TINJAUAN PUSTAKA
A. Bronkopeumonia
1. Definisi
2. Ethiologi
3. Patofisiologi
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-paru
dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan mekanis, dan
faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung,
refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A
lokal dan respon inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel (Bradley et.al.,
2011): Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah.
Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian bawah melalui inhalasi atau aspirasi
flora komensal dari saluran nafas bagian atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat
meningkatkan kemungkinan terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan
mempengaruhi mekanisme pembersihan dan respon imun
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme penyebab terhisap ke paru
perifer melalui saluran napas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang
mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman. Bronkhopneumonia dalam perjalanan
penyakitnya akan menjalani beberapa stadium, yaitu:
1. Stadium kongesti (4-12 jam pertama). Mengacu pada peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran
darah dan permeabilitas kapiler. Ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel
mast. Mediator tersebut mencakup histamin dan prostagladin. Degranulasi sel mast juga
mengaktifkan jalur komplemen bekerjasama dengan histamin dan prostagladin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
menyebabkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstitial sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus, yang meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium hepatisasi merah (48 jam berikutnya). Lobus dan lobulus yang terkena
menjadi padat tidak mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit netrofil, eksudat, dan banyak sekali
eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek.
3. Stadium hepatisasi kelabu (3-8 hari). Lobus masih tetap padat dan warna merah
berubah menjadi pucat kelabu terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah
paru yang terinfeksi. Permukaan pleura suram karena diliputi oleh fibrin. Alveolus terisi
fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis pneumococcus, kapiler tidak lagi kongestif.
4. Stadium resolusi (7-11 hari). Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu
respon imun dan peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan dan eksudasi lisis. Eksudat
berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis dan
degenerasi lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi dapat
di batasi dengan pemberian antibiotik sedini mungkin agar sistem bronkopulmonal yang
tidak terkena dapat diselamatkan.
4. Diagnosis
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih sederhana.
Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia dibedakan berdasarkan:
1. Bronkopneumonia sangat berat: bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
2. Bronkopneumonia berat: bila dijumpai retraksi tanpa sianosis dan masih sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik.
3. Bronkopneumonia: bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai pernafasan yang cepat yakni
>60 x/menit pada anak usia kurang dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia 2 bulan-1
tahun; >40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4. Bukan bronkopneumonia: hanya batuk tanpa adanya gejala dan tanda seperti di atas,
tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi antibiotik.
5. Diagnosis Banding
Pasien didiagnosa banding dengan bronkiolitis karena bronkiolitis sering menyerang
anak usia 2-24 bulan dengan puncak insidensi pada bayi laki-laki usia 2-8 bulan yang
tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) dan hidup di lingkungan padat penduduk. Gejala
pada bronkiolitis yang mirip dengan pneumonia adalah didahului dengan ISPA, seperti
pilek ringan, batuk, dan demam, disusul dengan batuk disertai sesak nafas, merintih,
nafas berbunyi, rewel, dan penurunan nafsu makan. Pada pasien ini terdapat semua
gejala tersebut, kecuali pilek dan nafas berbunyi. Hanya saja, pada bronkiolitis
ditemukan wheezing dimana pada pneumonia tidak terdapat wheezing (Rahajoe dkk.,
2010).
Selain bronkiolitis, pasien didiagnosa banding dengan bronkitis akut karena pada
gejalanya terdapat batuk yang pada mulanya kering dan keras yang kemudian
berkembang menjadi batuk produktif, serta dapat pula ditemukan ronkhi pada auskultasi
paru. Diagnosa banding bronkitis akut ini disingkirkan karena pada bronkitis akut
umumnya tidak didapatkan demam dan jarang yang sesak nafas sampai mengakibatkan
retraksi dan nafas cuping hidung, serta dapat ditemukan wheezing pada auskultasi paru
(Rahajoe dkk., 2010).
