Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Dermatitis Kontak

2.1.1 Definisi Dermatitis Kontak

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon

terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan

klinis berupa efloresensi polimorfi (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,

likenifikasi) dan keluhan gatal (Sapta dan Usman, 2017). Dermatitis kontak adalah

respon dari kulit dalam bentuk peradangan yang dapat bersifat akut maupun kronik,

karena paparan dari bahan iritan eksternal yang mengenai kulit (Sartika dan

Septiwati, 2019).

Smeltzer & Bare (2001) juga mengatakan dermatitis kontak merupakan reaksi

inflamasi kulit terhadap unsur-unsur fisik, kimia, atau biologi. Epidermis mengalami

kerusakan akibat iritasi fisik dan kimia yang berulang-ulang. Dermatitis kontak bisa

berupa tipe iritan-primer dimana reaksi non-alergik terjadi akibat pajanan terhadap

substansi iritatif, atau tipe alergi (dermatitis kontak alergik) yang disebabkan oleh

pajanan orang yang sensitive terhadap allergen kontak. Reaksi pertama dari dermatitis

kontak mencakup rasa gatal, terbakar, eritema yang segera diikuti oleh gejala edema,

papula, vesikel serta perembasan cairan atau secret. Sedangkan pada fase subakut,

perubahan vesikuler ini tidak begitu mencolok lagi dan berubah menjadi

pembentukan krusta, pengeringan, pembentukan fisura serta pengelupasan kulit. Jika

9
10

terjadi reaksi yang berulang ulang atau bila pasien terus-menerus menggaruk

kulitnya, penebalan kulit (likenifikasi) dan pigmentasi (perubahan warna) akan terjadi

2.1.2 Jenis-jenis Dermatitis Kontak

Ada dua jenis dermatitis kontak akibat kerja yaitu (Cahyawati, 2011):

a. Dermatitis Kontak Iritan Dermatitis Kontak Iritan, disebabakan oleh bahan

yang bersifat iritan misalnya pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan

kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,

konsentrasi, vehikulum, serta suhu bahan iritan tersebut, juga dipengaruhi

oleh beberapa faktor yaitu lama kontak, kekerapan, adanya oklusi,

menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma fisik.

Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan. Dermatitis kontak iritan

dapat bersifat akut dan primer.

b. Dermatitis Kontak Alergic disebabkan oleh alergen. Alergen yang paling

sering menyebabkan dermatitis jenis ini adalah bahan kimia dengan berat

molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut sebagai bahan kimia

sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi

alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.

2.1.3 Penyebab Dermatitis

Penyebab dermatitis kadang-kadang tidak diketahui. Sebagian besar

merupakan respons kulit terhadap agen-agen, misalnya zat kimia, protein, bakteri,

dan fungus. Respons tersebut dapat berhubungan dengan alergi. Alergi ialah

perubahan kemampuan tubuh yang didapat dan spesifik untuk bereaksi. Agen-agen
11

penyebab penyakit kulit akibat kerja dapat digolongkan sebagai berikut (Cahyawati,

2011):

a. Agen Fisik Antara lain tekanan atau gesekan, kondisi cuaca (angin, hujan, cuaca

beku, matahari), panas, radiasi (ultraviolet, ionisasi), dan serat-serat mineral.

b. Agen Kimia Agen kimia terbagi menjadi 4 kategori:

1) Iritan primer yaitu asam, basa, pelarut lemak, detergen, garam garam logam

(arsen, air raksa).

2) Sensitizer, diantaranya logam dan garam-garamnya (kromium, nikel, kobalt,

dll) senyawa-senyawa yang berasal dari anilin (pfenilendiamin, pewarna azo,

dll), derivat nitro aromatic (trinitoulen), resin (khususnya monomer dan aditif

seperti epoksiresin, formaldehid, vinil, akrilik, akselerator, plasticizer), bahan-

bahan kimia karet (vulcanizer seperti dimetiltiuram disulfida, antioksidan),

obat-obatan dan antibiotik (misalnya prokain, fenotiazin, klorotiazid,

penicilin, dan tetrasiklin), kosmetik, terpentin, tanam-tanaman (misalnya:

primula dan chrysanthemum)

3) Agen-agen aknegenik yaitu naftalen dan bifenil klor, minyak mineral.

4) Photosensitizer yaitu antrasen, pitch, derivat asam aminobenzoat,

hidrokarbon, aromatik klor, pewarna akridin.

c. Agen Biologi Meliputi beberapa mikroorganisme (mikroba, fungi), parasit kulit

dan produk-produknya juga menyebabkan penyakit kulit.


12

2.1.4 Patogenesis Dermatitis Kontak

Mekanisme terjadinya dermatitis kontak pada kulit akan dibahas dibawah ini

(Apriyantri dkk, 2015) :

a. Dermatitis Kontak Iritan

Pada dermatitis kontak iritan, kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel

melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi

keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.

Kebanyakan bahan iritan merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit,

tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau

komponen inti. Ketika terjadi kerusakan sel maka akan timbul gejala 17 peradangan

klasik di tempat terjadinya kontak berupa eritema, endema, panas, nyeri bila iritan

kuat. Bila iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak,

dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang

menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah

kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

b. Dermatitis Kontak Alergi

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi mengikuti

respon imun yang diperantai oleh sel atau reaksi imunologik tipe IV. Reaksi ini

timbul melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi.

