Anda di halaman 1dari 48

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Maret 2021


Universitas Halu oleo

DEMAM BERDARAH DENGUE

Oleh :

Siti Rahma

K1A1 15 138

Pembimbing

dr. Miniartiningsih Sam, M.Kes., Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA KENDARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama : Siti Rahma
Stambuk : K1A1 15 138
Judul Kasus : Demam Berdarah Dengue
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik
pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Halu Oleo.

Kendari, Maret 2021

Mengetahui :

Pembimbing,

dr. Miniartiningsih Sam, M.Kes., Sp.A


BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. AQ
Tanggal Lahir : 13 Desember 2019
Umur : 1 Tahun 3 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
BBL : 3200 gram
PBL : 47 cm
Agama : Islam
Alamat : Desa Umbu-umbu Jaya,Konsel
Suku : Tolaki
No RM : 242068
Tanggal Masuk RS : 28 Februari 2021, Pukul 17.03 WITA
DPJP : dr. Miniartiningsih Sam, M.Kes., Sp.A
B. Anamnesis (Alloanamnesis)
1. Keluhan Utama
Demam sejak 4 hari yang lalu
2. Anamnesis terpimpin
Pasien baru masuk dari IGD RSUB rujukan dari Puskesmas Punggaluku
dengan diagnosa Susp. DHF+Anemia datang dengan keluhan demam tinggi yang
dirasakan sejak 4 hari sebelum dirawat di Rumah Sakit, demam mulai meninggi
ketika siang hari, demam yang dirasakan sering naik turun. Namun selama 1 hari
terakhir ini ibu pasien mengatakan suhu bayinya sudah mulai turun. Selain itu ibu
mengeluh bahwa anaknya selalu gelisah (+), malas makan (+), muntah 3 hari yang
lalu (+), dan ada mimisan (+) sebelum di bawa ke Puskesmas. Keluhan lainnya
seperti menggigil saat demam (-), kejang (-), pusing (-) sakit kepala (-), batuk (+)
pilek (-), sesak (-), BAB kesan normal, dan BAK kesan normal. Riwayat penyakit
serupa sebelumnya (-). Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-). Riwayat
penyakit DBD dilingkungan rumah pasien (+) tetangga 2 rumah samping pasien
menderita DBD. Riwayat pengobatan (+) pasien sudah ke
Puskesmas Punggaluku dan telah diberikan obat penurun demam serta
mendapat terapi cairan lewat infus. Riwayat persalinan P3A0, selama kehamilan
tidak ada penyulit, tidak minum obat sembarangan dan rutin ke posyandu. Riwayat
persalinan ibu ditolong oleh bidan RS kata ibu BBL 3400 Gram dan PBL 49 cm.
Riwayat konsumsi ASI masih sampai sekarang. Riwayat pemberian makan sudah
diberi MP ASI berupa bubur lembek dan air sayur bayam. Riwayat imunisasi sudah
mendapat vaksin hepatitis B (+), polio(+), DPT (+), BCG (+), campak (+). Riwayat
tumbuh kembang dalam batas normal ditandai dengan berbalik usia 6 bulan, gigi
pertama muncul usia 7 bulan, duduk usia 8 bulan, berdiri usia 9 bulan, jalan (belum
bisa jalan tanpa bantuan), bicara (bisa mengucapkan beberapa kata)

C. PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang/Composmentis/ /Sadar
Antropometri : BB : 9,1 kg │ TB : 78 cm │LK : 44 cm │LD : 46 cm │LP
: 48 cm │LLA : 15 cm
Tanda Vital :
TD : 90/60 mmHg P : 30 x/menit
N : 110 x/menit, reguler kuat angkat S : 39,4 C
Kepala : Normocephal, ubun-ubun tertutup, menonjol (-)
Muka : Simetris kanan dan kiri
Rambut : Hitam, tidak mudah tercabut
Telinga : Otorhea (-), perdarahan (-)
Mata : Edema palpebral (+), konjungtiva anemis (-), Perdarahan
subkonjungtiva(-)
Hidung : Rinorhea (-) │napas cuping hidung (-)│epistaksis (+)
Mulut : Sianosis (-), pucat (-), kering (-), perdarahan gusi (-)
Paru :
PP : simetris kiri dan kanan │ retraksi subcostal (-)
PR : Massa (-), kreapitasi (-), nyeri tekan (-),
PK : Pekak pada bagian dasar paru kanan
PD : Bronkovesikuler│Rhonki -/- │ Wheezing -/-
Jantung :
PP : Ictus cordis tidak tampak
PR : Ictus cordis tidak teraba
PK : Pekak
PD : BJ I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Abdomen
PP : Cembung ikut gerak nafas
PD : peristaltik (+) kesan normal
: Redup, Shifting dullness (+),undulasi (-), fluid wave (-), pudle
PK sign (-)
PR : Distensi (+) nyeri tekan (+)

Limpa : Tidak teraba


: Teraba 2,5 cm dibawah arcus costae dengan konsistensi
Hati lunak, permukaan licin, pinggir rata dan nyeritekan (-)

Kelenjar Limfe : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Alat kelamin : Tidak ada kelainan


: Peteki (+/+), akral dingin (+), CRT <2 detik rumple leed
Anggota Gerak terdapat > 15 bintik merah dalam lingkaran + 5 cm
: Ikterik (-), pucat (-), peteki (+) pada area tangan,
Kulit ekimosis (-),purpura (-)

Tasbeh : (-)

Col. Vertebralis : Spondilitis (-) skoliosis (-)

Refleks Patologis : Babinski (-)

Kaku kuduk : (-)


D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan darah rutin
(28 Februari 2021 16.45, Hari Ke 4 demam)
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
3
WBC 2.8 [10 /µL] (4.00 – 10.00)
HGB 9,8 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 30,2 [%] (37.0 – 48.0)
PLT 92 [10^3/µL] (150 – 400)
LIMFOSIT 52,7 % (20 – 40)

(02 Maret 2021 16.00, hari ke 6 demam)


PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
3
WBC 2,6 [10 /µL] (4.00 – 10.00)
HGB 10,8 [g/dL] (12.0 – 16.0)
HCT 32,7 [%] (37.0 – 48.0)
PLT 82 [10^3/µL] (150 – 400)
LIMFOSIT 51,5 % (20 – 40)

