OLEH:
Ditha Arisqa Nasir, S.Ked
K1B1 21 024
Pembimbing:
dr. Tety Yunarti Sudiro, Sp.PD, FINASIM
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Fakultas : Kedokteran
Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Pembimbing
A. PENDAHULUAN
B. DEFINISI
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi
saluran napas kronis. Didapatkan riwayat gejala respirasi antara lain mengi
(wheeze, sesak napas, dada terasa berat dan batuk yang bervariasi terhadap
waktu dan intensitas, disertai hambatan aliran udara ekspirasi yang
bervariasi.3
Global Initiatif for Asthma (GINA) juga mendefinisikan asma sebagai
'penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas
kronis'. Seiring waktu, peradangan kronis ini menyebabkan perubahan
struktural pada morfologi saluran napas, yang disebut remodeling. Hal ini
ditentukan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dan
batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitas, bersama dengan
variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi.9
C. FENOTIPE ASMA
Banyak fenotipe klinis asma telah diidentifikasi. Beberapa yang paling
umum adalah:
- Asma alergi : adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang
sering dimulai pada masa kanak-kanak dan dikaitkan dengan riwayat
penyakit alergi di masa lalu dan/atau keluarga seperti seperti eksim,
rinitis alergi, atau alergi makanan atau obat. Pemeriksaan sputum yang
diinduksi dari pasien ini sebelum pengobatan sering mengungkapkan
peradangan saluran napas eosinofilik. Pasien dengan fenotipe asma ini
biasanya merespon dengan baik terhadap pengobatan kortikosteroid
inhalasi (ICS).
- Asma non-alergi : Beberapa pasien memiliki asma yang tidak
berhubungan dengan alergi. Profil seluler sputum pasien ini mungkin
neutrofilik, eosinofilik atau hanya mengandung sedikit sel inflamasi
(paucigranulocytic). Pasien dengan asma non-alergi sering menunjukkan
respon jangka pendek yang kurang terhadap ICS.
- Asma onset dewasa (onset lambat) : Beberapa orang dewasa, terutama
wanita, datang dengan asma untuk pertama kalinya dalam kehidupan
dewasa. Pasien-pasien ini cenderung tidak alergi, dan seringkali
membutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap
pengobatan kortikosteroid.
- Asma akibat kerja : yaitu asma karena paparan di tempat kerja harus
hadir dengan asma onset dewasa.
- Asma dengan keterbatasan aliran udara persisten : beberapa pasien
dengan asma yang berlangsung lama mengalami keterbatasan aliran
udara yang persisten atau reversibel sepenuhnya. Hal ini diduga karena
remodeling dinding saluran napas.
- Asma dengan obesitas: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki
gejala pernapasan yang menonjol dan sedikit peradangan saluran napas
eosinofilik. Ada data terbatas tentang riwayat alami asma setelah
diagnosis, tetapi satu studi longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 16%
orang dewasa dengan asma yang baru didiagnosis dapat mengalami
remisi klinis (tidak ada gejala atau pengobatan asma selama minimal 1
tahun) dalam beberapa tahun.9
D. EPIDEMIOLOGI
Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada
anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju.Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan7,2
% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat
bervariasi pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di
dalam suatu negara. Prevalensi asma bronkial di berbagai negara sulit
dibandingkan, tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena
adanya perbedaan kritertia diagnosis atau karena benar-benar terdapat
perbedaan. Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya
terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data
laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan
bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta
orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga seratus delapan
puluh ribu orang per tahun.1
Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang
serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir
terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya.1
Tingkat diagnosis asma telah meningkat selama dua dekade terakhir dan
telah mencapai puncaknya selama beberapa tahun terakhir. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh penetapan kriteria diagnostik yang lebih
baik dan pengenalan kondisi yang lebih baik. Sementara jumlah asma
meningkat, literatur baru-baru ini menempatkan prevalensi di seluruh dunia
sebesar 4,3% dan di AS mencapai 8,4%.4
Prevalensi ashma di Indonesia menurut estimasi publikasi Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013 adalah sebesar 4,5%. Prevalensi asthma paling tinggi
dijumpai di provinsi Sulawesi Tengah (7,8%), Nusa Tenggara Timur (7,3%),
DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Prevalensi asthma
sedikit lebih tinggi pada perempuan (4,6%) dibandingkan dengan laki-laki
(4,4%). 5
E. ETIOLOGI
Etiologi asma masih belum diketahui dan hampir pasti multifaktorial.
