Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KASUS STASE ILMU PENYAKIT MATA

Corneal Ulcer cum Hipopion


Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Doker Pembimbing:
dr. Basuki Rokhmad, Sp. M

Oleh:
Eninta Karyana Majidah
201810401011084

SMF ILMU PENYAKIT MATA RSUD GAMBIRAN KEDIRI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
LAPORAN KASUS

Identitas pasien

Nama : Tn. S

Usia : 61 th

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Ngadiluwih, Kediri

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Suku : Jawa

Waktu pemeriksaan : Jumat, 03 Agustus 2018

Anamnesis

Keluhan Utama : Mata kanan merah dan penglihatan kabur

RPS : Mata kanan merah sejak 3 minggu yang lalu. Awalnya

mata sebelah kanan terkena gram besi dan diambil sendiri oleh

pasien lalu diberi tetes insto dan membaik tanpa diperiksakan ke

dokter. Sebulan setelahnya pasien mengaku mata kanan terkena

debu dan dikucek-kucek oleh pasien. Seminggu setelahnya mata

semakin merah, nerocoh, nyeri (skala 8), disertai bercak putih pada

mata yang awalnya hanya setitik lama-kelamaan semakin meluas.

Pasien juga mengeluh silau jika melihat cahaya serta penglihatan

yang semakin lama semakin buram. Sudah diperiksakan ke dokter

mata dan diberi obat tetes namun tidak membaik.


RPD : HT (-), DM (-), riwayat trauma pada mata kanan akibat

terkena gram besi 4 bulan yll

RPK : Tidak ada yang mengalami sakit seperti ini

RP Sos : Tempat tinggal pasien berdempetan dengan rumah

tetangga. Sehari-hari untuk mandi dan minum menggunakan air

sumur.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Compos mentis

Vital Sign

GCS : 456

TD :120/80 mmHg

Nadi : 80 x/menit, kuat, reguler

RR : 22 x/menit

S : 36,6oC

Pemeriksaan Oculi Dextra Oculi Sinistra

Visus 1/300 ph (-) 6/12 ph (-)

Silia Trichiasis (-), madarosis (-) Trichiasis (-), madarosis (-)

Palpebra Superior edema (+), hiperemi (+), edema (-) nyeri tekan (-),

Nyeri tekan (+) hiperemi (-)

Palpebra Inferior edema (+), hiperemi (+), edema (-), hiperemi (-),

Nyeri tekan (+) Nyeri tekan (-)

Konjungtiva Bulbi Injeksi perikorneal (+) Injeksi perikorneal (-)

Injeksi konjungtiva (-) Injeksi konjungtiva (-)


Konjungtiva Tarsus Hiperemi (+) papil (-), Hiperemi (-) papil (-),

Superior folikel (-) folikel (-)

Konjungtiva Tarsus Hiperemi (+) papil (-) Hiperemi (-) papil (-)

inferior

Kornea keruh, Jernih, infiltrate (-),

ulkus di sentral (+) ulkus (-)

COA hipopion (+) Jernih, dalam

Pupil Sulit dievaluasi Bulat, 3mm, central

RC +

Iris Sulit dievaluasi Bentuk reguler, warna hitam

Lensa Sulit dievaluasi Jernih

Diagnosis

Ulkus kornea sentral OD dengan hipopion

Planning Diagnosis

Pemeriksaan fluorescein dengan slitlamp, dan scrapping ulkus dengan

pewarnaan gram, giemsa, dan KOH.

Terapi dari RS

- Gatifloxacin tiap 1 jam 1 tetes OD

- Natamycin 1x1 tiap 1 jam 1 tetes OD

- Levofloxacin 1x1 tablet sehari

- Asam Mefenamat 3x1 tablet sehari


Rencana Terapi

- MRS

- Moxifloxacin 0,5% tiap 1 jam 1 tetes OD

- Levofloxacin tablet 500 mg 1x1 tablet sehari

- Natamycin 10% tiap 1 jam 1 tetes OD

- Asam mefenamat 500 mg 3x1 tablet sehari

- Sulfas atropin 0,5% 4x1 tetes OD

KIE

- Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien,

kemungkinan-kemugkinan penyebabnya, dan prognosis dari penyakitnya.

- Menjelaskan kepada pasien tentang pemeriksaan penunjang dan terapi yang

akan diberikan.

