Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS ANESTESI

MASEKTOMI DENGAN GENERAL ANESTESI INHALASI

Disusun oleh:
Muhamad Faishal Rizki
30101307001

Pembimbing:
dr.Meriwijayanti, Sp.An,KIC

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO
SEMARANG
2017

HALAMAN PENGESAHAN

NAMA : MUHAMAD FAISHAL RIZKI

0
NIM : 30101307001
FAKULTAS : KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS : UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING : dr.Meriwijayanti, Sp.An,KIC

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal 12 September 2017

Pembimbing,

(dr.Meriwijayanti, Sp.An,KIC)

DAFTAR MASALAH

No Masalah aktif Tanggal Ket No Masalah pasif Tanggal Ket

1
1 Ca Mamae sinistra 4/9/2017 Elektif

LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA

2
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. M
Umur : 46 th/9 bl/23 hr
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
No RM : 53-67-35
Pasien bangsal : Anggrek
Diagnosis pre operasi : Ca mamae sinistra

2. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri pada payudara kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien bedah dengan diagnosis Ca mamae
sinistr. Pada awalnya pasien mengeluhkan adanya benjolan pada
payudara sebelah kiri arah jam 7 dan 8 . Benjolan teraba besar dan
kenyal, tidak bisa digerakan dan terasa sangat nyeri. Benjolan tidak
sampai menjalar sampai ketiak. PaSien juga sudah melakukan
kemoterapi sebelum melakukan operasi pengangkatan payudara
sebelah kiri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat kejang : disangkal
6. Riwayat alergi obat : disangkal
7. Riwayat Hipertensi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat kejang : disangkal
7. Riwayat Hipertensi : disangkal
5. Riwayat Pribadi

3
1. Riwayat merokok : disangkal
2. Riwayat komsumsi alcohol : disangkal
3. Riwayat minum jamu : disangkal

Persiapan Pre Operasi


1. PEMERIKSAAN FISIK
Status Pasien
Keadaan Umum : tampak sesak
Kesadaran : compos mentis
Kulit : warna sawo matang
Jenis kelamin : perempuan
Usia : 46 tahun
BB : 60 kg
TB : 155 cm
BMI : 24,47
BMI= BB(kg)/TB²(m²)= 50/(1,55)2 =  24,47
a. Vital Sign
Tekanan darah : 150/84 mmHg
Nadi : 86x/ menit, isi/tegangan cukup
Suhu : 36.7oC
RR :20 x/ menit
Kepala : mesocephal, bentuk dan ukuran normal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : simetris, napas cuping (-), sekret (-/-), epistaksis
(-/-)
Telinga : bentuk normal, simetris, discharge (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianonis (-)
Tenggorokan : hiperemis (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-),
pembesaran kelenjar tiroid (-), JVP tidak meningkat

b) Dada

4
INSPEKSI ANTERIOR POSTERIOR

Statis RR:20x/min, hiperpigmentasi RR:20x/min, hiperpigmentasi


(-), tumor (-/+), inflamasi (-), (-), tumor (-), inflamasi (-),
hemithorax D=S, ICS normal, hemithorax D=S, ICS normal,
diameter AP < LL diameter AP < LL

Dinamis Pergerakan hemithorax Pergerakan hemithorax


kanan= kiri, retraksi otot kanan= kiri
pernapasan (-)

PALPASI nyeri tekan (-), tumor (-), ICS nyeri tekan (+), tumor (+),
normal, pelebaran ICS (-), ICS normal, stem fremitus
stem fremitus D=S D=S

PERKUSI D= sonor (+) pada lapang D= sonor (+) pada lapang


paru atas dan tengah redup paru atas dan tengah redup
(+) pada lapang paru bawah. , (+) pada lapang paru bawah
S= sonor (+) S= sonor (+)

AUSKULTASI SD : vesikuler (+), ST: ronchi SD : vesikuler (+), ST: ronchi


basah (-) ,wheezing (-) basah (-) ,wheezing (-)

KESAN : terdapat massa pada hemithorax sisnistra (mamae sinistra).

c) Jantung
INSPEKSI
Iktus cordis terlihat
PALPASI
Iktus cordis teraba di ICS VI 2 jari lateral linea mid clavicularis sinistra
Kuat angkat (+), pulsus parasternal (+), sternal lift (+), pulsus epigastrium (-)
PERKUSI

