Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus

Keratitis

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Mata RSUDZA/FK Unsyiah
Banda Aceh

Oleh:
Rizky Yoan Amara

Pembimbing:
dr. Eva Imelda, M.Ked (oph), Sp.M

BAGIAN/ SMF MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2017

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya, penulisan laporan kasus ini telah dapat penulis
selesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis panjatkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Adapun laporan kasus dengan judul ”Keratitis” ini diajukan sebagai salah
satu tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Mata
Unsyiah / BLUD Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Eva Imelda, M.Ked
(oph), Sp.M yang telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis untuk
penulisan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat
dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas
ini dapat selesai pada waktunya.

Banda Aceh, Maret 2017

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat


akut maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri,
jamur, virus atau karena alergi imunologi. Keratitis dapat dibagi menjadi beberapa
golongan berdasarkan kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan
bentuk klinisnya. Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi
menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan bentuk
klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis nurmularis
dan keratitis neuroparalitik. Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis
bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung
sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di beberapa negara
berkembang.
Gejala umum keratitis adalah visus turun perlahan, mata merah, rasa silau,
dan merasa ada benda asing di matanya. Gejala khususnya tergantung dari jenis-
jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing keratitis
pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman yang
terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit ini akan
berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara permanen
sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat sampai
menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan tepat agar
tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan datang terutama
pada pasien yang masih muda.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama :S
No RM : 1-12-19-78
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Julok, Aceh Timur
Bangsa : Indonesia
Tanggal Pemeriksaan : 13 Maret 2017

II. Anamnesis
Keluhan utama : Mata merah dan berair
Keluhan tambahan : penurunan kesadaran, kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD RSUDZA dengan keluhan penurunan kesadaran sejak + 2
hari yang lalu, penglihatan kedua mata kabur sejak 1 minggu yang lalu, ibu pasien
mengatakan jika pasien sulit untuk meraih botol susunya setiap kali bangun dari
tidur. Pandangan kabur diawali dengan rasa pedih dan ibu pasien mengatakan
pasien sering menggosok-gosok matanya yang lama kelamaan disertai dengan
penurunan pandangan. Pasien juga mengeluhkan silau jika terkena matahari dan
cahaya terang, menurut ibu pasien, pasien lebih nyaman untuk menutup matanya.
Keluhan mual dan muntah tidak ada. Keluhan pandangan menyempit tidak ada
dikeluhkan oleh pasien. Halo tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien menyangkal pernah mengalami riwayat trauma pada mata.
Pasien menyangkal memiliki riwayat penggunaan lensa kontak sebelumnya.
Riwayat diabetes mellitus: disangkal
Riwayat hipertensi: disangkal

3
Riwayat alergi makanan atau obat: disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Anggota keluarga dengan sakit yang sama disangkal.
Riwayat diabetes mellitus: disangkal.
Riwayat hipertensi: disangkal.

Riwayat Pengobatan
Sebelumnya pasien pernah datang ke puskesmas untuk keluhan mata merah dan
berair, di puskesmas hanya diberikan salep mata.

Riwayat kebiasaa Sosial


Pasien sehari-hari tidak sekolah dan tidak pernah imunisasi, pasien dengan
riwayat perkembangan dan pertumbuhan terganggu.

III. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis:
Keadaan umum : sedang
Kesadaran : E3M5V3 GCS= 11, somnolent
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 105 kali/menit
Respirasi : 26 kali/menit
Suhu : 37 °C
Status Oftalmologi
OD OS
Visus Pasien penurunan kesadaran
Kedudukan bola mata Simetris
Gerakan bola mata

4
Tekanan intraokular N/palpasi N/palpasi
Palpebra superior Hiperemis (-) ; edema (-) ; Hiperemis (+) ; edema (+)
nyeri tekan (-) ;benjolan (-) ; nyeritekan (-) ; benjolan
(-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) ; edema (-) ; Hiperemis (+) ; edema (+)
nyeri tekan (-) ;benjolan (-) ; nyeri tekan(-) ; benjolan
(-)
Konjungtiva tarsalis superior Hiperemis (-) ; papil (-) ; Hiperemis (-) ; papil (-) ;
folikel (-) ; sikatriks (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ;
sekret (-) sekret (-)
Konjungtiva tarsalis inferior Hiperemis (-) ; papil (-) ; Hiperemis (-) ; papil (-) ;
folikel (-) ; sikatriks (-) ; folikel (-) ; sikatriks (-) ;
sekret (-) sekret (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-) ; Injeksi konjungtiva (-) ;
injeksi siliar (+) ; injeksi siliar (+) ;
perdarahan (-) perdarahan (-) ;
Kornea Infiltrat (+) ; ulkus (-) ; Infiltrat (+) ; ulkus (-) ;
sikatriks (-) sikatriks (-)
Bilik mata depan Dalam, jernih Dalam, jernih

Iris Berwarna coklat, kripte Berwarna coklat, kripte


(+), sinekia anterior (-), (+), sinekia anterior (-),
sinekia posterior (-) sinekia posterior (-)
Pupil Bulat, isokor, berada di Bulat, isokor, berada di
sentral, refleks cahaya (+), sentral, refleks cahaya (+),
diameter 2mm diameter 2mm
Lensa Jernih, shadow test (-) Jernih, shadow test (-)
Vitreus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5
Foto Klinis Paien

6
IV. Diagnosis Kerja
Keratitis ODS

V. Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa
 Levocin eye drops 8 x 1 tts ODS

Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad fungsionam :Dubia ad bonam
Quo ad sanationam :Dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi
3.1.1. Anatomi Kornea
Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran
11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37.
Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari
total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung
pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan
air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus.
Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf
terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan
konjungtiva. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 μm, diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm.
3.1.2. Histologi
Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan
epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.
Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan
tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans
anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia).
Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen paralel yang membentuk lamella
tipis dan lapisan-lapisan fibroblas gepeng dan bercabang. Permukaan posterior
kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang juga merupakan
endotel kornea. Membran Descemet merupakan membran basal epitel kornea dan
memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali.
3.1.3. Perdarahan dan Persarafan
Kornea mendapat nutrisi dari pembuluh-pembuluh darah limbus, humor
aqueous, dan air mata. Saraf-saraf sensorik kornea didapat dari cabang pertama
(ophthalmichus) dan nervus kranialis trigeminus. Saraf trigeminus ini
memberikan sensitivitas tinggi terhadap nyeri bila kornea disentuh.

