabiliti APE atau VEP1 >30%

Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma, dibagi menjadi tiga


kategori: 6
1. Asma ringan yaitu asma intermiten dan asma persisten ringan
2. Asma sedang yaitu asma persisten sedang
3. Asma berat yaitu asma persisten berat.

Tabel 1. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Berat Serangan Asma

Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat


kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala
malam, pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya

10
kedalam asma terkontrol sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma
tidak terkontrol. 6

Tabel 2. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kontrol Asma


2.6 Patofisiologi
Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran
napas yang akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan
epitel saluran napas, gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada
otot polos bronkus juga diduga berperan pada proses hipereaktivitas saluran
napas. Peningkatan reaktivitas saluran nafas terjadi karena adanya inflamasi
kronik yang khas dan melibatkan dinding saluran nafas, sehingga aliran
udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali secara spontan atau
setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai respon terhadap
berbagai macam rangsang. 13
Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis
yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang
didominasi oleh IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh
APC (Antigen Presenting Cells), kemudian hasil olahan alergen akan
dikomunikasikan kepada sel Th ( T penolong ) terutama Th2 . Sel T
penolong inilah yang akan memberikan intruksi melalui interleukin atau
sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang lain seperti
mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit
untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin
(PG), leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin,

11
tromboksin (TX), dan lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi
organ sasaran yang dapat menginduksi kontraksi otot polos saluran
pernapasan sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding
vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, hipersekresi mukus,
keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus dan fibrosis sub
epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor lainnya
yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan,
udara dingin, dan stress. 13
Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom
pada jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel
saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena adanya peregangan nervus
vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel mast dan makrofag
akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti pada
hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf
memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung
saraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related
Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya
bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan
aktivasi sel-sel inflamasi. 13

12
Gambar 4. Patofisiologi Asma

2.7 Manifestasi Klinis


Asma ditandai dengan peradangan pada saluran bronkial dengan
peningkatan produksi sekresi. Orang dengan asma mengalami gejala ketika
saluran udara mengencang, meradang, atau dipenuhi lendir. Gejala asma
yang umum termasuk: 14
a. Batuk , terutama di malam hari
b. Mengi
c. Sesak napas
d. Dada sesak, nyeri, atau tertekan
Namun, tidak setiap orang dengan asma memiliki gejala yang sama
dengan cara yang sama. Gejala asma Anda juga dapat bervariasi dari satu
serangan asma ke serangan berikutnya, menjadi ringan selama satu serangan
dan parah selama yang lain. Beberapa orang dengan asma mungkin pergi
untuk waktu yang lama tanpa gejala apapun, terganggu oleh gejala yang
memburuk secara berkala yang disebut serangan asma . Orang lain mungkin
memiliki gejala asma setiap hari. Selain itu, beberapa orang mungkin hanya

13
menderita asma saat berolahraga , atau asma dengan infeksi virus seperti
pilek. 14
Serangan asma ringan umumnya lebih sering terjadi. Biasanya, saluran
udara terbuka dalam beberapa menit hingga beberapa jam. Serangan parah
kurang umum tetapi berlangsung lebih lama dan membutuhkan bantuan
medis segera. Penting untuk mengenali dan mengobati bahkan gejala asma
ringan untuk membantu Anda mencegah episode parah dan menjaga asma
di bawah kontrol yang lebih baik. 14
2.8 Diagnosis
1. Anamnesis 15
Berikut adalah gejala khas asma:
a) Lebih dari satu gejala (mengi, sesak napas, batuk, sesak dada/dada
terasa sempit), terutama pada orang dewasa.
b) Gejala sering lebih buruk pada malam hari atau di pagi hari.
c) Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan dengan intensitas yang
sering.
d) Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca, tertawa, atau iritasi seperti knalpot asap mobil, asap
rokok atau bau yang kuat. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk
menilai beratnya keterbatasan aliran udara dan reversibilitas yang
dapat membantu diagnosis. Menguji status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten
tetapi fungsi paru normal, pengukuran respons terhadap bronkodilator
dapat membantu diagnosis. Berdasarkan pemeriksaan anamnesis
pasien yg baik dan mencukupi dapat membantu dalam pendiagnosaan
asma dengan tepat. Anamnesis tersebut meliputi hal-hal seperti
dibawah ini.
Riwayat penyakit atau gejala
a) Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
b) Gejala berupa batuk, terkadang berdahak, sesak napas, rasa berat di
dada.
c) Gejala timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari.

