Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM GRADE IV ODS

DISUSUN OLEH:
Renita Mandalinta Sitepu
I4061202013

PEMBIMBING:
dr. Muhammad Asroruddin, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEDARSO
PONTIANAK
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul:

PTERIGIUM GRADE IV ODS

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kegiatan


Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Kesehatan Mata RSUD dr. Soedarso Pontianak

Telah disetujui, Pontianak, 26 Agustus 2022


Pembimbing, Penyusun,

dr. Muhammad Asroruddin, Sp. M Renita Mandalinta Sitepu

2
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan sebutan untuk kelainan klinis berupa jaringan fibrovaskular


berbentuk segitiga pada limbus kornea. Asal kata pterigium adalah dari bahasa Yunani yaitu
pterygos yang artinya “sayap”, sesuai dengan gambaran pterigium yang berbentuk atau
menyerupai sayap. Patofisiologi terjadinya pterigium belum dapat disimpulkan dengan jelas.
Walaupun demikian, berbagai penelitian mendapatkan adanya proses degenerasi dan proliferasi
pada pterigium, serta faktor kerusakan jaringan akibat pajanan kronik terhadap sinar matahari. 1
Angka kejadian pterigium bervariasi diberbagai tempat di dunia. Menurut Cameron,
adanya faktor risiko pajanan terhadap sinar matahari dan dibuktikan dengan kejadian pterigium
lebih banyak ditemukan di daerah beriklim panas, kering dan berdebu. “Pterygium belt”
merupakan istilah yang menggambarkan daerah-daerah pada letak latitudinal di sekitar
khatulistiwa yang merupakan daerah dengan angka pterigium yang lebih tinggi. Prevalensi
pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di daerah dataran rendah. 2 Indonesia adalah
salah satu negara dengan kasus pterigium cukup banyak. Hasil Riskesdas tahun 2015 prevalensi
pterigium di Indonesia 8,3% dengan jumlah tertinggi di provinsi Bali.1 Peningkatan kejadian
pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara 30° lintang Utara dan Selatan.
Pterigium lebih sering ditemukan di daerah panas dengan iklim kering; prevalensinya dapat
mencapai 22% di daerah ekuator.2
Faktor risiko pterigium adalah genetik, pajanan sinar matahari, pajanan sinar UV, dan
usia dewasa.3 Pada tingkat lanjut, pterigium berpotensi menimbulkan kebutaan dan
membutuhkan operasi kompleks untuk rehabilitasi visual secara penuh. 1,4 Perawatan utama
untuk pterigium adalah eksisi dengan pembedahan, yang harus dipertimbangkan jika ketajaman
penglihatan berkurang karena keterlibatan sumbu visual, astigmatisme yang diinduksi, atau
sering terjadi peradangan dan ketidaknyamanan. Teknik pembedahan meliputi eksisi bare
sclera, Teknik Conjunctival Autograft, Teknik Amniotic membrane, dan teknik Conjunctival
transpositional flap. Operasi pterigium berkaitan dengan kekambuhan pasca operasi (yang
tingkatnya dapat mencapai 89% dan tingkat keparahannya dapat bervariasi sesuai dengan
pendekatan yang diadopsi dan kondisi sebelum operasi) karena pertumbuhan fibrovaskular
dapat terjadi juga dengan perluasan yang lebih besar daripada presentasi utamanya. 5

3
BAB II
PENYAJIAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 75 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Sungai Ambawang
Pekerjaan : Pensiunan Petani
Tanggal Periksa : 22 Agustus 2022

