Anda di halaman 1dari 24

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran FEBRUARI 2019


Universitas Halu oleo

DBD Grade III

Oleh :
Husnul Mahmudah Kurnisari, S.Ked
(K1A113021)

Pembimbing
dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2019

1
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : AN. N
Tanggal Lahir : 14 Februari 2012
Umur : 7 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
BBL : 2900 gram
PBL : Lupa
BB masuk : 25 Kg
PB masuk : 130 cm
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Bugis
Alamat : Dr Sutomo
No. RM : 54 73 91
Tanggal masuk : 29 Januari 2019

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan Ibu pasien
Keluhan utama : Demam
Anamnesis Terpimpin :
Anak perempuan usia 7 tahun datang ke rumah sakit bahteramas diantar
oleh orang tuanya dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu bersifat terus
menerus, dan disertai nyeri kepala, tidak disertai menggigil, kejang, dan
berkeringat. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut disertai dengan mual
muntah lebih dari 5 kali dalam sehari yang berisi makanan, serta terdapat
bercak darah, pasien juga mengalami penurunan nafsu makan bersamaan
dengan munculnya gejala. Keluhan lain nyeri kepala sejak 4 hari yang lalu
tidak disertai mimisan maupun perdarahan gusi, pasien juga mengeluh sakit

2
saat menelan sejak 4 hari yang lalu, sesak (+), pilek (-), batuk (-). Selain itu
ibu pasien juga mengeluh bengkak pada kelopak mata, muka, tungkai sejak 3
hari yang lalu dan nyeri pada persendian bersamaan dengan munculnya gejala
demam. Terdapat ruam kemerahan pada kaki. BAB dan BAK baik, kesan
normal.
Riwayat demam sebelumnya : Tidak ada
Riwayat pengobatan sebelum masuk RS : sanmol
Riwayat pengobatan : (+) sebelum pasien dirawat di
rumah sakit bahteramas pasien telah dirawat di rumah sakit korem selama 2
hari.
Riwayat penyakit sebelumnya : Tidak ada
Riwayat Keluarga : Tidak ada
Riwayat Sosial/Lingkungan/sekolah : Tidak diketahui
Riwayat Persalinan : Pasien dilahirkan melalui persalinan
spontan, cukup bulan, ditolong oleh bidan di rumah sakit, dengan berat badan
lahir 2900 gr, segera menangis dan tidak ada kelainan. Ibu sehat selama
kehamilan dan tidak mengkonsumsi obat-obatan.
Riwayat Imunisasi : Lengkap
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit berat, gizi baik (92,59), compos mentis (lemah)
Antropometri : BB : 25 kg │PB : 130 cm │LK : 46 cm│LD : 63 cm │LP
: 59 cm│LLA : 8 cm
Tekanan Darah :70/50 mmHg
Nadi : 130 kali/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 37,5 O C
Pucat : (+) Sianosis : (-) Turgor : Baik
Ikterus : (-) Tonus : Baik Busung/edema : (+)
Keadaan spesifik
Kulit : Turgor baik, peteki (+), ekimosis(-), tes Rumple Leede
(+)

3
Gigi : 2212 2122
2212 2122
Kepala
Bentuk : Normocephal
Muka : Edem (+)
Rambut : Hitam sedikit merah, tidak mudah tercabut
UUB : Tertutup, menonjol (-), cekung (-)
Telinga : Otorhea (-)
Mata : Blephar edema (+),konjungtiva anemis (-/-),sklera
ikterik (-/-)
Hidung : Rinorhea (-), epistaksis(-/-)
Bibir : Kering (-), pucat (+)
Lidah : Kotor (-), tremor (-)
Mulut : Stomatitis (-) kandidiasis (-)
Tenggorok : Hiperemis (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
Leher : Kaku kuduk (-), pembersaran KGB (-)
Dada
Paru-paru :
Inspeksi : Simetris Kiri = Kanan, Retraksi (-)
Palpasi : massa (-/-), nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Bunyi pernapasan : bronkovesikuler (+/+)
Bunyi tambahan : ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus cordis tidak nampak
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
: Batas kiri ICS V Linea Midclavicularis sinistra
: Batas kanan ICS IV Linea parasternalis dekstra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II, murni regular, murmur (-)
Abdomen :

