Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN KASUS

SIMBLEFARON + PTERYGIUM GRADE II


OCULI SINISTRA

Oleh
Devi Oktavitalis
I4061192025

Pembimbing
dr. Mohammad Iqbal, Sp.M, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
BAB I

PENYAJIAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. SNK
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : : 45 tahun
Status : Menikah
Alamat : Jl. Adisucipto, Komp. Hanuara Permai I Blok J-4 09/07
Suku : Tionghua
Agama : Budha
Pekerjaan : Petani
Tanggal Konsul : 19 Januari 2021

1.2 Anamnesis
1.2.1 Keluhan Utama
Penglihatan mata kiri kabur sudah 1 tahun lebih.

1.2.2 Riwayat penyakit Sekarang


Pasien datang ke RSUD DR. Soedarso Pontianak pada tanggal 19
Januari 2021 dengan keluhan pandangan mata kiri kabur sudah 1 tahun
lebih. Pasien mengeluh mata kiri terasa sensasi mengganjal yang
menghalangi penglihatan, kesulitan menggerakkan bola mata dan melihat
jarak jauh, merasa sedikit nyeri, rasa berpasir serta mata berair. Pada
awalnya pasien tidak ada keluhan di mata kiri namun seiring berjalannya
waktu pasien merasa pandangan semakin kabur. Riwayat trauma
disangkal.
1.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama pada mata
kanan dan telah menjalani operasi mata kanan 1 bulan yang lalu. Pasien
mengaku memiliki riwayat jaringan yang tumbuh di mata kiri tetapi sudah
dilakukan operasi, riwayat radang pada mata yang berulang, sering
terpajan sinar matahari karena sehari-hari bekerja sebagai petani, dan
jarang menggunakan kacamata hitam maupun topi lebar. Pasien mengaku
memiliki riwayat radang pada mata yang berulang. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi, riwayat trauma mata, riwayat DM, hipertensi dan
penggunaan obat mata disangkal.

1.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang memiliki keluhan serupa.

1.2.5 Riwayat Pengobatan


Pasien telah menjalani operasi mata kanan 1 bulan yang lalu.

1.2.6 Riwayat Sosio Ekonomi


Pasien berobat dengan BPJS. Pekerjaan pasien adalah petani.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Status General
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
a) Nadi : 95x/menit
b) Respirasi : 99
c) Tekanan Darah : 130/80 mmHg
d) Suhu : 36,7ºC
Kepala : Normochapali

THT : Tidak diperiksa

Thoraks : Tidak diperiksa

Abdomen : Tidak diperiksa

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

1.3.2 Status Oftamologi

OD OS
Gambar 1.1 Gambaran klinis mata pasien

1. Visus

Okuli Dekstra Okuli Sinistra


6/25 Visus 6/20
Baik Proyeksi Baik
- Koreksi dan -
Addisi
- Pinhole -
2. Kedudukan Bola Mata

Okuli Dekstra Okuli Sinistra


Tidak ada Eksoftalmus Tidak ada
Tidak ada Endoftalmus Tidak ada
Tidak ada Deviasi Tidak ada
Baik ke semua arah, Gerakan Bola Mata Terdapat hambatan kearah nasal,
tanpa hambatan superior nasal, inferior nasal

