Anda di halaman 1dari 19

Refleksi Kasus

ODS Pterigyum

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu Syarat
Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Mata
RSUD Dr. Loekmono Hadi Kudus

Disusun oleh:
Defry Yoga Artanto
30101306908

Pembimbing:
dr. Kasihana Hs., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU MATA


RSUD DR. LOEKMONO HADI KUDUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITRAAN

KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

Refleksi Kasus
dengan judul :

ODS Pterigyum

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik

Di Departemen Ilmu Kesehatan Mata

RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus

Disusun Oleh :

Defry Yoga Artanto 30101306908

Telah disetujui oleh Pembimbing

Nama Pembimbing Tanggal Tanda Tangan

dr. Kasihana Hs., Sp.M …………….….. …………….……


BAB I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap : Tn. M
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Alamat : Gondoharum Jekulo, Kudus
Pekerjaan :-
No. RM : 366631
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 11 Juni 2018

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis pada tanggal 11 Juni 2018 pukul 10.00 WIB di Poli Mata
RSUD. Dr. Loekmono Hadi Kudus.

A. Keluhan Utama :
Mata kanan dan kiri pedes

B. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke poli mata RSUD Dr. Loekmono Hadi Kudus dengan keluhan
penglihatan mata kanan dan kiri terasa pedes / perih. Keluhan sudah dirasakan 2 bulan
terakhir. Keluhan lebih nyaman jika untuk menutup mata sejenak. Keluhan tersebut
terjadi secara terus menerus dan tidak membaik. Pasien juga mengeluhkan
pandangannya kabur terkadang pasien merasakan silau ketika melihat cahaya. Mata
kanan dan kiri juga dirasakan berair, gatal, kering dan merah.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Menggunakan Kacamata (+)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat operasi mata (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga :


Tidak ada keluhan serupa sebelumnya di keluarga

E. Riwayat Sosial Ekonomi :


Pasien berobat menggunakan BPJS

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. STATUS PRESENT
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital Sign
 Tekanan Darah : 120/90 mmHg
 Nadi : 84 kali/ menit
 Suhu : 36,5 0C
 Respiration Rate (RR) : 22 x / menit
 Status Gizi : baik

B. STATUS OFTALMOLOGI
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
Visus jauh (Snellen) : 6/30 Visus Visus jauh (Snellen) : 6/30
Tidak dilakukan Koreksi Tidak dilakukan
Gerak bola mata normal, enoftalmus Gerak bola mata normal, enoftalmus (-),
(-), eksoftalmus (-), strabismus (-) Bulbus okuli eksoftalmus (-), strabismus (-)
Edema (-), hiperemis(-), Edema (-), hiperemis(-),
nyeri tekan (-), Palpebra nyeri tekan (-),
blefarospasme (-), lagoftalmus (-) blefarospasme (-), lagoftalmus (-)
ektropion (-), entropion (-) ektropion (-), entropion (-)
Edema (-), Edema (-),
injeksi silier (-), injeksi silier (-),
injeksi konjungtiva (+), Konjungtiva injeksi konjungtiva (+),
infiltrat (-), infiltrat (-),
hiperemis (-) hiperemis (-)
Tampak jaringan fibrovascular Tampak jaringan fibrovascular yang
yang menutupi konjungtiva menutupi konjungtiva
Putih Sklera Putih
Bulat, jernih Bulat, jernih,
edema (-), edema (-),
arkus senilis (-) Kornea arkus senilis (-)
keratik presipitat (-), infiltrat (-), Keratik presipitat (-), infiltrat (-), sikatriks
sikatriks (-) (-),
Tampak Selaput Putih berbentuk Tampak Selaput Putih berbentuk
segitiga yang menutupi hingga segitiga yang menutupi hingga tepi
tepi limbus limbus

Jernih, Camera Oculi Jernih,


hipopion (-), hifema (-), Anterior hipopion (-), hifema (-)

atrofi (-), atrofi (-),


edema(-), synekia (-), Iris edema(-), synekia (-)

Dalam batas normal Pupil Dalam batas normal


Kekeruhan (-) Lensa Kekeruhan (-)
Shadow test (-) Shadow test (-)

Sulit dinilai Vitreus Sulit dinilai

Sulit dinilai Retina Sulit dinilai

Sulit dinilai Fundus Refleks Sulit dinilai

Tidak dilakukan Sistem Lakrimasi Tidak dilakukan

IV. RESUME
A. Subjektif
- ODS perih sudah 2 bulan terakhir
- ODS merah, gatal, berair
- Keluhan dirasakan tidak membaik
B. Objektif
Konjungtiva ODS : Injeksi Konjungtiva (+) dan jaringan fibrovascular yang
menutupi konjungtiva
Kornea ODS : selaput putih fibrovascular berbentuk segitiga yang menutup hingga
tepi limbus
V. DIAGNOSA DIFFERENSIAL

