Anda di halaman 1dari 38

BAGIAN RADIOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

BRONCHIOLITIS

Oleh:

DWI RAMADHANI FAJRIANTI

111 2017 2095

Pembimbing Supervisor :
dr. Yusuf Kindigallo, Sp.RAD, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2018
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dwi Ramadhani Fajrianti

NIM : 111 2017 2095

Judul Laporan Kasus : Bronchiolitis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian

radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Agustus 2018

Mengetahui,

Supervisor

dr. Yusuf Kindigallo, Sp.RAD, M.Kes


BAB I

PENDAHULUAN

Bronchiolitis adalah infeksi saluran napas bawah oleh virus yang ditandai

oleh obstruksi saluran napas kecil akibat inflamasi akut, edema dan nekrosis sel

epitel saluran napas kecil disertai peningkatan produksi mukus. Respiratory

syncytial virus (RSV) merupakan penyebab terbanyak penyakit ini. Tetapi, virus

lainnya, termasuk human metapneumovirus (HMPV), influenza, rhinovirus,

adenovirus dan parainfluenza dapat menimbulkan manifestasi klinik yang mirip.1

Bronchiolitis merupakan infeksi saluran respirasi pertama pada bayi usia kurang

dari 12 bulan.2 Manifestasi klinik yang dapat terlihat utamanya pada anak adalah

ditemukannya wheezing, demam, batuk, dan flu disertai adanya tanda-tanda

distress pernapasan.1

Bronchiolitis adalah penyebab terbanyak bayi dirawat di rumah sakit.

Bronchiolitis sering mengenai usia 2 tahun pertama kehidupan, dengan insiden

tertinggi pada usia 2-6 bulan.3 Tingkat rawat inap lebih tinggi pada anak laki-laki

dan di antara bayi yang tinggal di daerah perkotaan industri daripada di pedesaan.

Tingkat rawat inap sekitar 5 kali lebih tinggi di antara bayi dan anak-anak dalam

kelompok berisiko tinggi daripada di kalangan bayi non-darurat. Kelompok

highrisk termasuk bayi prematur (usia gestasi <35 minggu), bayi yang lahir

dengan penyakit jantung bawaan bawaan hemodinamik, serta bayi dengan

penyakit paru kronis prematuritas (sebelumnya disebut displasia


bronkopulmoner). Meskipun mortalitas telah berkurang dalam beberapa tahun

terakhir, morbiditas di antara pasien highrisk bisa tinggi, dengan rata-rata lama

tinggal di rumah sakit dan intensitas perawatan beberapa kali dari bayi yang

sebelumnya sehat.4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Bronchiolitis adalah cedera peradangan akut pada bronkiolus yang biasanya

disebabkan oleh infeksi virus.5 Bronchiolitis adalah diagnosis klinis yang

didefinisikan sebagai “penyakit virus musiman yang ditandai oleh demam, cairan

hidung dan batuk kering. Ada variasi dalam definisi yang diterima, dan di

Amerika Utara definisi bronchiolitis diperluas untuk mencakup semua anak-anak

sampai usia dua tahun yang hadir dengan mengi penyakit yang terkait dengan

infeksi saluran pernapasan atas.6

Bronchiolitis adalah infeksi saluran pernapasan bawah akut yang paling

umum pada bayi. Sekitar satu dari tiga bayi mengembangkan bronchiolitis klinis

pada tahun pertama kehidupan, mayoritas di antaranya akan memiliki penyakit

ringan dan dapat dengan aman dikelola oleh orang tua di rumah.6 Meskipun dapat

terjadi pada segala usia, gejala berat biasanya hanya jelas pada bayi; saluran

udara yang lebih besar dari anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih baik

mengakomodasi edema mukosa.5

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Secara harfiah pernapasan berarti pergerakan oksigen dari atmosfer menuju

ke sel-sel dan keluarnya karbon dioksida dari sel-sel ke udara bebas. Proses
pernapasan terdiri dari beberapa langkah di mana sistem pernapasan, sistem saraf

pusat dan sistem kardiovaskuler memegang peranan yang sangat penting. Pada

dasarnya, sistem pernapasan terdiri dari suatu rangkaian saluran udara yang

menghantarkan udara luar agar bersentuhan dengan membran kapiler alveoli,

yang merupakan pemisah antara sistem pernapasan dengan sistem

kardiovaskuler.7,8

Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,

laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus atau bronkiolus terminalis. Saluran

pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran mukosa yang

bersilia. Ketika udara masuk ke dalam rongga hidung, udara tersebut disaring,

dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari

mukosa respirasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia dan bersel

goblet.7,8

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit

fungsional paru-paru, yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari (1)

bronkiolus respiratorius, yang terkadang memiliki kantung udara kecil atau

alveoli pada dindingnya, (2) duktus alveolaris, seluruhnya dibatasi oleh alveoli,

dan (3) sakusalveolaristerminalis, merupakan struktur akhir paru-paru.9

Alveolus pada hakekatnya merupakan suatu gelembung gas yang dikelilingi

oleh suatu jalinan kapiler, maka batas antara cairan dan gas membentuk suatu

tegangan permukaan yang cenderung mencegah suatu pengembangan pada waktu


inspirasi dan cenderung kolaps pada waktu ekspirasi. Tetapi, untunglah alveolus

dilapisi oleh zat lipoprotein yang dinamakan surfaktan, yang dapat mengurangi

tegangan permukaan dan mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada

waktu inspirasi, dan mencegah kolaps alveolus pada waktu ekspirasi.8

Ruang alveolus dipisahkan dari interstisium paru oleh sel epitel alveoli tipe

I, yang dalam kondisi normal membentuk suatu barrier yang relatif non-

permeabel terhadap aliran cairan dari interstisium ke rongga-rongga udara. Fraksi

yang besar ruang interstisial dibentuk oleh kapiler paru yang dindingnya terdiri

dari satu lapis sel endotel di atas membran basal, sedang sisanya merupakan

jaringan ikat yang terdiri dari jalinan kolagen dan jaringan elastik, fibroblas, sel

fagositik, dan beberapa sel lain. Faktor penentu yang penting dalam pembentukan

cairan ekstravaskular adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik dalam

lumen kapiler dan ruang interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air,

solut, dan molekul besar seperti protein plasma. Faktor-faktor penentu ini

dijabarkan dalam hukum starling.8

C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Bronchiolitis akut didominasi oleh penyakit virus. RSV bertanggung jawab

atas lebih dari 50% kasus. Agen lain termasuk parainfluenza, adenovirus,

rhinovirus, dan Mycoplasma. Patogen termasuk human metapneumovirus dan

human bocavirus, yang mungkin menjadi penyebab utama infeksi virus

pernapasan atau terjadi sebagai koinfeksi dengan RSV. Meskipun pneumonia

bakteri kadang-kadang mirip secara klinis dengan bronchiolitis, tidak ada bukti
adanya bakteri untuk bronchiolitis dan bronchiolitis jarang diikuti oleh

