TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Pada tahun 1898, dermatitis kontak pertama kali dipahami memiliki lebih
dari satu mekanisme, dan saat ini secara general dibagi menjadi dermatitis kontak
iritan dan dermatitis kontak alergi. Dermatitis kontak iritan berbeda dengan
dermatitis kontak alergi, dimana dermatitis kontak iritan merupakan suatu respon
biologis pada kulit berdasarkan variasi dari stimulasi eksternal atau bahan pajanan
yang menginduksi terjadinya inflamasi pada kulit tanpa memproduksi antibodi
spesifik.2
1
II. EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis
kontak iritan sulit didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan
cukup banyak, namun sulit untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara
lain oleh banyak penderita yang tidak datang berobat dengan kelainan ringan.6
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic
menunjukkan bahwa 249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun
2004 untuk kedua jenis kelamin, 15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang
merupakan penyebab kedua terbesar untuk semua penyakit okupational. Juga
berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama, bahwa incident rate untuk
penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-95%
dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit
didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.1,7
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak
di Sweden melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun
sebelumnya. Orang yang bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja
bersentuhan dengan bahan kimia keras yang memiliki potensial merusak kulit dan
mereka yang diterima untuk mengerjakan pekerjaan basah secara rutin memiliki
faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki yang dipekerjakan sebagai
pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.8
III. ETIOLOGI
Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi
potensial iritan sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial
iritan bentuk senyawa mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang
dimaksudkan termasuk : (1) Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik,
2
konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan ;
(2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis kontak,
pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan
sebelumnya ; (3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan
faktor mekanik seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan
yang rendah dan suhu dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang
menyebabkan kulit lebih rentan pada bahn iritan.1
Faktor Endogen
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk
mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan,
dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock protein
semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga menentukan
keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu,
predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap
bahan iritan.1 Pada penelitian, diduga bahwa faktor genetik mungkin
mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah
dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.10
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan
wanita dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara
jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak
terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada
laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis kontak
iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.1,9,10
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-
bahan kimia dan bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan
bahwa tidak ada kecurigaan pada peningkatan pertahanan kulit dengan
meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada percobaan iritasi kulit
sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
3
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan
pertahanan) meningkat pada orang muda.1 Reaksi terhadap beberapa
bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat penurunan respon
inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi
perkutaneus.10
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi
berkembangnya dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema
sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru menggunakan eritema
sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur iritasi yang mungkin
sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten
terhadap bahan iritan daripada kulit putih.1
e. Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan
terhadap dermatitis kontak iritan. Telapak tangan dan kaki jika
dibandingkan lebih resisten.1,10
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis
iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan
dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis iritan karena
rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan, dan
lambatnya proses penyembuhan.1 Pada pasien dengan dermatitis atopi
misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan
iritan.11
IV. PATOGENESIS
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Ada empat mekanisme yang dihubungkan
dengan dermatitis kontak iritan, yaitu:1,6
4
2. Jejas pada membran sel
3. Denaturasi keratin epidermis
4. Efek sitotoksik langsung
Gambar 1 : (a-d) mekanisme imunologis terjadinya dermatitis kontak iritan (DKI). (a) bahan iritan fisik dan kimia memicu
pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya yang disebut sinyal bahaya. (b) sel epidermis dan dermis merespon sinyal
bahaya tersebut. (c) setelah itu, sitokin inflamasi dikeluarkan dari sel residen dan sel inflamasi yang sudah terinfiltrasi.
Sitokin utama pada proses ini adalah CXCL 8 (bentuk yang dikelan adalah IL-8) (d) sebagai akibatnya, dari produksi sitokin
Pada respon iritan, terdapat komponen menyerupai respon imunologis yang
inflamasi, banyak sel inflamasi termasuk neutrofil diserang dan dibawa pengaruh picuan inflamasi mengeluarkan mediator
dapatdapat
inflamasi. Hasilnya didemonstrasikan dengan
dilihat secara klinis jelas,
pada DKI. dimana
Dikutip hal tersebut[12]
dari kepustakaan ditandai oleh pelepasan
5
mediator radang, khususnya sitokin dari sel kulit yang non-imun (keratinosit)
yang mendapat rangsangan kimia. Proses ini tidaklah membutuhkan sensitasi
sebelumnya. Kerusakan sawar kulit menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin
seperti Interleukin-1α (IL-1α), IL-1β, tumor necrosis factor- α (TNF- α). Pada
dermatitis kontak iritan, diamati peningkatan TNF-α hingga sepuluh kali lipat dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan IL-2 hingga
tiga kali lipat. TNF- α adalah salah satu sitokin utama yang berperan dalam
dermatitis iritan, yang menyebabkan peningkatan ekspresi Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan intracelluler adhesin molecul-I
pada keratinosit.1
V. GAMBARAN KLINIS
6
Pada DKI, kulit terasa pedih atau panas, eritema, vesikel atau bulla.
