Anda di halaman 1dari 29

REFARAT APRIL 2022

ASMA BRONKIAL

Disusun Oleh :

NAMA : Andi Moch. Ictiar

NIM : N 111 21 038

PEMBIMBING KLINIK :

dr. Masnah, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA PALU
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Andi Moch. Ictiar

No. Stambuk : N 111 21 038

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul Referat : Asma Bronkial

Bagian : Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


RSUD UNDATA Palu
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, 7 Maret 2022

Pembimbing Dokter Muda

dr. Masnah, Sp. PD Andi Moch. Ictiar


BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1,2
Asma merupakan penyakit kronik yang umum di masyarakat dunia, diperkirakan terdapat
300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Di Amerika, Asma menjadi penyebab
ke-3 tertinggi kesakitan pada anak usia dibawah 15 tahun, dapat terjadi pada anak-anak
maupun orang dewasa. Pada tahun 2009, tercatat ada 12,5 juta penderita Asma di Indonesia.
Beberapa penelitian di kota-kota Indonesia menunjukkan prevalensi Asma yang bervariasi, di
Bandung 2,6%; Jakarta 16,4%; Yogyakarta 10,5%. Hasil penelitian International Study on
Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) pada anak berusia 13-14 tahun melaporkan
prevalensi Asma di Indonesia sebesar 2,1% pada tahun 1995, pada tahun 2003 meningkat
menjadi 5,2%. 2.3
Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk
dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan
arus udara dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor risiko. 4,5

Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi berdasarkan derajat berat
serangan asma menurut GINA, dibagi menjadi tiga kategori : 1). Asma ringan : asma
intermiten dan asma persisten ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3) Asma berat
: asma persisten berat. 6,7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Sistem Pernafasan

Gambar 1. Anatomi sistem pernapasan


a. Hidung
Hidung atau naso atau nasal merupakan saluran udara yang pertama,
mempunyai dua lubang (kavum nasi), dipisahkan oleh sekat hidung (septum nasi). Di
dalamnya terdapat bulu-bulu yang berguna untuk menyaring udara, debu, dan kotoran
yang masuk ke dalam lubang hidung.1

b. Faring
Faring atau tekak merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak, di belakang rongga hidung,
dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Hubungan faring dengan organ-organ lain
adalah ke atas berhubungan dengan rongga hidung, dengan perantaraan lubang yang
bernama koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut, tempat hubungan ini
bernama istmus fausium, ke bawah terdapat 2 lubang (ke depan lubang laring dan ke
belakang lubang esofagus).1,2
c. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara, terletak di depan bagian faring sampai ketinggian
vertebra VC3- VC4 dan masuk ke dalam trakhea di bawahnya. Pangkal tenggorokan
itu dapat ditutup oleh sebuah empang tenggorokan yang biasanya disebut epiglotis,
yang terdiri dari tulang tulang rawan yang berfungsi pada waktu kita menelan
makanan menutupi laring.1,2
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan terletak pada VC6 (dibawah cricoid) – VT4-
5( Angle of louise) merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20
cincin (cartilago trachealis) yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang berbentuk
seperti kuku kuda (huruf C) sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu
getar yang disebut sel bersilia, hanya bergerak ke arah luar. Panjang trakea 9 sampai
11 cm dan di belakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos. 1
e. Bronkus
Bronkus atau cabang tenggorokan merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah
yang terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V, mempunyai struktur
serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis set yang sama. Bronkus itu berjalan ke
bawah dan ke samping ke arah tampuk paru-paru.Bronkus kanan lebih pendek dan
lebih besar dari pada bronkus kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang.
Bronkus kiri lebih panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin
mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang lebih kecil disebut
bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli tidak terdapat cincin lagi, dan pada ujung
bronkioli terdapat gelembung paru atau gelembung hawa atau alveoli Paru-paru. 1,2,8
f. Pulmo
Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari
gelembung (gelembung hawa atau alveoli). Gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel
epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya kurang lebih 90 m². Pada
lapisan ini terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan
dari darah. 1,2,8
Di antara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikat yang
berisi pembuluh darah getah bening dan saraf, dan tiap lobulus terdapat sebuah
bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang
ini disebut duktus alveolus. Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2-0,3 mm. Letak paru-paru di rongga dada datarannya
menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah
terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.
Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 yaitu,
yang pertama pleura visceral pembungkus bagian dalam dan pleura parietal
pembungkus bagian luar. 2,9

B. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak
sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan
napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. 1

C. Epidemiologi

Prevalensi asma dipengaruhi banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur
pasien status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak
ditemukan prevalensi anal laki-laki berbanding anak perempuan 5:1, tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak dari pada laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari
dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari pada anak.
Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota lain di Negara yang sama di
Indonesia prevalensi asma berkisar. 8

D. Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa
derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah.
a) Klasifikasi Menurut Etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara
lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui. Dalam hal ini factor resiko
mempunyai peranan penting dari perjalanan terjadinya asma :
Faktor pejamu :
 Gen yang berasosiasi dengan asma antara lain ADAM 33, dipeptidyl
peptidase 10, da PHD finger protein 11. Kontribusi genetic dalam asma
bervariasi antara 35%-95%,4
 Poliposis nasal (20-60% pasien rhinosinusitis kronik dengan polip nasal
memiliki asma dibandingkan 5-10% pada populasi umum)
 Obesitas (laju obesitas pada pasien asma adalah 38,8% dibandingkan pada
pasien tanpa asma 26,8%)
Faktor Lingkungan :
Infeksi virus, bakteri, pejanan allergen, pejanan okupasi, bahan kimia dan
makanan dan aspirin.
b) Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten
berat. 4,10

Gambar 4. Klasifikasi asma menurut derajat


c) Klasifikasi Menurut Kontrol Asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah
kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau bahkan sembuh. Namun pada
asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan
adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping. 5,10
Gambar 5. Klasfisikasi Asma berdasarkan pengobatan

d) Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala


Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu
penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasi
penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk
penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti
gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat).
Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten, persisten ringan, persisten sedang,
dan persisten berat. Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan
dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat
ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) melakukan pembagian
derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan.
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma
serangan berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan
serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma,
tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai
prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan
keterbatasan yang ada. Klasifikasi berdasarkan derajat berat serangan asma menurut
GINA, dibagi menjadi tiga kategori : 1). Asma ringan : asma intermiten dan asma
persisten ringan; 2) Asma sedang : asma persisten sedang; 3) Asma berat : asma
persisten berat. Baru-baru ini, GINA mengajukan klasifikasi asma berdasarkan tingkat
kontrol asma dengan penilaian meliputi gejala siang, aktivitas, gejala malam,
pemakaian obat pelega dan eksaserbasi. GINA membaginya kedalam asma terkontrol
sempurna, asma terkontrol sebagian, dan asma tidak terkontrol. (Tabel 2) 5,10

Tabel. 1 Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa


Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru

Intermiten Bulanan <2 kali sebulan APE >80%

Gejala VEP1 >80% nilai


<1x/minggu tanpa prediksi APE
gejala diluar
serangan >80%
serangan .
nilai terbaik
serangan singkat
Serangan singkat -
Variabiliti APE
<20%.

Mingguan APE >80%

Gejala>1x/minggu VEP1 >80% nilai


Persisten ringan >2 kali sebulan
tetapi<1x/hari. prediksi APE

Serangan dapat >80% nilai


mengganggu terbaik.
aktivitas dan tidur
- Variabiliti APE
20-30%.

Gejala setiap APE 60-80%


hari.Serangan
- VEP1 60-80%
dapat
nilai prediksi APE
mengganggu
Persisten sedang >2 kali sebulan
aktivitas dan tidur. 60-80% nilai
Bronkodilator terbaik.
setiap hari >2 kali
- Variabiliti APE
sebulan
>30%.