- Menjelaskan kepada pasien mengenai cara pemakaian obat dan efek samping

obat.

- Edukasi kepada pasien tentang larangan memegang atau menggosok‐gosok

mata yang meradang, mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan

sesering mungkin dan mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih,

serta menghindari mata terkena paparan sinar matahari, cahaya, dan debu dengan

menggunakan kacamata hitam.


PEMBAHASAN

Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai oleh adanya

infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea

yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma.1 Terbentuknya ulkus pada kornea

mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel

baru dan sel radang. Pembentukan parut akibat ulserasi kornea adalah penyebab

utama kebutaan dan gangguan penglihatan di seluruh dunia. Kebanyakan gangguan

penglihatan ini dapat dihindari dengan melakukan diagnosis dini dan pengobatan

yang memadai dengan segera.2

Di Indonesia, menurut Riskesdas, insiden ulkus kornea tahun 2013 adalah

5,5 persen dengan prevalensi tertinggi di Bali sebesar 11,0%. Prevalensi kekeruhan

kornea pada laki‐laki cenderung sedikit lebih tinggi dibanding pada perempuan.

Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi kekeruhan kornea tertinggi (9,7%)

dibanding kelompok pekerja lainnya. Hal ini mungkin berkaitan dengan riwayat

trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat pemakaian alat

pelindung diri saat bekerja belum optimal dilaksanakan di Indonesia.3

Dikenal 2 bentuk ulkus pada kornea yaitu sentral dan marginal atau perifer.

Ulkus kornea sentral biasanya merupakan ulkus infeksi yang terjadi akibat

kerusakan pada epitel kornea. Lesi terletak di sentral, jauh dari limbus yang punya

vaskularisasi. Ulkus ini sering diserta dengan hipopion, kumpulan sel-sel radang

yan tampak sebagai suatu lapisan, pucat dibawah bilik mata depan.2 Ulkus kornea

perifer dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, dan infeksi. Infeksi

pada kornea perifer biasanya oleh kuman staphylococcus aureus, H. Influenza, dan

m. Lacunata.1
Faktor predisposisi yang paling sering terjadi di negara maju untuk

terjadinya ulkus kornea ini adalah penggunaan lensa kontak, penggunaan obat-obat

lokal dan sistemik secara sembarangan yang dapat memicu bakteri, jamur, serta

virus untuk menginfeksi kornea.2

Lesi pada ulkus yang disebabkan oleh bakteri dimulai dari daerah sentral

kornea. Ulkus sentral ini dapat menyebar ke samping dan ke dalam kornea.

Penyebaran kedalam dapat mengakibatkan perforasi kornea dalam waktu

48 jam. Gambaran berupa ulkus yang berwarna abu-abu dengan kotoran yang

dikeluarkan berwarna kehijauan. Kadang-kadang bentuk ulkus ini seperti cincin.

Dalam bilik mata depan dapat terlihat hipopion yang banyak.

Pada permukaan lesi ulkus kornea jamur terlihat bercak putih dengan warna

keabu-abuan yang agak kering. Tepi lesi berbatas tegas irregular dan terlihat

penyebaran seperti bulu pada bagian epitel yang baik. Terlihat suatu daerah tempat

asal penyebaran dibagian sentral sehingga terdapat satelit-satelit disekitarnya.

Tukak kadang kadang dalam, seperti tukak yang disebabkan bakteri. Pada infeksi

akibat jamur bentuk tukak lonjong dengan permukaan naik. Dapat terjadi

neovaskularisasi akibat rangsangan radang maupun injeksi siliar disertai hipopion.1

Gambar 1. Ulkus Kornea Bakteri Gambar 2. Ulkus Kornea Jamur


Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya

dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Perubahan dalam bentuk dan

kejernihan kornea mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh

karenanya, kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan

penglihatan, terutama bila letaknya di pusat.4 Karena kornea banyak dilalui oleh

persarafan, kebanyakan lesi kornea, baik superfisial maupun profunda akan

menimbulkan rasa nyeri serta fotofobia. Lesi pada kornea akan membuat ujung

saraf bebas terpajan dan sebagai akibatnya, akan timbul nyeri hebat diikuti refleks

pengeluaran air mata beserta lisozim yang terkandung di dalamnya (epifora) dan

penutupan mata secara involunter (blefarospasme) sebagai mekanisme proteksinya.

