Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2015


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

OD. KATARAK SENIL MATUR + PTERIGIUM STADIUM I


OS. KATARAK SENIL IMMATUR + PTERIGIUM STADIUM II

OLEH :

NURFATIHAH ISKANDAR
10542 0059 09

PEMBIMBING :

dr. PURNAMANITA SYAWAL, Sp.M.,MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015

i
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nurfatihah Iskandar, S.Ked

NIM : 10542 0108 09

Judul Referat : OD. Katarak senil matur + Pterigium stadium I


OS. Katarak senil immatur + Pterigium stadium II

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Makassar.

Makassar, Desember 2015

Pembimbing

(dr. Purnamanita Syawal, Sp.M.,MARS)

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi manusia dan
penglihatan merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup manusia.
Kelainan pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan hingga dapat menyebabkan
kebutaan.
Lensa kristalin merupakan struktur menakjubkan yang pada kondisi normalnya
berfungsi memfokuskan gambar pada retina. Apabila terdapat gangguan pada lensa maka
dapat menghalangi gambar terfokuskan pada retina.(1)
Kelainan pada lensa dapat berupa kekeruhan lensa yang disebut katarak, dapat
terjadi pada embrio di dalam kandungan yang sudah terlihat sejak bayi lahir yang disebut
katarak kongenital. Katarak kongenital dan juvenil disebut juga katarak perkembangan atau
pertumbuhan karena secara biologik serat lensa masih dalam perkembangannya. Katarak
pada usia lanjut di sebut juga katarak senil. Kekeruhan lensa dapat juga terjadi akibat
penyakit lain yang disebut katarak komplikata atau dapat akibat ruda paksa yang disebut
katarak trauma.(2)

Pada tahun 2010, WHO mengeluarkan estimasi global terbaru dimana terdapat 285
juta orang mengalami gangguan penglihatan dan 39 juta orang diantaranya mengalami
kebutaan. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran menunjukkan
bahwa 1,5 % penduduk Indonesia mengalami kebutaan dan lebih dari setengahnya (sekitar
1,5 juta) kebutaan tersebut disebabkan oleh katarak.(3)

Kebutaan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius bagi setiap negara.
Prevalensi kebutaan lebih besar pada negara berkembang. Kebutaan ini sendiri akan
berdampak secara sosial dan ekonomi bagi orang yang menderitanya. Ironisnya, 75% dari
kebutaan yang terjadi dapat dicegah atau diobati.(3)

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. C
Janis Kelamin : Perempuan
Umur : 66 tahun
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Bugis/Indonesia
Pekerjaan : petani
Alamat : Enrekang
No. Register : 08.00.43
Tanggal Pemeriksaan : 18 Desember 2015
Rumah Sakit : Balai Kesehatan Mata Masyarakat
Pemeriksa : dr. W
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Penglihatan kabur pada kedua mata
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang ke poliklinik mata BKMM dengan keluhan penglihatan kabur pada kedua
matanya, yang telah dialami sejak beberapa tahun yang lalu. Dialami sejak beberapa tahun
yang lalu. Dialami secara perlahan-lahan. Pasien juga mengeluhkan adanya selaput pada
mata kanan dan kiri. Awalnya tumbuh pada bagian pinggir mata, lama kelamaan melebar
sampai kebagian mata hitam. Pasien merasa seperti ada benda asing yang menutupi
matanya. Rasa mengganjal (+), air mata berlebih (+), kotoran mata berlebih (-), rasa gatal
(+), rasa silau (+), riwayat pasien sering terpapar sinar matahari dan debu (+), Riwayat
penggunaan kacamata (-)
Riwayat Penyakit Terdahulu :
- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya (-).
- Riwayat diabetes melitus (+) tidak terkontrol
- Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol (TD 150/90 mmHg)
2
- Riwayat trauma (-)
- Riwayat alergi (-)
Riwayat Pengobatan :
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga dan sosial
Tidak ada riwayat penyakit yang sama pada keluarga pasien.

OD OS

C. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
1. Pemeriksaan Inspeksi

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Normal, sekret (-) Normal, sekret (-)
Apparatus lakrimasi (+) lakrimasi (+)
Lakrimalis
Konjungtiva Hiperemis (-), Tampak Hiperemis(-), Tampak selaput
selaput berbentuk segitiga berbentuk segitiga dibagian
dibagian nasal dengan apex nasal dengan apex melewati
belum mencapai limbus limbus dan belum mencapai
pupil.
Bola mata Normal Normal
Kornea Jernih Jernih

3
Bilik Mata Normal Normal
Depan
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral Bulat, Sentral
Lensa Keruh Keruh
Mekanisme Ke segala arah Ke segala arah
muscular

2. Pemeriksaan Palpasi

Palpasi OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri tekan (-) (-)
Massa tumor (-) (-)
Glandula preaurikuler Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran

3. Tonometri
TOD : 8 mmHg
TOS : 10 mmHg
4. Visus
VOD - 1/ ~
VOS - 20/200 tidak dapat dikoreksi
5. Campus Visual
Tidak dilakukan Pemeriksaan
6. Color sense
Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Light Sense
Tidak dilakukan pemeriksaan

4
8. Diafanoskopi
Tidak dilakukan pemeriksaa
9. Penyinaran Oblik

No. Pemeriksaan OD OS
1. Konjungtiva Hiperemis (-) Hiperemis (-)
2. Kornea Jernih Jernih
3. Bilik mata depan Normal Normal
4. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
5. Pupil Isokor, Bulat, sentral, Isokor,Bulat, sentral,
RC(+) RC(+)
6. Lensa Keruh padat Keruh

10. Pemeriksaan Slit Lamp


a. SLOD : konjungtiva hiperemis (-), tampak selaput berbentuk segitiga dibagian
nasal dengan apeks belum mencapai limbus, kornea jernih, BMD kesan normal,
iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa keruh padat
b. SLOS : konjungtiva hiperemis (-) Tampak selaput berbentuk segitiga dibagian
nasal dengan apex melewati limbus dan belum mencapai pupil., kornea jernih,
BMD kesan normal, Iris coklat, kripte (+), pupil bulat sentral RC (+), lensa
keruh.
11. Pemeriksaan laboratorium
GDS 274
HB 13,7
CT 4,22
BT 1,15

