Anda di halaman 1dari 45

Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Bab I
Pendahuluan

“Eksema‟ atau “dermatitis‟ adalah peradangan pada kulit (epidermis


dan dermis) yang pada fase akut ditandai secara objektif adanya efloresensi
polimorfi (misalnya eritem, vesikel dan erosi) dan keluhan subjektif gatal,
sedangkan pada fase kronis efloresensi yang dominan adalah skuama, fisura,
kulit kering dan likenifikasi.
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi
akut atau kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis
dermatitis kontak. Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh
iritasi kimia, dermatitis kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen
(alergen) dimana memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell-
mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi
hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak pernah
menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan
kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di
luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang
menyeluruh.

Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin
sulit untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai
iritan maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang
cukup sering, menjengkelkan dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa
80% dari dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis)
adalah iritan dan 20% alergi.

1
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Bab II
Tinjauan Pustaka

I. Dermatitis Kontak Iritan

DKI merupakan reaksi peradangan lokal non imunologik pada kulit


yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen, jadi
kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.

Epidemiologi
Data National Health Interview Survei selama 12 Bulan menunjukkan
prevalensi dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 1.700 per 100.000
pekerja.
Menurut studi lain, kejadian tertinggi dermatitis kontak pada bidang industri
adalah pada bagian sumber daya alam dan pertambangan, manufaktur, dan
bagian pelayanan kesehatan dimana 70-80% dari kasus dermatitis kontak
adalah DKI.

DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan
jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis ini diperkirakan cukup banyak,
terutama yang berhubungan dengan pekerjaan, akan tetapi data
epidemiologi penderita DKI sulit didapat. Hal ini disebabkan oleh banyak
penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak
mengeluh.

Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statisticmenunjukkan


bahwa 249.000 kasus penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang
tidak fatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin sebesar 15,6%
(38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab terbesar

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 2
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

kedua untuk semua penyakit akibat kerja (okupasional). Juga berdasarkan


survei tahunan dari institusi yang sama, bahwa angka kejadian untuk
penyakit akibat kerja pada populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90-
95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari
penyakit didalamnya adalah DKI.

Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu.
Kelainan kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor
lain. Faktor yang dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus
atau berselang), adanya oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian
pula gesekan dan trauma fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut
berperan.
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen
(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
1. Faktor Endogen, antara lain :
 Faktorgenetik
Terdapat sebuah hipotesa yang mengungkapkan bahwa individu
memiliki kemampuan mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah
level enzim antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk
perlindungan heat shock protein yang kesemuanya dibawah kontrol
genetik. Faktor tersebut juga menentukan keberagaman respon tubuh
terhadap bahan-bahan iritan. Selain itu, predisposisi genetik terhadap
kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan. Diduga
bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi kerentanan terhadap
bahan iritan. TNF-α polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk
kerentanan terhadap dermatitis kontak iritan.
 Jenis Kelamin
Gambaran klinik DKI paling banyak pada tangan, dan wanita
dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara

3
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

jenis kelamin dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak


terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan
daripada laki-laki. Tidak ada perbedaan jenis kelamin untuk DKI yang
ditetapkan berdasarkan penelitian.
 Umur
Anak dibawah 8 tahun dan usia lanjut lebih mudah teriritasi. Ada
penelitian lain yang menyatakan iritasi kulit yang kelihatan (eritema)
menurun pada orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan
(kerusakan pertahanan) meningkat pada orang muda
 Suku
Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap, penelitian terbaru
menggunakan eritema sebagai satu-satunya parameter untuk
mengukur iritasi yang mungkin sudah sampai pada kesalahan
interpretasi bahwa kulit hitam lebih resisten terhadap bahan iritan
daripada kulit putih.
 Lokasi Kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan,
sehingga kulit wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih
rentan terhadap DKI jika dibandingkan telapak tangan dan kaki yang
lebih resisten
 Riwayat Atopik
Adanya riwayat atopik diketahui sebagai faktor predisposisi pada
dermatitis iritan pada tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya
berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap dermatitis
iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi
pertahanan, dan lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan
dermatitis atopi misalnya, menunjukkan peningkatan reaktivitas
ketika terpajan oleh bahan iritan.
2. Faktor Eksogen
Faktor-faktor yang dimaksudkan yaitu:

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 4
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

a. Sifat kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran


molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan dasar, kelarutan;
b. Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan dan jenis
kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya
setelah pajanan sebelumnya;
c. Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan
faktor mekanik seperti tekanan, gesekan atau goresan.
Kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu dingin
menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan
kulit lebih rentan pada bahan iritan.