Rasa nyeri ini diperberat oleh gerak palpebra (terutama palpebra superior) di atas

kornea dan biasanya menetap sampai sembuh. Sedangkan fotofobia pada penyakit

kornea muncul sebagai akibat dari rasa nyeri pada kontraksi iris yang mengalami

inflamasi. Dapat pula ditemukan adanya dilatasi pembuluh darah iris sebagai

respons terhadap iritasi pada ujung saraf korneal.4

Kornea adalah bagian mata yang avaskuler, bila terjadi infeksi maka proses

infiltrasi dan vaskularisasi dari limbus baru akan terjadi 48 jam kemudian. Dengan

adanya defek atau trauma pada kornea, maka badan kornea, wandering cells, dan

sel-sel lain yang terdapat dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag,

kemudian disusul dengan dilatasi pembuluh darah yang terdapat di limbus dan

tampak sebagai injeksi perikornea. Selanjutnya terjadi infiltrasi dari sel-sel

mononuklear, sel plasma, leukosit polimorfonuklear (PMN) yang mengakibatkan

timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan
batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan

epitel dan terbentuk ulkus kornea.5

Ulkus kornea dapat menyebar ke permukaan atau masuk ke dalam stroma.

Jika terjadi peradangan yang hebat, tetapi belum ada perforasi ulkus, maka toksin

dari peradangan kornea dapat sampai ke iris dan badan siliar dengan melalui

membrana Descemet, endotel kornea dan akhirnya ke camera oculi anterior (COA).

Dengan demikian iris dan badan siliar meradang dan timbullah kekeruhan di cairan

COA disusul dengan terbentuknya hipopion (pus di dalam COA). Hipopion ini

steril, tidak mengandung kuman. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak

mengenai membrana Descemet dapat timbul tonjolan pada membrana tersebut yang

disebut Descemetocele.6

Peradangan yang hanya di permukaan saja, dengan pengobatan yang baik

dapat sembuh dengan tidak meninggalakan sikatrik. Pada peradangan yang dalam

penyembuhan berakhir dengan terbentuknya sikatrik, yang dapat berbentuk nebula

yaitu bercak seperti awan yang hanya dapat dilihat di kamar gelap dengan cahaya

buatan, makula yaitu bercak putih yang tampak jelas di kamar terang, dan leukoma

yaitu bercak putih seperti porselen yang tampak dari jarak jauh. Bila sikatrik kornea

telah mengganggu penglihatan tidak ada pengobatan yang dapat dilakukan kecuali

keratoplasti atau pencangkokan kornea,12 hal ini juga tidak mudah karena

membutuhkan waktu sebab donor kornea masih sulit didapat. Bila ulkus lebih

dalam lagi bisa mengakibatkan terjadinya perforasi. Adanya perforasi

membahayakan mata oleh karena timbul hubungan langsung dari bagian dalam

mata dengan dunia luar sehingga kuman dapat masuk ke dalam mata dan

menyebabkan timbulnya endoftalmitis, panoftalmitis dan berakhir dengan ptisis


bulbi. Dengan terjadinya perforasi cairan COA dapat mengalir ke luar dan iris

mengikuti gerakan ini ke depan sehingga iris melekat pada luka kornea yang

perforasi dan disebut sinekia anterior atau iris dapat menonjol ke luar melalui

lubang perforasi tersebut dan disebut iris prolaps.6

Berdasarkan patofisiologinya, manifestasi klinis pada ulkus kornea secara

umum dapat berupa gejala subjektif yaitu eritema pada kelopak mata dan

konjungtiva, sekret mukopurulen, merasa ada benda asing di mata, pandangan

kabur, mata berair, bintik putih pada kornea sesuai lokasi ulkus, fotofobia, dan

nyeri. Sedangkan gejala objektifnya adalah injeksi silier, hilangnya sebagian kornea

dan adanya infiltrat serta hipopion.7

Diagnosis ulkus kornea dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan

oftalmologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan dengan slit-lamp