5
Redup (+)
Batas atas jantung ICS II linea sternalis sinistra
Pinggang jantung
ICS III linea parasternalis sinistra
Kanan jantung
Kiri bawah ICS VI linea midclavicula dextra
ICS VI 2 jari ke medial dari linea mid
clavivula sisnitra
AUSKULTASI
Katup aorta SD I-II reguler
Katup trikuspidal
SD I-II reguler
Katup pulmonal
Katup mitral SD I-II reguler
SD I-II reguler
Bising

HR : 86 x/menit
-
KESAN : dalam batas normal

d) Abdomen
INSPEKSI

Tampak datar, distensi (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusa (+),
hiperpigmentasi (-), spider navy (-), kemerahan (-)
AUSKULTASI

Bising usus (+) Normal 8x/menit

PERKUSI

Redup, Pekak sisi-pekak alih (-) Hepar : pekak (+),


Lien : troube space perkusi
(+) timpani
PALPASI

Superfisial : Dalam:
Supel, nyeri tekan abdomen (-), massa Nyeri tekan (-)
(-), defense muscular (-) undulasi (+) Hepar : sulit dinilai
Lien: tidak teraba

6
KESAN : dalam batas normal

e) Ekstremitas

EKSTREMITAS Superior Inferior

edema -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Capillary refill <2” <2”

Clubbing finger -/- -/-

KESAN : dalam batas normal

f). Status lokalis


Payudara kanan : tidak teraba benjolan
Payudara kiri : teraba benjolan arahnjam 7,8 tidak dapat digerakan
, kenyal , batas tegas, ukuran kurang lebih 5 cm, myeri tekan.

2. PEMERIKSAAN PENUNJANG ( 1 September 2017)


1. HEMATOLOGI
Darah rutin (WB EDTA) Nilai Normal
3
1. Leukosit : 10,06 10 /uL (H) 3,6-11 103/uL
2. Eritrosit : 4,47 103/uL (L) 3,8-5,2 103/uL
3. Hemoglobin : 11,20 g/dL (L) 11,7-15,5 g/dL
4. Hematocrit : 36,20% (L) 35-47 %
5. MCV : 81,00 fL (L) 80-100 fL
6. MCH : 25,00 pg 26-34 pg
7. MCHC : 30.90 g/dL 32-36 g/dl
8. Trombosit : 457 103 /uL 150-400.103
/uL
9. RDW : 15,60% (H) 11,5-14,5 %
10. Diff Count
a. Eosinophil absolute : 0,001 103 /uL 0,045-
0,44 103 /uL
b. Basophil absolute : 0,03 103 /uL 0-0,2 103 /uL

7
c. Netrofil absolute : 7,01 (H) 103 /uL 1,8-8 103 /uL
d. Limfosit absolute : 1,66 103 /uL 0,9-5,2 103
/uL
e. Monosit absolute : 1,35 (H) 103 /uL 0,16-1 103 /uL
f. Eosinophil : 0,10 % (L) 2-4 %
g. Basophil : 0,30 % 0-1 %
h. Neutrophil : 69,70 % (H) 50-70 %
i. Limfosit :16,50 % (L) 25-40 %
j. Monosit : 13,40 % 2-8 %

2. KIMIA KLINIK(SERUM B)
1. Kalium 3.40 (L) mmol/L 3,50-5,0 mmol/L
2. Natrium 139.9 (L) mmol/L 135-145 mmol/L
3. Chlorida 101.8 mmol/L 95,0-105 mmol/L
4. Albumin 3,6 (L) g/dL 3,2-5,2 g/dL
5. SGOT 20 U/L 0-35
6. SGPT 13 U/L 0-35
7. Ureum 16,50 mg/dL 10,0-50,0
8. Creatinin 0,52 md/dL 0,60-0,90

3. SERO-IMUN (SERUM)
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
HBsAG Nonreaktif Nonreaktif

4. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI
Diagnosa klinik :Tumor mamae sinistra ,jam7-8 padat , kenyal nyeri
tekan
Pemeriksaan fisik :
Massa pada payudara sinistra diameter 5cm , padat, kenyal , nyeri tekan

Mikroskopik :
Sediaan FNAB mammae sinistra terdiri atas sel-sel tumor bentuk bulat
oval tumbuh hiperplastis membentuk kelompok-kelompok , inti polimorfik
, hiperkromatis, anak inti jelas , mitosis ditemukan.