14
d) Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu.
e) Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit:
a) Riwayat keluarga
b) Riwayat alergi
c) Penyakit lain yang memberatkan
d) Perkembangan penyakit dan pengobatan
2. Pemeriksaan Fisik 15
Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis secara
rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas,
dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi. Wheezing
boleh jadi tidak ada atau hanya terdeteksi ketika ia mengeluarkan napas
secara paksa, walaupun hal ini bukan berarti tidak menunjukkan adanya
hambatan saluran napas.
3. Pemeriksaan Penunjang 15
1. Spirometri
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis
juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Hal utama
yang penting untuk dinilai adalah pengukuran forced expiratory
volume untuk 1 detik (FEV1) dan forced vital capacity (FVC). Pada
pemeriksaan spirometri akan ditemui hasil VEP1/KVP <75%, dengan
pemberian bronkodilator meningkat > 12% dan 200 mL.
2. Arus puncak ekspirasi atau peak expiratory flow (PEF)
Peak flow meter (PFM) merupakan alat pengukur faal paru yang
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang
berasal dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal,
dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif
(spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometri lebih diutamakan dibanding
PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV1 untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran
napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik,

15
APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1. Pada pemeriksaan APE akan
ditemukan hasil menurun, dan meningkat 20% dengan pemberian
bronkodilator
2.9 Tata Laksana
Pentatalaksanaan yang paling efektif pada penyakit asma adalah dengan
mencegah atau mengurangi inflamasi kronik dan menghilangkan faktor
penyebab. Untuk mencapai asma terkontrol diperlukan penanganan dengan
beberapa tahapan mengingat asma merupakan penyakit kronis yang
bersifat dinamis, sangat bervariasi dan individual. Tujuan pengobatan
jangka panjang dari asma adalah untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma yang terkontrol. Obat-obat asma digolongkan atas dua
golongan yaitu: obat-obat pelega napas (reliever) dan obat-obat pengontrol
asma (controller). Obat-obat reliever umumnya adalah bronkodilator
diberikan pada penderita untuk mengatasi serangan asma. Obat-obat
controller terdiri dari obat antiinflamasi bronkodilator kerja lama serta anti
alergi. 15
1. Pengontrol (controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol:
kortikosteroid inhalasi, kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat,
nedokromil sodium, metilsantin, agonis beta-2 kerja lama, inhalasi,
leukotrien modifiers, antihistamin generasi kedua (antagonis-H1),
lain-lain. Pasien yang telah 258 mendapatkan obat pengontrol harus
dipertimbangkan peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke depan.
2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif

16
jalan napas. Termasuk pelega adalah: agonis beta 2 kerja singkat,
kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat
pelega bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi
hasil belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan
bronkodilator lain), antikolinergik, aminofilin, adrenalin.
3. Add-on Terapi untuk Pasien dengan Asma Berat.
Pengobatan ini dapat dipertimbangkan ketika pasien memiliki
gejala persisten dan / atau eksaserbasi meskipun pengobatan
dioptimalkan dengan obat pengontrol dosis tinggi (biasanya ICS dosis
tinggi dan LABA) dan pengobatan faktor risiko yang dimodifikasi.
2.10 Edukasi dan Pencegahan
Edukasi pada pasien astma sebaiknya tidak dilakukan hanya sekali saja,
melainkan proses yang berkelanjutan dan berulang. Poin-poin yang harus
ditekankan dalam edukasi pada pasien asthma antara lain: 16
a. Penyakit asma yang bersifat kronis dan dapat kambuh
b. Cara penggunaan obat-obat inhalasi
c. Kebutuhan penggunaan obat-obatan jangka panjang
d. Perbedaan antara obat controllers dan relievers
e. Melanjutkan penggunaan obat-obatan walau tidak ada gejala
f. Menghindari faktor pemicu serangan asthma antara lain asap rokok,
infeksi, dan alergen
Pencegahan asma pada anak dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:
1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitasi pada bayi
dengan risiko asma (orangtua asma) dengan cara
a. Menghindari asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan
masa perkembangan bayi atau anak
b. Diet hipoalergenik ibu hamil dengan syarat diet tersebut tidak
menganggu asupan janin
c. Pemberian ASI hingga usia 6 bulan
d. Diet hipoalergenik ibu menyusui

17
2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak
yang telah tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok,
seta alergen dalam ruangan terutama tungau debu rumah
3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada
anak yang telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi
2.11 Komplikasi
Komplikasi akut asma bila tidak ditangani adalah asidosis respiratorik
yang dapat mengancam terjadinya gagal napas. Komplikasi lainnya yang
sangat jarang namun dilaporkan pernah terjadi adalah pneumotoraks dan
emfisema subkutan pada asma berat. Komplikasi psikologis dapat terjadi
apabila sesak napas pada asma menyebabkan serangan panik dan kecemasan
yang dapat memperburuk eksaserbasi asma. Komplikasi lainnya secara tidak
langsung adalah komplikasi akibat penggunaan kortikosteroid sistemik
jangka panjang antara lain gangguan sistem kardiovaskular, gangguan
sistem pencernaan dan skeletal, misalnya penurunan massa tulang. 17
2.12 Prognosis
Prognosis asma umumnya baik apabila terkontrol. Pasien anak dengan
asma yang masuk rumah sakit empat kali atau lebih dalam tahun pertama
sejak didiagnosis asma cenderung mengalami asthma persisten. Kematian
akibat asma meningkat pada anak usia pra sekolah (5 tahun ke bawah). 18
Pasien anak dengan asthma cenderung mengalami remisi pada masa remaja
akhir. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pada usia 19
tahun, remisi ditemukan pada 21% pasien, asthma periodik pada 38%, dan
41 % lainnya mengalami asma persisten. Anak laki-laki lebih tinggi tingkat
remisinya dibandingkan dengan anak perempuan.
Pasien dewasa yang hanya memiliki asma memiliki prognosis yang baik
dan tidak mengalami penurunan kapasitas paru yang signifikan. Penurunan
fungsi paru yang lebih signifikan ditemui pada pasien asma dewasa yang
tumpang tindih mengalami PPOK. Kematian yang berhubungan dengan
asma pada pasien dewasa jarang ditemui. Namun meningkat pada pasien
asma yang juga mengalami PPOK. 19
2.13 Asma Eksaserbasi