3. Pemeriksaan Fisik

Okuli Dekstra Okuli Sinistra


Pergerakan (+), ptosis (-), Pergerakan (+), ptosis (-),
lagoftalmos (-), edema (-), eritema lagoftalmos (-), edema (-), eritema (-
Palpebra Superior (-), nyeri tekan (-), ektropion (-), ), nyeri tekan (-), ektropion (-),
dan Inferior entropion (-), trikiasis (-), sikatriks entropion (+), trikiasis (-), sikatriks
(-), fisura palpebra dalam batas (+), fisura palpebra dalam batas
normal normal
Hiperemis (-), Folikel (-), Papil (- Hiperemis (+), Folikel (-), Papil (-),
Konjungtiva
), Sikatriks (-), Anemis (-), Sikatriks (-), Anemis (-), Kemosis (-)
Palpebra
Kemosis (-)
Sekret (-), injeksi konjungtiva (-), Sekret (-), injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (-), penebalan epitel injeksi siliar (-), penebalan epitel
konjungtiva (-), nodul (-), konjungtiva (+), nodul (-),
perdarahan subkonjungtiva (-) perdarahan subkonjungtiva (-),
Konjungtiva Bulbi
Jaringan fibrovaskular dari arah
inferior temporal melewati kornea
(+), adhesi konjungtiva palpebral
dan bulbi (+),
Warna putih, Ikterik (-), nyeri hiperemis (+), nyeri tekan (-)
Sklera
tekan (-)
Sikatriks kornea (+), edema (-), Permukaan jernih dan licin, edema (-
Kornea infiltrat (-), ulkus (-), perforasi (-), ), infiltrat (-), ulkus (-), perforasi (-),
sikatriks (-), arkus senilis (-) sikatriks (+), arkus senilis (-)
Camera Oculi Kesan dalam, hipopion (-), hifema Kesan dalam, hipopion (-) ,hifema (-
Anterior (-) )
Iris : berwarna coklat, pupil : Iris : berwarna coklat, pupil : bulat,
bulat, diameter ± 3 mm, isokor, diameter ± 3 mm, isokor, reflek
Iris dan Pupil reflek cahaya langsung (+), refleks cahaya langsung (+), refleks cahaya
cahaya tidak langsung (+), RAPD tidak langsung (+), RAPD (-)
(-)
Lensa Agak keruh Jernih
TIO Palpasi kesan normal Palpasi kesan normal
Lapang pandang Baik Baik
1.4 Resume
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan pada pasien Tn. SNK 45 tahun
dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur 1 tahun lebih, kesulitan melihat jauh.
Pasien mengeluh mata kiri terasa sensasi mengganjal yang menghalangi
penglihatan, kesulitan menggerakkan bola mata dan melihat jarak jauh, merasa
sedikit nyeri, rasa berpasir serta mata berair. Pada awalnya pasien tidak ada
keluhan di mata kiri namun seiring berjalannya waktu pasien merasa pandangan
semakin kabur. Pasien mengaku memiliki riwayat radang pada mata yang
berulang. Riwayat trauma disangkal.
Pasien mengaku 2 bulan yang lalu telah menjalani operasi pada mata kanan
dengan keluhan yang sama yaitu simblefaron, dan riwayat operasi pterigium di
mata kiri karena adanya jaringan atau pterigium. Sering terkena paparan sinar
matahari dan jarang menggunakan kacamata hitam maupun topi bundar. Riwayat
trauma pada mata dan penyakit lainnya disangkal.
Pada pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan visus OD 6/25 dan visus OS
adalah 6/20. Adapun pada pemeriksaan segmen anterior OD didapatkan sikatriks
kornea dan lensa agak keruh, sedangkan segmen anterior OS didapatkan
entropion inferior palpebral, injeksi konjungtiva palpebral dan bulbi, terdapat
jaringan fibrovaskular dari arah inferior temporal melewati kornea, adhesi
konjungtiva palpebral dan bulbi, hiperemis sclera, dan gerakan bola mata terbatas
pada nasal, superior nasal dan inferior nasal.

1.5 Diagnosis

Diagnosis Kerja :

1. Symblepharon OS + Pterygium Grade II OS

Diagnosis Banding :

1. Sikatriks Conjungtiva
2. Ocular Cycatrial Pemphigoid
3. Stevens-Johnson Syndrome

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Biopsi dengan pewarnaan standar atau imunofloresens
2. Pemeriksaan histopatologi

1.7 Penatalaksanaan
a. Terapi Definitive :
1. Simblefarektomi
2. Conjungtival atau buccal mocusa graft
b. Terapi Medikamentosa :
1. Artifificial tears
2. Anti-inflamasi non-steroid topikal
c. Terapi Non-Medikamentosa
Edukasi untuk mengurangi pajanan terhadap sinar matahari,
penggunaan kacamata dengan filter ultraviolet, topi lebar atau payung.