4
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas.
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : Timpani (+)
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada uluh hati, massa tumor (-)
Limpa : Spleenomegali (-/-)
Hati : Hepatomegali (+/+)
Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
Alat kelamin : Tidak ada kelainan
Anggota gerak : Rumple Leede (+), edema (+) ekskremitas inferior, akral
teraba hangat
Tasbeh : (-)
Col. vertebralis : skoliosis (-), spondilitis (-)
KPR : +/+
APR : +/+
Reflex patologis : (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeiksaan Darah Rutin
- Darah Rutin (28/01/2019) hasil pemeriksaan RS KOREM
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
WBC 3,3 [103/µL] (5.0 – 12.0) L
M 23,9 [106/µL] (4.00 – 6.00)
RBC 6,38 [103/µL] (20,0-40,0) H
HB 16,0 g/dl (12,0-15,0) H
HCT 45,7 % (35,0-49,0)
PLT 114 [103/µL] (100-300)

- Darah Rutin (30/01/2019) hasil dari RS Bahteramas


PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
WBC 7,91 [103/µL] (4.00 – 10.00)

5
RBC 5,37 [106/µL] (4.00 – 6.00)
HGB 13,1 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 38,3 [%] (37.0 – 48.0)
MCV 71,3 [fL] (80.0 – 97.0)
MCH 24,4 [pg] (26.5 – 33.0)
MCHC 34,2 [g/dL] (31.5 – 35.0)
PLT 28 [10^3/µL] (150 – 400)
RDW-SD 33,8 [fL] (37.0 – 54.0)
RDW-CV 13,1 [%] (10.0 – 15.0)
PDW 12,0 [fL] (10.0 – 18.0)
MPV 11,2 [fL] (9.0 – 13.0)
P-LCR 35,0 [%] (13.0 – 43.0)
PCT 0.03 [%] (0.17 – 0.35)
NEUT [103/µL] 35.0 (1.50 – 7.00) (52.0 – 75.0)
1,88
[%]
LYMPH [103/µL] 47.3 (1.00 – 3.70) (20.0 – 40.0)
4,82
[%]
MONO [103/µL] 12.3 (0.00 – 0.70) (2.0 – 8.0)
1,18
[%]
EO [103/µL] (0.00 – 0.40) (1.0 – 3.0)
0,02
4.8[%]
BASO [103/µL] 0.6 (0.00 – 0.10) (0.0 – 0.1)
0,01
[%]