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Penglihatan buram seperti ada yang menghalangi pada kedua mata.
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poliklinik Mata RS Universitas Tanjungpura dengan keluhan
penglihatan buram dengan rasa mengganjal, terasa gelap dan seperti ada yang
menghalangi sejak 4 tahun terakhir. Pasien juga mengeluhkan kedua mata sering merah
dan berair yang terjadi hilang timbul serta merasa kedua mata terasa berbayang. Pasien
mengaku pernah mengalami trauma pada mata yaitu terkena cuka karet saat bekerja
sekitar 10 tahun yang lalu. Keluhan nyeri pada mata dan mata gatal disangkal. Pasien juga
menyangkal adanya riwayat trauma lainnya pada area mata maupun kepala, kelemahan
pada anggota gerak, nyeri kepala, mual, muntah, dan kejang.
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat Hipertensi terkontrol. Pasien rutin memeriksa tekanan darah dan
meminum obat antihipertensi. Riwayat penyakit DM (-), dyslipidemia (-), alergi obat (-)
disangkal.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa
2.2.5 Riwayat Pengobatan
Pasien menggunakan tetes mata Cendo Xitrol sebanyak 1 tetes selama sehari dan
digunakan saat penglihatan sangat kabur. Pasien mengaku mendapatkan obat tetes mata

4
di apotek dan sudah menggunakan tetes mata ini selama 3 bulan terakhir. Pasien juga
mengkonsumsi obat antihipertensi yaitu Amlodipin 1 x 5 mg.
2.2.6 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan pensiunan petani karet dan istri pasien juga sudah pensiun. Pasien
tinggal bersama istri dan kedua cucunya. Pasien menggunakan BPJS untuk biaya
pengobatan di rumah sakit.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan pada 22 Agustus 2022.
2.3.1 Tanda Tanda Vital
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 164/88 mmHg
Frekuensi nadi : 63 x/menit
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu : 36,6℃
Berat badan : 58 kg
Tinggi badan : 160 cm
2.3.2 Status Generalis
Kepala : Normocephal
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Tenggorokan : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Toraks : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : Dalam batas normal
2.3.3 Status Oftalmologis
a. Tajam penglihatan

OD OS
½ / 60 Visus 6/30
- Koreksi -

5
b. Pergerakan bola mata
OD: baik ke semua arah, tanpa hambatan
OS: baik ke semua arah, tanpa hambatan

c. Tekanan intraocular (palpasi)


OD: N (kesan normal)
OS: N (kesan normal)
d. Tes lapang pandang
OD: dalam batas normal
OS: dalam batas normal
e. Pemeriksaan segmen anterior

OD OS
Orthotropia Posisi Bola Mata Orthotropia
Ptosis (-), lagoftalmus (- Ptosis (-), lagoftalmus (-
), edema (-), eritema (-), ), edema (-), eritema (-),
nyeri tekan (-), ektropion Palpebra inferior dan nyeri tekan (-), ektropion
(-), entropion (-), superior (-), entropion (-),
trikiasis (-), madarosis (- trikiasis (-), madarosis (-
) )

Hiperemis (-), folikel (-), Hiperemis (-), folikel (-),


papil (-), sikatriks (-), papil (-), sikatriks (-),
anemis (-), kemosis (-) Konjungtiva palpebra anemis (-), kemosis (-)

Sekret (-), injeksi Sekret (-), injeksi


konjungtiva (-), injeksi konjungtiva (-), injeksi
siliar (-), penebalan siliar (-), penebalan
epitel konjungtiva (+), epitel konjungtiva (+),
nodul (-), perdarahan Konjungtiva bulbi nodul (-), perdarahan
subkonjungtiva (-), subkonjungtiva (-),
jaringan fibrovascular jaringan fibrovascular
dari arah nasal mencapai dari arah nasal mencapai
pupil (+) pupil (+)

6
Warna putih, ikterik, Warna putih, ikterik,
nyeri tekan (-) Sklera nyeri tekan (-)
Jernih, edema (-), Jernih, edema (-),
infiltrat (-), ulkus (-), Kornea infiltrat (-), ulkus (-),
arkus senilis arkus senilis
(-) (-)
Dalam Bilik Mata Depan Dalam
Warna iris cokelat Warna iris cokelat
dan intak Iris dan intak
Bentuk bulat, ukuran 3 Bentuk bulat, ukuran 3
mm, isokor, refleks mm, isokor, refleks
cahaya Pupil cahaya
langsung (+), refleks langsung (+), refleks
cahaya tak langsung cahaya tak langsung
(+), RAPD (-) (+), RAPD (-)
Jernih Lensa Jernih
(+) Refleks Fundus (+)