Kesimpulan : Karsinoma duktal mammae sinistra

INSTRUKSI RUANGAN
S : benjolan di payudara kiri
O : dalam batas normal
A : pro operasi elektif dengan general anestesi (ASA 1)
P : puasakan 6 jam , infus RL 20 TPM

KESIMPULAN

8
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
maka:
Diagnosis pre operatif : Ca mammae sinistra
Diagosis post operatif : post masektomi mammae sinistra
Status operatif : ASA II
Tindakan : masektomi
Jenis anestesi : General anestesi

Pre-operatif
 Informed consent (+)
 Puasa selama 6 jam pre operasi
 IV line terpasang dengan infus RL 20 TPM
 A (Allergy) : tidak ada riwayat alergi obat-obatan
,makanan, dan cuaca
 M (Medication) : infus RL 20 TPM dan inj. Ceftriaxon 1 gr.
 P (Past Illnes) : riwayat hipertensi (-), DM (-), Asma (-).
 L (Last Meal) : Penderita puasa 6 jam sebelum operasi
 E (Environment :-
 Keadaan umum : tampak sakit ringan
 Kesadaran : composmentis
 Tanda vital :
Tekanan darah : 150/84 mmHg
Nadi : 86x/ menit, isi/tegangan cukup
Suhu : 36.7oC
RR :20 x/ menit

9
LAPORAN ANESTESI

1. Premedikasi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi ,pasien diberikan :
 Atropin 0,25 mg (IV)
 Ondancentron 4 mg (IV)
 Fentanyl 0.1 mg (IV)
2. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu
reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap
fungsi pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setip 5 menit
sekali
Respirasi : cek saturasi oksigen

10
Cairan : monitoring input cairan

3. Monitoring Tindakan Operasi


9.20 9.50 10.20 10.50 11.20
Jam 1 2 3 4 5
180

160

140

120

100

11
80 RL NaCl 0.9% Voluven 6% NaCl 0,9% Darah

60

40

20

- Injeksi propofol 100mg - Sevoflura


ne
- Injeksi atracurium
dikurangi
- Pemberian oksigen dan menjadi 1
anestesi inhalas

- Pemasangan intubasi

4. Intraoperatif
Tindakan Operasi : masektomi
Tindakan anestesi : general anestesi
Lama operasi : 120 menit
Lama anestesi : 130 menit
Jenis anestesi : general anestesi dengan teknik “Close circuit
System” dengan ETT No.6.5 menggunakan oksigen
4,5 liter/mnt N₂O 1,5 liter/mnt dan sevofluran 1,5
vol%
Posisi : supine
Pernafasan : ETT dengan bantuan ventilator mekanik
Premedikasi : Atropin 0,25 mg (IV)
Ondancentron 4 mg (IV)

12
Fentanyl 0.1 mg (IV)

Induksi : propofol 100 mg (IV)


Atracurium
Rumatan : oksigen 4,5 liter/mnt N₂O 1,5 liter/mnt dan
sevofluran 1,5 vol%
Medikasi : Tramadol HCL 100 mg (IV)
Asam tranexamat
Phytomenadione
Vitamin C 100 mg
Intubasi : Endotracheal Tube
Cairan : Cairan masuk RL 500ml 20TPM, NaCl 20 TPM,
Voluven 6% 20 TPM , NaCl 0,9% 20 TPM , Darah
20 TPM.

5. Post operatif
- Pasien masuk recovery room dan setelah itu dibawa keruangan
- Observasi tanda tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : komposmentis
TD : 126/78 mmHg
Nadi : 96x/menit
RR : 18x/mnt
SpO₂ : 99%
- Penilaian Pemulihan kesadaran (Alderette Score Modified)
-

13
Pada pasien ini didapatkan nilai alderette score 10, pasien dipindahkan ke
ruangan anggrek untuk dilkukan perawatan.

INSTRUKSI POST OPERATIF DENGAN GENERAL ANESTESI :


- Pengawasan : tekanan darah, nadi, suhu, respirasi rate
,tiap 30 menit
- Program cairan : RL 20 TPM
- Program analgetik : ketorolac 3x30 mg (IV) mulai pukul 16.00
WIB.
- Catatan lain :
1. Post operasi dengan general anestesi
2. O₂ 2 liter/mnt
3. Monitor hemodinamik
4. Posisi tidur supine sampai sadar penuh
5. Sadar penuh, bising usus (+), mual (-), muntah (-) / flatus (+)
boleh latihan minum dan makan.