5
RESUME

Seorang perempuan berumur 66 tahun datang ke poliklinik mata Balai Kesehatan Mata
Masyarakat dengan keluhan utama visus menurun secara perlahan lahan pada kedua
matanya, yang telah dialami sejak beberapa tahun yang lalu. Dialami sejak beberapa tahun
yang lalu. Dialami secara perlahan-lahan. Pasien juga mengeluhkan adanya selaput (+)
pada mata kanan dan kiri. m. Pasien merasa seperti ada benda asing (+) yang menutupi
matanya, lakrimasi (+), sekret mata berlebih (-), rasa gatal (+), fotofobia (+), riwayat pasien
sering terpapar sinar matahari dan debu (+), Riwayat penggunaan kacamata (-), riwayat
diabetes mellitus (+) , riwayat hipertensi (+)
Pada pemeriksaan oftalmologi (visus ) VOD VOD 1/~ dan VOS 20/200. Dan
pemeriksaan tekanan intraokuler TOD 8 mmHg dan TOS 10 mmHg. Pada pemeriksan slit
lamp didapatkan OD tampak lensa keruh dan selaput berbentuk segitiga dibagian nasal
dengan apex belum mencapai limbus. Pada OS tampak lensa keruh dan Tampak selaput
berbentuk segitiga dibagian nasal dengan apex melewati limbus dan belum mencapai
pupil. Pada pemeriksaan palpasi tidak ditemukan kelainan.

D. DIAGNOSIS KERJA
OD. Katarak senil matur + Pterigium stadium I
OD. Katarak senil immatur + Pterigium stadium II

E. DIAGNOSIS BANDING
OD :
- Episkleritis Nudosa
- Pinguekula
OS
- Pseudopterygium

F. TERAPI
Non medikamentosa
Kurangi pajanan debu, sinar matahari dengan menggunakan kacamata.

6
Medikamentosa
C- lyters untuk mata kanan dan kiri
Bedah
Rencana untuk operasi katarak ODS
G. PROGNOSIS
- Qua ad vitam : Bonam
- Qua ad sanationam : Bonam
- Qua ad vitam : Dubia et Bonam
- Qua ad cosmeticam : Dubia et Bonam

H. DISKUSI
Dari anamnesis yang dilakukan pada pasien perempuan umur 66 tahun
didapatkan keluhan kedua mata kabur dan berkabut. Yang telah dirasakan sejak
lama dan semakin parah. Gejala ini umumnya timbul pada mata dengan katarak.
Selain itu pasien mengeluhkan adanya selaput pada kedua mata, rasa
mengganjal,lakrimasi,rasa gatal,fotofobia dan adanya riwayat sering terpapar sinar
matahari dan debu. Gejala ini dapat diarahkan pada pterigium.
Hasil pemeriksaan fisik pada kedua mata pasien, terdapat tajam penglihatan
VOD : 1 / ~ dan VOS : 20/200. Hal ini mengindikasikan bahwa kelainan fungsi
penglihatan berupa mata kabur pada pasien bukan disebabkan oleh kelainan
refraksi, namun oleh penyebab organik.
Inspeksi langsung pada mata, mata terlihat tenang. Pemeriksaan pada mata
selanjutnya memberikan gambaran kornea yang jernih, ini menandakan gejala
penglihatan kabur yang mungkin disebabkan oleh terganggunya fungsi kornea
sebagai media refraksi dapat disingkirkan. Kemudian lebih dalam lagi melihat
opasitas pada lensa, terlihat lensa keruh, yang mengarahkan kemungkinan diagnosis
kearah katarak.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang kemudian mengarahkan
diagnosis kerja pada OD. katarak senilis matur dengan pterigium grade I dan OS.
Katarak senilis imatur dengan pterigium grade II . Maka penatalaksanaan dilakukan
sesuai penatalaksanaan yang ada.
7
BAB III
PEMBAHASAN
KATARAK
A. DEFENISI
Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies, Inggris berarti Cataract,
dan latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular
dimana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak
adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat keduanya.
Katarak terjadi secara perlahan-lahan sehingga penglihatan penderita terganggu
secara berangsur. Perubahan ini dapat terjadi karena proses degenerasi, trauma
mata, komplikasi penyakit tertentu, maupun bawaan lahir.(2)
Katarak termasuk golongan kebutaan yang tidak dapat dicegah tetapi dapat
disembuhkan. Definisi katarak menurut WHO adalah kekeruhan yang terjadi pada
lensa mata yang menghalangi sinar masuk ke dalam mata. Katarak terjadi karena
faktor usia, namun juga dapat terjadi pada anak-anak yang lahir dengan kondisi
tersebut. Katarak juga dapat terjadi setelah trauma , inflamasi atau penyakit
lainnya.(4)

Gambar 1 : a) Mata Katarak b) mata normal

8
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI LENSA
Pada manusia, lensa mata bikonveks, tidak mengandung pembuluh darah,
dan tembus pandang, Lensa memiliki ukuran diameter 9-10 mm dengan ketebalan 3,5
mm 5 mm. Kedepan berhubungan dengan cairan bilik mata belakang, dan
kebelakang berhubungan dengan korpus vitreous. Digantung oleh prosesus siliaris
oleh zonula zinii (ligamentum suspensorium lentis) yang melekat pada ekuator
lensa. Permukaan posterior lebih cembung daripada permukaan anterior.(5)

Gambar 2 : Anatomi Mata(6)