Patogenesis
Mekanisme seluler DKI masih belum diketahui. Kelainan kulit timbul akibat
kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau
fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak pada lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid
membrane) keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan
merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran
mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat, diasilgliserida,
platelet activating factor (PAF), dan inositida. Asam arakidonat diubah
menjadi prostaglandin dan leukotrien. Prostaglandin dan leukotrien
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular
sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. Prostaglandin
dan leukotrien juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan
neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, leukotrien dan
prostaglandin lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vascular.
Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen
dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte
macrophage colony stimulant factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper
mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan
stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.

5
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-1


(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα,
suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan
granulosit, menginduksi ekspresi molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin.

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di


tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila
iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh
karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi
sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan.

Maninfestasi klinis

DKI dibagi berdasarkan sifat iritan. Selain itu juga banyak hal yang
mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan
penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, DKI dibagi menjadi
beberapa macam, yaitu :
1. DKI Akut
DKI akut biasanya diakibatkan kecelakan kerja, terjadi ketika kulit
terkena iritasi kuat. Reaksi iritasi mencapai puncaknya dengan cepat,
biasanya dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah
paparan, dan kemudian mulai untuk menyembuhkan. Ini disebut
fenomena decrescendo.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 6
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Gambar 1. caustic 'luka bakar' dari semen basah

Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk DKI akut.


Penyebab DKI akut adalah iritan kuat misalnya larutan asam sulfat
dan asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium
hidroksida. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan
lamanya kontak dengan iritan yang terbatas pada tempat kontak.
Gejala DKI akut berupa kulit yang terasa terbakar, pedih, panas,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga
nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya
asimetris.
Gambar 2. DKI akut akibat perendaman dalam pemutih

7
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

2. DKI Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul
8 sampai 24 jam atau lebih setelah kontak sehingga menyerupai DKA,
namun gejala yang lebih sering dikeluhkan adalah rasa terbakar
dibandingkan pruritus. Bentuk DKI umumnya terlihat selama uji
diagnostik patch.1,3 Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin (dithranol), tretinoin, etilen
oksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Contohnya adalah
dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada
malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok
harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah
menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.
3. DKI Kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lainnya ialah
DKI kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan
lemah (faktor fisik misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 8
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

rendah, panas atau dingin, juga bahan misalnya deterjen, sabun,


pelarut, tanah bahkan juga air).
. Gambar 3. DKI bilateral pada kaki dan pergelangan kaki karena alas kaki yang
bersifat oklusif kronis

DKI kumulatif mungkin terjadi akibat gabungan berbagai faktor. Bisa


jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat untuk menyebabkan
dermatitis iritan, tetapi baru dapat terjadi iritan bila bergabung dengan
faktor lain. Kelainan baru terlihat setelah kontak berminggu-minggu atau
bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan
kontak merupakan faktor penting

9
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Gambar 4. Pola iritasi di sela jari berupa ekzema

Berbeda dengan DKI akut, batas lesi pada DKI kronis kurang jelas.
Gejala DKI kronis berupa pruritus dan nyeri akibat retakan kulit yang
hiperkeratotik. Tanda-tanda mungkin terlihat yaitu xerosis, eritema dan
vesikel, tetapi likenifikasi dan hiperkeratosis lebih mendominasi.
Bila kontak terus berlangsung, pada akhirnya kulit akan menjadi retak
seperti luka iris (fisura), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang
mengalami kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita
umumnya merasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). Ada kalanya
kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritemi, sehingga
diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mulai
diperhatikan.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh.
Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu;
tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun,
penata rambut.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 10
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