Fase sensitisasi terhadap sistem kekebalan tubuh berlangsung selama 2-3

minggu. Pada fase ini, hapten (zat kimia atau antigen yang belum di proses) masuk ke

dalam epidermis melalui stratum korneum dan ditangkap oleh sel langerhans yang
13

kemudian akan diproses secara kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta di

konjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen lengkap. Sel langerhans

melewati membran basal bermigrasi ke kelenjar getah bening setempat melalui

kelenjar limfe. Di dalam kelenjar tersebut sel langerhans mempresentasikan kompleks

HLA-DR-antigen kepada sel T spesifik untuk di proses (di kenali). Setelah di proses,

turunan sel ini yaitu sel-T memori akan meninggalkan kelenjar getah bening dan

beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi.

Jika individu sudah tersensitisasi, maka saat kontak dengan zat yang sama

dapat menyebabkan reaksi alergi walaupun kontak bahan kimia dengan dosis sangat

rendah, proses ini disebut fase elisitasi. Fase elisitasi umumnya berlangsung antara

24-48 jam.

2.1.4 Gejala Dermatitis

Menurut Saida (2019), pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal.

Kelainan kulit bergantung pada stadium penyakit, batasnya dapat tegas dapat pula

tidak tegas, penyebaran dapat setempat, generalisata, bahkan universalis.

Pada stadium akut kelainan kulit berupa eritema, edema, vesikel atau bula,

erosi dan eksudasi, sehingga tampak basah (madidans). Stadium sub-akut, eritema

berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedangkan pada stadium kronis

tampak lesi kering, skuama, hiperpigmentasi, likenifikasi, dan papul, mungkin juga

terdapat erosi atau ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut tidak selalu berurutan,

bisa saja sejak awal suatu dermatitis memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit
14

stadium kronis. Demikian pula jenis efloresensinya tidak selalu harus polimorfi,

mungkin hanya oligomorfi (Suria Djuanda dan Sri Adi S, 2003).

2.1.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak

Faktor-faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak yakni usia, masa kerja,

personal hygiene, riwayat penyakit kulit dan penggunaan APD.

a. Usia

Usia merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari individu.

Selain itu usia juga merupakan salah satu faktor yang dapat memperparah terjadinya

dermatitis kontak. Pada beberapa literatur menyatakan bahwa kulit manusia

mengalami degenerasi seiring bertambahnya usia. Sehingga kulit kehilangan lapisan

lemak diatasnya dan menjadi lebih kering. Kekeringan pada kulit ini memudahkan

bahan kimia untuk menginfeksi kulit, sehingga kulit menjadi lebih mudah terkena

dermatitis. Kondisi kulit mengalami proses penuaan mulai dari usia 40 tahun. Pada

usia tersebut, sel kulit lebih sulit menjaga kelembapannya karena menipisnya lapisan

basal. Produksi sebum menurun tajam, hingga banyak sel mati yang menumpuk

karena pergantian sel menurun (Suryani, 2011).

Pada dunia industri usia pekerja yang lebih tua menjadi lebih rentan terhadap

bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan dalam pengobatan

dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik. Dapat dikatakan bahwa

dermatitis kontak akan lebih mudah menyerang pada pekerja dengan usia yang lebih

tua (Suryani, 2011).

b. Lama Kontak
15

Lama kontak dapat mempengaruhi kejadian dermatitis kontak akibat kerja

(Pradaningrum, dkk, 2018). Lama kontak dengan bahan kimia yang terjadi akan

meningkatkan terjadinya dermatitis kontak akibat kerja. Semakin lama kontak dengan

bahan kimia, maka peradangan atau iritasi kulit dapat terjadi sehingga menimbulkan

kelainan kulit. Pengendalian risiko, yaitu dengan cara membatasi jumlah dan lama

kontak yang terjadi perlu dilakukan (Pradaningrum, dkk, 2018).

Lama kontak mempengaruhi kejadian dermatitis kontak, karena semakin lama

kontak dengan bahan kimia maka akan semakin merusak sel kulit hingga ke lapisan

yang lebih dalam dan risiko terjadinya dermatitis kontak akan semakin tinggi.

Semakin lama bahan kimia kontak dengan kulit, maka penetrasi bahan kimia terhadap

lapisan kulit akan semakin luas dan dalam hingga menyebabkan reaksi

peradangan/iritasi yang lebih berat (Astrianda, 2012).

c. Personel Hygiene

Kebersihan Perorangan adalah konsep dasar dari pembersihan, kerapihan dan

perawatan badan kita. Sangatlah penting untuk pekerja menjadi sehat dan selamat

ditempat kerja. Kebersihan perorangan pekerja dapat mencegah penyebaran kuman

dan penyakit, mengurangi paparan pada bahan kimia dan kontaminasi, dan

melakukan pencegahan alergi kulit, kondisi kulit dan sensitifitas terhadap bahan

kimia. Kebersihan perorangan yang dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak

antara lain:

1) Mencuci tangan
16

Personal hygiene dapat digambarkan melalui kebiasaan mencuci tangan,

karena tangan adalah anggota tubuh yang paling sering kontak dengan bahan

kimia. Kebiasaan mencuci tangan yang buruk justru dapat memperparah

kondisi kulit yang rusak. Kebersihan pribadi merupakan salah satu usaha

pencegahan dari penyakit kulit tapi hal ini juga tergantung fasilitas kebersihan

yang memadai, kualitas dari pembersih tangan dan kesadaran dari pekerja

untuk memanfaatkan segala fasilitas yang ada. Mencuci tangan bukan hanya

sekedar mengunakan sabun dan membilasnya dengan air, tetapi mencuci

tangan memiliki prosedur juga agar tangan kita benar-benar dikatakan bersih.

Kesalahan dalam mencuci tangan ternyata dapat menjadi salah satu penyebab

dermatitis, misalnya kurang bersih dalam mencuci tangan dan kesalahan

dalam pemilihan jenis sabun yang dapat menyebabkan 46 masih terdapatnya

sisa-sisa bahan kimia yang menempel pada permukaan kulit, dan kebiasaan

tidak mengeringkan tangan setelah selesai mencuci tangan yang dapat

menyebabkan tangan menjadi lembab. Mencuci tangan yang baik dan benar

dapat mencegah terjadinya dermatitis kontak karena dapat menghilangkan zat-

zat kimia yang menempel pada kulit ketika selesai melakukan pekerjaan yang

berkontak dengan zat. Cara mencuci tangan yang baik dan benar :
17

Gambar 1. Cara Mencuci Tangan Yang Baik dan Benar

Sumber:

http://abahrayyan.blogspot.co.id/2016/04/6-langkah-cuci-tangan-

menurut-standart.html

2) Mencuci Pakaian

Kebersihan pakaian kerja juga perlu diperhatikan. Sisa bahan kimia yang

menempel di baju dapat menginfeksi tubuh bila dilakukan pemakaian

berulang kali. Baju kerja yang telah terkena bahan kimia akan menjadi

masalah baru bila dicuci di rumah. Karena apabila pencucian baju dicampur

dengan baju anggota keluarga lainnya maka keluarga pekerja juga akan

terkena dermatitis. (Suryani, 2011).

d. Riwayat Penyakit Kulit

Pada pekerja yang sebelumnya memiliki riwayat penyakit dermatitis,

merupakan kandidat utama untuk terkena penyakit dermatitis. Hal ini karena kulit

pekerja tersebut sensitif terhadap berbagai macam zat kimia. Jika terjadi inflamasi
18

maka zat kimia akan lebih mudah dalam mengiritasi kulit, sehingga kulit lebih mudah

terkena dermatitis Dari hasil penelitian Cahyawati dan Budiono (2011), menyatakan

bahwa faktor riwayat penyakit kulit ternyata menjadi faktor yang berhubungan

dengan kejadian dermatitis. Sebagian besar responden yang memiliki riwayat

penyakit kulit sebelumnya cenderung menderita dermatitis. Sumantri dkk (2008)

mengatakan bahwa beberapa faktor mungkin mempengaruhi tingkatan respon kulit.

Adanya penyakit kulit sebelumnya dapat menghasilkan dermatitis yang parah akibat

membiarkan iritan dengan mudah memasuki dermis

e. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)

Alat Pelindung Diri (APD) adalah peralatan keselamatan yang harus

digunakan oleh pekerja apabila berada pada suatu tempat kerja yang berbahaya.

Semua tempat yang dipergunakan untuk menyimpan, memproses dan membuang

bahan kimia dapat dikategorikan sebagai tempat kerja yang berbahaya. Perusahaan

wajib menyediakan APD sesuai dengan potensi bahaya yang ada. Penggunaan APD

salah satu cara untuk mencegah terjadinya dermatitis kontak, karena dengan

mengunakan APD dapat terhindar dari cipratan bahan kimia dan menghindari kontak

langsung dengan bahan kimia. Berikut merupakan jenis alat pelindung diri yang perlu

digunakan pada pekerjaan yang berhubungan dengan bahan kimia, yaitu:

1) Alat Pelindung Pernafasan

Merupakan alat yang berfungsi untuk melindungi pernafasan terhadap gas,

uap, debu, atau udara yang terkontaminasi di tempat kerja yang bersifat racun,

korosi maupun rangsangan. Alat pelindung pernafasan dapat berupa masker


19

yang berguna mengurangi debu atau partikel-partikel yang lebih besar yang

masuk kedalam pernafasan.

Gambar 2. Alat Pelindung Pernafasan

Sumber : http://www.slideshare.net/winarsoone/6-alat-pelindung-pernapasan

2) Alat Pelindung Tangan

Alat ini berguna untuk melindungi tangan dari bahan-bahan kimia, benda-

benda tajam, benda panas atau dingin dan kontak arus listrik. Alat pelindung

ini dapat terbuat dari karet, kulit, dan kain katun. Sarung tangan untuk kontak

dengan bahan kimia terbuat dari vinyl dan neoprene dan bentuknya menutupi

lengan.
20

Gambar 3. Alat Pelindung Tangan

Sumber :

http://wisnuekos.blogspot.co.id/2012/09/alat-pelindung-tangan-kaki-html

3) Alat Pelindung Kaki

Alat ini berguna untuk melindungi kaki dari benda-benda tajam, larutan

kimia, benda panas dan kontak listrik.