E. DIAGNOSA KERJA
Demam Berdarah Dengue Grade 2
F. ANJURAN PEMERIKSAAN
Kontrol darah rutin, observasi tanda tanda vital
G. RESUME
1. An. AQ jenis kelamin perempuan usia 1 Tahun 3 Bulan rujukan dari
Puskesamas Punggaluku dengan diagnose Susp. DF disertai Anemia,
datang ke IGD RSUD Kota Kendari dengan keluhan Demam tinggi sejak 4
hari yang lalu, pasien mulai demam sejak hari rabu pukul 13.00 wita,
demam dirasakan selalu naik turun. Ibu pasien mengatakan bahwa hari
pertama sampai hari ketiga anaknya mengalami demam tinggi dan hari
keempat demamnya sempat turun. Keluhan lain anak selalu gelisah (+),
malas makan (+), muntah 3 hari yang lalu (+), batuk (+), mimisan (+)
sebelum ke Puskesmas. Riwayat pengobatan (+) pasien sudah mendapatkan
terapi cairan dan telah meminum obat penurun panas (Paracetamol sirup)
namun gejala tidak membaik. Riwayat penyakit DBD dilingkungan rumah
pasien (+) tetangga 2 rumah samping pasien menderita DBD.
2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang, pada
pemeriksaan antropometri didapatkan BB : 9,1 kg, TB : 78 cm, LK : 44
cm, LD : 46 cm, LP : 53 cm, LLA : 15 cm, Pada pemeriksaan tanda vital
o
didapatkan TD : 90/60 mmHg, P : 30 x/menit, N : 110 x/menit, S : 36,4 C,
pada pemeriksaan fisik didapatkan edeme palpebral (+), epistaksis (+),
Shifting dullness (+), distensi (+) nyeri tekan (+), petekhi (+) ditandai
dengan pemeriksaan rumple leed terdapat > 15 bintik merah dalam
lingkaran + 5 cm.
3. Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 28 Februari 2021 sebelum
dilakukan terapi didapatkan leukosit 2.8x10^3/µL, hemoglobin 9,8 g/dL,
hematokrit 30,2% dan trombosit 92x10^3/µL.

H. PENATALAKSANAAN
1. Rencana Diagnostik
- Obeservasi tanda-tanda vital
- Kontrol Darah Rutin
2. Rencana Terapi
a. Non Medikamentosa
1) Istirahat secukupnya
2) Diet makanan lunak
3) Pemberian ASI
b. Medikamentosa
1) IVFD RL 0,9% 5 cc/kgbb/jam
2) Paracetamol sirup 92mg/iv/8 jam
3) Multivitamin sirup 2x1 cth
I. FOLLOW UP

Hari/ Tanggal Perjalanan Penyakit Rencana Terapi


Senin S : Ibu pasien mengeluh anaknya - Observasi tanda vital
01/03/2020 demam sejak 4 hari naik turun. Namun - IVFD RL 0,9 %
1 hari terakhir demam anaknya mulai 5cc/kgbb/jam
turun. - Multivitamin Sirup 3
Keluhan lain ibu mengeluh anaknya x 1/2 cth
tampak gelisah, malas makan, muntah - Nystatin 3x1 cc
3 hari yang lalu, dan muncul sariawan.
Dan sempat mimisan sebelum di bawa
ke Puskesmas. Bintik merah di lengan
mulai berkurang.
O:
TD : 90/60 mmHg
N : 120x/menit
P : 34x/menit
Suhu :37,5
SpO2 : 97%
Mata : edema palpebra (+/+),
perdarahan subkonjungtiva (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-), sariawan
(+)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri kanan,
retraksi (-/-). Palpasi kreapitasi (-),
nyeri tekan (-), massa tumor (-).
Perkusi sonor (+/+). Auskultasi bunyi
napas : bronkovesikuler (+/+), bunyi
tambahan rhonki (-/-)
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas. Auskultasi
peristaltik kesan normal. Palpasi
distenden (+), nyeri tekan (+). Perkusi
rredup (+), shifting dullnes (+),
undulasi (-), dan pudle sign (-)
Hepar : 2,5 cm dibawah arcus costa
dengan konsistensi lunak, tepi rata
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
tangan
Ektermitas : terdapat peteki di area
lengan kedua tangan, akral dingin (+),
CRT < 2 detik, rumple leed terdapat >
10 bintik merah dalam lingkaran + 5
cm
A : Demam Berdarah Dengue Grade II
Selasa S : Ibu pasien mengatakan anaknya - Observasi tanda vital
02/03/2021 sudah tidak demam, nafsu makan mulai - IVFD RL 0,9 %
membaik, sudah tidak gelisah lagi. 3cc/kgbb/jam
bintik merah di lengan sudah - Multivitamin Sirup
berkurang, sariawan (+) berkurang 31/2 cth
O: - Nystatin 3x1 cc
TD : 95/60 mmHg
N : 120x/menit
P : 30x/menit
Suhu : 36
Mata : edema palpebra (+/+) minimal,
perdarahan subkonjungtiva (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri kanan,
retraksi (-/-). Palpasi kreapitasi (-),
nyeri tekan (-), massa tumor (-).
Perkusi sonor (+/+). Auskultasi bunyi
napas : bronkovesikuler (+/+), bunyi
tambahan rhonki (-/-)
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas. Auskultasi
peristaltik kesan normal. Palpasi
distenden (-), nyeri tekan (+). Perkusi
redup (+), shifting dullnes (-), undulasi
(-), dan pudle sign (-)
Hepar : 1,5 cm dibawah arcus costa
dengan konsistensi lunak, tepi rata
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
lengan
Ektermitas : terdapat peteki di lengan,
akral dingin (-), CRT < 2 detik
A : Demam Berdarah Dengue Grade II
Rabu S :ibu pasien mengatakan anaknya - Observasi tanda vital
03/03/2021 sudah tidak demam, nafsu makan mulai - IVFD RL 0,9 %
membaik, sudah tidak gelisah lagi. 1,5cc/kgbb/jam
bintik merah sudah mulai berkurang, - Multivitamin Sirup
sariawan berkurang. 31/2 cth
O: - Nystatin 3x1 cc
TD : 90/60 mmHg - Aff Infus
N : 110x/menit - Boleh Pulang, dan
P : 32x/menit Kontrol poli
Suhu : 36,6
Mata : edema palpebra (+/+) minimal,
perdarahan subkonjungtiva (-/-),
konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : epiktasis (-)
Bibir : pucat (-), sianosis (-)
Sel mulut : perdarahan gusi (-)
Telinga : otorhea (-/-)
Paru : inspeksi simetris kiri kanan,
retraksi (-/-). Palpasi kreapitasi (-),
nyeri tekan (-), massa tumor (-).
Perkusi sonor (+/+). Auskultasi bunyi
napas : bronkovesikuler (+/+), bunyi
tambahan rhonki (-/-)
Abdomen : inspeksi cembung
mengikuti gerak napas. Auskultasi
peristaltik kesan normal. Palpasi
distenden (-), nyeri tekan (+). Perkusi
timpani (+), shifting dullnes (-),
undulasi (-), dan pudle sign (-)
Hepar : sudah tidak teraba
Kulit : terdapat peteki (+) diarea
lengan mulai berkurang
Ektermitas : terdapat peteki di lengan,
akral dingin (-), CRT < 2 detik
A : Demam Berdarah Dengue II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Infeksi virus dengue masih menjadi masalah kesehatan yang cukup besar.
Sebanyak 400 juta orang infeksi dalam setahun. Meskipun vaksin telah
tersedia, penggunaan vaksin ini masih dibatai karena beberapa ketentuan.
Selama pasien terinfeksi dengan infeksi virus dengue, deteksi dini dan terapi
suportif sangat penting dalam mencegah komplikasi dan mortalitas. Spektrum
klinis dari infeksi virus dengue adalah beragamnya dari demam yang sulit
ditentukan sampai dengan syok sindrome dengue yang dicirikan dengan
1
perembesan plasma dan hemokonsentrasi.
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
infeksi virus dengue. Nyamuk betina terutama dari spesies Aedes aegypti dan
pada tingkat lebih rendah, Ae. Albopictus adalah vektor pembawa virus
dengue. Dengue tersebar luas di seluruh daerah tropis, dengan variasi lokal
dalam risiko dipengaruhi oleh curah hujan, suhu dan cepat yang tidak
direncanakan urbanisasi. DBD adalah penyakit akut dengan manifestasi klinis
2
perdarahan yang menimbulkan syok yang berujung kematian.
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
3,8
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotype DEN-2.
B. Epidemiologi
Data distribusi kasus DBD berdasarkan kelompok umur menunjukan
bahwa hampir semua kelompok umur berisiko terinfeksi virus dengue. Usia
yang paling sering yaitu 5-14 tahun hal ini diprediksikan oleh akibat penularan
DBD terjadi dilingkungan sekolah. Namun tidak menuntut kemungkinan anak
3
yang berusia kurang dari 1 tahun tidak terinfeksi virus dengue.
Menurut data WHO, Asia Pasifik menanggung 75 persen dari beban
dengue di dunia antara tahun 2004 dan 2010, sementara di Indonesia dilaporkan
sebagai negara kedua dengan kasus DBD terbesar diantara 30 wilayah endemis.
Pada tahun 2017 jumlah kasus DBD di Indonesia dilaporkan sebanyak 68.407
kasus. Provinsi dengan kasus terbanyak yaitu Jawa Barat dengan 10.016 kasus,
sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara dilaporkan sebanyak 817 kasus.

C. Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arboviruses)
sebagai genus flavivirus, famili Flviviridae, yang mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN- 4. Virus ini mengandung RNA
berantai tunggal dan berukuran kecil (50 nm). Infeksi denga salah satu
serotipe ini akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe
bersangkutn tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain. Seseorang
yang tinggal di darah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau 4
serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe ini dapat ditemukan di berbagai
daerah di Indonesia. Serotipe den 3 paling dominan didapatkan diberbagai
5
daerah di Indonesia dan sering berhubungan dengan kasus berat.
10
Gambar 1. Virus dengue dibawah mikroskop elektron

D. Patofisiologi
1. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit
dan membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Pada kasus dbd volume plasma
terbukti merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa
demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok
terjadi secara akut, nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan
menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok menunjukkan terjadinya
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler (ruang interstitial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Maka dari itu dapat ditemukan cairan
5
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikardium.
Pada kasus besar plasma yang menghilang dapat digantikan
dengan efektif dengan ekspander plasma. Namun pada fase dini dpat
diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara akut dan
5
perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis.
2. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menunrun pada
masa demam dan mencapai nilai terendah pada fase syok. Jumlah
trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan niali normal
biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakarosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Mekanisme lain yaitu depresi fungsi megakariosit.
Hal ini dikarenakan terjadi penghancuran trombosit pada retikuoendotelial,
limpa dan hati. Namun penyebab destruksi ini belum diketahui, namun
terdapat beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem imun komplemen, kerusakan sel endotel, dan
aktivasi pembekuan darah secara bersamaan atau terpisah. Lebih lanjut
trombosit menurun akibat proses imunologis yang ditandai terdapat
5
kompleks imun pada peredaran darah.
3. Sistem Koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD.
Masa perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa
trombopastin parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor
pembekuan menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen.
Pada kasus DBD terbukti adanya peningkatan fibrinogen degradation
product (FDP), penunrunan aktivitas antitrombin III, menurunnya aktivitas
faktor pembekan darah. Hal ini diakibatkan pada DBD stadium akut terjadi
proses koagulasi dan fibrinolisis, Disseminated Intravascular Coagulation
5
(DIC), dan gangguan fungsi trombosit.
4. Sistem Komplemen
Terjadi penurunan kadar C3, C3 aktivator, C4 dan C5. Terdapat
hubungan positif dengan derajat penyakit. Penurunan kadar komplemen ini
diakibatkan oleh aktivasi sistem komplemen. Aktivasi ini menghasilkan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi
sel mast untuk melepaskan histamin dan meruakan mediator kuat untuk
menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume
plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga bereaksi terhadap virus,
permukaan trombosit dan limfosit T yang mengakibatkan waktu paruh
5
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.
5. Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, pada har ketiga terdapat peningkatan
limfosit atopik yang berlangsung hingga hari kedelapan. Pada sediaan apus
buffy coat dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase tinggi yang
dapat dibedakan dengan virus lain. Pemeriksaan LPB secara serial
5
menunjukkan infeksi dengue mencapai puncak pada hari keenam.
E. Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis
demam berdarah dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi
sebagian besar menganut "the secondary heterologous infection
hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang
setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe
virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang
5
diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun.
1. The immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG yang
berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu
enhancing –antibody dan neutralizing-antibody. Pada saat ini dikenal dua
jenis antibodi yaitu kelompok mononuklear reaktif yang tidak mempunyai
sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi virus, dan antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion
determinant spesidicity. Antibodi non-neutralisasi yang dibentuk pada
infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada
infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini juga
mendasari bahwa infeksi sekunder vius dengue oleh serotipe dengue
yang berbeda cenderung menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama
hipotesisi ini yaitu eningkatnya reaksi imunologis yang berlangsung
5
sebagai berikut:
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
kupferr merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
b. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk
melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dala sel fagosit
3mononuklear yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang.
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat
dilepaskannya mediator yang mepengaruhi permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi sistem koagulasi.

Limfosit T memegang peran penting dalam patogenesis DBD.


