Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN Januari 2022

UNIVERSITAS HALU OLEO

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA ASMA BRONKIAL

OLEH:
Ditha Arisqa Nasir, S.Ked
K1B1 21 024

Pembimbing:
dr. Tety Yunarti Sudiro, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Ditha Arisqa Nasir

NIM : K1B1 21 024

Judul : Diagnosis Tatalaksana Asma Bronkial

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas : Kedokteran

Telah menyelesaikan Referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Januari 2022

Pembimbing

dr. Tety Yunarti Sudiro, Sp.PD, FINASIM


Diangnosis Tatalaksana Asma Bronkial
Ditha Arisqa Nasir, Tety Yuniarti Sudiro

A. PENDAHULUAN

Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada


anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan7,2
% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).1
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit
di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari
Global Initiatif for Asthma (GINA) dinyatakan bahwa perkiraan jumlah
penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah
kematian yang terus meningkat hingga seratus delapan puluh ribu orang per
tahun, Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan 7,2%, dan
Indonesia sebesar 3,32%.1
Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang
serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir
terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya.1
Prevalens asma berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain.
Berbagai faktor mempengaruhi besarnya prevalens asma. Ada kecenderungan
peningkatan prevalens asma di berbagai negara.
Inisiatif Global untuk Asma (GINA) juga mendefinisikan asma sebagai
penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas
kronis. Seiring waktu, peradangan kronis ini menyebabkan perubahan
struktural pada morfologi saluran napas, yang disebut remodelling. Gambaran
utama lainnya termasuk hipersekresi mukus dan hiperresponsif saluran napas,
yang didefinisikan sebagai peningkatan sensitivitas farmakologis dan
reaktivitas otot polos saluran napas terhadap rangsangan bronkokonstriktor.
Hiperresponsivitas jalan napas dikaitkan dengan variabel obstruksi aliran
udara dan tingkat keparahan penyakit.2
Tujuan penatalaksanaan asma adalah menjadikan asma terkontrol,
sehingga kualitas hidup pasien meningkat, Asma adalah penyakit kronik
saluran napas yang dapat terjadi pada berbagai umur. Penyakit ini mempunyai
dampak sosial pada pasien, yaitu menyebabkan kehilangan hari sekolah atau
kerja, mengganggu aktivitas, menurunkan produktivitas dan meningkatkan
biaya kesehatan. Berbagai cara dan pengobatan diberikan pada pasien asma,
baik cara atau pengobatan yang bersifat tradisional yang tidak diketahui
mekanisme kerjanya maupun pengobatan yang didasarkan pada hasil
Kesepakatan penatalaksanaan asma dengan benar yang dibuat oleh
Global Initiative for Asthma (GINA), National Institute of Health, National
Heart, Lung and Blood Institute (NILBI), World Health Organization (WHO)
dan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPDI), bertujuan memberikan
petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan
penatalaksanaan asma yang optimal. Sehingga dapat menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat asma. Penelitian mengenai penatalaksannan
penyakit termasuk asma terus berkembang dan hasil penelitian tersebut dapat
digunakan dalam pentalaksanaan yang memiliki dasar evidence based
medicine.3

B. DEFINISI
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi
saluran napas kronis. Didapatkan riwayat gejala respirasi antara lain mengi
(wheeze, sesak napas, dada terasa berat dan batuk yang bervariasi terhadap
waktu dan intensitas, disertai hambatan aliran udara ekspirasi yang
bervariasi.3
Global Initiatif for Asthma (GINA) juga mendefinisikan asma sebagai
'penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan saluran napas
kronis'. Seiring waktu, peradangan kronis ini menyebabkan perubahan
struktural pada morfologi saluran napas, yang disebut remodeling. Hal ini
ditentukan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dan
batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitas, bersama dengan
variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi.9