4. Reaksi Iritan

Gambar 5. ekzema berbentuk 'diskoid' yang mempengaruhi punggung


tangan penata rambut. Faktor iritan, konstitusional dan alergi sering terjadi
bersamaan

Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang


yang terpapar lingkungan pekerjaan yang basah, misalnya penata
rambut , katering, dan pekerja logam dalam beberapa bulan pertama
pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema,
vesikel, pustule, dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri
menimbulkan penebalan kulit (skin hardening), kadang dapat
berlanjut menajdi DKI kumulatif.

Gambar 6. Palmaris kering atau dermatitis disepanjang jari. Sering dikaitkan


dengan pekerjaan basah

11
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

5. DKI Traumatik
DKI traumatik dapat berkembang setelah trauma kulit akut,
seperti panas atau laserasi, luka atau DKI akut. Pasien harus ditanya
apakah mereka telah membersihkan kulit dengan sabun atau deterjen
yang kuat. Hal ini ditandai dengan lesi ekzema, paling sering terjadi di
tangan. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat,
berlangsung selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan,
paling cepat 6 minggu dengan kemerahan, infiltrasi, skala dan fisura di
daerah yang terpapar.
6. DKI Noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, dengan tahap
awal iritasi kulit ditandai perubahan dalam fungsi sawar stratum
korneum tanpa disertai kelainan klinis.
7. DKI Subyektif (DKI sensorik)
Kelainan tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat
(pedih) atau terbakar (panas) yang terjadi dalam beberapa menit
setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat
atau sorbat, kosmetik atau tabir surya.
8. DKI Gesekan (Friksi DKI)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang. DKI gesekan berkembang dari respon pada
gesekan yang lemah, hal ini juga diketahui mempunyai peran dalam
membantu terjadinya DKA dan DKI.
Respon gesekan menyebabkan terjadinya hiperkeratosis, akantosis
dan likenifikasi, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama,
fisura dan gatal pada daerah yang terkena gesekan. DKI gesekan bisa
hanya mengenai telapak tangan dan sering kali terlihat menyerupai
psoriasis dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 12
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

gatal. Secara klinis, DKI gesekan dapat hanya mengenai pinggiran-


pinggiran dan ujung jemari tergantung oleh tekanan mekanik yang
terjadi.

Histopatologik
Gambaran histopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh
iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel
mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas.
Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan
akhirnya terjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan
epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau
bula ditemukan limfosit dan neutrophil.

Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah
diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya,
DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran
klinis yang luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan
dermatitis kontak alergi. Untuk itu diperlukan uji tempel dengan
bahan yang dicurigai.
1. Anamnesis

13
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Anamnesis yang detail sangat dibutuhkan karena diagnosis dari


DKI tergantung pada anamnesis mengenai pajanan yang mengenai
pasien. Anamnesis yang dapat mendukung penegakan diagnosis
DKI (gejala subyektif) adalah:
a. Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk
DKI akut. DKI lambat dikarakteristikkan oleh penyebab
pajanannya, seperti benzalkonium klorida (biasanya terdapat pada
cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-24 jam
setelah pajanan.
b. Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-
minggu ada DKI kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi
akibat pajanan berulang dari suatu bahan iritan yang merusak
kulit.
c. Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa
tidak nyaman akibat pruritus yang terjadi

2. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi
berdasarkan Diagnostic Criteria of Irritant Contact Dermatitis.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 14
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis kontak iritan.
Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat
beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi
menyebabkan DKI. Tidak ada tes spesifik yang dapat memperlihatkan efek
yang

didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis
kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek
berbagai iritan.