superinfeksi bakteri. Infeksi bersamaan dengan bronkiolitis virus dan pertusis

telah dijelaskan.10

Viral bronchiolitis sangat menular dan menyebar melalui kontak dengan

sekresi pernapasan yang terinfeksi. Meskipun batuk menghasilkan aerosol,

pengangkutan tangan dari sekresi yang terkontaminasi merupakan cara penularan

yang paling sering.3

Bronchiolitis terjadi hampir secara eksklusif selama 2 tahun pertama

kehidupan, dengan usia puncak pada 2 sampai 6 bulan.3 Bronchiolitis lebih sering

terjadi pada anak laki-laki, pada mereka yang belum mendapat ASI, dan pada

mereka yang tinggal dalam kondisi penuh sesak. Risiko lebih tinggi untuk bayi

dengan ibu muda atau ibu yang merokok selama kehamilan. Anggota keluarga

yang lebih tua adalah sumber infeksi yang umum; mereka mungkin hanya

mengalami gejala pernapasan bagian atas yang ringan (pilek). Manifestasi klinis

penyakit saluran pernapasan bawah terlihat pada bayi muda mungkin minimal

pada pasien yang lebih tua, di antaranya edema bronkiolar lebih ditoleransi

dengan baik. Tidak semua bayi yang terinfeksi mengalami penyakit saluran

pernapasan bawah. Faktor anatomis dan imunologi host memainkan peran

penting dalam keparahan sindrom klinis, seperti halnya sifat patogen virus.10

Banyak anak-anak sehat dengan bronkiolitis dapat dikelola sebagai pasien

rawat jalan; Namun, bayi prematur dan anak-anak dengan penyakit paru-paru

kronis prematuritas, penyakit jantung bawaan dengan hemodinamik yang


signifikan, kelemahan neuromuskular, atau imunodefisiensi berada pada

peningkatan risiko penyakit berat yang berpotensi fatal.3

D. PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS

Patogenesis

Masa inkubasi dari paparan gejala pertama adalah sekitar 3-5 hari. Virus

diekskresikan untuk periode variabel, mungkin tergantung pada tingkat

keparahan penyakit dan status kekebalan. Sebagian besar bayi dengan penyakit

saluran pernapasan bawah menumpahkan virus yang menular selama 1-2 minggu

setelah masuk rumah sakit. Ekskresi selama 3 minggu, dan bahkan lebih lama,

telah didokumentasikan. Penyebaran infeksi terjadi ketika droplet yang terinfeksi,

baik yang ditularkan melalui udara atau di tangan atau fomites lainnya,

diinokulasi di nasofaring subjek yang rentan. RSV mungkin diperkenalkan ke

sebagian besar keluarga oleh anak-anak sekolah yang sedang menjalani reinfeksi.

Biasanya, dalam waktu beberapa hari, 25-50% dari saudara kandung yang lebih

tua dan 1 atau kedua orang tua mendapatkan infeksi saluran pernapasan atas,

tetapi bayi menjadi lebih sakit parah dengan demam, otitis media, atau penyakit

saluran pernapasan bawah.10

Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar dari saluran

napas atas ke saluran napas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel

saluran napas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem

saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan

bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan

pelepasan debris dan fibrin ke dalam kumen bronkiolus.11

Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier,

mukus tertimbun di dalam bronkiolus. Kerusakan sel epitel saluran napas juga

mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar terhadap alergi/iritan, sehingga

dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substansi P) yang menyebabkan

kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran napas

juga meningkatkan ekspresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan

produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,

bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema

saluran napas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta spasme otot polos

saluran napas.11

Patofisiologi

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu,

menurunkan compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta

meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan

kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,

atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas.12

Karena tahanan/resistensi terhadap aliran udara di daalm saluran besarnya

berbanding terbalik dengan radius/jari-jari pangkat empat, maka penebalan yang

sedikit sekalipun pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat mempengaruhi aliran

udara.13
Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama fase inspirasi dan fase

ekspirasi, namun karena selama ekspirasi radius jalan napas menjadi lebih kecil,

maka hasilnya adalah obstruksi pernapasan katup bola yang menimbulkan

perangkap udara awal dan overinflasi. Volume dada pada akhir ekspirasi

meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi

menjadi total dan udara yang terperangkap di absorbsi.13

Proses patologis mengganggu pertukaran gas normal di dalam paru.

perfusi ventilasi yang tidak sepadan menimbulkan hipoksemia, yang terjadi pada

awal perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnea) biasanya tidak terjadi

kecuali pada penderita yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernapasan

makin rendah tekanan oksigen arteri. Hiperkapnea biasanya tidak terjadi sampai

pernapasan melebihi 60 kali/menit; selanjutnya proporsi hiperkapnea ini

bertambah menjadi takipnea.13

Anak yang lebih besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis

bila terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan

anak yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon

proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi

yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap

penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi cumulatif immunity

sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan

terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.12


Penurunan ventilasi dari bagian paru-pru menyebabkan ventilasi/perfusi

mismatching, mengakibatkan hipoksia. Selama fase ekspirasi respirasi, dinamis

lebih lanjut penyempitan saluran udara menghasilkan penurunan aliran udara

yang tidak proporsional dan menyaring udara yang dihasilkan. Kerja pernapasan

meningkat karena volume paru-paru meningkat akhir-ekspirasi dan penurunan

kepatuhan paru-paru. penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi

epitel bronkus dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung setelah

2 minggu. Jaringan mati (debris) akan dibersihkan oleh makrofag.14

Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon

antibodi sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda

mempunyai respon imun yang lebih buruk.13

Glezen dkk (dikutip dari Baron, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan

terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi. Tujuh puluh

sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE dalam

6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV

ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi,

tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia

dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik RSV.12

E. MANIFESTASI KLINIK

Bronchiolitis yang disebabkan oleh RSV memiliki masa inkubasi 4 hingga 6

hari. Bronchiolitis klasik hadir sebagai penyakit pernapasan progresif mirip


dengan flu biasa pada fase awal.3 Biasanya, tanda pertama infeksi pada bayi

dengan RSV adalah rhinorrhea. Batuk dapat muncul secara bersamaan tetapi

lebih sering terjadi setelah selang waktu 1-3 hari, pada saat itu juga mungkin ada

bersin dan demam ringan. Segera setelah batuk berkembang, anak yang

mengalami bronchiolitis mulai mengi dengan suara keras. Jika penyakitnya

ringan, gejalanya mungkin tidak berkembang melampaui tahap ini. Auskultasi

sering mengungkapkan ronki inspirasi yang menyebar baik dan mengi ekspirasi.