Kontinyu APE
Gejala terus <60%
menerus. Sering -
VEP1 <60% nilai
Sering kambuh.
prediksi APE
<60% nilai terbaik

Variabiliti APE
>30%
Persisten berat Aktivitas fisik
terbatas

Tabel 2. Tingkat Kontrol Asma


Karakteristik Kontrol penuh Terkontrol sebagian Tidak terkontrol

Gejala harian Tidak ada >2x/ minggu ≥3x


(≤2x/minggu)

Keterbatasan Tidak ada Ada Gambaran asma


harian terkontrol sebagian
ada dalam setiap
minggu
Gejala Tidak ada Ada
nokturnal

Kebutuhan Tidak ada >2x/minggu


pelega (reliever)
Fungsi paru Normal <80% prediksi
(APE/VEP1)

Eksaserbasi Tidak ada >1 tahun 1x/minggu

E. Etiologi
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor
lingkungan.
a) Faktor Genetik , yaitu :
 Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini,
penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan
faktor pencetus. 4,10
 Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
 Jenis kelamin
Pria merupakan risiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,
prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak
perempuan. Tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang
sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak. 5,10
 Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI), merupakan faktor risiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran
napas dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun
mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas
dengan asma, dapat memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan. 5,6
b) Faktor lingkungan
 Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
 Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur). 3,9
c) Faktor lain
 Alergen makanan
 Alergen obat-obatan tertentu
 Bahan yang mengiritasi
 Ekspresi emosi berlebih
 Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
 Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
 Exercise-induced asthma
 Perubahan cuaca.5,6

F. Patomekanisme
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi
berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel
epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau
pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada
berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi
dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik,
asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. 7

INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas
reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat


Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator
seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF (platelet- activating factor) yang menyebabkan kontraksi otot
polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi 4,10. Gambar 2A
Respon ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan allergen
penyebab sebelumnya. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan berikatan dengan
sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig
E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat allergen.
Ikatan sel mast, Ig E dan allergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan
mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan terjadinya
vasodilatasi hipersekresi, oedem, spasme pada otot polos. Oleh karena itu gejala klinis
yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ;
sesak nafas (hipersekresi sekret), oedem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ;
kejang (spasme otot polos yang ditemukan pada anafilaktic shock).4,10 Gambar 2B

Gambar 6. Mekanisme reaksi hipersensitivitas tipe I

INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi
sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi,
aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul adhesi,
endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule
protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel. 5,10
Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara
lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,
aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung
granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP),
eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik
terhadap epitel saluran napas. 6
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin dan
protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin.
Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-
CSF. 4,10
Gambar 7. Inflamasi dan remodeling pada asma

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain
alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat
terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis
didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi),
terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam jumlah
besar, golongan ini disebut atopi. 4,10
Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast
pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut
meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam
mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor
kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal
pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus,
dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran napas.
3,4,10

Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15
menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons
terhadap mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos
bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan alergen dan bertahan
Selama 16- 24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC)
merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.1,3-6 Pada jalur saraf otonom,
inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran napas.4,5
Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus oleh mediator
yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa melibatkan
sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2.
Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa
P, neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah
yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma,
hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi. 5,10
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter
objektif beratnya hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur
hipereaktivitas bronkus tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi
udara dingin, inhalasi antigen, maupun inhalasi zat nonspesifik.1,2