Gambar 4. Alat Pelindung Kaki

Sumber : http://winsnuekos.blogspot.co.id/2012/09/alat-pelindung-tangan-kaki-

html
21

4) Pakaian Pelindung

Alat ini berguna untuk melindungi seluruh atau sebagian tubuh dari percikan

api, panas, dingin, cairan kimia dan oli, Bahan dapat terbuat dari kain drill,

kulit, plastik, asbes atau kain yang dilapisi aluminium.

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sangat penting untuk melindungi

tubuh dari bahaya pekerjaan yang dapat mengakibatkan penyakit atau kecelakaan 50

kerja. Agar terhindar dari cipratan bahan kimia dan menghindari kontak langsung

dengan bahan kimia perlu menggunakan APD seperti pakaian pelindung, sarung

tangan, masker dan safety shoes. Penggunaan APD salah satu cara untuk mencegah

terjadinya dermatitis kontak (Suryani, 2011)

f. Suhu dan Kelembaban

Mc Beath dalam Ruhdiat (2006) mengatakan semua bahan penyebab

dermatitis kontak iritan seperti basa kuat dan asam kuat, sabun, dan detergen dan

banyak bahan kimia organic diperberat dengan faktor turunnya kelembaban dan

naiknya suhu lingkungan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Ruhdiat (2006),

menunjukkan bahwa dermatitis kontak banyak terjadi pada pekerja yang bekerja

didalam ruang yang memiliki suhu 25 dan 260C dan pada kelembaban < 65%

g. Ras

Ras, sebenarnya belum ada studi yang menjelaskan tipe kulit yang mana yang

secara signifikan mempengaruhi terjadinya dermatitis. Hasil studi yang baru,

menggunakan adanya eritema pada kulit sebagai parameter menghasilkan orang


22

berkulit hitam lebih resisten terhadap dermatitis, akan tetapi hal ini bisa jadi salah,

karena eritema pada kulit hitam sulit terlihat ( Putri, 2015).

h. Masa Kerja

Masa kerja merupakan lamanya pekerja bekerja pada suatu tempat. Analisis

hubungan antara lama bekerja dengan kejadian dermatitis kontak menunjukan bahwa

ada hubungan antara masa kerja dengan kejadian dermatitis kontak pada pekerja di

Bengkel Kota Kendari. Pekerja yang memiliki lama bekerja ≤2 tahun lebih banyak

yang terkena dermatitis dibandingkan dengan pekerja yang telah bekerja > 2 tahun.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa pekerja dengan lama bekerja ≤2 tahun

memiliki peluang 3,5 kali terkena dermatitis kontak dibandingkan dengan pekerja

yang telah bekerja selama >2 tahun (Lestari dan Utomo, 2007).

Pekerja dengan lama bekerja ≤ 2 tahun dapat menjadi salah satu faktor yang

mengindikasikan bahwa pekerja tersebut belum memiliki pengalaman yang cukup

dalam melakukan pekerjaannya. Jika pekerja ini masih sering ditemui melakukan

kesalahan dalam prosedur penggunaan bahan kimia, maka hal ini berpotensi

meningkatkan angka kejadian dermatitis kontak pada pekerja dengan lama bekerja ≤

2 tahun. Pekerja dengan pengalaman akan lebih berhati-hati sehingga kemungkinan

terpajan bahan kimia lebih sedikit. Masa kerja seseorang menentukan tingkat

pengalaman seseorang dalam menguasai pekerjaannya. Hal ini dimungkinkan bahwa

para pekerja yang telah bekerja lebih dari dua tahun telah memiliki resistensi terhadap

bahan iritan maupun alergen, sehingga penderita dermatitis kontak pada kelompok ini

cenderung sedikit ditemukan. Pekerja dengan lama kerja kurang atau sama dengan 2
23

tahun dapat menjadi salah satu faktor yang mengindikasikan bahwa pekerja tersebut

belum memiliki pengalaman yang cukup dalam melakukan pekerjaanya (Cahyawati

dan Budiono, 2011). Sama dengan yang dikatakan oleh Utomo (2007) bahwa pekerja

dengan lama bekerja ≤ 2 tahun masih rentan terhadap berbagai macam zat kimia.

pada pekerja dengan lama bekerja > 2 tahun dapat dimungkinkan telah memiliki

resistensi terhadap bahan kimia yang digunakan. Resistensi ini dikenal sebagai proses

hardening yaitu kemampuan kulit yang menjadi lebih tahan terhadap bahan kimia

karena pajanan bahan kimia yang terus menerus.

i. Jenis Kelamin

Umumnya, wanita memiliki kulit yang lebih sensitif dibandingkan dengan

pria. Dalam studi yang lebih baru, pria bereaksi terhadap paparan iritan yang lebih

besar tingkatnya daripada wanita (Schnuch & Carlsen, 2011).

j. Tipe Kulit

Ketebalan kulit juga dapat mempengaruhi ketahanan terhadap paparan bahan

kimia. Selain itu, kulit yang berminyak lebih tahan terhadap zat-zat yang larut dalam

air, dibandingkan dengan kulit kering yang kurang tahan terhadap bahan-bahan yang

bersifat asam atau basa (Gilles L et al (1990) dalam Situmeang, 2008).