C. FENOTIPE ASMA
Banyak fenotipe klinis asma telah diidentifikasi. Beberapa yang paling
umum adalah:
- Asma alergi : adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali, yang
sering dimulai pada masa kanak-kanak dan dikaitkan dengan riwayat
penyakit alergi di masa lalu dan/atau keluarga seperti seperti eksim,
rinitis alergi, atau alergi makanan atau obat. Pemeriksaan sputum yang
diinduksi dari pasien ini sebelum pengobatan sering mengungkapkan
peradangan saluran napas eosinofilik. Pasien dengan fenotipe asma ini
biasanya merespon dengan baik terhadap pengobatan kortikosteroid
inhalasi (ICS).
- Asma non-alergi : Beberapa pasien memiliki asma yang tidak
berhubungan dengan alergi. Profil seluler sputum pasien ini mungkin
neutrofilik, eosinofilik atau hanya mengandung sedikit sel inflamasi
(paucigranulocytic). Pasien dengan asma non-alergi sering menunjukkan
respon jangka pendek yang kurang terhadap ICS.
- Asma onset dewasa (onset lambat) : Beberapa orang dewasa, terutama
wanita, datang dengan asma untuk pertama kalinya dalam kehidupan
dewasa. Pasien-pasien ini cenderung tidak alergi, dan seringkali
membutuhkan dosis ICS yang lebih tinggi atau relatif refrakter terhadap
pengobatan kortikosteroid.
- Asma akibat kerja : yaitu asma karena paparan di tempat kerja harus
hadir dengan asma onset dewasa.
- Asma dengan keterbatasan aliran udara persisten : beberapa pasien
dengan asma yang berlangsung lama mengalami keterbatasan aliran
udara yang persisten atau reversibel sepenuhnya. Hal ini diduga karena
remodeling dinding saluran napas.
- Asma dengan obesitas: beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki
gejala pernapasan yang menonjol dan sedikit peradangan saluran napas
eosinofilik. Ada data terbatas tentang riwayat alami asma setelah
diagnosis, tetapi satu studi longitudinal menunjukkan bahwa sekitar 16%
orang dewasa dengan asma yang baru didiagnosis dapat mengalami
remisi klinis (tidak ada gejala atau pengobatan asma selama minimal 1
tahun) dalam beberapa tahun.9

D. EPIDEMIOLOGI
Asma bronkial merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada
anak maupun dewasa di negara berkembang maupun negara maju.Sejak dua
dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma bronkial meningkat pada
anak maupun dewasa. Prevalensi total asma bronkial di dunia diperkirakan7,2
% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat
bervariasi pada tiap negara dan bahkan perbedaan juga didapat antar daerah di
dalam suatu negara. Prevalensi asma bronkial di berbagai negara sulit
dibandingkan, tidak jelas apakah perbedaan angka tersebut timbul karena
adanya perbedaan kritertia diagnosis atau karena benar-benar terdapat
perbedaan. Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya
terjangkit di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data
laporan dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan
bahwa perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta
orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga seratus delapan
puluh ribu orang per tahun.1
Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data yang
serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam 30 tahun terakhir
terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma pernah
dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat
setiap tahunnya.1
Tingkat diagnosis asma telah meningkat selama dua dekade terakhir dan
telah mencapai puncaknya selama beberapa tahun terakhir. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan oleh penetapan kriteria diagnostik yang lebih
baik dan pengenalan kondisi yang lebih baik. Sementara jumlah asma
meningkat, literatur baru-baru ini menempatkan prevalensi di seluruh dunia
sebesar 4,3% dan di AS mencapai 8,4%.4
Prevalensi ashma di Indonesia menurut estimasi publikasi Riset Kesehatan
Dasar tahun 2013 adalah sebesar 4,5%. Prevalensi asthma paling tinggi
dijumpai di provinsi Sulawesi Tengah (7,8%), Nusa Tenggara Timur (7,3%),
DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%). Prevalensi asthma
sedikit lebih tinggi pada perempuan (4,6%) dibandingkan dengan laki-laki
(4,4%). 5

E. ETIOLOGI
Etiologi asma masih belum diketahui dan hampir pasti multifaktorial.
Banyak "pemicu" untuk serangan asma yang sudah diketahui (misalnya,
alergen, infeksi virus pernapasan, asap, udara dingin, olahraga) tetapi
mekanisme yang mendasari mengapa beberapa individu yang terpapar
mengembangkan asma sementara sebagian besar tidak tetap sulit dipahami.6
Studi genetik telah gagal untuk menemukan "gen asma" yang unik dan
malah mengarah pada faktor genetik dan lingkungan multifaktorial yang
kompleks. Paradigma yang populer saat ini, "Hipotesis Kebersihan,"
menyatakan bahwa peningkatan insiden alergi (hayfever dan eksim) dan asma
yang dicatat dalam beberapa dekade terakhir, dikaitkan dengan lebih sedikit
paparan terhadap infeksi masa kanak-kanak dan produk bakteri (misalnya,
endotoksin). Bukti yang muncul mendukung Hipotesis Kebersihan untuk
hayfever dan eksim tetapi tidak untuk asma yang tampaknya terkait dengan
infeksi sepanjang siklus hidup.6
Hipereaktivitas Saluran Napas (HSN)
Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan
(debu), zat kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada
asma alergik, selain peka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga
sangat peka terhadap alergen yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat
sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat. Berbagai keadaan dapat
meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang yaitu.7
Inflamasi saluran napas.
Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan terbukti berkaitan
erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta bahwa
intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN
dan gejala asma.7
Kerusakan epitel
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini
akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta
mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah
terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator
yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus
akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi.7
Mekanisme neurologis
Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf parasimpatis.7

