Anda di halaman 1dari 8

Efek probiotik pada rekurensi kandidosis vulvovaginalis

Ezzatalsadat Haji Seid Javadi, Sepehr Taghizadeh, Mehdi Haghdoost, and


Hamid Oweysee
ABSTRAK
Infeksi kandidiasis vulvovaginal rekuren adalah infeksi yang risiko
terjadinya 3 atau 4 kali terkena kandidosis vulvovaginalis independen dengan
gejala klinis spesifik dan konfirmasi laboratorium dalam setahun yang tidak ada
hubungannya dengan terapi antibiotik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa lactobacilli probiotik sangat efektif dalam pengobatan kandidosis
vulvovaginalis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh
terapi probiotik pada pasien kandidosis vulvovaginalis dibandingkan dengan
pengobatan standar. Dalam uji klinis acak double-blind yang dilakukan pada
wanita dengan kandidosis vulvovaginalis yang mengalami rekurensi di Bagian
Obstetrik dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Qazvin dan Bagian
Penyakit Menular Fakultas Kedokteran Universitas Tabriz, status infeksi
kandidosis vulvovaginalis yang mengalami rekurensi (resisten terhadap
pengobatan dan kambuh lebih dari 3 kali) dan respon pasien pada terapi
dievaluasi. Ada perbedaan signifikan dalam kelompok kasus dan kontrol sebelum
pengobatan dalam hal gejala. Gejala tersebut meliputi gatal (P = 0,359),
pembengkakan vulvovaginal (P = 0,414), disuria (P = 0,494), dyspareunia (P =
0,499), discharges abnormal (P = 0,785), dan juga nyeri pelvis dalam (P = 0,488).
Pasien dalam kelompok kasus secara signifikan lebih rendah daripada kelompok
kontrol dalam beberapa gejala setelah pengobatan seperti frekuensi dan intensitas
gatal (P = 0,003), disuria (P = 0,046), dyspareunia (P = 0,006), discharges
abnormal (P = 0,015) dan nyeri pelvis dalam (P = 0,031), sementara frekuensi
pembengkakan vulvovaginal setelah pengobatan tidak menunjukkan perbedaan
signifikan antara dua kelompok (P = 0,061). Pada akhir penelitian, 3 pasien dari
kelompok kasus dan 11 pasien kelompok kontrol tidak merespon pengobatan dan
penyakitnya bertambah parah. Tingkat intensifikasi dan kurangnya respon
terhadap pengobatan pada pasien kelompok kasus (dalam pengobatan tambahan
dengan probiotik) secara signifikan lebih rendah daripada pasien pada kelompok
kontrol (P = 0,019). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi
pengobatan dengan menggunakan bahan probiotik disamping penggunaan
perawatan rutin efektif untuk pasien dengan kandidosis vulvovaginalis yang
mengalami rekurensi. Kombinasi strategi ini menyebabkan peningkatan respons
pasien terhadap pengobatan dan pengurangan frekuensi serta tingkat keparahan
gejala pada pasien secara dramatis, sehingga frekuensi dan tingkat keparahan
gejala ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah
pengobatan.
Pendahuluan
Rekurensi infeksi kandidosis vulvovaginalis dianggap sebagai
setidaknya 3 atau 4 kali terkena infeksi kandidosis vulvovaginalis independen
dengan gejala klinis spesifik dan konfirmasi laboratorium (kultur pap smear
dengan hasil positif) dalam setahun yang tidak ada hubungannya dengan terapi
antibiotik (1-6)
Prevalensi tertinggi penyakit ini terdapat pada wanita berusia 35-25
tahun. Prevalensi infeksi ini telah dilaporkan pada komunitas yang berbeda (7).
Diabetes mellitus dengan kontrol yang buruk merupakan penyebab pasti dari
infeksi kandidiasis vulvovaginal (8-9). Kemungkinan hubungan antara infeksi
kandidosis rekuren dan kadar glukosa dicurigai telah menjadi penyebab penyakit
tersebut selama bertahun-tahun (10-13).
Studi yang dilakukan oleh Denders et al. pada 60 pasien dan 30 kontrol
memastikan metabolisme glukosa yang tidak terkontrol pada individu dengan
infeksi kandidiasis vaginal rekuren.
Yang et al. menunjukkan bahwa prevalensi infeksi kandidiasis
vulvovaginal jauh lebih tinggi pada wanita dengan GDM (Gestasional Diabetes
Mellitus) dan GIGT (Gestasional Impaired Glucose Tolerance) (15,3% dan
17,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (7,2%) (14). Pertumbuhan
Candida yang berlebihan terjadi karena penghambatan bakteri flora normal
vagina, berkurangnya imunitas seluler lokal, perubahan lingkungan metabolik dan
nutrisi serta mekanisme vagina (15).
Banyak faktor penyebab meningkatnya infeksi diantaranya kehamilan,
konsumsi tablet gestasional yang mengandung estrogen tinggi (lebih dari 40 μg),
IUD, minum antibiotik, diabetes tidak terkontrol dan obat imunosupresif, AIDS,
pemakaian pakaian dalam ketat, pria yang tidak dikhitan, penggunaan diafragma,
gurah vagina berulang, hubungan seksual tidak sehat atau over, anemia kronis dan
alergi musiman (16-20).
Wang et al percaya bahwa tidak ada hubungan antara kondisi ekonomi
dan sosial dengan vaginitis (21). Klotrimazol dianggap sebagai pengobatan
pertama dan jika terjadi kegagalan respon, digunakan Fluconazol (22-23). Obat ini
memiliki efek samping yang tidak biasa dan tidak sesuai seperti obat lain yaitu
intoleransi pencernaan ringan, sakit kepala dan ruam kulit (24).
Probiotik adalah mikroorganisme hidup memiliki efek kesehatan positif
saat dikonsumsi oleh host (25). Lactobacillus merupakan flora normal vagina
yang memiliki peran dasar dalam menekan potensi patogen. Lactobacillus yang
diresepkan pada jalur genital berperan penting sebagai profilaksis dalam
memperbaiki dan memperkuat pertahanan mikroflora genital dari infeksi bakteri
(26).
Ada berbagai jenis probiotik dan lactobacillus serta bifidobacterium
adalah dua kelompok utama probiotik (27-28). Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa lactobacilli probiotik sangat efektif dalam pengobatan
kandidosis vulvovaginalis (26, 29).
Sementara, studi lain tidak mendukung laporan tersebut dan pengaruh
positif probiotik dalam pengobatan kandidosis vulvovaginalis masih kontroversial
(30-31). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh terapi
probiotik pada pasien kandidosis vulvovaginalis dibandingkan dengan pengobatan
standar.