14
PEMBAHASAN

1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk
dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus
dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang
akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat
kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi,
asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui
keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara
anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada
pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.

15
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus
dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang
elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai
kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash)
harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi
obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain
yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak
muncul pada history taking, sedangkan history taking membantu
memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa
dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate,
respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system
musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi
regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan
anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan
gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan
intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.

16
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah
yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari
Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek
mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien
yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal
mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak
dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis,
serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada
semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik
ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan
apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik
ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik
monitoring.
Klasifikasi Status Fisik ASA
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,
tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan
atau tanpa pembedahan.

17
Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat
karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan
insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan
maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam

18
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan
mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan
mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa
 50 % selama jam I operasi
 25 % selama jam II operasi
 25 % selama jam III operasi

Transfusi darah
Transfusi darah umumnya > 50 % diberikan pada saat perioperasi dengan
tujuan umtuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volum intravaskular cukup dengan
koloid ataupun kristaloid.
Indikasi transfusi darah ialah :
 Perdarahan akut sampai Hb < 8gr % atau Ht < 30 %, pada orang tua
kelainan paru atau kelainan jantung Hb < 10 g/dl
 Bedah mayor kehilangan darah > 20 % volum darah
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan

19
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml.
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah.

2. Durante Operasi
Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuskular,
atau rektal. Setekah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum
induksi kita siapakan alat-alat STATICS untuk mengantisipasi bila terjadi
kegawatan :
Scope : Stetoscope dan laringo-Scope
Tubes : Pipa trakea sesuai usia
Airway : Pipa mulut-faring (OPA) atau pipa hidung-faring (NPA)
Tape : Plester
Introducer : Mandrin atau stylet
Connector : penyambung pipa dengan alat anestesi
Suction : Penyedot leher

Induksi Intravena
Induksi Intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi
disuntikkan dengan kecepatan antara 30-60 detik. Dosis induksi :
Tiopental (Tiopenton) : Kepekatan 2,5 % dosis 3-7 mg/kgBB, dosis rendah
pada manula.
Propofol (Recofol) : kepekatan 1 % dosis 2-2,5 mg/kgBB.
Ketamin (Ketalar) : dosis 1-2 mg/kgBB.

Induksi intramuskular

20
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan IM dengan dosis 5-7
mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

Induksi Inhalasi
Dengan halotan atau sevofluran yang digunakan pada bayi atau anak-anak
maupun dewasa yang takut pada suntikan.
Bila halotan diberikan butuh pendorong O2 atau campuran O2 dan N2O.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N 2O : O2 = 3 :
1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5% sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Bila memakai sevofluran diberi dengan konsentrasi 8%.

JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA


1. Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali
digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih
dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean,
sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam
etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada
pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10
mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.
1.1 Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui,
tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A
(Gamma Amino Butired Acid).
1.2 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98%
terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi

21
suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar
antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih
pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi.
Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik )
dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml
mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa
disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
1.3 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam
dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek
analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan
kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
Cp50 - respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml
Pemeliharaan : 1.5-6 mcg/ml
Pasien bangun : < 1.6 mcg/ml
Pasien terorientasi : < 1.2 mcg/ml

Pada sistem kardiovaskuler


Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai
dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai
efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi
vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung
tergantung dari :
· Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas
kendali
· Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung
berbanding pemberian secara bolus

22
· Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi
jantung

Pada sistem pernafasan


Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal,
dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan
muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang
menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:
· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apneu setelah
diberikan dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.
 Pemberian 2,4 mg/kg:
ü Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit
ü Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit
 Pemberian 100 µg/kg/min:
ü Respons CO2 sedikit menurun
ü VT berkurang 40%, frekuensi pernafasan meningkat 20%
 Pemberian 200 µg/kg/min:
ü Hanya sedikit mendepresi VT
ü paCO2 menurun

1.4 Dosis dan penggunaan


a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV
(titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau
apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi

23
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari
bakteri.

1.5 Efek Samping


Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai
75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri
pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan
lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2
menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat
suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan
muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan
metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada
sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik (thiopental <
propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya
sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada
ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.

2. Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih
dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium
atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting,
tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat
(30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak
konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak
dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan
menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya
kesadaran.

24
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-
methylbutyl)-2-thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-
methyl-2-pentynyl)barbituric acid], dan thiamylal [5-allyl-5-(1-
methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan barbiturat yang
dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi
penggunaannya sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal
(Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital)
adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra
singkat, tiopental merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk
induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.
2.1 Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana
barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada
sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu
jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa
fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat
secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.
Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya
dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan
reseptor (postsinap).
2.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan
secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan
anak – anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau
metoheksital untuk induksi pada anak – anak. Sedangkan
phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada
semua kelompok umur.

25
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan
lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami
difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak.
Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama
oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.

Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.

Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi
terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.

2.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan
hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan
metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang
tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental
turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat
menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.

Mata

26
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi
thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah
pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke
nilai sebelum induksi.

Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat
meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat
tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung
turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak
terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi
CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan
pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara
cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini
terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat
vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh
karena efek depresi langsung obat pada miokard.

Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas
terhadap CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume
tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis
respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif
berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang
menyebabkan bronkospasme.

27
2.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg.
Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan
dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

2.5 Efek samping


Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga
jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat
alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya
reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi
pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi
enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan
nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan
pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.

3. Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine
yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali
disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk
menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering
menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada
tentara amerika selama perang Vietnam.Ketamin hidroklorida adalah
golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan
sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca
anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah , pandangan kabur dan
mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi,

28
ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,
dan sering disebut dengan emergence phenomena.
3.1 Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek
analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat
menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
3.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau
intramuskular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 – 60 detik
setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali
sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru
akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati
menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.

Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui
ginjal.
3.3 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas
pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain
itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic
appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.

29
Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas
setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular,
efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi
buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien
mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan
peningkatan tekanan darah intrakranial. Konsentrasi plasma (Cp) yang
diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang lebih
antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien
dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5µg/ml. Ketamin merupakan suatu
reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif
yang menyebabkan :
· Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
· Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
· Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang
berupa:
· Mimpi buruk
· Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari
badan)
· Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
· Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
· 20%-30% terjadi pada orang dewasa
· Dewasa > anak-anak
· Perempuan > laki-laki

Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka
spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan
aliran darah pada pleksus koroidalis.
Sistem kardiovaskuler

30
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik,
sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan
tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer.
Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem
respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena sifat
simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien
asma.
3.4 Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara
intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya
pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan
secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V
atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2
mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan
dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat
untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg
IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
Bioavailabilitas
Route % bioavailabilitas
Nasal 50
Oral 20
IM 90
Rektal 25
Epidural 77

3.5 Efek samping


Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi
air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan

31
lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot
dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu
ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata
dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.

3.6 Kontra indikasi


Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks
seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas
pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit
glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita
penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik,
seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
4. Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama
ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum
somniferum, dan kata “opium “ berasal dari bahasa yunani yang berarti
getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine,
meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan
golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang
digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping.
4.1 Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada
system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor
opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek
sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan

32
dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat
presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter
ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

4.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit)
analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-
800 μg).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan
lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar
darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih
panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi
singkat setelah injeksi bolus.

Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di
hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak
aktif.

Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10%
melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 – 10%
opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif,

33
remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos
esterase.
4.3 Farmakodinamik
Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik
kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh
darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi
penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun
hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya
pelepasan histamin.
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan
penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang
menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul
sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain
itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi
pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang
refleks batuk pada dosis tertentu.
Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga
pengosongan lambung juga terhambat.

Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan
metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar
hormon katabolik dalam darah relatif stabil.

4.4 Dosis dan pemberian


Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb
atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedanakan morfin sepersepuluh dari
petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.

34
2. Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi
adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed),
diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa
propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak
(Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam
merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan
dengan PH 3,5.

5.1 Mekanisme kerja


Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative,
anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di
sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA. Afinitas
pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam >
midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan
berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor
GABA.

5.2 Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek
puncak akan muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan
secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam.
Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan
pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam
didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme
mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

35
Clearance in ml/kg/min

Short midazolam 6-11

Intermediate lorazepam 0.8-1.8

Long diazepam 0.2-0.5

5.3 Farmakodinamik
Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi
otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan
aliran darah otak dan laju metabolisme.
Sistem Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan
menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut
jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang
besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal ,
depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.