1.8 Prognosis
Persentase kesembuhan simblefaron setelah dilakukan operasi sekitar 85%.
Resiko rekurensi simblefaron bervariasi dari 0% -30% tergantung dari etiologi
yang mendasarinya. Simblefaron rekuren merupakan komplikasi tersering setelah
operasi rekonstruksi permukaan mata.
BAB II
PEMBAHASAN

Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pada pasien


Tn. SNK 45 tahun dengan keluhan penglihatan mata kiri kabur 1 tahun lebih.
Pasien mengeluh pada mata kiri terasa sensasi mengganjal yang menghalangi
penglihatan, kesulitan menggerakkan bola mata kiri kearah nasal, superior nasal,
inferior nasal dan sulit melihat jarak jauh, merasa sedikit nyeri, rasa berpasir serta
mata berair. Pada awalnya pasien tidak ada keluhan di mata kiri namun seiring
berjalannya waktu pasien merasa pandangan semakin kabur. Pasien mengaku
memiliki riwayat radang pada mata yang berulang dan operasi mata kiri karena
pterigium, sering terkena paparan sinar matahari dan jarang menggunakan
kacamata hitam maupun topi bundar. Riwayat trauma, dan penyakit lainnya
disangkal.
Pada pemeriksaan tajam penglihatan didapatkan visus OD 6/25 dan visus OS
adalah 6/20. Adapun pada pemeriksaan segmen anterior OD didapatkan sikatriks
kornea dan lensa agak keruh, sedangkan segmen anterior OS didapatkan
entropion palpebral inferior, injeksi konjungtiva palpebral dan konjungtiva bulbi,
terdapat jaringan fibrovaskular dari arah inferior temporal melewati kornea,
adhesi konjungtiva palpebral dan konjungtiva bulbi, sclera hiperemis, lensa agak
keruh, dan gerak bola mata terbatas di arah nasal, superior nasal dan inferior
nasal.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan, diketahui
bahwa gejala dan tanda yang dialami pada mata kiri pasien menunjukkan gejala
dari simblefaron, yaitu kondisi terjadinya perlekatan bola mata akibat adhesi
antara konjungtiva palpebral dan konjungtiva bulbi. Keluhan yang sering muncul
pada pasien dengan simblefaron adalah kesulitan dalam pergerakan kelopak mata,
diplopia (akibat keterbatasan pergerakan ocular), mata merah, mata berair,
perasaan mengganjal, sensasi perih, blepharospasme, dan lagoftalmus (kesulitan
menutup mata).1,2
Berdasarkan anamnesis pasien mengaku memiliki riwayat peradangan
berulang pada mata yang mana semakin meningkatkan risiko terjadinya
simblefaron. Simblefaron dapat terjadi akibat proses penyembuhan permukaan
antara konjungtiva palpebral dan konjungtiva bulbi, seperti trauma kimia, trauma
panas, konjungtivitis membrane, ulserasi konjungtiva, dan Stevens-Johnson
Syndrome. Simblefararon juga dapat terjadi karena komplikasi penyakit mata
sebelumnya seperti sikatriks konjungtiva, sikatriks pemphigoid, eritema
multiform, pemfigois bulosa dan keratokonjungtivitis.1,2
Berdasarkan tempat terjadinya adhesi, simblefaron dibagi menjadi 3 tipe,
yaitu : 3
1. Simblefaron Anterior, yaitu terjadinya adhesi pada kelopak mata dan
konjungtiva bulbi atau kornea
2. Simblefaron Posterior, yaitu terjadinya adhesi bagian atas atau bawah forniks
maupun keduanya
3. Simblefaron Total, adhesi terjadi di kelopak dengan bola mata secara total.

Berdasarkan pemeriksaan fisik segmen anterior, terdapat adhesi


dikelopak mata dengan konjungtiva bulbi sehingga dapat disimpulkan bahwa
pasien mengalami simblefaron anterior.