Gangguan intrinsik.
Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga
berperan pada HSN.7
Obstruksi saluran napas
Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga ikut berperan
pada HSN.7

F. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan
sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di
dada, dan pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun
pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan
selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant
asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan
spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus
dengan metakolin. Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan
alergen dengan gejala asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga
memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok,
asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan cuaca. Lain
halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya
tetap memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila
pasien dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya.
Pemantauan dengan alat peak flov meter atau uji provokasi dengan bahan
tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.7
Gejala klinis asma terdiri dari yaitu batuk, trias sesak nafas, dan mengi.
Asma juga dapat muncul rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan
toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai
dengan pilek atau bersin. Gejala Klinis ini memiliki banyak variasi menurut
waktu gejala timbul pada musiman maupun perenial, berat, intensitas, dan
serta variasinya diurnal. Adanya timbul gejala sangat dipengaruhi oleh sebuah
faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran
nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik lainnya. Faktor sosial pun
mempengaruhi munculnya serangan pada pasien terkena asma, seperti
karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau
sekolah, respiratorik selama kontraksi otot polos.8
Asma ditandai dengan gejala yang bervariasi seperti mengi, sesak napas,
dada terasa berat dan/atau batuk, dan dengan keterbatasan aliran udara
ekspirasi yang bervariasi. Baik gejala maupun keterbatasan aliran udara
secara karakteristik bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya. Variasi
ini sering dipicu oleh faktor-faktor seperti olahraga, paparan alergen atau
iritasi, perubahan cuaca, atau infeksi virus pernapasan. Gejala dan
keterbatasan aliran udara dapat hilang secara spontan atau sebagai respons
terhadap pengobatan, dan terkadang tidak ada selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan. Di sisi lain, pasien dapat mengalami serangan asma episodik
(eksaserbasi) yang dapat mengancam jiwa dan membawa beban yang
signifikan bagi pasien.9

