Anda di halaman 1dari 27

PTERYGIUM DERAJAT 3 ODS

(CASE REPORT)

Preceptor:
Dr. Aryanti Ibrahim., Sp.M

Oleh:

Fakhmiyogi, S.Ked
1018011118

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ABDOEL MOLOEK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014

1
KATA PENGANTAR

Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena atas rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul "PTERYGIUMDERAJAT 3
ODS” tepat pada watunya. Adapun tujuan pembuatan laporan ini adalah sebagai salah satu syarat
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepanitriaan Klinik Bagian Mata Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Abdoel Moloek

Sayamengucapkan Terima kasih kepada dr. Aryanti Ibrahim.,Sp.M. yang telah meluangkan
waktunya dalam menyelesaikan laporan kasus ini.Saya menyadari banyak sekali kekurangan
dalam laporan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangan penulis harapkan.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk kami, tetapi juga bagi siapa pun yang
membacanya.

Bandar Lampung,11 Juli 2014.

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………………2

Daftar isi………………………………………………………………………………….3

BAB I…………………………………………………………………………………….4

BAB II …………………………………………………………………………………..5

BAB III………………………………………………………………………………….11

BAB IV………………………………………………………………………………….13

Daftar Pustaka…………………………………………………………………………...27

3
BAB I
PENDAHULUAN

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular pada konjungtiva bulbi yang bersifat
degeneratif dan invasif.Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.Biasanya pada bagian nasal
tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.

Pterigium banyak terdapat pada orang dewasa, tetapi dijumpai pula pada anak-anak, baik laki-
laki maupun perempuan. Di Amerika Serikat, pasien pterigium lebih kurang 2%, diatas umur 40
tahun dan meningkat pada kalangan yang sering terpapar sinar ultraviolet tinggi. Laki-laki dua
kali lebih banyak terkena dibandingkan perempuan.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien
Nama : Ny. R
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Kedaton
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal pemeriksaan : 7Juli 2014

2. Anamnesis
Keluhan utama : Kedua mata perih dan kabur sejak 4 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke RSAM dengan keluhan penglihatan kabur, nyeri, perih, terasa mengganjal dan
berair sejak 4 hari yang lalu. Pandangan seperti melihat terowongan disangkal, keluhan sakit
kepala disertai rasa sakit pada mata dan mual muntah juga disangkal oleh pasien. Mata merah (-),
gatal (-), kotoran mata (-), Dan keluhan ini mengganggu aktivitas sehari-harinya.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat penyakit serupa (+) pterygium yang sudah pernah dioperasi 3 tahun yang lalu, riwayat
diabetes mellitus (-), riwayat hipertensi (-), riwayat trauma pada mata (-), riwayat opname (-).
Riwayat Pengobatan:
Riwayat penggunaan xytrol (+).
Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:
Pasien mengakui ada keluarga yang mengalami penyakit serupa yaitu ibunya sendiri. Hal ini
merupakan faktor herediter timbulnya penyakit pada pasien.Pasien merupakan seorang ibu
rumah tangga yang tinggal di Kedaton
Riwayat alergi: Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), dan asma (-).

5
3. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
KU : Baik
Keadaan sakit : Sedang
Kesadaran/GCS : Compos mentis/E4V5M6
Keadaan gizi : Cukup

Pemeriksaan Tanda Vital


Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 79 kali/menit
Frekuensi Napas : 18 kali/menit
Suhu : 36,6oC

Status Lokalis
Pemeriksaan Mata kanan Mata kiri
Visus 6/6 6/6

Gerakan bola mata Baik ke segala arah Baik kesegala arah


Tidak terasa nyeri Tidak terasa nyeri
Palpebra superior
- Edema - -
- -
- Hiperemi
- -
- Bulu mata Normal Normal
Krusta (-) Krusta (-)
Arah pertumbuhan
- Margo palpebra

Palpebra inferior
- Edema - -
- -
- Hiperemi
N N

6
- Margo palpebra N N

- Bulu mata

Arah pertumbuhan
Konjungtiva palpebra Hiperemi (-) Hiperemi (-)
superior dan inferior Folikel (-) Folikel (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
Injeksi silier (-) Injeksi silier (-)
Pterigium (+) Pterigium (+)
Penebalan (+) Penebalan (+)
Kornea Jernih Jernih
Permukaan cembung Permukaan cembung
Infiltrasi (-) Infiltrasi (-)
Pterigium (+) Pterigium (+)
COA Normal Normal
Iris Warna coklat Warna coklat
Bentuk normal Bentuk normal