Gangguan penglihatan akan menyebabkan kualitas hidup seseorang


sangat menurun. Oleh karena itu rekontruksi permukaan mata dengan cara
menyingkirkan parut konjungtiva dan simblefaron merupakan tindakan yang
sangat penting untuk memperbaiki fungsi mata dan meningkatkan kualitas
hidup. 3
Pemeriksaan fisik pasien ditemukan adanya penebalan epitel
konjungtiva yang merupakan komplikasi yang terjadi pada simblefaron
meliputi mata yang kering, penebalan dan keratinisasi konjungtiva akibat
paparan yang lama dan ulserasi kornea (exposure keratitis).
Dalam menangani kasus simblefaron, mencari penyebab simblefaron
adalah hal yang penting. Jika simblefaron bersifat asimtomatik, simblefaron
mungkin tidak perlu pengobatan dan hanya mencari kausa terjadinya scarring.
Menyingkirkan simblefaron yang disebabkan oleh progressive conjungtival
scaring disease seperti ocular cicatricial pemphigoid merupakan hal penting
juga. Pencegahan dapat dilakukan saat fase sebelum terbentuk simblefaron,
seperti pengusapan menggunakan glass coated rod dengan lubrikan disekitar
forniks beberapa kali dalam sehari. Penggunaan kontak lensa ukuran besar
juga membantu dalam mencegah terjadinya perlekatan pada proses
terbentuknya simbledaron.3
Pengobatan simblefaron yang bersifat kuratif meliputi
simblefarektomi. Area terbuka yang terbentuk dapat ditutupi dengan
memobilisasi konjungtiva sekitar pada kasus yang ringan. Conjungtival atau
buccal mocusa graft mungkin perlu dilakukan pada beberapa kasus.1,3,4
Berdasarkan pemeriksaan fisik segmen anterior mata kiri pasien
ditemukan adanya jaringan fibrovaskular di daerah nasal okuli sinistra yang
menutupi kornea 2 mm, adapun jaringan fibrovaskular ini mengarah pada
pterigium. Pterigium adalah pertumbuhan konjungtiva dan jaringan
fibrovaskular pada kornea yang dapat merusak lapisan epitel, membrana
bowman dan stroma superfisial kornea. Pertumbuhan ini umumnya terletak
pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas
ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian
sentral atau di daerah kornea. Pasien dengan pterigium dapat tidak bergejala,
tanpa keluhan atau justru memberikan keluhan mata iritatif, merah dan
mungkin akan memberikan keluhan seperti buram, berair, rasa mengganjal
dan penglihatan ganda.5,6,7,8
Prevalensi pterigium pada laki-laki lebih besar daripada perempuan
8%. Peningkatan kejadian pterigium dicatat di daerah tropis atau di zona
khatulistiwa antara 30 derajat lintang utara dan selatan. Hal ini telah dikaitkan
dengan radiasi matahari yang berlebihan dan meskipun patogenesis pterigium
tidak dipahami dengan jelas, sinar ultraviolet (UV) diterima secara luas.
menjadi faktor risiko tunggal yang paling penting dalam penyebabnya.
Radiasi UV memicu serangkaian peristiwa yang dapat menghasilkan
kerusakan pada DNA seluler, RNA dan matriks ekstraseluler.9,10,11
Perubahan yang diperantarai radiasi UV pada sel stem limbus
merupakan inisiasi patogenesis pterigium. Sel pterigium mengekspresikan
sejumlah sitokin inflamasi, faktor pertumbuhan (growth factor, GH), dan
matrix-metallo-proteinase (MMP) berkontribusi pada inflamasi, fibrogenesis,
dan vaskulasrisasi, dan invasi pterigium. Fibroblast limbus distimulasi oleh
radiasi UV, sehingga akan mensekresi GH dan MMP yang akan menyebabkan
remodeling matriks ekstraselular dan disolusi membran Bowman dan invasi
pterigium. (Gambar 3.1). Faktor resiko lain pterigium adalah debu, udara yang
panas, bekerja di luar ruangan, dan riwayat operasi pterigium sebelumnya
pada pterigium rekuren.8-11
Berdasarkan atas ukuran lesi pterigum, pterigium terdiri atas empat grade.
Grade I menutupi sampai limbus, grade II menutupi kornea 2 mm, grade III
mencapai tepi pupil dan grade IV menutupi pupil.12

