Anda di halaman 1dari 46

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Januari 2020


Universitas Halu oleo

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh :

Ahmad Fahmi Nugraha

K1A1 15 004

Pembimbing

dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2020

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Ahmad Fahmi Nugraha
Stambuk : K1A1 15 004
Judul Kasus : Demam Berdarah Dengue
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan
klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu
Oleo.

Kendari, Januari 2020

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Hj. Musyawarah, Sp.A

2
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. A
Tanggal Lahir : 2-12-2014
Umur : 5 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
BBL : 3400 gram
PBL : 49 cm
Agama : Islam
Alamat : BTN Teporombua Baruga
Suku : Tolaki
No RM : 53 03 89
Tanggal Masuk RS : 21 November 2019
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari yang lalu
2. Anamnesis terpimpin
Pasien baru masuk dari IGD RSUB dengan keluhan demam tinggi yang
dirasakan sejak 4 hari yang lalu demam mulai meninggi ketika siang hari,
demam yang dirasakan sering naik turun. Selain itu ibu mengeluh bahwa
anaknya selalu gelisah (+), malas makan (+), selalu muntah muntah dua
kali dengan konsistensi padat (+) dan mimisan secara mendadak (+) tanpa
penyebab, nyeri perut (+). Keluhan lainnya seperti menggigil saat demam
(+), kejang (-), pusing (-) sakit kepala (+), batuk (-) pilek (-), sesak (-),
BAB kesan normal, dan BAK kesan normal. Riwayat penyakit serupa
sebelumnya (-). Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (+) yaitu
kakaknya yang juga dirawat di kamar perawatan dengan diagnosis DBD
Grade I. Riwayat penyakit DBD dilingkungan rumah pasien (-). Riwayat

3
pengobatan (+) pasien sudah meminum obat penurun panas namun gejala
tidak membaik. Riwayat persalinan P2A0, selama kehamilan ibu jarang
sakit-sakit, tidak minum obat sembarangan dan rutin ke posyandu.
Riwayat persalinan ibu ditolong oleh bidan RS kata ibu BBL 3400 Gram
dan PBL 49 cm. Riwayat konsumsi ASI sampai 2 tahun. Riwayat
pemberian makan nasi, ikan sayur, sayur bening, tempe dan tahu. Riwayat
imunisasi sudah mendapat vaksin hepatitis B (+), polio (+), DPT (+), BCG
(+), campak (-). Riwayat tumbuh kembang dalam batas normal ditandai
dengan berbalik usia 3 bulan, gigi pertama muncul usia 6 bulan, duduk
usia 7 bulan, berdiri usia 10 bulan, jalan 1 tahun, dan bicara 2 tahun

C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit berat/Composmentis/
Antropometri : BB : 22 kg │ TB : 92 cm │LK : 58 cm │LD : 50 cm │LP
: 53 cm │LLA : 22 cm
Tanda Vital :
TD : 90/70 mmHg P : 28 x/menit
N : 126 x/menit, reguler kuat angkat S : 36,8 C
Kepala : Normocephal, ubun-ubun tertutup, membonjol (-)
Muka : Simetris kanan dan kiri
Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut
Telinga : Otorhea (-), perdarahan (-)
Mata : Edema palpebral (-), konjungtiva anemis (-), Perdarahan
subkonjungtiva(-)
Hidung : Rinorhea (-) │napas cuping hidung (-)│epistaksis (+)
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), kering (-), perdarahan gusi (-)
Paru :
PP : simetris kiri dan kanan │ retraksi subcostal (-)
PR : Massa (-), kreapitasi (-), nyeri tekan (-),
PK : Pekak pada bagian dasar paru kanan
PD : Bronkovesikuler│Rhonki +/+ │ Wheezing -/-

4
Jantung :
PP : Ictus cordis tidak tampak
PR : Ictus cordis tidak teraba
PK : Pekak
PD : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Abdomen
PP : cembung ikut gerak nafas
PD : peristaltik (+) kesan normal
PK : redup, Shifting dullness (+)
PR : distensi (+) nyeri tekan (+)

Limpa : Tidak teraba

Hati : teraba 2,5 cm dibawah arcus costae dengan


konsistensi lunak, permukaan licin, pinggir rata

Kelenjar Limfe : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Alat kelamin : tidak ada kelainan

Anggota Gerak : peteki (+/+), akral dingin (+), CRT >2 deik

Kulit : ikterik (-), pucat (-), peteku (+), ekimosis (-),


purpura (-)

Tasbeh : (-)

Col. Vertebralis : spondilitis (-) skoliosis (-)