2. Pemeriksaan Radiologi Foto Thoraks


Kesan : Efusi Pleura Bilateral

E. ANJURAN PEMERIKSAAN
- Darah Rutin
- PCR

6
- ELISA IgG,
- MAC IgM

F. RESUME
Anak perempuan usia 7 tahun datang ke rumah sakit bahteramas diantar
oleh orang tuanya dengan keluhan demam sejak 4 hari yang lalu bersifat
terus menerus, dan disertai nyeri kepala, tidak disertai menggigil, kejang,
dan berkeringat. Selain itu pasien juga mengeluh nyeri perut disertai dengan
mual muntah lebih dari 5 kali dalam sehari yang berisi makanan, serta
terdapat bercak darah, pasien juga mengalami penurunan nafsu makan
bersamaan dengan munculnya gejala. Keluhan lain nyeri kepala sejak 4 hari
yang lalu tidak disertai mimisan maupun perdarahan gusi, pasien juga
mengeluh sakit saat menelan sejak 4 hari yang lalu, sesak (+), pilek (-),
batuk (-). Selain itu ibu pasien juga mengeluh bengkak pada kelopak mata,
muka, tungkai sejak 3 hari yang lalu dan nyeri pada persendian bersamaan
dengan munculnya gejala demam. Terdapat ruam kemerahan pada kaki.
BAB dan BAK baik, kesan normal.
Riwayat demam sebelumnya tidak ada. Riwayat demam dalam rumah
tidak ada, riwayat demam di lingkungan sekitar yaitu tetangga, sekolah tidak
diketahui. Sebelum masuk rumah sakit pasien juga telah meminum sanmol.
Riwayat pengobatan sebelum datang ke rumah sakit bahteramas pasien telah
dirawat selama 2 hari di rumah sakit korem. Riwayat persalinan pasien
dilahirkan melalui persalinan spontan, cukup bulan, ditolong oleh bidan di
rumah sakit, dengan berat badan lahir 2900 gr, segera menangis dan tidak
ada kelainan. Ibu sehat selama kehamilan dan tidak mengkonsumsi obat-
obatan. Riwayat Imunisasi lengkap.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit berat,
composmentis, gizi baik (92,59), tekanan darah 70/50 mmHg nadi 130
x/menit, pernapasan 20 x/menit, suhu 37,20C peteki (+) dan uji Rumple
Leed (+). Edema pada mata, muka dan ekskremitas inferior. Pemeriksaan

7
kepala, paru dan jantung limpa dalam batas normal, kecuali hati
hepatomegali, abdomen terdapat nyeri tekan pada uluh hati, asites (+).
Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin pada
tanggal 29 januari di rumah sakit Korem WBC 3,3 X 103 (kesan menurun),
HCT 45,7 X 103 dan PLT 114 x 103/ µL, pemeriksaan darah rutin tanggal 30
januari di rumah sakit Bahteramas WBC 7,91 X 103, HCT 38,3 X 103 dan
PLT 28 x 103/ µL (kesan menurun), serta pada foto thoraks didapatkan
kesan Efusi Pleura Bilateral.

G. DIAGNOSA KERJA
- DBD Grade III

H. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
- Demam Dengue
- Demam Tyfoid

I. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi Farmakologi
 Tirah baring  IVFD RL 30 tpm
 Minum air yang  Ranitidin 1A/IV/12j
cukup  INJ PCT 250 mg/x
 Edukasi
ibu/keluarga pasien
 Rawat biasa
 Follow up/3 jam

J. FOLLOW UP
Tanggal Perjalanan penyakit Intruksi pengobatan

29/01/2019 S: Demam(+), Nyeri perut (+),  IVFD RL 200 cc/20 menit


Mual(+) disertai muntah berisi  Inj PCT 200 mg/x

8
makanan dan bercak darah,  Inj Ranitidin 1⁄2 Amp
nafsu makan berkurang, BAB Dosis : 2-4 mg/KgBB/x
dan BAK kesan normal. 40-80 mg/x
O : TD : 120/60 mmHg Sediaan 25 mg/ ml-2m
N : 96 x/m Pemberian :
P : 40 x/m 40
o 𝑥1 = 1,6 𝑐𝑐
S : 37,2 C 25
Lemah, edema pada kelopak Inj Ranitidin 1,6 cc/ IV/ 8
mata, muka dan tungkai. Peteki jam
(+), hepatomegali (+), Rumple
Leede (+), asites (+).
A: DBD GRADE III
30/01/2019 S : Demam (+), muntah (-),  IVFD RL 750 cc/hari
nyeri perut (-), nafsu makan  Inj PCT 4x200 mg kalau
berkurang, BAB dan BAK kesan demam
normal.  Inj Ranitidin 3x1⁄2 Amp
O : TD : 110/50 mmHg
 Cefotaxime syr 3x1cc
N : 101 x/m
 Furosemid 2x1⁄2
P : 30 x/m
S : 37,6 oC
SpO2 : 96
Edema pada kelopak mata, muka
dan tungkai. Peteki (+), 3 jari
dibawah arcus costa konsistensi
kenyal, trombositopenia.
A : DBD grade III
31/01/2019 S : Demam berkurang, nyeri  IVFD RL 750 cc/hari
perut (-), muntah (-), nafsu  Inj PCT 4x200 mg kalau
makan berkurang, BAB dan demam
BAK kesan normal.  Inj Ranitidin 3x1⁄2 Amp