Rhinorrhea biasanya menetap di seluruh perkembangan penyakit, dengan demam

intermiten.10

Jika penyakit berkembang, batuk dan mengi bertambah buruk dan kelaparan

udara terjadi, dengan peningkatan laju pernapasan, retraksi interkostal dan

subkostal, hiperekspansi dada, gelisah, dan sianosis perifer. Tanda-tanda penyakit

memberat yang mengancam nyawa adalah sianosis sentral, takipnea >70

kali/menit, lesu, dan apnea. Pada tahap ini, dada dapat mengalami hiperekspansi

yang signifikan dan hampir tak ada suara untuk auskultasi karena pergerakan

udara yang buruk. Pada beberapa bayi, perjalanan penyakit mungkin menyerupai

pneumonia, rhinorrhea prodromal dan batuk diikuti oleh dispnea, nafsu makan

yang buruk, dan kelesuan, serta mengi minimum dan hiperekspansi.10

Demam adalah tanda tidak konstan dalam infeksi RSV. Pada bayi muda,

terutama mereka yang lahir prematur, pernafasan periodik dan apnea merupakan

tanda-tanda mengganggu yang umum, bahkan dengan bronchiolitis yang relatif

ringan. Apnea tidak selalu disebabkan oleh kelelahan pernapasan, tetapi


tampaknya menjadi konsekuensi dari perubahan dalam kontrol pusat

pernapasan.10

Berbeda dengan perkembangan penyakit klasik, bayi muda yang terinfeksi

RSV mungkin tidak memiliki prodrome dan mungkin mengalami apnea sebagai

tanda pertama infeksi.3

F. DIAGNOSIS

Anamnesis

Riwayat dan pemeriksaan fisik merupakan dasar utama untuk diagnosis

bronchiolitis.5

Karena bronchiolitis terutama mempengaruhi bayi muda, manifestasi

klinis awalnya halus. Bayi bisa menjadi semakin rewel dan mengalami kesulitan

makan selama 2 sampai 5 hari masa inkubasi. Demam ringan, biasanya kurang

dari 101,5°F, dan peningkatan coryza dan kongesti biasanya mengikuti periode

inkubasi. Pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, serta pada hingga

60% bayi, infeksi virus saluran pernapasan (RSV) biasanya terbatas pada saluran

udara bagian atas dan tidak berkembang lebih jauh.5

Selama periode 2-5 hari, infeksi RSV berkembang dari saluran pernapasan

atas ke bawah, dan perkembangan ini mengarah pada pengembangan batuk,

dyspnea, mengi, dan kesulitan makan. Ketika pasien dibawa ke perawatan medis,

demam biasanya sudah sembuh. Bayi yang lebih muda dari 1 bulan dapat muncul
sebagai hipotermia. Kasus yang parah berkembang menjadi gangguan pernapasan

dengan takipnea, nasal flaring, retraksi, iritabilitas, dan, mungkin, sianosis.5

Pemeriksaan Fisik

Sekitar 30% hingga 40% bayi yang terinfeksi RSV memiliki

perkembangan penyakit untuk melibatkan saluran pernapasan bagian bawah.

Tersebar ke saluran udara yang lebih rendah terjadi baik oleh aspirasi sel epitel

yang terinfeksi RSV atau dengan penyebaran sel-sel virus. Keterlibatan saluran

napas bawah ditandai dengan peningkatan tiba-tiba dalam kerja pernapasan,

batuk, takipnea, mengi, ronki, penggunaan otot-otot aksesori, dan nasal flare.

Tingkat pernapasan sering melebihi 60 hingga 70 kali/menit pada bayi muda, dan

ekspirasi memanjang. Retraksi interkostal dan subkostal dengan mengi jelas.

Awalnya, mengi terjadi selama fase ekspirasi saja dan hanya terdengar melalui

stetoskop. Saat mengi berkembang, mengi dapat terdengar tanpa stetoskop. Dada

menjadi hiperexpansi dan hiperresonan, respirasi lebih banyak bekerja, dan

retraksi lebih parah. Hipoksemia di luar proporsi terhadap distres klinis adalah

tipikal infeksi RSV. Hipoksemia ringan terjadi bahkan pada bayi-bayi yang

tampak sehat. Kegagalan pernapasan dapat disebabkan oleh hipoksemia (kejadian

awal dan kadang-kadang mendadak) atau hiperkapnia progresif karena kelelahan.

Saluran udara kecil bayi muda bisa menjadi sangat sempit sehingga mengi tidak

terdengar. Dalam hal ini keparahan penyakit disebabkan oleh tidak adanya

pertukaran udara yang dapat didengar, pembakaran dari alae nasae, ekspirasi

grunting, subkostal berat, supraklavikula, dan retraksi interkostal, dan

hipoksemia. Penyakit progresif sering disertai dengan penurunan cepat saturasi


oksigen setelah manipulasi minimal. Seorang anak dengan temuan ini biasanya

membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi. Apnea dapat menjadi manifestasi

awal infeksi RSV, kadang-kadang mengakibatkan kegagalan pernafasan. RSV

terkait apnea dimediasi oleh sistem saraf pusat, terjadi pada bayi yang baru lahir,

yang umumnya prematur. Karena keparahan bronchiolitis sering mengering dan

menyusut sebelum konsisten perbaikan, penilaian status pernafasan dapat

bervariasi secara signifikan dalam waktu singkat. Kemampuan bayi muda untuk

menyusu atau minum susu botol tanpa tekanan dari waktu ke waktu sering

memberikan panduan praktis untuk tingkat keparahan dan manajemen penyakit.

Bayi yang mengalami kesulitan makan parah akibat gangguan pernapasan

memiliki penyakit sedang atau berat dan biasanya memerlukan rawat inap.4

Pemeriksaan Penunjang

Menurut survei dokter anak yang berbasis di rumah sakit, tes yang paling

umum adalah tes rapid antigen virus dari sekresi nasofaring untuk virus

respiratory syncytial (RSV), analisis gas darah arteri (ABG) (pada pasien yang

sakit berat, terutama yang membutuhkan ventilasi mekanik), hitung sel darah

putih (WBC) dengan diferensial, tingkat protein C-reaktif (CRP), dan radiografi

dada.5

Tes umum lainnya adalah pulse oximetry, kultur darah, analisis dan kultur

urin, serta analisis dan kultur cairan serebrospinal (CSF). Gravitasi spesifik urin