Akibat rangsangan monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen
virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-α dan γ). Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dari infeksi
pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-α, IFN-
α selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan
mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4
dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengelalami lisis dan
mengeluarkan mediator inflammasi yang menyebabkan kebocoran
5
plasma dan perdarahan.
Hipotesis yang lain mengatakan bahwa keempat serotipe virus
dengue mempunyai patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai
5
akibat galur serotipe virus dengue yang paling virulen.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam,kritis,
serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap
6
fase mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.
a. Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya
demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah. Hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi
akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai
berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan
menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan
6,9
mortalitas yang tinggi.
6
Gambar 2. Fase DBD

b. Fase Kritis (Fase Syok)


Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever
defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga
pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadi syok yaitu dengan mengenal tanda
dan gejala yang mendahului syok (warning sign). Warning sign
umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit ke
3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk
awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke
keaadaan syok. Pasien semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar.
Gejala tersebut dapat tetap menetap walaupun telah terjadi syok.
6
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat
pengambilan darah merupakan manifestasi yang penting. Hepatomegali
dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang
3
cepat dan progresif menjad di bawah 100.000 sel/mm serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma
3 6
dan pada umumnya di dahului leukopenia (≤5000 sel/mm ).
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu
tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma
yang pada umumnya berlangsung selama 24-48jam. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi,
olehkarena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila
makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk
mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
12
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil
pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik,
gangguan organ progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata.
Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan
jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai
respons stres padapasien dengan perdarahan hebat. Beberapa pasien
masuk kefasekritis perembesan plasma dan kemudian mengalami syok
sebelum demam turun, pada pasien tersebut peningkatan hematokrit
serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu, pada pasien DBD
baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ
misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan
6
hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.

c. Fase penyembuhan (fase konvalesens)


Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar
24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular kedalam
ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam
berikutnya. Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala
gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis
menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam
konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi
pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai
meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan
jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pemapasan akibat
efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung kongestif
akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan. Penyulit dapat terjadi pada fase demam,
6
fase kritis, dan fase konvalesens tertera gambar.

1. Sindrom Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome)


Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang
terjadi pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler
yang disertai perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di
sekitar penurunan suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 dan
sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning sigs). Pada pasien yang
tidak mendapat terapi cairan intravena yang adekuat akan segera
6
mengalami syok.
a. Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis,
adanya hipovolemi menyebabkan tubuh melakukan mekanisme
kompensasi melalui jalur neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi
pada organ vital. Sistem kardiovaskuler mempertahankan sirkulasi
melalui peningkatan isi skuncup (stroke volume), laju jantung (heart
rate) dan vasokontriksi perifer. Pada fase ini tekanan darah biasanya
belum menurun, namun telah terjadi peningkatan laju jantung. Oleh
karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai turun,
walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai
6
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok.
Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus
berlangsung atau pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan
dengan mempertahankan sirkulasi kearah organ vital dengan
mengurangi sirkulasi ke daerah perifer (vasokontrikso perifer), secara
klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan lembab, sianosis, kulit
tubuh menjadi bercak-bercak (mottled), pengisian waktu kapiler
(capillary refill time) memanjang lebih dari 2 detik. Dengan adanya
vasokontriksi perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga
tekanan diastolic meningkat sedangkan tekanan sistolik tetap sehingga
tekanan nadi (perbedaan tekanan antara sistolik dan diastolic) akan
6
menyempit kurang dari 20mmHg.
Pada tahap ini system pernapasan melakukan kompensasi
berupa quite tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot
pernapasan). Kompensasi system keseimbangan asam-basa berupa
sidosis metabolic namun pH masih normal dengan tekanan karbon
dioksida rendah dan kadar bikarbonat rendah. Keadaan anak pada fase
ini pada umumnya teta sadar, sehingga kadang sulit untuk menilai
6,9
bahwa pasien sedang dalam fase kritis.
Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan
memberikan prognosis yang baik. Bila keadaan kritis luput dari
pengamatan sehingga pengobatan tidak diberikan dengan cepat dan
6
tepat, maka pasien akan jatuh dalam keadaan syok dekompensasi.
b. Syok dekompensasi
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk
mempertahankan sistem kardiovaskular telah gagal, pada keadaan ini
tekanan sistolik dan diastolic telah menurun, disebut syok hipotensif.
Selanjutnya apabila pasien terlambat berobat atau pemberian
pengobatan tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai
dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur, sianosis
6
makin jelas terlihat.
Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan
kondisi mental karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi
gelisah, bingung, atau letargi. Pada beberapa kasus anak-anak dan
dewasa muda pasien tetap memiliki status mental yang baik walaupun
sudah mengalami syok. Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia
menyebabkan asidosis metabolic berat, kegagalan oragn multiple
serta perjalanan klinis yang sangat sulit diatasi. Perjalanan dari
ditemukannya warning sign sampai terjadi syok terkompensasi, dan
dari syok terkompensasi menjadi syok hipotensif dapat memakan
6
waktu beberapa jam.
Pasien DBD berat memiliki derajat kelainan koagulasi yang
bervariasi, tetapi hal ini pada umumnya tidak sampai menyebabkan
perdarahan massif. Terjadinya perdarahan massif hamper selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan
trombositopenia, hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan kegagalan
6,9
organ multiple dan koagulasi intravascular disaminata.
7
c. Warning Sign (Tanda Bahaya):
1) Klinis:
a) Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
b) Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
c) Muntah yang menetap
d) Letargi, gelisah
e) Perdarahan mukosa
f) Pembesaran hati
g) Akumulasi cairan
h) Oligouria
2) Laboratorium:
a) Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan
cepat jumlah trombosit
6
b) Hematokrit awal tinggi
2. Expanded dengue syndrome
Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang
tidak lazim/jarang yang dilaporkan dari berbagai Negara termasuk
Indonesia, kasus in disebut sebagai expanded dengue syndrome (EDS).
Manifestasi klinis tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal,
otak maupun jantung yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan
atau tidak ditemukannya tanda kebocorn plasma. Manifestasi yang jarang
ini terutama disebabkan kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut
menjadi gagal organ atau pasien dengan komorbiditas atau ko-infeksi.
Maka dapat disimpulkan bahwa EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue
dan manifestasi yang tidak lazim, penyulit infeksi dengue dapat berupa
kelebihan cairan dan gangguan elektrolit, sedangkan yang termasuk
manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue/ ensefalitis,
6
perdarahan hebat, infeksi ganda, kelainan ginjal dan miokarditis.
Kriteria diagnosis laboris diperlukan untuk survailans
epidemiologi, terdiri atas:
a. Probable dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil
pemeriksaan serologi anti dengue
b. Confirmed dengue: apabila diagnosis klinis diperkuat dnegan deteksi
genome virus dengue denngan pemeriksaan RT-PCR. Antigen dengue
dengan pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi
pemeriksaan igG dan igM (dari negative ke positif) pada pemeriksaan
serologi berpasangan
c. Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam
konfirmasi diagnosis klinis, namun karena memerlukan teknologi
yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan
6
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan.
Demam Berdarah Dengue ditandai dengan manifestasi klinis, yaitu
demam tinggi, perdarahan, terutama perdarahn kulit, hepatomegali dan
kegagalan peredaran darah. Fenomena patofisiologi utama yang membedakan
DBD dari DD ilah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah,
menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.
5
Perbedaan gejala antara DBD dengan DD tertera pada
5
Tabel 1 Perbedaan gejala klinis DD dan DBD

