Anda di halaman 1dari 36

Bagian Ilmu Kesehatan Mata Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Mei 2019


Universitas Halu oleo

GRAVES OPTHALMOPATHY

Oleh :

Husnul Mahmudah Kurniasari, S. Ked

Pembimbing :

dr. Suryani Rustam, Sp.M,. M. Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2019
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Haeruddin

Tangga lahir : 01- 08- 1965

Umur : 54 tahun

Jenis Kelamin : Laki- laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswata

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Alamat : Perumnas

No RM : 62148

B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)

Keluhan Utama

Penonjolan bola mata

Anamnesis

Pasien Tn. H umur 54 tahun datang ke poli mata RSUD kota

Kendari dengan keluhan penonjolan bola mata sejak kurang lebih 6 tahun

lalu. Awal muncul gejala pasien mengeluh sakit- sakit bagian mata, silau
saat melihat cahaya maupun menatap terlalu lama. Pasien juga mengeluh

air matanya suka keluar sendiri, selain itu juga pasien sulit dalam menutup

mata sehingga tanpa disadari matanya terbuka saat pasien tidur, sehingga

sebelum tidur pasien suka menutupnya dengan menggunakan selotip.

Pasien merasa tidak nyaman dengan matanya yang semakin hari

semakin menonjol kedepan, serta matanya kering, dan penglihatan yang

semakin kabur, penglihatan ganda (-), mata merah (-), gatal (-), nyeri (+),

kotoran mata (-), pedis (+), silau (+) jika melihat cahaya.

Keluhan lain pasien merasa cepat lelah, jantung berdebar-debar,

dan gemetaran. Pasien juga pernah di operasi di makasar karena

penonjolan bola matanya yang semakin lama sekin menonjol, riwayat

sedot tiroid pada tiroid bagian kiri.

Riwayat penyakit mata atau penyakit lain :

Riwayat penyakit dahulu

 Riwayat memiliki penyakit yang sama sebelumnya (+) sejak tahun

2013

 Riwayat sakit mata (+)

 Riwayat menggunakan kacamata (-)

 Riwayat trauma pada mata (-)

 Riwayat alergi (-)

Riwayat penyakit sistemik

 Riwayat penyakit hipertensi (+) sejak 5 tahun lalu


 Riwayat penyakit diabetes mellitus (-)

 Riwayat penyakit tiroid (hipertiroid) sejak 6 tahun lalu

Riwayat pengobatan

 Riwayat mengkonsumsi obat PTU 100 mg (3x1) dan propanolol 0

mg (1x1) sejak 2013.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1) Status present

Kesadaran compos mentis, status gizi kesan baik

2) Status ophtalmologis

1. Inspeksi

OD OS

a. Palpebra : Edema (-), Edema (-),

hiperemi (-), ptosis hiperemi (-),

(-) ptosis (-)

b. Aparatus : Normal Normal

Lakrimalis

c. Silia : Trichiasis (-), Trichiasis (-),

madarosis (-) madarosis (-)

d. Konjungtiva : Injeksi Injeksi

konjungtiva (-), konjungtiva(-),

inj. Siliar (-), inj. Siliar (-


hiperemis(+) ),hiperemis (+)

e. Bola Mata : Menonjol (+) Menonjol (+)

f. Mekanisme : Pergerakan Pergerakan

Muskuler normal normal

g. Kornea : Jernih Keratopaty (+)

- Tes Sensitivitas : TDP TDP

- Tes Placido : TDP TDP

h. Bilik Mata Depan : Tampak Tampak

penonjolan bola penonjolan bola

mata disertai mata disertai

hiperemis minimal dengan

hiperemis dan

sikatrik pada

kornea

i. Iris : Coklat, kripta Sulit dinilai

jelas

j. Pupil : Bulat, isokor, Sulit dinilai


diameter 3 mm,

refleks cahaya (+)

k. Lensa : Jernih Sulit dinilai

2. Palpasi

1. Tensi okuler : Normal/ palpasi Normal/ palpasi

2. Nyeri tekan : (-) (-)

3. Massa tumor : (-) (-)

4. Glendula : (-) (-)

Preaurikuler

3. Tonometri : Pemeriksaan tidak dilakukan

4. Visus : 4/60 : 1/

5. Color sense : Normal Tidak bisa

dinilai

6. Light sense : Normal Sulit dinilai

7. Penyinaran oblik : Normal keratopaty (+)

Konjungtiva Injeksi konjungtiva Injeksi

(-), inj. Siliar (-), konjungtiva (-),

hiperemis(+) inj. Siliar (-),

hiperemis(+)
Kornea Jernih Keratopati (+)

Bilik Mata Depan Normal Keratopati (+)

Iris Coklat, kripta jelas Sulit dinilai

Pupil Bulat, isokor, Sulit dinilai

diameter 2.5 mm,

refleks cahaya (+)

Lensa Jernih Sulit dinilai

8. Oftalmoskopi : Pemeriksaan tidak dilakukan

9. Slit lamp : tampak eksoftalmus ODS dan

keratopaty OS

10. Tekanan darah : 110/80 mmHg

D. RESUME

Pasien Tn. H umur 54 tahun datang ke poli mata RSUD kota

Kendari dengan keluhan penonjolan bola mata sejak kurang lebih 6 tahun

lalu. Awal muncul gejala pasien mengeluh sakit- sakit bagian mata, silau

saat melihat cahaya maupun menatap terlalu lama. Pasien juga mengeluh

air matanya suka keluar sendiri, selain itu juga pasien sulit dalam menutup

mata sehingga tanpa disadari matanya terbuka saat pasien tidur, sehingga

sebelum tidur pasien suka menutupnya dengan menggunakan selotip.