dapat memberikan informasi yang berguna mengenai keseimbangan cairan dan


kemungkinan dehidrasi. Kimia serum tidak terpengaruh langsung oleh infeksi

tetapi dapat membantu dalam mengukur tingkat keparahan dehidrasi.5

Pada anak-anak yang sebelumnya sehat dengan viral bronchiolitis,

radiografi dada, hitung darah lengkap (CBC), atau kultur darah biasanya tidak

diperlukan. Namun, tes ini harus dipertimbangkan secara hati-hati pada orang

dengan penyakit berat atau penampilan yang sangat sakit, penyakit jantung atau

paru yang sudah ada sebelumnya, suhu yang sangat tinggi, atau faktor risiko lain

untuk penyakit yang lebih berat. Beberapa anak yang berisiko mengalami gagal

pernafasan akut mungkin memerlukan pemantauan kadar karbon dioksida dalam

darah.5

Hitung WBC biasanya 8,000-15,000/µL dan mungkin bergeser ke kiri

sebagai akibat dari stres. Meskipun hitung WBC dengan diferensial umumnya

dilakukan untuk mencari infeksi bakteri, beberapa penelitian telah mengevaluasi

kegunaannya untuk tujuan ini. Peningkatan jumlah WBC tidak memprediksi

infeksi bakteri serius pada anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan

bronkiolitis RSV. Tes WBC tidak boleh dilakukan secara rutin pada pasien

dengan bronchiolitis.5

Saturasi oksigen transkutan berkurang pada kasus bronkiolitis sedang

sampai berat. Namun, itu adalah prediktor gangguan pernapasan yang buruk.

Pulse oximetri ini berkorelasi baik dengan takipnea, tetapi berkorelasi buruk

dengan mengi dan retraksi. Pasien dengan saturasi oksigen istirahat yang

persisten di bawah 90% di udara ruangan memerlukan periode observasi dan


kemungkinan rawat inap. Karena atelektasis, pemberian aerosol beta-agonis

dapat meningkatkan denyut jantung dan dengan demikian curah jantung tanpa

meningkatkan ventilasi, menyebabkan desaturasi relatif (mis., Ketidakcocokan

ventilasi-perfusi).Pedoman manajemen terbaru telah menyarankan batas bawah

tingkat saturasi oksigen yang dapat diterima adalah 90% untuk bayi dengan

bronchiolitis. Penggunaan pemantauan pulse oximetry tidak dianjurkan secara

rutin pada bayi dengan bronchiolitis yang tidak memerlukan oksigen tambahan

atau memiliki saturasi oksigen> 90% pada udara ruangan.5

Radiografi toraks tidak secara rutin diperlukan. Jika diindikasikan secara

klinis, mereka harus menyertakan anteroposterior (AP) dan pandangan lateral.

Radiografi toraks paling berguna untuk menyingkirkan anomali kongenital yang

tidak terduga atau kondisi lain; itu juga dapat menghasilkan bukti positif

diagnosis alternatif (misalnya, pneumonia lobar, gagal jantung kongestif, atau

aspirasi benda asing). Radiografi leher terbatas atau studi kontras untuk anak-

anak yang diagnosisnya tidak jelas atau yang memiliki riwayat konsisten dengan

anomali struktural. Temuan dari radiografi dada pada individu dengan

bronchiolitis bervariasi.5 Radiografi dada pada bayi yang dirawat di rumah sakit

dengan bronchiolitis RSV memiliki temuan normal pada sekitar 30% kasus,

dengan 70% lainnya menunjukkan hiperekspansi dada, penebalan peribronkial,

dan infiltrat interstisial. Konsolidasi segmental atau lobus tidak umum dan efusi

pleura jarang terjadi.10 Hiperinflasi biasanya ada (lihat gambar di bawah), dan 20-

30% rontgen dada menunjukkan infiltrasi lobus, atelektasis, atau keduanya.