24

2.1.6 Pemeriksaan Fisik Dermatitis

Pertama-tama tentukan lokalisasi kelainan apakah sesuai dengan kontak bahan

yang dicurigai, yang tersering adalah daerah tangan, lengan. Pemeriksaan fisik sangat

penting, karena dengan melihat lokalisasi dan pola kelainan kulit seringkali dapat

diketahui kemungkinan penyebabnya. Misalnya, terjadi ruam kemerahan,

peradangan, gatal yang kadang-kadang terasa parah, kulit kering, bersisik, lecet,

pecah-pecah pada tangan.

2.1.7 Pencegahan Dermatitis

Menurut Saut Sahan Pohan (2005), usaha pencegahan dermatitis kronik akibat

kerja dapat dilakukan dengan melakukan:

a. Usaha pencegahan jangka pendek

Dalam melakukan usaha pencegahan dermatitis kronik akibat keja perlu

dilakukan perbaikan sarana diagnostik. Deteksi dini kerusakan kulit yang tidak

disertai gejala klinik dermatitis kronik akibat kerja memungkinkan dilakukan

tindakan pencegahan sedini mungkin.

b. Usaha pencegahan jangka panjang

Penelitian mengenai hubungan antara pajanan sinar matahari dengan fungsi

pertahanan kulit perlu ditingkatkan, sehingga dapat dibuktikan bahwa pajanan sinar

matahari dengan dosis tertentu bermanfaat dalam pencegahan dermatitis kronik akibat

kerja, tanpa disertai dampak negatif pajanan sinar matahari pada kulit.

Menghadapi dermatitis akibat kerja, pencegahannya yang paling penting yaitu

selalu menghindari kontak dengan sabun yang keras, deterjen, bahan-bahan pelarut,
25

pengelantang, dan lain-lain. Kulit yang sakit harus sering dilumuri dengan emolien.

Kebersihan perorangan yaitu cuci tangan, mandi sebelum pulang kerja, pakaian

bersih dan diganti setiap hari, memakai alat-alat pelindung diri yang masih bersih.

Kebersihan lingkungan dan pemeliharaan rumah tangga, pembersihan debu, cara

penimbunan sampah yang benar juga perlu diperhatikan. Diagnosa dini siaga perlu

dalam usaha pemberantasan dermatitis akibat kerja, sebab dengan diagnosa sedini

mungkin, si penderita dapat segera dipindahkan kerjanya ke tempat lain yang tidak

membahayakan kesehatan (Cahyawati, 2010).

2.1.8 Pengobatan Dermatitis

Pengobatan dermatitis tergantung pada tingkatan penyakit. Akut, misalnya

erupsi vesicular dapat ditangani dengan balutan basah untuk yang pertama selama 24-

36 jam, menggunakan solusi Burow’s diikuti dengan kortikosteroid secara topikal,

hanya menggunakan kortikoids topikal (kelas 1 dan 2) sangat efektif di dalam fase

akut. Ketika erupsi mulai mengering, corticosteroid krim sudah dapat digunakan,

dilanjutkan pemberian secara oral penghilang rasa sakit dan antialergi untuk

menangani kegatalan. Terapi antibiotik secara oral digunakan hanya ketika diduga

terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Antibiotik secara topikal dan anti-alergi

disiapkan untuk menangani resiko sensitisasi. Kompres dingin dibutuhkan untuk

menurunkan peradangan akibat dermatitis. Kortikosteroid topikal yang berpotensi

tinggi dapat menurunkan ringan sampai sedang, tetapi tidak dapat untuk kasus berat

pada dermatitis kontak alergik. Kortikosteroid topical kemungkinan tidak efektif

secara signifikan dengan berbagai iritasi seperti sodium lauryl sulphate.


26

Kortikosteroid secara oral efektif untuk pengobatan dermatitis kontak alergik yang

berat (Cahyawati, 2010).

2.2 Tinjauan Umum Pekerjaan Bengkel

Pekerjaan bengkel dapat dibagi menjadi tiga kategori, berdasarkan jenis mesin

atau peralatan yang digunakan dan jumlah pekerja yang dipekerjakan.Misalnya,

beberapa bengkel yang berada dalam satu perusahaan dengan 100 atau lebih

karyawan, sementara bengkel lainnya sangat kecil, terutama yang terlibat dalam

menjual bahan bakar dan membuat perbaikan kecil dan mempekerjakan satu atau dua

pekerja. Ada juga bengkel yang dijalankan oleh pekerja keluarga saja.Selain dari

perusahaan, ada juga bengkel yang bergerak pada sektor informal (Astrianda, 2012).

2.1.4 Tata Peralatan Ruang Bengkel

Bengkel yang bersih dan tersusun rapi sangat membantu dalam mengurangi

jumlah kecelakaan.Alat-alat dan benda kerja jangan sampai ditinggalkan pada tempat

dimana seseorang dapat terjatuh. Jalan yang dilalui oleh pekerja harus bersih.Oleh

karena itu,bangku kerja,alat-alat dan bendakerja harus tersusun rapi dan sistematis.