7
3.1.4. Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan “jendela” yang dilalui
berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya
yang uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi
relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh “pompa” bikarbonat aktif pada endotel
dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel
jauh lebih penting daripada epitel. Kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel
berdampak jauh lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya,
kerusakan pada epitel hanya menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang
akan meghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan
air mata prekorneal menghasilkan hipertonisitas ringan pada lapisan air mata
tersebut.
Hal ini mungkin merupakan faktor lain dalam menarik air dari stroma
kornea superfisial dan membantu mempertahankan keadaan dehidrasi. Penetrasi
kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat melalui epitel
utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Agar dapat melalui
kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel adalah sawar yang
efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea. Namun sekali
kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman mudah terkena
infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan jamur.
Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kelainan pada kornea adalah:
1. Dry eye
Kelainan ini muncul ketika lapisan air mata mengalami defisiensi sehingga
tidak dapat memenuhi batas-batas kecukupan, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif, yang kemudian diikuti dengan keluhan subjektif. Kekurangan cairan
lubrikasi fisiologis merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi
mikroba pada mata.
2. Defisiensi vitamin A
Kelainan kornea oleh karena defisiensi vitamin A dapat menyebabkan
kekeringan yang menggambarkan bercak Bitot yang warnanya seperti mutiara
yang berbentuk segitiga dengan pangkal di daerah limbus. Bercak Bitot seperti

8
ada busa di atasnya. Bercak ini tidak dibasahi oleh air mata dan akan terbentuk
kembali bila dilakukan debridement. Terdapat dugaan bahwa bentuk busa ini
merupakan akibat kuman Corynebacterium xerosis. Hipovitamin A ini juga dapat
menyebabkan keratomalasia dan tukak kornea dimana akan terlihat kornea
nekrosis dengan vaskularisasi ke dalamnya.
3. Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea
Abnormalitas ukuran dan bentuk kornea yang terjadi adalah mikrokornea
dan megalokornea. Mikrokornea adalah suatu kondisi yang tidak diketahui
penyebabnya, bisa berhubungan dengan gangguan pertumbuhan kornea fetal pada
bulan ke-5. Selain itu bisa juga berhubungan dengan pertumbuhan yang
berlebihan dari puncak anterior optic cup yang meninggalkan sedikit ruang bagi
kornea untuk berkembang. Mikrokornea bisa berhubungan dengan autosomal
dominan atau resesif dengan prediksi seks yang sama, walaupun transmisi
dominan lebih sering ditemukan. Megalokornea adalah suatu pembesaran segmen
anterior bola mata. Penyebabnya bisa berhubungan dengan kegagalan optic cup
untuk tumbuh dan anterior tip menutup yang meninggalkan ruangan besar bagi
Kornea untuk diisi.
4. Distrofi kornea
Deposit abnormal yang disertai oleh perubahan arsitektur kornea, bilateral
simetrik dan herediter, tanpa sebab yang diketahui. Proses dimulai pada usia bayi
1-2 tahun dapat menetap atau berkembang lambat dan bermanisfestasi pada usia
10-20 tahun. Pada kelainan ini tajam penglihatan biasanya terganggu dan dapat
disertai dengan erosi kornea.
5. Trauma kornea
Trauma kornea bisa disebabkan oleh trauma tumpul, luka penetrasi atau
perforasi benda asing. Kemungkinan kontaminasi jamur atau bakteri harus diingat
dengan kultur untuk bakteri dan jamur diambil pada saat pemeriksaan pertama
jika memungkinkan. Trauma tumpul kornea dapat menimbulkan aberasi, edema,
robeknya membran Descemet dan laserasi korneoskleral di limbus. Trauma
penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan
ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan
kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular. Perforasi benda

9
asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan
sakit pada mata. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis
atau tukak pada mata tersebut.

3.1 DEFINISI
Keratitis adalah peradangan kornea yang dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri, jamur, virus atau suatu proses alergi-imunologi. Keratitis adalah radang
pada kornea atau infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan
kornea menjadi keruh sehingga tajam penglihatan menurun. Infeksi pada kornea
biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena, yaitu keratitis
superfisialis apabila mengenai lapisan epitel atau membran bowman dan keratitis
profunda atau interstisialis (disebut juga keratitis parenkimatosa) apabila sudah
mengenai lapisan stroma.

3.2 ETIOLOGI
Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kurangnya air mata,
keracunan obat, reaksi alergi terhadap yang diberi topikal, dan reaksi terhadap
konjungtivitis menahun. Infeksi kornea pada umumnya didahului trauma,
penggunaan lensa kontak, pemakaian kortikosteroid topikal yang tidak terkontrol.
Kelainan ini merupakan penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia.
Keratitits dapat disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya:
1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari atau sun lamps, dan
hubungan ke sumber cahaya yang kuat lainnya seperti pengelasan
busur.
5. Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak
6. Mata kering disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak
cukupnya pembentukan air mata
7. Adanya benda asing di mata

10
8. Reaksi terhadap obat tetes mata, kosmetik, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari, jamur atau ragi
9. Efek samping obat tertentu.

3.3 EPIDEMIOLOGI
Variasi geografi yang luas dari epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh
faktor ekonomi dan iklim. Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh
kasus dari kultur keratitis di beberapa negara berkembang. Penelitian yang
dilakukan oleh Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa angka kejadian
keratitis bakteri di Banglades 82%, India 68,4%, dan yang terendah yaitu di
Taiwan 40%. Fusarium sp merupakan penyebab keratitis jamur paling umum di
Florida, Nigeria, Tanzania, dan Singapura. Spesies Aspergillus lebih banyak
ditemukan di India bagian utara, Nepal, dan Banglades. Di India dan Nepal,
Steptococcus pneumoniae merupakan bakteri patogen yang lebih dominan.
Sedangkan Pseudomonas sp merupakan spesies bakteri yang lebih banyak
ditemukan dalam penelitian di Banglades, Hongkong dan Paraguai. Perbedaan
tersebut dipegaruhi oleh faktor ikim dan lingkungan. Keratitis jamur dan keratitis
bakteri lebih sering terjadi pada musim semi. Hal ini berhubungan dengan
peningkatan aktivitas agrikultur dan/ atau peningkatan proliferasi dari agen
patogen pada periode tersebut. Faktor predisposisi keratitis bakteri yang sering di
Brazil adalah taruma, khususnya taruma pada kornea.
Penelitian Marlon M. Ibrahim dkk menunjukkan bahwa iklim, lingkungan
tempat tinggal mempengaruhi karakteristik dari keratitis bakteri. Menurut Murillo
Lopez, sekitar 25.00 orang Amerika terkena keratitits bakteri per tahun. Kejadian
keratitis bakteri bervariasi, dengan lebih sedikit pada negara negara industri yang
secara signifikan lebih sedikit memiliki jumlah pengguna lensa kontak. Insiden
keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis dan berkisar 2% dari
kasus keratitis di New York dan 35% di Florida. Spesies Fusarium merupakan
penyebab paling umum dari infeksi jamur kornea di Amerika Serikat bagian
selatan (45-76% dari keratitis jamur). Sedangkan spesies Candida dan Aspergillus
lebih umum di negara negara utara. Secara signifikan lebih sedikit yang berkaitan
dengan infeksi lensa kontak.