OD OS
 Pterigyum  Pterigyum
 Pinguicula  Pinguicula

V. DIAGNOSA KERJA
 ODS Pterigyum grade II
VI. DASAR DIAGNOSIS

a) ODS Pterygium
 Subjektif
o ODS perih sudah 2 bulan terakhir
o ODS merah, gatal, berair
 Objektif

o ODS :
 Konjungtiva : injeksi konjungtiva dan jaringan fibrovascular
yang menutupi konjungtiva
 Kornea : selaput putih fibrovascular berbentuk segitiga yang
menutup hingga tepi limbus
VII. TERAPI
 Kuratif
Medikamentosa
 Cendo Lyteers ed fl No. I
S 4 dd gtt II ODS

Non Medikamentosa
 Eksisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Pterigium

A. Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani, pteron yang artinya wing atau sayap, yang
merupakan penetrasi lapisan Bowman akibat pertumbahan fibrovaskuler konjungtiva
yang berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan
invasif. Biasanya terletak pada rima palpebrae bagian nasal ataupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea dan mudah mengalami peradangan. Pertumbuhan ini
berbentuk seperti sayap (bentuk lipatan segitiga abnormal) yang memiliki banyak
permbuluh darah dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Bila terjadi
iritasi maka pterigium akan berwarna merah.

Gambar 1. Arah pertumbuhan pterigium 9


Pada dasarnya pertumbuhan ini bersifat jinak sehingga tidak memerlukan
penanganan yang khusus kecuali jika mengenai daerah pupil yang dapat menurunkan
fungsi penglihatan sehingga diperlukan tindakan pembedahan untuk memperbaiki
penglihatan. 1,2,3,4
B. Epidemiologi
Penyebaran kasus pterigium lebih banyak di daerah berdebu, beriklim panas dan
kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Insidensi
pterigium di Indonesia, yang terletak di daerah ekuator, cukup tinggi yakni 13,1%. Suatu
penelitian menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan prevalensi dengan
peningkatan kadar paparan sinar ultraviolet (UV) di daerah lintang selatan. Dilaporkan
laki-laki dua kali lebih sering terkena dibandingkan wanita. Kasus ini jarang ditemui pada
usia di bawah 20 tahun. Prevalensi pterigium meningkat dengan bertambahnya usia,
namun rekurensi lebih sering pada usia muda dibandingkan pada usia tua. Prevalensi
paling tinggi terdapat pada pasien dengan usia di atas 40 tahun dan insidensi paling tinggi
didapatkan pada usia 20-40. 4,5
C. Faktor Risiko
Faktor risiko pterigium meliputi: 4,5
1. Radiasi UV
Faktor risiko lingkungan yang utama timbulnya pterigium adalah paparan sinar
matahari. Sinar UV yang diabsorbsi kornea dan konjungtiva menyebabkan kerusakan
sel dan proliferasi sel.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium dan
berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium,
kemungkinan diturunkan secara autosom dominan. Selain itu, terdapat kecenderungan
genetik yang berhubungan dengan insidensi yang lebih tinggi pada laki-laki dalam
jumlah yang signifikan daripada perempuan.
3. Faktor Lain
Iritasi kronik dari bahan tertentu di udara yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal
defisiensi. Saat ini teori baru mengenai patogenesis dari pterigium juga menunjukkan
adanya “pterygium angiogenesis factor“. Debu, kelembapan yang rendah, trauma
kecil dari partikel tertentu, dry eye, virus papilloma, tinggal di daerah beriklim
subtropis-tropis, dan pekerjaan yang membutuhkan kegiatan di luar ruangan juga
merupakan faktor penting yang dapat memicu timbulnya pterigium.
D. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui dengan jelas namun diduga neoplasma, radang dan
degenerasi jaringan kolagen dan proliferasi fibrovaskuler konjungtiva yang dapat
disebabkan oleh iritasi lama akibat rangsangan asap rokok, debu, cahaya sinar ultraviolet
(sinar matahari), kelembapan yang rendah, dan udara yang panas merupakan faktor
predisposisi terjadinya pterigium.1,5