Bahan dan metode


Dalam uji klinis acak double-blind yang dilakukan pada wanita dengan
kandidosis vaginalis yang mengalami rekurensi di Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Qazvin dan Departemen Penyakit
Menular Fakultas Kedokteran Universitas Tabriz, status infeksi kandidosis
vulvovaginalis rekuren (resisten terhadap pengobatan dan kambuh lebih dari 3
kali) serta respon pasien terhadap terapi dievaluasi.
Dalam penelitian ini, semua wanita dengan gejala kandidosis
vulvovaginalis yang telah dirujuk untuk pengobatan selama penelitian dipilih dan
dimasukkan dalam penelitian. Ukuran sampel yang diperlukan untuk
membandingkan kedua kelompok tersebut dihitung 82 orang dengan interval
kepercayaan 95 persen. Sampel ditentukan berdasarkan metode sampling berbasis
target di antara individu yang memenuhi syarat dan kemudian dibagi menjadi dua
kelompok (kasus dan kontrol) masing-masing 41 orang menggunakan software
alokasi Acak.
Pemeriksaan dan pengambilan sampel berdasarkan kriteria inklusi yang
meliputi berusia 15-45 tahun, menikah, memiliki tanda dan gejala Kandidosis
vaginalis dalam wawancara dan observasi serta konfirmasi melalui uji
laboratorium, monogami, tidak hamil, tidak menyusui, tidak menopause, tidak
menggunakan pil kontrasepsi, tidak ada penyakit penyerta, tidak menggunakan
antibiotik dalam dua minggu terakhir, tidak menggunakan obat oral dan vaginal
yang berhubungan dengan perawatan infeksi vagina selama dua minggu terakhir,
kurang sensitif terhadap obat yang digunakan, tidak ada vaginitis trikomoniasis
dan juga melengkapi formulir persetujuan.
Peneliti dan pasien dibutakan untuk semua kelompok studi kasus (case
and control). Informasi yang diperlukan yang diperoleh dan dicatat dari pasien
meliputi informasi demografi (umur, berat badan dan BMI), informasi obstetrik
(graviditas dan paritas) serta status penyakit (gatal dan cairan vagina).
Individu yang memenuhi syarat diminta untuk berada pada posisi
lithotomy dan spekulum dimasukkan ke dalam vagina tanpa adanya impregnasi
pelumas. Pada awalnya, serviks dan vagina dinilai berdasarkan gejala seperti
(viskositas dan bau sekresi, eritema dan kemerahan vulvovaginal, lesi
pustulopapuler dan vulvs dll) serta temuan abnormal dan dicatat dalam daftar
pengamatan pemeriksaan. Kemudian sampel sekresi dikumpulkan dari bagian atas
dan dinding lateral vagina menggunakan tiga kapas steril dan diperiksa.
Ph vagina ditentukan dengan menggunakan PH meter (Merck, Jerman).
Ph sekresi di atas 4,5 menunjukkan infeksi campuran dan sampel dieksklusi.
Pasien dimasukkan dalam studi setelah dinyatakan terkena infeksi Candida
vaginitis. Pasien pada kedua kelompok diobati dengan kapsul Flukonazol 100
mg/BID selama tujuh hari dan kapsul probiotik vagina diresepkan untuk pasien
dalam kelompok kasus selama dua minggu setelah pengobatan.
Dalam penelitian ini kedua kelompok diobati dengan krim vagina
Clotrimazole 1% aplikator plastik setiap malam selama seminggu. Semua sampel
diberi pamflet edukasi kesehatan tentang petunjuk bagaimana cara mengkonsumsi
obat, efek samping obat, saran kesehatan, kurangnya minum antibiotik dan obat
vagina lainnya.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi kejadian kehamilan,
kurangnya keinginan subjek untuk terus berpartisipasi dalam penelitian, indikasi
penggunaan antibiotik untuk tujuan apapun selama penelitian, kejadian intoleransi
atau alergi terhadap obat apa pun, kegagalan untuk mengamati target akhir dalam
penelitian ini.
Respon kedua kelompok terhadap terapi (gejala klinis, nilai pH,
penilaian mikroskopik dan medium kultur sabro-Dextrose-Agar) diamati
seminggu setelah selesai pengobatan dan dicatat hasilnya.
Diagnosis pasti dilakukan dengan menggunakan larutan KOH. Pasien
dengan infeksi lebih dari 3 kali dalam setahun dianggap sebagai vaginitis saat ini.
Gejala reoccurrence dalam 2 bulan setelah pengobatan dengan konfirmasi
laboratorium dianggap sebagai kambuhnya penyakit. Pasien diabetes dan pasien
dengan HIV dikeluarkan dari penelitian ini.