G. KlASIFIKASI
Klasifikasi asma Klasifikasi menurut derajat asma atau asma tidak
terkontrol. Asma dapat ditentukan dengam banyaknya faktor, seperti
gambaran klinik sebelum pengobatan yaitu gejala, eksaserbasi, gejala malam
hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru serta obat yang
diberi sebagai mengontrol asma seperti jenis obat, kombinasi obat dan
frekuensi pemakaian obat. Pemeriksaan klinis yang berupa uji faal paru bisa
menentukan adanya klasifikasi berat - ringannya asma dan merupakan hal
terpenting dalam penatalaksanaan asma.8
H. DIAGNOSIS
Diagnosis asma dapat di tegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesanya seperti adanya keluhan utama,
riwayat penyakit keluarga, faktor yang memperberat atau memperingan
gejala, bagaimana dan kapan terjadinya keluhan. Berbagai macam gejala
yaitu lebih dari satu gejala berupa mengi, sesak napas, batuk, dada yang
terasa memberat, semakin buruk saat malam atau pagi hari dengan waktu dan
intensitas yang berbagai macam, dapat dipicu oleh infeksi virus, olahraga,
paparan alergen, perubahan cuaca, serta bahan iritan seperti asap.2
Keluhan pasien sangatlah bervariasi, dengan cara pemeriksaan fisik
auskultasi, temuan abnormal yang selalu dijumpai adalah mengi. Mengi
(wheezing) merupakan napas berbunyi seperti suling yang biasanya ditandai
dengan adanya penyempitan pada saluran napas, baik secara fisiologis atau
dari dahak maupun secara anatomic yaitu dari konstriksi. Dengan begitu,
mengi terkadang sulit dijumpai atau hanya bias dijumpai apabila ekspirasi
paksa saat eksaserbasi asma yang berat, dan ini biasanya disebut Silent Chest.
Menegakkan diagnosis dibutuhkan suatu pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru ini digunakan sebagai
parameter objektif yang standar dipakai yaitu pemeriksaan Spirometri dan
peak expiratory flow (PEF). Pemeriksaan Spriometri dan PEF sangat
membutuhkan kemampuan dan kerjasama penderita bersamaan dengan
pemahaman yang jelas oleh intruksi pemeriksa. Spirometer merupakan suatu
alat pengukur faal paru terpenting sebagai indicator menegakkan diagnose
agar dapat menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Peak Flow Meter
(PFM) adalah suatu alat sederhana untuk monitoring dan juga diagnostik,
tetapi spirometer lebih sensitif dari PFM. Namun PEF dapat menegakkan
diagnosa asma jika pasien tidak biasa melakukan pemeriksaan FEV1.
Monitor PEF digunakan sebagai self-monitoring agar dapat melihat adanya
respon pengobatan. Jika telah menggunakan ICS, biasanya pada jangka
pendek dilakukan dua kali sehari selama 3 bulan.8
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk,
sesak, mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya
mengeluh batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau
sewaktu kegiatan jasmani. Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien
maupun keluarganya seperti rinitis alergi, atau dermatitis atopik membantu
diagnosis asma.8
Gejala asma sering timbul pada malam hari, tetapi dapat pula muncul
sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi pada musim
tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.
Dengan mengetahui faktor pencetus kemudian menghindarinya, maka
diharapkan gejala asma dapat dicegah.Pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan
IgE, tanda inflamasi, dan uji Hiperaktivitas bronkus bisa membantu untuk
menegakkan diagnosa penyakit asma. Foto thorax digunakan untuk
menghilangkan penyakit yang bukan karena asma. Skin prick test digunakan
untuk menunjukkan adanya antibodi IgE yang spesifik pada kulit karena
untuk menetapkan anamnesis dan mencari apa faktor pencetusnya. Analisis
sputum diinduksi untuk menandakan adanya hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan adanya inflamasi
serta derajat berat asma. Uji hiperreaktivitas bronkus bias dilaksanakan
dengan cara tes provokasi, yaitu menggunakan nebulasi droplet ekstrak
alergen spesifik.8
Menegakkan diagnosis asma, didasarkan pada pengidentifikasian kedua
pola karakteristik gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas (dispnea),
sesak dada atau batuk, dan variabel keterbatasan aliran udara ekspirasi. Pola
gejala penting, karena gejala pernapasan mungkin disebabkan oleh penyakit
akut atau kondisi kronis selain asma, Jika memungkinkan, bukti yang
mendukung diagnosis asma harus didokumentasikan ketika pasien pertama
kali datang, karena fitur yang merupakan karakteristik asma dapat membaik
secara spontan atau dengan pengobatan; akibatnya, seringkali lebih sulit
untuk mengkonfirmasi diagnosis asma setelah pasien telah dimulai pada
perawatan pengontrol.8
Pola gejala pernapasan yang menjadi ciri asma. Ciri-ciri berikut ini khas
asma dan, jika ada, meningkatkan kemungkinan pasien menderita asma:
Gejala pernapasan berupa mengi, sesak napas, batuk dan/atau sesak dada:
1. Pasien (terutama orang dewasa) mengalami lebih dari satu jenis gejala ini.
2. Gejala sering memburuk pada malam hari atau dini hari.
3. Gejala bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya.
4. Gejala dipicu oleh infeksi virus (pilek), olahraga, paparan alergen,
perubahan cuaca, atau iritan seperti asap knalpot mobil, asap atau bau
yang menyengat.
Fitur berikut mengurangi kemungkinan gejala pernapasan karena asma:
1. Batuk terisolasi tanpa gejala pernapasan lainnya
2. Produksi sputum kronis
3. Sesak napas yang berhubungan dengan pusing, pusing atau kesemutan
perifer (parestesia)
4. Sakit dada
5. Dispnea akibat latihan dengan inspirasi bising.9
Alur diagnostic awal asma