E. Patofisiologi
Berbagai faktor risiko menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan kolagen
dan proliferasi fibrovaskular dan progresivitas diduga merupakan akibat dari kelainan
lapisan Bowman kornea serta adanya pengaruh genetik. Konjungtiva bulbi selalu
mengalami kontak dengan dunia luar, seperti sinar UV, debu, serta udara yang kering
akibat cuaca panas yang mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang berkembang ke kornea. Penebalan abnormal ini dapat mengenai
kedua mata (bilateral) karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk
kontak dengan faktor-faktor tersebut. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke
bagian nasal kemudian melalui punctum lacrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.
Selain itu, daerah nasal juga mendapat paparan sinar UV yang lebih banyak dibandingkan
dengan bagian konjungtiva yang lain akibat pantulan sinar UV tidak langsung dari
hidung.
UV adalah mutagen untuk p53 tumor supressor gene pada limbal basal stem cell
yang merupakan sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi, terjadi
konjungtivalisasi pada permukaan kornea yang pada gejala muncul sebagai pertumbuhan
konjungtiva ke arah kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran
basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa Pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi limbal stem cell interpalpebral
terlokalisasi yang diduga akibat paparan sinar UV yang dapat merusak stemcell di daerah
interpalpebral.
Tanpa apoptosis, TGFβ akan mengalami produksi berlebih dan menimbulkan
peningkatan proses kolagenase, sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitel fibrovaskuler.
Jaringan subkojungtiva terjadi degenerasi elastis dan proliferasi jaringan granulasi
vaskuler di bawah epitel yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan pada kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskuler degan
inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
Secara histologi, epitel konjungtiva ireguler, terkadang berubah menjadi epitel
pipih berlapis dan mengalami degenerasi kolagen hialin dan elastis. Pada puncak
pterigium, epitel kornea meninggi dan membran Bowman mengalami degenerasi hialin
dan elastis. Terdapat degenerasi stroma yang berproliferasi sebagai jaringan granulasi
yang memiliki banyak pembuluh darah. Degenerasi ini menyebar ke dalam kornea serta
merusak membran Bowman dan stroma kornea bagian atas. Histopatologi dari kolagen
pada daerah yang mengalami degenerasi elastis menunjukkan basophilia dengan
pengecatan hematoxylin dan eosin (HE). 1,4,5,6
Gambar 2. Histopatologi Pterigium 10
F. Manifestasi Klinik
1. Gejala Subjektif
Pasien dengan pterigium memiliki berbagai keluhan, mulai dari tidak mengalami
keluhan sama sekali hingga mata merah, gatal, panas, mengganjal, mata mudah merah
kemudian berair ataupun penurunan visus pada salah satu mata ataupun keduanya
namun pasien tidak mengeluhkan adanya pterigium. Beberapa lainnya datang dengan
keluhan adanya sesuatu yang tumbuh di atas korneanya dan merasa seperti kelilipan
saat berkedip. 5,6,7
2. Gejala Objektif
Pada bentuk dini, pterigium sulit dibedakan dengan pinguekula. Pada bagian puncak,
pterigium dini terdapat inflitrat kecil berwarna bercak kelabu yang disebut pulau
Fuchs. Dari pemeriksaan akan didapatkan adanya penonjolan daging berwarna putih,
tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga berkembang dari konjungtiva
interpalpebrae menuju ke kornea. Tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis
yang berwarna coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Bila mengalami
iritasi, pterigium akan berwarna merah dan menebal. 2,3,8
Gambar 3. Pterigium 11
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) body, bagian segitiga yang
meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah kantus; (2) apex, bagian atas
pterigium, dan (3) cap yakni bagian belakang pterigium.4
Berdasarkan perjalanan penyakit, pterigium dibagi menjadi dua tipe, yaitu:
a. Pterigium Progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di
bagian cap.
b. Pterigium Regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi, membentuk membran
tetapi tidak pernah hilang.4
Bila pterigium hanya terdapat di daerah nasal/temporal saja disebut sebagai
pterigium simpleks. Apabila pterigium terdapat pada nasal dan temporal, maka
disebut sebagai pterigium dupleks.
Menurut Youngson, derajat pterigium ditentukan berdasarkan bagian kornea
yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium dan dibagi menjadi 4 yaitu:
a. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
b. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2
mm melewati kornea
c. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil
sekitar 3-4 mm)
d. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
G. Diagnosa Banding
1. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea.5,6
Pada pseudopterigium yang tidak melekat pada limbus kornea, maka probing
dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterigium
pada limbus,sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada pseudopteyigium
tidak didapat bagian head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari
ruang interpalpebra fissure yang berbeda dengan true pterigium.
Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah5
- Pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea seperti tukak
kornea, sedangkan pterigium tidak.
- Letak pseudopterigium ini pada daerah konjungtiva yang terdekat dengan proses
kornea sebelumnya. Beda dengan pterigium adalah selain letaknya tidak harus pada
celah kelopak mata atau fisura palpebra.
- Puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedang
pseudopterigium tidak.
- Pseudopterigium dapat diselipkan sonde di bawahnya, sedangkan pterigium tidak.
- Jumlah pembuluh darah pada pseudopterigium sama dengan keadaan pembuluh darah
normal.
- Pterigium bersifat progresif, pseudopterigium tidak.