Atelektasis sering terjadi dan berkontribusi terhadap desaturasi arteri. Karena


epitel bronkus bersilia tidak beregenerasi selama 9-15 hari, atelektasis mungkin

persisten dan bergeser. Temuan lain mungkin termasuk penebalan dinding

bronkus, air trapping, diafragma pipih, peningkatan diameter AP, peribronchial

cuffing, nodul kecil, opasitas linear, dan opasitas alveolar yang merata.5

Radiografi toraks mengungkapkan hiperinflasi paru-paru dengan diafragma datar

dan atelektasis bilateral di apikal kanan dan daerah basal kiri5


X-ray anak dengan RSV menunjukkan perihilar fullness bilateral yang khas pada

bronchiolitis

G. DIAGNOSIS BANDING

Kesulitan utama dalam diagnosis bronchiolitis adalah untuk membedakan

penyakit lain yang terkait dengan mengi. Mungkin sulit untuk membedakan asma

dari bronchiolitis dengan pemeriksaan fisik, tetapi usia presentasi, kehadiran

demam, dan tidak adanya riwayat pribadi atau keluarga asma adalah faktor

diferensial utama. Bronchiolitis terjadi terutama pada tahun-tahun pertama

kehidupan dan disertai demam, sedangkan asma biasanya terjadi pada anak-anak

yang lebih tua dengan episode mengi sebelumnya yang biasanya tidak disertai

demam kecuali infeksi saluran pernafasan adalah pemicu asma eksaserbasi.3

Mengi juga mungkin disebabkan oleh benda asing saluran napas, lesi

obstruktif saluran napas bawaan, fibrosis kistik, eksaserbasi penyakit paru-paru


kronis, pneumonia virus atau bakteri, dan penyakit saluran pernapasan bawah

lainnya. Asma kardiogenik, yang dapat dikelirukan dengan bronchiolitis pada

bayi, mengi yang terkait dengan kongesti paru sekunder akibat gagal jantung sisi

kiri.3

Mengi yang terkait dengan refluks gastroesofagus cenderung menjadi kronis

atau berulang, dan pasien mungkin memiliki riwayat emesis yang sering. Cystic

fibrosis dikaitkan dengan pertumbuhan yang buruk, diare kronis, riwayat

keluarga yang positif. Area fokus pada radiografi yang tidak mengembang atau

mengempis menunjukkan aspirasi benda asing.3

H. PENATALAKSANAAN

Manajemen umum

Manajemen bronchiolitis akut umumnya suportif, karena tidak ada

perawatan medis yang terbukti meningkatkan hasil klinis yang penting, seperti

lama rawat di rumah sakit, penggunaan perawatan pendukung atau transfer ke

unit perawatan intensif. Pendekatan “penanganan minimal” yang konservatif

tampaknya bermanfaat, terutama untuk kelompok usia termuda (<3 bulan). Posisi

tengkurap dapat meningkatkan oksigenasi dan disarankan untuk bayi jika mereka

diamati secara hati-hati.15 Pasien harus dibuat senyaman mungkin (dipegang di

lengan orang tua atau duduk dalam posisi nyaman).5 Nasal suction yang hati-hati

mungkin bermanfaat pada bayi dengan sekresi berlebihan.15


Berikan tetes hidung saline dan lakukan nasal dan oral suction. Oral dan

nasal suction yang mendalam tidak secara rutin dibutuhkan. Hati-hati monitor

pasien untuk apnea. Perhatikan regulasi suhu pada bayi kecil.5

Pemantauan kardiorespirasi sangat penting. Pulse oximetry adalah alat

yang bermanfaat; hipoksia umum terjadi. Sangat penting untuk memiliki

gambaran yang jelas tentang status pernapasan klinis pasien dan tingkat

keparahan penyakit. Kemampuan mempertahankan hidrasi yang adekuat harus

dinilai dengan mengamati asupan oral pasien. Banyak bayi dyspneic mengalami

kesulitan mengambil botol.5

Meskipun bayi muda memiliki kemampuan unik untuk bernapas dan

menelan secara bersamaan, risiko aspirasi signifikan ketika tingkat pernapasan

lebih tinggi dari 60 napas/menit. Demam dan hiperpnea dapat menyebabkan

kehilangan cairan yang berlebihan. Untuk alasan ini, bayi yang dirawat di rumah

sakit dengan bronchiolitis memerlukan pemantauan cairan secara hati-hati dan

pemberian cairan nasogastrik atau intravena (IV) ketika hiperpnea menghalangi

pemberian ASI secara aman.5

Upaya awal harus dilakukan untuk mengisolasi atau mengelompokkan

pasien yang dikonfirmasi atau kemungkinan memiliki infeksi RSV, terutama dari

pasien lain yang berisiko untuk penyakit berat. Lembaga standar dan tindakan

pencegahan kontak isolasi untuk mencegah transmisi nosokomial.5

Antibiotik tidak diindikasikan kecuali infeksi bakteri sangat dicurigai

(misalnya, oleh penampilan beracun, hiperpireksia, konsolidasi atau infiltrat


lobus fokal pada radiografi dada, leukositosis, atau kultur bakteri positif). Otitis

media yang ada bersamaan umum ditemukan dan dapat diobati dengan antibiotik

oral.5

Kriteria Rawat Inap

Keputusan harus dibuat apakah pasien harus dirawat di ruang rawat inap

atau pasien rawat jalan. Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, lamanya

tinggal rata-rata 2-3 hari, dengan tingkat penerimaan kembali 1-4%.

Pertimbangan untuk masuk rumah sakit mungkin termasuk kriteria berikut:5

1. Saturasi oksigen istirahat yang persisten di bawah 90% di udara ruangan

2. Peningkatan frekuensi pernafasan (>70-80 napas/menit)

3. Dyspnea, retraksi interkostal dan sianosis (menunjukkan gangguan

pernapasan)

4. Penyakit paru-paru kronis, terutama jika pasien sudah menerima oksigen

tambahan

5. Penyakit jantung kongenital, terutama jika hemodinamik signifikan

(berhubungan dengan sianosis atau hipertensi pulmonal)

6. Prematuritas

7. Usia lebih muda dari 3 bulan,dimana penyakit berat adalah yang paling

umum

8. Ketidakmampuan untuk menjaga hidrasi oral pada pasien yang lebih

muda dari 6 bulan dan kesulitan makan sebagai konsekuensi dari

gangguan pernapasan
9. Orang tua tidak dapat merawat anak di rumah

Keputusan juga harus dibuat mengenai masuk ke unit perawatan intensif

(ICU). Kriteria untuk masuk ICU sangat bervariasi. Secara umum, masuk ICU

jarang terjadi pada bayi yang sebelumnya sehat yang datang dengan bronkiolitis.

Anak-anak yang sakit parah harus dirawat di unit perawatan intensif yang

memadai (ICU). Jika ini memerlukan transfer ke rumah sakit lain, personel

transportasi dan kendaraan yang khusus ditujukan untuk transportasi pediatrik

yang diinginkan. Pasien dengan kondisi berikut harus dievaluasi untuk masuk

ICU:5

1. Hipoksemia yang memburuk atau hiperkapnia

2. Memburuknya gangguan pernapasan

3. Desaturasi oksigen persisten dan/atau sianosis berat meskipun pemberian

oksigen cukup

4. Apnea

5. Asidosis

6. Gejala ekstrapulmoner

7. Perburukan status mental

8. Etiologi gejala tidak jelas

Terapi suportif

Penanganan terutama suportif dan harus fokus pada terapi yang

meningkatkan oksigenasi dan hidrasi.5


Suplementasi oksigen

Berikan oksigen tambahan, jika perlu, untuk mempertahankan saturasi

oksigen transkutan lebih tinggi dari 90%. Unger dan Cunningham menemukan

bahwa suplementasi oksigen adalah penentu utama lama rawat inap. Penggunaan

kanula hidung aliran tinggi dapat mengurangi tingkat intubasi pada bayi dengan

bronchiolitis. Pada anak-anak tertentu dengan bronchiolitis akut, terapi oksigen di

rumah mungkin merupakan alternatif yang layak untuk terapi oksigen rumah

sakit tradisional.5

Kriteria untuk terapi oksigen di rumah meliputi: gambaran klinis yang

khas (tidak ada apnea, mengi + ronki); usia 2 bulan ke-2 tahun (> 44 minggu usia

kehamilan); episode pertama mengi; penyakit selama musim RSV; sekresi yang

dikelola oleh orang tua dengan penyedotan umbi; bebas asap rumah; keluarga

yang dapat diandalkan dengan akses yang baik terhadap perawatan kesehatan;

tinggal di ketinggian ≤6.000 kaki; tidak adanya tampakan toksik atau penyakit

bakteri yang terbukti; kejadian yang mengancam jiwa; gangguan jantung, paru,

imunodefisiensi, atau neuromuskular; kebutuhan oksigen awal sebelum penyakit

saat ini; penyakit ringan sebagaimana terbukti dengan memberi makan dengan

baik dan waspada dan aktif; retraksi minimal; laju pernapasan <50 napas/menit;

oksigenasi >90% pada ≤0.5 L/menit oksigen. Semua pasien harus

menindaklanjuti dalam waktu 24 jam keluar dari ruang gawat darurat oleh

penyedia perawatan primer mereka atau oleh staf ruang gawat darurat. Fisioterapi

dada tidak memperbaiki perjalanan penyakit pada bayi yang dirawat di rumah

sakit dengan bronchiolitis yang tidak berventilasi secara mekanis.10


Pemeliharaan hidrasi

Bayi dengan bronchiolitis mengalami dehidrasi ringan karena penurunan

asupan cairan dan peningkatan kehilangan cairan dari demam dan takipnea.

Dengan demikian, sangat penting untuk mempertahankan hidrasi yang adekuat.