Mengapa penting untuk memastikan diagnosis asma. Hal ini penting untuk
menghindari pengobatan yang tidak perlu atau pengobatan yang berlebihan,
dan untuk menghindari hilangnya diagnosis penting lainnya. Di orang
dewasa dengan diagnosis asma dalam 5 tahun terakhir, sepertiga tidak dapat
dipastikan menderita asma setelah diulang pengujian selama 12 bulan dan
penarikan bertahap pengobatan pengontrol. Diagnosis asma lebih kecil
kemungkinannya dikonfirmasi pada pasien yang tidak memiliki tes fungsi
paru yang dilakukan pada saat diagnosis awal. Beberapa pasien (2%)
memiliki kondisi kardiorespirasi serius yang salah didiagnosis sebagai asma.9

I. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Non Farmakologi
Tujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mencapai dan

mempertahankan kontrol gejala-gejala asma. Mempertahankan aktivitas

yang normal termasuk olah raga, menjaga fungsi paru senormal mungkin,

mencegah eksaserbasi asma, Menghindari reaksi samping (adverse

reaction) obat asma, mencegah kematian karena asma, untuk mencapai

tujuan di atas GINA merekomendasikan 5 komponen yang saling terkait

dalam penatalaksanaan asma:7

 Bina hubungan yang baik antara pasien dengan dokter

 Identifikasi dan kurangi pemaparan faktor risiko

 Penilaian, pengobatan dan pemantauan keadaan kontrol asma

 Atasi serangan asma Penatalaksanaan keadaan khusus

2. Terapi Farmakologis
Untuk keamanan, GINA tidak lagi merekomendasikan pengobatan
asma pada orang dewasa dan remaja dengan SABA saja. Semua orang
dewasa dan remaja dengan asma harus menerima perawatan pengontrol
yang mengandung ICS untuk mengurangi risiko eksaserbasi serius dan
untuk mengendalikan gejala. Pengontrol yang mengandung ICS dapat
diberikan dengan perawatan sehari-hari secara teratur atau, pada asma
ringan, dengan ICS-formoterol yang diperlukan diambil kapan pun
diperlukan untuk menghilangkan gejala.8
Tujuan dari penatalaksaan asma adalah untuk mencapai kontrol gejala
yang baik, dan untuk meminimalkan risiko kematian terkait asma di masa
depan, eksaserbasi, keterbatasan aliran udara persisten dan efek samping
dari pengobatan. Tujuan pasien sendiri mengenai asma mereka dan
perawatannya juga harus diidentifikasi (GINA,2020).
Penatalaksanaan Farmakologis yang sesuai (Appropriate)

Penatalaksanaan Farmakologis yang tepat (Adequate)


Berikut adalah Penatalaksanaan awal yang tepat (Adequate) :
1. Melakukan Nebulisasi b-agonis 3 kali, selang 20 menit
2. Nebulisasi ketiga ditambah dengan antikolinergik
3. Jika serangan berat, nebulisasi 1 kali dan ditambahi antikolinergik
Pada serangan ringan biasanya harus melakukan nebulisasi 1x, sampai
mendapatkan respon yang baik dan gejalanya hilang. Lalu bisa melakukan
Observasi 1-2 jam. Jika gejala timbul lagi, berikan perlakukan tersebut
sebagai serangan sedang. Apabila kondisi pasien telah membaik, Beri obat
b-agonis untuk mencegah terjadinya kembali serangan tersebut. Jika telah
ada obat pengendali diteruskan atau dilanjutkan. Jika infeksi virus sebagai
pemicu terjadinya serangan tersebut, bisa memberikan pasien steroid oral.
Dalam 24-48 jam kontrol ke Klinik Rawat Jalan untuk reevaluasi serangan
tersebut. Pada saat Serangan sedang lakukan nebulisasi 2-3x, apabila
respon pasien berupa parsial, Berikan oksigen agar mempermudah
jalannya pernapasan dari seorang pasien, Nilai kembali derajat serangan
apah sudah menurun atau tidak, jika nilai tersebut sesuai dengan ketentuan
serangan sedang, lakukan observasi di Ruang Rawat Sehari Pasang jalur
parentera. Oksigen diteruskan sampai pasien mendapatkan respon baik.
Berikan obat steroid oral dan lakukan Nebulisasi tiap 2 jam agar bisa
mengembalikan keadaan stabil dan normal, apabila telah stabil dan normal
hentikan melakukan nebulisasi, apabila dalam 8-12 jam perbaikan klinis
stabil, pasien dibolehkan pulang dengan bekali obat b-agonis untuk
mencegah terjadinya kembali serangan tersebut. Jika dalam 12 jam klinis
tetap belum membaik, alihkan untuk dirawat ke Ruang Rawat Inap
kembali. Dan pada saat Serangan berat lakukan nebulisasi 3x, dan jika
respon tersebut memburuk berikan oksigen pada saat atau di luar
nebulisasi, kemudian Pasang jalur parenteral, Nilai ulang klinis apakah
sudah membaik atau belum, jika nilai tersebut sesuai dengan ketentuan
serangan berat, rawat pasien tersebut di Ruang Rawat Inap dan setelah
segera lakukan Pemeriksaan Foto toraks. Oksigen diteruskan sampai
kondisi pasien benar – benar kembali stabil dan normal. Asidosis dan
dehidrasi diatasi, Steroid iv tiap 6-8 jam, lakukan Nebulisasi tiap 1-2 jam
serta berikan Aminofilin iv awal, lanjutkan rumatan. Jika membaik dalam
4-6 kali nebulisasi, interval nya diubah menjadi 4-6 jam. Jika dalam 24
jam perbaikan klinis stabil, pasien dibolehkan pulang serta dibekali obat b-
agonis untuk mencegah terjadinya kembali serangan asma tersebut. Jika
dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, sebaiknya
dialihkan ke Ruang Rawat Intensif.8

