ASMA BRONKIAL
Disusun Oleh :
PEMBIMBING KLINIK :
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Tadulako
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1,2
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia, diperkirakan terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Di Amerika, Asma menjadi penyebab
ke-3 tertinggi kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun, dapat terjadi pada anak-anak
maupun orang dewasa. Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta penderita Asma di Indonesia.
Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia menunjukkan prevalensi Asma yang bervariasi, di
Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%; Yogyakarta 10,5%. Hasil penelitian International Study on
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada anak berusia 13-14 tahun melaporkan
prevalensi Asma di Indonesia sebesar 2,1% pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat
menjadi 5,2%. 2.3
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk
dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan
arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. 4,5
Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi berdasarkan derajat berat
serangan asma menurut GINA, dibagi menjadi tiga kategori : 1). Asma ringan : asma
intermiten dan asma persisten ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3) Asma berat
: asma persisten berat. 6,7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung,
dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang
bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini
bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke
belakang lubang esofagus).1,2
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra VC3- VC4 dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan
itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis,
yang terdiri dari tulang tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan
makanan menutupi laring.1,2
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan terletak pada VC6 (dibawah cricoid) – VT4-
5( Angle of louise) merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20
cincin (cartilago trachealis) yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu
getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai
11 cm dan di belakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. 1
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke
bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan
lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin
mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut
bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli Paru-paru. 1,2,8
f. Pulmo
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan
dari darah. 1,2,8
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang
ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya
menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah
terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu,
yang pertama pleura visceral pembungkus bagian dalam dan pleura parietal
pembungkus bagian luar. 2,9
B. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1
C. Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anal laki-laki berbanding anak perempuan 5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari
dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari pada anak.
Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota lain di Negara yang sama di
Indonesia prevalensi asma berkisar. 8
D. Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah.
a) Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara
lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. Dalam hal ini factor resiko
mempunyai peranan penting dari perjalanan terjadinya asma :
Faktor pejamu :
Gen yang berasosiasi dengan asma antara lain ADAM 33, dipeptidyl
peptidase 10, da PHD finger protein 11. Kontribusi genetic dalam asma
bervariasi antara 35%-95%,4
Poliposis nasal (20-60% pasien rhinosinusitis kronik dengan polip nasal
memiliki asma dibandingkan 5-10% pada populasi umum)
Obesitas (laju obesitas pada pasien asma adalah 38,8% dibandingkan pada
pasien tanpa asma 26,8%)
Faktor Lingkungan :
Infeksi virus, bakteri, pejanan allergen, pejanan okupasi, bahan kimia dan
makanan dan aspirin.
b) Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat. 4,10
Kontinyu APE
Gejala terus <60%
menerus. Sering -
VEP1 <60% nilai
Sering kambuh.
prediksi APE
<60% nilai terbaik
Variabiliti APE
>30%
Persisten berat Aktivitas fisik
terbatas
E. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
a) Faktor Genetik , yaitu :
Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus. 4,10
Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. 5,10
Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan. 5,6
b) Faktor lingkungan
Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3,9
c) Faktor lain
Alergen makanan
Alergen obat-obatan tertentu
Bahan yang mengiritasi
Ekspresi emosi berlebih
Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
Exercise-induced asthma
Perubahan cuaca.5,6
F. Patomekanisme
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi
dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik,
asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. 7
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi
sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule
protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel. 5,10
Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara
lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,
aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung
granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik
terhadap epitel saluran napas. 6
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin.
Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF. 4,10
Gambar 7. Inflamasi dan remodeling pada asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. 4,10
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
3,4,10
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
Selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom,
inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.4,5
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa
P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 5,10
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2
a. Diagnosis
Gejala asma bronchial
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis
serta pemeriksaan penunjang. 5,10
Gejala Sesak, mengi, rasa berat di dada
Batuk berulang
Gejala yang dicetuskan dengan infeksi virus ( misal
rhinitis), olahraga, pajanan allergen, perubahan cuaca,
tertawa, atau iritan seperti asap dan bau yang tajam
Gejala-gejala ini terjadi dengan pola episodic (hilang
timbul), variable (bervariasi dalam waktu tertentu,
biasannya memberat di malam/dini hari) dan reversible
(mereda dengan atau tanpa obat)
Tanda vital Saat eksaserbasi, dapat terlihat peningkatan nadi dan frekuensi
napas
Hidung Dapat terlihat tanda rhinitis alergi (membran yang pucat dan
bengkak, penampakan cobblestone pada dining faring posterior)
atau polip nasal (massa mukoid, abu-abu, mengkilat di dalam
rongga hidung)
Paru-paru Auskultasi: mengi ekspiratorik, mungkin hanya terdengar saat
ekspirasi paksa
Kulit Dapat disertai dermatitis atopik (plak likenitikasi yang ada di
fleksura)
Tabel 3. Gejala dan tanda asma dewasa
Gejala Batuk berulang, mengi, kesulitan bernapas selama > 10 hari saat
sedang terkena infeksi Episode >3 kali dalam setahun, atau gejala
yang memburuk di malam hari
Timbul saat ada faktor pencetus :
Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat
nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman
dingin, penyedap rasa, pengawet makanan
Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan
Infeksi pernapasan akut karena virus
Aktivitas fisik : berlarian, berteriak, menangis, tertawa
berlebihan
Diantara episode anak mengalami batuk, mengi, atau kesulitan
bernapas saat sedang bermain atau tertawa.
Aktivitasnya berkurang (tidak berlari, bermain atau tertawa
dengan intensitas yang sama dengan anak lainnya), mudah lelah
saat berjalan (ingin digendong)
Memiliki riwayat keluarga asma
Memiliki riwayat atopi
Mata Tanda atopi: allergic shiners
Paru-paru Mengi (saat sedang bergejala batuk atau sesak)
Tabel 4. Gejala dan tanda asma dewasa
b. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau
bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. 3,4
c. Pemeriksaan Penunjang
Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak
begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 4,10
X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism). 4,10
Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. 3,5,10
d. Penatalaksanaan
Gambar 8. Alur penanganan di rumah sakit
E. Komplikasi
Pneumothoraks
Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
Atelektasis
Aspergillosis bronkopulmoner alergik
Gagal napas
Bronkitis
Fraktur iga
Apabila kondisi asma menetap dan memburuk, dapat terjadi asidosis
respiratorik akibat status asmatikus. Status asmatikus adalah keadaan spasme
bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan
dengan pengobatan dan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada beberapa
kasus kerja pernapasan meningkat sehingga kebutuhan O2 juga meningkat.
Pada pasien yang mengalami serangan tidak mampu memenuhi kebutuhan O2
yang disebabkan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus dan mukus
berlebihan. Situasi ini dapat menyebabkan pneumothoraks akibat besarnya
tekanan saat ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis
respiratorik, gagal napas, dan kematian.6, 11
b. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil
prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Angka kematian
meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai. 13
BAB III
PENUTUP
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi O 2
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan nafas dengan pemberian
bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis dan antikolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid
sistemik lebih awal.
Agonis beta-2 kerja singkat (SABA) yang termasuk golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah
dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Terapi inhalasi ditujukan untuk target
sasaran di saluran napas. Terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat dan dosis obat lebih
kecil, sehingga efek samping ke organ lain lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk
di saluran napas dan paru, sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di mulut dan
tenggorokan. Pemberian obat dalam bentuk inhalasi ini ditujukan untuk memberikan efek
lokal yang maksimal dan memberikan efek samping yang seminimal mungkin.
Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh karena itu obat-obat
antiinflamasi berguna untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran napas.
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak digunakan dalam
penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara lokal maupun secara
sistemik. Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses inflamasi dan mencegah
timbulnya berbagai gejala pada pasien asma. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada
serangan akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat reaksi radang yang ternyata
selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai
bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi
sitikon dan kemokin, menghambat sintesis eikosaniod, menghambat peningkatan basofil,
eosinofil, dan lekosit lain dijaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.
DAFTAR PUSTAKA