Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN FIELD LAB SEMESTER V

Tinea Korporis
DI PUSKESMAS I SUMPIUH KABUPATEN BANYUMAS

Preseptor Lapangan:
dr. Dri Kusrini

Preseptor Fakultas:
dr. Paramita Septianawati

Disusun Oleh :
Zidnil Ula
1513010017

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN FIELD LAB SEMESTER V


NEUROPATI PERIFER
DI PUSKESMAS 1 SUMPIUH KABUPATEN BANYUMAS

Disusun untuk memenuhi syarat dari

Tugas Akhir Semester V

Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Disusun oleh :

Zidnil Ula
1513010017

Telah dipresentasikan dan disetujui

Tanggal 26 Januari 2018

Preseptor Fakultas Preseptor


Lapangan

dr. Paramita Septianawati dr. Dri Kusrini


NIK. 2160589 NIP.
19720112.200212.2.004
BAB I

KASUS

1.1 Identitas Pasien


a. Nama : Ny. B
b. Jenis Kelamin : Wanita
c. Alamat : Kepokgurak
d. Usia : 59 tahun
e. Pekerjaan : Petani
1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
a. Keluhan Utama : Gatal
b. Onset : Sejak 2 hari yang lalu
c. Lokasi : Paha luar (gluteus)
d. Deskripsi : Terdapat kelainan pada paha bagian luar
atas, berbatas tegas, berwarna hitam kemerahan, dengan bagian
dalam cenderung sembuh
e. Faktor peringan : Saat digaruk atau diberiobat gatal
f. Faktor pemberat : Saat berkeringat dan malam hari
g. Gejala lain : Asam lambung dan pusing
1.3 Riwayat Penyakit Dahulu
a. Alergi obat : Disangkal
b. Penyakit sistemik : Disangkal
c. Riwayat operasi : Disangkal
1.4 Riwayat Penyakit Keluarga
a. Alergi obat : Disangkal
b. Penyakit sistemik : Disangkal
c. Riwayat operasi : Disangkal
1.5 Pemeriksaan Fisik
a. Tekanan darah : 130/90 mmHg
b. Laju pernafasan : Tidak diketahui
c. Nadi : Tidak diketahui
d. Suhu : Tidak diketahui
e. Berat badan : Tidak diketahui
f. Tinggi badan : Tidak diketahui
1.6 Diagnosis
Tinea Korporis
1.7 Terapi
a. Myconazole salep 10gram 3x1 dioleskan
b. Griseovulvin tablet 0,5gram 1x1 diminum setelah makan
c. Ctm 3x1
d. Paracetamol 3x1
BAB II

DASAR TEORI dan PEMBAHASAN

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Definisi
Tinea Korporis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur
superfisial golongan dermatofita yang menyerang daerah kulit tidak
berambut (glabrous skin). Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur
dan paling sering terjadi pada iklim yang panas (tropis dan subtropis).
Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam
ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini terjadi akibat
perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(Djuanda, 2013)
2.1.2 Etiologi
Tinea korporis disebabkan oleh golongan dermatofita yang
menyerang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan
keratinolisis. Dermatofita terbagi dalam tiga genus yaitu Microsporon,
Epidermophyton, dan Tricophyton. Penyebab tersering tinea korporis
adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes.(Siregar,
2005)
Tetapi penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara,
seperti di Amerika Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton
rubrum, Trycophyton mentagrophytes, Microsporum canis dan
Trycophyton tonsurans. Di Afrika penyebab tersering tinea korporis
adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton mentagrophytes, sedangkan
di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, sementara di
Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Tricophyton
mentagropytes dan Tricophyton violaceum.(Nelson,2008)