Refleks Patologis : Babinski (-)

Kaku kuduk : (-)

5
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan darah rutin
(21 November 2019 16.45)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


WBC 7.41 [103/µL] (4.00 – 10.00)
HGB 11.3 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 48.2 [%] (37.0 – 48.0)
PLT 96 [10^3/µL] (150 – 400)

(21 November 2019 21.00)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


WBC 6.17 [103/µL] (4.00 – 10.00)
HGB 12.1 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 36.4 [%] (37.0 – 48.0)
PLT 105 [10^3/µL] (150 – 400)

(22 November 2019)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


WBC 6.97 [103/µL] (4.00 – 10.00)
HGB 11.4 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 34.4 [%] (37.0 – 48.0)
PLT 148 [10^3/µL] (150 – 400)

(24 November 2019)

PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN


WBC 6.22 [103/µL] (4.00 – 10.00)
HGB 11.0 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 33.2 [%] (37.0 – 48.0)

6
PLT 225 [10^3/µL] (150 – 400)

E. DIAGNOSA KERJA
DBD Grade 3 + Syok Hipovolemik
F. ANJURAN PEMERIKSAAN
Kontrol darah rutin, observasi tanda tanda vital,
G. RESUME
1. An. A jenis kelamin laki laki datang ke IGD dengan keadaan umum jelek
dan kesadaran somnolen (E3M5V4) datang dengan keluhan demam tinggi
yang dirasakan sejak 4 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam
meninggi ketika siang hari dan dirasakan naik turun. Keluhan lain anak
selalu gelisah (+), malas makan (+), selalu muntah muntah dua kali dengan
konsistensi padat (+) dan mimisan secara mendadak (+) tanpa penyebab,
nyeri perut (+). Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (+) yaitu
kakaknya yang juga dirawat di kamar perawatan dengan diagnosis DBD
Grade I. Riwayat pengobatan (+) pasien sudah meminum obat penurun
panas namun gejala tidak membaik.
2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit berat, pada
pemeriksaan antropometri didapatkan BB : 22 kg, TB : 92 cm, LK : 58
cm, LD : 50 cm, LP : 53 cm, LLA : 22 cm, Pada pemeriksaan tanda vital
didapatkan TD : 90/70 mmHg, P : 28 x/menit, N : 126 x/menit, S : 36,8 C,
pada pemeriksaan hidung didapatkan epistaksis (+), PK Thorak didaoatkan
pekak pada dasar paru dan terdapat ronki halus, Abdomen didapatkan
redup, shifting dullness (+), Terdapat pembesaran hepar 2,5 cm dibawah
arcus costae dengan konsistensi lunak, permukaan licin, pinggir rata, pada
anggota gerak didapatkan akral dingin (+), CRT > 2 detik.
3. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 21 November 2019 sebelum
dilakukan terapi didapatkan leukosit 7.41x10^3/µL, hemoglobin 11,3
g/dL, hematokrit 48,2% dan trombosit 96x10^3/µL.

7
H. PENATALAKSANAAN
1) O2 nasal canule 2-4 l/menit
2) IVFD RL 20 ml/kgBB dalam 30 menit
3) Cek hematokrit secara berkala
4) Monitoring Tanda-Tanda Vital, keadaan umum dan balance cairan
5) Jika syok teratasi cairan dan tetesan 10 ml/KgBB/jam
6) Rawat PICU
7) Monitoring tanda vital, tanda perdarahan, diuresis
8) Stabil dalam 24 jam, tetesan 5 ml/KgBB/jam
9) Diturunkan 3 ml/kgBB/jam
10) Inj. Paracetamol 140 mg/iv/6jam
11) Monitoring keadaan umum pasien, tanda vital, hematokrit dan
trombosit
12) Zinc 1x20 gr
13) Ondansentron 0,6 cc/8jam/iv
14) Persiapkan pemeriksaan glukosa darah, analisa gas darah, kalsium dan
amati perdarahan.
15) Hentikan resusitasi dalam 48 jam setelah syok teratasi

8
I. FOLLOW UP
Tanggal Keluhan Intruksi Dokter
21/11/19 S : Ibu pasien mengatakan IVFD RL 400cc bolus dalam
17.00 anaknya demamnya menurun, 30 menit
IGD nafsu makan menurun, masih Syok teratasi turunkan cairan
gelisah menjadi 200 cc 20 tpm dalam
O: 48 jam
TD : 110/90 mmHg Rawat PICU
N : 105x/menit Inj. Paracetamol 140
P : 24x/menit mg/iv/6jam jika demam
Suhu : 36,4 Zinc 1x20 gr
Mata : edema palpebra (-/-), Ondansentron 0,6 cc/8 jam/iv
perdarahan subkonjungtiva (-/-), Pantau TTV dan diuresis
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri
kanan, retraksi (-/-). Palpasi
kreapitasi (-), nyeri tekan (-),
massa tumor (-). Perkusi pekak
pada dasar paru kanan. Auskultasi
bunyi napas : bronkovesikuler
(+/+), bunyi tambahan rhonki
(+/+)
Abdomen : inspeksi cembung