9
3.4 PATOFISIOLOGI KERATITIS
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam
kornea. Namun sekali kornea mengalami cedera, stroma yang avaskuler dan
membrane Bowman mudah terinfeksi oleh berbagai macam mikroorganisme
seperti amoeba, bakteri dan jamur. Streptococcus pneumonia (pneumokokus)
adalah bakteri pathogen kornea sejati, pathogen lain memerlukan inokulum yang
berat atau hospes yang lemah (misalnya pada pasien yang mengalami defisiensi
imun) agar dapat menimbulkan infeksi. Kornea adalah struktur yang avaskuler
oleh sebab itu pertahanan pada waktu peradangan, tidak dapat segera ditangani
seperti pada jaringan lainnya yang banyak mengandung vaskularisasi.
Sel-sel di stroma kornea pertama-tama akan bekerja sebagai makrofag, baru
kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang ada di limbus dan tampak
sebagai injeksi pada kornea. Sesudah itu terjadilah infiltrasi dari sel-sel lekosit,
sel-sel polimorfonuklear, sel plasma yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak kelabu, keruh dan permukaan kornea menjadi tidak licin.
Epitel kornea dapat rusak sampai timbul ulkus. Adanya ulkus ini dapat dibuktikan
dengan pemeriksaan fluoresin sebagai daerah yang berwarna kehijauan pada
kornea. Bila tukak pada kornea tidak dalam dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa meninggakan jaringan parut, namun apabila tukak dalam apalagi
sampai terjadi perforasi penyembuhan akan disertai dengan terbentuknya jaringan
parut. Mediator inflamasi yang dilepaskan pada peradangan kornea juga dapat
sampai ke iris dan badan siliar menimbulkan peradangan pada iris. Peradangan
pada iris dapat dilihat berupa kekeruhan di bilik mata depan. Kadang-kadang
dapat terbentuk hipopion.
Pada keratitis bakteri adanya gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau
masuknya mikroorganisme abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi
proliferasi dan menyebabkan ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi
mikroba atau molekul efektor sekunder yang membantu proses infeksi. Beberapa
bakteri memperlihatkan sifat adhesi pada struktur fimbriasi dan struktur non
fimbriasi yang membantu penempelan ke sel kornea. Selama stadium inisiasi,
epitel dan stroma pada area yang terluka dan infeksi dapat terjadi nekrosis. Sel
inflamasi akut (terutama neutrofil) mengelilingi ulkus awal dan menyebabkan

10
nekrosis lamella stroma. Difusi produk-produk inflamasi (meliputi cytokines) di
bilik posterior, menyalurkan sel-sel inflamasi ke bilik anterior dan menyebabkan
adanya hipopion.
Toksin bakteri yang lain dan enzim (meliputi elastase dan alkalin protease)
dapat diproduksi selama infeksi kornea yang nantinya dapat menyebabkan
destruksi substansi kornea. Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu
epitelial dan stromal. Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial,
mengakibatkan kerusakan sel epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial.
Pada yang stromal terjadi reaksi imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang
yaitu reaksi antigen antibodi yang menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang
ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak virus tetapi juga akan merusak
jaringan stroma disekitarnya.
Hal ini penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial
ditujukan terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang
virus dan reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama
kaena stroma kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan
makrofag ketempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten
biasanya sembuh sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak
kompeten, perjalanannya mungkin menahun dan dapat merusak.

3.5 DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, gejala klinik dan hasil
pemeriksaan mata. Dari hasil anamnesis sering diungkapkan riwayat trauma,
adanya riwayat penyakit kornea, misalnya pada keratitis herpetik akibat infeksi
herpes simpleks yang kambuh. Anamnesis mengenai pemakaian obat lokal oleh
pasien, karena kortikosteroid merupakan predisposisi bagi penyakit bakteri, fungi,
atau virus terutama keratitis herpes simpleks.
Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan, adanya
sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit kabur, dan
silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme). Penderita akan
mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, sehingga
amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang sudah dalam

11
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh kuman kornea
bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang masuk ke
mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya terutama
disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah iris
adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea.
Pasien biasanya juga mengeluhkan mata berair namun tidak disertai dengan
pembentukan kotoran mata yang banyak kecuali pada ulkus kornea yang purulen.
Dalam mengevaluasi peradangan kornea penting untuk membedakan apakah
tanda yang kita temukan merupakan proses yang masih aktif atau merupakan
kerusakan dari struktur kornea hasil dari proses di waktu yang lampau.
Sejumlah tanda dan pemeriksaan sangat membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan penyebab dari suatu peradangan kornea seperti pemeriksaan sensasi
kornea, lokasi dan morfologi kelainan, pewarnaan dengan fluoresin,
neovaskularisasi, derajat defek pada epithel, lokasi dari infiltrat pada kornea,
edema kornea, keratik presipitat, dan keadaan di bilik mata depan. Tanda-tanda
yang ditemukan ini juga berguna dalam mengawasi perkembangan penyakit dan
respon terhadap pengobatan.

3.6 KLASIFIKASI
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi
keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis
nurmularis dan keratitis neuroparalitik.