2.1.3 Epidemiologi
Tinea korporis terdapat diseluruh dunia, terutama pada
daerah tropis dan insiden meningkat pada kelembapan udara yang tinggi.
Penyakit ini masih banyak terdapat di Indonesia dan masih merupakan
salah satu penyakit rakyat. Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati
urutan kedua setelah dermatitis. Di daerah lain, seperti Padang, Bandung,
Semarang, Surabaya dan Manado, keadaanya kurang lebih sama, yakni
menempati urutan kedua sampai keempat terbanyak dibandingkan
dengan golongan penyakit lainnya. (Harahap,2000)
Tinea korporis dapat menyerang semua umur dan lebih sering pada
orang dewasa. Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang, sangat
besar pengaruhnya terhadap perkembangan penyakit ini.(Habif, 2004)
2.1.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi kejadian tinea
korporis adalah kontak langsung dengan penderita atau binatang,
penggunaan sarana pemandian umum bersama, atau kolam renang
umum. Kondisi sosial ekonomi serta kurangnya kebersihan pribadi juga
memegang peranan penting pada infeksi jamur (insiden penyakit jamur
pada sosial ekonomi lebih rendah lebih sering terjadi daripada sosial
ekonomi yang lebih baik, hal ini terkait dengan status gizi yang
mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit).
Kebersihan pribadi (menjaga kebersihan badan) yang kurang
diperhatikan turut mendukung tumbuhnya jamur.(Hainer,2003)

2.1.5 Pafisiologi
Transmisi dermatofit kemanusia dapat melalui tiga sumber masing-
masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit tidak memiliki
virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum
korneum dari kulit. Pemakaian bahan yang tidak berpori akan
meningkatkan temperatur dan keringat sehingga mengganggu fungsi
barrier startum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui kontak
langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda
seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya
kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati.
Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi
kedalam jaringan epidermis dan merusak keratiosit.(Djuanda,2013)
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama :
1. Perlekatan ke keratinosit
Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat
menginvasi jaringan keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar
ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan dengan flora
normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi
oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar
sebasea bersifat fungistatik.

2. Penetrasi melalui ataupun antara sel


Setelah terjadi perlekatan spora harus tumbuh dan menembus
stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada proses
deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi
proteinase, lepase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan
nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya
penetrasi jamur ke jaringan. Fungsi mannan di dalam dinding sel
dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai lapisan terdalam
epidermis.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan
organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau
Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatifita, pada pasien yang belum pernah
terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi
minimal dan trichopitin test hasilnya negative. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilakn oleh peningkatan
pergantian keratinosit. Di hipotesakan bahwa antigen dermatofita
diproses oleh sel Langerhans epidermis dan dipresentasikan oleh
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan
bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada
saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barrier epidermal
menjadi permeable terhadap transferrin dan sel-sel yang bermigrasi.
Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3
minggu reson jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi
yang disebut ringworm yang mengivasi bagian perifer kulit. Respon
terhadap infeksi, dimana bagan aktif akan meningkatkan proses
proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini akan
menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat
akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh system pertahanan

tubuh (imunitas) seluler.(Djuanda,2013)


Gambar 2.1. Mikroskopis Trichophyton rubrum

2.1.6 Manifestasi Klinis


Keluhan dari tinea korporis berupa rasa gatal. Pada kasus
yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas pada lesi tampak
tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi
yang berdekatan dapat membentuk polisiklik. Derajat inflamasi
bervariasi, dengan morfologi dari eritema sampai pustula, bergantung
pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada penyebab zoofilik
umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif,
lesi sering menjadi luas. (Goedadi,2004)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal,
dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik memburuk dan
membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk
anular yang akan mengalamai resolusi. Berupa skuama, krusta, vesikel,
dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umunya
merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya. (Goedadi, 2004)
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi.kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
bersama-sama dengan kelainan pada selaha paha. Dalam hal ini disebut
tinea korporis dan kruris.(Djuanda,2013)
Bentuk tinea korporis yang disebabkan oleh Tricophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata dimulai dengan
bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar.
Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar.
Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga
tebentuk lingkaran-lingkaran skuama yang kosentris.(Djuanda,2013)
Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering
menyebabkan respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba
antropofilik. Umumnya, pasien HIV atau imunokompromise bisa terlihat
dengan abses yang dalam dan meluas.(Djuanda,2013)