a. Diagnosis
 Gejala asma bronchial
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak
umumnya hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi
maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala
berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit. Pengukuran fungsi
paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan reversibilitas
yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor risiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi
paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma, diperlukan pengkajian kondisi klinis
serta pemeriksaan penunjang. 5,10
Gejala  Sesak, mengi, rasa berat di dada
 Batuk berulang
 Gejala yang dicetuskan dengan infeksi virus ( misal
rhinitis), olahraga, pajanan allergen, perubahan cuaca,
tertawa, atau iritan seperti asap dan bau yang tajam
 Gejala-gejala ini terjadi dengan pola episodic (hilang
timbul), variable (bervariasi dalam waktu tertentu,
biasannya memberat di malam/dini hari) dan reversible
(mereda dengan atau tanpa obat)
Tanda vital Saat eksaserbasi, dapat terlihat peningkatan nadi dan frekuensi
napas
Hidung Dapat terlihat tanda rhinitis alergi (membran yang pucat dan
bengkak, penampakan cobblestone pada dining faring posterior)
atau polip nasal (massa mukoid, abu-abu, mengkilat di dalam
rongga hidung)
Paru-paru Auskultasi: mengi ekspiratorik, mungkin hanya terdengar saat
ekspirasi paksa
Kulit Dapat disertai dermatitis atopik (plak likenitikasi yang ada di
fleksura)
Tabel 3. Gejala dan tanda asma dewasa

Gejala Batuk berulang, mengi, kesulitan bernapas selama > 10 hari saat
sedang terkena infeksi Episode >3 kali dalam setahun, atau gejala
yang memburuk di malam hari
Timbul saat ada faktor pencetus :
 Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat
nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman
dingin, penyedap rasa, pengawet makanan
 Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan
 Infeksi pernapasan akut karena virus
 Aktivitas fisik : berlarian, berteriak, menangis, tertawa
berlebihan
Diantara episode anak mengalami batuk, mengi, atau kesulitan
bernapas saat sedang bermain atau tertawa.
Aktivitasnya berkurang (tidak berlari, bermain atau tertawa
dengan intensitas yang sama dengan anak lainnya), mudah lelah
saat berjalan (ingin digendong)
Memiliki riwayat keluarga asma
Memiliki riwayat atopi
Mata Tanda atopi: allergic shiners
Paru-paru Mengi (saat sedang bergejala batuk atau sesak)
Tabel 4. Gejala dan tanda asma dewasa

b. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah, dan
berair (konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
bludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak dengan bau
bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
lain yang merokok di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin atau steroid. 3,4

c. Pemeriksaan Penunjang
 Spirometer. Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan
diagnosis juga untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
 Peak Flow Meter/PFM. Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru
sederhana, alat tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal
dari paru. Oleh karena pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau
PFM). Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak
begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM
mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan
bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita
yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1. 4,10
 X-ray dada/thorax. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak
disebabkan asma.
 Pemeriksaan IgE. Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat
dilakukan (pada dermographism). 4,10
 Petanda inflamasi. Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas.
Gejala klinis dan spirometri bukan merupakan petanda ideal inflamasi.
Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida nitrit
udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial
dan transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi, tetapi jarang atau
sulit dilakukan di luar riset.
 Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB. Pada penderita yang menunjukkan FEV1
>90%, HRB dapat dibuktikan dengan berbagai tes provokasi. Provokasi
bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat
menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita yang sensitif. Respons
sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma.
Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada subyek alergi
biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2 um sampai 20 um,
tidak dalam bentuk nebulasi. 3,5,10
d. Penatalaksanaan
Gambar 8. Alur penanganan di rumah sakit

Medikasi Asma: Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah


gejala obstruksi jalan napas, terdiri atas pelega dan pengontrol. Penatalaksanaan
asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol.
Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
Pelega (Reliever): Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk
pelega adalah: Agonis beta2 kerja singkat, Antikolinergik , Aminofillin, dan
Adrenalin. 6,7
Pengontrol (Controllers): Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan
keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah,
yang termasuk obat pengontrol :
 Kortikosteroid inhalasi
 Kortikosteroid sistemik
 Sodium kromoglikat
 Nedokromil sodium
 Metilsantin
 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
 Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Leukotrien modifiers
 Antihistamin generasi ke dua

Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut.
Oksigen: Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi
oksigen  90% dan dipantau dengan oksimetri. 11
Agonis beta-2: Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan
spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi,
onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja
singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan
sebelum pemberian aminofilin. Kombinasi tersebut menurunkan risiko perawatan di
rumah sakit dan perbaikan faal paru (APE dan VEP1)). Alternatif pemberian adalah
pemberian injeksi (subkutan atau intravena), pada pemberian intravena harus
dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). Alternatif agonis beta-2 kerja
singkat injeksi adalah epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila
dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6
mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis
0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang
menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya;
untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara
drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. 12
Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada
serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan, terutama jika:
 Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respons
 Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan
 Serangan asma berat
Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian
oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak
dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal atau lainnya maka
dianjurkan pemberian intravena.Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling
tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan klinis. Analisis meta menunjukkan
glukokortikosteroid sistemik metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg
hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan.
Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat.
Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari.
Pengamatan menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu
singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu. 12,13
Antibiotik tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri
(pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan
demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram
positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram
negatif (penyakit/ gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis,
bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). 11

Gambar 9. Penanganan Asma Menurut GINA

E. Komplikasi
 Pneumothoraks
 Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
 Atelektasis
 Aspergillosis bronkopulmoner alergik
 Gagal napas
 Bronkitis
 Fraktur iga
Apabila kondisi asma menetap dan memburuk, dapat terjadi asidosis
respiratorik akibat status asmatikus. Status asmatikus adalah keadaan spasme
bronkiolus berkepanjangan yang mengancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan
dengan pengobatan dan dapat terjadi pada beberapa individu. Pada beberapa
kasus kerja pernapasan meningkat sehingga kebutuhan O2 juga meningkat.
Pada pasien yang mengalami serangan tidak mampu memenuhi kebutuhan O2
yang disebabkan spasme bronkiolus, pembengkakan bronkiolus dan mukus
berlebihan. Situasi ini dapat menyebabkan pneumothoraks akibat besarnya
tekanan saat ventilasi. Apabila individu kelelahan, dapat terjadi asidosis
respiratorik, gagal napas, dan kematian.6, 11

b. Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dengan adekuat pronosa adalah baik.
Asma karena faktor imunologi (faktor ekstrinsik) yang muncul semasa kecil
prognosanya lebih baik dari pada yang muncul sesudah dewasa. Angka kematian
meningkat bila tidak ada fasilitas kesehatan yang memadai. 13
BAB III

PENUTUP
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari
Terapi pengobatan asma meliputi beberapa hal diantaranya yaitu menjaga saturasi O 2
arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi jalan nafas dengan pemberian
bronkodilator inhalasi kerja cepat (beta-2 agonis dan antikolinergik) dan mengurangi
inflamasi saluran napas serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid
sistemik lebih awal.
Agonis beta-2 kerja singkat (SABA) yang termasuk golongan ini adalah salbutamol,
terbutalin, fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara
inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping
minimal/ tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah
dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Terapi inhalasi ditujukan untuk target
sasaran di saluran napas. Terapi ini lebih efektif, kerjanya lebih cepat dan dosis obat lebih
kecil, sehingga efek samping ke organ lain lebih sedikit. Sebanyak 20-30% obat akan masuk
di saluran napas dan paru, sedangkan 2-5% mungkin akan mengendap di mulut dan
tenggorokan. Pemberian obat dalam bentuk inhalasi ini ditujukan untuk memberikan efek
lokal yang maksimal dan memberikan efek samping yang seminimal mungkin.
Inflamasi kronik adalah dasar dari penyakit asma, oleh karena itu obat-obat
antiinflamasi berguna untuk mengurangi inflamasi yang terjadi pada saluran napas.
Kortikosteroid adalah salah satu obat antiinflamasi yang poten dan banyak digunakan dalam
penatalaksanaan asma. Obat ini diberikan baik yang bekerja secara lokal maupun secara
sistemik. Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk
mengontrol asma. Kortikosteroid bekerja dengan menekan proses inflamasi dan mencegah
timbulnya berbagai gejala pada pasien asma. Kortikosteroid saat ini diberikan segera pada
serangan akut maupun kronik untuk mengatasi secara cepat reaksi radang yang ternyata
selalu terjadi pada saat serangan asma. Glukokortikoid tidak secara langsung berefek sebagai
bronkodilator. Tetapi sebagai anti inflamasi obat ini bekerja sekaligus menghambat produksi
sitikon dan kemokin, menghambat sintesis eikosaniod, menghambat peningkatan basofil,
eosinofil, dan lekosit lain dijaringan paru dan menurunkan permeabilitas vaskular.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization [WHO]. Asthma. 2013. Online :