Pasien merasa tidak nyaman dengan matanya yang semakin hari

semakin menonjol kedepan, serta matanya kering, dan penglihatan yang

semakin kabur, nyeri (+), pedis (+), silau (+) jika melihat cahaya.

Keluhan lain pasien merasa cepat lelah, jantung berdebar-debar,

dan gemetaran. Pasien juga pernah di operasi di makasar karena

penonjolan bola matanya yang semakin lama sekin menonjol, riwayat

sedot tiroid pada tiroid bagian kiri. Riwayat memiliki penyakit yang sama

sebelumnya (+) sejak 6 tahun ini. Riwayat penyakit sistemik seperti

riwayat penyakit hipertensi (+) sejak 5 tahun lalu, riwayat penyakit tiroid

(hipertiroid) sejak 6 tahun lalu. Riwayat mengkonsumsi obat PTU dan

propanolol sejak 2013.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan Pada pemeriksaan didapatkan

konjungtiva hiperemis kanan kiri, penonjolan pola mata kanan kiri, bilik

mata depan kanan tampak penonjolan bola mata disertai hiperemis

minimal, kiri tampak penonjolan bola mata disertai dengan hiperemis dan

tampak kornea keratopati, iris kanan tampak coklat kripta jelas, pupil

isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+), lensa jernih, sedangkan mata

kiri iris, pupil, dan refleks cahaya sulit dinilai. VOD 4/60 dan VOS 1/.

E. DIAGNOSIS

Grave’s Opthalmopaty Ocular Dextra Sinistra

OS Keratopaty

F. PENATALAKSANAAN

 Non Medika Mentosa


a. Menjaga kebersihan mata

b. Menganjurkan memakai pelindung mata (kaca mata)

c. Saat pasien tidur, untuk mencegah kerusakan kornea dianjurkan

untuk ditutup rapat mata pasien menggunakan selotip.

 Medikamentosa

a. PTU 100 mg 3x1

b. Propanolol 40 mg 2x1

c. Lyteers ED 6x1 ODS

G. PROGNOSIS

a. Ad vitam : Dubia ad bonam

b. Ad fungsionam : Dubia ad malam

c. Ad sanactionam : Dubia ad malam


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pendahuluan

Penyakit kelenjar tiroid (kelenjar gondok) termasuk penyakit

yang sering ditemukan di masyarakat. Hipertiroid merupakan salah

satu penyebab penyakit kelenjar tiroid, ini merupakan penyakit hormon

yang menempati urutan kedua terbesar di Indonesia setelah diabetes.1

Beberapa keadaan klinis dapat terjadi akibat gangguan pada

kelenjar tiroid, salah satunya adalah tirotoksikosis. Tirotoksikosis

merupakan manifestasi klinis yang terjadi akibat peningkatan kadar

hormon tiroid dalam darah. Tirotoksikosis digunakan untuk menandai

temuan klinis, fisiologi, dan biokimia yang dihasilkan saat jaringan

terpajan dan memberikan respon terhadap hormon berlebihan.

Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia , namun lebih banyak

terjadi pada usia 40-50 tahun. Berdasarkan data tahun 2000, dua persen

wanita dan 0,2 persen laki-laki menderita penyakit ini di dunia..1

Gejala klinis yang didapatkan akibat sekresi hormon tiroid yang

berlebihan, diantaranya: meningkatnya laju metabolik, rasa cemas

yang berlebihan, meningkatnya nafsu makan tetapi berat badan

menurun, gerakan yang berlebihan, gelisah dan instabilitas emosi,

penonjolan pada bola mata, dan tremor halus pada jari tangan. Salah

satu pemeriksaan yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan


indeks New Castle yang didasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

yang teliti, kemudian diteruskan dengan pemeriksaan penunjang untuk

konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid, dan etiologi. Mengingat

sangat beragamnya gejala yang dapat ditimbulkan karena kelebihan

asupan yodium, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai sejauh mana peningkatan kadar FT4 dan bagaimana

hubungannya dengan kejadian tirotoksikosis pada wanita dewasa di

daerah ekses yodium.1

B. Definisi

Graves ophthalmopathy (GO) atau dikenal dengan Thyroid

Associated Orbitopathy (TAO)/ Graves Opthalmopathy (GO)