12
1. Berdasarkan lapisan yang terkena :
a. Keratitis pungtata
Keratitis yang terkumpul di daerah membran Bowman dengan infiltrat
berbentuk bercak bercak halus.
Penyebab: Moluscum kontagiosum, acne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Blefaritis neuroparalitik, Infeksi virus, vaksinia, Trakoma dan trauma radiasi,
dryeyes, trauma, lagoftalmus, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin.
Keratitis Pungtata biasanya terdapat bilateral, berjalan kronis tanpa terlihat
gejala konjungtiva atau tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda.
Keratitis Pungtata Superfisial
Memberikan gambaran seperti infiltrat halus bertitik-titik pada permukaan
kornea. Merupakan cacat halus kornea superfisial dan hijau bila diwarnai
fluoresein. Dapat disebabkan sindrom dry eye, blefaritis, keratopati logaftalmos,
keracunan obat topical (neomisin, tobramisin ataupun obat lainnya), sinar
ultraviolet, trauma kimia ringan dan pemakaian lensa kontak.
Pasien akan mengeluh sakit, silau, mata merah dan rasa kelilipan. Pasien diberi air
mata buatan, kortikosteroid dan siklopegik.
Keratitis Pungtata Subepitel
Keratitis yang terkumpul di membran Bowman. Pada keratitis ini biasanya
terdapat bilateral dan berjalan kronis tanpa terlihatnya gejala kelainan konjungtiva
ataupun tanda akut yang biasanya terjadi pada dewasa muda.

13
b. Keratitis marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral /
marginal. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien setengah umur
dengan adanya blefarokonjungtivitis. Bila tidak diobati dengan baik maka akan
mengakibatkan tukak kornea.
Penderita mengeluh sakit seperti kelilipan, lakrimasi, fotofobia berat. Pada
mata akan terlihat blefarospasme satu mata, injeksi konjungtiva, infiltrat atau
ulkus memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal atau multiple, sering disertai
neovaskularisasi dari arah limbus.
Pengobatan : Antibiotika sesuai infeksi lokalnya dan Steroid dosis ringan.
Diberikan juga vit B dan C dosis tinggi. Pada kelainan yang indolen dilakukan
kauterisasi dengan listrik ataupun AgNO3 di pembuluh darah / dilakukan flep
konjungtiva yang kecil.

c. Keratitis intertisial
Keratitis yang ditemukan pada jaringan kornea yang lebih dalam. Seluruh
kornea keruh sehingga iris susah dilihat. Keratitis Interstisial akibat lues kogenital
didapatkan neovaskularisasi dalam. Keratitis interstisial merupakan keratitis
nonsuppuratif profunda disertai neovaskularisasi disebut juga Keratitis
Parenkimatosa.
Pasien mengeluh fotofobia, lakrimasi dan menurunnya visus. Keluhan
akan bertahan seumur hidup. Seluruh kornea keruh sehingga iris sukar dilihat.
Permukaan kornea seperti permukaan kaca. Terdapat injeksi Siliar disertai
serbukan pembuluh ke dalam sehingga memberi gambaran merah kusam yang

14
disebut “Salmon Patch” dari Hutchinson. Seluruh kornea dapat berwarna merah
cerah. Keratitis disebabkan sifilis kogenital atau bisa juga oleh tuberkulosis,
trauma.
Pengobatan tergantung penyebabnya. Diberikan juga Sulfas Atropin tetes
mata untuk mencegah sinekia akibat uveitis dan kortikosteroid tetes mata.

2. Berdasarkan penyebabnya :
a. Keratitis bakteri
Pasien biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata yang
terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur. Pada
pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis perikornea, blefarospasme,
edema kornea, infiltrasi kornea.
Penyebab: Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas dan Enterobakteriacea.
Faktor Predisposisi : Pemakaian kontak lens, trauma, kontaminasi obat tetes.
Pemeriksaan laboratorium : pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan
menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat, darah dan agar Sabouraud, kemudian
dilakukan pengecatan dengan Gram. Biopsy kornea dilakukan jika kultur negatif
dan tidak ada perbaikan secara klinis dengan menggunakan blade kornea bila
ditemukan infiltrat dalam di stroma.

15
Pengobatan Batang Gram (-) : Tobramisin, Ceftazidime, Fluoroquinolone. Batang
Gram (+) : Cefazoline, Vancomycin, Moxifloxacin/Gatofloxacin. Kokus Gram (-)
: Ceftriaxone, Ceftazidime, Moxifloxacin/Gatofloxacin.

Gambar Keratitis ulseratif supuratif disebabkan oleh P. aeruginosa

b. Keratitis Jamur
Penyebab : trauma kornea oleh ranting pohon, daun dan bagian tumbuh-
tumbuhan. Dapat juga akibat efek samping penggunaan antibiotik dan
kortikosteroid yang tidak cepat. Keluhan timbul setelah 3 minggu kemudian.
Keluhan sakit mata hebat, berair dan silau. Pada mata terlihat infiltrat berhifa dan
satelit bila terletak didalam stroma, disertai cincin endotel dengan plaque
bercabang-cabang dengan endotelium plaque, gambaran satelit pada kornea dan
lipatan Descemet.

Menurut Susetio (1993) untuk menegakkan diagnosis klinik dapatdipakai


pedoman berikut :
1) Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2) Lesi satelit.
3) Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh.
4) Plak endotel.
5) Hipopion, kadang-kadang rekuren.
6) Formasi cincin sekeliling ulkus.
7) Lesi kornea yang indolen.

16
Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
kerokan kornea (sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus
dengan biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau
KOH + Tinta India.Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid
Schiff atau Methenamine Silver.
Pengobatan : Natamisin 5% setiap 1-2 jam saat bangun untuk keratitis jamur
filamentosa seperti miconazole, amphoterisin, nistatin dan lain-lain dan
sikloplegik disertai obat oral anti glaukoma jika disertai peningkatan tekanan
intraokular. Keratoplasti jika tidak ada perbaikan.

c. Keratitis Virus
Keratitis Pungtata Superfisial dengan gambaran Infiltrat halus bertitik-titik
pada dataran depan kornea yang dapat terjadi pada herpes simpleks, herpes zoster,
infeksi virus, vaksinia dan trakoma. Keratitis terkumpul di daerah membran
Bowman, bilateral dan kronis tanpa terlihat kelainan konjungtiva. Jenis Keratitis
Virus: Keratitis herpetik, Keratitis dendritik, Keratitis Disformis, Infeksi Herpes
Zoster, Keratokonjuntivitis Epidemi.
1) Keratitis Herpetik
Disebabkan herpes simpleks dan herpes zoster. Keratitis karena herpes Simpleks
dibagi 2 bentuk :
a) Epitelial : adalah Keratitis dendritik. Pada epitelial terjadi pembelahan
virus di dalam sel epitel yang mengakibatkan kerusakan sel dan membentuk tukak
kornea superfisial. Pengobatan dilakukan pada pembelahan virusnya.