Secara embriologi, lensa berasal dari lapisan ektoderm permukaan pada


tempat lensplate, yang kemudian mengadakan invaginasi dan melepaskan diri dari
permukaan ektoderm, membentuk vesikel lensa dan bebas terletak di dalam batas-
batas dari optik cup. Segera setelah vesikel lensa terlepas dari ektoderm permukaan,
maka sel-sel bagian posterior memanjang dan menutupi bagian yang kosong. Pada
stadium ini kapsul hialin dikeluarkan oleh sel-sel lensa. Serat-serat sekunder
memanjangkan diri, dari daerah ekuator dan tumbuh ke depan di bawah epitel
subkapsuler, yang hanya selapis dan ke belakang di bawah kapsula lentis. Serat-
serat ini saling bertemu dan membentuk sutura lentis, yang berbentuk huruf Y yang
tegak di anterior dan Y terbalik di posterior. Pembentukan lensa selesai pada umur 7
bulan penghidupan foetal. Inilah yang membentuk substansi lensa, yang terdiri dari
korteks dan nucleus. Pertumbuhan dan proliferasi dari serta-serat sekunder
berlangsung terus selama hidup, tetapi lebih lambat, karenanya lensa menjadi
bertambah besar lambat-lambat. Kemudian terjadi kompresi dari serat-serat tersebut
dengan disusul oleh proses sklerosis.(7)
9
Gambar 3 : Anatomi Lensa(2)

Di belakang iris, lensa terfiksasi pada serat zonula yang berasal dari badan
siliar. Serat zonula tersebut menempel dan menyatu dengan lensa pada bagian
anterior dan posterior dari kapsul lensa. Kapsul merupakan membran dasar yang
melindungi nukleus, korteks, dan epitel lensa. Permukaan anterior dan posterior
lensa memiliki beda kelengkungan, dimana permukaan anterior lensa lebih
melengkung dibandingkan bagian posterior. Kedua permukaan ini bertemu di
bagian ekuator. Sebagai media refraksi, lensa memiliki indeks refraksi sebesar 1,39,
dan memilki kekuatan hingga 15-16 dioptri. Dengan bertambahnya usia,
kemampuan akomodasi lensa akan berkurang, sehingga kekuatan lensa pun akan
menurun.(5)
Struktur lensa dapat diurai menjadi:(5)

Gambar 4 : Struktur Lensa(2)

10
Gambar 5 : Struktur Lensa(2)

a) Kapsul lensa

Kapsul lensa merupakan membran dasar yang transparan. Kapsul lensa tersusun dari kolagen
tipe-IV yang berasal dari sel-sel epitel lensa. Kapsul berfungsi untuk mempertahankan bentuk
lensa saat akomodasi. Kapsul lensa paling tebal pada bagian anterior dan posterior zona
preekuator (14 um,) dan paling tipis pada bagian tengah kutub posterior (3um).(5)

b) Epitel anterior

Epitel anterior lensa dapat ditemukan tepat dibelakang kapsul anterior. Merupakan selapis sel
kuboid yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan lensa dan regenerasi serat lensa. Pada
bagian ekuator, sel ini berproliferasi dengan aktif untuk membentuk serat lensa baru.(5)

c) Korteks & Nukleus

Yang paling tua embryonal dan fetal nucleus. Lens suture dibentuk oleh apical cel processes
anterior suture dan basal cel processes posterior suture. Tidak ada perbedaan
morphologi korteks dan nukleus, transisi kedua daerah ini terjadi secara gradual.(5)

11
Gambar 6 : Anatomi Lensa(2)

Lensa mengandung : 33 % protein, 66 % air. Protein lensa terdiri dari :(8)

1) Water soluble (intracellular protein)


- 80 % protein lensa
- merupakan mainly group of protein crystallins
- crystallins . alpha crystallins 32 %
. beta crystallins 55 %
. gamma crystallins 1.5 %

2) Water insoluble protein :


- urea soluble, most cytoskeletal proteins
- urea insoluble protein, most lens fiber membrane protein, includes mayor instrinsic
protein (MIP)

Perubahan dari soluble protein insoluble protein timbul sebagai proses alami pada
maturasi dari fiber lensa. Soluble protein insoluble protein dan bergabung menjadi partikel
yang lbh besar dan menghasilkan kekeruhan lensa.(8)

12
Fungsi Lensa terdiri dari: (9)

a) Transparansi lensa

Lensa tidak memiliki pembuluh darah maupun sistem saraf. Untuk mempertahankan
kejernihannya, lensa harus menggunakan aqueous humour sebagai penyedia nutrisi dan
sebagai tempat pembuangan produknya. Namun hanya sisi anterior lensa saja yang terkena
aqueous humour. Oleh karena itu, sel-sel yang berada ditengah lensa membangun jalur
komunikasi terhadap lingkungan luar lensa dengan membangun low resistance gap junction
antar sel.(9)

b) Akomodasi lensa

Akomodasi lensa merupakan mekanisme yang dilakukan oleh mata untuk mengubah fokus
dari benda jauh ke benda dekat yang bertujuan untuk menempatkan bayangan yang terbentuk
tepat jatuh di retina. Akomodasi terjadi akibat perubahan lensa oleh badan silliar terhadap
serat zonula. Saat m. cilliaris berkontraksi, serat zonular akan mengalami relaksasi sehingga
lensa menjadi lebih cembung dan mengakibatkan daya akomodasi semakin kuat. Terjadinya
akomodasi dipersarafi ole saraf simpatik cabang nervus III. Pada penuaan, kemampuan
akomodasi akan berkurang secara klinis oleh karena terjadinya kekakuan pada nukelus.(9)

Perubahan yang terjadi pada saat akomodasi sebagai berikut: (9)

Gambar 7 : Akomodasi mata normal

13
C. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi katarak senilis sangat kompleks dan belum sepenuhnya


diketahui. Diduga adanya interaksi antara berbagai proses fisiologis berperan
dalam terjadinya katarak senilis dan belum sepenuhnya diketahui.(10)

Komponen terbanyak dalam lensa adalah air dan protein. Dengan menjadi
tuanya seseorang maka lensa mata akan kekurangan air dan menjadi lebih padat.
Lensa akan menjadi padat di bagian tengahnya, sehingga kemampuan fokus untuk
melihat benda dekat berkurang. Pada usia tua akan terjadi pembentukan lapisan
kortikal yang baru pada lensa yang mengakibatkan nukleus lensa terdesak dan
mengeras (sklerosis nuklear). Pada saat ini terjadi perubahan protein lensa yaitu
terbentukanya protein dengan berat molekul yang tinggi dan mengakibatkan
perubahan indeks refraksi lensa sehingga memantulkan sinar masuk dan
mengurangi transparansi lensa. Perubahan kimia ini juga diikut dengan
pembentukan pigmen pada nuklear lensa. (1,10)