merupakan gangguan inflamasi autoimun yang menyerang jaringan

orbital dan periorbital, ditandai dengan peradangan, edema, dan

fibrosis pada jaringan orbital. Ini adalah penyakit orbital yang paling

umum pada orang dewasa (1). Antibodi IgG mungkin bertanggung

jawab untuk hiper-piala dari otot-otot ekstraokular, infiltrasi seluler

dari jaringan interstitial, dan proliferasi lemak orbital dan jaringan ikat

(2). Pasien dengan GO memiliki gejala ketidaknyamanan okular

termasuk kemerahan, iritasi, dan sensasi benda asing, mata kering.2,3, 4

C. Epidemiologi

Penyakit Grave memiliki insidensi pada wanita sekitar 16/100.000

populasi per tahun dan pada pria sekitar 3/100.000 populasi per tahun,

dengan keterlibatan okular sekitar 25%-50%, Grave’s ophthalmopathy


merupakan penyebab tersering dari eksoftalmos bilateral yaitu sekitar

85% kasus. Grave’s ophthalmopathy juga dapat timbul sebagai

eksoftalmos unilateral yaitu sekitar 15% - 28% kasus. Merokok

merupakan salah satu faktor resiko terkuat untuk berkembangnya

Grave’s ophthalmopathy. Beberapa penelitian menunjukkan, di antara

penderita Grave’s ophthalmopathy, para perokok memiliki manifestasi

pada mata yang lebih berat.3

Oftalmopati ditemukan pada 77% Graves, 2% pada

hipotiroidisme dan 20% pada kasus eutiroidisme. Pengobatan terhadap

TAO hanya aka berhasil apabila diberikan pada puncak aktivitas

penyakitnya. Oftalmopati dapat terjadi secara unilateral, namun

hendaknya juga dipikirkan akan kemungkinan masa retroorbital.5

Pada penderita Grave’s hyperthyroidism, thyroid associated

ophthalmopathy terdapat pada 40% penderita. Grave’s

ophthalmopathy lebih sering ditemukan pada mereka yang berusia

lebih tua dengan predisposisi lebih tinggi pada perempuan

dibandingkan pada laki-laki, namun tingkat keparahan justru lebih

tinggi pada laki-laki dengan tingkat klasifikasi yang sama. Angka

kejadian oftalmopati ini lebih tinggi pada orang orang Eropa (42%)

dibandingkan dengan orang Asia (7.7%). Tingkat keparahan dan risiko

oftalmopati meningkat dengan adanya beberapa faktor risiko seperti

pemakaian tembakau, terapi genetik untuk hipertiroid, jumlah antibodi

reseptor TSH, usia lanjut, dan stress. Penderita GO dapat juga


menderita penyakit autoimun lainnya, seperti myastenia gravis, adanya

penyakit autoimun lainnya menunjukkan prognosis GO yang lebih

buruk. Gejala dan tanda-tanda yang dialami oleh penderita GO sangat

khas dan bisa terdapat lebih dari satu gejala pada saat yang bersamaan.

Pada umumnya gejala-gejala tersebut adalah retraksi palpebra superior

(90%), lid lag (50%), proptosis (60%), restriktif miopati (40%), dan

neuropati nervus optikus akibat kompresi (6%). Gejala-gejala tersebut

bisa unilateral atau bilateral. Tanda- tandaawal yang muncul adalah

retraksi palpebra superior, lid lag dan yang paling utama adalah adanya

rasa nyeri orbital yang tidak dapat ditentukan lokasi tepatnya, dan ini

terdapat pada 30% pasien. Tanda-tanda lain yang mungkin dapat

dirasakan penderita adalah diplopia akibat restriksi otot rektus mata,

lakrimasi, fotofobia, dan penurunan visus (terjadi pada 7.5%

penderita). Penurunan visus yang diakibatkan oleh neuropati optik

adalah 2%. Dari seluruh penderita hanya akan sekitar 5% penderita

yang memiliki seluruh gejala klasik Grave’s ophthalmopathy yaitu

retraksi kelopak mata, exoptalmus, neropati optikus, keterlibatan otot

ekstraokuler, dan hipertiroidisme.6

D. Etiopatogenesis

Eksoftalmos atau menonjolnya bola mata dapat disebabkan oleh

bermacam-macam faktor dan biasanya disebabkan oleh bertambahnya

jaringan intraorbita. Jaringan ini dapat disebabkan karena tumor,

radang, dan kelainan bawaan rongga orbita.7


Eksoftalmos kadang- kandang disertai dengan pulsasi, dan bila

hal ini terlihat mungkin disebabkan aneurisma dan berhubungan

langsung antara arteri karotid interna dengan sinus kaverosus. Pada

penderita dengan kelainan tiroid akan terlihat gejala eksoftalmos ini

yang disebut sebagai eksoftalmos goiter. Bermacam penyabab yang

diduga sebagai penyebab eksoftalmos goiter seperti menebalnya

jaringan otot penggerak, atau bertambahnya jaringan lemak,

lumpuhnya otot muller kelopak. Kelainan ini biasanya binokular akan

tetapi juga dapat terjadi monokular. Pada kelainan tirotoksikosis akan

terlihat kelainan lain seperti tanda Grafe, Stellwag, dan mobius.7

Proses patogenetik kunci dalam GO termasuk peradangan,

kelebihan produksi oleh fibroblast orbital glikosaminoglikan hidrofilik

(GAG) yang mengakibatkan edema, adipogenesis dan, pada tahap

kemudian, fibrosis. Adipogenesis dan edema menyebabkan

peningkatan volume komponen intraorbital, otot-otot ekstraokular dan

intraorbital jaringan adiposa, dalam batas-batas orbit tulang, yang

menyebabkan tanda-tanda dan gejala GO. 8

Tabel 1. Faktor risiko untuk pengembangan, eksaserbasidan

keparahan GO.8

Faktor risiko didirikan Faktor risiko yang mungkin


Jenis kelamin Faktor genetik
Umur Trauma
Etnis Iradiasi leher
Merokok Lithium
Pengobatan radioiodin IFN α
Hipo/hipertiroidsm Glitazones
Kedua intraorbital jaringan adiposa dan jaringan ikat antara serat