17
b) Stromal : adalah Keratitis disciformis. Pada Stromal diakibat reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang. Antigen (virus) dan antibodi
(tubuh pasien) bereaksi di dalam stroma kornea dan menarik sel leukosit dan sel
radang lainnya. Sel ini mengeluarkan bahan proteolitik untuk merusak antigen
(virus) yang juga merusak jaringan stromal di sekitarnya. Pengobatan dilakukan
pada virus dan reaksi radangnya. Biasanya infeksi Herpes Simpleks berupa
campuran antara Epitelial dan Stromal.
Pengobatan : IDU (Iodo 2 dioxyuridine). Kerja tidak stabil, bekerja menghambat
sintesis DNA virus dan manusia sehingga toksik untuk epitel normal dan tidak
boleh digunakan lebih dari 2 minggu. Bentuk berupa larutan 1% diberikan setiap
jam. Salep 0,5% diberikan setiap 4 jam. Vibrabin sama dengan IDU, hanya ada
dalam bentuk salep. Trifluorotimidin (TFT) sama dengan IDU, diberikan 1%
setiap 4 jam. Acyclovir bersifat selektif terhadap sintesis DNA virus. Bentuk salep
3% diberikan setiap 4 jam. Efektif dengan Efek samping kurang.

2) Keratitis Dendritik
Merupakan Keratitis Superfisial yang membentuk garis infiltrate pada
permukaan kornea kemudian membentuk cabang. Disebabkan oleh virus Herpes
Simpleks.
Gejala : Fotofobia, kelilipan, tajam penglihatan menurun, konjungtiva hiperemia
disertai sensibilitas kornea yang hipestesia. Karena gejala ringan, pasien terlambat
berkonsultasi. Dapat menjadi tukak kornea.
Pengobatan : Dapat sembuh spontan. Dapat juga diberikan antivirus (IDU 0,1%
salep tiap 1 jam atau Asiklovir) dan sikloplegik dan antibiotik dengan bebat tekan.

18
3) Keratitis Disiformis
Merupakan keratitis yang membentuk kekeruhan infiltrat yang bulat atau
lonjong di dalam jaringan kornea.
Penyebab: Infeksi virus Herpes Simpleks. Merupakan reaksi alergi atau
imunologik terhadap virus Herpes Simpleks pada permukaan kornea.

4) Infeksi Herpes Zoster


Merupakan keratitis vesikular karena infeksi Herpes Zoster di mata.
Biasanya pada usia lanjut. Gejalanya rasa sakit di daerah yang terkena, badan
terasa hangat, merah dan penglihatan berkurang. Pada kelopak terlihat vesikel dan
infiltrat pada kornea. Vesikel juga tersebar pada dermatom yang dipersarafi saraf
Trigeminus, progresif dan tidak melewati garis meridian.
Pengobatan tidak spesifik, hanya simptomatik bisa dengan Asiklovir dan pada
usia lanjut diberikan Steroid. Penyulit berupa Uveitis, Parese otot penggerak mata,
Glaukoma dan Neuritis Optik.

19
d. Keratokonjungtivitis epidemic
Merupakan keratitis akibat reaksi peradangan kornea dan konjungtiva
yang disebabkan adenovirus tipe 8. Biasanya unilateral, suatu epidemi. Gejalanya
demam, gangguan nafas, penglihatan menurun, merasa ada benda asing, berair,
kadang nyeri. Pada mata berupa edema kelopak dan folikel konjungtiva,
pseudomembran pada konjungtiva tarsal yang membentuk jaringan parut, pada
kornea terdapat Keratitis Pungtata pada minggu pertama. Kelenjar preaurikel
membesar. Kekeruhan subepitel kornea menghilang sesudah 2 bulan sampai 3
tahun / lebih.
Pengobatan : Pada yang akut : kompres dingin, cairan air mata dan supportif
lainnya. Jika terjadi penurunan visus berat dapat diberikan Steroid tetes mata 3
kali per hari.

3. Berdasarkan bentuk klinisnya


a. Keratitis Dimmer atau Keratitis Numularis
Merupakan keratitis numularis dengan infiltrate bundar berkelompok dan
tepi berbatas tegas sehingga ada gambaran halo. Keratitis berjalan lambat dan
sering unilateral.

b. Keratitis filamentosa
Merupakan keratitis yang disertai filamen mukoid dan deskuamasi sel
epitel pada permukaan kornea. Penyebab tidak diketahui. Disertai penyakit lain
seperti keratokonjungtivitis sika, sarkoidosis, trakoma, pempigoid okular,
pemakaian lensa kontak, edema kornea, keratokonjungtivitis limbik superior DM,

20
trauma dasar otak dan pemakaian antihistamin. Ditemukan pada dry eyes, DM,
Post op Katarak, keracunan kornea oleh zat tertentu.
Gambaran : filamen mempunyai dasar bentuk segitiga yang menarik epitel, epitel
pada filamen terlihat tidak melekat pada epitel kornea. Di dekat filamen terdapat
defek filamen dan kekeruhan epitel berwarna abu abu.
Gejala : rasa kelilipan, sakit, silau, blefarospasme dan epiforia. Mata merah dan
terdapat defek kornea.
Pengobatan : larutan hipertonik NaCl 5%, air mata hipertonik. Mengangkat
filamen dan memasang lensa kontak lembek.

c. Keratitis alergi
1) Keratokonjungtivitis Flikten
Merupakan radang kornea dan konjungtiva sebagai suatu reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen.
Gejala : Terdapat flikten pada kornea berupa benjolan berbatas tegas berwarna
putih keabuan dengan atau tanpa neovaskularisasi menuju ke arah benjolan
tersebut. Bilateral, pada limbus tampak benjolan putih kemerahan dikelilingi
konjungtiva hiperemis. Terdapat papul dan pustula pada kornea dan konjungtiva.
Lakrimasi dan fotofobia disertai rasa sakit. Hiperemis konjungtiva, menebalnya
epitel kornea, perasaan panas disertai gatal dan tajam penlihatan berkurang.
Pengobatan : Pemberian steroid. Flikten menghilang tanpa bekas, tetapi jika
terjadi ulkus akibat infeksi sekunder maka akan menjadi parut kornea.