dapat dilakukan untuk mengetahui defek pada kornea. Namun, pemeriksaan

tersebut tidak dapat mengindentifikasi penyebab dari ulkus kornea. Maka dari itu

perlu juga dilakukan pemeriksaan diagnostik seperti pewarnaan kornea dengan zat

fluoresensi dan scrapping untuk analisa atau kultur (pulasan gram, giemsa atau

KOH). Pemeriksaan mikrobiologik perlu dilakukan sebelum memberikan

pengobatan empirik dengan antibiotika karena gambaran klinis saja tidak dapat

digunakan untuk membuat diagnosis etiologik secara spesifik.8

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

maka diagnosis pasien ini adalah ulkus kornea. Pada anamnesis didapatkan keluhan

berupa penglihatan mata kanan kabur disertai mata merah, epifora, fotofobia dan

nyeri sejak 3 minggu yang lalu, maka dapat dipikirkan kemungkinan adanya ulkus

kornea, keratitis, glaukoma, uveitis, endoftalmitis dan panoftalmitis.1


Kemungkinan diagnosis glaukoma akut pada pasien ini dapat disingkirkan

karena tidak ada riwayat penurunan penglihatan dengan tiba‐tiba dan nyeri kepala

hebat yang menyertainya, ataupun keluhan adanya penglihatan pelangi atau halo

ketika melihat lampu.2 Kemungkinan uveitis anterior sebagai diagnosis utama pada

pasien ini juga dapat disingkirkan karena pada pasien ini ditemukan adanya infiltrat

dan gambaran ulkus di kornea yang menunjukkan bahwa ini bukan merupakan

uveitis murni. Kemungkinan terjadinya endofthalmitis dan panoftalmitis dapat

dipertimbangkan karena terdapat faktor penyebab yaitu adanya ulkus pada kornea.

Tetapi diagnosis endoftalmitis dan panofthalmitis tidak dapat ditegakkan karena

segmen posterior tidak dapat dinilai.

Pada pemeriksaan oftalmologis, didapatkan visus occulus dextra 1/300,

palpebra superior edema, konjungtiva bulbi terdapat injeksi perikornea, kornea

edema, terdapat lesi di sentral dengan ukuran kurang lebih 5x5 mm, batas tidak

tegas dengan komplikasi berupa hipopion. Hipopion adalah pus steril yang terdapat

pada bilik mata depan yang menandakan adanya infeksi jamur atau bakteri.

Hipopion terjadi akibat penurunan permeabilitas dari blood aqueous barrier dan

terjadi peningkatan protein, fibrin serta sel radang dalam cairan aqueous, sehingga

memberikan gambaran hipopion. Ulkus kornea yang dialami oleh pasien ini

kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri karena adanya riwayat trauma pada

mata terhadap gram besi.


Gambar 3 dan 4. Kondisi mata pasien ulkus kornea dengan hipopion

Menurut American Academy of Ophthalmology, sebaiknya pada setiap

ulkus kornea dilakukan pemeriksaan agar darah, saboraud, triglikolat, dan agar

coklat sebagai media yang dapat memfasilitasi pertumbuhan bakteri, jamur, dan

acanthamoeba.9 Namun, pemeriksaan mikrobiologi dengan pewarnaan gram dan

KOH adalah yang paling cepat dan mudah untuk dilakukan sehingga dapat

digunakan sebagai informasi untuk menentukan langkah awal terapi.10

Hasil penelitian Amescua G dkk, 2012, menyatakan bahwa dari 45% kasus

ulkus kornea disebabkan oleh jamur (43%) dan bakteri (39%). Selain itu, Prasad

Eye Institute juga menyatakan bahwa pada iklim tropis, insiden ulkus kornea

tertinggi disebabkan oleh jamur yaitu sebesar 33% dan bakteri sebesar 32,4%.11

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, terapi pada kasus ini dapat diberikan

antibiotik topikal dan sistemik, antifungal, analgetik sistemik, serta diberikan juga

sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, untuk mengurangi spasme dan mencegah

terjadinya sinekia.