“Add-on Therapy” pada Penatalaksaan Asma


Terapi tambahan untuk pasien dengan asma yang parah ini dapat
dipertimbangkan ketika pasien memiliki gejala atau eksaserbasi yang
persisten meskipun dioptimalkan pengobatan dengan obat pengontrol dosis
tinggi (biasanya ICS dosis tinggi ditambah LABA) dan pengobatan faktor-
faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Untuk asma berat termasuk
tiotropium, LTRA dan makrolida dosis rendah, dan agen biologis untuk
asma tipe 2 alergi parah atau persisten berat. 8
Obat- obat yang digunakan pada penatalaksanaan asma
Jika dibandingkan dengan obat yang digunakan untuk penyakit kronis
lainnya, sebagian besar obat yang digunakan untuk pengobatan asma
memiliki rasio terapi yang sangat baik. Opsi-opsi farmakologis untuk
pengobatan jangka panjang dari asma termasuk dalam dua kategori utama
berikut:
a. Obat-obat pengontrol (Controller): obat ini digunakan untuk
mengurangi peradangan saluran napas, mengendalikan gejala, dan
mengurangi risiko di masa depan seperti eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru-paru. Pada pasien dengan asma ringan,
perawatan pengontrol dapat diberikan melalui formoterol dosis
rendah ICS yang diperlukan, diminum ketika gejala terjadi dan
sebelum latihan.
b. Obat-obat : Reliever (Reliever): obat ini diberikan kepada semua
pasien untuk menghilangkan gejala terobosan yang diperlukan,
termasuk selama asma yang memburuk atau eksaserbasi. Mereka
juga direkomendasikan untuk pencegahan jangka pendek
bronkokon yang diinduksi olahraga. Mengurangi dan, idealnya,
menghilangkan kebutuhan akan pereda SABA adalah tujuan
penting dalam manajemen asma dan ukuran keberhasilan
pengobatan asma.8
Laporan Global Initiative for Asthma (GINA) 2021 menjelaskan lima
derajat (langkah) keparahan asma dan menyarankan pengobatan untuk
masing-masingnya. Langkah [1]. Pasien pada Langkah 1 dan 2 (asma ringan)
digambarkan mengalami gejala asma kurang dari sekali sehari (dan kurang
dari dua kali sebulan untuk Langkah 1). Rekomendasi perawatan GINA 2021
untuk orang dewasa dan remaja menunjukkan dua jalur perawatan,
berdasarkan pilihan pereda (ICS/formoterol dosis rendah sebagai pereda yang
direkomendasikan untuk Jalur Perawatan 1 dan SABA sebagai pereda yang
direkomendasikan untuk Jalur Perawatan 2). Terapi awal yang diusulkan
untuk pasien di Jalur 1 adalah kortikosteroid inhalasi dosis rendah
(ICS)/formoterol (Langkah 1 dan 2) sesuai kebutuhan. Track 2
merekomendasikan penggunaan ICS setiap kali SABA diambil (Langkah 1)
atau ICS dosis rendah harian (Langkah 2).9
Pasien di GINA Langkah 3 dan 4 (asma sedang) digambarkan
mengalami gejala hampir setiap hari dan terbangun di malam hari seminggu
sekali atau lebih. Untuk pasien ini, rejimen pemeliharaan harian yang lebih
disukai adalah ICS/formoterol dosis rendah atau sedang sebagai terapi
pemeliharaan harian dengan ICS/formoterol tambahan sesuai kebutuhan
(dikenal sebagai MART [perawatan dan terapi pereda yang dibutuhkan]) di
Jalur 1; atau ICS/kerja lama b2-agonis (LABA) dengan SABA yang
dibutuhkan untuk menghilangkan gejala di Jalur 2. Laporan dan data GINA
2021 terbaru yang menginformasikan rekomendasi ini, terutama dari uji coba
Symbicort Given as Need in Mild Asthma (SYGMA), mengusulkan
perubahan mendasar dalam pendekatan kami untuk manajemen asma.
Laporan GINA dari 2018 dan sebelumnya merekomendasikan ICS dosis
rendah dengan SABA sebagai pereda dari Langkah 1, dengan peningkatan
dosis ICS dan penambahan LABA± antagonis muskarinik kerja lama dengan
tingkat keparahan yang meningkat, dan terapi MART sebagai pilihan dari
Langkah 3 dan seterusnya. 9
Perawatan ICS/formoterol yang direkomendasikan sesuai kebutuhan
untuk pasien dengan asma ringan (Langkah 1 dan 2) yang dimasukkan ke
dalam rekomendasi GINA mulai tahun 2019 menunjukkan perubahan yang
signifikan dari pendekatan lama menggunakan SABA sebagai pereda, tetapi
juga memperluas indikasi untuk -membutuhkan ICS/formoterol untuk
memasukkan spektrum pasien asma yang lebih luas. Studi SYGMA diacak
selama 52 minggu, double-blind, uji klinis menilai efek budesonide
(ICS)/formoterol yang dibutuhkan dibandingkan dengan budesonide dua kali