Pupil Bentuk Reguler Bentuk Reguler


Reflek langsung dan tak Reflek langsung dan tak
langsung (+) langsung (+)
Lensa Jernih Jernih
TIO (dengan palpasi) Kesan normal Kesan normal

7
Mata kanan

Mata kiri

8
1. Resume

Pasien wanita 46 tahun datang ke RSAM dengan mata perih dan kabur sejak 4 hari yang
lalu, pasien juga mengeluh di matanya seperti ada yang mengganjal. Riwayat penyakit dahulu
yang diderita pasien adalah pterygium yang sdah dioperasi 3 tahun yang lalu. Selain itu
ibunya pernah mengalami hal serupa.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan VODS : 6/6. Pada pemeriksaan konjungtiva bulbi dan
kornea didapatkan ada pembentukan fibrovaskular.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat didiagnosis bahwa pasien ini mengalami
pterygium rekurens atau pterygium residif pada derajat 3 bagian ODS. Tindakan yang harus
dilakukan adalah pembedahan, hal ini dikarenakan perygiumnya sudah mengganggu refraksi
pada mata pasien. Operasi yang dilakukan untuk mencegah kambuhnya pterygium adalah
autograf konjungtiva. Prognosis baik pada pasien.

2. Assessment
Diagnosis : pterygium residif derajat 3 ODS

Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia, derajat pertumbuhan


pterygiumdibagi menjadi :
 Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea.
 Derajat 2 : Jika sudah melewati limbus korrnea tetapi tidak lebih 2 mm melewati
kornea.
 Derajat 3 : Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil.
 Derajat 4 : Pertumbuhan pterygium melewati pupil sehinga mengganggu
penglihatan.

3. Planning
- Usulan pemeriksaan lanjutan (-)

9
- Tatalaksana
 Non farmakologik
1. Menghindari pajanan matahari, menghindari debu
2. Menggunakan kacamata atau topi jika keluar
 Farmakologik
1. Menggunakan steroid topikal
 Pembedahan (pterygium yang dapat mengganggu refraksi atau bisa dengan alasan
kosmetik)
1. Bare sclera:Melekatkankonjungtiva ke sklera di depan insersi tendon
rektus. Meninggalkan suatu daerahsklera yang terbuka.
2. Mcreynolds :Mencangkok dan menguburkan pterigium di dalam
konjungtiva.
3. Autograf konjungtiva : Tehnik pembedahan yang paling banyak
digunakan saat ini untuk mengatasi adanya kekambuhan pterygium.

4. Prognosis
Prognosis kosmetik dan visual setelah eksisi pterygium adalah baik. Pada pasien dengan
rekurensi pterigium dapat diterapi dengan pembedahan dengan eksisi ulang dan grafting
dengan autograph konjungtiva.

10
BAB III
ANALISIS KASUS

IDENTIFIKASI MASALAH
Daftar masalah yang terjadi pada pasien adalah :
1. Nyeri dan perih pada mata ?
2. Penglihatan kabur pada mata ?
3. Mata seperti ada yang mengganjal ?
4. Ditemukan jaringan pada bagian ODS ?

- Mata perih dan nyeri


Mata perih dan nyeri hal ini dapat terjadi karena iritasi pada permukaan mata akibat
terpapar oleh benda asing dari lingkungan seperti asap, debu, atau angin kencang. Pasien
juga mengeluhkan kadang matanya merah, sama halnya dengan terjadinya mata berair,
terjadi iritasi karena paparan benda asing dari lingkungan luar.

- Penglihatan kabur
Mata kabur dapat disebabkan oleh kelainan yang timbul mulai dari bagian mata anterior,
mata posterior, dan jaras visual neurologik. Jadi, harus dipertimbangkan terjadinya
pengeruhan atau gangguan pada media, perdarahan dalam vitreus, gangguan fungsi retina,
nervus optikus atau jaras visual intrakranial atau pembentukan fibrovaskular. Pada pasien
tidak ada ditemukan lensa yang keruh, TIO yg tinggi, perdarahan. Pada pasien hanya
ditemukan adanya pembentukan fibrovaskular. Disini dapat dilihat bahwa pasien ini
mengalami pterygium dimana penyakit ini bisa membuat penglihatan kabur apabila
pertumbuhan fibrovaskularnya sudah mencapai kornea (zona optik).