Sistem saraf otot


Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di
tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
5.4 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
· Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
· Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
· Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
· Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

36
Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat
menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine
turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek
Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate,
Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit
berikutnya.

Pelumpuh Otot
 Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerjanya seperti asetil-kolin,
tetapi di celah saraf otot lurik tak dirusak oleh kolinesterase,
sehingga cukup lama berada di celah sinaptik sehingga terjadi
depolarisasi ditandai dengan fasikulasi dan disusul dengan relaksasi
otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah
suksinil-kolin.

 Non-depolarisasi
Pelumpuh otot non depolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin menempati nya sehingga asetil-kolin tidak
dapat bekerja. Berdasarkan susunan molekul nya dibagi menjadi
beberapa golongan :
Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metikurin, atrakurium
Steroid : pankurinium, vekuronium
Eter-fenolik : gallamin
Nortoksiferin : alkuronium
Dosis atrakurium : 0,5-0,6 mg/kgBB.

Rumatan Anestesia

37
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
atau dengan inhalasi ataupun dengan campuran intravena dan
inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia
yaitu tidur ringan (hipnosis), analgesia cukup dan relaksasi otot lurik
yang cukup.
Rumatan anestesia misalnya dengan menggunakan opioid
dosis tinggi, fentanil 10-50 picogram/kgBB, atau bisa dengan
menggunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2 yang
bertujuan untuk mengembangkan paru.

Anastesi Inhalasi
Obat anestesi inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter,
kloroform, etil-klorida, divinil-eter, siklo-propan, trikloro-etilen,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan
untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran dan sevofluran. Obat-obat lain sudah ditinggalkan karena
efek samping nya yang terlalu berbahaya.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi ditentukan oleh :
-) Ambilan gas atau uap anestetik dalam alveolus
-) Difusi gas dari paru ke darah
-) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lain
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh badan lewat
paru. Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi
sitokrom P 450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan
melalui ginjal.

 N2O
N2O,(nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan
memanaskan amonium nitrat sampai 240 C. Pemberian anestesia

38
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesik nya kuat, sehingga sering di
kombinasikan dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan
dan sebagainya.

 Halotan
Halotan merupakan turunan etan, baunya yang enak dan tidak
merangsang jalan nafas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesia kombinasi dengan N2O. halotan mudah dirusak oleh cahaya
sehingga harus disimpan dalam botol yang gelap dan diawetkan
dalam timol 0,01%.
Dosis rumatan anestesia halotan pada nafas spontan ialah 1-2%
dan pada nafas kendali ialah 0,5-1%.. Halotan menyebabkan
vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah ke otak yang sulit
dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi sehingga tidak
disukai untuk bedah otak.
Metabolisme nya secara oksidatif dan reduktif di dalam hepar
sehingga merupakan kontra indikasi penderita gangguan hepar. Efek
samping halotan ialah membuat pasien menggigil.

 Enfluran
Enfluran merupakan halogenasi eter dan pada EEG dapat
menunjukkan tanda-tanda epileptik, karena itu hindari
pemggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi. Metabolisme
enfluran hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk nonvolatil yang
dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk
asli. Efek depresi nafas lebih kuat dibanding halotan tetapi efek
aritmia nya lebih jarang. Dosis rumatan anestesi nya ialah 2-4%.

 Isofluran

39
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik
atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan
dosis > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang
responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis rumatan anestesi
nya ialah 2-4%.

 Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan anestetik volatil lain, sehingga butuh vaporizer khusus.
Anestetik ini bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Desfluran merangsang jalan nafas atas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesia.

 Sevofluran
Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
selain halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap SSP seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan. Dosis rumatan anestesi nya ialah
anestesi 1-4%.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian


Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2010.
2. “Intravenous Anesthetics” didapat dari
http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm
3. “Intravenous anesthesic” didapat dari
http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
4. “Hipnotika dan Sedativa” didapat dari http://www.medicastore.com

41
5. Soenarjo, Marowoto ,et al,2010. Anestesiologi. Bagian Anesteiologi dan
terapi intensif Fakultas Kedokteran Undip/RSUP Dr. Kariadi .Semarang.

42

Anda mungkin juga menyukai