Tujuan terapi cairan adalah mengganti defisit dan menyediakan kebutuhan

perawatan. Hindari pemberian cairan berlebihan, karena ini dapat meningkatkan

pembentukan edema interstitial, terutama jika komponen pelepasan hormon

antidiuretik yang tidak tepat hadir. Terapi oral lebih baik. Terapi parenteral

mungkin diperlukan pada pasien yang tidak dapat mengambil cairan melalui

mulut atau yang memiliki tingkat pernapasan lebih tinggi dari 70 napas/menit.

Pasien dengan episode apnea harus memiliki akses ke hidrasi IV.5

Beberapa penelitian telah membahas jumlah cairan yang tepat untuk

diberikan selama penggantian pada bronkiolitis. Pedoman merekomendasikan

bahwa bayi harus menerima cukup cairan untuk memulihkan kehilangan cairan

dan menghindari dehidrasi, dan jumlahnya tidak boleh melebihi 100% dari

kebutuhan cairan harian, biasanya ditetapkan hingga 100 ml/kg untuk bayi <10

kg. Namun, retensi cairan karena sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat

telah dilaporkan pada bronchiolitis, dan dokter harus menyadari kemungkinan

overhidrasi. Akibatnya, 70-80% dari kebutuhan harian dapat direkomendasikan,

terutama pada mereka dengan penyakit berat. Pada anak-anak ini, pemantauan

ketat berat badan, serum dan urine-osmolalitas dan elektrolit serum dapat

memandu pengobatan. Mungkin, kemungkinan overhidrasi akan menjadi


berkurang selama pemberian makanan enteral, memungkinkan tubuh untuk

menyerap jumlah cairan dan elektrolit yang dibutuhkan.15

Ventilasi mekanis

Bayi dengan bronchiolitis dan apnea berulang atau peningkatan kerja

pernapasan dengan kegagalan pernafasan kadang-kadang memerlukan ventilasi

mekanis. Terapi pasien ini secara suportif, berikan oksigen yang cukup, ventilasi,

dan hidrasi. Tekanan saluran udara positif berkelanjutan (CPAP) dan intermittent

mandatory ventilation (IMV) dengan tekanan ekspirasi akhir positif (PEEP) telah

berhasil digunakan untuk mengobati bayi ini. Ventilasi tekanan negatif telah

berhasil digunakan pada bayi dengan bronchiolitis, dengan mengurangi

kebutuhan untuk intubasi endotrakeal dan lama perawatan yang lebih singkat.5

Pendekatan khas pada pasien yang membutuhkan ventilasi menggunakan

IMV dan PEEP adalah untuk ventilasi pada tingkat cukup lambat untuk

memungkinkan pengosongan yang cukup selama pernafasan. Selain itu, waktu

inspirasi yang singkat akan mengoptimalkan ventilasi ke unit paru yang masih

baik tanpa overdistending yang lebih terhambat. Penyapihan agresif selama 2-3

hari pertama tidak dijamin dan biasanya tidak berhasil. Setelah penyakit mereda,

menyapih dapat dilanjutkan dengan cepat. Bayi dengan hipoksemia progresif

yang tidak merespon ventilasi konvensional dapat merespon ventilasi frekuensi

tinggi atau oksigenasi membran ekstrakorporeal (ECMO).5


Terapi farmakologis

Obat-obatan memiliki peran yang terbatas dalam penatalaksanaan

bronchiolitis. Beberapa obat yang umum digunakan (misalnya bronkodilator),

tetapi hanya sedikit bukti konklusif untuk mendukung penggunaan rutin obat apa

pun dalam pengelolaan bronchiolitis. Pada pasien yang demam, memiliki

bronchiolitis, dan berisiko tinggi, termasuk mereka yang memiliki infeksi RSV

nosokomial atau yang tampak beracun pada saat presentasi, risiko infeksi bakteri

sekunder meningkat tetapi tetap kecil. Keputusan untuk memulai antibiotik harus

dibuat berdasarkan kasus per kasus.5

Bronkodilator

Meskipun penggunaan bronkodilator pada pasien dengan bronchiolitis

masih tersebar luas, data tidak cukup untuk mendukung pendekatan ini sebagai

praktik rutin. Salah satu pendekatan praktis adalah melanjutkan penggunaan

bronkodilator hanya pada pasien yang menunjukkan perbaikan klinis setelah

penggunaan awal agen ini.5 Selain bronkodilatasi, inhalasi dengan adrenalin

dapat mengurangi pembengkakan mukosa, yang menyebabkan agen ini sering

digunakan pada bayi dengan bronchiolitis. Namun, tidak ada efek secara klinis

yang signifikan telah didokumentasikan untuk baik adrenalin atau beta-2-

agonis.15

Oleh karena itu, adrenalin tidak direkomendasikan sebagai pengobatan

standar pada bayi dengan bronkiolitis. Beta-2-agonis tidak dianjurkan untuk bayi

dengan bronkiolitis.15
Albuterol hanya menghasilkan perbaikan jangka pendek sederhana dalam

gambaran klinis bronchiolitis ringan atau cukup berat, terutama dengan membuat

anak lebih waspada.5

Karena bronkodilator kurang manjur pada bronchiolitis, mungkin wajar

untuk memberikan beta-agonis pada dasar percobaan hanya untuk pasien yang

lebih tua dengan riwayat pribadi atau keluarga asma dan kemudian menilai

respon klinis dalam 10-15 menit. Jika retraksi, laju pernapasan, dan mengi

meningkat, perawatan aerosol terjadwal dapat dilanjutkan, dengan perawatan

tambahan yang diberikan sesuai kebutuhan. Jika sedikit atau tidak ada tanggapan

yang berkelanjutan dicatat, terapi bronkodilator harus berhenti, karena

berkontribusi terhadap agitasi dan rasio ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.5

Antiviral dan antibiotik

Terapi antivirus tidak secara rutin direkomendasikan untuk kasus

bronchiolitis. Meskipun ribavirin memiliki potensi untuk mengurangi waktu

penggunaan ventilasi mekanis dan rawat inap, efek ini tidak konsisten dan tidak

cukup untuk mendukung penggunaan rutinnya untuk mengobati infeksi RSV, dan

AAP merekomendasikan untuk tidak menggunakan ribavirin. Namun, AAP

menunjukkan bahwa terapi ribavirin aerosol dapat dipertimbangkan pada

kelompok terpilih bayi dan anak kecil yang berisiko tinggi untuk penyakit RSV

yang berpotensi mengancam nyawa:5


1. Mereka dengan penyakit jantung kongenital yang rumit (termasuk

hipertensi pulmonal) dan mereka dengan displasia bronkopulmoner,

fibrosis kistik, dan penyakit paru-paru kronis lainnya.