Luas kelainanya sebatas daerah yang terkena dan berbatas tegas.1,7 Pada
beberapa individu, gejala subyektif (rasa terbakar, rasa tersengat) mungkin
hanya satu-satunya manifestasi. Rasa sakit dapat terjadi dalam beberapa
detik dari pajanan. Spektrum perubahan kulit berupa eritma hingga vesikel
dan bahan pajanan bahan yang dapat membakar kulit dapat menyebabkan
nekrosis.1,6 Secara klasik, pembentukan dermatitis akut biasanya sembuh
segera setelah pajanan, dengan asumsi tidak ada pajanan ulang – hal ini
dikenal sebagai “decrescendo phenomenon”. Pada beberapa kasus tidak
biasa, dermatitis kontak iritan dapat timbul beberapa bulan setelah
pajanan, diikuti dengan resolusi lengkap.2 Bentuk DKI Akut seringkali
menyerupai luka bakar akibat bahan kimia, bulla besar atau lepuhan. DKI
ini jarang timbul dengan gambaran eksematousa yang sering timbul pada
dermatitis kontak.9
7
pada malam hari, dimana gejalanya muncul keesokan harinya berupa
eritema yang kemudian dapat menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.6
Gambar 3 : DKI kronis akibat efek korosif dari semen Dikutip dari
kepustakaan [7]
8
tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut).6
4. Reaksi Iritan
Secara klinis menunjukkan reaksi akut monomorfik yang dapat
berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan biasanya
terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada
orang yang terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh,
menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.1,6,7
9
tinggi.1 Penyakit ini ditandai dengan perubahan sawar stratum korneum
tanpa tanda klinis (DKI subklinis).6
10
yang steril dan transien, dan dapat berkembang beberapa hari setelah
pajanan. Tipe ini dapat dilihat pada pasien dermatitis atopy maupun pasien
dermatitis seboroik.1,2
VI. DIAGNOSIS
11
karena munculnya lebih cepat sehingga penderita lebih mudah mengingat
penyebab terjadinya. DKI kronis timbul lambat serta mempunyai gambaran klinis
yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Selain anamnesis, juga
perlu dilakukan beberapa pemeriksaan untuk lebih memastikan diagnosis DKI.6
A. Anamnesis
Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI
tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai pasien.
Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis DKI (gejala
subyektif) adalah:13
- Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus
- Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI
akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti
benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana
reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam setelah pajanan.
- Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada
DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan
berulang dari suatu bahan iritan yang merusak kulit.
- Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak
nyaman akibat pruritus yang terjadi.
B. Pemeriksaan Fisis
Menurut Rietschel dan Flowler, kriteria dignosis primer untuk DKI sebagai
berikut: 13-14
- Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk
vesikel
- Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
- Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
- Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
C. Pemeriksaan Penunjang.
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak
iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat
12
beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi
menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik tes yang dapat memperlihatkan efek
yang didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis
kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek
berbagai iritans.14
1. Patch Test
Patch test digunakan untuk menientukan substansi yang menyebabkan
kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis DKA. Konsentrasi
yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil
negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat
terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48
jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih
lanjut, dan kemabali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika
hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis
sebagai DKI,1,7 Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis,
dengan dermatitis kontak yang rekuren.13
2. Kultur Bakteri
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi
sekunder bakteri.13
3. Pemeriksaan KOH
Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikology pada
infeksi jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini tergantung
tempat dan morfologi dari lesi.13
4. Pemeriksaan IgE
Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic
atau riwayat atopi.13
13
pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.18
Pada patch tes, didapatkan hasil positif untuk alergen yang telah diujikan,
dan sensitifitasnya berkisar antara 70 – 80%.16
2. Dermatitis Atopi
Merupakan keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai dengan gatal
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak. Sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat
atopi pada keluarga penderita.6 Oleh karena itu, pemeriksaan IgE pada
penderita dengan suspek DKI dapat dilakukan untuk mengurangi
kemungkinan diagnosis dermatitis atopi.