Karakteristik ini sesuai dengan karakteristik pasien, yaitu seorang laki-laki


berdomisili di daerah tropis. Faktor resiko pada pasien adalah pekerjaan sebagai
petani dimana pasien sering terpapar sinar matahari, debu dan angin. Pasien ini
memiliki keluhan yang merupakan keluhan umum pada pterigium seperti
penglihatan buram, berair, dan rasa mengganjal, dari pemeriksaan fisik juga
ditemui adanya jaringan fibrovaskular di daerah nasal okuli sinistra yang
menutupi kornea 2 mm sehingga dapat disimpulkan pasien mengalami pterigium
grade II. Pasien juga mengaku sebelumnya memiliki riwayat pterigium dimata
kiri dan sudah dilakukan operasi. Komplikasi dari pterigium primer berupa
rekurensi sekitar 30-50% dan simblefaron.13 Tatalaksana untuk rekurensi
pterigium dengan simblefaron adalah simblefarektomi yang dikombinasikan
dengan eksisi pterigium dan terapi tambahan berupa fluorouracil atau mitomicin
C yang memiliki efek antimetabolit yang kuat. Beberapa indikasi dari eksisi
pterigium antara lain adanya pterigium yang menutupi aksis visual, adanya
keluhan tidak nyaman pada mata yang signifikan, iritasi yang berat ataupun
alasan kosmetik. Eksisi pterigium atau dikenal sebagai bare sclera
yangmelibatkan memotong kepala dan tubuh pterigium sambil membiarkan
scleral bed untuk reepitelisasi sehingga memiliki tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen hingga 89 persen. Penutupan defek dengan teknik tandur
konjungtiva dengan cara pengambilan autograft yang biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal dan penjahitan graft di atas skleral bed yang terbuka
setelah eksisi pterigium dan dalam beberapa studi, dimana rekurensi pada
pterigium primer 29% dan pada pterigium rekuren 33% dengan menggunakan
teknik ini. Terapi tambahan seperti fluorouracil (5-FU) yang merupakan analog
pirimidin dapat mengganggu sintesis DNA dan RNA dengan menghambat enzim
timidilatate sintetase dan menginduksi apoptosis dalam proliferasi fibroblast
dimana angka rekurensi penggunaan 5-FU pada kasus pterigium sebesar 27%.
Mitomycin C (MMC) telah digunakan sebagai inhibitor proliferasi fibroblast
dengan menghambat sintesis DNA yang menyebabkan kematian sel dan beberapa
penelitian menentukan bahwa semua konsentrasi MMC, dari 0,002% hingga
0,04%, diberikan selama 3 hingga 5 menit, mengurangi secara signifikan
kekambuhan pterigium bila dibandingkan dengan eksisi dengan bare sclera serta
tingkat kekambuhan untuk penggunaan MMC intraoperatif dalam operasi
pterigium primer bervariasi dari 6,7% hingga 22,5%. 14,15,16-18, 19-21
Indikasi Operasi