Gambar 2.2 Efloresensi Tinea Korporis

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis Tinea Korporis di tegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
Pasien mengeluh rasa gatal-gatal, karena rasa gatal semakin
memberat pasien menggaruk lesi sehingga lesi menjadi lebih luas.
Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat.
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang
sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab dan
panas serta memakai pakaian yang tidak menyerap keringat.
2. Pemeriksaan Efloresensi
Gambaran klinis dari tinea korporis merupakan lesi anular,
bulat atau lonjong berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang (tanda peradangan lebih jelas pada daerah
tepi) yang sering disebut central healing. Tapi kadang juga dijumpai
erosis dan kusta akibat garukan. Lesi-lesi umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat
juga terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir polisiklik, karena
beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bila tinea korporis ini
menahun tanda-tanda aktif jadi menghilang selanjutnya hanya
meninggalkna daerah-daerah yang hiperpigmentasi dan skuamasi
saja. Kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama-sama dengan tinea
kruris.(Djuanda,2013)

Gambar 2.3 Tinea Korporis


3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% dan
biakan. Untuk mendiagnosis diperlukan skuama dari bagian tepi lesi
yang diambil dengan menggunakan skalpel. Skuama tersebut ditaruh
pada slide yang ditetesi oleh larutan kalium hidroksida. Diagnosis
dibuat dengan memeriksa skuama yang terinfeksi tersebut secara
mikroskopis untuk mendeteksi adanya hifa sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang atau spora berderet. (Siregar,
2005)

2.1.8 Diagnosa Banding

a. Pitriasis rosea: gambaran makula eritematosa denag tepi sedikit


meninggi, ada papula, skuama, diameter panjang lesi menuruti garis
kulit.
b. Psoriasis : skauama lebih tebal dan berlapis-lapis
c. Neurodermatitis sirkumskripta: macula eritematosa berbatas tegas
terutama pada daerah tengkuk,lipat lutut dan lipat siku. (Siregar,
2005)

2.1.9 Penatalaksanaan
Penyakit tinea korporis sering kambuh bahkan sampai menahun
sehingga untuk menghindari faktor resiko seperti hindari sumber
penularan yaitu binatang atau kontak dengan penderita lain, menjaga
keberisihan badan dan lingkungan.
Obat-obat anti-jamur dapat diberikan secara topikal (dioles), ada
pula yang tersedia dalam bentuk oral (obat minum). Jenis obat luar
(salep) seringkali digunakan jika lesi kulit tidak terlalu luas. Salep harus
dioleskan pada kulit yang telah bersih, setelah mandi atau sebelum tidur
selama dua minggu, meskipun lesinya telah hilang. Tanda dan gejala
(seperti kemerahan, gatal, dan rasa panas) dapat diobati dengan
kombinasi steroid/krim anti jamur. Steroid tidak selalu diberikan, hanya
diberikan jika terdapat gejala inflamasi. (Goedadi, 2004)
Contoh obat yang dapat diberikan:

Obat topikal :
Golongan Nama Obat Dosis
Klotrimazol krim 1% 2 kali sehari

Ekonazol krim 1% 2 kali sehari

Mikonazol krim 2% 2 kali sehari


Azol-imidazol
Ketokonazol krim 2% 1-2 kali sehari

Bifonazole krim 1% 1 kali sehari

Tiokonazol krim 1% 2 kali sehari

Alilamin/ Naftifin hydrochloride krim 1 kali sehari


1%
benzilamin

Anti jamur Terbinafin 1% 1-2 kali sehari

topical lain Haloprogin krim 1% 2 kali sehari

Tolnaftat Tolnaftat krim 1% 2-3 kali sehari

Obat Oral :

Golongan Nama obat Dosis

Anti jamur Terbinafin 250 mg/hari


golongan lain
Itraconazole 400 mg/hari
Azol-imidazol
Fluconazole 200 mg/minggu

Griseofulvin Griseofulvin 0,5 g/hari

(Habif,2004)