Oli atau minyak pelumasyang berserakan dilantai,sebelum menimbulkan kecelakaan

harus di tutup dengan pasir atau serbuk gergaji.

2.1.5 Bahan-Bahan Kimia Di Bengkel

Di dalam bengkel biasanya terdapat bahan bakar dan minyak pelumnas seperti

bensin atau premium ,solar dan oli.Bahan ini digunakan untuk percobaan

menghidupkan mesin maupun sebagai bahan pencuci.


27

2.1.6 Alat Pelindung Diri (APD) Di Bengkel

Menurut hirarki upaya pengendalian diri (controlling),alat pelindung diri

sesungguhnya merupakan hirarki terakhir dalam melindungi keselamatan dan

kesehatan tenaga kerja dan potensi bahaya yang kemungkinan terjadi pada saat

melakukan pekerjaan,setelah pengendalian teknik dan administratif tidak mungkin

lagi diterapkan. Ada beberapa jenis alat pelindung diri yang mutlak digunakan oleh

tenaga kerja pada waktu melakukan pekerjaannya antara lain seperti topi

keselamatan, safety shoes, sarung tangan, pelindung pernapasan, pakaian pelindung

dan sabuk keselamatan. Jenis alat pelindung diri yang digunakan harus sesuai dengan

potensi bahaya yang dihadapi serta sesuai dengan bagian tubuh yang perlu dilindungi.

2.3 Tinjauan Umum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.1.4 Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Menurut ILO/WHO (1980) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah

promosi dan pemeliharaan terhadap faktor fisik, mental dan sosial pada semua

pekerja yang terdapat di semua tempat kerja, mencegah gangguan kesehatan yang

disebabkan kondisi kerja, melindungi pekerja dan semua orang dari hasil risiko dan

dari faktor yang dapat mengganggu kesehatan, menempatkan dan menjaga pekerja

pada lingkungan kerja yang adaptif terhadap fisiologis dan psikologis dan dapat

menyesuaikan antara pekerjaan dengan manusia dan manusia lain sesuai jenis

pekerjaannya (Kondarus, 2006).

Keselamatan kerja adalah untuk: melindungi tenaga kerja atas hak

keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan


28

meningkatkan produksi serta produktivitas masyarakat; menjamin keselamatan setiap

orang lain yang berada ditempat kerja; dan sumber produksi dipelihara dan

dipergunakan secara aman dan efisien (Hargiyarto, 2011).

Kesehatan kerja merupakan spesialisasi ilmu kesehatan/ kedokteran beserta

prakteknya yang bertujuan agar pekerja/ masyarakat pekerja memperoleh derajat

kesehatan setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun sosial dengan usaha preventif

atau kuratif terhadap penyakit/ gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh faktor

pekerjaan dan lingkungan kerja serta terhadap penyakit umum (Sakinah, 2011).

2.1.5 Bahaya Keselamatan Kerja

Bahaya keselamatan didefinisikan sebagai zat (bahan baku), mesin atau

peralatan yang bisa menyebabkan luka sederhana atau serius yang berpengaruh untuk

ketidakhadiran kerja yang berlangsung setidaknya 24 jam. Menurut Ponda dan Fatma

(2019) ,yang menjelaskan bahwa jenis-jenis kecelakaan yang biasa terjadi adalah luka

bakar pada 15 tangan dan kaki karena asam dehidrasi berat, kelelahan, amputasi,

injeksi, pemotongan, abrasi, patah tangan atau endapan dan cedera mata (karena

benda terbang).

2.1.6 Bahaya Kesehatan Kerja

Bahaya kesehatan kerja didefinisikan sebagai kondisi patologis,apakah

disebabkan oleh fisik, kimia atau biologis agen, yang muncul sebagai konsekuensi

dari pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan atau lingkungan tempat dia bekerja.

Bahaya kesehatan kerja di bengkel diantaranya yaitu pelarut organik dan anorganik,

bahan kimia yang digunakan dalam membersihkan atau mencuci bagian mesin, dari
29

pengisian baterai, lead yang digunakan dalam pengelasan, lead filler dan molten lead

cair yang digunakan untuk mengisi keretakan dan penyok. Kejadian dermatitis

sensitisasi telah dilaporkan dari penggunaan primer kromat seng dalam mereparasi

bagian logam.

2.1.7 Tujuan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3)

Program keselamatan dan kesehatan kerja bertujuan untuk memberikan iklim

yang kondusif bagi para pekerja untuk berprestasi, setiap kejadian baik kecelakaan

dan penyakit kerja yang ringan maupun fatal harus dipertanggung jawabkan oleh

pihak-pihak yang bersangkutan, tujuan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3) adalah: (Sumarna dkk, 209).

a. Melindungi para pekerja dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang

mungkin terjadi akibat kecerobohan pekerja.

b. Memelihara kesehatan para pekerja untuk memperoleh hasil pekerjaan yang

optimal.

c. Mengurangi angka sakit atau angka kematian diantara pekerja.

d. Mencegah timbulnya penyakit menular dan penyakit-penyakit lain yang

diakibatkan oleh sesama pekerja.

e. Membina dan meningkatkan kesehatan fisik maupun mental.

f. Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja.

g. Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.


