Anda di halaman 1dari 21

Laporan Kasus

PTERIGIUM

Oleh :

Muhammad Rajif Muttaqin, S.Ked


NIM. 1830912310074

Pembimbing :

dr. Etty Eko Setyowati, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA


FK ULM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Januari, 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN ..............................................................................1

BAB II. LAPORAN KASUS ..........................................................................3

BAB III. IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KASUS .................8

BAB IV. PENUTUP ........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Pterigium atau yang memiliki nama lain plural pterygia merupakan

kelainan berupa pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga pada limbus

1
kornea. Prevalensi pterigium di dunia berdasarkan studi meta analisis pada

tahun 2018 mencapai angka 12% dari populasi dan meningkat dengan pertambahan

usia. Peningkatan kejadian pterigium tercatat di daerah tropis dan di zona

khatulistiwa antara 30° lintang Utara dan Selatan. Pterigium lebih sering ditemukan

di daerah panas dengan iklim kering; prevalensinya dapat mencapai 22% di

2
daerah ekuator. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013, prevalensi

3
pterigium di Indonesia sebesar 8,3% penduduk.

Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar

ultraviolet, pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata.

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui; telah terdapat banyak teori

patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV), teori growth

1
factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell.

P
terigium merupakan masalah yang cukup serius karena menimbulkan

gejala mata kering, berair, gatal, mata merah hingga penglihatan terganggu

apabila pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil. Manajemen utama

1
pterigium adalah manajemen bedah. Medikamentosa diberikan jika terdapat keluhan,

namun medikamentosa tidak hanya akan mengurangi keluhan. Tantangan

utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi rekurensi yan sering terjadi,

1
berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea.

BAB II

LAPORAN KASUS

2
1. Identitas pasien

Nama : Tn. Guharjo

Umur : 59 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jl. Veteran, Muara Teweh, Barito Utara

POLI : 11 Januari 2021

RMK : 1-09-14-47

2. Anamnesis

A. Keluhan Utama:

Kedua mata perih

B. Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poli mata RSUD ULIN dengan keluhan kedua mata perih.

Pasien merasa daging tumbuh di kedua mata. Pasien merasa ada yang mengganjal

di kedua mata sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan diawali dengan munculnya sedikit

benjolan di bola mata samping sejak 1 tahun yang lalu dengan disertai gejala mata

merah dan berair, mata merah dan berair saat ini tidak dirasakan lagi oleh pasien,

namun semakin mengganggu sekarang dengan terasa seperti ada yang mengganjal

di mata. Keluhan nyeri dan perih pada mata saat ini disangkal oleh pasien. Keluhan

sakit kepala disertai rasa sakit pada mata. Pasien merupakan penjaga sekolah yang

3
sering terpapar dengan sinar matahari. Keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-

harinya. Riwayat diabetes mellitus dan hipertensi disangkal oleh pasien.

C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat mata terbentur (-) Riwayat sakit mata (-), gangguan saluran pernapasan

lama (-), pilek berulang (-), trauma (-), riwayat penyakit kulit (-)

D. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.

E. Riwayat Alergi

Riwayat alergi makanan (-) dan alergi obat-obatan (-), cuaca dingin debu dan

lainya disangkal oleh pasien.

F. Riwayat Pengobatan

Apabila mata merah, pasien menetesi obat mata yang dibeli sendiri di apotek.

3. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

B. Pemeriksaan Tanda Vital

Nadi : 72 kali/menit reguler kuat angkat

Tekanan Darah : 120/70 mmHg

Frekuensi Napas : 18 kali/menit

4
Suhu : 36,8 C

Kepala – leher

 Mata : anemis (-/-). Icterus (-/-), reflex pupil (+/+), isokor

 Pembesaran KGB preaurikular (-)

C. Status Lokalis

OD OS
5/ 20 Visus 5/24
Baik ke segala arah, nystagmus Baik ke segala arah,
Gerak bola mata
(-) nystagmus (-)
Massa (-), edema (-), hiperemis Massa (-) Edema (-)
Palpebra superior
(-) hiperemis (-)
Massa (-) Edema (-) Palpebra inferior Massa (-) Edema (-)
Paten, nyeri tekan (-) Sistem kanalis Paten, nyeri tekan (-)
lakrimalis
Konj. Palpebral superior Konj. Palpebral superior
Massa (-) hiperemis (-) Massa (-) hiperemis (-)
Konjungtiva
Konj. Palpebral inferior Konj. Palpebral inferior
palpebra
Massa (-) hiperemis (-) Massa (-) hiperemis (-)