otot disusupi oleh sel mononuklear, yang meliputi terutama CD4+ Sel T

tetapi juga CD8 +sel T, sel B, monosit, makrofag, dan sel mast. Pada tahap

awal penyakit ini, sel-sel T helper tipe 1 mendominasi dan menghasilkan

sitokin terkait dengan imunitas seluler, seperti interleukin-2, interferon-

gamma dan tumor necrosis factor-alpha (TNF). Pada stadium lanjut,

pergeseran penyakit terhadap reaksi imun humoral yang dimediasi sel tipe

2 T helper, dengan produksi interleukin-4, interleukin-5, dan interleukin-

10.8

Bukti saat ini menunjukkan bahwa fibroblast orbital adalah

penyebab utama dalam pengembangan GO, baik sebagai sasaran reaksi

autoimun dan sebagai promotor peradangan orbital dan adipogenesis

(Gambar 1). Fibroblas orbital berbeda dari fibroblast dari situs lain dari

tubuh. Salah satu subpopulasi, Mu-1+, Memiliki kemampuan untuk

mensintesis mediator inflamasi dan Hyaluronan GAG dalam menanggapi

rangsangan sitokin dan untuk berdiferensiasi menjadi myofibroblast. Jenis

lain, Mu-1-, Disebut preadipocytes, memiliki potensi untuk berdiferensiasi

menjadi adiposit matang. Fibroblast orbital menunjukkan respon inflamasi

berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Di GO, mereka mensintesis

tingkat tinggi prostaglandin E2 proinflamasi dan Hyaluronan dalam

menanggapi interferon-gamma atau leukoregulin (produk sel T diaktifkan)

dan interleukin-1 (produk dari makrofag). akumulasi Hyaluronan menarik

air dan menyebabkan edema, dengan pembesaran berikutnya dari otot-otot


ekstraokular dan jaringan ikat sekitarnya. fibroblas orbital

mengekspresikan CD40 protein co-stimulasi. Kontak dengan CD4+Sel T

mengekspresikan CD40 ligand (CD40L) hasil dalam pembentukan CD40 /

CD40L dan produksi tingkat tinggi proinflamasi sitokin interleukin-1 dan

interleukin-6, yang menambah pematangan sel B dan produksi antibodi.

Aktivasi tipe 1 insulin-like growth factor receptor (IGF-1R) pada

fibroblast orbital mengarah ke sekresi kemokin interleukin-16 dan

RANTES, yang meningkatkan perekrutan sel-sel kekebalan ke orbit.

fibroblas orbita juga memproduksi transforming growth factor-beta, yang

merangsang baik produksi Hyaluronan dan diferensiasi dari Mu-1+

subkelompok ke myofibroblasts yang berpartisipasi dalam pengembangan

fibrosis. Selain itu, sitokin inflamasi dan antibodi merangsang ekspresi

molekul adhesi-1 antar (ICAM-1) pada fibroblast orbital, yang dapat

mempromosikan migrasi leukosit ke situs inflamasi dan merangsang sel T

dan B. 8

Patogenesis GO yang penting adalah adipogenesis, diferensiasi

preadipocytes menjadi adiposit. De novo adipogenesis ditunjukkan oleh

peningkatan regulasi gen yang berhubungan dengan adiposit, seperti

Peroksisom proliferator-activated receptor gamma (PPAR), Interleukin -6,

adiponektin, dan leptin, dalam jaringan intraorbital. PPA Agonis

merangsang adipogenesis dalam fibroblas orbital berbudaya dan ekspresi

TSHR meningkat secara paralel dengan adipogenesis in vitro. Reaktivasi

GO telah dijelaskan pada pasien dengan GO tidak aktif, dan tonjolan mata
telah diamati pada kelompok pasien tanpa GO setelah pengobatan dengan

PPAR Pioglitazone agonis untuk diabetes tipe 2. 8

Gambar 1. Patogenesis GO. Interaksi antara infiltrasi sel-sel radang

dan orbital fibroblas hasil dalam produksi GAG dan mediator

inflamasi oleh sel-sel ini, serta adipogenesis dan fibrosis.8

E. Gejala Klinis

Grave’s ophthalmopathy dapat dibagi menjadi 3 fase,

tergantung dari aktif tidaknya proses inflamasi yang sedang terjadi.