30

2.1.8 Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

Menurut Sumarna dkk (2019), program Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(K3) adalah suatu sistem program yang dibuat bagi pekerja maupun pengusaha

sebagai upaya pencegahan (preventif) timbulnya kecelakaan dan penyakit kerja akibat

hubungan kerja dalam lingkungan kerja dengan cara mengenali hal-hal yang

berpotensi menimbulkan kecelakaan dan penyakit kerja akibat hubungan kerja, dan

tindakan antisipatif bila terjadi hal demikian.

Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah suatu sistem yang

dirancang untuk menjamin keselamatan yang baik pada semua personel di tempat

kerja agar tidak menderita luka maupun menyebabkan penyakit di tempat kerja

dengan mematuhi/ taat pada hukum dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja,

yang tercermin pada perubahan sikap menuju keselamatan di tempat kerja (Rijuna

Dewi, 2006).

2.4 Tinjauan Hasil Penelitian Sebelumnya

1. La Ode Alifariki, Adius Kusnan, Saida (2019)

Penelitian ini berjudul Determinan Kejadian Dermatitis Kontak Pada Pekerja

Bengkel di Kota Kendari. Jenis penelitian ini yaitu cross sectional. Populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh mekanik bengkel sepeda motor di kota Kendari tahun

2016 yang berjumlah 459 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah 58 orang. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan lama kontak dengan gejala dermatitis

kontak dengan nilai = 0,000, ada ada hubungan antara riwayat penyakit kulit dengan

gejala dermatitis kontak dengan nilai = 0,174, ada hubungan antara personal hygiene
31

dengan gejala dermatitis kontak dengan nilai = 0,026, dan ada hubungan antara

penggunaan APD dengan gejala dermatitis kontak dengan nilai 0,003.

2. Gina Utami (2019)

Penelitian ini berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan

dermatitis kontak pada pekerja bengkel motor di kelurahan kebayoran lama utara

dan selatan tahun 2019. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian

explanatory (penjelasan) dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian ini

adalah seluruh pekerja bengkel di Kelurahan

Kebayoran Lama Utara dan Selatan tahun 2019, sebanyak 52 pekerja.

Data dianalisis dengan menggunakan uji fisher’s exact. Pekerja yang mengalami

keluhan dermatitis kontak sebesar 46 pekerja (89%) dan pekerja yang tidak

mengalami keluhan dermatitis kontak sebanyak enam pekerja (11%). Hasil analisis

statistik menunjukan lama kerja (P value = 0,001) dan kebersihan perorangan (P

value = 0,006) memiliki hubungan yang bermakna dengan keluhan dermatitis kontak,

sedangkan masa kerja (P value = 0,650) dan penggunaan APD (P value = 0,655)

tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan keluhan dermatitis kontak.

3. Harumi Kusuma Wardani, Mashoedojo Mashoedojo, Nurfitri Bustamam

(2018)

Penelitian ini berjudul faktor yang berhubungan dengan dermatitis kontak

akibat kerja pada pekerja proyek bandara. Penelitian ini bertujuan untuk

mengidentifikasi faktor risiko OCD pada pekerja proyek. Desain cross sectional
32

digunakan pada 47 pekerja yang dipilih secara acak selama periode Mei-Juni 2017.

Pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan panduan peneliti. Dermatitis

Kontak Kerja didiagnosis oleh dokter umum yang bertempat di Rumah Sakit

Angkatan Laut (RUMKITAL) dr. Soekantyo Jahja Surabaya. Analisis faktor risiko

dermatitis kontak akibat kerja menggunakan uji Chi-square, dilanjutkan dengan uji

regresi logistik berganda. Dari 47 pekerja, 21 (43,8%) mengalami OCD. Penggunaan

alat pelindung diri (APD), lama kontak, personal hygiene, dan riwayat penyakit kulit

berhubungan dengan OCD (p<0,01), sedangkan jenis pekerjaan tidak berhubungan

dengan OCD (p=0,491). Faktor penyebab OCD yang paling dominan adalah personal

hygiene (OR = 9,659), diikuti oleh lama kontak (OR = 8,576), dan riwayat penyakit

kulit (OR = 3,420). Kesimpulan faktor penggunaan APD, lama kontak, personal

hygiene, dan riwayat hubungan kulit dengan DKAK, sedangkan jenis pekerjaan tidak

berhubungan dengan DKAK.