sehari ditambah terbutaline (SABA) yang dibutuhkan (SYGMA 1 dan 2) dan
sebagai -dibutuhkan terbutaline saja (SYGMA 1). SYGMA 2 dirancang
sebagai uji coba superioritas dengan eksaserbasi sebagai titik akhir utama,
tetapi sangat sedikit eksaserbasi yang terlihat sehingga penelitian diubah
menjadi uji coba non-inferioritas. 9
Dalam kedua studi SYGMA, budesonide/formoterol yang dibutuhkan
lebih rendah daripada budesonide dua kali sehari untuk kontrol gejala,
sementara dampak pada eksaserbasi tidak lebih rendah di SYGMA 2, dan
tidak dapat dibedakan antara kedua kelompok perlakuan di SYGMA 1. Perlu
dicatat bahwa hanya pasien dengan asma yang diklasifikasikan pada Langkah
2 yang terdaftar dalam uji coba SYGMA [2,3]. Ekstrapolasi pendekatan
ICS/formoterol sesuai kebutuhan untuk asma ringan juga dilihat sebagai
bagian dari strategi MART pada asma sedang. Keterbatasan strategi ini telah
ditinjau sebelumnya dan termasuk kegagalan untuk mencapai kontrol pada
sebagian besar pasien yang diobati dengan MART dan perkembangan, dalam
satu penelitian, peradangan saluran udara eosinofilik yang meningkat secara
nyata. 9
Perawatan komprehensif : Manajemen asma bukanlah "satu ukuran
untuk semua." Ini mencakup tidak hanya pengobatan tetapi juga pengobatan
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan komorbiditas, strategi
nonfarmakologis, dan pendidikan dan pelatihan keterampilan, terutama untuk
teknik inhaler dan kepatuhan. Kortikosteroid inhalasi (ICS): Asma pada orang
dewasa dan remaja tidak boleh dikelola hanya dengan short-acting2-agonis
(SABA). Sebaliknya, untuk mengurangi risiko eksaserbasi parah, dan untuk
mengendalikan gejala, semua orang dewasa dan remaja dengan asma harus
diobati dengan terapi yang mengandung ICS: baik secara teratur setiap hari
atau, pada asma ringan, dengan ICS-formoterol yang diminum sesuai
kebutuhan untuk meredakan gejala. 10
Pengobatan yang mengandung ICS juga direkomendasikan untuk
semua anak 6-11 tahun dengan asma baik secara teratur atau, pada asma
ringan, dengan menggunakan ICS setiap kali SABA digunakan. Pada Gina
2021 Asma untuk orang dewasa dan remaja dibagi menjadi dua jalur,
tergantung pada obat pereda yang dihirup. Terdapat lima langkah, pengobatan
dapat ditingkatkan atau diturunkan dalam satu jalur, dengan menggunakan
pereda yang sama pada setiap langkah, atau dapat dialihkan antar jalur, sesuai
dengan kebutuhan dan preferensi pasien:
 Track 1, dengan ICS-formoterol dosis rendah sebagai pereda. Ini
adalah pendekatan yang disukai secara keseluruhan karena
mengurangi risiko eksaserbasi parah, dibandingkan dengan
menggunakan pereda SABA (dengan/tanpa pengontrol
pemeliharaan), sambil mencapai kontrol gejala yang serupa, fungsi
paru-paru yang serupa, dan beban kortikosteroid oral yang lebih
rendah. Pada Langkah 1–2, ada alasan tambahan untuk memilih ICS-
formoterol sesuai kebutuhan saja daripada SABA sesuai kebutuhan
(sendiri atau dengan ICS harian):
1) pasien dengan asma “ringan” dapat mengalami eksaserbasi parah
2) kepatuhan dengan ICS harian hampir secara universal buruk pada
pasien dengan gejala ringan atau jarang, membuat mereka
berisiko lebih tinggi mengalami eksaserbasi parah; dan
3) memulai pengobatan dengan SABA saja melatih pasien untuk
menganggapnya sebagai pengobatan asma utama mereka. pada
Langkah 3-5, di mana pasien juga menggunakan ICS formoterol
sebagai pengobatan pemeliharaan harian. MART juga merupakan
pilihan untuk anak-anak 6–11 tahun di Langkah 3–4. ICS-
formoterol tidak boleh digunakan sebagai pereda untuk pasien
yang menggunakan kombinasi ICS non-formoterol-kerja lama2-
agonis, dengan/tanpa antagonis muskarinik kerja lama.
 Track 2, dengan SABA sebagai pereda. Ini adalah pendekatan
alternatif (misalnya jika Jalur 1 tidak memungkinkan atau tidak
disukai oleh pasien tanpa eksaserbasi dalam satu tahun terakhir).
Namun, sebelum mempertimbangkan rejimen dengan pereda SABA,
pertimbangkan apakah pasien cenderung mematuhi terapi
pengontrol. Jika tidak, mereka akan terkena risiko pengobatan
SABA saja. Untuk Langkah 1, menggunakan ICS setiap kali SABA
digunakan lebih baik daripada menggunakan SABA saja. 10