Hiperemis (-) Konjungtiva fornix Hiperemis (-)


Hiperemis (-), massa (+) Konjungtiva bulbi Hiperemis (-), massa (+)
Putih, sikatrik (-) Sklera Putih, sikatrik (-)
Jernih Kornea Jernih
Dalam COA Dalam
Warna coklat, kripta (+) Iris Warna coklat, kripta (+)
Ø 3 mm, refleks cahaya + Ø 3 mm, refleks cahaya
Pupil
+
Jernih Lensa Jernih

5
Tidak dilakukan Funduskopi Tidak dilakukan
16.0 Tonometri 12.0
Normal Palpasi Normal

Gambar 2.1 Foto kliniks pasien

4. Diagnosis Kerja

ODS Pterigium Derajat II

5. Terapi

Pro Operasi pada ODS

KIE:

 Menghindari pajanan matahari, menghindari debu

 Menggunakan kacamata atau topi jika keluar

6
BAB III

IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALSIS KASUS

7
1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan data medis pasien diatas, ditemukan beberapa permasalahan.

Adapun permasalahan medis yang terdapat pada pasien adalah:

SUBJEKTIF

a. Mata seperti ada yang mengganjal

Mata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra,

adneksa, ataupun segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada

palpebra dan adneksa, ataupun peradangan pada konjungtiva. Tidak ditemukan

adanya secret yang berlebih. Pada pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva

bulbi hingga kornea okuli sinistra dimana hal ini dapat mengakibatkan ada

rasa ganjalan pada mata saat berkedip.

b. Pasien bekerja sebagai penjaga sekolah dan sering terpapar sinar matahari

Sering terpapar sinar matahari adalah salah satu faktor risiko yang diduga

berperan besar dalam terjadinya pterigium. Pajanan sinar ultraviolet disebut paling

penting namun patofisiologinya belum jelas, diduga terjadi kerusakan DNA,

RNA, dan matriks ekstraseluler. Sinar ultraviolet dari radikal bebas memicu

kerusakan pada DNA, RNA, dan matriks ekstrasel.

OBJEKTIF

a. Pemeriksaan status lokalis pada mata didapatkan:

8
Ditemukan massa penebalan pada konjungtiva bulbi pada bagian nasal ODS.

Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan karena pinguekula,

pseudopterygium, dan pterygium. Pinguekula dapat disingkirkan karena

pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan

pertumbuhan jaringan hingga kornea. Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat

adanya tukak kornea. Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini

karena Tampak penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk

segitiga dengan bagian puncak pterygium melewati limbus. Tampakan klinis ini

merupakan gambaran khas dari Pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah

nasal (paling sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke

arah sentral (ke arah kornea).

2. Analisa Kasus

A. Definisi

Pterigium adalah penebalan konjungtiva bulbi dari jaringan fibrovaskular


4
yang berbentuk segitiga mirip daging yang menjalar ke kornea.

B. Faktor Risiko

Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan sinar

ultraviolet, pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada mata.

Pajanan sinar ultraviolet disebut paling penting namun patofisiologinya belum jelas,

diduga terjadi kerusakan DNA, RNA, dan matriks ekstraseluler. Sinar

ultraviolet dari radikal bebas memicu kerusakan pada DNA, RNA, dan matriks

9
ekstrasel. Ultraviolet-B memacu ekspresi sitokin dan faktor pertumbuhan di sel

epitelial pterigial. Kekeringan pada mata ditemukan pada sebagian besar pasien

pterigium namun patofosiologinya belum jelas. Polimorfisme pada DNA

1
perbaikan gen Ku 70 telah dikaitkan dengan kecenderungan genetik pterigium.

C. Etiopatofisiologi

Mekanisme patofisiologi pterigium belum diketahui secara pasti. Namun

telah terdapat banyak teori patofisiologi, antara lain teori pajanan terhadap sinar

1
ultraviolet (UV), teori growth factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori

pajanan sinar UV mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV- B

menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat

pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan produksi

interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori menyatakan

bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor P53, sehingga

1
terjadi proliferasi abnormal epitel limbus.