4. J.L.Pérez-Formoso, J.De Anca-Fernández, R.Maraví-Cecilia, J.M.Díaz-

Torres (2010)

Penelitian berjudul Dermatitis Kontak Akibat Akrilat di antara 8 Pekerja di

Pabrik Lift. Penelitian ini mempelajari 8 pasien dengan dermatitis pada tangan dan

bantalan jari. Dalam pekerjaan mereka, pasien bersentuhan dengan akrilat. Uji tempel

diterapkan dengan panel akrilat. Penelitian ini menemukan bahwa Tujuh dari pasien

(87,5%) memiliki hasil positif dengan 1% etilen glikol dimetakrilat. Hasil positif juga

diamati untuk 2% hidroksietil metakrilat (5 pasien, 62,5%), 1% trietilen glikol

dimetakrilat (4 pasien, 50%), 10% monomer etil metakrilat (3 pasien, 37,5%), 10%
33

monomer metil metakrilat ( 2 pasien, 25%), 1% etil akrilat (1 pasien, 12,5%), dan

0,1% asam akrilat (1 pasien, 12,5%). Studi ini menyoroti kapasitas sensitisasi yang

kuat dari akrilat dan pentingnya mengambil semua tindakan pencegahan yang

diperlukan dalam industri di mana zat ini digunakan. Tindakan tersebut harus

mencakup penghindaran kontak dengan produk dalam kasus di mana sensitisasi telah

dikonfirmasi.

5. Ibrahim Jati Kusuma (2010)

Penelitian ini berjudul pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja

karyawan PT. Bitratex Industries Semarang. Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif, dimana pengumpulan datanya dilakukan dengan wawancara sehingga

mampu menggali lebih dalam tentang pelaksanaan program keselamatan dan

kesehatan kerja. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menyatakan bahwa dari

kelima elemen pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja yang ada di

PT. Bitratex Industries Semarang yaitu Jaminan Keselamatan dan Kesehatan,

Pelatihan Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Alat Pelindung Diri, Beban kerja, serta

Jam Kerja, sudah mencerminkan bahwa pelaksanaan program keselamatan dan

kesehatan kerja di PT. Bitratex Industries Semarang telah sesuai dengan yang

diinginkan, diharapkan dan dibutuhkan oleh karyawan.

2.5 Kerangka Teori

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dermatitis kontak menurut Schnuch

& Carlsen (2011), diantaranya yaitu dermatitis atopik/riwayat atopik, jenis kelamin,

usia, etnik/ras, penyakit kulit lainnya, serta tipe kulit. Sedangkan menurut Djuanda
34

dan Sularsito (2002), faktor yang mempengaruhi yaitu lama kontak, frekuensi kontak,

suhu dan kelembaban, serta faktor individu yaitu usia, ras, jenis kelamin, riwayat

penyakit kulit, riwayat atopi (dermatitis atopi). Berdasarkan hasil penelitian Lestari

dan Utomo (2007), ada 4 faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan

terjadinya dermatitis kontak pada pekerja yaitu, jenis pekerjaan, usia, lama bekerja,

dan riwayat dermatitis akibat pekerjaan sebelumnya. Sedangkan menurut Nuraga dkk

(2008), ada faktor lain yang memiliki hubungan paling berpengaruh yaitu pemakaian

APD terhadap pekerja yang mengalami dermatitis kontak.

Faktor Tidak Langsung


Faktor Langsung :
1. Usia
1. Bahan Kimia 2. Masa Kerja
2. Lama Kontak 3. Personal Hygieni
4. Riwayat Penyakit
Kulit
5. Penggunaan APD
6. Suhu dan
Kelembaban
7. RAS
8. Jenis Kelamin
9. Tipe Kulit

Kulit
35

Alergi Dermatitis Kontak

Gambar 5. Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi Djuanda dan Sularsito (2002), Utomo (2007), Nuraga dkk

(2008), serta Schnuch & Carlsen (2011).

2.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adalah suatu hubungan antara konsep atau variabel yang

akan diamati dan di ukur melalui penelitian yang dilakukan. Kerangka dalam

penelitian ini dapat digambarkan.

Usia

Masa Kerja

Personal Hygiene
Dermatitis
Riwayat Penyakit kulit Kontak

Penggunaan APD
36

Suhu dan kelembaban

RAS

Jenis Kelamin

Tipe kulit
Ket:

= Variabel Bebas

= Variabel Terikat

= Variabel Tidak Diteliti

Gambar 6. Kerangka Konsep

2.7 Hipotesis
1. H0 : ρ = 0 Tidak ada hubungan usia dengan gejala dermatitis kontak pada

pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

Ha : ρ ≠ 0 Ada hubungan usia dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja

bengkel di Kecamatan Poasia

2. H0 : ρ = 0 Tidak ada hubungan masa kerja dengan gejala dermatitis kontak

pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

Ha : ρ ≠ 0 Ada hubungan masa kerja dengan gejala dermatitis kontak pada

pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

3. H0 : ρ = 0 Tidak ada hubungan personal hygiene dengan gejala dermatitis

kontak pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia


37

Ha : ρ ≠ 0 Ada hubungan personal hygiene dengan gejala dermatitis kontak

pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

4. H0 : ρ = 0 Tidak ada hubungan riwayat penyakit dengan gejala dermatitis

kontak pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

Ha : ρ ≠ 0 Ada hubungan riwayat penyakit dengan gejala dermatitis kontak

pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

5. H0 : ρ = 0 Tidak ada hubungan penggunaan APD dengan gejala dermatitis

kontak pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

Ha : ρ ≠ 0 Ada hubungan penggunaan APD dengan gejala dermatitis kontak

pada pekerja bengkel di Kecamatan Poasia

Anda mungkin juga menyukai