9
mengikuti gerak napas.
Auskultasi peristaltik kesan
normal. Palpasi distenden (+),
nyeri tekan (+). Perkusi redup (+),
shifting dullnes (+)
Hepar : 2,5 cm dibawah arcus
costa dengan konsistensi lunak,
tepi rata
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
wajah, tangan dan kaki
Ekstremitas : terdapat peteki
diseluruh tangan dan kaki, akral
mulai teraba hangat (+), CRT < 2
detik,
A : Demam Berdarah Dengue
22/11/19 S : Ibu pasien mengatakan IVFD RL 200cc 20 tpm
PICU anaknya demamnya menurun, Inj. Paracetamol 140
nafsu makan menurun, sudah mg/iv/6jam jika demam
tidak muntah lagi, masih gelisah Zinc 1x20 gr
dan tidak mimisan Ondansentron 0,6 cc/8 jam/iv
O: Pantau TTV dan diuresis
TD : 100/70 mmHg
N : 115x/menit
P : 26x/menit
Suhu : 36,3
Mata : edema palpebra (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)

10
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri
kanan, retraksi (-/-). Palpasi
kreapitasi (-), nyeri tekan (-),
massa tumor (-). Perkusi sonor
(+/+). Auskultasi bunyi napas :
bronkovesikuler (+/+), bunyi
tambahan rhonki (-/+)
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas.
Auskultasi peristaltik kesan
normal. Palpasi distenden (+),
nyeri tekan (+). Perkusi redup (+),
shifting dullnes (+)
Hepar : 2,5 cm dibawah arcus
costa dengan konsistensi lunak,
tepi rata
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
wajah, tangan dan kaki
Ekstremitas : terdapat peteki
diseluruh tangan dan kaki, akral
hangat (+), CRT < 2 detik,
A : Demam Berdarah Dengue
22/11/19 S : Ibu pasien mengatakan IVFD RL 200 cc 20 tpm
PICU anaknya demamnya menurun, Inj. Paracetamol 140
nafsu makan menurun, sudah mg/iv/6jam jika demam
tidak muntah lagi, masih gelisah Zinc 1x20 gr
dan tidak mimisan Ondansentron 0,6 cc/8 jam/iv
O: Pantau TTV dan diuresis
TD : 100/70 mmHg
N : 105x/menit

11
P : 26x/menit
Suhu : 36,8
Mata : edema palpebra (-/-),
perdarahan subkonjungtiva (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri
kanan, retraksi (-/-). Palpasi
kreapitasi (-), nyeri tekan (-),
massa tumor (-). Perkusi sonor
(+/+). Auskultasi bunyi napas :
bronkovesikuler (+/+), bunyi
tambahan rhonki (-/+)
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas.
Auskultasi peristaltik kesan
normal. Palpasi distenden (+),
nyeri tekan (+). Perkusi redup (+),
shifting dullnes (+)
Hepar : 1,5 cm dibawah arcus
costa dengan konsistensi lunak,
tepi rata
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
wajah, tangan dan kaki
Ekstremitas : terdapat peteki
diseluruh tangan dan kaki, akral
hangat (+), CRT < 2 detik,
A : Demam Berdarah Dengue

12
23/11/19 S: Ibu pasien mengatakan Nafsu IVFD RL 200 cc 20 tpm
makan membaik, bintik merah Monitoring KU dan balance
berkurang dan muntah (-) cairan pasien
O: TD : 110/80mmHg
HR : 86x/m
P : 24x/m
S : 36,6°c
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas.
Auskultasi peristaltik kesan
normal. Palpasi distenden (+),
nyeri tekan (-). Perkusi timpani,
shifting dullnes (-)
Hepar : tidak teraba
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
tangan dan kaki
Ekstremitas : terdapat peteki
diarea tangan dan kaki, akral
dingin (-), CRT < 2 detik
A: Demam Berdarah Dengue
24/11/19 S: ibu pasien mengatakan Aff Infus
anaknya tidak demam, nafsu Beri makan dan minum
makan baik. bintik mulai Besok Boleh Pulang
berkurang
O:TD : 140/100mmHg
HR : 80x/m
P : 28x/m
S : 36,6°c
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
tangan dan kaki
Ekstremitas : terdapat peteki