Gambar 2.1 Mata kanan pasien Gambar 2.2 Mata kiri pasien

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Pemeriksaan Hematologi Rutin
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
WBC 7.05 109/L 3,50-9,50
Segmen N% 58.3 % 40,0-75,0
Limfosit% 33.8 % 20,0-50,0
Monosit% 3.9 % 3,0-10,0
Eosinofil% 3.1 % 0,4-8,0
Basofil% 0.9 % 0,0-0,1
Segmen N# 4.12 109/L 1,80-6,30
Limfosit# 2.38 109/L 1,10-3,20

7
Monosit# 0.27 109/L 0,10-0,60
Eosinofil# 0.22 109/L 0,02-0,52
Basofil# 0.06 109/L 0,00-0,06
AL# 0.01 109/L 0,00-0,20
AL% 0.1 % 0,0-2,0
IG# 0.01 109/L 0,00-0,20
IG% 0.1 % 0,0-2,5
RBC 4.73 1012/L 3,80-5,80
HGB 14.0 g/dL 11,5-17,5
HCT 40.8 % 35,0-50,0
MCV 86.3 fL 82,0-100,0
MCH 29.6 Pg 27,0-34,0
MCHC 343 g/L 316-354
RDW-CV 13.7 % 11,0-16,0
RDW-SD 48.7 fL 35,0-56,0
PLT 232 109/L 125-350
MPW 9.6 fL 6,5-12,0
PDW 11.7 fL 9,0-17,0
PCT 0.223 % 0,108-0,282
P-LCR 34.2 % 11,0-45,0
P-LCC 79 109/L 30-90

2.4.2 Pemeriksaan Kimia Klinik


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Glukosa Darah Sewaktu 150 mg/dl 75-150
Glukosa Darah 2 Jam PP 103 mg/dl 75-150
Cholesterol Total 215 mg/dl <200
HDL-Cholesterol 54.2 mg/dl >55
LDL-Cholesterol 143.2 mg/dl <150
Trigliserida 88.1 mg/dl <200
Ureum 28.8 md/dl 10-50
Kreatinin 1.14 mg/dl L: 0,7-1,3; P:0,5-1,1

8
Asam Urat 6.38 mg/dl L: 3.4-7.0; P: 2.4-5.7
SGOT 20.9 U/L L: <38; P: <32
SGPT 13.5 U/L L: <41; P: <31

2.4.3 Pemeriksaan Serologi


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
HbsAg (CHR) Non reaktif Non reaktif
Anti HIV (CHR) Non reaktif Non reaktif

2.5 Resume
Pasien Tn. S, usia 75 tahun dengan keluhan penglihatan buram, terasa gelap dan seperti
ada yang menghalangi sejak 4 tahun terakhir. Pasien juga mengeluhkan kedua mata sering
merah dan berair yang terjadi hilang timbul serta merasa kedua mata ada yang mengganjal
dan berbayang. Keluhan dirasakan sejak 4 tahun yang lalu. Keluhan lain disangkal pasien.
Pada pemeriksaan didapatkan tajam penglihatan OD ½ / 60 dan OS 6/30. Pemeriksaan
segmen anterior didapat penebalan epitel konjungtiva dan terdapat jaringan fibrovascular
dari arah nasal yang sudah mencapai pupil pada kedua mata.

2.6 Diagnosis Kerja


Pterigium grade IV ODS
Hipertensi grade II

2.7 Diagnosis Banding


Pseudopterigium ODS
Pinguecula ODS

2.8 Tatalaksana
Pro eksisi pterigium dan conjungtival graft ODS

9
2.9 Prognosis
OD
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : bonam
OS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : bonam

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kata pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pterygos, yang berarti sayap.
Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler nonmaligna konjungtiva yang biasanya
mencapai kornea berbentuk segitiga, terdiri dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi
fibrotik yang dominan.3