- Mata seperti ada yang mengganjal


Mata yang mengganjal bisa diakibatkan adanya peradangan di palpebra, adneksa,ataupun
segmen anterior. Pada pasien tidak ditemukan adanya edema pada palpebradan adneksa,
ataupun peradangan pada konjungtiva.Tidak ditemukan adanya secret yang berlebih.Pada

11
pasien ditemukan adanya penebalan konjungtiva bulbi hingga kornea dimana hal ini
dapat mengakibatkan ada rasa ganjalan pada mata saat berkedip.

- Ditemukan jaringan pada kedua mata


Pertumbuhan jaringan pada konjungtiva bulbi bisa diakibatkan oleh suatu penyakit akibat
pinguekula, pseudopterygium, dan pterygium.Pinguekula dapat disingkirkan karena
pinguekula tidak bisa tumbuh hingga kornea, sedangkan pada pasien ditemukan
pertumbuhan jaringan hingga kornea.Sedangkan pseudopterygium terjadi akibat adanya
tukak kornea.Pterygium merupakan diagnosis yang tepat pada pasien ini karena Tampak
penebalan pada konjungtiva bulbi dari arah nasal yang berbentuk segitiga dengan bagian
puncakpterygium hampir melewati pinggir pupil.Tampakan klinis ini merupakan
gambaran khas dari Pterygium, yang pertumbuhannya biasanya dari arah nasal (paling
sering) dan dari arah temporal dengan apex atau puncaknya tumbuh ke arah sentral (ke
arah kornea.

12
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A. PTERYGIUM

I. DEFENISI
Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif.Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal
ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea.Pterygium berbentuk segitiga
dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan
bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah.
Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau
sayap.Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang
menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke
kornea dengan puncak segitiga di kornea.

Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan
kering.Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <370 lintang utara dan
selatan dari ekuator.Prevalensi tinggi sampai 22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada
daerah di atas lintang 400.

13
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi
geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk
daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sebuah
hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan
ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang
bawah.Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium.Prevalensi pterygium
meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan.Insiden tinggi pada umur
antara 20-49 tahun.Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan
umur tua.Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan
merokok, pendidikan rendah dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang


membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan
anterior sklera (konjungtiva bulbaris).Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.
Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak
mata.Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas
maupun bawah.Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan
inferior.Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8
mm dari limbus.Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus
konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan
inferior.Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan forniks, tetapi dapat ditemukan
karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal.Pada bagian lateral,
forniks bersifat lebih dalam hingga 14 mm dari limbus.

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:


1. Konjungtiva Palpebra
Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak
mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva.Dari titik ini,

14
konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata.Konjungtiva palpebra dapat
dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital.Konjungtiva marginal dimulai
pada mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper.Punktum bermuara pada sisi
medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara
konjungtiva dengan sistem lakrimal.Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan
bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus.Zona ini bersifat
sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari
ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan
horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka.Secara fungsional,
konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui.
2. Konjungtiva Bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.Konjungtiva bulbi
dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera
dibawahnya dapat divisualisasikan.Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera
melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala
arah.Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh
kapsula tenon.Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula
tenon dan sklera.
3. Konjungtiva Forniks
Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.Lain
halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya
konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia
muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus.Karena perlekatannya bersifat
longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-
otot tersebut berkontraksi.

15
Gambar 2. Konjugtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis.Kedua


arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang
umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang
sangat banyak.Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan
profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus.Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu
nervus oftalmikus.Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.
Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma.Lapisan epitel
konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan
basal.Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous
bertingkat.Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi
mukus. Mukus yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.
Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat
limbus dapat mengandung pigmen.Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan
adenoid dan lapisan fibrosa.Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.

16
Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini
menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan
mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung
yang melekat pada lempeng tarsus.Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada
radang konjungtiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.Kelenjar lakrimal aksesorius
(kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di
dalam stroma.Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks
bawah.Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus atas.

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya matahari, dan
udara yang panas.Etiologinya tidak diketahui dengan jelas dan diduga merupakan suatu
neoplasma, radang dan degenerasi.
Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan
bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B
merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-
sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian
sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan
pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis.
Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya
jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi.Lapisan epitel dapat saja
normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia.
Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan
lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium.Orang yang banyak
menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering
mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan
aktivitas di dalam ruangan.Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah
petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun.Kebanyakan timbulnya
pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya keturunan (faktor
herediter).