Pada keadaan normal lensa mata bersifat bening. Seiring dengan


pertambahan usia lensa mata dapat mengalami perubahan warna menjadi kuning
keruh atau coklat keruh. Proses ini dapat menyebabkan gangguan penglihatan
(pandangan kabur/buram) pada seseorang. (10)

Kekeruhan lensa mengakibatkan lensa tidak transparan sehingga pupil


berwarna putih dan abu-abu./ Kekeruhan ini juga dapat ditemukan pada berbagai
lokalisasi di lensa seperti korteks dan nukleus. Fundus okuli menjadi semakin sulit
dilihat seiring dengan semakin padatnya kekeruhan lensa bahkan reaksi fundus bisa
hilang sama sekali. (1)

Miopia tinggi, merokok, konsumsi alkohol dan paparan sinar UV yang


tinggi menjadi faktor risiko perembangan katarak sinilis.(10)

14
D. KLASIFIKASI KATARAK

Berdasarkan usia katarak dapat diklarifikasikan dalam: (2,11)

1. Katarak juvenil adalah katarak yang lembek seperti bubur atau soft cataract, dan
terdapat pada orang muda, yang mulai terbentuk pada usia kurang dari 9 tahun
dan lebih dari 3 bulan. Katarak juvenil biasanya merupakan kelanjutan dari
katarak Kongenital.(2)
2. Katarak kongenital adalah katarak yang mulai terjadi sebelum atau segera
setelah lahir dan bayi berusia kurang dari 1 tahun. (2)
3. Katarak senil adalah katarak primer yang terjadi pada usia lebih dari 50 tahun.
Namun, jika disertai dengan penyakit lainnya seperti diabetes mellitus yang
akan terjadi lebih cepat. Kedua mata dapat terlihat derajat kekeruhan yang sama
atau berbeda.(1,2)
Tiga tipe katarak terkait usia adalah nuclear, kortical, dan subkapsular
posterior katarak. Pada beberapa pasien penggabungan dari beberapa tipe juga
ditemukan :
a. Nuclear katarak
Pada dekade keempat dari kehidupan, tekanan yang dihasilkan dari fiber
lensa peripheral menyebabkan pemadatan pada seluruh lensa,terutama
nucleus. Nucleus member warna coklat kekuningan (brunescent nuclear
cataract). Ini menjadi batas tepi dari coklat kemerahan hingga mendekati
perubahan warna hitam diseluruh lensa (katarak hitam). Karena mereka
meningkatkan tenaga refraksi lensa, katarak nuclear menyebabkan myopia
lentikular dan kadang-kadang menimbulkan fokal point kedua di dalam
lensa yang menyebabkan diplopia monocular. (1,10)
b. Kortical katarak
Pada katarak kortikal terjadi penyerapan air sehingga lensa menjadi
cembung dan terjadi miopisasi akibat perubahan indeks refraksi lensa.
Pada keadaan ini penderita seakan-akan mendapatkan kekuatan baru untuk
melihat dekat pada usia yang bertambah.

15
Katarak nuclear sering dihubungkan dengan perubahan pada kortek lensa.
Ini penting untuk dicatat bahwa pasien dengan katarak kortikal cenderung
untuk hyperopia dibandingkan dengan pasien dengan katarak nuclear(nuku
saku)
Beberapa perubahan morfologi yang akan terlihat pada pemeriksaan slip-
lamp dengan midriasis maksimum: (1,10)
Vacuoles: akumulasi cairan akan terlihat sebagai bentuk vesicle
cortical sempit yang kecil. Sisa vacuoles kecil dan meningkat
jumlahnya.
Water fissure: pola rarial dari fissure yang terisi cairan yang akan
terlihat diantara fiber.
Lamella yang terpisah: tidak sesering water fissureI, ini berisi suatu
zona cairan diantara lamella (biasanya antara lamella clear dan fiber
kortikal).
Cuneiform cataract: ini sering ditemukan dengan opaksitas radier
dari lensa peripheral seperti jari-jari roda.

Gambar 8 : gambaran katarak kapsul dengan slit lamp

c. Posterior subcapsular katarak (PSCs),


merupakan terjadinya kekeruhan di sisi belakang lensa. Katarak ini
menyebabkan silau, pandangan kabur pada kondisi cahaya terang, serta
16
pandangan baca menurun. Banyak ditemukan pada pasein diabetes, pasca
radiasi, dan trauma. (1,10)

Gambar 9 : katarak subkapsular posterior

Katarak ini dibagai ke dalam 4 stadium, yaitu:


a. Katarak insipien, kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju
korteks anterior dan posterior (katarak kortikal) .Katarak subkapsular
psoterior, kekeruhan mulai terlihat di anterior subkapsular posterior, celah
terbentuk, antara serat lensa dan korteks berisi jaringan degeneratif (beda
morgagni) pada katarak insipien . (1,2,10)
b. Katarak intumesen. Kekeruhan lensa disertai pembengkakan lensa akibat
lensa yang degeneratif menyerap air. Pada keadaan ini dapat terjadi hidrasi
korteks hingga lensa akan mencembung dan daya biasnya bertambah, yang
akan memberikan miopisasi . (1,2,10)
c. Katarak imatur, sebagian lensa keruh atau katarak. Merupakan katarak yang
belum mengenai seluruh lapis lensa. Volume lensa bertambah akibat
meningkatnya tekanan osmotik bahan degeneratif lensa. Pada keadaan lensa
mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi
glaukoma sekunder . (1,2,10)