15
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang


menyebabkan kontak dermatitis dan digunkana untuk mendiagnosis DKA.
Konsentrasi yang digunkan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat
memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika
terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi (positif palsu). Patch tes
dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif dicata. Untuk
pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam
berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat
didiagnosis sebagai DKI. Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien
kronis dengan dermatitis kontak yang rekuren.
Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi
sekunder bakteri.
Pemeriksaan KOH dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya
mikologi pada infeksi jamur superfisial infeksi kandida, pemeriksaan ini
tergantung tempat dan morfologi dari lesi.
Pemeriksaan IgE untuk memeriksa peningkatan imunoglobulin E yang dapat
mendukung adanya riwayat atopik.

Diagnosis banding
DKA berbeda dengan DKI. Pada DKA, terdapat sensitasi dari iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 16
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

(a) (b) (c)


Ket :
(a) DKA akut pada pasien alergik menggunakan akrilat pada industri percetakan;
(b) kulit kering, bersisik dengan fisura pada dematitis kontak kronik;
(c) DKA dengan bahan nikel pada kancing jeans berbahan metal.

Pada yang akut, lesi dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas
jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang
kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga
fisura, batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan DKIkronis,
mungkin penyebabnya juga campuran.1 Pada patch tes, didapatkan hasil
positif untuk alergen yang telah diujikan,dan sensitifitasnya berkisar antara
70 ± 80%.

Dermatitis Atopi merupakan keadaan peradangan kulit kronis dan residif,


disertai gatal, yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-
anak, sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan
riwayat atopik pada keluarga atau penderita. Kejadiannya lebih meluas
dibandingkan dermatitis kontak dan distribusinya mengikuti permukaan
fleksor.

17
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

(a) (b)

Gambar. (a) likenifikasi pada anak muda dengan dermatitis atopik, tanda pada
kulit yang berlebih-lebihan terlihat pada permukaan lengan ekstensor; (b)
dermatitis tangan kronis yang sangat parah pada orang dewasa dengan dermatitis
atopik

Tinea pedis biasanya terjadi di antara jari kaki, tapak kaki, dan bagian
pinggir atau tepi kaki, tetapi tinea pedis juga dapat menyebar pada bagian
dorsum dari kaki. dermatits kontak biasanya terjadi pada dorsum pedis. Jika
ragu, dapat dilakukan pemeriksaan KOH.

(a) (b)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 18
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Gambar. (a) tinea pedis menyebar pada bagian dorsum dari kaki; (b) kulit kering
tipe infeksi trikopiton rubrum

Penatalaksaan
Beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita DKI
adalah sebagai berikut:
 Hal penting pengobatan DKI adalah menghindari pajanan bahan
iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat
dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka
DKI tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan
topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit
yang kering.
 Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan
yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
 Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka
yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya
pencegahan

Prognosis
Prognosis untuk DKI adalah baik jika penyebab iritasi dapat diketahui
dan dieliminasi. Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak
dapatdisingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik.
Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor,
juga pada penderita atopic.

19
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Dermatitis Kontak Alergi

I. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh
reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang
kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National
Occupational Health and Safety Commision, 2006)
II. Epidemiologi

Biladibandingkan dengan dermatitis kontak iritan, jumlah penderita


dermatitis kontak alergik lebih sedikit, karena hanya mengenai orang
yang kulitnya sangat peka (hipersensitif). Namun sedikit sekali

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 20
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

informasi mengenai prevalensi dermatitis ini di masyarakat (Djuanda,


2003). Angka kejadian dermatitis kontak alergik yang terjadi akibat
kontak dengan bahan-bahan di tempat pekerjaan mencapai 25% dari
seluruh dermatitis kontak akibat kerja (DKAK) (Trihapsoro, 2003).
Angka kejadian ini sebenarnya 20-50 kali lebih tinggi dari angka
kejadian yang dilaporkan (National Institute of Occupational Safety
Hazards, 2006)

III. Etiologi

Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering


berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,
yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasialergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2003)
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron
mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3-
enta decyl cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah
tangga), formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan
parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro,
2003).
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak
alergi. Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potensi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena

21
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

4) Lamapajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya : ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya mutasi
null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena alergi nickel
(Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

IV. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi
adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-
mediated immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV.
Reaksi hipersensitivitas di kulit timbul secara lambat (delayed
hypersensitivity), umumnya dalam waktu 24 jam setelah terpajan
dengan alergen. Patogenesis hipersensitivitas tipe IV ini sendiri dibagi
menjadi dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi (Trihapsoro,
2003).