Hasil dan Diskusi


Dalam penelitian ini, 82 pasien dengan kandidosis vulvovaginalis
rekuren dipilih dan diobati dalam dua kelompok kasus dan kontrol. Usia rata-rata
pasien adalah 27,09 ± 4,43 dan 28,21 ± 7,16 tahun masing-masing pada kasus dan
kelompok kontrol (P = 0,394). Temuan demografis pasien dalam dua kelompok
ditunjukkan pada tabel I.
Keberadaan gejala klinis dan keluhan pasien saat sebelum diberi
pengobatan seperti gatal ditemukan sebanyak 93,9% (40 pasien pada kelompok
kasus dan 37 pasien pada kelompok kontrol), pembengkakan vulvovaginal
sebanyak 79,2% kasus (34 pasien pada kelompok kasus dan 31 pasien pada
kelompok kontrol), disuria sebanyak 37,8% kasus (17 pasien pada kelompok
kasus dan 14 pasien pada kelompok kontrol), dispareunia sebanyak 59,75% kasus
(26 pasien pada kelompok kasus dan 23 pasien pada kelompok kontrol), pelepasan
vagina abnormal sebanyak 79,2% kasus (32 pasien pada kelompok kasus dan 33
pasien pada kelompok kontrol) serta nyeri pelvis sebanyak 64,6% kasus (28
pasien pada kelompok kasus dan 25 pasien pada kelompok kontrol).
Dan terdapat gejala klinis dan keluhan pasien setelah pengobatan
seperti gatal sebanyak 59,75% kasus (18 pasien pada kelompok kasus dan 31
pasien pada kelompok kontrol), pembengkakan vulvovaginal sebanyak 14,6%
kasus (3 pasien pada kelompok kasus dan 9 pasien pada kelompok kontrol),
disuria sebanyak 18,3% kasus (4 pasien pada kelompok kasus dan 11 pasien pada
kelompok kontrol), dispareunia sebanyak 36,6% kasus (9 pasien pada kelompok
kasus dan 21 pasien pada kelompok kontrol), discharges abnormal sebanyak 50%
Kasus (15 pasien dalam kelompok kasus dan 26 pasien pada kelompok kontrol)
dan nyeri pelvis sebanyak 30% kasus (8 pasien pada kelompok kasus dan 17
pasien pada kelompok kontrol).
Tidak ada perbedaan gejala yang signifikan antara kelompok kasus dan
kelompok kontrol sebelum pengobatan. Gejala tersebut meliputi gatal (P = 0,359),
pembengkakan vulvovaginal (P = 0,414), disuria (P = 0,494), dyspareunia (P =
0,499), pelepasan vagina abnormal (P = 0,785), dan juga nyeri pelvis dalam (P =
0,488). Akan tetapi setelah pengobatan, pasien dalam kelompok kasus secara
signifikan lebih rendah daripada kelompok kontrol dalam beberapa hal gejala
yang meliputi frekuensi dan intensitas gatal (P = 0,003), disuria (P = 0,046),
dyspareunia (P = 0,006), pelepasan vagina abnormal (P = 0,015) dan nyeri pelvis
dalam (P = 0,031), namun frekuensi pembengkakan vulvovaginal setelah
pengobatan tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara dua kelompok (P =
0,061). Tingkat keparahan dan frekuensi gejala pada pasien di kelompok kasus
berkurang setelah pengobatan; namun perubahan tersebut tidak signifikan pada
kelompok kontrol (tabel II).
Pada akhir penelitian, 3 pasien dari kelompok kasus dan 11 pasien
kelompok kontrol tidak merespon pengobatan dan penyakit mereka bertambah
parah.