21
2) Keratitis Fasikularis
Keratitis dengan pembentukan pita pembuluh darah yang menjalar dari
limbus ke arah kornea. Berupa tukak kornea akibat flikten yang berjalan
membawa jalur pembuluh darah baru sepanjang permukaan kornea.

3) Keratokonjungtivitis vernal
Merupakan Peradangan tarsus dan konjungtiva yang rekuren. Muncul pada
musim panas, anak laki laki lebih sering terkena dibanding perempuan.
Gejala : Gatal, disertai riwayat alergi, blefarospasme, fotofobia, penglihatan
buram, dan kotoran mata serat-serat. Hipertrofi papil kadang berbentuk cobble
stone pada kelopak atas dan konjungtiva daerah limbus.
Pengobatan : obat topikal antihistamin dan kompres dingin.

22
d. Keratitis Lagoftalmus
Keratitis yang terjadi akibat lagoftalmus dimana kelopak mata tidak bisa
menutup dengan sempurna sehingga menyebabkan kekeringan pada kornea dan
konjungtiva sehingga rentan terkena infeksi. Lagoftalmus dapat disebabkan
tarikan jaringan parut pada tepi kelopak, eksoftalmus, paralise saraf fasial, atoni
orbikularris okuli dan proptosis karena tiroid.
Pengobatan : mengatasi penyebab, air mata buatan. Untuk cegah infeksi sekunder
diberikan salep mata.

e. Keratitis Neuroparalitik
Merupakan keratitis akibat kelainan saraf trigeminus sehingga terdapat
kekeruhan kornea yang tidak sensitif disertai kekeringan kornea. Gangguan
persarafan dapat terjadi akibat herpes zoster, tumor fossa posterior kranium,
peradangan sehingga kornea menjadi anestetis. Kemudian kornea menjadi
kehilangan pertahanannya terhadap iritasi luar. Kornea menjadi mudah infeksi dan
terbentuk tukak kornea.

23
Gejalanya : tajam penglihatan menurun, silau, tidak nyeri. Refleks berkedip
hilang, injeksi siliar, permukaan kornea keruh, infiltrat dan vesikel pada kornea.
Pengobatan : air mata buatan dan salep untuk menjaga kornea tetap basah. Untuk
cegah infeksi sekunder : pengobatan keratitis, tarsorafi, dan menutup pungtum
lakrimal.

f. Keratokonjungtivitis Sika
Merupakan keringnya permukaan kornea dan konjungtiva.
Gejala : mata berpasir, gatal, silau, penglihatan kabur, sekresi mukus mata yang
berlebihan, sukar menggerakkan kelopak mata, mata kering karena ada erosi
kornea, Edema konjungtiva bulbi, filamen (benang) di kornea.
Pemeriksaan yang dilakukan :
a) Tes Schimer yaitu resapan air mata pada kertas Schimer normal 10-25 mm
dalam waktu 5 menit. Abnormal < 10 mm.
b) Tes zat warna Rose Bengal konjungtiva zat warna ini akan mewarnai sel
epitel kornea. Terdapat titik merah di konjungtiva bila mata kering.
Pengobatan tergantung penyebabnya. Pemberian air mata tiruan bila kurang
adalah komponen air. Pemberian lensa kontak apabila komponen mukus yang
berkurang. Penutupan pungtum lakrimal bila terjadi penguapan yang berlebihan.

g. Keratitis Sklerotikan
Merupakan kekeruhan berbentuk segitiga pada kornea yang menyertai skleritis.
Penyebabnya diduga perubahan susunan serat kolagen yang menetap.
Gejala : kekeruhan kornea terlokalisasi dan berbatas jelas, unilateral, kadang
mengenai seluruh limbus, kornea putih menyerupai sklera.
Pengobatan : steroid dan fenil butazon.

3.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan keratitis adalah mengeradikasi penyebab keratitis,
menekan reaksi peradangan sehingga tidak memperberat destruksi pada kornea,
mempercepat penyembuhan defek epitel, mengatasi komplikasi, serta
memperbaiki ketajaman penglihatan. Ada beberapa hal yang perlu dinilai dalam

24
mengevaluasi keadaan klinis keratitis meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi,
rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya infiltrat.Sebagian besar pakar
menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement epitel kornea
selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga obat lebih mudah menembus. Dalam hal
ini juga untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi kandungan
virus epithelial jika penyebabnya virus, konsekuensinya reaksi radang akan cepat
berkurang.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi.Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau acyclovir.
Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau
vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-
keluhan pasien.Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid.
Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan gelatin yang
dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan memperpanjang
waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes kortikosteroid pada
KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah
terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan keluhan
subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid dapat
menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang infeksi dari
virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus.
Namun pemberian kortikosteroid topikal pada keratitis ini harus terus diawasi
dan terkontrol karena pemakaian kortikosteroid untuk waktu lama dapat
memperpanjang perjalanan penyakit hingga bertahun-tahun dan berakibat
timbulnya katarak dan glaukoma terinduksi steroid, menambah kemungkinan