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji tourniquet positif, memar


dan perdarahan tempat pengambilan darah vena. Peteki haus yang tersebar
dianggota gerak, muka atau aksila seringkali ditemukan pada masa dini
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi perdarahan saluran cerna dan
5
bahkan timbul renjatan dapat terjadi.
Pada DBD Syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari
keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat ata
setelah demam menurun, yaitu di antara hari 3-7. Hal ini dapat diterangkan
dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the immunological
enhancement hypothesis). Pada sebagian kasus ditemukan tanda kegagalan
peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis sekitar mulut,
nadi menjadi cepat dan lemah. Anak tampak lesu, gelisah dan dapat secara
cepat masuk kedalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri perut
daerah perut sesaat sebelum masuk syok. Nyeri pada abdomen dapat
5
merumakan suatu tanda adanya perdarahan gastrointestinal hebat.
Disamping dari tanda kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi
lemah , cepat, kecil sampai tidak teraba. Tekanan nadi menurun menjadi
20 mmHg atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHG
atau lebih rendah. Syok harus segera ditangani, apabila tidak ditangani
dengan baik akan memasuki syok berat (profound syok), tekanan darah
tidak dapat dikur atau diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan
menimbulkan komplikasi asidosis meabolik, hipoksia, perdarahan
5
gastrointestinal hebat dengan prognosis yang buruk.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000/ul ditemukan antara hari
sakit 3-7. Peningkatan kadar hematokrit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, walau dapat terjadi pada kasus yang derajatnya lebih
ringan. Hasil laboratorium lain sering ditemukan hipoproteinemia,
hiponatreimia, kadar transaminase serum dan nitrogen urea darah
meningkat. Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah
5
leukosit bervarisi antara leukopenia dan leukositosis.
Klinis
5
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu
bentuk perdaraham lain (peteki, purpura, ekiosis, epistaksis,
perdarahan gusi), hematemesis, dan atau melena
3. Pembesaran Hati
4. Syok yang ditandai dengan nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (≤ 20mmHG), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80
mmHG) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis
disekitar mulut.
5
Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat
dilihat dari peningkatan nilai hematokrit ≥ 20 % dibandingkan dengan nilai
hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya
dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan
5
hemokonsentrasi sudah cukup untuk membuat diagnosis DBD.
5
Tabel 2. Derajat DBD

G. Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler
dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DBD dirawat diruang perawatan biasa,
namun kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
5
Diagnosis dini dan edukasi segera dirawat bila terdapat anda syok.
Keberhasilan tatalaksana DBD terletak bagaimana mendeteksi secara
dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya
kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada
pengenalan awal terjadinya oerembesan plasma dengan tanda peningkatan
kadar hematokrit dan penurunan jumlah trombosit. Penurunan jumlah
trombosit terjadi sebelum peningkatan hematokrit dan sebelum penurunan
suhu. Pemberian cairan awalsebagai pengganti awal sebagai
pengganti volume plasma dapat diberikan larutan garam isotonik atau ringer
5
laktat yang kemudian disesuaikan sesuai dengan beratnya penyakit.
1. Fase demam
Tatalaksana DBD fase demam bersifat simtomatik dan suportif
yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan
oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu
diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
penggunaan paracetamol direkomendasikan untuk mempertahankan
suhu dibawah 39 C dengan dosis 10-15 mg?kgBB/kali. Jenis minuman
yang dianjurkan adalah jus buah, teh manis, sirup, susu serta larutan
oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/KgBB dalam 24 jam berikutnya.Pasien harus
diawasi ketat terhadap kejadian syok. Pemeriksaan hematokrit berkala
merupakan monitoring hasil pengobatan yang menggambarkan
5
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena.
5
Bagan 1. Tatalaksana Tersangka DBD
5
2. Penggantian volume plasma
Dasar patogenesis DBD adalah pembesaran plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase kritis, fase syok),
maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang
hilang. Walau demikian, penggantiamn cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2
atau 3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering
(setiap 30-60 menit). Tetesan dalam 24-48 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematokrit dan jumlah volume
urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
5
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus muntah, tidak
minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok,
(2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari larutan NaCl 0,9%. Bila
terdapat asidosis, ¼ dari jumlah cairan total dikeluarkan dan diganti
dengan cairan yang berisi 0,167 mol/liter natrium bikarbonat (3/4) bagian
berisi larutan NaCL 0,9% + glukosa ditambah ¼ natrium bikarbonat).
Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih, maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk
dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah
5
defisit 6% (5-8%) seperti pada tabel dibawah ini.
5
Tabel 3. Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang (defisit cairan 5-8%)

Pemilihan dan jenis volume cairan yang diperlukan tergantung dari


umur dan berat badan pasien serta derajat kehilangan plasma sesuai dengan
derajat hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan
disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan
5
cairan rumatan dapat diperhitungkan dari tabel berikut

Tabel 4. Kebutuhan cairan rumatan

Misalnya untuk anak berat 40kg, maka cairan rumatan adalah 1500
+ (50 x 20) = 2500 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan untuk 24 jam.
Oleh karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembesan plasma
terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), makan volume cairan pengganti
harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Perlu mendapat perhatian bahwa
penggantian volume yang berlebihan dan terus menerus setelah perembesan
plasma berhenti akan mengakibatkan distres pernafasan sebagai akibat udem
paru. Demikian pula pada saat fase dan distres pernafasan apabila cairan
5
intravena tetap diberikan.
Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, bibir sianosis, oliguri,
dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi, dan peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar
hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun telah diberi cairan
5
intravena.