Simblefaron serta parut konjungtiva pada forniks dapat menyebabkan


gangguan penglihatan berat. Hal tersebut terjadi karena cicatricial entropion atau
gangguan dari arah bulu mata, serta trauma mekanis terhadap permukaan mata.
Trauma berulang tersebut dapat menyebabkan defisiensi limbal stem cell dan
penipisan kornea bahkan perforasi kronea. Untuk mencegah trauma tersebut
merupakan indikasi perlunya dilakukan tindakan operasi.3
Simblefaron adalah pertumbuhan patologis jaringan fibrovaskular
kongjungtiva yang berhubungan dengan penyembuhan luka yang tidak dapat
dikendalikan dan inflamasi. Simblefaron dapat menimbulkan morbiditas yang
signifikan pada mata. Penglihatan yang tidak maksimal dapat terjadi karena
kurang basahnya pada permukaan mata dan pemendekan forniks. Gangguan
penglihatan karena penyebab sekunder dapat terjadi karena obstruksi misal
ankiloblefaron ataupun keterbatasan motilitas mata dan menyebabkan diplopia.
Gangguan penglihatan akan menyebabkan kualitas hidup seseorang sangat
menurun. Oleh karena itu rekontruksi permukaan mata dengan cara
menyingkirkan parut konjungtiva dan simblefaron merupakan tindakan yang
sangat penting untuk memperbaiki fungsi mata dan meningkatkan kualitas hidup.3
Tindakan rekontruksi permukaan mata memerlukan prosedur anastesi baik
anastesi lokal dengan peribulbar block maupun general anasthesia. Perhatian
khusus perlu diberikan pada kasus tertentu misal Simblefaron pada Stevens-
Johnson Syndrome atau trauma mata bilateral. Tindakan operasi yang
memerlukan rekontruksi yang lama sebaiknya menggunakan general anasthesia.
Selain itu pasien sebaiknya menghentikan pemakaian obat-obat yang dapat
mengganggu operasi misalnya antikoagulan dan antiplatelet (warfarin,
klopidogrel, dan aspirin) beberapa hari sebelum operasi. Terapi yang diberikan
sebelum operasi umumnya untuk mengurangi inflamasi pada mata jika memang
diperlukan. Jika proses autoimun sistemik yang menjadi penyebabnya
imunosupresan sistemik sering kali dibutuhkan. Terapi tersebut mungkin
dilanjutkan satu sampai dua minggu setelah operasi.3,22
Prognosis simblefaron tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Angka
kesembuhan simblefaron dengan tindakan operasi sekitar 85%. Simblefaron
berulang merupakan komplikasi umum yang paling terjadi setelah dilakukan
operasi rekontruksi permukaan mata. Tingkat rekurensi simblefaron bervariasi
dari 0% sampai dengan 30% tergantung dari etiologinya.1,3 Infeksi yang terjadi
setelah operasi bisa terjadi tapi sangat jarang pada orang yang menerima
transplantasi membran amnion. Insidensi terjadinya infeksi pada orang yang
menerima tranplantasi membran amnion sekitar 1.6 % . Jika infeksi terjadi,
umumnya bakteri yang menjadi penyebabnya adalah bakteri gram positif.3
Pada mata kanan didapatkan pemeriksaan tajam penglihatan 6/25 dan
kekeruhan pada lensa dengan pemeriksaan shadow test positif yang mengarah
pada katarak imatur senilis. Katarak adalah kekeruhan lensa akibat sebab apapun,
dimana kondisi ini akan menimbulkan gejala penurunan kualitas penglihatan.
Katarak akibat proses penuaan atau dikenal sebagai age-related cataract atau
katarak senilis, merupakan jenis katarak yang paling sering terjadi. Pathogenesis
kondisi ini melibatkan banyak proses, beragregasi sehingga membentuk
kekeruhan dan bertambahnya lapisan-lapisan serat lensa yang lama-kelamaan
juga membuat lensa mengeras, padat, bebrpigmen, dan mengeruh. Kekeruhan
yang timbul bisa terjadi pada nukleas, korteks dan atau daerah subkapsular.
Faktor lingkungan yang berkorelasi signifikan dengn prevalensi katarak adalah
merokok serta pajanan ultraviolet. Katarak matur pada pemeriksaan pupil dengan
menggunakan senter pupil akan terlihat warna putih akibat lensa yang sudah
mengalami kekeruhan total. Jika kekeruhan lensa baru terjadi sebagian, atau
dikenal sebagai katarak imatur. Pemberian obat-obatan belum dapat memberikan
hasil yang memuaskan untuk pengobatan katarak. Sejumlah penelitian
menyimpulkan bahwa pemberian beberapa antioksidan seperti vitamin E dan
vitamin C dapat mengurangi angka kejadian katarak secara signifikan.
Pengobatan definitive pada penderita katarak adalah melalui operasi katarak.23
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam ad bonam karena tidak mengancam
jiwa, sedangkan quo ad functionam dan sanationam dubia ad bonam karena bisa
menyebabkan rekuren yang akan mengganggu penglihatan.
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan oftalmologis pada mata kiri


pasien Tn. SNK 45 tahun, ditemukan hasil yang mendukung diagnosis yaitu
Simblefaron Anterior dan Pterigium Grade II Oculi Sinistra. Pembedahan berupa
simblefarektomi yang dikombinasi dengan eksisi pterigium, bedah tandur
konjungtiva disertai pemberian fluorouracil (5FU) merupakan metode yang dapat
menjadi pilihan utama dalam terapi pterigium rekuren yang disertai simblefaron.
Tn. SNK juga menderita Katarak Imatur Senilis Oculi Dekstra.
DAFTAR PUSTAKA