2. Mereka yang menderita penyakit imunosupresif dan mereka yang sakit

parah dengan atau tanpa ventilasi mekanis

3. Pasien rawat inap yang lebih muda dari 6 minggu atau yang memiliki

kondisi yang mendasarinya (mis., Beberapa kelainan kongenital atau

penyakit metabolik neurologis tertentu)

Virus adalah agen etiologi utama di bronchiolitis; Oleh karena itu, pemberian

antibiotik rutin belum terbukti mempengaruhi perjalanan penyakit ini. Pada anak

muda, bayi yang sakit akut, tidak termasuk adanya infeksi bakteri sekunder pada

dasar klinis mungkin sulit. Dengan demikian, pemberian antibiotik spektrum luas

pada bayi yang sakit kritis dapat dibenarkan sampai hasil kultur bakteri terbukti

negatif. Penelitian telah menunjukkan bahwa risiko infeksi bakteri serius

bersamaan pada bayi yang nontoksik dengan bronkiolitis rendah.5

Perlu diingat bahwa hasil tes positif untuk RSV tidak mengecualikan

koinfeksi dengan patogen pernapasan lainnya. Koinfeksi dengan parainfluenza,

influenza, campak, adenovirus, hMPV, pertusis, Legionella, dan Pneumocystis

semuanya mungkin. Kasus berat dan mereka yang tidak mengikuti jalur khusus

untuk bronkiolitis RSV dapat mengambil manfaat dari penyelidikan untuk

koinfeksi.5
Agen anti-inflamasi

Keyakinan bahwa kortikosteroid dapat mencegah atau mengurangi

patologi utama peradangan dan edema mukosa bronkiolar memang menggoda.

Namun, data menunjukkan bahwa agen-agen ini tidak boleh digunakan secara

rutin dalam pengaturan ini.5 Satu penelitian telah menunjukkan efek

menguntungkan dexamethasone (0,15 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) pada

anak-anak dengan ventilasi mekanik, menunjukkan bahwa ini dapat menjadi

pilihan pada pasien sakit kritis. Lebih lanjut, terapi kombinasi dengan epinefrin

inhalasi dan dexamethasone oral dosis tinggi (1 mg/kg pada presentasi dan 0,6

mg/kg untuk tambahan 5 hari) muncul untuk mengurangi tingkat masuk rumah

sakit dalam penelitian kecil. Namun, terapi ini tidak dapat direkomendasikan

sampai evaluasi dalam penelitian yang lebih besar telah dilakukan.15

Saline hipertonik

Sementara saline hipertonik nebulizer telah digunakan untuk merawat

rawat inap, serta rawat jalan, anak-anak dengan viral bronchiolitis dengan

berbagai tingkat keberhasilan, ada pengumpulan bukti meyakinkan yang tidak

mendukung efek hipertonik saline dalam mengurangi lama tinggal di rumah sakit

untuk bronchiolitis virus akut dalam populasi AS tipikal (di mana lama tinggal

rata-rata 2,4 hari).5

Inhalasi normal saline (0,9%) umumnya digunakan untuk anak-anak

dengan bronchiolitis untuk meningkatkan pembersihan lendir, dan dimasukkan

sebagai plasebo dalam banyak penelitian yang mengevaluasi efek bronkodilator


atau saline hipertonik. Namun, tidak diketahui apakah ada penelitian acak yang

membandingkan salin normal tanpa pengobatan, dan saline normal tidak

disarankan dalam pedoman dan ulasan saat ini. Akibatnya, tidak ada rekomendasi

yang bisa diberikan. Inhalasi saline hipertonik pada pasien dengan berbagai

penyakit, terbukti meningkatkan pembersihan mukosiliar mungkin melalui

induksi aliran air osmotik ke lapisan lendir dan dengan memecah ikatan ion

dalam gel lendir. Rekomendasi inhalasi saline hipertonik berdasarkan bukti saat

ini harus diberi bersama bronkodilator.15

Kriteria Pemulangan

Setelah kriteria yang relevan terpenuhi, pasien dapat dipulangkan. Kriteria

pemulangan spesifik untuk pasien bronchiolitis bervariasi dari satu institusi ke

yang lain, seperti yang dilaporkan oleh Weiss dan Annamalai. Pertimbangan

mendasar dalam merumuskan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:5

1. Kemampuan pengurus untuk mengelola hidung tersumbat bayi

2. Peningkatan gangguan pernapasan, sebagaimana dibuktikan oleh tingkat

pernapasan lebih rendah dari 60-70 napas / menit dan saturasi oksigen

istirahat di atas 90% tanpa oksigen tambahan

3. Asupan oral yang memadai

4. Pendidikan dan kepercayaan diri pengurus

Berbagai kriteria untuk pemulangan telah diusulkan, termasuk yang berikut:5

1. Perbaikan klinis

2. Asupan oral cukup untuk mempertahankan status hidrasi


3. Usia lebih dari 2 bulan tanpa riwayat prematuritas

4. Tidak ada apnea dalam 24 jam sebelumnya (pada bayi yang lebih muda

dari 6 bulan) atau 48 jam sebelumnya (pada pasien yang lebih tua dari 6

bulan)

5. Saturasi oksigen yang dapat diterima selama lebih dari 1 hari, baik di

udara ruangan atau pada terapi oksigen yang stabil kurang dari 0,5

L/menit melalui kanula nasal jika dibuang pada oksigen di rumah.

6. Tingkat pernapasan lebih rendah dari 60-70 napas/menit

7. Retraksi minimal saat istirahat (tidak menangis)

8. Tidak ada penyakit kardiopulmoner yang mendasari

9. Bila perlu, terapi oksigen dirumah diatur dan orang tua dididik dalam

penggunaannya

10. Pengasuh yang andal dengan transportasi yang tersedia

11. Tindak lanjut diatur dengan dokter perawatan primer

Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, janji tindak lanjut dengan dokter

perawatan primer 1-2 hari setelah pemulangan diindikasikan untuk memeriksa

kembali saturasi udara ruangan dan untuk meyakinkan orang tua. Tidak

diperlukan pengujian laboratorium lebih lanjut kecuali pasien harus menguji

RSV-negatif untuk kembali ke lingkungan di mana pasien berisiko tinggi hadir

(misalnya, pusat perawatan anak medis atau rumah kelompok). Mungkin penting

untuk dicatat bahwa sekresi dapat tetap positif untuk RSV selama 21 hari setelah

timbulnya gejala.5
Anak-anak yang membutuhkan antibiotik rawat inap untuk infeksi bakteri