9
O : TD : 110/60 mmHg  Cefotaxime syr 3x1cc
N : 102 x/m  Antasida syr 3x 1cc
P : 32 x/m
S : 36,5 oC
A : DBD grade III

K. DIAGNOSIS UTAMA: DBD GRADE III

10
BAB II
ANALISIS KASUS

A. DIAGNOSIS

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium


(WHO Tahun 1997) :

Kriteria Klinis
 Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari
 Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif (Rumple
Leed), petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
melena
 Pembesaran hati
 Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembap dan pasien tampak
gelisah.
Kriteria Laboratorium
 Trombositopenia<100.000/mm3
 Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% menurut
standar umum dan jenis kelamin

Diagnosis : Dua kriteria klinis pertama disertai trombositopenia dan


hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji serologic hemaglutinasi.

Derajat Penyakit :
 Derajat penyakit DBD dapat diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap
derajat sudah ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi)
 Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan yaitu uji bending
 Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lain

11
 Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi , yaitu nadi cepat dan
lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi , sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembap dan
anak tampak gelisah.
 Derajat IV : Syok berat (profound Shock), nadi tidak dapat diraba dan
tekanan darah tidak terukur.
Pada pasien ini diagnosis DBD, dimana pasien masuk Rumah Sakit dengan
keluhan demam yang timbul mendadak dengan suhu 37,5OC sejak 4 hari yang
lalu, disertai manifestasi perdarahan, yaitu uji bendung positif (Rumple Leed), dan
ditemukan adanya ruam kulit dan peteki pada ekstremitas dan untuk kriteria
laboratorium pada pasien ini dari hasil pemeriksaan darah rutin ditemukan adanya
trombositopenia dengan PLT PLT 28 x 103/ µL (30/01/2018) sehingga kasus ini
memenuhi kriteria klinis dan kriteria laboratorium untuk didiagnosis DBD. Gejala
lain dapat disertai dengan gejala konstitusional lainnya seperti lesu, nyeri kepala,
nyeri epigastrik, dan muntah. Selain itu, pada anak sering terjadi gejala muka
kemerahan (facial flushing), radang faring, pilek, mialgia, dan artralgia. Begitu
pula pada pasien ini, selain didapatkan keluhan utama berupa demam mendadak,
terus menerus dengan suhu 37,5oC, pasien juga mengeluh, nyeri kepala, napsu
makan berkurang, mual, muntah lebih dari 5 kali dan nyeri uluh hati. Setelah itu
didapatkan peteki pada ekstremitas pasien, selain itu pasien juga lemah, Hipotensi
(TD 70/50), Takikardi (Nadi 130x/menit) dan pernapasan 20x/menit, edema pada
kelopak mata, muka dan tungkai bawah, hepatomegali (+) sehingga pasien
didiagnosis DBD Grade 3 yang disertai Dengue Syock Syndrom, dimana gejela-
gejala syok yang ditemukan pada pasien memenuhi kriteria klinis sebagai syok
terkompensasi.

Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus dengue. Infeksi virus Dengue di Indonesia selalu dijumpai sepanjang tahun
di beberapa kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Perbedaan
pola klinis kejadian infeksi Dengue ditemukan setiap tahun. Perubahan musim
secara global, pola perilaku hidup bersih dan dinamika populasi masyarakat

12
berpengaruh terhadap kejadian penyakit infeksi virus Dengue. Virus dengue,
dikelompokkan dalam genus Flavivirus. Virus ini mengandung RNA berantai
tunggal dan berukuran kecil (50 nm). Ada empat serotipe virus dengue yaitu
DENV-1, DENV-2, DENV-3 dan DENV- 4. Serotipe ini bisa menyebar sendiri
atau bersamaan pada saat yang sama. Virus dengue ditularkan dari orang yang
terinfeksi ke orang lain melalui gigitan nyamuk betina Aedes (Ae).