3. Tinea Pedis
Merupakan penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya
stratum korneun pada epidermis, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh
jamur dermatofitosis. Penderita bisa merasa gatal dan kelainan berbatas
tegas, terdiri atas macam-macam effloresensi kulit. Bagian tepi lesi lebih
aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. Pada
tinea pedis, khususnya bentuk mocassin foot, pada seluruh kaki terlihat
kulit menebal, dan bersisik serta eritema yang ringan terutama di tempat
yang terdapat lesi.19
VIII. PENATALAKSANAAN
14
1. Kompres dingin dengan Burrow’s solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan
membantu mengurangi pertumbuhan bakteri.5,17 Kompres ini diganti setiap 2-
3 jam.5
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih
kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang
lama dari corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada stratum
korneum.17 Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat, mungkin dianjurkan
pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di
tappering 10mg.7
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya
infeksi sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme
antimikroba yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang
penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan, tapi
hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan
antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat
penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan
antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin mungkin dapat
mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis akibat iritan. Terdapat
percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi antihistamin untuk dermatitis
kontak iritan, dan secara klinis antihistamin biasanya diresepkan untuk
mengobati beberapa gejala simptomatis.5
4. Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)
Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk
menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan
dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin
dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan.5
Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada
hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi
sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI.5
15
5. Kationik Surfaktan
Surfaktan kationik benzalklonium klorida yang iritatif dapat meringankan
gejala dalam penatalaksanaan iritasi akibat anion kimia.5
6. Emolien
Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat
berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat
meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit
lebih baik.5
7. Imunosupresi Oral
Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat
seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak
boleh digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya. Oleh
karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin lebih
berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azadtrioprim.5
8. Fototerapi dan Radioterapi Superfisial
Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak iritan,
khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi
photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet B, dimana
penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan fotosensitizer (soralen
oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar Grentz juga
dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan yang kronis.
Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru, hal ini mungkin
disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena radioterapi.5
IX. PROGNOSIS
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak
dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis
yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi.1,6
16
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama : Tn. D
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 31 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Penjual buah
Tinggi badan : 175 cm
Berat badan : 75 Kg
Tanggal pemeriksaan : 16 juli 2018
Anamnesis
Keluhan Utama
17
Faktor Memperingan : diberi salep oleh dokter ( keluhan sempat
berkurang, namun kemudian kambuh lagi.
Gejala penyerta : tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak mengalami keluhan serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit keluarga/atopi:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti pasien
Riwayat alergi makanan tidak ada
Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada
Riwayat sesak nafas jika terkena debu tidak ada
Riwayat alergi pada keluarga tidak ada
Riwayat Kebiasaan:
Pasien dulunya adalah seorang montir di bengkel dan sering bekerja tanpa
menggunakan alat pelindung diri.
Riwayat Alergi obat/ makanan:
Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat
Sosial ekonomi :
Biaya pegobatan ditanggung oleh BPJS non PBI kesan : ekonomi cukup
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : composmentis cooperatif
Suhu : afebris
Tinggi : 175 cm
Berat badan : 75 kg
Status gizi : baik
Pemeriksaan thorak : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan ekstremitas : diharapkan dalam batas normal
18
Status Dermatologikus
Lokasi : telapak tangan dan telapak kaki
Distribusi : merata
Bentuk : tidak khas
Susunan : tidak khas
Batas : tegas
Ukuran : plakat
Effloresensi :
Tangan : hiperkeratosis dengan , skuama
keputihan kasar
Kaki : hyperkeratosis disertai dengan
fissura
Pemeriksaan Laboratorium
Resume
19
terasa gatal , lama kelamaan kulit menjadi kering, terasa tebal dan pecah
pecah, sampai tidak mengeluarkan keringat. Sebelum menjadi tukang
buah, pasien merupakan seorang montir di bengkel dan sering bekerja
tanpa menggunakan alat pelindung diri. Lesi bertambah nyeri apabila
terkena air atau dalam kondisi lembab terutama dibagian telapak kaki yang
mengalami pecah pecah. Sebelumnya belum pernah diobati dan di
keluarga tidak ada yang sakit serupa.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan uji tempel
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Penatalaksanaan
1. Non Farmakologi
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini merupakan penyakit yang
berhubungan dengan adanya bahan atau substansi yang menmepel dan
mengiritasi kulit.