J. KOMPLIKASI
 Pneumotoraks

 Pneumodiastinum dan emfisema subkutis


 Atelektasis
 Aspergilosis bronkopulmoner alergik
 Gagal napas
 Bronkitis. 7
DAFTAR PUSTAKA

1. Nuari, A., Soleha, T. U., & Maulana, M. 2018. Penatalaksanaan Asma


Bronkial Eksaserbasi pada Pasien Perempuan Usia 46 Tahun dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Gedong Tataan. Jurnal
Majority, 7(3), 144-151.
2. Wong, E. H. C., & Farne, H. A. 2020. Asthma: diagnosis and management in
adults. Medicine, 48(5), 303-313.
3. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). ASMA. Pedoman Praktis
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Revisi 2019.
4. Alqahtani, Q. Q., & Alruwaili, R. Z. A. 2020. An Overview of Asthma
Diagnosis and Management Approach.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;1–384
6. Webley, W. C., & Hahn, D. L. 2017. Infection-mediated asthma: etiology,
mechanisms and treatment options, with focus on Chlamydia pneumoniae and
macrolides. Respiratory research, 18(1), 1-12.
7. Setiati,S dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid VI. Interna
Publishing. Jakarta.
8. Global Initiative for Asthma. 2020. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention.
9. Global Initiative for Asthma. 2021. Global Strategy for Asthma Management
and Prevention.
10. Reddel, H. K., Bacharier, L. B., Bateman, E. D., Brightling, C. E., Brusselle,
G. G., Buhl, R.,& Boulet, L. P. 2021. Global Initiative for Asthma (GINA)
Strategy 2021–Executive summary and rationale for key changes. The Journal
of Allergy and Clinical Immunology: In Practice.

Anda mungkin juga menyukai