18
Asma eksaserbasi adalah episode yang ditandai dengan peningkatan
progresif gejala sesak napas, batuk, mengi atau sesak dada dan penurunan
fungsi paru secara progresif. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien dengan
diagnosis asma yang sudah ada sebelumnya atau, kadang-kadang, sebagai
gejala asma yang pertama. Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai respon
terhadap paparan agen eksternal dan/atau kepatuhan yang buruk terhadap
obat pengontrol. 6
Eksaserbasi asma disertai dengan batuk, mengi, dan dada sakit, atau
beberapa kombinasi gejala-gejala tersebut. Denyut nadi, laju pernapasan,
penilaian subjektif dari gangguan pernapasan, penggunaan otot aksesori,
dan auskultasi lapangan paru merupakan faktor kunci untuk menilai selama
pemeriksaan fisik. Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus napas
yang dapat diukur secara obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan
indikator yang lebih dapat dipercaya dibanding gejala. Eksaserbasi asma
dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor seperti
tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor
seperti polen, jamur, infeksi virus, polutan dan obat. 20
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya
perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru,
ditandai dengan penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan
forced expiratory volume in 1 second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi
pengukuran kedua parameter tersebut akan memberikan petunjuk yang lebih
baik mengenai beratnya eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis saja.
Namun demikian adanya peningkatan frekuensi gejala asma merupakan
parameter yang lebih sensitif untuk menentukan onset eksaserbasi
dibandingkan dengan pengukuran PEF. Sebagian kecil pasien mengalami
penurunan fungsi paru yang signifikan tanpa adanya perubahan dari gejala
asmanya. Keadaan ini umumnya dialami oleh pasien dengan riwayat
serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan umumnya dialami oleh
kaum pria. Asma eksaserbasi akut berpotensi menyebabkan kegawatan dan
dalam tatalaksananya memerlukan pengkajian yang cermat dan pengawasan
yang ketat. Pasien dengan eksaserbasi asma yang berat disarankan untuk

19
segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan
pengobatan yang adekuat.6
Berdasarkan pedoman manajemen eksaserbasi asma di fasilitas layanan
kesehatan primer oleh GINA, dalam penatalaksanaan pasien yang datang
dengan eksaserbasi akut atau sub-akut, diperlukan penilaian meliputi
diagnosis asma, faktor ancaman kematian karena asma, dan beratnya
eksaserbasi. Pada pasien dengan eksaserbasi ringan-sedang tatalaksana
dimulai dengan pemberian SABA dengan mempertimbangkan pemberian
short-acting anticholinergic (SAMA) dapat diulang setiap 20 menit untuk 1
jam. Pada orang dewasa diberikan Prednisolone 40-50 mg per oral. Bila
tersedia, berikan oksigen dengan target saturasi 93-95%. Selanjutnya
pengobatan dievaluasi 1 jam kemudian. Bila gejala membaik dan tidak
memerlukan SABA, terjadi perbaikan PEF >60-80% predicted, SpO2 >94%
dengan udara ruangan, maka pasien boleh dipulangkan. 6

20
21
Gambar 5. Tatalaksana Asma Eksaserbasi di Faskes Tingkat Pertama

Pantau pasien dengan cermat dan sering selama pengobatan, dan titrasi
pengobatan sesuai dengan respons. Transfer ke perawatan tingkat yang lebih
tinggi jika memburuk atau gagal untuk merespon. Tentukan kebutuhan rawat inap
berdasarkan status klinis, gejala dan fungsi paru, respons terhadap pengobatan,
riwayat eksaserbasi dan baru-baru ini. Sebelum pulang, atur perawatan
berkelanjutan. Untuk sebagian besar pasien, resepkan terapi pengontrol reguler
(atau tingkatkan dosis saat ini) untuk mengurangi risiko eksaserbasi lebih lanjut.
Eksaserbasi sering merupakan kegagalan dalam perawatan asma kronis, dan
mereka memberikan kesempatan untuk meninjau manajemen asma pasien. Semua
pasien harus ditindaklanjuti secara teratur oleh penyedia layanan kesehatan
sampai gejala dan fungsi paru-paru kembali normal. 6