3.2 Epidemiologi
Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di daerah dataran
rendah. Di Indonesia, prevalensi pterigium adalah sebesar 10% pada tahun 2002.5
Peningkatan kejadian pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona khatulistiwa antara
30° lintang Utara dan Selatan. Pterigium lebih sering ditemukan di daerah panas dengan
iklim kering; prevalensinya dapat mencapai 22% di daerah ekuator.2 Prevalensi di Riau,
Indonesia, dilaporkan mencapai 17%.6
Prevalensi pterigium adalah 12% dari total populasi. Tingkat prevalensi terendah
dan tertinggi, masing-masing, 3% pada kelompok usia 10-20 tahun dan 19,5% pada
mereka yang berusia di atas 80 tahun. Prevalensi pterigium di Indonesia didapatkan 8,3%.
orang yang bekerja diluar ruangan akan meningkatkan resiko terkena pterigium sebesar
1,46% dibandingkan pada pekerja di dalam ruangan.7 Prevalensi pterigium dilaporkan 3%
di Australia, 23% pada orang kulit hitam di Amerika Serikat, 15 % di Tibet di Cina, 18%
di Mongolia di Cina, 30% di Jepang dan 7% di Singapura Cina dan India. 8
Beberapa faktor risiko pterigium yang dilaporkan adalah usia, jenis kelamin laki-
laki, pengalaman pekerjaan di luar ruangan, pendidikan rendah, tempat tinggal pedesaan,
pendapatan rendah, warna kulit lebih gelap, dan merokok. Dalam sebuah penelitian di
Amerika Utara, prevalensi pterigium dilaporkan 2,5-3 kali lebih tinggi pada populasi kulit
hitam dibandingkan dengan kulit putih. Meskipun penyebarannya di seluruh dunia,
pterigium adalah yang paling umum di garis lintang geografis 40° di sekitar khatulistiwa.
Tingkat prevalensi pterigium di daerah ini dilaporkan lebih dari 10 kali lebih tinggi
daripada di luarnya, yang sangat mendukung peran iradiasi ultraviolet (UV) dalam
patogenesis pterigium.9

11
3.3 Patogenesis
Mekanisme patologi pterigium belum diketahui telah terdapat banyak teori
patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth factor-
sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan sinar UV mengungkapkan
pajanan terutama terhadap sinar UV-B menyebabkan perubahan sel di dekat limbus,
proliferasi jaringan akibat pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan
signifikan produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori
menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53,
sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus. 6
Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi mengungkapkan bahwa
pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang merangsang keluarnya berbagai growth
factor dan sitokin, seperti FGF (Fibroblast Growth Factor), PDGF (Platelet derived
Growth Factor), TGF-β (Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis
Factor-α) serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan
proliferasi sel, remodelling matriks ektra-sel dan angiogenesis.6
Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,
angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-inflamasi,
sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell yang juga akan
memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor
akan mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan
epitel yang akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi
ataupun karena air mata yang kurang baik.4

12
3.4 Faktor Resiko
Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar ultraviolet,
pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata. Pajanan sinar
ultraviolet disebut paling penting namun patofisiologinya belum jelas, diduga terjadi
kerusakan DNA, RNA, dan matriks ekstraseluler. Sinar ultraviolet dari radikal bebas
memicu kerusakan pada DNA, RNA, dan matriks ekstrasel. Ultraviolet-B memacu
ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan di sel epitelial pterigial. Kekeringan pada mata
ditemukan pada sebagian besar pasien pterigium namun patofosiologinya belum jelas.
Polimorfisme pada DNA perbaikan gen Ku 70 telah dikaitkan dengan kecenderungan
genetik pterigium.2

3.5 Manifestasi Klinis


Penderita pterigium biasanya datang dengan keluhan mata merah berulang, yang
disertai rasa iritasi pada permukaan mata seperti rasa mengganjal berpasir, dan perih.
Penglihatan biasanya tidak menurun, kecuali pada pterigium yang sudah menutupi
sebagian besar pupil. Pada pemeriksaan oftalmologik dapat ditemukan jaringan berwarna
merah muda berbentuk segitiga yang tumbuh dengan dasar di limbus serta puncak
segitiga di kornea. Iritasi kronik menimbulkan tanda klinis berupa garis berwarna
kecoklatan, yang merupakan deposit zat besi yang sering ditemukan di apeks pterigium
yang dikenal sebagai Stocker's line. Jaringan pterigium sering ditemukan di daerah fisura
interpalpebral terutama di bagian nasal. Hal ini diduga berkaitan dengan tingginya
persentase pajanan sinar matahari pada bagian tersebut. 1

3.6 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera, yaitu:
Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas tiga 10 :
1. Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada
tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat
dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat
mengalami keluhan lebih cepat.