13
diarea tangan dan kaki, akral
dingin (-), CRT < 2 detik
A: Demam Berdarah Dengue

BAB II

14
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infeksi virus dengue masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar.
Sebanyak 400 juta orang infeksi dalam setahun. Meskipun vaksin telah
tersedia, penggunaan vaksin ini masih dibatai karena beberapa ketentuan.
Selama pasien terinfeksi dengan infeksi virus dengue, deteksi dini dan terapi
suportif sangat penting dalam mencegah komplikasi dan mortalitas. Spektrum
klinis dari infeksi virus dengue adalah beragamnya dari demam yang sulit
ditentukan sampai dengan syok sindrome dengue yang dicirikan dengan
perembesan plasma dan hemokonsentrasi.1
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue. Nyamuk betina terutama dari spesies Aedes aegypti dan
pada tingkat lebih rendah, Ae. Albopictus adalah vektor pembawa virus
dengue. Dengue tersebar luas di seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal
dalam risiko dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan cepat yang tidak
direncanakan urbanisasi. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis
perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian.2
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2.3,8
B. Epidemiologi
Data distribusi kasus DBD berdasarkan kelompok umur menunjukan
bahwa hampir semua kelompok umur berisiko terinfeksi virus dengue. Usia
yang paling sering yaitu 5-14 tahun hal ini diprediksikan oleh akibat penularan
DBD terjadi dilingkungan sekolah. Namun tidak menuntut kemungkinan anak
yang berusia kurang dari 1 tahun tidak terinfeksi virus dengue.3
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban
dengue di dunia antara tahun 2004 dan 2010, sementara di Indonesia

15
dilaporkan sebagai negara kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30
wilayah endemis. Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD di Indonesia dilaporkan
sebanyak 68.407 kasus. Provinsi dengan kasus terbanyak yaitu Jawa Barat
dengan 10.016 kasus, sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara dilaporkan
sebanyak 817 kasus.

C. Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses)
sebagai genus flavivirus, famili Flviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN- 4. Virus ini mengandung RNA
berantai tunggal dan berukuran kecil (50 nm). Infeksi denga salah satu
serotipe ini akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutn tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang
yang tinggal di darah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe ini dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Serotipe den 3 paling dominan didapatkan diberbagai
daerah di Indonesia dan sering berhubungan dengan kasus berat. 5

16
Gambar 1. Virus dengue dibawah mikroskop elektron10

D. Patofisiologi
1. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan dinding
pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Pada kasus dbd volume plasma
terbukti merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa
demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok
terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginyanilai hematokrit pada kasus syok menunjukkan terjadinya
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler (ruang interstitial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Maka dari itu dapat doetumkan cairan
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikardium.5

17
Pada kasus besar plasma yang menghilang dapat digantikan dengan
efektif dengan ekspander plasma. Namun pada fase dini dpat diberikan
cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan perbaikan
klinis terjadi secara cepat dan drastis. 5
2. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menunrun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada fase syok. Jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan niali normal
biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakarosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Mekanisme lain yaitu depresi fungsi megakariosit. Hal
ini dikarenakan terjadi penghancuran trombosit pada retikuoendotelial,
limpa dan hati. Namun penyebab destruksi ini belum diketahui, namun
terdapat beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem imun komplemen, kerusakan sel endotel, dan
aktivasi pembekuan darah secara bersamaan atau terpisah. Lebih lanjut
trombosit menurun akibat proses imunologis yang ditandai terdapat
kompleks imun pada peredaran darah. 5
3. Sistem Koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa
trombopastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor
pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.
Pada kasus DBD terbukti adanya peningkatan fibrinogen degradation
product (FDP), penunrunan aktivitas antitrombin III, menurunnya aktivitas
faktor pembekan darah. Hal ini diakibatkan pada DBD stadium akut terjadi
proses koagulasi dan fibrinolisis, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), dan gangguan fungsi trombosit. 5