22
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang


ditandai dengan adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan
timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran
pernapasan. Beberapa penyebab terjadinya asama adalah alergen lingkungan
(tungau debu rumah; alergen hewan), ISPA, hipersensitivitas aspirin atau obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), paparan pada lingkungan kerja (debu,
pestisida) dan faktor emosional. Eksaserbasi asma bisa berakibat fatal, bahkan
pada orang dengan asma yang tampaknya ringan. Mereka lebih umum dan lebih
parah ketika asma tidak terkontrol. Asma tidak bisa disembuhkan, namun
manifestasi klinis dari asma bisa dikendalikan. Mengingat terapi farmakologis
tidak dirancang untuk menyembuhkan asma, maka edukasi dan perilaku
pencegahan terhadap paparan faktor risiko asma lebih diutamakan dari
pengobatan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojodibroto R, Darmanto. Respirologi (respirologi medicine). Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.
2. Afdal, Finny F, Darfioes B, Rizanda M. Faktor risiko asma pada murid
sekolah dasar usia 6-7 tahun di kota Padang berdasarkan kuisioner
international study of asthma and allergies in childhood yang dimodifikasi.
2009.
3. Sylvia A, Lorraine M. Asma bronkial. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi ke-6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. hlm.177-8. 2011.
4. Arruda, L.. Environmental Control in Asthma – to Recommend or Not
Recommend : That is The Question. 2006. Diakses pada 21 Agustus 2022.
Tersedia pada http:// www.scielo.br.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Infodatin Asma. Kemenkes
RI: Jakarta. 2016.
6. Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. 2018. Diakses pada 20 Agustus 2018.
Tersedia pada www.ginasthma.org.
7. Laporan Nasional Riskesdas 2018, Lembaga Penerbit Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta : 2019
8. Brooks C, Pearce N, Douwes J. Hipotesis kebersihan pada alergi dan
asma: pembaruan. Curr Opin Alergi Clin Immunol . (1):70-7. 2013
9. Beasley RW, Clayton TO, Crane J, Lai CK, Montefort SR, Mutius E, dkk.
Penggunaan asetaminofen dan risiko asma, rinokonjungtivitis, dan eksim
pada remaja: studi internasional asma dan alergi pada masa kanak-kanak
fase tiga. Am J Respir Crit Care Med. 183(2):171-8. 2011
10. Comert S, Karakaya G. Kalyoncu AF. Pengobatan desensitisasi aspirin
untuk pengelolaan penyakit pernapasan yang diperparah aspirin. J
Respirasi Res. 2:24-7. 2016.

24
11. Harding SM, Guzzo MR, Richter JE. Prevalensi gastroesophageal reflux
pada pasien asma tanpa gejala refluks. Am J Respir Crit Care Med 162
(1):34-9. 2010.  
12. Tarlo SM, Balmes J, Balkissoon R, Beach J, Beckett W, Bernstein D, dkk.
Diagnosis dan manajemen asma terkait pekerjaan: Pernyataan Konsensus
American College Of Chest Physicians. Dada . 134(3 Suppl)::1S-41S.
2012.
13. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,
Siregar sp, et al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In Shaikh
WA. Editor. Principles and practice of tropical allergy and asthma.
Mumbai: Vikash Medical Publishers.707-36. 2010.
14. Cleveland Clinic. Asthma. Diakses pada 21 Agustus 2022 tersedia pada:
https://my.clevelandclinic.org/health/diseases/6424-asthma#symptoms-
and-causes
15. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Buku Ajar Respirasi.
Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2017.
16. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen K-H, Custovic A, Gern J,
Lemanske R, et al. International consensus on (ICON) pediatric asthma.
Allergy. 67(8):976–97. 2012.
17. Andersson M, Hedman L, Bjerg A, Forsberg B, Lundbäck B, Rönmark E.
Remission and Persistence of Asthma Followed From 7 to 19 Years of
Age. Pediatrics. 1;132(2): 2013.
18. Fu J, Gibson PG, Simpson JL, McDonald VM. Longitudinal Changes in
Clinical Outcomes in Older Patients with Asthma, COPD and Asthma-
COPD Overlap Syndrome. Respiration.87(1):63–74. 2014.
19. State of Region Health. Asthma Risk Factors and Triggers. Canada : The
Regional Municipality of Peel, hlm. 9. 2011.
20. Nuari A, Soleha TU, Maulana M. Penatalaksanaan Asma Bronkial
Eksaserbasi pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan Pendekatan
Kedokteran Keluarga di Kecamatan Gedong Tataan. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Majority; Volume 7 No. 3: Desember 2018.

25

Anda mungkin juga menyukai