25
infeksi jamur, menambah berat radang akibat infeksi bakteri juga steroid ini dapat
menyembunyikan gejala penyakit lain. Penggunaan kortikosteroid pada keratitis
menurut beberapa jurnal dapat dipertimbangkan untuk diganti dengan NSAID.
Dari penelitian-penelitian tersebut telah menunjukan bahwa NSAID dapat
mengurangi keluhan subjektif pasien dan juga mengatasi peradangannya seperti
halnya kortikostroid namun lebih aman dari steroid itu sendiri karena tidak akan
menyebabkan katarak ataupun glaukoma yang terinduksi steroid.
Lensa kontak sebagai terapi telah dipakai untuk mengendalikan gejala, supaya
dapat melindungi lapisan kornea pada waktu kornea bergesekan dengan palpebra,
khususnya pada kasus yang mengganggu. Pemberian siklopegik
mengakibatkan lumpuhnya otot sfingter iris sehingga terjadi dilatasi pupil dan
mengakibatkan paralisis otot siliar sehingga melemahkan akomodasi.Terdapat
beberapa obat sikloplegia yaitu atropin, homatropin, dan tropikamida.
Namun atropin (0,5%-2%) merupakan sikloplegik yang sangat kuat dan juga
bersifat midriatik sehingga biasanya tidak dijadikan pilihan terapi pada keratitis
tertentu misalnya KPS. Efek maksimal atropin dicapai setelah 30-40 menit dan
bila telah terjadi kelumpuhan otot akomodasi maka akan normal kembali dalam 2
minggu setelah obat dihentikan. Atropin juga memberikan efek samping nadi
cepat, demam, merah, dan mulut kering. Homatropin (2%-5%) efeknya hilang
lebih cepat dibanding dengan atropin, efek maksimal dicapai dalam 20-90 menit
dan akomodasi normal kembali setelah 24 jam hingga 3 hari. Sedangkan
trokamida (0,5%-1%) memberikan efek setelah 15-20 menit, dengan efek
maksimal dicapai setelah 20-30 menit dan hilang setelah 3-6 jam. Obat ini sering
dipakai untuk melebarkan pupil pada pemeriksaan fundus okuli.
Pada keratitis yang telah mengalami penipisan stroma dapat ditambahkan
lemcyanoacrylate untuk menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut
gagal, harus dilakukan flap konjungtiva; bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti.
Flap konjungtiva hanya dianjurkan bila masih ada sisa stroma kornea, bila sudah
terjadi descemetocele flap konjungtiva tidak perlu; tetapi dianjurkan dengan
keratoplastik lamellar.
Selain terapi medikamentosa sebaiknya diberikan pula edukasi pada pasien
keratitis.Pasien diberikan pengertian bahwa penyakit ini dapat berlangsung kronik

26
dan juga dapat terjadi kekambuhan.Pasien juga sebaiknya dianjurkan agar tidak
terlalu sering terpapar sinar matahari ataupun debu karena keratitis ini dapat juga
terjadi pada konjungtivitis vernal yang biasanya tercetus karena paparan sinar
matahari, udara panas, dan debu, terutama jika pasien tersebut memang telah
memiliki riwayat atopi sebelumnya. Pasien pun harus dilarang mengucek matanya
karena dapat memperberat lesi yang telah ada.Pada keratitis dengan etiologi
bakteri, virus, maupun jamur sebaiknya kita menyarankan pasien untuk mencegah
transmisi penyakitnya dengan menjaga kebersihan diri dengan mencuci tangan,
membersihkan lap atau handuk, sapu tangan, dan tissue.

3.8 KOMPLIKASI
Bila peradangan hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik dapat
sembuh tanpa jaringan parut, Bila peradangan dalam, penyembuhan berakhir
dengan pembentukan jaringan parut yang dapat berupa nebula, makula, leukoma,
leukoma adherens dan stafiloma kornea.
1. Nebula : bentuk parut kornea berupa kekeruhan yang sangat tipis dan hanya
dapat dilihat dengan menggunakan kaca pembesar atau menggunakan slit lamp.
2. Makula : parut yang lebih tebal berupa kekeruhan padat yang dapat dilihat
tanpa menggunakan kaca pembesar.
3. Leukoma : kekeruhan seluruh ketebalan kornea yang mudah sekali terlihat
dari jarak yang agak jauh sekalipun.
4. Leukoma adherens : keadaan dimana selain adanya kekeruhan seluruh
ketebalan kornea, terdapat penempelan iris pada bagian belakang kornea (sinekia
anterior).
5. Stafiloma kornea : bila seluruh permukaan kornea mengalami ulkus disertai
perforasi, maka pada penyembuhan akan terjadi penonjolan keluar parut kornea
yang disertai dengan sinekia anterior.
` Bila ulkusnya lebih dalam dapat terjadi perforasi. Adanya perforasi dapat
membahayakan mata, oleh karena timbulnya hubungan langsung dari bagian
dalam mata dengan dunia luar, sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan
menyebabkan endoftalmitis atau panoftalmitis. Dengan adanya perforasi, iris

27
dapat menonjol keluar melalui perforasi dan terjadi prolaps iris. Saat terjadi
perforasi, tekanan intraokular menurun.

3.9 PROGNOSIS
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya. Prognosis visual
tergantung pada beberapa faktor, yaitu tergantung dari virulensi organisme, luas
dan lokasi keratitis, hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen.

28
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien perempuan berumur 12 tahun datang ke IGD RSUDZA


dengan keluhan penglihatan kedua mata kabur dan mata merah sejak 1 minggu
yang lalu. Pandangan kabur diawali dengan rasa pedih yang lama kelamaan
disertai dengan penurunan pandangan. Pasien juga mengeluhkan silau jika terkena
cahaya. Keluhan mual dan muntah tidak ada. Keluhan pandangan menyempit
tidak ada, halo tidak ada.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mengetahui etiologi dari keadaan
pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan kerokan kornea
(sebaiknya dengan spatula Kimura) yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop. Dapat dilakukan pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH +
Tinta India. Biopsi jaringan kornea dan diwamai dengan Periodic Acid Schiff atau
Methenamine Silver. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
karena keterbatasan alat.

Pasien dengan keratitis biasanya datang dengan keluhan iritasi ringan,


adanya sensasi benda asing, mata merah, mata berair, penglihatan yang sedikit
kabur, dan silau (fotofobia) serta sulit membuka mata (blepharospasme).
Penderita akan mengeluh sakit pada mata karena kornea memiliki banyak serabut
nyeri, sehingga amat sensitif. Kebanyakan lesi kornea superfisialis maupun yang
sudah dalam menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperberat oleh
kuman kornea bergesekan dengan palpebra. Karena kornea berfungsi sebagai
media untuk refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang
masuk ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan
terutama apabila lesi terletak sentral pada kornea. Fotofobia yang terjadi biasanya
terutama disebabkan oleh kontraksi iris yang meradang. Dilatasi pembuluh darah
iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung serabut saraf pada
kornea.
Kornea merupakan jendela paling depan dari mata dimana sinar masuk
dan difokuskan ke dalam pupil. Bentuk kornea yang cembung dan sifatnya yang
transparan merupakan hal yang sangat menguntungkan karena sinar yang masuk