18
4. Sistem Komplemen
Terjadi penurunan kadar C3, C3 aktivator, C4 dan C5. Terdapat
hubungan positif dengan derajat penyakit. Penurunan kadar komplemen ini
diakibatkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi
sel mast untuk melepaskan histamin dan meruakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi terhadap virus,
permukaan trombosit dan limfosit T yang mengakibatkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan. 5
5. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, pada har ketiga terdapat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung hingga hari kedelapan. Pada
sediaan apus buffy coat dijumpai transformed lymphocytes dalam
persentase tinggi yang dapat dibedakan dengan virus lain. Pemeriksaan
LPB secara serial menunjukkan infeksi dengue mencapai puncak pada hari
keenam. 5
E. Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis
demam berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi
sebagian besar menganut "the secondary heterologous infection
hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe
virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang
diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. 5
1. The immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam
monosit, yaitu enhancing –antibody dan neutralizing-antibody. Pada
saat ini dikenal dua jenis antibodi yaitu kelompok mononuklear reaktif
yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi

19
virus, dan antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa
disertai daya memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan
adanya virion determinant spesidicity. Antibodi non-neutralisasi yang
dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya
kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi
virus. Teori ini juga mendasari bahwa infeksi sekunder vius dengue
oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menyebabkan
manifestasi berat. Dasar utama hipotesisi ini yaitu eningkatnya reaksi
imunologis yang berlangsung sebagai berikut: 5
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
kupferr merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dala sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat
dilepaskannya mediator yang mepengaruhi permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi sistem koagulasi.
2. Aktivasi Limfosit T
Limfosit T memegang peran penting dalam patogenesis DBD.
Akibat rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen
virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ).
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dari infeksi
pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-α,
IFN-α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan
mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4

20
dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengelalami lisis dan
mengeluarkan mediator inflammasi yang menyebabkan kebocoran
plasma dan perdarahan. 5
Hipotesis yang lain mengatakan bahwa keempat serotipe virus
dengue mempunyai patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai
akibat galur serotipe virus dengue yang paling virulen. 5
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase
demam,kritis, serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang
cermat, karena setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat
keadaan sakit.6
a. Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya
demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah. Hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi
akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai
berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan
menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan
mortalitas yang tinggi. 6,9

21
Gambar 2. Fase DBD6

b. Fase Kritis (Fase Syok)


Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever
defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga
pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadi syok yaitu dengan mengenal tanda
dan gejala yang mendahului syok (warning sign). Warning sign
umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke
3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk
awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke
keaadaan syok. Pasien semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar.
Gejala tersebut dapat tetap menetap walaupun telah terjadi syok.
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.6
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat
pengambilan darah merupakan manifestasi yang penting. Hepatomegali

22
dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang
cepat dan progresif menjad di bawah 100.000 sel/mm 3 serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma
dan pada umumnya di dahului leukopenia (≤5000 sel/mm3). 6
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah
satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan
plasma yang pada umumnya berlangsung selama 24-48jam.
Peningkatan hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta
volume nadi, olehkarena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat
penting, apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena
untuk mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.12
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil
pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis
metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular
diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat
meningkat sebagai respons stres padapasien dengan perdarahan hebat.
Beberapa pasien masuk kefasekritis perembesan plasma dan kemudian
mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain
itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi
keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis,
dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue
syndrome.6

c. Fase penyembuhan (fase konvalesens)


Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung
sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular

23
kedalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-
72 jam berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis
menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam
konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi
pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai
meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan
jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pemapasan akibat
efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung kongestif
akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat terjadi pada fase demam,
fase kritis, dan fase konvalesens tertera gambar.6

1. Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome)


Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang
terjadi pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler
yang disertai perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di
sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 dan
sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning sigs). Pada pasien yang
tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera
mengalami syok.6
a. Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis,
adanya hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme
kompensasi melalui jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi
pada organ vital. Sistem kardiovaskuler mempertahankan sirkulasi
melalui peningkatan isi skuncup (stroke volume), laju jantung (heart
rate) dan vasokontriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya
belum menurun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh

24
karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun,
walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok.6
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus
berlangsung atau pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan
dengan mempertahankan sirkulasi kearah organ vital dengan
mengurangi sirkulasi ke daerah perifer (vasokontrikso perifer), secara
klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit
tubuh menjadi bercak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler
(capillary refill time) memanjang lebih dari 2 detik. Dengan adanya
vasokontriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga
tekanan diastolic meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap sehingga
tekanan nadi (perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolic) akan
menyempit kurang dari 20mmHg.6
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi
berupa quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot
pernapasan). Kompensasi system keseimbangan asam-basa berupa
sidosis metabolic namun pH masih normal dengan tekanan karbon
dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase
ini pada umumnya teta sadar, sehingga kadang sulit untuk menilai
bahwa pasien sedang dalam fase kritis.6,9
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan
memberikan prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
tepat, maka pasien akan jatuh dalam keadaan syok dekompensasi.6
b. Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk
mempertahankan sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini
tekanan sistolik dan diastolic telah menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian
pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai

25
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis
makin jelas terlihat.6
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan
kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi
gelisah, bingung, atau letargi. Pada beberapa kasus anak-anak dan
dewasa muda pasien tetap memiliki status mental yang baik walaupun
sudah mengalami syok. Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia
menyebabkan asidosis metabolic berat, kegagalan oragn multiple
serta perjalanan klinis yang sangat sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning sign sampai terjadi syok terkompensasi, dan
dari syok terkompensasi menjadi syok hipotensif dapat memakan
waktu beberapa jam.6
Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang
bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan massif. Terjadinya perdarahan massif hamper selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan kegagalan
organ multiple dan koagulasi intravascular disaminata.6,9
c. Warning Sign (Tanda Bahaya):7
1) Klinis:
a) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
b) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
c) Muntah yang menetap
d) Letargi, gelisah
e) Perdarahan mukosa
f) Pembesaran hati
g) Akumulasi cairan
h) Oligouria

26
2) Laboratorium:
a) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan
cepat jumlah trombosit
b) Hematokrit awal tinggi6
2. Expanded dengue syndrome
Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang
tidak lazim/jarang yang dilaporkan dari berbagai Negara termasuk
Indonesia, kasus in disebut sebagai expanded dengue syndrome (EDS).
Manifestasi klinis tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal,
otak maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan
atau tidak ditemukannya tanda kebocorn plasma. Manifestasi yang jarang
ini terutama disebabkan kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut
menjadi gagal organ atau pasien dengan komorbiditas atau ko-infeksi.
Maka dapat disimpulkan bahwa EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue
dan manifestasi yang tidak lazim, penyulit infeksi dengue dapat berupa
kelebihan cairan dan gangguan elektrolit, sedangkan yang termasuk
manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue/ ensefalitis,
perdarahan hebat, infeksi ganda, kelainan ginjal dan miokarditis.6
Kriteria diagnosis laboris diperlukan untuk survailans
epidemiologi, terdiri atas:
a. Probable dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil
pemeriksaan serologi anti dengue
b. Confirmed dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat dnegan deteksi
genome virus dengue denngan pemeriksaan RT-PCR. Antigen dengue
dengan pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi
pemeriksaan igG dan igM (dari negative ke positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan
c. Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam
konfirmasi diagnosis klinis, namun karena memerlukan teknologi
yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.6

27
Demam Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahn kulit, hepatomegali dan
kegagalan peredaran darah. Fenomena patofisiologi utama yang
membedakan DBD dari DD ilah peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan
diatesis hemoragik. Perbedaan gejala antara DBD dengan DD tertera pada
5

Tabel 1 Perbedaan gejala klinis DD dan DBD5

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar


dan perdarahan tempat pengambilan darah vena. Peteki haus yang tersebar
dianggota gerak, muka atau aksila seringkali ditemukan pada masa dini
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi perdarahan saluran cerna dan
bahkan timbul renjatan dapat terjadi. 5
Pada DBD Syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari
keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat ata

28
setelah demam menurun, yaitu di antara hari 3-7. Hal ini dapat diterangkan
dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological
enhancement hypothesis). Pada sebagian kasus ditemukan tanda kegagalan
peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut,
nadi menjadi cepat dan lemah. Anak tampak lesu, gelisah dan dapat secara
cepat masuk kedalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri perut
daerah perut sesaat sebelum masuk syok. Nyeri pada abdomen dapat
merumakan suatu tanda adanya perdarahan gastrointestinal hebat. 5
Disamping dari tanda kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi
lemah , cepat, kecil sampai tidak teraba. Tekanan nadi menurun menjadi
20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHG
atau lebih rendah. Syok harus segera ditangani, apabila tidak ditangani
dengan baik akan memasuki syok berat (profound syok), tekanan darah
tidak dapat dikur atau diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan
menimbulkan komplikasi asidosis meabolik, hipoksia, perdarahan
gastrointestinal hebat dengan prognosis yang buruk. 5
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/ul ditemukan antara hari
sakit 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, walau dapat terjadi pada kasus yang derajatnya lebih
ringan. Hasil laboratorium lain sering ditemukan hipoproteinemia,
hiponatreimia, kadar transaminase serum dan nitrogen urea darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah
leukosit bervarisi antara leukopenia dan leukositosis. 5
Klinis
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 5
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdaraham lain (peteki, purpura, ekiosis, epistaksis,
perdarahan gusi), hematemesis, dan atau melena
3. Pembesaran Hati