http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ diakses 3 Agustus 2017
2. Santoso, P. Diferensiasi Asma Atopik dengan Nonatopik pada Pasien Rawat Jalan di
Klinik Paru-Asma. Subbagian Pulmonologi Departemen Ilmu Penyakut Dalam FK
Universitas Padjadjaran. Bandung. 2013.
3. Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. You Can Control Your
Asthma. 2013; ISSN 2442-7659
4. Sundaru H., Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014
5. PDPI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma di Indonesia. Jakarta. 2003.
6. Ward, J.P.T, Ward, J.. At a Glance Sistem Respirasi E 2. Surabaya: Airlangga University
Press; 2009
7. Price, S.A. . Buku Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses- Penyakit. Revisi. Jakarta:
EGC; 2008.
8. Renggaris, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008; 58(11): 444-451
9. Rosamarlino, Yunus, F. Prevalensi Asma Bronkial berdasarkan Kuesinor ISAAC dan
perilaku Merokok. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI- RS.
2010.
10. Mescher A.L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas Edisi 12. Jakarta: EGC; 2011
11. Sundaru H., Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014
12. Isselbacherr, B.W. P. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. EGC: Jakarta. 2011.
13. Wendt, J.K., Symanski, E., Du, L.X. Estimation of Asthma Incidence Among Low-
Income Children in Texas. American Journal of Epidemiology. 2012; 176(8): 744-750

14. World Health Organization [WHO]. Asthma. 2013. Online :


http://www.who.int/respiratory/asthma/definition/en/ diakses 3 Januari 2017
15. Dumbi, S.A.N. Faktor Resiko Penyebab Asma Bronkial (Suatu Penelitian di Wilayah
Kerja Puskesmas Dulalowo). 2013; 1-10
16. Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. You Can Control Your
Asthma. 2013; ISSN 2442-7659
17. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 6. Jakarta: EGC; 2011
18. Alsagaff H., Mukty A. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar Dasar Ilmu Penyakit
Paru Edisi 6. Surabaya: Airlangga University Press; 2009
19. Corwin J.E. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC; 2008
20. Manurung DC., Nasrlu E., Medison I. Gambaran Jumlah Eusinofil Darah Tepi Penderita
Asma Bronkial di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2013; 2(3): 122-126
21. Renggaris, Iris. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah Kedokteran
Indonesia. 2008; 58(11): 444-451
22. Katerine., Medison I., Rustam E. Hubungan Tingkat Pengetahuan Mengenai Asma
Dengan Tingkat Kontrol Asma. Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(1): 58-62
23. Mescher A.L. Histologi Dasar Junqueira Teks & Atlas Edisi 12. Jakarta: EGC; 2011
24. Ekarini, N.P. Analisis Faktor Faktor Pemicu Dominan Terjadinya Serangan Asma Pada
Pasien Asma. 2012: 62-74
25. Wendt, J.K., Symanski, E., Du, L.X. Estimation of Asthma Incidence Among Low-
Income Children in Texas. American Journal of Epidemiology. 2012; 176(8): 744-750
26. Sundaru H., Sukamto. Asma Bronkial dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing; 2014

Anda mungkin juga menyukai