Fase Sensitisasi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 22
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,


terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada
kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak
dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang
memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi
tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap).
Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan
diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag,
dendrosit, dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009).
Selanjutnya antigen ini dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah
kontak dengan antigen yang telah diproses ini, sel T menuju ke
kelenjar getah bening regional untuk berdeferensiasi dan
berproliferasi membentuk sel T efektor yang tersensitisasi secara
spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian tersebar melalui
sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga
menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh.
Fase saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif
disebut fase induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu (Djuanda, 2003).

23
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Gambar. Patogenesis dermatitis kontak alergi


Sumber: Health and Safety Executive, 2000

Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari
antigen yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam
kompartemen dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan
merangsang sel T untuk mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang
INF (interferon) gamma. IL-1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit
memproduksi ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1) yang langsung
beraksi dengan limfosit T dan lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid
akan mengaktifkan sel mast dan makrofag untuk melepaskan histamin
sehingga terjadi vasodilatasi dan permeabilitas yang meningkat. Akibatnya
timbul berbagai macam kelainan kulit seperti eritema, edema dan vesikula
yang akan tampak sebagai dermatitis. Proses peredaan atau penyusutan
peradangan terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu proses skuamasi,
degradasi antigen oleh enzim dan sel, kerusakan sel langerhans dan sel
keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel
makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2 berfungsi menekan produksi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 24
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan keratisonit. Selain itu sel
mast dan basofil juga ikut berperan dengan memperlambat puncak
degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga histamin berefek
merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan beberapa
mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadapantigen spesifik, dan
akhirnya menekan atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).

25
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 26
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

V. Gejala Klinis

27
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit


bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai
dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat
kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur,
batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan kronis; mungkin penyebabnya juga campuran (Djuanda,
2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan
kimia karet tertentu (phenyl – isopropyl – p - phenylenediamine) bisa
menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat
megakibatkan dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa
dapat disebabkan oleh parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).

5.1 Penegakan Diagnosis


a.Anamnesis
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan
kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala
ikat pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 28
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada


beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Penelusuran Riwayat DKA, (Sularsito,2010)

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan
pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
5.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk
melihat kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen
(Sularsito, 2010).

29
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).

Genitalia : Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,


pembalut wanita, alergen yang berada di
tangan, parfum, kontrasepsi.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 30
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Paha dan tungkai bawah : Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat


diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan
karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi
eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa
papul-papul, vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak
langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena


lipstick. Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan
eritema pada bibir.

31
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

c. Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab


dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat
topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar,
gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak,
bahan plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang
menyebabkan dermatitis pada telinga umumnya yang terbuat
dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada telinga
mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel
yang bisa mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis
kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian leher.
Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastic

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 32
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

celananyaTerlihatadanyaeritema yang
berbatastegassesuaidengandaerah yang terkena allergen.

e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon,


kondom, pembalut wanita alergen yang berada di tangan,
parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi
pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung
neomisin, terlihat eritema

f. Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat


disebabkan oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon,
obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis
kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan
pengawet pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

33
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

c. Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik
yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama
ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini
pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan,
apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh
diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 34
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel


dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam
dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan
ditempelkan di kulit dengan memakai Finn Chamber, dibiarkan
sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil positif dengan
alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang) untuk
menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji


tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi „angry back‟ atau
„excited skin‟ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji
tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20
mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat
menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin

35
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena


urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam ini
dilakukan tes dengan prosedur khusus
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan
yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut
(Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 36
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu setelah


aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini
penting untuk membantu membedakan antara respons alergik atau iritasi,
dan juga mengidentifikasi lebih banyak lagi respons positif alergen. Hasil
positif dapat bertambah setelah 96 jam aplikasi, oleh karena itu perlu
dipesan kepada pasien untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu
setelah aplikasi (Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi
dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik biasanya menjadi lebih
jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++
bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo), sedangkan respon iritan cenderung
menurun (reaksi tipe decrescendo) (Sularsito, 2010).

b) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat
dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal
tidak perlu diikutsertakan.