29
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (≤ 20mmHG), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80
mmHG) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis
disekitar mulut.
Laboratorium5
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat
dilihat dari peningkatan nilai hematokrit ≥ 20 % dibandingkan dengan
nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk membuat
diagnosis DBD. 5
Tabel 2. Derajat DBD5

G. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DBD dirawat diruang perawatan
biasa, namun kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Diagnosis dini dan edukasi segera dirawat bila terdapat anda
syok. 5
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak bagaimana mendeteksi
secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal
terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai
pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis

30
DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya oerembesan plasma dengan
tanda peningkatan kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit.
Penurunan jumlah trombosit terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan
sebelum penurunan suhu. Pemberian cairan awalsebagai pengganti awal
sebagai pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik
atau ringer laktat yang kemudian disesuaikan sesuai dengan beratnya
penyakit. 5
1. Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam bersifat simtomatik dan suportif
yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan
oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
penggunaan paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan
suhu dibawah 39 C dengan dosis 10-15 mg?kgBB/kali. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/KgBB dalam 24 jam berikutnya.Pasien harus
diawasi ketat terhadap kejadian syok. Pemeriksaan hematokrit berkala
merupakan monitoring hasil pengobatan yang menggambarkan
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. 5

31
Bagan 1. Tatalaksana Tersangka DBD5

32
2. Penggantian volume plasma5
Dasar patogenesis DBD adalah pembesaran plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok),
maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walau demikian, penggantiamn cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2
atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume
urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.5
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus muntah,
tidak minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum
per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada
pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
larutan NaCl 0,9%. Bila terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan total
dikeluarkan dan diganti dengan cairan yang berisi 0,167 mol/liter
natrium bikarbonat (3/4) bagian berisi larutan NaCL 0,9% + glukosa
ditambah ¼ natrium bikarbonat). Apabila terdapat kenaikan
hemokonsentrasi 20% atau lebih, maka komposisi jenis cairan yang
diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan
yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan
sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah defisit 6% (5-8%)
seperti pada tabel dibawah ini. 5

33
Tabel 3. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%)5

Pemilihan dan jenis volume cairan yang diperlukan tergantung dari


umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai
dengan derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel
berikut5

Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan

Misalnya untuk anak berat 40kg, maka cairan rumatan adalah 1500
+ (50 x 20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24
jam. Oleh karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan
(perembesan plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), makan
volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan
kehilangan plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar
hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa penggantian volume yang
berlebihan dan terus menerus setelah perembesan plasma berhenti akan

34
mengakibatkan distres pernafasan sebagai akibat udem paru. Demikian
pula pada saat fase dan distres pernafasan apabila cairan intravena tetap
diberikan. 5

Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda


syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang)
atau hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar
hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
intravena. 5

3. Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah
larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5 / RL), ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5 / RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam
faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah. 5
4. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volumen plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh
kembali bila diobati segera dalam 48 jam. 5
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20
ml/kg berat badan dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus
selama 30 menit). Apabila syok belum dapat teratasi dan/atau keadaan
klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan
diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kg berat
badan/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg berat badan. Setelah
terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid
dengan tetesan 20 ml.kg berat badan. Apabila setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan; maka dianjurkan

35
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >40
vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/ kg berat
badan/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kg
berat badan. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi
bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit. 5

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital


telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kg berat badan/jam, dan kemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-
48 jam. Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS
berat, untuk mengetahui kebutuhan cairan .

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah


turun, sekitar 40%. Jumlah urin 12 ml/kg berat badan/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok
teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan
gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorpsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup,
tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi. 5

36
Bagan 2. Tatalaksana DBD5

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet


positif (DBD derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan
hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan 2. Apabila

37
pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah
air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik
(parasetamol) diberikan bila suhu >38,5oC. Pada anak dengan riwayat
kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat
minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl 0,9% :
Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan.
Disamping itu, perlu dilakuakan pemeriksaan HB, Ht dan trombosit setiap
6-12 jam. Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari
untuk mengetahui pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang
disertai nyeri tekan berhubungan dengan perdarahan saluran cerna.
Diuresis diukur tiap 24 jam dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb,
Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah
terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak dapat dipulangkan; tetapi
apabila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus
cairan ditukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan seperti bagan 3.
5

5. Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit5

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien


DBD/DRS, maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak
dikoreksi, akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular
coagulation) sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi pada asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat DIC tidak akan terjadi
sehingga heparin tidak diperlukan.