13
2. Tipe II
Pterigium tipe II disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler
yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah
operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
3. Tipe III
Pterigium tipe II disebut juga pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona
optic. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optic
membedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea >4mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.

Berdasarkan stadium pterigium dibagi menjadi 4 derajat yaitu:


1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
2. Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea.
3. Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi pinggiran
pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).
4. Derajat IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.

Gambar 3.1 Stadium Pterigium

14
3.7 Diagnosis
Diagnosis pterigium ditegakkan secara klinis, sering bersifat asimptomatik. Jika
ditemukan gejala, yang dijumpai antara lain mata kering, berair, gatal, mata merah hingga
penglihatan terganggu. Pada slitlamp, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskuler di
permukaan konjungtiva, paling sering di konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea
nasal, dapat pula ditemukan di daerah temporal. Pterigium harus dibedakan dari
pseudopterigium dan pinguekula. Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar
yang melekat pada kornea; terbentuk karena adhesi konjungtiva bulbar dengan ulkus
kornea marginal, biasanya akibat trauma kimia pada mata. Pinguekula merupakan lesi
kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di daerah nasal atau temporal limbus. 4

3.8 Tatalaksana
Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar
ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah pajanan sinar
ultraviolet. Manajemen medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat tetes mata artifisial
atau steroid jika disertai inflamasi mata. Medikamentosa tidak akan mengurangi ataupun
memperparah pterigium, hanya mengurangi keluhan. 11
Tantangan utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi rekurensi yang
sering terjadi, berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea. Indikasi
terapi pembedahan antara lain: tajam penglihatan berkurang akibat astigmatisma,
ancaman aksis visual terganggu, gejala iritasi berat, dan indikasi kosmetik. 11
Teknik eksisi antara lain:
1. Bare sclera: ialah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan pterigium serta
membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-epitelisasi. Kerugian
teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi yang dapat mencapai 24-89%.12
2. Conjunctival autograft technique: angka rekurensi 2% hingga paling tinggi 40%.
Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian
superotemporal, dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau
difiksasi dengan bahan perekat jaringan. Faktor yang penting untuk keberhasilan operasi
pterigium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat ukuran untuk menutupi
defek konjungtiva dengan inklusi minimal dari jaringan Tenon. Hasil graft yang tipis
dan bebas tegangan telah terbukti tidak terjadi retraksi setelah operasi, menghasilkan
hasil kosmetik yang baik dengan tingkat rekurensi yang rendah. Hirst, dkk.

15
merekomendasikan insisi luas untuk eksisi pterigium dan graft yang besar karena
dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah.12
3. Amniotic membrane grafting: digunakan Untuk mencegah rekurensi, bisa digunakan
untuk menutupi sklera yang terbuka setelah eksisi pterigium. Graft ini dianggap memicu
kesembuhan dan mengurangi angka rekurensi karena efek anti-inflamasinya, memicu
pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal transformasi TGF-beta, dan
proliferasi fibroblas. Tingkat rekurensinya 2,6-10,7% untuk pterigium primer dan
37,5% untuk pterigium rekuren. Membran amniotik ditempatkan di atas permukaan
sklera dengan bagian basis menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Lem
fibrin berperan membantu membran amniotik agar menempel pada jaringan episklera. 12

Gambar 3.2 Teknik eksisi pterygium.12

Terapi tambahan :
Angka rekurensi tinggi yang berkaitan dengan operasi terus menjadi masalah. Terapi
tambahan yang diberikan antara lain13 :