bersamaan harus terus menerima antibiotik yang sama untuk menyelesaikan jalur

yang ditentukan. Anak yang lebih tua dengan penyakit saluran napas reaktif

mungkin memerlukan perawatan lanjutan dengan bronkodilator.5

Ketika memulangkan bayi yang lebih muda dari 2 bulan, perlu diingat bahwa

rawat inap sebelumnya dan jenis kelamin laki-laki dapat mempengaruhi pasien-

pasien ini untuk kunjungan kembali tak terjadwal ke UGD. Penyediaan informasi

yang ditargetkan dan pengaturan perawatan tindak lanjut dengan dokter

perawatan primer akan sangat membantu untuk kelompok bayi ini.5

I. KOMPLIKASI

Pada bronchiolitis, seperti halnya penyakit apa pun, berbagai komplikasi

mungkin terjadi, termasuk yang disebabkan oleh terapi. Dalam banyak kasus,

penyakit ini ringan dan terbatas. Namun, pada bayi yang mengalami

imunosupresi dan mereka dengan penyakit jantung atau paru yang sudah ada

sebelumnya, bronchiolitis RSV dapat menyebabkan hal-hal berikut: Sindrom

gangguan pernapasan akut (ARDS), Bronchiolitis obliterans, Gagal jantung

kongestif, Infeksi sekunder, Miokarditis, Aritmia, Penyakit paru-paru kronis.5

Infeksi RSV telah dikaitkan dengan perkembangan asma di kemudian hari,

dengan rasio odds 4,3 pada anak-anak berusia 11 tahun atau lebih muda. Namun,

karena hampir semua anak mengalami infeksi RSV selama 2-3 tahun pertama

kehidupan, hubungan ini mungkin mencerminkan etiologi multifaktorial atau

predisposisi genetik. Suatu predisposisi genetik untuk mengi setelah bronkiolitis


RSV berat telah disarankan. Penelitian lain menunjukkan bahwa

metapneumovirus manusia (hMPV) atau bronkiolitis terkait rhinovirus atau

koinfeksi dengan RSV dan hMPV meningkatkan kemungkinan mengembangkan

asma di tahun-tahun kemudian.5

Kecenderungan genetik untuk bronkiolitis berat dan perkembangan asma

selanjutnya didukung oleh temuan polimorfisme pada gen yang terlibat dalam

alergi, respon inflamasi dan imunitas bawaan. Faktanya, sebuah studi tentang

saudara kembar di Denmark menemukan bahwa bronkiolitis berat dapat menjadi

indikator dari kecenderungan genetik untuk asma dan tanpa disposisi ini, asma

cenderung tidak berkembang bahkan jika bayi telah mengembangkan

bronchiolitis. Sebanyak 1% dari anak-anak yang sebelumnya sehat dan 3% anak-

anak yang mengalami gangguan perkembangan dengan bronchiolitis mengalami

komplikasi neurologis. Ini termasuk kejang, ensefalopati dengan hipotonia,

iritabilitas, dan nada abnormal. Prognosis jangka panjang untuk anak-anak ini

masih belum diketahui.5

J. PROGNOSIS

Bayi dengan bronkiolitis akut berisiko paling tinggi untuk berkompromi

pernapasan lebih lanjut pada 48-72 jam pertama setelah onset batuk dan dyspnea;

anak mungkin sangat sakit dengan air hunger, apnea, dan asidosis pernapasan.

Tingkat kematian kasus adalah <1%, dengan kematian yang disebabkan oleh

apnea, henti napas, atau dehidrasi berat. Setelah periode kritis ini, gejala dapat

bertahan. Durasi rata-rata gejala pada pasien rawat jalan adalah sekitar 14 hari;
10% dapat bergejala pada 3 minggu. Ada insiden mengi dan asma yang lebih

tinggi pada anak-anak dengan riwayat bronchiolitis yang tidak dapat dijelaskan

oleh riwayat keluarga atau sindrom atopik lainnya. Tidak jelas apakah

bronchiolitis menghasut respon imun yang bermanifestasi sebagai asma nantinya

atau apakah bayi-bayi tersebut memiliki predileksi yang melekat untuk asma

yang kemudian diketahui oleh karena episode bronchiolitis virus mereka.10


DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman JN, Rieder MJ, Walton JM, Canadian Paediatric Society, Acute
Care Committee, Drug Therapy and Hazardous Substances Committee.
Bronchiolitis: Recommendations for diagnosis, monitoring and management
of children one to 24 months of age. Paediatrics & Child Health.
2014;19(9):485-491.
2. Petrarca L, Jacinto T, Nenna R. The treatment of acute bronchiolitis: past,
present and future. Breathe. 2017;13(1):e24-e26.
doi:10.1183/20734735.000717.
3. Marcdante, K. J., & Kliegman, R. (2015). Nelson essentials of pediatrics (7th
edition.). Philadelphia: Elsevier/Saunders. P 357-358.
4. Long, S. S., Pickering, L. K., & Prober, C. G. (2012). Principles and practice
of pediatric infectious diseases. Edinburgh: Elsevier Churchill Livingstone.
5. Nizar F Maraqa, MD, FAAP. Bronchiolitis. Medscape Medical Drugs &
Disease [Online] 2018. Available at
https://emedicine.medscape.com/article/961963. Accessed: August 13, 2018.
6. Evans C, Yanney M. Diagnosis and management of bronchiolitis. British
Journal of Family Medicine. 2015;3(6) [Online]. Available at:
https://www.bjfm.co.uk/diagnosis-and-management-of-bronchiolitis.
7. Wilson LM. Penyakit Kardiovaskuler dan Paru-Paru. Dalam: Price SA,
Wilson LM. Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi
Bahasa Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta.
1995; 722-3.
8. Wilson LM. Fungsi Pernapasan Normal. Dalam: Price SA, Wilson LM.
Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit). Edisi Bahasa
Indonesia: Alih Bahasa: Anugerah P. Edisi IV. Buku I. EGC. Jakarta. 1995;
645-48.
9. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak – Nelson. Nelson WE, Ed.
Edisi ke-12. Bagian ke-3. EGC. Jakarta. 1993; 80-81.
10. Kliegman, R., Stanton, B., St. Geme, J. W., Schor, N. F., & Behrman, R. E.
(2016). Nelson textbook of pediatrics (Edition 20.). Phialdelphia, PA:
Elsevier. P 1606-1608, 2045-2048
11. A. P. Uyan, H. Ozyurek, M. Keskin, Y. Afsar & E. Yilmaz : Comparison Of
Two Different Bronchodilators In The Treatment Of Acute Bronchiolitis .
The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology. 2003 Volume 3 Number
1
12. Carroll KN, et.all. increasing burden and risk factor for bronchiolitis. Related
medical visits in infants enrolled in a state health care insurance plan.
Pediatrics 2008; 122; 58-64.
13. Orenstein DM, Bronchiolitic. Dalam Nelson WE, Editor Nelson, Textbook of
Pediatric, 15th edition, Philadelphia, 1996, hal : 1484-85.
14. Zain, Magdalena sidhartani.Bronkiolitis. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi
pertama. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. Hal. 334-343
15. Øymar K, Skjerven HO, Mikalsen IB. Acute bronchiolitis in infants, a
review. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency
Medicine. 2014;22:23. doi:10.1186/1757-7241-22-23.

Anda mungkin juga menyukai