Gambar 4. Histopatologi Pseudopterigium 10


2. Pinguekula
Berbentuk kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan berbatasan dengan
limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra dan kadang terinflamasi.
Prevalensi dan insiden meningkat denganmeningkatnya umur. Pingecuela sering pada
iklim sedang dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor risiko pinguecula.1
Secara histopatologik ditemukan epitel tipis dan gepeng, sering terdapat hanya
dua lapis sel. Lapisan subepitel tipis. Serat-serat kolagen stroma berdegenerasi hialin
yang amorf kadang-kadang terdapat penimbunan serat-serat yang terputus-putus.
Dapat terlihat penimbunan kalsium pada lapisan permukaan.1

Gambar 5. Pinguekula 11
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium derajat 1-2 yang
mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium.
Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mungkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan
Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.

a. Indikasi Operasi
1) Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2) Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3) Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau
karena astigmatismus
4) Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
b. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak
teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal
karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan,
eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata
lebih memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.

1) Teknik Bare Sclera


Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara memungkinkan
sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 2% dan 89%, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2) Teknik Autograft Konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2% dan setinggi 40%
pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan
autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan dijahit di atas
sklera yang telah di eksisi pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan
untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati
jaringan Tenon dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS,
dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi
pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan
teknik ini.
Gambar 6. Teknik Autograft Konjungtiva 9
3) Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan dari penggunaan membran
amnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting untuk menghambat
peradangan dan fibrosis dan epithelialisai. Sayangnya, tingkat kekambuhan
sangat beragam pada studi yang ada, diantara 2,6% dan 10,7% untuk pterygia
primer dan setinggi 37,5% untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan
dari teknik ini selama autograft konjungtiva adalah pelestarian bulbar
konjungtiva. Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan
membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah.
Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk
membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episkleral
dibawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
3. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi masalah,
dan terapi medis demikian terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterygia. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan
penambahan terapi ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena kemampuannya
untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis
minimal yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterygium,
dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian
sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi
toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan, karena
menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari pterygium, meskipun tidak ada
data yang jelas dari angka kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi
termasuk nekrosis scleral, endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini telah
mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:

1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,


bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari kemudian
tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml): 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata: 1 tetes/ 3 jam selama
6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik chloramphenicol, dan
steroid selama 1 minggu
I. Komplikasi
Komplikasi pterigium meliputi: 4
1. Mata merah
2. Iritasi
3. Keterlibatan otot ekstraokular menyebabkan diplopia
4. Jaringan parut kronik pada konjungtiva dan kornea
5. Dry eye sindrom
6. Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium

Komplikasi postoperative pterigium 4


1. Reaksi terhadap bahan benang
2. Rekurensi
3. Infeksi
4. Perforasi korneosklera
5. Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan perdarahan
6. Korneoscleral dellen
7. Granuloma konjungtiva
8. Epithelial inclusion cysts
9. Conjungtiva scar
10. Adanya jaringan parut di kornea
J. Prognosis
Prognosis penglihatan dan kosmetik eksisi pterigium adalah baik. Penderita dapat
beraktivitas normal setelah 48 jam setelah tindakan eksisi. Kekambuhan dapat dicegah
dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi. Pasien yang
mengalami kekambuhan dapat dilakukan eksisi ulang dengan grafting.4 Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi. Pasien dengan risiko tinggi
timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang
lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar
matahari.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 46-47. 2009
2. Vaughan G, Daniel et al. Konjungtiva dalam Opthalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta:
Widya Medika. 2000
3. Wijana N. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Binarupa Aksara. 1983
4. Wisnujono S, dkk. Pterigium dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi, RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. 1994
5. Lang GK. Gareis O, Lang GE, Recker D, Wagner P. Ophthalmology: A pocket textbook
atlas. 2nd ed. New York: Thieme. 2006. pp: 69,70,72

6. Shock JP, Richard AH, MD. Lensa. Dalam : Whitcher John P, Paul Riordan Eva, editor.
Oftalmologi Umum; edisi ke-17. Jakarta: Penerbit buku Kedokteran EGC, 2010 : 169-
177.
7. Sulistyowi, Anny. Stabilitas Visu Koreksi Pasca Operasi Katarak Senilis Secara Masal.
Semarang, 2001. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
8. Chaurasia SS, et al, 2015. Nanomedicine Approches For Corneal Diseases.
9. Edelhauser HF. 2005. The cornea and the sclera, chapter 4 in Adlers Physiology of The
eye Clinical'Aplication. 10 th ed. St.louis, Missouri, Mosby.
10. Liesegang TJ,Deutsch TA. 2009. External Disease and Cornea. Section 8, AAO, San
Fransisco

11. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San Fransisco
2008-2009. p. 179-90
12. Yanoff M., Duker J.S.Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014.
13. Rapuano CJ. Color Atlas & Synopsis of Clinical Opththalmology : Cornea. 2nd edition.
Pennsylvania : Wills Eye Institute; 2003. P168-73.

Anda mungkin juga menyukai