Banyak "pemicu" untuk serangan asma yang sudah diketahui (misalnya,
alergen, infeksi virus pernapasan, asap, udara dingin, olahraga) tetapi
mekanisme yang mendasari mengapa beberapa individu yang terpapar
mengembangkan asma sementara sebagian besar tidak tetap sulit dipahami.6
Studi genetik telah gagal untuk menemukan "gen asma" yang unik dan
malah mengarah pada faktor genetik dan lingkungan multifaktorial yang
kompleks. Paradigma yang populer saat ini, "Hipotesis Kebersihan,"
menyatakan bahwa peningkatan insiden alergi (hayfever dan eksim) dan asma
yang dicatat dalam beberapa dekade terakhir, dikaitkan dengan lebih sedikit
paparan terhadap infeksi masa kanak-kanak dan produk bakteri (misalnya,
endotoksin). Bukti yang muncul mendukung Hipotesis Kebersihan untuk
hayfever dan eksim tetapi tidak untuk asma yang tampaknya terkait dengan
infeksi sepanjang siklus hidup.6
Hipereaktivitas Saluran Napas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan
(debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada
asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga
sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat
sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat
meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang yaitu.7
Inflamasi saluran napas.
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan
erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa
intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN
dan gejala asma.7
Kerusakan epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator
yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus
akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.7
Mekanisme neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf parasimpatis.7
Gangguan intrinsik.
Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga
berperan pada HSN.7
Obstruksi saluran napas
Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan
pada HSN.7
F. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun
pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan
selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant
asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan
spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus
dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan
alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok,
asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain
halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila
pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flov meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.7
Gejala klinis asma terdiri dari yaitu batuk, trias sesak nafas, dan mengi.
Asma juga dapat muncul rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai
dengan pilek atau bersin. Gejala Klinis ini memiliki banyak variasi menurut
waktu gejala timbul pada musiman maupun perenial, berat, intensitas, dan
serta variasinya diurnal. Adanya timbul gejala sangat dipengaruhi oleh sebuah
faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran
nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik lainnya. Faktor sosial pun
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien terkena asma, seperti
karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau
sekolah, respiratorik selama kontraksi otot polos.8
Asma ditandai dengan gejala yang bervariasi seperti mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan/atau batuk, dan dengan keterbatasan aliran udara
ekspirasi yang bervariasi. Baik gejala maupun keterbatasan aliran udara
secara karakteristik bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya. Variasi
ini sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olahraga, paparan alergen atau
iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi virus pernapasan. Gejala dan
keterbatasan aliran udara dapat hilang secara spontan atau sebagai respons
terhadap pengobatan, dan terkadang tidak ada selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Di sisi lain, pasien dapat mengalami serangan asma episodik
(eksaserbasi) yang dapat mengancam jiwa dan membawa beban yang
signifikan bagi pasien.9
G. KlASIFIKASI
Klasifikasi asma Klasifikasi menurut derajat asma atau asma tidak
terkontrol. Asma dapat ditentukan dengam banyaknya faktor, seperti
gambaran klinik sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru serta obat yang
diberi sebagai mengontrol asma seperti jenis obat, kombinasi obat dan
frekuensi pemakaian obat. Pemeriksaan klinis yang berupa uji faal paru bisa
menentukan adanya klasifikasi berat - ringannya asma dan merupakan hal
terpenting dalam penatalaksanaan asma.8
H. DIAGNOSIS
Diagnosis asma dapat di tegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesanya seperti adanya keluhan utama,
riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan
gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Berbagai macam gejala
yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada yang
terasa memberat, semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan
intensitas yang berbagai macam, dapat dipicu oleh infeksi virus, olahraga,
paparan alergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap.2
Keluhan pasien sangatlah bervariasi, dengan cara pemeriksaan fisik
auskultasi, temuan abnormal yang selalu dijumpai adalah mengi. Mengi
(wheezing) merupakan napas berbunyi seperti suling yang biasanya ditandai
dengan adanya penyempitan pada saluran napas, baik secara fisiologis atau
dari dahak maupun secara anatomic yaitu dari konstriksi. Dengan begitu,
mengi terkadang sulit dijumpai atau hanya bias dijumpai apabila ekspirasi
paksa saat eksaserbasi asma yang berat, dan ini biasanya disebut Silent Chest.
Menegakkan diagnosis dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru ini digunakan sebagai
parameter objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan Spirometri dan
peak expiratory flow (PEF). Pemeriksaan Spriometri dan PEF sangat
membutuhkan kemampuan dan kerjasama penderita bersamaan dengan
pemahaman yang jelas oleh intruksi pemeriksa. Spirometer merupakan suatu
alat pengukur faal paru terpenting sebagai indicator menegakkan diagnose
agar dapat menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Peak Flow Meter
(PFM) adalah suatu alat sederhana untuk monitoring dan juga diagnostik,
tetapi spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun PEF dapat menegakkan
diagnosa asma jika pasien tidak biasa melakukan pemeriksaan FEV1.