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar ultraviolet,

angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya sitokin pro-

inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk mengeluarkan stem cell

yang juga akan memproduksi sitokin dan berbagai growth factors. Sitokin dan

berbagai growth factor akan mempengaruhi sel di limbus, sehingga terjadi

perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang akhirnya akan

10
menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena air

1
mata yang kurang baik.

D. Gambaran Klinis

Pterigium dapat muncul dengan cepat, dengan bertambah ukuran ataupun

tetap. Konjungtiva bulbar dapat menjadi semakin kencang saat pterigium membesar

ke arah limbus. Gejala rasa terbakar, gatal, iritasi, lakrimasi, dan sensasi benda

asing dapat menyertai pertumbuhan pterigium ke kornea. Astigmatisme yang

signifikan dapat diinduksi saat terjadi penebalan di daerah kornea. Pterigium

seringkali dapat menyebabkan penurunan penglihatan. Saat apex pterigium

mendekati sumbu visual, dapat menyebabkan sensasi silau yang dirasakan penderita.

Dalam kasus yang parah, pembentukan symblepharon dapat mempengaruhi

4
motilitas mata dan menyebabkan diplopia.

Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala

pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan

pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,

menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium

mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.

Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap. Bagian

segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus disebut

body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.

11
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir

4
pterigium.

E. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik. Untuk

membedakan dengan diagnosis banding seperti pseudopterigium, maka digunakan

pemeriksaan tes sonde. Topografi kornea dapat bermanfaat dalam mendeteksi

5
astigmatisme ireguler dan distorsi yang disebabkan atau diinduksi oleh pterigium.

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat atau

klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa


6,7
kelompok yaitu:

a. Berdasarkan perjalanan penyakit

1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di

depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk

membran tetapi tidak pernah hilang.

b.Berdasarkan luas pterigium

1) Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea

2) Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm

melewati kornea

3) Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil mata

dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

12
4) Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan

c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp

1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat

2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat

3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas serupa

F. Diagnosis Banding
Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu

penyakit akibat pinguekula, pseudopterigium, dan pterigium. Pinguekula dengan

bentuk puncak segitiganya berada di nasal, berkebalikan dengan pterigium.

Pterigium dengan penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah temporal yang

berbentuk segitiga dengan bagian puncak pterigium hampir melewati pinggir

pupil. Tampakan klinis ini merupakan gambaran khas dari Pterigium, yang

pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling sering) dan dari arah temporal

dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke arah kornea). Sedangkan

pseudoterigium telah ada kerusakan kornea sebelumnya dan perlengketan

7
konjungtiba bulbi dengan kornea yang cacat.

G. Tatalaksana

Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok sinar

ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium adalah pajanan

1
sinar ultraviolet. Manajemen medikamentosa jika terdapat keluhan. Obat tetes

13
mata artifisial atau steroid jika disertai inflamasi mata. Medikamentosa tidak akan

1
mengurangi ataupun memperparah pterigium, hanya mengurangi keluhan.

Tantangan utama terapi pembedahan adalah mengatasi komplikasi rekurensi yang

sering terjadi, berupa pertumbuhan fibrovaskuler dari limbus ke tengah kornea.

Indikasi terapi pembedahan antara lain: tajam penglihatan berkurang akibat

astigmatisma, ancaman aksis visual terganggu, gejala iritasi berat, dan indikasi

1
kosmetik.

Teknik eksisi antara lain:

1. Bare sclera: ialah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan

pterigium serta membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-

epitelisasi. Kerugian teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi yang dapat

1
mencapai 24-89%.

2. Conjunctival autograft technique: angka rekurensi 2% hingga paling tinggi

40%. Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi

bagian superotemporal, dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan

dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. Faktor yang penting untuk

keberhasilan operasi pterigium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat

ukuran untuk menutupi defek konjungtiva dengan inklusi minimal dari jaringan

Tenon. Hasil graft yang tipis dan bebas tegangan telah terbukti tidak terjadi retraksi

setelah operasi, menghasilkan hasil kosmetik yang baik dengan tingkat rekurensi

14
yang rendah. Hirst, dkk. merekomendasikan insisi luas untuk eksisi pterigium

1
dan graft yang besar karena dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah.