6. Pemberian oksigen
Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan

38
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali
menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen. 5

7. Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-macthing harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit
(misaljnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya
perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk menaikkan
konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi trombosit
berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan
masif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan
hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien
syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya DIC.
Pemriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis. 5
8. Kelainan ginjal
Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam, sedangkan cairan yang
diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid i
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah
diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi

39
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya. 5

9. Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah nadi, tekanan darah,
respirasi, dan temperatur harus dicatat 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6
jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus
mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis. 5
10. Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara
klinis, hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah
trombosit >50.000 / ul dan cenderung menignkat, baik, serta tidak
dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau
asidosis). 5

40
41
Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus
selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan
(paling terserung perdarahan kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan),
disertai penurunan jumlah trombosit < 100.000 / ul, dari peningkatan kadar
hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairankristaloid ringer laktat/
NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ NaCl 0,9% 6-7
ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6
jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam. 5

a Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak


tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar
Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangu menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
b Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh kedalam syok. Maka
apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah,
nafas cepat (distres pernafasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis
kurang, tekanan nadi <20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka
tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam. Apabila belum terjadi
perbaikan klinis setelah 12 jam. Cairan dinaikkan lagi menjadi 15
ml/kgBB/jam. Kemudian evaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distres
pernafasan menjadi lebih berat dan Ht naik maka berikan cairan koloid 10-
20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg berat badan. Namun
bila Ht turun, berikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. 5
11. Pemeriksaan serologis
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia
yang diikuti oleh pembentukn IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam
waktu yang relatif singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG.
Pada kira-kira hari kelima terinfeksi terbentuklah antibodi yang bersifat
menetralisir virus (netralizing antobody (NT)). Titer antibodo NT akan

42
naik dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang
lama, biasanya seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul antibodi
mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah angsa
(haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi Hi itu naik
sejajar dengan antibodi NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang
mengikat komplemen ( complement fixing antibody = CF) timbul sekitar
hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit
mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat
dan menghilang setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi
infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil
isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer
antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan serologi
yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu
membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu
1-4 minggu dalam perjalanan penyakit.. dalam praktik sukar sekali
didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah sembuh sehingga
tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian, diambil kebijaksanaan
untuk mengambil darah sebanyak kali. Pertama, sewaktu masuk rumah
sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu
setelah perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh arah,
penafsiran akan sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. 5

43
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi
teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit ( misalnya sistolik
90 dan diastolik 80 mmhg, jadi tekanan nadi <20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
dingin, dan tidak ada produksi urin. 5

44
a. Segera beri infus kristaloid ( ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur), diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat butir
2). Obserbvasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
jam. Periksa elektrolit dan gula darah. 5
b. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat
belum dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh froxen plasma) atau
koloid (dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB
( koloid diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan
secepatnya). Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15
menit, dan periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan
gula darah.
c. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi >20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi
10 ul/kgBB/jam. Volumen 10 ml/kgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24
jam atau sampai klinis stabil dan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya
cairan diturunkan menjadi 7 ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit
stabil, kemudian secara bertahap cairan diturukan 5ml dan seterusnya 3
ml/kgBB/jam. Dilanjutkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam stelah
syok teratsi. Observasi klinis dan tekanan darah, nadi dan jumlah urin
dikerjakan tiap jam ( usahakan urin > 1 ml/kgBB/jam, BD urin < 1,020), dan
pemeriksaan hematokrit dan tormbosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum
baik. 5
d. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hemotokrit menurun tetapi
masih >40 vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 mlkgBB. Apabila
tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm
H2O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
sonde lambung tidak dianjurkan. 5

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, Erni J. 2018. Early Detection of Plasma Leakage in Dengue


Hemoragic Fever. Indonesia Interna Medicines. Acta Med Indonesia
2. WHO. 2005. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness.
World Health Organization.
3. Prasad, J., dkk. 2014. National Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever.World Health Organization
4. Kemenkes RI. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun
2017. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
5. Herry, Garna. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia
6. WHO. 2012. Handbook For Clinical Management of Dengue. World Health
Organization.
7. Sugijanto, Soegeng. 2013. Update Management Dengue Shock Syndrome in
Pediatric Cases. Indonesian Journal of Tropical nd Infectious Disease.
8. United States Department of Health and Human Services. 2014. Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. Health Care Practicioners Information
9. WHO. 2016. Clinical Diagnosis of Dengue Haemprrhagic Fever. World
Health Organization
10. Wahala, M. 2011. The Human Antibody Response to Dengue Virus Infection.
Viruses Journal. Microbiology and Immunology of North Carolina.

46

Anda mungkin juga menyukai