1. Khurana AK. Disease OF Eyelids. In: Comprehensive Ophtalmology Fourth


Edition. India : New Age International Publishers. 2002. P 353-354
2. Brandon D, Ayres MD, Christopher R. Symblepharon – Eksternal and
Internal Eye. Visual Dx 2010. Available From:
https://www.visualdx.com/visualdx/diagnosis/symblepharondiagnosisId=5075
1&moduleId=21
3. Seery LS, Huang AJ, Conjungtival Symblepharon Surgery, In : Surgical
Management in Intraocular Inflammation and Infection. London: JP Medical.
2013. p 1-6.
4. Keswani RK. Skin-Graft in Case of Total Symblepharon. Brit J
Ophtalmology. 2000. Availabe From:
http://bjo.bmj.com/content/bjophthalmol/49/3/163.full.pdf
5. Singh SK. Pterygium: epidemiology prevention and treatment. Community
Eye Health. 2017;30(99):S5-S6.)
6. Liu L, Wu J, Geng J, Yuan Z, Huang D. Geographical prevalence and risk
factors for pterygium: a systematic review and meta-analysis. BMJ Open.
2013;3(11).
7. Rezvan F, Khabazkhoob M, Hooshmand E, Yekta A, Saatchi M, Hashemi H.
Prevalence and risk factors of pterygium: a systematic review and meta-
analysis. Surv Ophthalmol. 2018 Sep. Hlm. 719–35.
8. Hovanesian John A. Pterygium Pathogenesis, Actinic Damage and
Recurrence. Dalam: Pterygium Techniques and Technologies for Surgical
Success. California: SLACK Incorporated; 2012. Hlm. 5-10
9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013.
2013.
10. Todani A, Melki SA, Pterygium: current concepts in pathogenesis and
treatment. Intl Opthal Clinc. 2009. Hlm. 21–30.
11. Zhou W-P, Zhu Y-F, Zhang B, Qiu W-Y, Yao Y-F. The role of ultraviolet
radiation in the pathogenesis of pterygia (Review). Mol Med Rep. 2016
Jul;14(1):3–15.
12. Ribeiro LAM, Ribeiro LFGM, Castro PR de A, Silva FDL da, Ribeiro
VMWAM, Portes AJF, et al. Characteristics and prevalence of pterygium in
small communities along the Solimões and Japurá rivers of the Brazilian
Amazon Rainforest . Vol. 70, Rev Bras de Oftalmol . 2011;
13. Tan, Donald T.H., Ang Leonard P.K., Chua Jocelyn L.L. Current Concepts
and Techniques in Pterygium Treatment. Singapore: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. Hlm. 308
14. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Cornea. 2010:37 -
38.
15. Alpay A, Uğurbaş SH, Erdoğan B. Comparing techniques for pterygium
surgery. Clin Ophthalmol. 2009;3:69-74.
16. Kim DJ, Lee JK, Chuck RS, Park CY. Low recurrence rate of anchored
conjunctival rotation flap technique in pterygium surgery. BMC Ophthalmol.
2017;17(1):187. Published 2017 Oct 10. doi:10.1186/s12886-017-0587-z
17. Kim SH, Oh J-H, Do JR, Chuck RS, Park CY. A comparison of anchored
conjunctival rotation flap and conjunctival autograft techniques in pterygium
surgery. Cornea. 2013 Dec;32(12):1578–81.
18. Akhter W, Tayyab A, Kausar A, Masrur A. Reducing postoperative pterygium
recurrence: comparison of free conjunctival auto-graft and conjunctival
rotation flap techniques. J Coll Physicians Surg Pak. 2014 Oct;24(10):740–4.
19. Mahar PS, Manzar N. Pterygium recurrence related to its size and corneal
involvement. J Col Physicians Surg Pak. 2013;23(2):120–123.
20. Thakur SK, Khaini KR, Panda A. Role of low dose mitomycin C in pterygium
surgery. Nepal J Ophthalmol. 2012;4(1):203–205.
21. Erickson Benjamin P. Conjunctival Flaps. USA: Encyclopedia of
Ophthalmology; 2014. Hlm. 1-2
22. Shi W, Wang T, Gao H. Management Of Severe Ocular Burn With
Symblepharon. Springer-Velrag. 2008.
23. Buku Ajar Oftalmologi FKUI. Edisi Pertama. 2017. Hlm 195-200.

Anda mungkin juga menyukai