1. Mitomycin-C (MMC). MMC digunakan karena mampu menghambat fibroblas. Dua


cara penggunaan yaitu aplikasi intraoperatif langsung ke permukaan sklera setelah
eksisi pterigium dan aplikasi post-operatif sebagai terapi tetes mata topikal. Beberapa
studi menganjurkan MMC intra-operatif untuk mengurangi toksisitas.13
2. Terapi iradiasi beta. Terapi ini digunakan untuk mencegah rekurensi karena dapat
menghambat mitosis cepat di dalam sel pterigium. Efek samping radiasi antara lain
nekrosis sklera, endoftalmitis, pembentukan katarak. Akibat efek samping ini, terapi
ini tidak banyak digunakan.13
16
3. Anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Sesuai teori, VEGF memiliki
peran utama dalam angiogenesis dan stimulasi fibroblas. Bevacizumab, antibodi
monoklonal manusia dengan efek anti-angiogenik mengurangi invasi dan migrasi
fibrovaskuler serta mengurangi ekspresi fibroblas, diberikan dengan cara injeksi
subkonjungtival. Cara ini sekarang dipertanyakan karena pada meta-analisis
randomized controlled trial, risiko perdarahan subkonjungtiva besar dan angka
rekurensi lebih tinggi.13

17
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis yang telah diketahui, gejala yang dialami pasien dapat
menunjukkan gejala dari pterygium, yaitu, pandangan kabur, ada bayangan, rasa mengganjal
pada mata kanan dan kiri.1,14 Pandangan kabur, terasa berbayang merupakan gejala yang timbul
akibat media refraksi kornea yang tertutup oleh jaringan fibrovascular pterygium, sehingga
cahaya yang mengarah ke mata tidak masuk secara optimal. Selain itu pandangan kabur juga
dapat disebabkan astigmatisma yang diinduksi pterygium.14,15 Dari autoanamnesis terhadap
pasien, diketahui bahwa pasien sebelumnya sering beraktivitas diluar rumah karena pekerjaan
pasien adalah petani karet, yang dapat dikaitkan dengan faktor resiko yang sangat
mempengaruhi yaitu paparan sinar matahari, lingkungan berdebu, selain itu pasien tinggal
didaerah “Pterygium belt” yaitu daerah yang terletak di garis khatulistiwa termasuk Indonesia.1
Dari pemeriksaan fisik mata anterior kanan dan kiri didapatkan jaringan fibrovascular
berwarna putih kemerahan, berbentuk segitiga, berada pada arah nasal mata kanan dan mata
kiri, dan jaringan sudah melewati pupil, dapat menunjukkan tanda dari pterygium grade IV.1
Pasien mengaku menyadari ada tumbuh selaput pada kedua mata kurang lebih dari 2 tahun yang
lalu. Pada pemeriksaan visus mata kanan dan mata kiri, didapatkan penurunan visus yang
menunjukkan gejala pandangan kabur pada pasien disebabkan oleh tertutupnya media refraksi
mata oleh pterygium.
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi terkontrol. Dari autoanamnesis, pasien
diketahui rutin memeriksa tekanan darah, dan minum obat antihipertensi yaitu Amlodipin 1 x
5 mg. Pada sebuah penelitian didapatkan hubungan yang tidak signifikan hipertensi menjadi
faktor resiko pterygium yang dikaitkan dengan stress oksidatif. 16

Gejala-gejala yang dikeluhkan pasien, diberi terapi yaitu eksisi pterygium dan
conjungtival graft pada mata kanan terlebih dahulu yang dijadwalkan untuk dilakukan operasi.
Dan edukasi kepada pasien untuk mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan
pelindung mata, seperti kaca mata, atau menggunakan topi, atau payung.1

Teknik eksisi Pterygium yang dapat dilakukan yaitu, Teknik Bare sclera, Teknik
Conjunctival Autograft, Teknik Amniotic membrane, dan teknik Conjunctival transpositional
flap. Kelebihan dan kekurangan teknik tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.17

18
Gambar 4.1 Kelebihan dan kekurangan Teknik operasi pterigium

Selain itu terdapat treatment adjuvant yaitu, Topical mitomycin C, Radiation,


Subconjunctival anti-VEGF, Topical 5-Fluorouracil, dan topical cyclosporin A. Kelebihan dan
kekurangan treatment adjuvant tersebut dapat dilihat pada table berikut. 17