Fase pertama adalah fase aktif dimana pada fase ini dapat diterapi

dengan menggunakan obat – obat anti inflamasi. Fase ini kemudian

diikuti oleh fase stabil dan fase inaktif, dimana pada fase inaktif ini

tidak lagi terdapat reaksi inflamasi, namun yang tersisa ada fibrosis

dan efek sekunder yang persisten. Pada fase inaktif ini terapi yang

dapat dilakukan adalah terapi pembedahan. 6


Fase aktif dapat berlangsung selama berbulan-bulan hingga

bertahun-taahun sebelum mengalami stabilisasi. Manifestasi klinis

yang terjadi di fase aktif adalah (1) proptosis atau eksoptalmus, dimana

hal ini timbul akibat jaringan orbita yang berekspansi di dalam ruang

orbita yang sempit, sehingga secara natural akan terjadi dekompresi

dengan isi orbita menonjol ke depan. Proptosis ini kemudian dapat

dibagi menjadi “true proptosis” , dimana terjadi pemisahan dari otot

levator dan pseudo-proptosis dimana kelopak mata kontralateral

mengalami retraksi sehingga timbul kesan adanya proptosis. (2)

Strabismus, terjadinya restriksi pada otot rektus terutama inferior dan

medial sehingga pada pemeriksaan akan tampak deviasi horizontal dan

atau deviasi vertikal. Restriksi pada otot rektus bola mata ini dapat

ditandai dengan adanya peningkatat tekanan intraokuler (TIO) saat

diperiksa dalam keadaan mata melihat ke atas (up gaze). Pengukuran

TIO pada pasien GO diukur pada dua posisi yaitu “primary gaze” dan

“downgaze”. Hal yang dikeluhkan oleh pasien dengan adanya

strabismus adalah adanya diplopia dan “head tilt”. Diplopia ini dapat

bersifat intermiten (hanya terjadi saat bangun tidur atau kelelahan dan

pada “extreme gazes”) atau konstan (pada “primary gaze” atau pada

posisi membaca). (3) Kelainan segmen anterior mata. Kelainan pada

permukaan okuler mata ini sering tidak mendapatkan perhatian utama.

Eksposur kornea, instabilitas dari kualitas dan jumlah air mata,

evaporasi air mata yang cepat dan osmolaritas air mata tinggi timbul
akibat kelopak mata yang tidak dapat menutup secara sempurna.

Kelainan segmen anterior ini biasanya mendahului keluhan yang

lainnya. Injeksi konjungtiva dan kemosis konjungtiva terutama

terdapat pada area di atas otot rektus bola mata. (5) Penurunan visus

yang diakibatkan oleh distiroid optik neropati (DON) dimana terjadi

kompresi pada nervus optikus tetapi karena tidak ditandai oleh edema

pada nervus optikus hal ini biasanya tidak terdeteksi secara cepat.

Peningkatan tekanan intraokuler biasanya tinggi pada mereka yang

mengalami DON.6

Gambar 2. Penderita Grave’s ophthalmopathy

A) menunjukkan proptosis, edema sedang, eritema, dan retraksi

kelopak, kemosis konjungtiva disertai eritema karunkula. B)

proptosis, injeksi konjungtiva ringan, kemosis dan eritema

kelopak mata.6

Neuropati optik, akibat langsung dari otot yang membesar

menekan pembuluh saraf atau darah optik makan itu terjadi. perlahan

penurunan progresif dalam ketajaman visual, penglihatan warna, bidang


visual pusat, Anda dapat menonton scotomas paracentral. Pemeriksaan

fundus biasanya normal, kadang-kadang disc edema, lipatan koroid,

optik disc pucat terlihat. Kehadiran neuropati optik sering tidak

berkorelasi dengan propitozisl. 9

Gambar 3. ophthalmopathy tiroid yang dipantau membesar rektus inferior

dan medial di computed tomography orbital pasien. meniru tumor orbit

dari otot rektus rendah tampaknya telah tumbuh dalam gaya. 9

Gambar 4. mata tiroid koronal CT scan pasien (A). Fenomena

dekompresi orbital yang sama setelah operasi (B) CT bagian koronal.

pasca-operasi dibandingkan dengan tidak adanya bagian dinding orbital

internal dan dinding luar telah menarik perhatian di penipisan tulang

kortikal.9
Tabel 2. Klasifikasi Clinical Activity Score (CAS).6

F. Komplikasi

Komplikasi hipertiroidisme yang dapat mengancam nyawa

adalah krisis tirotoksik (thyroid storm). Hal ini dapat berkembang secara

spontan pada pasien hipertiroid yang menjalani terapi, selama pembedahan

kelenjar tiroid, atau terjadi pada pasien hipertiroid yang tidak

terdiagnosis. Akibatnya adalah pelepasan HT dalam jumlah yang

sangat besar yang menyebabkan takikardia, agitasi, tremor, hipertermia

(sampai 106°F), dan apabila tidak diobati dapat menyebabkan

kematian. Komplikasi lainnya adalah penyakit jantung hipertiroid,

oftalmopati graves, dermopati graves, infeksi karena agranulositosis


pada pengobatan dengan obat antitiroid. Hipertiroid yang terjadi pada

anak-anak juga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan.6,9

G. Prognosis

Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi oleh beberapa

faktor dan usia juga berperan penting. Anak- anak dan remaja

umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa cacat yang bermakna

sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa manifestasinya

sedang sampai berat dn lebih sering menyebabkan penebalan struktur

disebabkan oleh karena ganggua fungsional dan juga merubah

gambaran kosmetik. Diagnosis dini orbiopathy dan laporan pasien

dengan resiko berat, progresifitas penyakit diikuti intervensi dini

terhadap perkembangan proses penyakit dan mengontrol perubahan

jaringan lunak dapat mengurangi morbiditas penyakit dan

mempengaruhi prognosis dalam hjangka wakti lama. 6,9

H. Tatalaksana

Beberapa faktor harus dipertimbangkan, ialah : 10

1. Faktor penyebab hipertiroidi

2. Umur penderita

3. Berat ringannya penyakit

4. Ada tidaknya penyakit lain yang menyertai

5. Tanggapan penderita terhadap pengobatannya

6. Sarana diagnostik dan pengobatan serta pengalaman dokter dan

klinik yang bersangkutan.