17
d. Katarak matur, pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh lensa.
Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila
katarak imatur tidak dikeluarkan, maka cairan lensa akan keluar sehingga
lensa kembali pada ukuran normal dan terjadi kekeruhan lensa yang lama
kelamaan akan mengakibatkan kalsifikasi lensa pada katarak matur. Bilik
mata depan berukuran dengan kedalaman normal kembali, tidak terdapat
bayangan iris pada shadow test, atau disebut negatif. (1,2,10)
e. Katarak hipermatur, merupakan katarak yang telah mengalami proses
degenerasi lanjut, dapat menjadi keras, lembek dan mencair. Massa lensa
yang berdegenerasi keluar dari kapsul lensa, sehingga lensa menjadi kecil,
berwarna kuning dan kering. Pada pemeriksaan terlihat bilik mata dalam dan
terlihat lipatan kapsul lensa. Kadang pengkerutan berjalan terus sehingga
hubungan dengan zonula zinn menjadi kendur. Bila proses katarak berlanjut
disertai dengan penebalan kapsul, maka korteks yang berdegenerasi dan cair
tidak dapat keluar, maka korteks akan memperlihatkan bentuk sebagai
sekantong susu disertai dengan nukleus yang terbenam didalam korteks
lensa karena lebih berat, keadaan tersebut dinamakan katarak morgagni.
(1,2,10)

E. GEJALA KLINIS
Seorang pasien dengan katarak senilis biasanya datang dengan riwayat
kemunduran secara progesif dan gangguan dari penglihatan. Penyimpangan
penglihatan bervariasi, tergantung pada jenis dari katarak ketika pasien datang. (10)
a. Penurunan visus, merupakan keluhan yang paling sering dikeluhkan pasien
dengan katarak senilis.
b. Silau, Keluhan ini termasuk seluruh spectrum dari penurunan sensitivitas
kontras terhadap cahaya terang lingkungan atau silau pada siang hari hingga
silau ketika endekat ke lampu pada malam hari.
c. Perubahan miopik, Progesifitas katarak sering meningkatkan kekuatan
dioptrik lensa yang menimbulkan myopia derajat sedang hingga berat.
Sebagai akibatnya, pasien presbiop melaporkan peningkatan penglihatan
18
dekat mereka dan kurang membutuhkan kaca mata baca, keadaan ini disebut
dengan second sight. Secara khas, perubahan miopik dan second sight tidak
terlihat pada katarak subkortikal posterior atau anterior.
d. Diplopia monocular. Kadang-kadang, perubahan nuclear yang terkonsentrasi
pada bagian dalam lapisan lensa, menghasilkan area refraktil pada bagian
tengah dari lensa, yang sering memberikan gambaran terbaik pada reflek
merah dengan retinoskopi atau ophtalmoskopi langsung. Fenomena seperti
ini menimbulkan diplopia monocular yang tidak dapat dikoreksi dengan
kacamata, prisma, atau lensa kontak.
e. Halo , berkabut pada lapangan pandang.
f. Ukuran kaca mata sering berubah.

F. DIAGNOSIS
Banyak diantara pasien katarak yang tidak terdiagnosis pertama kali
menyadari dan tergerak untuk mengunjungi ahli mata saat dalam aktivitas
hariannya, mereka mengalami penurunan penglihatan. Beberapa pendapat mengenai
penegakkan diagnosis klinis katarak adalah sebagai berikut. (12)
- Anamnesis
Data demografi seperti umur, jenis kelamin, dan ras, diperlukan untuk
melengkapi riwayat pasien. Riwayat pasien terutama onset terjadinya keluhan
penurunan penglihatan harus ditanyakan pada pasien, apakah akut atau secara
bertahap atau gradual. Sangat jarang penurunan penglihatan terjadi secara akut
pada pasien katarak. Dalam riwayat penyakit, dimasukkan riwayat kelainan
mata refraktif, penyakit mata sebelumnya, ambliopia, operasi mata, dan trauma.
Penyulit seperti ambulasi, menyetir, membaca saat kondisi remang ataupun
dengan cahaya terang, dan membaca label obat juga dimasukkan dalam data
riwayat penyakit pasien. (12)
- Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan katarak meliputi pemeriksaan mata lengkap dimulai dari tes
tajam penglihatan. Pada katarak, tajam penglihatan akan menurun secara
perlahan-lahan sesuai dengan grading densitas kekeruhan lensa.(3)
19
Pemeriksaan pada lensa dilakukan dengan menyinarinya dari samping.
Lensa akan tampak keruh keabuan atau keputihan dengan latar hitam. Kamera
anterior dapat menjadi dangkal dan iris terdorong kedepan, sudut kamera
anterior menyempit sehingga tekanan intraokuler meningkat, akibatnya akan
terjadi glaucoma sekunder.(3)

- Pemeriksaan Okular
Katarak biasanya didiagnosis melalui pemeriksaan rutin mata. Sebagian
besar katarak tidak dapat dilihat oleh pengamat awam sampai menjadi cukup
padat (matur atau hipermatur) dan menimbulkan kebutaan. Namun, katarak,
pada stadium perkembangannya yang paling dini, dapat diketahui melalui pupil
yang didilatasi maksimum dengan ophtalmoskop, kaca pembesar, atau slitlamp.
Untuk memeriksa perbedaan tanda-tanda katarak, dapat dilakukan beberapa
pemeriksaan khusus sebagai berikut. (12)
a. Tes tajam penglihatan (Visual Aquity Test).
b. Shadow test (Tes Bayangan Iris)
Ketika cahaya diarahkan secara oblik ke arah pupil, akan terdapat
bayangan seperti bulan sabit pada batas pinggiran pupil dan iris pada
lensa yang keruh keabuan, selama masih ada korteks yang jernih antara
pinggiran pupil dan bagian yang keruh. Saat lensa seluruhnya keruh,
maka tidak akan terbentuk bayangan iris Artinya, shadow test bernilai
positif untuk katarak imatur.

Bayangan bulan
sabit iris pada
pinggir pupil
dan iris

Tidak terdapat
bayangan iris

Gambar 10. Perbedaan antara katarak imatur (A) dan katarak matur (B)
20
c. Oblique illumination examination. Pemeriksaan ini menggambarkan
warna dari lensa pada area pupil yang bervariasi untuk tiap jenis katarak.
d. Distant direct ophtalmoscopic examination. Cahaya fundus kuning
kemerahan teridentifikasi pada ketiadaan kekeruhan pada media. Lensa
dengan katarak sebagian menunjukkan bayangan hitam yang berlawanan
dengan cahaya merah pada area katarak. Lensa dengan katarak komplit
tidak menampakkan cahaya merah.
e. Pemeriksaan slit-lamp, harus dilakukan dengan pupil dilatasi maksimum.
Pemeriksaan ini menunjukkan morfologi kekeruhan secara keseluruhan
(lokasi, ukuran, ketajaman, warna, dan pola).