3. Jenis cairan
Larutan kristaloid yang direkomendasikan oleh WHO adalah
larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat
(D5 / RL), ringer asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer
asetat (D5 / RA), NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam larutan garam
5
faali. Sedangkan larutan koloid adalah dekstran-40 dan plasma darah.
4. Sindrom Syok Dengue
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah
pengobatan yang utama, yang berguna untuk memperbaiki kekurangan
volumen plasma. Pasien anak akan cepat mengalami syok dan sembuh
5
kembali bila diobati segera dalam 48 jam.
Pengobatan awal cairan intravena dengan larutan kristaloid 20
ml/kg berat badan dengan tetesan secepatnya (diberikan secara bolus
selama 30 menit). Apabila syok belum dapat teratasi dan/atau keadaan
klinis memburuk setelah 30 menit pemberian cairan awal, cairan
diganti dengan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10-20 ml/kg berat
badan/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg berat badan. Setelah
terjadi perbaikan, segera cairan ditukar kembali dengan kristaloid
dengan tetesan 20 ml.kg berat badan. Apabila setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid syok masih menetap sedangkan kadar
hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan; maka dianjurkan
pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >40
vol%, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/ kg berat
badan/jam), tetapi apabila terjadi perdarahan masif berikan 20 ml/kg
berat badan. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan cairan dikurangi
5
bertahap sesuai dengan keadaan klinis dan kadar hematokrit.

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital


telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kg berat badan/jam, dan kemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-
48 jam. Pemasangan CVP kadangkala diperlukan pada pasien DSS
berat, untuk mengetahui kebutuhan cairan .

Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah


turun, sekitar 40%. Jumlah urin 12 ml/kg berat badan/jam atau lebih
merupakan indikasi bahwa keadaan sirkulasi membaik. Pada
umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam sejak syok
teratasi. Apabila cairan tetap diberikan pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar
hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan
menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan
gagal jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorpsi plasma ini
jangan dianggap sebagai tanda perdarahan, tetapi disebabkan oleh
hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup,
5
tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorpsi.
5
Bagan 2. Tatalaksana DBD

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet


positif (DBD derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan
hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola seperti pada bagan 2. Apabila
pasien masih dapat minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah
air putih, teh manis, sirup, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik
o
(parasetamol) diberikan bila suhu >38,5 C. Pada anak dengan riwayat kejang
dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat minum atau
muntah terus-menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl 0,9% : Dekstrosa 5%
(1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping itu,
perlu dilakuakan pemeriksaan HB, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam. Pada
tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam
dan awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap
6-12 jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan
laboratoris, anak dapat dipulangkan; tetapi apabila kadar Ht cenderung naik
dan trombosit menurun, maka infus cairan ditukar dengan ringer laktat dan
5
tetesan disesuaikan seperti bagan 3.

5. Koreksi gangguan metabolik dan elektrolit 5

Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien


DBD/DRS, maka pemeriksaan analisis gas darah dan kadar elektrolit
harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi,
akan memacu terjadinya DIC (disseminated intravascular coagulation)
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya,
apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan
koreksi pada asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan
sebagai akibat DIC tidak akan terjadi sehingga heparin tidak diperlukan.

6. Pemberian oksigen
Terapi dengan 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali
5
menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
7. Transfusi darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-macthing harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit
(misaljnya dari 50% ke 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah
diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya
perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk menaikkan
konsentrasi sel darah merah. Plasma segar dan atau suspensi trombosit
berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan
masif. DIC biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan
perdarahan masif dan dapat menimbulkan kematian. Pemeriksaan
hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products (FDP) harus diperiksa pada pasien
syok untuk mendeteksi terjadinya dan berat ringannya DIC.
5
Pemriksaan hematologis tersebut juga menentukan prognosis.
8. Kelainan ginjal
Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian
volume intravaskular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila
diuresis belum mencukupi 2 ml/kgBB/jam, sedangkan cairan yang
diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid i
mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah
diuresis, kadar ureum dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap
belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi
dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu
5
dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.
9. Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan
dievaluasi secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah nadi, tekanan darah,
respirasi, dan temperatur harus dicatat 15-30 menit atau lebih sering,
sampai syok dapat teratasi, kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6
jam sampai keadaan klinis pasien stabil. Setiap pasien harus
mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah, dan
tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah
5
mencukupi, jumlah serta frekuensi diuresis.
10. Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam
tanpa antipiretik, nafsu makan membaik, tampak perbaikan secara klinis,
hematokrit stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000
/ ul dan cenderung menignkat, baik, serta tidak dijumpai distres
5
pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis).
Pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus
selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan
(paling terserung perdarahan kulit dan mukosa, yaitu petekie atau mimisan),
disertai penurunan jumlah trombosit < 100.000 / ul, dari peningkatan kadar
hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairankristaloid ringer laktat/
NaCl 0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/ NaCl 0,9% 6-7
ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6
5
jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam.

a Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak


tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dan kadar
Ht cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut,
maka tetesan dikurangu menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam observasi
selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan pada 24-48 jam.
b Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh kedalam syok. Maka apabila
keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat
(distres pernafasan), frekuensi nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi
<20 mmHg memburuk, serta peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi
10 ml/kgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam.
Cairan dinaikkan lagi menjadi 15 ml/kgBB/jam. Kemudian evaluasi 12 jam
lagi. Apabila tampak distres pernafasan menjadi lebih berat dan Ht naik maka
berikan cairan koloid 10-20 ml/kgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/kg
berat badan. Namun bila Ht turun, berikan transfusi darah segar 10
5
ml/kgBB/jam.
11. Pemeriksaan serologis
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia
yang diikuti oleh pembentukn IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam
waktu yang relatif singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG.
Pada kira-kira hari kelima terinfeksi terbentuklah antibodi yang bersifat
menetralisir virus (netralizing antobody (NT)). Titer antibodo NT akan naik
dengan cepat, kemudian menurun secara lambat untuk waktu yang lama,
biasanya seumur hidup. Setelah antibodi NT, akan timbul antibodi
mempunyai sifat menghambat hemaglutinasi sel darah merah angsa
(haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi Hi itu naik
sejajar dengan antibodi NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang
mengikat komplemen ( complement fixing antibody = CF) timbul sekitar
hari keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit
mencapai maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat
dan menghilang setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi
infeksi virus dengue ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil
isolasi virus. Dasar pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer
antibodi pada masa akut dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan serologi
yang dianjurkan WHO ialah pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu
membutuhkan 2 contoh darah. Contoh darah pertama diambil pada waktu
1-4 minggu dalam perjalanan penyakit.. dalam praktik sukar sekali
didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah sembuh sehingga
tidak bersedia diambil darahnya. Dengan demikian, diambil kebijaksanaan
untuk mengambil darah sebanyak kali. Pertama, sewaktu masuk rumah
sakit, kedua pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu
setelah perjalanan penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh arah,
5
penafsiran akan sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
Sindrom syok dengue ialah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi
teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit ( misalnya sistolik
90 dan diastolik 80 mmhg, jadi tekanan nadi <20 mmHg), bibir biru, tangan kaki
5
dingin, dan tidak ada produksi urin.
a. Segera beri infus kristaloid ( ringer laktat atau NaCl 0,9%) 20 ml/kgBB
secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit), dan oksigen 2
liter/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tensi
tidak terukur), diberikan ringer laktat 20 ml/kgBB bersama koloid (lihat butir
2). Obserbvasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4-6
5
jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
b. Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan ringer laktat belum
dilanjutkan 20 ml/kgBB, ditambah plasma (fresh froxen plasma) atau koloid
(dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/kgBB, maksimal 30 ml/kgBB ( koloid
diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya).
Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan
periksa hematokrit tiap 4-6 jam. Koreksi asidosis, elektrolit dan gula darah.
c. Apabila syok telah teratasi disertai penurunan kadar hemoglobin/hematokrit,
tekanan nadi >20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10
ul/kgBB/jam. Volumen 10 ml/kgBB/jam dapat dipertahankan sampai 24 jam
atau sampai klinis stabil dan hematokrit menurun <40%. Selanjutnya cairan
diturunkan menjadi 7 ml/kgBB sampai keadaan klinis dan hematokrit stabil,
kemudian secara bertahap cairan diturukan 5ml dan seterusnya 3 ml/kgBB/jam.
Dilanjutkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam stelah syok teratsi.
Observasi klinis dan tekanan darah, nadi dan jumlah urin dikerjakan tiap jam
( usahakan urin > 1 ml/kgBB/jam, BD urin < 1,020), dan pemeriksaan
5
hematokrit dan tormbosit tiap 4-6 jam sampai keadaan umum baik.
d. Apabila syok belum teratasi, sedangkan kadar hemotokrit menurun tetapi
masih >40 vol%, berikan darah dalam volume kecil 10 mlkgBB. Apabila
tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20 ml/kgBB dan lanjutkan
cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam. Pemasangan CVP (dipertahankan 5-8 cm
H2O) pada syok berat kadang-kadang diperlukan, sedangkan pemasangan
5
sonde lambung tidak dianjurkan.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Infeksi virus dengue merupakan penyakit infeksi bersifat menular yang disebabkan
oleh virus dengue. Infeksi virus dengue memiliki spektrum klinis yang luas mulai dari
manifestasi klinis ringan sampai berat. Setelah periode inkubasi yaitu masuknya virus dengue
ke tubuh akan berkembang menjadi tiga fase yaitu febris atau demam, fase kritis, dan fase
pemulihan atau konvalensi. Pasien biasanya mengalami demam derajat tinggi secara tiba-
tiba1. Beberapa pasien mungkin sakit tenggorokan, nyeri saat menelan, nyeri retroorbital,
anorexia, mual dan muntah biasa terjadi. Pada fase febris akut biasanya berlangsung 1-3 hari
yang dimana demam akan naik drastis. Pada fase kritis yaitu hari ke 4 sampai hari ke 6
demam akan menurun sampai batas normal namun akan muncul ruam facial, eritema kulit,
sakit di seluruh tubuh, myalgia, arthralgia, dan sakit kepala. Pada fase konvalesens atau
penyembuhan yaitu pada hari ke 7 ruam dan eritema yang didapatkan ditubuh akan menurun
disertai dengan perbaikan klinis pasien. Tes torniquet positif merupakan tanda untuk
membedakan demam berdarah secara klinis dan demam non berdarah pada fase awal
demam2.
Data distribusi kasus DBD berdasarkan kelompk umur menunjukan bahwa hampir
semua kelompok umur berisiko terinfeksi virus dengue. Usia yang paling sering yaitu 5-14
tahun hal ini diprediksikan oleh akibat penularan DBD terjadi dilingkungan sekolah. Namun
tidak menuntut kemungkinan anak yang berusia kurang dari 1 tahun tidak terinfeksi virus
dengue. Berdasarkan data kasus DBD di Kabupaten Konsel tahun 2020 pada bulan juli
jumlah kasus DBD pada anak yaitu sebanyak 109 kasus. Dari hasil penelusuran didapatkan
bahwa anak yang berusia 1 tahun yang menderita DBD terjadi oleh karena kurangnya
perhatian mengenai pengendalian populasi nyamuk dilingkungan rumah3 .
Bayi AQ dengan jenis kelamin perempuan berumur 15 bulan, datang dengan keluhan
demam sejak 4 hari sebelum masuk Rumah Sakit, demam bersifat naik turun, demam mulai
meninggi ketika siang hari. Namun selama 1 hari terakhir ini ibu pasien mengatakan suhu
tubuh bayinya sudah mulai turun. Selain itu ibu mengeluh anaknya selalu gelisah (+), malas
makan (+), muntah 3 hari yang lalu (+), batuk (+) dan muncul bintik-bintik merah pada area
tangan (+) tanpa disertai rasa gatal. Keluhan lainnya seperti menggigil saat demam (-),
kejang (-), pusing (-) sakit kepala (-),pilek (-), sesak (-), mimisan (-), BAB kesan normal, dan
BAK kesan normal.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum pasien keadaan umum sakit sedang,
pada pemeriksaan antropometri didapatkan BB : 9,1 kg, TB : 78 cm, LK : 44 cm, LD : 46
cm, LP : 53 cm, LLA : 15 cm, Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD : 90/60 mmHg,
o
P : 30 x/menit, N : 110 x/menit, S : 36,4 C, didapatkan turgor baik, edeme palpebral (+),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), epiktasis (-), perdarahan gusi (-), otorhea (-). Cor dalam
batas normal. Pulmo dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan inspeksi
cembung mengikuti gerak napas. Auskultasi peristaltik kesan normal. Palpasi distenden (+),
nyeri tekan (+). Perkusi redup (+), shifting dullnes (+), undulasi (-), dan pudle sign (-),dan
didapatkan pembesaran hepar 2,5 cm dibawah arcus costae dan pada pemeriksaan ektermitas
didapat peteki (+), akral dingin (-), CRT < 2 detik.

Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 2011
terdiri dari 2 kriteria klinis dan 2 kriteria laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan
untuk menyingkirkan diagnosis yang memiliki keluhan sama4
1) Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak tanpa sebab jelas yang berlangsung terus menerus selama 2-
7 hari. Manifestasi perdarahan ditandai dengan: uji tourniquet positif. petechiae,
ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena, pembesaran hati, syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah
2) Laboratoris
Didapatkan kadar trombosit <100.000/uL dan terjadi peningkatan hemokonsentrasi
yang dapat dilihat dari peningkatan hematokrit ≥ 20%. Dua kriteria klinis ditambah
ditemukan adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit cukup untuk
menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan atau hipoalbumnemia dapat
memperkuat diagnosis terutama pada pasien yang terjadi perdarahan. Pada kasus syok,
peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia mendukung diagnosis DBD.
Derajat penyakit Demam Berdarah Dengue dapat diklasifikasikan dalam 4 derajat:
(WHO, 2011)
Derajat I: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
ialah uji tourniquet.
Derajat II: Sama seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan atau
perdarahan lainnya.
Derajat III: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kaki dingin
dan lembab dan tampak gelisah.
Derajat IV: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
Pada pasien ini di tegakkan diagnosa DBD grade 1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan :
a) Anamnesis
1) Demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, bersifat naik turun, demam mulai
meninggi ketika siang hari. Namun dalam 1 hari terakhir bayinya sudah tidak
demam
2) Menggigil(-)
3) Nyeri kepala (-)
4) Mual (-) dan muntah (+)
5) BAB dalam batas normal
6) Terdapat bintik-bintik kemerahan (peteki pada daerah tangan, namun tidak ada
mimisan ataupun gusi berdarah.
b) Pemeriksaan fisik
1) Tekanan darah = 90/60 mmHg
2) Nadi = 120x/menit
3) Pernapasan = 32x/menit
4) Suhu 37,5oC
5) Edema (+/+) palpebrae
6) Perdarahan subkonjungtiva(-/-)
7) Epiktasis (-)
8) Perdarahan gusi (-)
9) Otorhea (-)
10) Cor dalam batas normal
11) Pulmo dalam batas normal
12) Abdomen :

I : Cembung ikut gerak nafas


A : Peristaltik (+) kesan normal
: Redup, Shifting dullness (+),undulasi (-), fluid wave (-), pudle
P sign (-)
P : Distensi (+) nyeri tekan (+)

13) Pembesaran hepar 2,5 cm dibawah arcus costae


14) Ektermitas atas didapat peteki (+), akral dingin (-), CRT < 2 detik
15) Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan darah rutin
28/02/2021 02/03/2021
WBC 2,8 x103/ UL 2,6x103/ UL
HGB 9,8 g/dL 10,8 g/dL
HCT 30,2 % 32,7%
PLT 92x103/UL 82x103/UL

Tatalaksana
Pada kasus ini penatalaksanaan dengue sesuai dengan perjalanan penyakit yang
terbagi atas 3 fase.Pada fase demam yang diperlukan hanya pengobatan simtomatik dan
suportif. Pemberian paracetamol merupakan antipiretik pilihan pertama dengan dosis
10mg/kg/dosis selang 4 jam apabila suhu >38 sedangkan golongan antipiretik lain seperti
pemberian aspirin dan ibuprofen merupakan indikasi kontra. Kompres hangat kadang
membantu apabila anak merasa nyaman dengan pemberian kompres. Pemberian
antipiretik tidak mengurangi tingginya suhu, tetapi dapat memperpendek durasi demam.
Pengobatan suportif lain yang dapat diberikan antara lain diet makanan lunak dan
pemberian ASI5.
Asupan cairan pasien harus dijaga, terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral
pasien tidak adekuat maka diperlukan pemberian cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara penuh.
Protokol pada kasus DBD yaitu terjadi kebocoran plasma yang apabila cukup
banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah dengan
syok/sindrom syok dengue) dengan mortalitas yang tinggi. Dengan demikian
penggantian cairan ditujukan untuk mencegah timbulnya syok6.
a. Jenis cairan
Pada kasus diberikan jenis cairan kristaloid isotonik yaitu RL 0,9% hal ini sejalan
dengan teori yang mengatakan pemberian cairan kristaloid isotonik merupakan cairan
pilihan untuk pasien DBD dibandingkan cairan hipotonik. Dalam keadaan normal setelah
satu jam pemberian cairan isotonis ¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke
ruang intraselular dan ekstruselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat
volume cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga Iebih mudah terjadi
kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis.
b. Jumlah cairan
Pada kasus diberikan cairan RL 0,9% sebanyak 5cc/kgBB/jam. Pada kasus ini
diberikan terapi cairan untuk DBD grade 1 hal ini karena adanya pertimbangan edema
pada palpebrae sehingga terapi cairan yang diberikan yaitu 5cc/kgBB/jam
Jumlah tetesan per menit = Jumlah kebutuhan cairan x Faktor tetes
Waktu (jam) x 60 menit
Jumlah tetesan per menit = 45 ml x 20
60
Jumlah tetesan permenit = 15 tpm
Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran plasma >20%, oleh karena itu
jumlah cairan yang diberikan diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance)
ditambah dengan perkiraan deficit cairan 5%. Banyak ditemukan klinis yang dimana
pasien belum menunjukkan peningkatan hematokrit yang berarti padakeadaan ini
sehingga diagnosis awal yang ditegakan masih Demam Dengue, namun dihawatirkan
keadaan ini merupakan fase awal dari DBD, maka volume cairan yang diberikan cukup
rumatan atau sesuaikebutuhan. volume cairan ditingkatkan apabila hematokrit naik dan
kemudian diturunkan bertahap seiring penurunan nilai hematokrit.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelwan, Erni J. 2018. Early Detection of Plasma Leakage in Dengue


Hemoragic Fever. Indonesia Interna Medicines. Acta Med Indonesia
2. WHO. 2005. Dengue, Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock
Syndrome in the Context of the Integrated Management of Childhood Illness.
World Health Organization.
3. Prasad, J., dkk. 2014. National Guidelines for Clinical Management of
Dengue Fever.World Health Organization
4. Kemenkes RI. 2018. Situasi Penyakit Demam Berdarah di Indonesia Tahun
2017. Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
5. Herry, Garna. 2015. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Ikatan Dokter
Anak Indonesia
6. WHO. 2012. Handbook For Clinical Management of Dengue. World Health
Organization.
7. Sugijanto, Soegeng. 2013. Update Management Dengue Shock Syndrome in
Pediatric Cases. Indonesian Journal of Tropical nd Infectious Disease.
8. United States Department of Health and Human Services. 2014. Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. Health Care Practicioners Information
9. WHO. 2016. Clinical Diagnosis of Dengue Haemprrhagic Fever. World
Health Organization
10. Wahala, M. 2011. The Human Antibody Response to Dengue Virus Infection.
Viruses Journal. Microbiology and Immunology of North Carolina.

Anda mungkin juga menyukai