3. Amniotic membrane grafting: digunakan untuk mencegah rekurensi, bisa

digunakan untuk menutupi sklera yang terbuka setelah eksisi pterigium. Graft ini

dianggap memicu kesembuhan dan mengurangi angka rekurensi karena efek anti-

inflamasinya, memicu pertumbuhan epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal

transformasi TGF-beta, dan proliferasi fibroblas. Tingkat rekurensinya 2,6-10,7%

untuk pterigium primer dan 37,5% untuk pterigium rekuren. Membran amniotik

ditempatkan di atas permukaan sklera dengan bagian basis menghadap ke atas dan

stroma menghadap ke bawah. Lem fibrin berperan membantu membran amniotik


1
agar menempel pada jaringan episklera.

Angka rekurensi tinggi yang berkaitan dengan operasi terus menjadi masalah.

Terapi tambahan yang diberikan adalah Mitomycin-C (MMC). MMC digunakan

karena mampu menghambat fibroblas. Dua cara penggunaan yaitu aplikasi

intraoperatif langsung ke permukaan sklera setelah eksisi pterigium dan aplikasi

post-operatif sebagai terapi tetes mata topikal. Beberapa studi menganjurkan

MMC intra-operatif untuk mengurangi toksisitas. Selain itu, untuk terapi post-

operatif, dianjurkan untuk menggunakan antibiotik dan steroid tetes mata selama

8
satu bulan.

H. Komplikasi

15
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada

konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada rektus

9
medial dapat menyebabkan diplopia.

Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

- Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar, dan

komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau

retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting

pada sklera dan kornea.

- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren pterigium

post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang tinggi kira-kira

50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva autograft atau amnion

graft.

- Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan epitel di

atas pterigium.

I. Prognosis
P
terigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.

Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitostatik tetes mata
4,9
atau Beta radiasi.

16
BAB IV

PENUTUP

Pasien seorang Laki-laki, usia 59 tahun datang ke poli mata RSUD ULIN

dengan keluhan mata perih dan daging tumbuh di kedua mata. Pasien merasa ada

yang mengganjal di kedua mata sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan diawali dengan

munculnya sedikit benjolan di bola mata samping sejak 1 tahun yang lalu dengan

disertai gejala mata merah dan berair, mata merah dan berair saat ini tidak dirasakan

lagi oleh pasien, namun semakin mengganggu sekarang dengan terasa seperti ada

yang mengganjal di mata. Keluhan sakit kepala disertai rasa sakit pada mata. Pasien

merupakan penjaga sekolah yang sering terpapar dengan sinar matahari. Keluhan ini

mengganggu aktivitas sehari- harinya.

Pemeriksaan status lokalis pada mata ditemukan massa penebalan pada

konjungtiva bulbi pada bagian nasal ODS. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan

17
fisik, tanda dan gejala yang terdapat pada pasien mengarahkan pada Pterigium gr.II

Oculi dextra Sinistra.

Pasien direncanakan untuk melakukan tindakan operasi. Pasien juga diedukasi

untuk menghindari pajanan matahari, menghindari debu, menggunakan

kacamata atau topi jika keluar.

DAFTAR PUSTAKA

1. Marcella M. Manajemen Pterigium. Continuing Medical Education. 2019;


46(1): 23-25.

2. Rezvan F, Khabazkhoob M, Hooshmand E. Prevalence and risk factors of


pterygium: a systematic review and meta-analysis. J Survey of ophthalmology.
2018; 63(5): 719-35.

3. Balitbang Kemenkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI ; 2013.

4. Ginger-Eke HA, Ogbonnaya CE, Ezisi CN. PTERYGIUM: Recent trends and
perspectives—A review of pathogenesis and current management options. Niger
J Ophthalmol 2018;26:89-98.

5. Hall AB. Understanding and managing pterygium. Community Eye


Health. 2016;29(95):54-56.

6. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi ketiga. 2008. Jakarta: FK UI.

7. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in


Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology. 2002; 86(12): 1341–1346.

8. Sanjay Kumar Singh. Pterygium: epidemiology prevention and treatment.

18
Community Eye Health Journal. 2017; 29(99); 4-6.

9. Jerome P Fisher. Pterygium. 2019. Medscape. Diakses tanggal 19


Desember 2020 pada http://emedicine.medscape.com/article/1192527-
followup

19

Anda mungkin juga menyukai