- Pemeriksaan Tambahan
Pemeriksaan tambahan berguna untuk menentukan disabilitas fungsional sistem
visual atau untuk menemukan penyakit lainnya. Tes sensitivitas kontras, tes
silau, tes potensial ketajaman, threshold visual fields atau Amsler grid testing,
fluorescen angiography, corneal pachymetry/endothelial cell count, specialized
color vision testing, B-scan ultrasonography, tonografi, dan elektrofisiologi

G. DIAGNOSA BANDING

OD. Sikatriks Kornea (leukoma)

Sikatriks kornea dapat menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari kabur


sampai dengan kebutaan. Sikatriks kornea dapat berbentuk ringan (nebula), sedang
(makula) dan berat (leukoma). Gangguan kornea merupakan penyebab kebutaan
kedua setelah katarak. Sikatriks kornea lebih sering disebabkan oleh komplikasi dari
infeksi seperti keratitisataupun ulkus kornea yang tidak tertangani dengan baik.

Leukoma kornea merupakan jaringan parut dengan munculnnya


vaskularisasi kornea, timbul sebagai akhir dari keratitis ataupun ulkus kornea.
Tergantung lokasi dan dalamnya perkembangan stroma, menyebabkan leukoma
kornea secara jelas terlihat signifikan memerlukan bedah visual untuk rehabilitasi
visual.
21
Leukoma : Sikatrik lebih dalam terjadi, tampak dengan mata biasa. Leukoma
yaitu bercak putih seperti porselen yang tampak dari jarak jauh, yang merupakan
jaringan sikatrik setelah penyembuhan proses radang pada kornea yang lebih dalam.

Penyembuhan akibat ulkus kornea


Kerusakan kornea lebih dari 2/3 ketebalan stroma
Kornea tampak putih, dari jauh sudah kelihatan
Apabila ulkus kornea sampai tembus ke endotel, akan terjadi perforasi
dengan tanda iris prolaps, COA dangkal, TIO menurun. Sembuh menjadi
leukoma adheren (leukoma disertai sinekia anterior).

Gambar 11 a : mata dengan leukoma kornea dan b: mata dengan katarak

H. PENATALAKSANAAN
Bedah katarak
Ada beberapa tekhnik pada operasi katarak senilis, berikut ini dapat dilihat
keuntungan dan kerugin dari beberaoa tekhnik katarak berikut :
a. Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)
Tindakan pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa bersama kapsul.
Seluruh lensa dibekukan di dalam kapsulnya dengan cryophake dan
depindahkan dari mata melalui incisi korneal superior yang lebar. Sekarang
metode ini hanya dilakukan hanya pada keadaan lensa subluksatio dan dislokasi.
Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan tindakan
pembedahan yang sangat lama populer.
22
ICCE tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia kurang
dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular.
Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini astigmatisme,
glukoma,uveitis, endoftalmitis, dan perdarahan.

Gambar 12 : Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)

b. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)


Jaeques Daviel (1696-1762), insisi kornea bagian inferior diperluas dengan
gunting kemudian kornea diangkat dan insisi kapsul lensa, nucleus dikeluarkan
dengan ekspresi, korteks dikeluarkan dengan curetage dan dilakukan tanpa
anestesi.
Insisi luas pada perifer kornea atau sklera anterior (biasanya 10-12 mm),
bagian anterior kapsul dipotong dan diangkat, nukleus diekstraksi, dan korteks
lensa dibuang dari mata dengan irigasi dengan atau tanpa aspirasi, sehingga
menyisakan kapsul posterior. Insisi harus dijahit. Metode ini diindikasikan pada
pasien dengan katarak yang sangat keras atau pada keadaan dimana ada masalah
dengan fakoemulsifikasi. Penyulit yang dapat timbul adalah terdapat korteks
lensa yang dapat menyebabkan katarak sekunder.

23
Gambar 13 :Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)

c. Operasi Katarak Modern Ekstakapsular Ekstraksi


Untuk menghindari prolaps vitreus, retinal detachment, cystoid macular
edema, aphakia bullous keratopathy dan menyiapkan tempat untuk pemasangan
lensa.
Incisi pada limbus superior, kapsulotomi dengan metode can-opener
diameter 6 mm, nukleus dikeluarkan dengan ekspresi, sisa korteks diambil

24
dengan aspirasi dan irigasi. Pemasangan Lensa Intra Okuler (LIO) in the sulcus/ in
the bag

d. Phacoemulsification (Phaco)
Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui
insisi yang lebih kecil di kornea atau sklera anterior (2-5 mm) dengan
menggunakan getaran-getaran ultrasonik. Biasanya tidak dibutuhkan penjahitan.
Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital, traumatik, dan kebanyakan
katarak senilis. Teknik ini kurang efektif pada katarak senilis yang padat, dan
keuntungan insisi limbus yang kecil agak berkurang kalau akan dimasukkan
lensa intraokuler, meskipun sekarang lebih sering digunakan lensa intraokuler
fleksibel yang dapat dimasukkan melalui insisi kecil seperti itu. Metode ini
merupakan metode pilihan di Negara Barat.

Gambar 14 : Phacoemulsification

25
gambar 15 : Phacoemulsification

26
e. Small Incision Cataract Surgery (SICS)
Insisi dilakukan pada 27athog dengan ukuran insisi bervariasi dari 5-8 mm.
Namun tetap dikatakan SICS sejak design arsiteknya tanpa jahitan, Penutupan
luka insisi terjadi dengan sendirinya (self-sealing). Teknik operasi ini dapat
dilakukan pada stadium katarak immature, mature, dan hypermature. Teknik ini
juga telah dilakukan pada kasus 27athogen fakolitik dan dapat dikombinasikan
dengan operasi trabekulektomi.

I. PENYULIT OPERASI
1. Intra Operatif .(11)
Edema kornea, COA dangkal, 27athoge kapsul posterior, pendarahan atau efusi
suprakoroid, pendarahan suprakoroid ekspulsif, disrupsi vitreus, incacerata
kedalam luka serta retinal light toxicity.