29
80% atau dengan kekuatan 40 dioptri dilakukan atau dibiaskan oleh kornea ini.
Indeks bias kornea adalah 1,38. Kelengkungan kornea mempunyai kekuatan yang
berkuatan sebagai lensa hingga 40,0 dioptri.Pada keratitis bakteri adanya
gangguan dari epitel kornea yang intak dan atau masuknya mikroorganisme
abnormal ke stroma kornea, dimana akan terjadi proliferasi dan menyebabkan
ulkus. Faktor virulensi dapat menyebabkan invasi mikroba atau molekul efektor
sekunder yang membantu proses infeksi. Toksin bakteri yang lain dan enzim
(meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea
yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea. Gangguan pada
kornea ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan dari penghantaran cahaya
sehingga pasien akan mengalami penurunan visus.
Mata merah pada keratitis disebabkan oleh dilatasi pembuluh darah kapiler
(hiperemis vascular perikoneal vascular injeksi) sehingga permeabilitas pembuluh
darah meningkat dan terjadi injeksi siliaris. Rasa panas pada mata pasien
disebabkan adanya proses inflamasi pada kornea. Toksin dan enzim dari bakteri
(meliputi elastase dan alkalin protease) dapat diproduksi selama infeksi kornea
yang nantinya dapat menyebabkan destruksi substansi kornea.
Rasa silau yang dirasakan oleh pasien dikarenakan adanya gangguan dari
refleks pupil dalam mengatur cahaya yang masuk. Pupil yang berwarna hitam
pekat pada sentral iris mengatur jumlah sinar masuk ke dalam bola mata. Seluruh
sinar yang masuk melalui pupil diserap sempurna oleh jaringan dalam mata. Tidak
ada sinar yang keluar melalui pupil sehingga pupil akan berwarna hitam. Ukuran
pupil dapat mengatur refleks mengecil atau membesarkan untuk jumlah masuknya
sinar. Pengaturan jumlah sinar masuk ke dalam pupil diatur secara refleks. Pada
penerangan yang cerah pupil akan mengecil untuk mengurangi rasa silau. Pada
tepi pupil terdapat m.sfingter pupil yang bila berkontraksi akan mengakibatkan
mengecilnya pupil (miosis). Hal ini terjadi ketika melihat dekat atau merasa silau
dan pada saat berakomodasi. Selain itu, secara radier terdapat m.dilator pupil yang
bila berkontraksi akan mengakibatkan membesarnya pupil (midriasis). Midirasis
terjadi ketika berada di tempat gelap atau pada waktu melihat jauh.
Penatalaksanaan pada ketratitis pada prinsipnya adalah diberikan sesuai
dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridine, trifluridin atau

30
acyclovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin
atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat secret
mukopurulen, menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu: natamisin, amfoterisin atau flukonazol. Selain itu obat
yang dapat membantu epitelisasi dapat diberikan. Namun selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis ini sebaiknya juga diberikan terapi
simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman dan mengatasi keluhan-
keluhan pasien. Pasien dapat diberi air mata buatan, sikloplegik dan
kortikosteroid. Pemberian air mata buatan yang mengandung metilselulosa dan
gelatin yang dipakai sebagai pelumas oftalmik, meningkatkan viskositas, dan
memperpanjang waktu kontak kornea dengan lingkungan luar. Pemberian tetes
kortikosteroid pada KPS ini bertujuan untuk mempercepat penyembuhan dan
mencegah terbentuknya jaringan parut pada kornea, dan juga menghilangkan
keluhan subjektif seperti fotobia namun pada umumnya pada pemberian steroid
dapat menyebabkan kekambuhan karena steroid juga dapat memperpanjang
infeksi dari virus jika memang etiologi dari keratitis tersebut adalah virus.
Pada pasien ini diberikan levocyn yang isinya berupa levofloxacin yang
merupakan antibiotik golongan quinolone spectrum luas yang aktif terhadap
sebagian besar bakteri gram negative, bakteri gram positif dan bakteri anaerob.
Seperti golongan kuinolon lainnya, ofloxacin bersifat bakterisidal yang bekerja
dengan cara menghambat DNA Gyrase pada sub unit A yang berperan
mengontrol supercoiling DNA bakteri. Aktifitas antibacterial ofloxacin tidak
dipengaruhi oleh resistensi bakteri terhadap non-kuinolon.

BAB V
KESIMPULAN

31
Keratitis merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat
akut maupun kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri,
jamur, virus atau karena alergi imunologi. Keratitis dapat dibagi menjadi beberapa
golongan berdasarkan kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan
bentuk klinisnya. Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi
menjadi keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis interstitial.
Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis bakterialis,
keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi. Kemudian berdasarkan
bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten, keratitis
nurmularis dan keratitis neuroparalitik. Variasi geografi yang luas dari
epidemiologi keratitis bakteri dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan iklim.
Keratitis jamur terhitung sebanyak 50% dari seluruh kasus dari kultur keratitis di
beberapa negara berkembang.
Keratitis dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat dan jika
tidak diobati dengan baik dapat menimbulkan ulkus yang akan menjadi sikatriks
dan dapat mengakibatkan hilang penglihatan selamanya. Prognosis visual
tergantung pada beberapa faktor, yaitu tergantung dari virulensi organisme, luas
dan lokasi keratitis, hasil vaskularisasi dan atau deposisi kolagen.

Daftar Pustaka

32
1. Albar, M.Y.2012. Karateristik Penderita Keratitis Infektif di RS H.Adam
Malik tahun 2010-2011. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Tesis. Available from:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/33583
2. Bruce J, Chris C, Anthony B. 2003. Lectures Notes Oftalmologi Edisi
Kesembilan. Blackwell Science.
3. Ilyas Sidarta. Ilmu penyakit mata. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2002. hal 113-116.
4. Ilyas Sidarta. 2009. Ilmu penyakit mata. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. hal 147-158.
5. Paul R.E, John P.W. Cornea. 2004. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology Sixteenth Edition. United States Of America. hal 129-153.
6. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum.
Edisi 17. Jakarta: EGC.hal 125-49.
7. Sherwood L. 2007. Eye:Vision.Human Physiology.Sixth Edition. Hal 190-
208. United States of America :Thomson Higher Education.
8. Vaughan, Daniel. 2009. Oftalmologi Umum. Edisi 14 Cetakan Pertama.
Jakarta : Widya Medika.

33

Anda mungkin juga menyukai