37
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi


primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih
baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya
mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin - Eosin(HE).
Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10)Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11)Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,
menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau
spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak
spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler.Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 38
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

c) Edema

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal, spongiosis sedang


dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis yang dinyatakan lewat
infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan beberapa eosinofil, serta elongasi
dari papila epidermis(Sularsito, 2010).

5.2 GOLD Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu dilakukan uji
tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Untuk
melakukan uji tempel diperukan antigen standar buatan pabrik, misalnya
Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test. Adakalanya tes dilakukan dengan
antigen bukan standar, dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering
bahan campuran yang berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat
rekreasi. Mungkin ada sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik
terhadap kulit, atau walaupun jarang dapat memberikan efek toksik secara
sistemik. Oleh karena itu, bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi

39
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

dengan bahan industri, harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji


tempel dengan bahan yang tidak diketahui (Sularsito, 2010)

VI. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan
pendek serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi
(Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan
perhiasan, aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab
alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4mg/dosis, sehari 2-3kali untuk dewasadan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali
untuk anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika(amoksisilin atau
eritromisin) dengan dosis3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari

3. Pencegahan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 40
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri,


dkk, 2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan allergen

VII. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor
endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick,
2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik
adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di
lingkungan penderita(Djuanda, 2005).

VIII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder
olehbakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus
misalnya herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta
perilaku menggaruk dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi
kulit sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau
jamur. Selain itu dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet)

41
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

dan menyebabkankulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut


neurodermatitis (lichen simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009)

Bab III
Kesimpulan

Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau


substansi yang menempel pada kulit. Biasanya kondisi kulitnya berupa
inflamasi yang ditandai dengan eritematosa dan lesi kulit yang pruritus
setelah kontak dengan zat asing. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai
dermatitis kontak iritan (DKI) atau dermatitis kontak alergi (DKA).
Dermatitis Kontak Iritan :
1. DKI merupakan reaksi peradangan lokal pada kulit terjadi langsung
tanpa didahului proses sensitisasi
2. Penyebabnya berasal dari factor eksogen dan endogen
3. Manifestasi Klinis pada DKI dapat dibagi beberapa kelompok, yaitu :
DKI Akut, DKI Lambat, DKI Kumulatif, dll
4. Untuk menegakkan diagnosis pada DKI diperlukan anamnesis yang
baik dan pemeriksaan fisik. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang
spesifik pada penderita DKI
5. Pengobatan pada penderita DKI dapat diberikan secara farmakologi
dan non-farmakologi.

Dermatitis Kontak Alergi :


1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi

2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering


berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 42
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul


dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit.

3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian
diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur,
batasnya tidak jelas.

4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.

5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta


nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah
untuk mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi
kortikosteroid, mencegah infeksi sekunder dengan antiseptik dan
terutama untuk mengurangi rasa gatal dengan terapi antihistamin.
Sedangkan untuk nonmedikamentosa adalah dengan menghindari
alergen.

43
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

Daftar Pustaka

1. Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai


Penerbit FKUI
2. Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact
Dermatitis: an update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelin
es/contact%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.p
dfDiakses pada tanggal 18 Juni 2014
3. Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin Edisi 4. Jakarta: FK UI
4. Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit. Jakarta : EGC
5. Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2.
Jakarta: EGC
6. Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
7. Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
8. Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu
Penyakit Kulitdan Kelamin. Jakarta : FKUI
9. Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat
Jalan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara,
Medan. Tersedia dalam :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372 diakses pada

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin


Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Rumah Sakit Umum Daerah Kudus 44
Periode 02 Juni 2014 – 05Juli 2014
Referat tentang DKI dan DKA Edward Pangiawan (406137016)

tanggal 18Juni 2014.

45

Anda mungkin juga menyukai