2. Early post operatif .(11)


- COA dangkal karena kebocoran luka dan tidak seimbangnya antara cairan
yang keluar dan masuk, adanya pelepasan koroid, block pupil dan siliar,
edema stroma dan epitel, hipotonus, brown-McLean syndrome (edema
kornea perifer dengan daerah sentral yang bersih paling sering)
- Ruptur kapsul posterior, yang mengakibatkan 27athogen vitreus
- Prolaps iris, umumnya disebabkan karena penjahitan luka insisi yang tidak
adekuat yang dapat menimbulkan komplikasi seperti penyembuhan luka
yang tidak sempurna, astigmatismus, uveitis anterior kronik dan
endoftalmitis.
- Pendarahan, yang biasa terjadi bila iris robek saat melakukan insisi
3. Late post operatif .(11)
- Ablasio retina
- Endoftalmitis kronik yang timbul karena organissme dengan virulensi
rendah yang terperangkap dalam kantong kapsuler
- Post kapsul 27athogen, yang terjadi karena kapsul posterior lemah
Malformasi lensa intraokuler, jarang terjadi.
27
J. PROGNOSIS
Dengan tehnik bedah yang mutakhir, komplikasi atau penyulit menjadi
sangat jarang. Hasil pembedahan yang baik dapat mencapai 95%. Pada bedah
katarak resiko ini kecil dan jarang terjadi. Keberhasilan tanpa komplikasi pada
pembedahan dengan ECCE atau fakoemulsifikasi menjanjikan prognosis dalam
penglihatan dapat meningkat hingga 2 garis pada pemeriksaan dengan
menggunakan snellen chart.(11)

PTERIGIUM
A. DEFENISI
Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap
(wing). Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada
subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di
sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex menghadap ke sentral
kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus.13

B. PATOFISIOLOGI
Konjugtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet,debu,kekeringan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva
bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata
mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu
dan kekeringan,semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal,
kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior. Daerah
nasal konjungtiva juga 28athogen dapat sinar ultraviolet yang lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Patofisiologi pterigium di
tandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan
permukaan yang menutupi epithelium, histopatologi kolagen abnormal pada daerah
degenerasi elastotik menunjukan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin.
Jaringan ini juga 28ath dicat dengan cat untuk jaringan 28athoge akan tetapi bukan
jaringan elastic yang sebenarnya,oleh karena jaringan ini tidak 28ath di hancurkan
28
oleh elastase.14
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal pada
kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini mengaktifkan
faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis dan proliferasi sel.
Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang paling signifikan dalam
29athogenesis pterigium.14
Histologi. Pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H&E.
Berbentuk ulat dan degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jarigan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan bowman oleh
jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel di atas biasanya normal, tetapi acanthotic,
hiperkertotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukan area.15

C. GEJALA KLINIS
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:16
a. Tipe I: Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi
dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering
asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang
memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
b. Tipe II: Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren
setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat.
c. Tipe III: Lesi mengenai kornea > 4mm dan mengganggu aksis visual. Lesi
yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan
fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya
menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:16

29
a. Stadium 1 : Invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dan
tipis, pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbus
kornea.
b. Stadium 2 : Lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan
dan menginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.
c. Stadium 3 : Lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,
vaskularisasi yang jelas.
d. Stadium 4 : Pertumbuhan telah melewati pupil.

Stadium I Stadium II

Stadium IV
Stadium III
Gambar 16 : stadium pyterigium

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:16


a. Pterigium progresif : Tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium).
b. Pterigium regresif : Tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

30
4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus
diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:16
a. T1 (atrofi) : Pembuluh darah episkleral jelas terlihat.
b. T2 (intermediet) : Pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.
c. T3 (fleshy, opaque) : Pembuluh darah tidak jelas.
5. Vaskuler : Pterygium tebal, merah, progresif,ditemukan pada anak muda
(tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah)
Membranaceus : Pterigium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah, terdapat
pada orang tua.
D. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata
merah,gatal,mata sering berair,gangguan penglihatan. Selain itu juga ditanyakan
adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja diluar ruangan pada
daerah dengan pajanan sinar matahari yang tinggi, serta dapat pula ditanyakan
riwayat trauma sebelumnya.
Pemeriksaaan fisik
Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada
permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan
tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering
ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula
ditemukan pterygium pada daerah temporal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah
topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme
ireguler yang disebabkan oleh pterygium.

E. DIAGNOSIS BANDING
1. OD. Episkleritis Nudosa

31
Episkleritis adalah peradangan local jaringan ikat vaskuler penutup sclera yang
relatif sering dijumpai. Gejala episkleritis adanya kemerahan dan iritasi ringan
atau rasa tidak nyaman. (1)

Gambar 17 : episkleritis nudosa

2. OD. Pinguekula
Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada
orang tua, terutama yang matanya sering mendapat rangsangan sinar matahari,
debu, dan angina panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di
bagian nasal. Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa
konjungtiva. Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila
meradang atau terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat
pembuluh darah yang melebar. Pada pinguekula tidak perlu diberikan
pengobatan, akan tetapi bila terlihat adanya tanda peradangan dapat diberikan
obat-obat antiradang. (1,2)

Gambar 18. Pingekuela


3. OS. Pseudopterigium
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
32
Pseudopterigium sering ditemukan pada proses penyembuhan ulkus kornea,
sehingga konjungtiva menutupi kornea. Psedopterigium tidak harus pada celah
kelopak atau fissura palpebra, ini dapat diselipkan sonde dibawahnya. Pada
anamnesis psudopterigium selamanya adanya kelainan kornea sebelumnya
seperti ulkus kornea.(1,2)

Gambar19: Psudopterigium
F. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan, penanganan
pterigium asimptomatik dapat diobati dengan kacamata sinar UV-blockking.
Anjurkan pasien untuk menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa
mungkin.
2. Medikamentosa
Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan
obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan intraocular yang tinggi atau mengalami kelainan pada
kornea.
3. Bedah
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
1. Mengganggu visus
2. Mengganggu pergerakan bola mata
3. Berkembang progresif
4. Mendahului suatu operasi intraokuler

33
5. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata
4. Masalah kosmetik.
5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone
6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik

Teknik pembedahan
Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada
berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterygium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman
teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka
kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat
jaringan (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis)
6. Amniotic membrane transplantation, yaitu teknik gafting dengan
menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam dari
plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan matriks
34
stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini
digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan
untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam
prosedur.Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang
dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva.
Dengan angka kesuksesan yang rendah.Sorsby pada tahun 1946 dan 1947.
Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan
mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen
membrane basalis dari membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam
konjungtiva. Untuk alas an inilah teori terkini menyatakan bahwa membran
amniotik memperbesar support untuk limbal stem cells dan cornea transient
amplifying cells. Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan
diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat
menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangi
scar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan
untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal.