Terapi yang diberikan terhadap pasien berupa terapi non‐medikamentosa,

terapi medikamentosa dan pembedahan. Terapi non‐medikamentosa berupa

edukasi yaitu jangan memegang atau menggosok‐gosok mata yang meradang,

mencegah penyebaran infeksi dengan mencuci tangan sesering mungkin dan

mengeringkannya dengan handuk atau kain yang bersih, serta menghindari mata
terkena paparan sinar matahari, cahaya, dan debu dengan menggunakan kacamata

hitam.8 Pasien dirawat inap apabila kondisinya mengancam terjadinya perforasi,

pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak terdapat reaksi obat, dan perlunya

obat sistemik.1

Pada pasien ini diberikan antibiotik topikal dan sistemik yang bertujuan

untuk mengurangi proses infeksi. Pada kasus ini jenis bakteri yang menjadi

penyebab terjadinya ulkus kornea belum diketahui karena belum dilakukan kultur

dan tes sensitivitas sehingga antibiotik yang tepat diberikan adalah yang memiliki

spektrum luas (golongan florokuinolon). Antibiotik yang diberikan berupa

moxifloxacin 0,5% eye drops dan levofloxacin tablet 1x500 mg. Pasien juga

diberikan antifungal berupa natamycin 10% eye drop. Pada pasien ini juga

diberikan analgesik sistemik berupa asam mefenamat 3x500 mg untuk mengurangi

keluhan nyeri pada mata kanan yang dirasakan pasien, sedangkan pemberian

siklopegik berupa sulfas atropin 0,5% bertujuan untuk menekan peradangan dan

untuk melepaskan serta mencegah terjadinya sinekia anterior, karena sulfas atropin

memiliki efek siklopegik yang menyebabkan pupil midriasis, sehingga mencegah

perlengketan iris pada kornea.8

Apabila pemberian obat‐obatan pada pasien ini tidak memberikan efek yang

cukup baik. Sehingga diputuskan untuk dilakukan terapi pembedahan. Terapi

pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien ulkus kornea dapat berupa flap

konjungtiva, keratoplasti, dan eviserasi.

Tatalaksana kelainan kornea dengan flap konjungtiva sudah dilakukan sejak

tahun 1800-an. Indikasinya adalah situasi dimana terapi medis mungkin gagal,

kerusakan epitel berulang dan stroma ulserasi. Dalam situasi tertentu, flap
konjungtiva adalah pengobatan yang efektif dan definitif untuk penyakit permukaan

mata persisten. Tujuan dari flap konjungtiva adalah mengembalikan integritas

permukaan kornea yang terganggu dan memberikan metabolisme serta dukungan

mekanik untuk penyembuhan kornea. Flap konjungtiva bertindak sebagai patch

biologis, memberikan pasokan nutrisi dan imunologi oleh jaringan ikat

vaskularnya.13

Indikasi yang paling umum penggunaan flap konjungtiva adalah dalam

pengelolaan ulkus kornea persisten steril. Hal ini mungkin akibat dari denervasi

sensorik kornea (keratitis neurotropik yaitu, kelumpuhan saraf kranial 7 mengarah

ke keratitis paparan, anestesi kornea setelah herpes zoster oftalmikus, atau ulserasi

metaherpetik) atau kekurangan sel induk limbal. Penipisan kornea dekat limbus

dapat dikelola dengan flap konjungtiva selama kornea tidak terlalu menipis.13

Keratoplasti atau transplantasi kornea merupakan teknik pembedahan yang

dapat dilakukan apabila penatalaksanaan diatas tidak berhasil. Indikasi keratoplasti

adalah jika dengan pengobatan tidak sembuh, terjadinya jaringan parut yang

menganggu penglihatan atau kedalaman ulkus telah mengancam terjadinya

perforasi.14

Eviserasi merupakan tindakan mengeluarkan isi bola mata saja atau

pengambilan isi orbita karena kebutaan, trauma dan penyakit mata. Tindakan bedah

tersebut mengeluarkan isi bola mata saja, tanpa menghilangkan sklera, konjungtiva,

otot-otot mata dan syaraf mata. Indikasi dari bedah eviserasi adalah keadaan

kebutaan pada mata dengan infeksi berat, keadaan mata dengan nyeri berat,

keganasan intraokular maupun trauma.15


Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat

lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada

tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan waktu

penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi

tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya

komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama

mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat.8


Kesimpulan

- Pada Tn. S memiliki gejala yang mendukung ke arah ulkus kornea yaitu

penglihatan mata kanan kabur disertai mata merah, epifora, fotofobia dan

nyeri sejak 3 minggu yang lalu. Selain itu, pada pemeriksaan oftalmologis,

didapatkan visus occulus dextra 1/300, palpebra superior edema,

konjungtiva bulbi terdapat injeksi perikornea, kornea edema, terdapat lesi

di sentral dengan ukuran kurang lebih 5x5 mm, batas tidak tegas dengan

komplikasi berupa hipopion.