6. Klasifikasi
Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah
membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis
dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
a. Berdasarkan lokasi lesi di paru yaitu Pneumonia lobaris, Pneumonia interstitiali,
Bronkopneumonia
b. Berdasarkan asal infeksi yaitu Pneumonia yang didapat dari masyarakat (community
acquired pneumonia = CAP). Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based
pneumonia)
c. Berdasarkan mikroorganisme penyebab Pneumonia bakteri Pneumonia virus
Pneumonia mikoplasma Pneumonia jamur
d. Berdasarkan karakteristik penyakit yaitu Pneumonia tipikal Pneumonia atipikal
e. Berdasarkan lama penyakit yaitu Pneumonia akut dan Pneumonia persisten.
7. Penatalaksanaan
Kriteria Rawat Inap
Bayi:
Anak:
-Distres pernapasan
-Grunting
-Pasien dengan saturasi oksigen<92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus
diberikan terapi oksigen dengan nasal kanul, head bar, atau ungkup untuk
mempertahankan saturasi oksigen >92%
-Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, diberikan cairan intravena dan
dilakukan balans cairan ketat.
-Fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan
pneumonia
-Antipiretik dan analgesic dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien dan
mengontrol batuk
-Nebulisasi dengan Beta 2 agonis dan atau NaCL dapat diberikan untuk memperbaiki
mucocilliary clearance
-Pasien yang mendapatkan terapi oksigen harus diobservasi setidaknya setiap 4 jam
sekali, termasuk pemeriksaan saturasi oksigen.
Pemberian Antibiotik
-Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotic oral pada anak <5 tahun
karena efektif melawan sebagian besar pathogen yang menyebabkan pneumonia pada
anak, ditolerasi dengan baik dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav, ceflacor,
eritromisin, claritromisin, dan azithromicin.
-M. Pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua maka antibiotic golongan
makrolide diberikan sebagai pilihan pertama secara empiris pada anak >5 tahun
-Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
oral(missal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
-Antibiotik intravena diberikan pada pasien pneumonia yang tidak dapat menerima obat
per oral (missal karena muntah) atau termasuk dalam derajat pneumonia berat
-Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: Ampicillin, dan kloramfenikol,co-
amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime dan cefotaxime
->2 bulan:
-Lini pertama ampicillin bila dalam 3 hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan
kloramfenikol
Bila klinis perbaikan antibiotic intravena dapat diganti preparat oral dengan antibiotic
golongan yang sama dengan antibiotic intravena sebelumnya.
Nutrisi
-Pada anak dengan distress penapasan berat, pemberian makanan per oral harus
dihindari. Makanan dpat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi
harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada
bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya
menggunakan ukuran yang terkecil.
-Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak mengalami overhidrasi
karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan sekresi hormone diuretic.
Kriteria pulang
-Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol
-Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di rumah.
8. Komplikasi
1. Infeksi darah
Kondisi ini terjadi akibat adanya bakteri yang masuk ke dalam aliran darah dan
menyebabkan infeksi ke organ-organ lain. Infeksi darah atau sepsis berpotensi memicu
terjadinya gagal fungsi organ.
2. Abses paru-paru
Abses paru-paru dapat terjadi ketika nanah terbentuk di dalam rongga paru-paru. Kondisi
ini biasanya dapat ditangani dengan antibiotik. Namun, prosedur pembedahan terkadang
juga dilakukan untuk membuangnya.
3. Efusi pleura
Efusi pleura adalah kondisi ketika cairan memenuhi ruang di sekitar paru-paru dan rongga
dada. Cairan tersebut dapat dikeluarkan dengan menggunakan jarum (thoracentesis) atau
kateter (chest tube).
Untuk beberapa kasus, efusi pleura yang serius memerlukan prosedur operasi guna
mengeluarkan cairan tersebut.
4. Gagal napas
Bronkopneumonia parah bisa menyebabkan anak sulit bernapas. Hal ini kemudian bisa
mengakibatkan kebutuhan oksigen anak tidak tercukupi dan memicu anak mengalami
gagal napas.
Jika tidak segera diobati, gagal napas dapat membuat organ tubuh anak tidak dapat
berfungsi dan pernapasan terhenti sama sekali. Jika hal ini terjadi, anak yang mengalami
gagal napas perlu mendapatkan napas bantuan melalui mesin ventilator.