17
Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal.Penyebab dominannya
pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan
disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut.Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri dapat bekerja seperti lensa menyamping
(side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut.
Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai
tumor.Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya
reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang
merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini
merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol
daripada kelainan degeneratif.
1. Paparan sinar matahari (UV)
Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam
perkembangan terjadinya pterigium.Hal ini menjelaskan mengapa insidennya
sangat tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada
orang –orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan.
2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)
Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah
alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B
merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa
apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya
peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.Selanjutnya perubahan
patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan
fibrovaskuler subepitelial.Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman
akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :


1. Usia
Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa
tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada
usia dekade dua dan tiga.

18
2. Pekerjaan
Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV.
3. Tempat tinggal
Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya.Distribusi ini
meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir
menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih
tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya
pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar
dibandingkan daerah yang lebih selatan.
4. Jenis kelamin
Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.
5. Herediter
Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
6. Infeksi
Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium.
7. Faktor risiko lainnya
Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok
pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium.

V. PATOFISIOLOGI
Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet, kekeringan,
inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B yang bersifat
mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di
basal limbus.
Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor beta (TGF-β)
dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang berperanan penting dalam
peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel angiogenesis.
Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi kolagen elastoid
dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial.Pada kornea nampak kerusakan pada
membrane bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali

19
disertai dengan adanya inflamasi ringan.Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-
kadang terjadi dysplasia.

VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM


Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium,
progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih
cepat.
- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren
tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterigium sering nampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik.
Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan
mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat
berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan
biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:


o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.
o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai
pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

20
o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm).
o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.

Gambar 2.Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:


- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea
di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk
membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:
- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat
- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.
Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal dan temporal
pada satu mata pasien.

21
VII. GAMBARAN KLINIK
Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama
sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak
merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik,
pada pterigium lanjut stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga
tajam penglihatan menurun.

collum

corpus
apeks

Pterigium memiliki tiga bagian :


i. Bagian kepala atau cap (apex) , biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada
kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan
menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron
line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering.
ii. Bagain whitish(collum), Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah
lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.
iii. Bagian badan atau ekor (corpus), merupakan bagian yang mobile (dapat
bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan
merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling
penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan.

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah
dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan

22
penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan adanya diplopia, biasanya penderita
mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya
keganasan atau alasan kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada
yang mengganjal.
Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjuntiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada
juga pterigium yang avaskuler dan flat.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi
kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmtisme ireguler yang
disebabkan oleh pterigium.

IX. PENATALAKSANAAN
1. Konservatif
Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif
seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun paparan sinar
ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata
buatan/topical lubricating drops.
2. Tindakan operatif
Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:
Menurut Ziegler :
a. Mengganggu visus
b. Mengganggu pergerakan bola mata
c. Berkembang progresif
d. Mendahului suatu operasi intraokuler
e. Kosmetik
Menurut Guilermo Pico :
1. Progresif, resiko rekurensi > luas
2. Mengganggu visus
3. Mengganggu pergerakan bola mata

23
4. Masalah kosmetik
5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone
6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat
7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik.
Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi.Ada
berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan pterigium di
antaranya adalah:
1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan
permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi
pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman
teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk
memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi
untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan
pada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari
konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian
dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya
Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).

Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

24
X. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.Pinguekula
merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada orangtua, terutama yang
matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari, debu, dan angin panas.Yang
membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan
hyaline dan jaringan elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang.(7)
Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat.
Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea, sehingga
konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan sebagai dampak
sekunder penyakit peradangan pada kornea.Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian
apapun pada kornea dan biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan
secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9.

Gambar 8.Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :
- Distorsi dan penglihatan berkurang
- Mata merah
- Iritasi
- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat menyebabkan
terjadinya diplopia.

25
Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:
- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment.
- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia atau melting
pada sclera dan kornea.
- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren pterygium post
operasi. (3)

XII. PROGNOSIS
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan
eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.p.2-7,117.
2. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter Spesialis Mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2009.
3. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal 119.
4. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08]. Available from :
http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
5. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In : External Disease and Cornea.
San Fransisco : American Academy of Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.
6. Riordan, Paul dkk. 2010. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, Jakarta; EGC
7. Perdami.2006. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum & Mahasiswa Kedokteran,Perdami
8. Iljas, S. 2007. Ilmu Penyakit Mata, Edisi ketiga. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

27

Anda mungkin juga menyukai