Menjaga kulit agar tidak terpajan dengan bahan atau substansi yang di
curigai menjadi penyebab iritasi.
20
Jaga kebersihan kulit , dan di sikati secara perlahan lahan dengan sikat
halus di bagian kuit yang kotor terutama bagian telapak kaki yang
mengalami fisura.
Kontrol 1 minggu lagi
2. Farmakologi
Sistemik:
R/ methylprednisolone tab 4 mg no. XXVII
S 2 d.d. tab 2
R/ loratadine tab 10 mg no. VII
S 1 d.d tab 1
Topikal:
R/ Asam salisilat
Vaselin album
Clobetasol propionet
Mf. Cream
S.u.e
Prognosis
Quo ad sanationam : bonam
Quo ad vitam : bonam
Quo ad kosmetikum : bonam
Quo ad functionam : bonam
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw –
Hill; 2008.p.396-401.
2. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact
Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8
3. Buxton, Paul K. ABC Of Dermatology 4th ed. London: BMJ Books;
2003.p.19-21
4. Grawkrodjer, David J. Dermatology an Illustrated Colour Text Third Edit.
British: Crurchill Livingstone.2002.p.30-1
5. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5
6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A,
Mochtar H, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.
7. Wolff C, Richard AJ, and Dick S, editors. Fitzpatrick’s Color Atlas &
Synopsis Of Clinical Dermatology 5th ed. New York: McGraw – Hill; 2005.
8. Gould Dinah. Occupational Irritan Dermatitis in Healthcare Workers –
Meeting the Challenge of Prevention.[Online] 2003 [cited 2011 January 9]:[5
screens]. Available from : URL:http://ssl-international.com
22
9. Grand SS. Allergic Contact Dermatitis Versus Irritant Contact
Dermatitis.[Online].2008. [cited 2011 January 9]:[30 screens]. Available
from: URL:http://wsiat.on.ca/english/mlo/allergic.htm
10. Wilkinson SM, and Beck MH. Rook’s Textbook Of Dermatology 7th ed.
Australia: Blackwell Publishing. 2004.chapter 19.
11. Schnuch A and Berit CC, editors. Genetics And Individual Predispotitions in
Contact Dermatitis. In: Johansen JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact
Dermatitis 5th ed. New York: Springer. 2011.p.28-30
12. Rustenmeyer T, Ingrid MW, B.Mary E, Sue G, Rik JS, editors. In: Johansen
JD, Peter JF, Jean PL, editors. Contact Dermatitis 5th ed. New York:
Springer.2011.p.43-8.
13. Hogan D J. Contact Dermatitis, Irritant. [Online] 2009 [cited 2011 January
8]:[4 screens]. Available from: URL: http://emedicine.medscape/
article/1049352-overview.htm
14. Anonim. Contact Dermatitis. [Online] 2009 [cited 2011 January 9]:[1 screen].
Available from: URL: http://nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article
/000869..htm
15. Ale SI and Howard IM, editors. Irritant Contact Dermatitis Versus Allergic
Contact Dermatitis. In: Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.11-6
16. Bourke J, Coulson I, and English J. Guidelines For The Managemen Of
Contact Dermatitis: An Update. London: British Journal of Dermatology;
2008.p.946-54
17. Loffer H and Isaak E, editors. Primary Prevention Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.401-6
18. Ngan Vanessa. Irritant Contact Dermatitis. [Online] 2010 [cited 2011 January
9]:[1 screen]. Available from: URL: http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-
irritant.htm
19. Budimulja, Unandar. Dermatofitosis. In: Djuanda A, Mochtar H, Aisah S,
editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p.92-3.
23
20. Anonim. What Is Causing Skin Rashes. [online] 2009 [cited 2011 January
18]: [1 screen]. Available from: URL: http://bhealthy4life.com/?p=1.htm
21. Desar IME, A Phase I Dose Escalation Study To Evaluate Safety And
Tolerability Of Sorafenib Combined With Sirolimus In Patient With Advance
Solid Cancer. [online] 2010 [cited 2011 January 18]:[3 screens]. Available
from: URL: http://nature.com/bjc/journal/v103/n11/fig_tab/6605777f2.html
22. Anderson CK, Asteatotil Eczema. [online] 2009 [cited 2011 January 18]:[1
screen]. Available from: URL: http://emedicine.medscape.com/article/
1124528-overview.htm
24