Pada dasarnya pengobatan penderita hipertiroidi meliputi : 10

1. Pengobatan Umum

2. Pengobatan Khusus

3. Pengobatan dengan Penyulit

Pengobatan Umum

1. Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita

tidak makin meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan

pekerjaan yang melelahkan/mengganggu pikiran baik di rumah

atau di tempat bekerja. Dalam keadaan berat dianjurkan bed rest

total di Rumah Sakit. 10

2. Diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral.

Hal ini antara lain karena : terjadinya peningkatan metabolisme,

keseimbangan nitrogen yang negatif dan keseimbangan kalsium

yang negatif. 10

3. Obat penenang

Mengingat pada PG sering terjadi kegelisahan, maka obat

penenang dapat diberikan. Di samping itu perlu juga pemberian

psikoterapi. 10

Pengobatan Khusus.

1. Obat antitiroid
Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah

thionamide, yodium, lithium, perchlorat dan thiocyanat. Obat

yang sering dipakai dari golongan thionamide adalah

propylthiouracyl (PTU), 1 - methyl – 2 mercaptoimidazole

(methimazole, tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini

bekerjasekresinya, yaitu dengan menghambat terbentuknya

monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta

menghambat coupling diiodotyrosine sehingga menjadi

hormon yang aktif. PTU juga menghambat perubahan T4

menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah

sehingga pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan. 11

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di

kelenjar gondok sehingga pengaruh pengobatan lebih

tergantung pada konsentrasi obat dalam kelenjar dari pada di

plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat daripada

PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu

persepuluhnya. Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600

mg perhari untuk PTU atau 30 - 60 mg per hari untuk

MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau sebagai

dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan

bahwa pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan

memberi remisi yang lebih besar. 10


Secara farmakologi terdapat perbedaan antara PTU

dengan MMI/CBZ, antara lain adalah :

1) MMI mempunyai waktu paruh dan akumulasi obat yang

lebih lama dibanding PTU di clalam kelenjar tiroid. Waktu

paruh MMI ± 6 jam sedangkan PTU + 11/2 jam. Penelitian

lain menunjukkan MMI lebih efektif dan kurang toksik

dibanding PTU. 10

2) MMI tidak terikat albumin serum sedangkan PTU hampir

80% terikat pada albumin serum, sehingga MMI lebih

bebas menembus barier plasenta dan air susu,13 sehingga

untuk ibu hamil dan menyusui PTU lebih dianjurkan.

Jangka waktu pemberian tergantung masing-masing

penderita (6 - 24 bulan) dan dikatakan sepertiga sampai

setengahnya (50 - 70%) akan mengalami perbaikan yang

bertahan cukup lama. Apabila dalam waktu 3 bulan tidak

atau hanya sedikit memberikan perbaikan, maka harus

dipikirkan beberapa kemungkinan yang dapat

menggagalkan pengobatan (tidak teratur minum obat,

struma yang besar, pernah mendapat pengobatan yodium

sebelumnya atau dosis kurang. Efek samping ringan berupa

kelainan kulit misalnya gatal-gatal, skin rash dapat

ditanggulangi dengan pemberian anti histamin tanpa perlu

penghentian pengobatan. Dosis yang sangat tinggi dapat


menyebabkan hilangnya indera pengecap cholestatic

jaundice dan kadang-kadang agranulositosis (0,2 - 0,7%),

kemungkinan ini lebih besar pada penderita umur di atas

40 tahun yang menggunakan dosis besar. Efek samping

lain yang jarang terjadi. a.l. berupa : arthralgia, demam

rhinitis, conjunctivitis, alopecia, sakit kepala, edema,

limfadenopati, hipoprotombinemia, trombositopenia,

gangguan gastrointestinal. 10

2. Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon

secara akut tetapi dalam masa 3 minggu efeknya akan

menghilang karena adanya escape mechanism dari kelenjar

yang bersangkutan, sehingga meski sekresi terhambat sintesa

tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat

yodium dihentikan timbul sekresi berlebihan dan gejala

hipertiroidi menghebat. Pengobatan dengan yodium (MJ)

digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada

krisis tiroid atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan

operasi, biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi. Dosis

yang diberikan biasanya 15 mg per hari dengan dosis terbagi

yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan.9

Marigold dalam penelitiannya menggunakan cairan Lugol


dengan dosis 1/2 ml (10 tetes) 3 kali perhari yang diberikan '10

hari sebelum dan sesudah operasi. 10

3. Penyekat Beta (Beta Blocker)

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan

oleh adanya hipersensitivitas pada sistim simpatis.

Meningkatnya rangsangan sistem simpatis ini diduga akibat

meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.

Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan

akan menghambat pengaruh hati.Reserpin, guanetidin dan

penyekat beta (propranolol) merupakan obat yang masih

digunakan. Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol

lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya

dalam 24 - 36 jam setelah pemberian akan tampak penurunan

gejala. 11 Khasiat propranolol :

1) penurunan denyut jantung permenit

2) penurunan cardiac output

3) Perpanjangan waktu refleks Achilles

4) Pengurangan nervositas

5) Pengurangan produksi keringat

6) Pengurangan tremor

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol

dapat menghambat konversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat

tersebut dihentikan, maka dalam waktu ± 4 - 6 jam hipertiroid


dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena

penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan

operasi dapat menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi.

Penggunaan propranolol a.l. sebagai : persiapan tindakan

pembedahan atau pemberian yodium radioaktif, mengatasi

kasus yang berat dan krisis tiroid. 10

4. Ablasi kelenjar gondok

Pelaksanaan ablasi dengan pembedahan atau pemberian :

1) Tindakan pembedahan

Indikasi utaina untuk melakukan tindakan pembedahan

adalah mereka yang berusia muda dan gagal atau alergi

terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan pembedahan

berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada

penderita dengan keadaan yang tidak mungkin diberi

pengobatan dengan I (wanita hamil atau yang

merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain

adalah mereka yang sulit dievaluasi pengobatannya,

penderita yang keteraturannya minum obat tidak teijamin

atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka

yang ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga

mengalami keganasan, dan alasan kosmetik. Untuk

persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara

thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai


keadaan eutiroid. Thionamid biasanya diberikan 6 - 8

minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan

pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum

operasi. Propranolol dapat diberikan beberapa minggu

sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium dapat

diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan

yaitu untuk mencapai keadaan eutiroid yang permanen.

Dengan penanganan yang baik, maka angka kematian

dapat diturunkan sampai 0. 10

2) Ablasi dengan I

Sejak ditemukannya I terjadi perubahan dalam

bidang pengobatan hipertiroidi. Walaupun dijumpai

banyak komplikasi yang timbul setelah pengobatan, namun

karena harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini

banyak digunakan. Tujuan pemberian I adalah untuk

merusak sel-sel kelenjar yang hiperfungsi. Sayangnya I131

ini temyata menaikan angka kejadian hipofungsi kelenjar

gondok (30 — 70% dalam jollow up 10 — 20 tahun) tanpa

ada kaitannya dengan besarnya dosis obat yang diberikan.

Di samping itu terdapat pula peningkatan gejala pada mata

sebanyak 1 — 5% dan menimbulkan kekhawatiran akan

terjadinya perubahan gen dan keganasan akibat pengobatan

cara ini, walaupun belum terbukti. Penetapan dosis


didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan beratnya

kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140 — 160

micro Ci/gram atau dengan dosis rendah ± 80 micro

Ci/gram. Dalam pelaksanaannya perlu dipertimbangkan

antara lain : dosis optimum yang diperlukan kelenjar tiroid,

besar/ukuran dari kelenjar yang akan diradiasi, efektivitas I

di dalam jaringan dan sensitivitas jaringan tiroid terhadap

I.10

Dalam mengobati morbus graves sering kita melupakan

optalmopati grave (OG) karena dapat mengganggu kualitas hidup

pasien. Meskipun patogenesis sudah sedikit terungkap, pengobatan

belum memaai OG ringan cukup diberi pengobatan lokal (air mata

artifisial dan salep, tetes mata obat penghambat beta, kacamata

hitam, prisma, mata waktu malam di tutu dan hindari rokok). Pada

OG yang lebih berat (3-5 %) dibutuhkan pengobatan agresif. Kalau

OG aktif modus pengobatan ialah : glukokortikoid dosis besar,

radioterapi orbital atau dekompresi orbital. Apabila keadaan berat

tapi inaktif, dianjurkan dekompresi. Di luar pengobatan

optalmologis koreksi terhadap adanya hipotiroidisme maupun

hipertiroidisme mutlak perlu. Kalau operasi atau OAT tidak

berpengaruh pada perjalanan OG, radioterapi pada perokok

berpengaruh terhadap progresi OG. Sesuai dengan model hipotesis


yang menghubungkan OG dengan otoimunitas dua organ ini, maka

ablasi tiroid dianggap berpengaruh baik. 5


BAB III

PEMBAHASAN

Pada penyakit hipertiroid, penyakit grave merupakan penyebab

tersering dari terjadinya hipertiroid. Pada kasus ini pasien tn. H usia 54 tahun

dan keluhan hipertiroid telah di rasakan sejak 6 tahun yang lalu. Sebagian

besar penyakit graves terjadi pada kurun waktu usia antara 40 hingga 60

tahun, walaupun demikian penyakit graves dapat terjadi pada smua umur.

Beberapa faktor yang berkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit

graves antara lain adanya faktor stres dalam kehidupannya, infeksi, serta pada

pasien dengan riwayat merokok.

Pada pasien ini ditemukan adanya gejala opthalmopathy yang berupa

eksopthalmus. Adanya eksopthalmus disebabkan karena antibodi IgG juga

dapat bekerja pada jaringan ikat disekitar orbita yang memiliki protein yang

menyerupai reseptor TSH. Pengaktifan reseptor tersebut menyebabkan

pembentukan sitokin, membantu pembentukan glikosaminoglikan yang

hidrofilik pada jaringan fibroblast di sekitar orbita yang berakibat pada

peningkatan tekanan osmotik, peningkatan volume otot ekstra okular,

akumulasi cairan sehingga secara klinis dapat menyebabkan ophtalmopahty.