Monitor PEF digunakan sebagai self-monitoring agar dapat melihat adanya
respon pengobatan. Jika telah menggunakan ICS, biasanya pada jangka
pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan.8
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya
mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau
sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien
maupun keluarganya seperti rinitis alergi, atau dermatitis atopik membantu
diagnosis asma.8
Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim
tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.
Dengan mengetahui faktor pencetus kemudian menghindarinya, maka
diharapkan gejala asma dapat dicegah.Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan
IgE, tanda inflamasi, dan uji Hiperaktivitas bronkus bisa membantu untuk
menegakkan diagnosa penyakit asma. Foto thorax digunakan untuk
menghilangkan penyakit yang bukan karena asma. Skin prick test digunakan
untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik pada kulit karena
untuk menetapkan anamnesis dan mencari apa faktor pencetusnya. Analisis
sputum diinduksi untuk menandakan adanya hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan adanya inflamasi
serta derajat berat asma. Uji hiperreaktivitas bronkus bias dilaksanakan
dengan cara tes provokasi, yaitu menggunakan nebulasi droplet ekstrak
alergen spesifik.8
Menegakkan diagnosis asma, didasarkan pada pengidentifikasian kedua
pola karakteristik gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas (dispnea),
sesak dada atau batuk, dan variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi. Pola
gejala penting, karena gejala pernapasan mungkin disebabkan oleh penyakit
akut atau kondisi kronis selain asma, Jika memungkinkan, bukti yang
mendukung diagnosis asma harus didokumentasikan ketika pasien pertama
kali datang, karena fitur yang merupakan karakteristik asma dapat membaik
secara spontan atau dengan pengobatan; akibatnya, seringkali lebih sulit
untuk mengkonfirmasi diagnosis asma setelah pasien telah dimulai pada
perawatan pengontrol.8
Pola gejala pernapasan yang menjadi ciri asma. Ciri-ciri berikut ini khas
asma dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan pasien menderita asma:
Gejala pernapasan berupa mengi, sesak napas, batuk dan/atau sesak dada:
1. Pasien (terutama orang dewasa) mengalami lebih dari satu jenis gejala ini.
2. Gejala sering memburuk pada malam hari atau dini hari.
3. Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya.
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca, atau iritan seperti asap knalpot mobil, asap atau bau
yang menyengat.
Fitur berikut mengurangi kemungkinan gejala pernapasan karena asma:
1. Batuk terisolasi tanpa gejala pernapasan lainnya
2. Produksi sputum kronis
3. Sesak napas yang berhubungan dengan pusing, pusing atau kesemutan
perifer (parestesia)
4. Sakit dada
5. Dispnea akibat latihan dengan inspirasi bising.9
Alur diagnostic awal asma
Mengapa penting untuk memastikan diagnosis asma. Hal ini penting untuk
menghindari pengobatan yang tidak perlu atau pengobatan yang berlebihan,
dan untuk menghindari hilangnya diagnosis penting lainnya. Di orang
dewasa dengan diagnosis asma dalam 5 tahun terakhir, sepertiga tidak dapat
dipastikan menderita asma setelah diulang pengujian selama 12 bulan dan
penarikan bertahap pengobatan pengontrol. Diagnosis asma lebih kecil
kemungkinannya dikonfirmasi pada pasien yang tidak memiliki tes fungsi
paru yang dilakukan pada saat diagnosis awal. Beberapa pasien (2%)
memiliki kondisi kardiorespirasi serius yang salah didiagnosis sebagai asma.9
I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Non Farmakologi
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai dan
yang normal termasuk olah raga, menjaga fungsi paru senormal mungkin,
2. Terapi Farmakologis
Untuk keamanan, GINA tidak lagi merekomendasikan pengobatan
asma pada orang dewasa dan remaja dengan SABA saja. Semua orang
dewasa dan remaja dengan asma harus menerima perawatan pengontrol
yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan
untuk mengendalikan gejala. Pengontrol yang mengandung ICS dapat
diberikan dengan perawatan sehari-hari secara teratur atau, pada asma
ringan, dengan ICS-formoterol yang diperlukan diambil kapan pun
diperlukan untuk menghilangkan gejala.8
Tujuan dari penatalaksaan asma adalah untuk mencapai kontrol gejala
yang baik, dan untuk meminimalkan risiko kematian terkait asma di masa
depan, eksaserbasi, keterbatasan aliran udara persisten dan efek samping
dari pengobatan. Tujuan pasien sendiri mengenai asma mereka dan
perawatannya juga harus diidentifikasi (GINA,2020).
Penatalaksanaan Farmakologis yang sesuai (Appropriate)
J. KOMPLIKASI
Pneumotoraks