G. KOMPLIKASI
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut.
- Gangguan penglihatan/mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata
- Timbul jaringan parut kronik dari konjungtiva dan kornea
- Dry Eye Syndrome
2. Komplikasi post operatif sebagai berikut
- Infeksi
- Ulkus korne
- Graft Conjungtiva yang terbuka
- Diplopia
- Adanya jaringan parut dikorena
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
35
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekita 50-80 persen. Angka
ini bisa dikurangi 5-15 persen dengan penggunaan autograft dari konjungtiva atau
transplant membrane amnion pada saat eksisi.

H. PENCEGAHAN
Pada penduduk didaerah tropik yang bekerja diluar rumah seperti nelayan,
petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar UV dianjurkan memakai
kacamata pelindung sinar matahari.

I. PROGNOSIS
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis baik.
Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata aatu
bedah radiasi. Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik.
Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post
operatif pasien akan merasa tidak nyaman. Kebanyakan setelah 48 jam pasca
operasi pasien bisa memulai aktivitas. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi
dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting dengan konjungtiva/limbal
autograft atau transplantasi membran amnion pada pasien tertentu.

36
BAB IV
KESIMPULAN

Katarak adalah kekeruhan lensa yang mengarah kepada penurunan ketajaman visual
dan/atau cacat fungsional yang dirasakan oleh pasien1,2. Katarak memiliki derajat
kepadatan yang sangat bervariasi dan dapat disebabkan oleh berbagai hal, biasanya akibat
proses degenatif.
Lensa katarak memiliki ciri berupa edema lensa, perubahan protein, perubahan
proliferasi dan kerusakan kontinuitas serat serat lensa. Secara umum udema lensa bervariasi
sesuai stadium perkembangan katarak. Katarak imatur (insupien) hanya sedikit opak.
Katarak matur yang keruh total mengalami sedikit edema. Apabila kandungan air
maksimum dan kapsul meregang, katarak disebut mengalami intumesensi (membengkak).
Pada katarak hipermatur relative mengalami dehidrasi dan kapsul mengkerut akibat air
keluar dari lensa dan meninggalkan kekeruhan.
Meskipun katarak dapat diklasifikasikan dengan berbagai metode, ini Pedoman
mengklasifikasikan katarak senilis berdasarkan lokasi dalam tiga zona lensa: kapsul,
korteks, atau nucleus.
Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika gejala
katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan. Kadang kala cukup dengan
mengganti kacamata. Hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau kegiatan olah
raga yang dapat menghindari atau menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak.

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di Indonesia setelah katarak., Hal ini dikarenakan
oleh letak geografis Indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga banyak terpapar oleh
sinar ultraviolet yang merupakan salah satu factor penyebab dari pterigium.
Pterigium lebih banyak diderita laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih
banyak diluar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun karena factor degeneratif.
Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun (asimtomatik), bias
juga menunjukkan keluhan mata seperti iritasi, gatal, mata merah, sensasi benda asing,
hingga perubahan tajam penglihatan yang menurun tergantung dari stadiumnya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Voughan & abury. Oftalmologi umum, paul riordan eva, Jhon P. Whitcher edisi 17
Jakarta : EGC, 2009
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2012

3. Pascolini D, Mariotti SPM. Global Estimates of Visual Impairment. 2010. British


Journal Ophthalmology Online First published December 1, 2011 as
10.1136/bjophthalmol-2011-300539. Diunduh 25 desember 2015. URL
:http://www.who.int/blindness/VI_BJO_text.pdf

4. Suryasaputra.Wahyu. Referat Katarak Senilis.2010 . dikutip


https://www.scribd.com/doc/66664997/Referat-Katarak-Senilis-Wahyu-
Suryasaputra (akses tanggal 25 desember 2015)

5. Standring Susan. Grays Anatomy The Anatomical Basis of Clinical Practice 40th
Ed. Elsevier. 2008

6. Atlas Anatomi Netter

7. Sadler, T. W. (Thomas W). Medical Embriology Langman 8th ed. 2000

8. Materi Kuliah preklinik Special Sense Fakultas Kedokteran Universita


Muhammadiyah Makassar. 2011

9. Guyton C Arthur, Hall E John. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11 (Textbook
of Medical Physiology). EGC. Jakarta. 2007

10. Anonym https://www.scribd.com/doc/46888189/katarak-senilis


11. Said Alfin Khalilullah Patologi dan Penatalaksanaan pada Katarak senilis
https://alfinzone.files.wordpress.com/2010/12/patologi-pada-katarak1.pdf
12. Ramadhan.kurniawan https://www.academia.edu/5224388/9_BAB_2_FIX

13. Ardalan Aminlari, MD, Ravi Singh, MD, and David Liang, MD. Management of
Pterygium. Diundah pada tanggal 2 januari 2016 pada
http://www.aao.org/publications/eyenet/201011/pearls.cfm

38
14. Caldwell, M. Pterygium. (online). 2011 (cited 2015 Desember 25). Available from :
www.eyewiki.aao.org-pterygium.
15. Efstahios T. Pthogenic Mechanism and treatment options for Opthtalmic pterygium
: Trends and perspectives (review). International journal of Moleculer
Medicine.2009.Greece. P.439-447
16. Laszuarni Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat.. Updated : 2009. Available
from: URL: repository.usu.ac.id.Accessed 25 Desember, 2015.

39

Anda mungkin juga menyukai