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah


dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut
"the secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD
dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi
berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang
tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya
renjatan berdasarkan hipotesa infeksi sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte.
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer
tinggi. Replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam
jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24-
48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan
anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.

Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam,kritis, serta
konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase
mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.

13
Gambar 1. Fase DBD

a. Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam.Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap.Menghilangnya
demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah.Hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi
akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai
berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan
menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan
mortalitas yang tinggi.
b. Fase Kritis (Fase Syok)
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever
defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga
pasien mengalami syok hipovolemi.Kewaspadaan dalam mengantisipasi
kemungkinan terjadi syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang
mendahului syok (warning sign).Warning sign umumnya terjadi
menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke 3-7.Muntah
terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk awal
perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke
keaadaan syok.Pasien semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap

14
sadar.Gejala tersebut dapat tetap menetap walaupun telah terjadi
syok.Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama
syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat
pengambilan darah merupakan manifestasi yang penting.Hepatomegali
dan nyeri perut sering ditemukan.Penurunan jumlah trombosit yang
cepat dan progresif menjad di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma
dan pada umumnya di dahului leukopenia (≤5000 sel/mm3).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah
satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan
plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48jam.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, olehkarena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat
penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena
untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil
pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis
metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular
diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat
meningkat sebagai respons stres padapasien dengan perdarahan
hebat.Beberapa pasien masuk kefasekritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat.Selain
itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi
keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis,

15
dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue
syndrome.
c. Fase penyembuhan (fase konvalesens)
Apabila pasiendapat melaluifasekritisyang berlangsung sekitar
24-48 jam,terjadi reabsorpsicairan dariruang ekstravaskular kedalam
ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam
berikutnya.Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis
menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam
konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi
pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah
karena efekdilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai
meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan
jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pemapasan akibat
efusi pleura masif danascites, edema paru ataugagal jantung kongestif
akanterjadiselama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan.Penyulitdapatterjadi pada fasedemam,
fasekritis, danfasekonvalesens terteragambar.

Tabel 1.Gejala klinis pada setiap fase infeksi virus dengue

Sindrom syok dengue(dengue shock syndrome)


Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada
DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma.Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan suhu

16
tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 dan sering kali didahului oleh tanda
bahaya (warning signs). Pada pasien yang tidak mendapat terapi cairan intravena
yang adekuat akan segera mengalami syok.
a. Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis,
adanya hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme
kompensasi melalui jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi
pada organ vital. Sistem kardiovaskuler mempertahankan sirkulasi
melalui peningkatan isi skuncup (stroke volume), laju jantung (heart
rate) dan vasokontriksi perifer.Pada fase ini tekanan darah biasanya
belum menurun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung.Oleh
karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun,
walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus
berlangsung atau pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan
dengan mempertahankan sirkulasi kearah organ vital dengan
mengurangi sirkulasi ke daerah perifer (vasokontrikso perifer), secara
klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit
tubuh menjadi bercak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler
(capillary refill time) memanjang lebih dari 2 detik. Dengan adanya
vasokontriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga
tekanan diastolic meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap sehingga
tekanan nadi (perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolic) akan
menyempit kurang dari 20mmHg.
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi
berupa quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot
pernapasan). Kompensasi system keseimbangan asam-basa berupa
sidosis metabolic namun pH masih normal dengan tekanan karbon
dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase

17
ini pada umumnya teta sadar, sehingga kadang sulit untuk menilai
bahwa pasien sedang dalam fase kritis.
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan
memberikan prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
tepat, maka pasien akan jatuh dalam keadaan syok dekompensasi.
b. Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk
mempertahankan sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini
tekanan sistolik dan diastolic telah menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian
pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis
makin jelas terlihat.
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan
kondisi mental karena penurunan perfusi otak.Pasien menjadi gelisah,
bingung, atau letargi.Pada beberapa kasus anak-anak dan dewasa
muda pasien tetap memiliki status mental yang baik walaupun sudah
mengalami syok.Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia
menyebabkan asidosis metabolic berat, kegagalan oragn multiple
serta perjalanan klinis yang sangat sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning sign sampai terjadi syok terkompensasi, dan
dari syok terkompensasi menjadi syok hipotensif dapat memakan
waktu beberapa jam.
Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang
bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan massif. Terjadinya perdarahan massif hamper selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan kegagalan
organ multiple dan koagulasi intravascular disaminata.

18
B. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang
perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris.Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada
umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung.
Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan
akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada
kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk
menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan
terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai.Terapi
nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia
yang berat)dan pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup,
lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran
cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagaian atas
(lambung/duodenum).

a. Jenis cairan

Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien DBD.


Tidak dianjurkan pernberian cairan hipotonik seperti NaCl0,45%, kecuali
bagi pasien usia <6bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam
pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam
ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis ¼ volume yang bertahan,
sisanya terdistribusi ke ruang intraselulardan ekstruselular. Pada keadaan
permeabilitas yang meningkat volume cairan yang bertahan akan semakin

19
berkurang sehingga Iebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian
cairan hipotonis.

b. Jumlah cairan

Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan, kondisi


klinis dan temuan laboratorium.

c. Antipiretik

Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38°C dengan


interval 4-6jam, hindaripemberian aspirin/NSAID/ Ibu profen, Berikan
kompreshangat.

d. Nutrisi

Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup,


terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.

e. Management syok
1) Syok Kompensasi
Pasien yang mengalami syok terkompensansi harus segera
mendapat pengobatan sebagai berikut:
a) Berikan terapi oksigen 2-4 L /menit
b) Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristoloid isotonic
intravena dengan jumlah cairan 10-20mL/kgBB dalam waktu
1jam periksa hematokrit.
c) Bila syok teratasi berikan cairan dengan dosis 10 Ml kg
BB/jam selama 1-2 jam.
d) Bila keadaan sirkulasi tetap stabil jumlah cairan dikurangi
secara bertahap menjadi 7,5,5,3,1,5 ml/kgBB/jam. Pada
umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena
sudah tidak diperlukan. Pertimbangan untuk mengurangi
jumlah cairan yang diberikan secara intervena bila masukan
cairan melalui oral makin membaik.

20
e) Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit,
kalsium dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya
A-B-C-S(A=asidosis,B=bleeding/pendarahan,
C=calcium,S=sugarl gula darah)
f) Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang
pberkepanjangan (prologend shock). Hal ini menimbulkan
eksaserbasi hipotensi, gangguan kontaraktilitas otot jantung
dan mudah terjadi eritema bahakan sampai henti jantung, selain
itu akan menurunkan respons kardiovaskular terhadap
katekolamin.dengan perkataan lain, asidosis yang tidak segera
dikoreksi akan memperberat syok hipovelemik.
2) Syok Dekompensasi
Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan
segera, pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh
kedalam kondisi profouns shock yang mempunyai prognosis buruk.
Apabila pasien saat berobat sudah dalam kondisi syok dekompensasi,
baik yang masih dalam fase hipotensif maupun yang sudah jatuh ke
dalam profound shock , diberi pengobatan sebagai berikut:
a) Berikan oksigen 2-4 L/menit
b) Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau
lebih dari 3-5 menit, berikan cairan melalui prosedur intaosseus
c) Berikan cairan kristaloid dan/atau koloid 10-20mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 0-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan
dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula darah,
dan kalsium.
d) Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis
10mL/kgBB/jam selama 1-2 jam.
e) Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid
dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap 7.5, 5, 3, 1.5
mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca resusitasi,
cairan intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan untuk