Gambar 4.2 Kelebihan dan kekurangan terapi adjuvant pterigium

Diagnosis banding dari pterygium yaitu Pseudopterygium. Secara klinis mirip dengan
pterygium, tapi penyebabnya menempelnya konjungtiva di area kompromise kornea pada apex
terbentuk karena respon akut episode peradangan seperti luka bakar kimia, ulkus kornea

19
(khususnya jika marginal), trauma dan sikatrik konjungtivitis. 18

Gambar 4.3 Pseudopterigium

Gambar 4.4 Perbedaan pterygium dan Pseudopterygium19

20
BAB V
KESIMPULAN

Tn. S, 75 tahun dengan keluhan penglihatan kabur seperti ada yang


menghalangi pada kedua mata, berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
didiagnosis pterygium grade IV. Penatalaksaan yang diberikan berupa pembedahan
metode blablabla.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP. Buku ajar oftalmologi, Edisi
Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia Publishing; 2020.
2. American Academy of Ophtalmology. Pterygium-Asia Pacific [Internet].
2015. Available from: https://www.aao.org/topic-detail/pterygium-asia-
pacific.
3. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of pterygium. Ophthalmic
Pearls.2010 ;p. 37-8
4. Riordan-Eva P, Augsburger JJ.. Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology. 19th edition. USA: McGraw Hill Education, 2018.
5. Nuzzi R, Tridico F. How to minimize pterygium recurrence rates: clinical
perspectives. Dovepress. 2018;2018:12:2347-2362.
doi:https://doi.org/10.2147/OPTH.S186543
6. Lima FVI, Manuputty GA. Hubungan paparan sinar matahari dengan angka
kejadian pterigium di Desa Waai Kabupaten Maluku Tengah tahun 2013.
Moluca Medica. 2014; 4(2);101-9
7. Rezvan A, Khabazkhoob M, Hooshmand E, Prevalence and risk factors of
pterygium: a systematic review and meta-analysis, Survey of Ophthalmology,
Volume 63, Issue 5, 2018
8. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community
Eye Health. 2017;30(99):S5-S6. PMID: 29849437; PMCID: PMC5968422.
9. Shahraki T, Arabi A, Feizi S. Pterygium: an update on pathophysiology,
clinical features, and management. Ther Adv Ophthalmol. 2021 May
31;13:25158414211020152. doi: 10.1177/25158414211020152. PMID:
34104871; PMCID: PMC8170279.
10. Efstathios T. Pathogenetic Mechanism and Treatment Options for
Ophthalmic Pterygium: Trends and Perspectives (Review). International
Journal of Melecular Medicine. 2009; 13(2):1-10.
11. Hirst LW. Prospective study of primary pterygium surgery using pterygium
extended removal followed by extended conjunctival transplantation.
Ophtalmology 2008;115(10):1663-72

22
12. Fuest M, Mehta JS, Coroneo MT. New treatment options for pterygium.
Expert Review of Ophtalmology. 2017;12(3):193-6
13. Krishnacharya PS, Singhal A, Angadi PA, Naaz AS, Redy AR. Changing
trends in pterygium management. Albasar Int J Ophtalmol 2017:4:4-7.
14. Caldwell M. Pterygium. AAO. Published online 2020.
https://eyewiki.aao.org/Pterygium
15. AAO. Pterygium - Europe. Published 2015. https://www.aao.org/topic-
detail/pterygium-europe
16. Djelantik SAAA, P. yuliawati, L. P. E naryati. Prevalence and Risk factors of
pterygium occurence in population above 50 years old in Bali. DiscoverSys.
Published online 2016.
17. Nuzzi R, Tridico F. How to minimize pterygium recurrence rates: clinical
perspectives. Dovepress. 2018;2018:12:2347-2362.
doi:https://doi.org/10.2147/OPTH.S186543
18. Kanski JJ, Bowling B. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach.
Elsevier Health Sciences; 2011.
19. Mukherjee P. Clinical Examination in Ophthalmology-E-Book. Elsevier
Health Sciences; 2016.

23

Anda mungkin juga menyukai