2.1.10 Pencegahan
Faktor-faktor yang perlu dihindari untuk mencegah terjadi tinea
korporis antara lain:
a. Mengurangi kelembapan tubuh penderita dengan menghindari
pakaian yang panas
b. Menghindari sumber penularan yaitu binatang atau kontak dengan
penderita lain
c. Meningkatkan kebersihan pribadi maupun lingkungan
d. Menjaga kekebalan tubuh dengan asupan gizi yang cukup.
(Goedadi, 2004)

2.1.11 Prognosis

Pada umumnya prognosis untuk tinea koporis adalah baik dengan


terapi yang benar dan mejaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkunga.
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan antijamur.
(Djuanda,2013)

2.2 Pembahasan

Seorang wanita datang ke Puskesmas 1 sumpiuh mengeluhkan gatal.


Gatal sudah dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Pasien bercerita keluhan ini
mulanya dirasakan setelah pasien menggunakan celana yang baru dibeli
tanpa dicuci terlebih dahulu. Pasien bercerita keluhan ini muncul semakin
parah pada saat malam hari dan pasien tersebut berkeringat. Keluhan pasien
sempat sembuh namum kambuh kembali dan pasien selalu menggaruk
daerah yang terasa gatal supaya rasa gatal tersebut dapat meredah. Pasien
tidak memiliki riwayat alergi. Keluarga pasien juga tidak pernah mengalami
hal yang serupa. Dari pemeriksaan fisik didapatkan lesi pada daerah luar
paha atas berupa merah kehitaman berbentuk oval berbatas tegas, dan
bagian tengahnya cenderung sembuh.

Dokter di puskesmas mendiagnosis pasien terkena Tinea Korporis.


Dimana dasar diagnosisnya pasien mengeluhkan gatal yang diperparah saat
pasien berkeringat,dan juga hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya
merah kehitaman berbentuk oval berbatas tegas yang bagian tengahnya
sudah mulai sembuh. Hal ini sesuai dengan dasar teori yang ada. Lalu
dokter memberikan obat berupa myconazole salep, griseovulvin tablet, ctm
dan paracetamol yang berfungsi untuk mengatasi infeksi yang disebabkan
oleh jamur,dimana hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Tinea korporis merupakan infeksi jamur yag umumnya sering
dijumpai didaerah tropis terutama di Indonesia. Penyebab tersering
tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytesFaktor resiko dari tinea korporis yaitu kontak langsung
dengan penderita atau binatang, kebersihan diri maupun lingkungan
yang kurang.G ambaran klinis bermula sebagai bercak>patch
eritematosa yang gatal dan lamakelamaan semakin meluas dengan tepi
lesi yang aktif. Penegakkan diagnosis tinea korporis didapatkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan KOH 10-20%. Untuk tinea korporis yang bersifat lokal,
prognosisnya akan baik dengan tingakat kesembuhan 70-100% setelah
pengobatan dengan antijamur.

3.2 Saran
Diharapkan siswa mampu memahami tentang bagaimana asuhan
keperawatan pada pasien dengan Tinea Korporis sehingga dapat
meningkatkan kesehatan yang ada di masyarakat. Bagi masyarakat agar
selalu menjaga kebersihan diri sendiri agar mencegah terjadinya
penyakit kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP, Fungal disease with


cutaneous involment. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K,
Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology
in general medicine. 6th ed. New Yoek: Mc graw hill, 2008.

Djuanda,Adhi,dkk,.2013.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi


6.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Habif TP. Clinical Dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004.

Harahap Marwali. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit


Hipokrates.

Siregar, RS. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hainer,BL.2003.Dermatophyte infections.Medical University of


South

Carolina. Charleston.www.aafp.org.afp

Goedadi MH, Suwito PS. 2004. Tinea korporis dan tinea kruris. In :
Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P,
Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI

Anda mungkin juga menyukai