Keluhan lain pasien merasa cepat lelah, jantung berdebar-debar, dan

gemetaran. Produksi T4 dan T3 yang tinggi berasal dari stimulasi antibodi

stimulasi hormon tiroid (TSH-Ab) atau thyroid stimulating immunoglobulin

(TSH) yang berinteraksi dengan reseptor TSH di membar epitel folikel tiroid,

yang mengakibatkan peningkatan aktivitas saraf simpatis tubuh. Salah satunya


peningkatan saraf simpatis di jantung, sehingga impuls listrik dari SA node

jantung meningkat, menyebabkan kotraksi jantung meningkat lalu

mengakibatkan fraksi ejeksi darah dari ventrikel berkurang dan meningkatkan

tekanan darah dan denyut nadi.

Pada pasien dalam tatalaksana mendapatkan propanolol dan PTU.

Pengobata medikamentosa yang lazim digunakan adalah golongan tionamid

terutama PTU. Efek PTU menghalangi proses hormogenesis intratiroid,

mengurangi disregulasi imun intratiroid serta konversi prifer dari T4 menjadi

D3, bersifat immunosupresif dengan menekan produksi TSAb melalui

kerjanya mempengaruhi aktifitas sel T limfosit kelenjar tiroid. Efek

immunosupresif PTU melalu induksis apoptosis leukosist intratiroid dan

menunjukkan jumlah sel-sel Th natural kilker resiko (NK). Kelebihannya

cepat menimbulkan eutroid dan remisi immunologi yang tergantung lamanya

terapi. Pengobatan biasanya dibagi atas tahan inisial dan tahan pemeliharaan

(menggunakan dosis obat yang lebih rendah), lamanya bervariasi tetapi efektif

diberikan selama 12-18 bulan.

Pada pasien ini mengalami keratopaty akibat dari . dan telah terjadi

komplikasi pada mata kirinya yang terjadi karena commpressive optic

neuropathy atau kerusakan kornea yang dapat terjadi pada 3-5 % penderita

graves opthalmopathy. Compressive optic neuropathy dapat terlihat dari

pemeriksaan CT Scan yang menunjukkan suatu gambaran crowding

phenomenom. Onset opthalmopathy pada kebanyakan kasus bersamaan

dengan onset hipertiroid tetapi keluhan pada mata dapat mendahului ataupun
terjadi setelah onset hipertiroid. Fase inflamasi awal dapat progresif dan

terjadi sampai 6-24 bulan tetapi pada keadaan tertentu dapat mencapai 5

tahun, sebelum fase stabil terjadi biasanya terjadi sekitar 1-3 tahun, yang

kemudian diikuti oleh resolusi dari inflamasi dan fase akhir yang tidak aktif.

progresifitas penyakit diikuti intervensi dini terhadap perkembangan

proses penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi

morbiditas penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu lama.


DAFTAR PUSTAKA

1. Rusda, H,. Oenzil, F,. Alioes, Y,. 2013. Hubungan Kadar Ft4 dengan

Kejadian Tirotoksikosis berdasarkan Penilaian Indeks New Castle Pada

Wanita Dewasa Ekses Yodium. Jurnal. Dhamasraya. Indonesia

2. Soebagio, HD,. 2015. Thyroid Associted Orbitopathy. Jurnal. Global

Persada Press. Cetakan 1. Surabaya. Jakarta

3. Boesoirie, S F,. Dkk. 2013. Karakteristik Penderita Grave’s

Opthalmopathy di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung. Jurnal. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Padjadjaran. Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo

Bandung. Indonesia

4. Türkyılmaz, K,. Dkk. 2014. Tear Film Osmolarity in Patients with Graves

Ophthalmopathy. Journal. Faculty of Medicine, Department of

Ophthalmology. Trabzon. Turkey

5. Sudoyo, AW,. Dkk . 2009. Ilmu Penyakit Dalam : Metabolik Endokrin.

Edisi kelima. Internal Pulishing. Jakarta Pusat. Indonesia. Hal : 1993-2008

6. Wastitiamurti, RA,. 2017. Patofisiologi, Klasifikasi, dan Tatalaksana pada

Grave’s Ophthalmopathy. Jurnal. Fakultas Kedokteran, Universitas

Kristen Krida Wacana. Jakarta. Indonesia

7. Ilyas, S., Yulianti, SR,. 2017. Ilmu Penyakit Mata : Kelainan Jaringan

Orital. Edisi Kelima. Badan Penerbit : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta. Indonesia. Hal : 104 – 106


8. Planck, T,. 2010. Molecular Etiology of Grave’s Disease and Associated

Opthalmopathy. Journal. Department of Clinical Sciences, Malmö,

Diabetes and Endocrinology Skåne University Hospital Malmö. Lund

University. Lund. Sweden

9. Şahlı, E,. Gündüz, K,. 2017. Tiroid Oftalmopati : Thyroid- Associated

Ophthalmopathy. Journal. Ankara Üniversitesi Tıp Fakültesi, Göz

Hastalıkları Anabilim Dalı, Ankara, Türkiye

10. Hermawan, A G,. 1990. Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroidi. Jurnal.

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret. Surakarta. Indonesia

Anda mungkin juga menyukai