ODS Pterigyum
Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Mata
RSUD Dr. Loekmono Hadi Kudus
Disusun oleh:
Defry Yoga Artanto
30101306908
Pembimbing:
dr. Kasihana Hs., Sp.M
Refleksi Kasus
dengan judul :
ODS Pterigyum
Disusun Oleh :
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. M
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Alamat : Gondoharum Jekulo, Kudus
Pekerjaan :-
No. RM : 366631
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 11 Juni 2018
II. ANAMNESIS
Autoanamnesis pada tanggal 11 Juni 2018 pukul 10.00 WIB di Poli Mata
RSUD. Dr. Loekmono Hadi Kudus.
A. Keluhan Utama :
Mata kanan dan kiri pedes
B. STATUS OFTALMOLOGI
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
Visus jauh (Snellen) : 6/30 Visus Visus jauh (Snellen) : 6/30
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Gerak bola mata normal, enoftalmus Gerak bola mata normal, enoftalmus (-),
(-), eksoftalmus (-), strabismus (-) Bulbus okuli eksoftalmus (-), strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-), Edema (-), hiperemis(-),
nyeri tekan (-), Palpebra nyeri tekan (-),
blefarospasme (-), lagoftalmus (-) blefarospasme (-), lagoftalmus (-)
ektropion (-), entropion (-) ektropion (-), entropion (-)
Edema (-), Edema (-),
injeksi silier (-), injeksi silier (-),
injeksi konjungtiva (+), Konjungtiva injeksi konjungtiva (+),
infiltrat (-), infiltrat (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Tampak jaringan fibrovascular Tampak jaringan fibrovascular yang
yang menutupi konjungtiva menutupi konjungtiva
Putih Sklera Putih
Bulat, jernih Bulat, jernih,
edema (-), edema (-),
arkus senilis (-) Kornea arkus senilis (-)
keratik presipitat (-), infiltrat (-), Keratik presipitat (-), infiltrat (-), sikatriks
sikatriks (-) (-),
Tampak Selaput Putih berbentuk Tampak Selaput Putih berbentuk
segitiga yang menutupi hingga segitiga yang menutupi hingga tepi
tepi limbus limbus
IV. RESUME
A. Subjektif
- ODS perih sudah 2 bulan terakhir
- ODS merah, gatal, berair
- Keluhan dirasakan tidak membaik
B. Objektif
Konjungtiva ODS : Injeksi Konjungtiva (+) dan jaringan fibrovascular yang
menutupi konjungtiva
Kornea ODS : selaput putih fibrovascular berbentuk segitiga yang menutup hingga
tepi limbus
V. DIAGNOSA DIFFERENSIAL
OD OS
Pterigyum Pterigyum
Pinguicula Pinguicula
V. DIAGNOSA KERJA
ODS Pterigyum grade II
VI. DASAR DIAGNOSIS
a) ODS Pterygium
Subjektif
o ODS perih sudah 2 bulan terakhir
o ODS merah, gatal, berair
Objektif
o ODS :
Konjungtiva : injeksi konjungtiva dan jaringan fibrovascular
yang menutupi konjungtiva
Kornea : selaput putih fibrovascular berbentuk segitiga yang
menutup hingga tepi limbus
VII. TERAPI
Kuratif
Medikamentosa
Cendo Lyteers ed fl No. I
S 4 dd gtt II ODS
Non Medikamentosa
Eksisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Pterigium
A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap, yang
merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler konjungtiva
yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan
invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini
berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak
permbuluh darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi
iritasi maka pterigium akan berwarna merah.
E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen
dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat dari kelainan
lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva bulbi selalu
mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta udara yang kering
akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai
kedua mata (bilateral) karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk
kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke
bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan
dengan bagian konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari
hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem cell
yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi, terjadi
konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala muncul sebagai pertumbuhan
konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa Pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral
terlokalisasi yang diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah
interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan menimbulkan
peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskuler.
Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis dan proliferasi jaringan granulasi
vaskuler di bawah epitel yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi epitel
pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada puncak
pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami degenerasi hialin
dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi
yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini menyebar ke dalam kornea serta
merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen
pada daerah yang mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan
pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 1,4,5,6
Gambar 2. Histopatologi Pterigium 10
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak mengalami
keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata mudah merah
kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata ataupun keduanya
namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan
keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan
saat berkedip. 5,6,7
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian puncak,
pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang disebut pulau
Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan daging berwarna putih,
tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga berkembang dari konjungtiva
interpalpebrae menuju ke kornea. Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis
yang berwarna coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami
iritasi, pterigium akan berwarna merah dan menebal. 2,3,8
Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga yang
meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex, bagian atas
pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk membran
tetapi tidak pernah hilang.4
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai
pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka
disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium
pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium
tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari
ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti tukak
kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses
kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya tidak harus pada
celah kelopak mata atau fisura palpebra.
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan pterigium tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan pembuluh darah
normal.
- Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak.
Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal
karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata
lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47. 2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika. 2000
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. 1994
5. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A pocket textbook
atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72
6. Shock JP, Richard AH, MD. Lensa. Dalam : Whitcher John P, Paul Riordan Eva, editor.
Oftalmologi Umum; edisi ke-17. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC, 2010 : 169-
177.
7. Sulistyowi, Anny. Stabilitas Visu Koreksi Pasca Operasi Katarak Senilis Secara Masal.
Semarang, 2001. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
8. Chaurasia SS, et al, 2015. Nanomedicine Approches For Corneal Diseases.
9. Edelhauser HF. 2005. The cornea and the sclera, chapter 4 in Adlers Physiology of The
eye Clinical'Aplication. 10 th ed. St.louis, Missouri, Mosby.
10. Liesegang TJ,Deutsch TA. 2009. External Disease and Cornea. Section 8, AAO, San
Fransisco
11. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco
2008-2009. p. 179-90
12. Yanoff M., Duker J.S.Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014.
13. Rapuano CJ. Color Atlas & Synopsis of Clinical Opththalmology : Cornea. 2nd edition.
Pennsylvania : Wills Eye Institute; 2003. P168-73.