21
mengurangi jumlah cairan yang diberikan secara intravena bila
masukan cairan melalui oral makin membaik.
f) Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika
hematokrit tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila
asidosis, hipoglikemi atau hipokalsemia.
i. Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda
pedarahan massif, berikan transfuse darah segar dengan dosis
10mL/kgBB atau PRC dengan dosis 5mL/kgBB. Jika nilai
hematokrit rendah atau turun namun tdak ditemukan tanda
perdarahan berikan bolus kedua, apabila tidak membaik
pertimbangkan pemberian transfuse darah.
Berdasarkan prinsip di atas, penatalaksanaan pada pasien ini
menggunakan Cairan Ringer Laktat terapi cairan yang diberikan untuk
pasien pada kasus ini sesuai dengan berat badan pasien adalah RL 30 tpm
makro berdasarkan kebutuhan cairan , yaitu: 10 kg pertama x 100ml + 10 kg
kedua x 50 ml + 30 kg x 20 ml = 2100ml/jam dengan tetesan makro 30 tpm.
Sedangkan tatalaksana lain bersifat simtomatis, seperti antipiretik berupa
Parasetamol tablet 500 mg 3x1 berdasarkan dosis 10mg/KgBB/x (3-4x
sehari), obat untuk gejala nyeri epigastrik seperti golongan H2RA Ranitidin
100mg/12 j/IV berdasarkan dosis IV 2-4 mg/kgBB/x ( 2 kali sehari), pada
kasus ini pasien juga diberikan terapi Imboost Force 2x1 cth yang
merupakan imunostimulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh . Adapun
tatalaksana nutrisi untuk pasien DBD adalah minum cukup terutama untuk
pasien yang masih bisa minum, dan sangat dianjurkan untuk minum cairan
yang mengandung elektrolit. Sedangkan untuk pasien dengan nyeri
epigastrik, sangat disarankan untuk diet makanan lunak agar tidak
memperberat kerja gaster.

C. KOMPLIKASI
 Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atupun
tanpa syok.

22
 Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut.
 Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.

D. PROGNOSIS
Demam dengue merupakan penyakit self-limiting dengan angka kematian
kurang dari 1%. Ketika diobati, demam berdarah dengue memiliki angka
kematian 2-5%. Ketika tidak diobati, demam berdarah memiliki angka
kematian yang tinggi yaitu 50%. Pasien biasanya sembuh tanpa sekuele dan
memiliki imunitas terhadap serotipe yang menginfeksi. Tingkat fatal sindrom
syok dengue beragam di tiap negara, mulai dari 12-44%.

E. Pencegahan
Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah endemis
tidak tepat sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu memutus
rantai penularan. Hal ini disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu
kepada data/informasi tentang vektor, disamping itu masih mengandalkan
kepada penggunaan insektisida dengan cara penyemprotan dan larvasidasi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Hadinegoro, Sri Rezeki, Ismoedijanto Moedjito, dan Alex Chairullah. Pedoman


Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014

Kementerian Kesehatan RI. Buletin Jendela Epidemiologi. Pusat Data dan


Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. Vol 2. Agustus

Pudjiadi, AH, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
2009

Suprapto, Novita dan Mulya Rahma Karyanti. “Demam Berdarah Dengue”.


Dalam Chris Tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Jakarta:
Media Aesculapius. 2014

UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI. 2014. Pedoman Diagnosis dan
Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak. IDAI: Jakarta.

World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah


Sakit. 2009

WHO. 2011. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue


and Dengue Haemmorhagic Fever. WHO: India.

24

Anda mungkin juga menyukai