- Belum diketahui dengan jelas etiologi yang mengakibatkan terjadinya ulkus

kornea pada Tn. S sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti

pewarnaan kornea dengan zat fluoresensi dan scrapping untuk analisa atau

kultur (pulasan gram, giemsa atau KOH).

- Etiologi yang paling mungkin dari hasil anamnesis adalah ulkus kornea

sentral e.c. bakteri. Hal tersebut dikarenakan Tn. S memiliki riwayat trauma

terkena gram besi pada mata kanannya.

- Terapi yang dapat dilakukan pada Tn W adalah dengan memberikan

antibiotik topikal dan sistemik yang bertujuan untuk mengurangi proses

infeksi. Antibiotik yang diberikan berupa moxifloxacin 0,5% eye drops dan

levofloxacin tablet 2x500 mg, antifungal berupa natamycin 10% eye drop,

analgesik sistemik berupa asam mefenamat 3x500 mg untuk mengurangi

keluhan nyeri pada mata kanan yang dirasakan pasien, sedangkan

pemberian siklopegik berupa sulfas atropin 0,5% bertujuan untuk menekan

peradangan dan untuk melepaskan serta mencegah terjadinya sinekia

anerior.
- Apabila pemberian obat‐obatan pada pasien ini tidak memberikan efek yang

cukup baik. Sehingga diputuskan untuk dilakukan terapi pembedahan.

Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada pasien ulkus kornea dapat

berupa flap konjungtiva, keratoplasti, dan eviserasi.


Daftar Pustaka
1. Ilyas H S dan Yulianti S R, 2015, Tukak (ulkus) Kornea, Dalam : Ilmu

Penyakit Mata. Edisi kelima, Jakarta : FKUI, pp. 167-171.

2. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, 2016, Kornea. Dalam:

Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC, pp.125-130.

3. Balitbang Kemenkes RI, 2013, Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS,

Jakarta: Balitbang Kemenkes RI.

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2012, Ulkus Kornea

dalam: Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa

Kedokteran. Jakarta: Penerbit Sagung Seto.

5. Srinivasan M, et al, 2007, Epidemiologi And Aetiological Diagnosis

Of Corneal Ulcer, Br Journal Ophtalmol, Vol 81(11), pp. 965-971.

6. Wirata G, 2017, Ulkus Kornea, Universitas Udayana, Bali. diakses 10

Agustus 2018,

<https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4a55f77bed0b90

16cb0e879fea81a340.pdf>.

7. Yusi F, 2015, Corneal Ulcers Treatment, Journal Majority, Vol 4(1),

Lampung.

8. Ririn dan Anggraeni, 2016, Laki-Laki 24 Tahun Dengan Ulkus Kornea Dan

Prolaps Oculi Dextra, Journal Medula Unila, vol 5(2), pp. 81-85.

9. American Academy of Ophthalmology, 2008, Infectious Disease of

External Eyes, San Francisco: Basic and Clinical Science Course, pp.185‐

187.
10. Prashant G dan Gullapalli NR, 1999, Corneal Ulcer: Diagnosis and

Management, Community Eye Health, Vol 12 (30), pp. 21-23.

11. Amescua G, Miller D, Alfonso EC, 2012, What Is Causing The Corneal

Ulcer? Management Strategies For Unresponsive Corneal Ulceration.

USA: Cambridge Ophthalmological Symposium, Vol. 26, pp. 228-236.

12. Kanski, 1999, Clinical Ophthalmology. Fourth Ed. Butterworth-

Heinemann, pp. 20-21.

13. Edward J, 2013, Ocular Surface Disease: Cornea, Conjunctiva and Tear

Film, 1st Edition. Elsevier: USA.

14. Yum HR, Kim MS, Kim EC, 2013, Retrocorneal membrane after Descemet

endothelial keratoplasty. Vol 32(9), pp. 1288- 90.

15. Waskitho A, et al, 2013, Protesa Mata: Rehabilitasi Pasien, Maj Ked Gi,

Vol. 20(2), pp. 178-183.

Anda mungkin juga menyukai