Tingkat intensifikasi dan kurangnya respon terhadap pengobatan pada
pasien kelompok kasus (di bawah pengobatan tambahan dengan probiotik) secara
signifikan lebih rendah daripada pasien di kelompok kontrol (P = 0,019).
Martinez et al. menyatakan bahwa 55 orang (100%) memiliki keluhan
dengan sekresi vagina disertai setidaknya satu gejala iritasi, gatal, disuria dan
dyspareunia pada kedua kelompok terapi dengan Flukonazol dan probiotik, serta
Fluconazol dan plasebo, sementara setelah pengobatan, hanya 3 orang (10,3%)
pada kelompok terapi Flukonazol dan probiotik, dan 9 orang (34,6%) pada
kelompok Flukonazol dan plasebo memiliki keluhan sekresi vagina disertai
setidaknya satu gejala iritasi, gatal, disuria dan dispareunia vagina (P = 0,03) (29).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua metode terapi sama efektifnya dalam
menyelesaikan gejala pasien.
Dalam penelitian kami, keluhan pasien yang paling umum dilaporkan
setelah pengobatan adalah gatal (43,9%) dan keputihan abnormal (36,6%). Gatal
(75,6%) dan keputihan abnormal (63,4%) juga merupakan keluhan yang paling
umum pada pasien pada kelompok kontrol.
Ride et al. menyatakan bahwa peningkatan gejala terlihat pada 12 orang
(30%) yang diobati dengan lactobacillus oral seperti ramunosos dan fermentom
dibandingkan dengan kelompok yang diobati dengan plasebo yaitu sebanyak 4
orang (12%) yang merupakan indikasi potensi efektivitas ramunosos dan
fermentasi (32).
Martinez et al. menunjukkan bahwa setelah pengobatan hanya 2 orang
(6,9%) pada kelompok terapi dengan Flukonazol dan probiotik dan 1 orang
(3,8%) pada kelompok terapi Flukonazol dan plasebo yang memiliki pH > 4,5
(29). Martinez et al. juga menunjukkan bahwa 55 orang (100%) pada kedua
kelompok memiliki kultur positif Candida sebelum diobati. Setelah pengobatan,
hanya 3 orang (10.3) pada kelompok yang diobati dengan Fluconazol dan
probiotik dan 10 orang (38,5%) pada kelompok terapi dengan Flukonazol dan
plasebo memiliki kultur positif Candida (29).
Srees et al mengungkapkan bahwa lactobacillus dapat mengeluarkan
H2O2 dalam jumlah besar, menghambat pertumbuhan Candida albicans lebih
cepat dan lebih kuat daripada spesies lainnya (33).
Sebagaimana hasil penelitian di atas, penggunaan senyawa probiotik
bersama dengan pengobatan standar lainnya dapat memperbaiki gejala dan
meningkatkan keberhasilan pengobatan pada pasien dengan candida vulvovaginal
rekuren.
Kesimpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi pengobatan dengan
bahan probiotik disamping penggunaan pengobatan rutin efektif untuk pasien
dengan kandidiasis vulvovagin rekuren. Kombinasi strategi ini meningkatkan
respons pasien terhadap pengobatan serta mengurangi frekuensi dan tingkat
keparahan gejala pada pasien secara dramatis, sehingga frekuensi dan tingkat
keparahan gejala ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok kontrol
setelah pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai