Anda di halaman 1dari 28

PENERAPAN EBN NY.P DENGAN BRONCOPNEUMONIA DI RSUP Dr.

KARIADI SEMARANG
PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Oleh :
FINI DWI ERIYANI
G3A022092

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN DAN KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022/ 2023
BAB 1

A. Latar Belakang
Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya yang sering ditemukan pada balita dan anak-anak.
Bronkopneumonia disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Tanda gejala bronkopneumonia berupa demam tinggi, gelisah, dispnue, napas
cepat dan dangkal, muntah, diare, batuk kering dan produktif (Ngastiyah, 2014).
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh
bakteri Stafilococcus aureus dan Haemofilus influenza yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus. Inflamasi bronkus ini ditandai dengan
adanya penumpukan sekret, batuk produktif, ronchi positif. Mikroorganisme yang
terdapat dalam paru dapat menyebar ke bronkus, bronkus akan mengalami fibrosis dan
pelebaran. Pelebaran tersebut dapat menyebabkan akumulasi sekret di bronkus. Bayi dan
balita tidak dapat mengatur bersihan jalan napas secara mandiri, oleh sebab itu jika
akumulasi sekret di bronkus tidak segera ditangani akan terjadi ketidakefektifan bersihan
jalan nafas (Riyadi, 2015).
Bronkopneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di
udara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi
yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkioli dan
alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Masuknya jamur, virus dan bakteri ke
paru-paru yang mengakibatkan terjadinya infeksi parenkim paru. Salah satu reaksi infeksi
adalah dengan meningkatnya produksi sputum. Produksi sputum yang meningkat akan
menjadi masalah utama pada anak dengan Bronkopneumonia yang akan mengakibatkan
tidak efektifnya bersihan jalan nafas pada anak (Adriana, 2015).
Pneumonia disebabkan oleh bakteri yang masuk kedalam bronkiulus dan alveoli
yang menimbulkan peradangan hebat, terdapat cairan edema yang kaya protein dalam
alveoli, sehingga saluran pernafasan akan terganggu dan tidak berfungsi dengan normal
dan keluar masuknya oksigen juga akan terganggu dan akan mengakibatkan gangguan
pertukaran gas yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan gagal. Hal ini terjadi
karena daerah paru menjadi padat (eksudat) sehingga terjadi penurunan rasio ventilasi
dan perfusi yang berdampak pada penurunan kapasitas difusi paru (Djodjosubroto ,2009).
Dampak dari pneumonia apabila tidak diberikan penanganan asuhan keperawatan yang
sesuai antara lain demam, nafas cepat, terjadinya karsinoma pernafasan dan akan
menimbulkan komplikasi yaitu atelektasis, syok, gagal pernafasan, dan efusi pleura
Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar di seluruh dunia pada tahun
2015, terjadi, terjadi 920.136 kematian akibat pneumonia, 16% dari seluruh kematian
anak usia kurang dari 5 tahun (WHO,2016). Di Negara maju terdapat 4 juta kasus setiap
tahunnya sehingga setiap insiden pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus
pneumonia pada anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3%) dari 156 juta kasus
di seluruh dunia
Di Indonesia prevalensi pneumonia semakin meningkat sesuai bertambahnya usia,
peningkatan terjadi terutama pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 5,4%, kelompok
usia 55-64 tahun sebesar 6,2%, kelompok usia 65-74 tahun sebesar 7,7% dan usia lebih
dari 75 tahun sebesar 7,8%
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan
sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), gagal jantung, penyakit arteri
koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik.
Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,
diabetes melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada
dan penurunan kesadaran

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Memberikan pengetahuan, dan pemahaman mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan diagnosa Broncopneumonia

2. Tujuan khusus
a. Mengetahui konsep penakit Broncopneumonia
b. Mengetahui konsep asuhan kegawatdaruratan Broncopneumonia
c. Mengetahui asuhan keperawatan pada Broncopneumonia
C. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : KONSEP DASAR
BAB III : RESUME ASKEP
BAB IV : APLIKASI ARTIKEL/ EBN
BAB V : PEMBAHASAN
BAB VI : PENUTUP

BAB II
A. Konsep Penyakit

1. Pengertian

Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari


bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius,alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan pertukaran gas setempat.

Bronkopneumonia dugunakan untuk menggambarkan pneumonia yang


mempunyai pola penyebaran bercak, teratur dalam suatu atau lebih area terlokalisasi
didalam bronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan dari sekitarnya. Pada
bronkopneumonia terjadi konsolidasi area bercak.(padila, 2013).

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh


bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat, 2018). Bronkopneumonia adalah
radang pada paru-paru yang menggambarkan pneumonia yang mempunyai penyebaran
berbercak, teratur, dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas
ke parenkim paru (Wijayaningsih, 2018). Bronkopneumonia adalah suatu peradangan
pada parenkim paru dimana peradangan tidak saja pada jaringan paru tetapi juga pada
bronkioli

2. Etiologi Bronkopneumonia

Penyebab terjadinya Bronkopneumonia disebabkan oleh bakteri seperti


diplococus pneumonia, pneumococcus, stretococcus, hemoliticus aureus, haemophilus
influenza, basilus friendlander (klebsial pneumoni), mycobacterium tuberculosis,
disebabkan oleh virus seperti respiratory syntical virus, virus influenza dan virus
sitomegalik, dan disebabkan oleh jamur seperti citoplasma capsulatum, criptococcus
nepromas, blastomices dermatides, aspergillus Sp, candinda albicans, mycoplasma
pneumonia dan aspirasi benda asing (Wijayaningsih, 2018).
3. Manifestasi Klinis Bronkopneumonia

Menurut Ringel, 2012 tanda-gejala dari Bronkopneumonia yaitu :

a) Gejala penyakit datang mendadak namun kadang-kadang didahului oleh infeksi


saluran pernapasan atas.
b) Pertukaran udara di paru-paru tidak lancar dimana pernapasan agak cepat dan dangkal
sampai terdapat pernapasan cuping hidung.
c) Adanya bunyi napas tambahan pernafasan seperti ronchi dan wheezing.

d) Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang terjadi kejang.
e) merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan bernapas.

f) Batuk disertai sputum yang kental.

g) Nafsu makan menurun.

4. Patofisiologi Bronkopneumonia

Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru yang disebabkan


oleh bakteri, virus, jamur ataupun benda asing (Hidayat, 20018). Suhu tubuh meningkat
sampai 39-40oC dan dapat disertai kejang karena demam yang sangat tinggi. Anak yang
mengalami bronkopneumonia sangat gelisah, dipsnea, pernafasan cepat, dan dangkal
disertai pernapasan cuping hidung, serta sianosis disekitar hidung dan mulut, merintih
dan sianosis . Bakteri yang masuk ke paru-paru menuju ke bronkioli dan alveoli melalui
saluran napas yang menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan
edema yang kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial
Alveoli dan septa menjadi penuh dengan cairan edema yang berisi eritrosit dan fibrin

serta relative sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Apabila proses

konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya

eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan.

Perubahan tersebut akan berdampak pada pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa

oleh darah. Sehingga berakibat pada hipoksia dan kerja jantung meningkat akibat saturasi

oksigen yang menurun dan hiperkapnia. Penurunan itu yang secara klinis menyebabkan

penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus

juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat berakibat

penurunan kemampuan mengambil oksigen dari luar juga mengakibatkan berkurangnya

kapasitas paru. Penderita akan berusaha melawan tingginya tekanan tersebut

menggunakan otot-otot bantu pernafasan (otot interkosta) yang dapat menimbulkan

peningkatan retraksi dada. Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)

mikroorganisme yang terdapat dalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi
fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan

sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit) yang

banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis dan sedikit eksudat fibrinosa.

Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga

dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena absorbsi

yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung

banyak kuman penyebab (streptokokus,virus dll). Selanjutnya eksudat berubah menjadi

purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat

mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas.

Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan peningkatan

produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul

peningkatan reflek batuk. Perjalanan patofisiologi diatas bisa berlangsung sebaliknya

yaitu didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi

pada paru. (Sujono dan Sukarmin,2018).

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh

virus penyebab bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi

peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. Inflamasi pada bronkus

ditandai adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi

positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses

peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu:

a. Stadium 1(4-12 jam pertama/kongesti)

Disebut hyperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada

daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler ditempat infeksi.

b. Stadium 2/hepatisasi (48 jam berikutnya)

disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat

dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.

Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit,dan

cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada peraban seperti hepar, pada stadium

ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,

stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.

c. Stadium 3/hepatisasi kelabu(3-8hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi

daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah

yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai

diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah merah

menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.

d. Stadium 4/resolusi (7-11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga

jaringan kembali ke strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya

penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif, dan mual
6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada bronkopneumonia adalah sebagai berikut:

1. Foto thoraks

Pada foto thoraks bronkopneumonia terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau

beberapa lobus.

2. Laboratorium

a) Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah rutin pada pasien bronchopneumonia menunjukkan adanya

leukositosis sebesar 48,1x 10³/L. Berdasarkan teori,pemeriksaan penunjang

laboratorium darah rutin bronchopneumonia menunjukkan adanya infeksi.

b) Analisa gas darah

Analisa gas darah arteri bisa menunjukkan asidosis metabolic dengan atau

tanpa retensi CO2.

c) Kultur darah
Leukositosis dapat mencapai 15.000-40.000 mm3 dengan pergeseran ke kiri

3. GDA: tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan

penyakit paru yang ada.

4. Analisa gas darah arteri bisa menunjukkan asidosis metabolic dengan atau tanpa

retensi CO2.

5. LED meningkat.

6. WBC (white blood cell) biasanya kurang dari 20.000 cells mm3.

7. Elektrolit: natrium dan klorida mungkin rendah.

8. Bilirubin mungkin meningkat.

9. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka:menyatakan intranuklear tipikal dan


keterlibatan sistoplasmik.

7. Penatalaksanaan

Memurut Nurarif dan Kusuma (2015) penatalaksanaan yang dapat diberikan antara
lain:

a. Menjaga Kelancaran Pernapasan

b. Kebutuhan Istirahat Pasien ini sering hiperpireksia maka pasien perlu cukup
istirahat, semua kebutuhan pasien harus ditolong ditempat tidur.

c. Kebutuhan nutrisi dan cairan Pasien bronkopneumonia ha,pir selalu mengalami


masuknya makanan yang kurang, suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan
masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi. Untuk mencegah dehidrasi
dan kekurangan kalori dipasang infus dengan cairan glukosa 5% dan NaCl 0,9%

d. Mengontrol Suhu Tubuh

e. Pengobatan Pengobatan diberikan bedasarkan etiologi uji resistensi akan tetapi


karena hal itu perlu waktu dan pasien perlu terapi secepatnya maka biasanya diberikan
penisilin ditambah denagan Cloramfenikol atau diberikan antibiotik yang mempunyai
spektrum luas seperti Ampisilin. Pengobatan ini diteruskan sampai bebas demam 4-5
hari. Karena sebagian besar pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik akibat kurang
makan dan hipoksia, maka dapat diberikan koreksi sesuai dengan hasil analisis gas
darah arteri.

B. konsep Asuhan Kegawatdaruratan

1. Pengkajian

1. Pengkajian primer
A. Airway (Jalan nafas)
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan yaitu memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
Bagi pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Pasien
yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi jalan
nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar
Perlu di perhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kepatenan jalan nafas pasien.
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a) Adanya snoringataugurgling
b) Agitasi (hipoksia)
c) Penggunaanotot bantu pernafasan
d) Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi.
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5. Gunakan berbagai alat bantu untuk mematenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d) Lakukan intubasi.
e) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
f) Lakukan intubasi.
B. Breathing (Pernafasan)
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian jalan nafas. Pengkajian
pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan
perkusi. Inspeksidada korban: Jumlah, ritme dan tipepernafasan; Kesimetrisan
pengembangan dada; Jejas/kerusakan kulit; Retraksi intercostalis. Palpasi dada korban:
Adakah nyeri tekan; Adakah penurunan ekspansi paru. Auskultasi: Bagaimanakah bunyi
nafas (normal atau vesikuler menurun); Adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan di daerah thorak dengan hati hati,
beberapa hasil yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: Sonor (normal); Hipersonor
atau timpani bila ada udara di thorak; Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau cairan.
C. Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai kemampuan jantung dan
pembuluh darah dalam memompa darah keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi:
Tekanan darah; Jumlah nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat; Sianosis; Bendungan
vena jugularis
D.Disability
Tingkat kesadaran pasien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran,
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi
untuk pemantauan pemberian asuhan
E.Eksposure
2. Pengkajian sekunder Secondary Survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan
airway, breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey sekunder adalah
memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai ujung
kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang serta evaluasi
ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa yang
singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past illness, last meal dan event of injury).
Pemeriksaan penunjang ini dapat dilakukan pada fase meliputi foto thoraks
Penanganan klinis mempunyai tahap yang menggunakan prosedur 6B yaitu :
a. Breathing : perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan obstruksi
jalan nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi jika diperlukan.
b. Blood Pada pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium seperti Hb dan
leukosit.
c. Brain Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan verbal
(GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan bola mata.
d. Bladder Kandung kemih segera dikosongkan dengan pemasangan kateter.
e. Bowel Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intracranial dan
pemeriksaan
f. Bone kekuatan tulang pasien yang harus diukur

3. Pengkajian fisik
1) Inspeksi : perlu diperhatika adanya takipnea,dysnea, sianosis, pernafasan cuping
hidung distensi abdomen, batuk semula non produktif menjadi produktif serta nyeri dada
waktu bernafas adanya retraksi dinding dada
2) Palpasi : hati mungkin akan membesar, flemitus teraba meningkat pada sisi yang sakit,
dan mengalami peningkatan denyut nadi
3) Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit
4) Auskultasi : terdengar suara nafas tambahan ronkhi
4. Data focus
pengkajian pada bronkopneumonia meliputi
a. Aktivitas/istirahat Gejala : kelemhan, kelelahan, insomnia Tanda : letargi, penurunan,
penurunan toleransi terhadap aktivitas
b. Sirkulasi Gejala : riwayat gagal jantung kronis Tanda : takikardi, penampilan pucat
c. Integritas ego Gejala : banyak stressor
d. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah Tanda : distensi
abdomen, bunyi usus hiperaktif, kulit kering, turgor kulit buruk, penampilan
malnutrisi
e. Neurosensori Gejala : sakit kepala dengan frontal Tanda : perubahan mental
f. Nyeri/kenyamanan Gejala : sakit kepala, nyeri dada meningkat, dan batuk myalgia 7)
Pernafasan Gejala : riwayat PPOM, prokok aktif,takipnea,dyspnea, pernafasan
dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal Tanda :
 Sputum : merah muda, berkarat atau purulen
 Perkusi : peka bila terdapar cairan paru
 Bunyi nafas : terdapat suara ronkhi basah nyaring halus atau sedang
 Fremitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
 Watna : pucat atau sianosis bibir/kuku
g. Keamanan Gejala : riwayat gangguan system imun, demam Tanda : berkeringat,
menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungki pada kasus rubeda/veriseia

3. Diagnosa

 Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan peningkatan produksi

sputum

 Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan tekanan kapiler

alveolus

 Nyeri dada berhubungan dengan kerusakan parenkim paru.


BAB III
RESUM ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian Primer
1. Airway
Terpasang trakheostomi , rhonci basah
2. Breathing
a. Inspeksi : pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri, ada penggunaaan alat bantu
nafas, RR 19 x/mnt dan SPO2 94%
b. Palpasi : tidak adanya nyeri tekan
c. Perkusi : sonor
d. Auskultasi : terdapat suara tambahan ronkhi basah kasar
3. Circulation
a. Vital sign

01 Maret 2022

TTV 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00

TD (mmHg) 151/64 183/56 164/59 146/63 152/60

HR (x/menit) 60 72 49 54 50

RR (x/menit) 24 25 19 14 19

SPO2 (%) 94 94 95 96 96

S (oC) 36.1 36.1 36.1 36 36


02 Maret 2022

TTV 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00

TD (mmHg) 155/67 141/53 183/56 162/59 146/63

HR (x/menit) 77 59 72 50 54

RR (x/menit) 26 33 25 18 14

SPO2 (%) 99 96 97 96 99

S (oC) 36 36.1 36.1 36 36

03 Maret 2022

TTV 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00

TD (mmHg) 162/69 165/66 138/88 139/79 141/83

HR (x/menit) 55 93 76 72 60

RR (x/menit) 18 20 20 25 24

SPO2 (%) 96 99 99 97 98

S (oC) 36.3 36.7 36.3 36.2 36,5

b. Nadi teraba, irama regular, pulsasi cukup, akral teraba hangat


c. CRT < 2
4. Disability
a. Kesadaran : Soporcoma
b. Pupil : bulat isokor, visus sulit dinilai
c. Respon nyeri ada, terpasang infuse CVC dengan infuse RL 80m/jam
5. Exposure : edema ekstremitas bawah, tidak ada jejas dan luka decubitus
6. Folley : terpasang DC kateter
7. Gastric tube : terpasang NGT
d. Pengkajian Sekunder
1. Keluhan utama
Sesak nafas, penurunan kesadaran soporoma
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien ditemukan terduduk dengan kepala seperti bergerak ke arah kiri secara berukang,
mata ke kiri, mulut berbusa, selama 5 menit. setelah itu pasien tampak mengorok, dan
kemudian pasien sadar.setelah sadar pasien mengaku badannya lemas, nyeri kepala (-)
pusinG(-) pandangan mata kabur (-) muntah(-) kelemahan disalah satu sisi anggota tubuh
(-) kesemutan (-) +/- 12 jam yll pasien mengalami kejadian serupa sebanyak 2 kali
serangan. kepala seperti bergerak ritmik ke arah kiri, mulut berbusa selama 5
menit.pasien setelah itu sadar. nyeri kepala (-) pusinG(-) pandangan mata kabur (-)
muntah(-) kelemahan disalah satu sisi anggota tubuh (-) kesemutan (-) +/- 3 jam yll
pasien kembali kejang dan sulit untuk diajak berkomunikasi. pasien kemudian dibawa ke
RSDK di IGD pasien kejang dengan semiologi yang sama sebanyak 2 kali
3. Riwayat penyakit terdahulu
Keluarga pasien mengatakan sebelumnya pasien tidak pernah sakit seperti yang diderita
sekarang
4. Pemeriksaan head to toe
a. Kepala : tidak ada luka pada kepala
b. Mata : pupil bulat isopor, 2mm/2mm, RC +/+ , visus sulit dinilai
c. Hidung : kanan kiri simetris tidak ada lesi
d. Telinga : daun telingan bersih dan simetris , lubang telinga tidak ada serumen, tidak ada
lesi
e. Mulut : Terdapat sputum keruh, mukosa bibir kering
f. Leher : terpasang tracheostomy produksi sputum kental warna kemerahan
g. Jantung :
Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan dan kiri, tampak pulsasi ictus cordis tidak
terlalu kuat cukup
Palpasi :Icteus cordis teraba di ICS 5
Perkusi : pekak
Auskultrasi ; BJ I lup BJ II dup (bunyi jantung lup dup), tidak ada bunyi jantung
tambahan
h. Abdomen :
Inspeksi : simetris tidak ada lesi
Auskultrasi : peristaltic normal 15x/mnt
Perkusi ; timpani
Palpasi : tidak teraba pembesaran hepr maupun lien
i. Extremitas : Edema pada eksremitas bawah
j. Genetalia : terpasang DC
5. Pemeriksaan Laboraturium 18/02/23
BGA kimia Tanggal 18/2/2023

PEMERIKSAAN HASI SATUAN NILAI KETERANGAN


L NORMAL

Meadsured 37 C
pH 7.297 - 7.37-7.45 L
pCO2 32.5 mmHg
PO2 60.1 mmHg 83-108
Calculated Temp 36.0 C
FIO2 35.0 %
PH(T) 7.311 - 7.37-7.45 L
PCO2(T) 31.1 mmHg 35-45 L
PO2(T) 56.1 mmHg 83-108 L
HCO3- 15.5 mmol/L 22-29 L
TCO2 16.5 mmol/L 23-27 L
BEecf -10.9 mmol/L
BE(B) -9.8 mmol/L (-2)-(+3)
SO2c 88.8 % 94%-98% L
A-Ado2 156.1 mmHg

6. Pemeriksaan Diagnostik
Thoraks 16/2/23
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar)
Gambaran bronchopneumonia dengan bercak relatif sama

Thorax 5/2/23
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar) Gambaran bronchopneumonia
berkurang CXR Brixia Score : 1 (001-000), (Range Score : 0-18)

X-Thorax 28/01/2023
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar) Gambaran edema pulmonum
perbaikan disertai bronchopneumonia CXR Brixia Score : 3 (001-011), (Range Score : 0-
18) MSCT kepala tanpa kontras 19/1/23 RST Tak tampak infark, perdarahan maupun
SOL intracranial. Kalsifikasi ganglia basalis, plexus choroideus dextra sinistra dan pineal
body. Tak tampak peningkatan tekanan intracranial

USG Abdomen 19/1/23


RST Efusi pleura dextra dan asites
CKD
Kista perirenal ginjal dextra
7. Terapi
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. cefepime 1 gr/8 jam dalam 100 cc NaCl 0.9% habis dalam 2 jam
- Inj. Amikasin 1 g/24 jam
- Inj. Flukonazole 200mg/24 jam
- Inj. Remdesivir 200 mg/24 jam lanjut 100 mg/24 jam
- Inj. Moksifloksasin 400 mg/24 jam
- Inj. Dexamethason 6 mg/24 jam
- Inj. Meropenem 1gr/8 jam
- NTG 50mcg/jam
- Nicardipin 2,5 mg/jam
- dopamin 4 mcg/KGBB/menit
- Furosemid tab 40 mg (1 Tablet Tiap 24 Jam - pagi)
- spironolakton tab 25 mg (1 Tablet Tiap 24 Jam
- metoklopramid inj 10 mg/2 mL 1 Ampul Tiap 12 Jam
- gliseril trinitrat inj 50 mg/10 mL 30 Mikrogram Tiap 1 Jam
- omeprazol serb inj 40 mg 1 Ampul Tiap 8 Jam
- asam folat tab 1 mg Tablet Tiap 24 Jam TD
- salbutamol tab 2 mg 4 Miligram Tiap 8 Jam
- aminofilin inj 240 mg/10 mL 1.6 Mililiter Tiap 1 Jam

B. Data Fokus dan Analisa Data

Hari, Data Data obektif Permasalaha Etiologi


tanggal subjektif n

Selasa, - -pasien terpasang Bersihan jalan Sekresi


01/03/2 trakheastomi nafas tidak yang
3 -sputum berlebih ( banyak efektif tertahan
secret di mulut)
- suara grok-grok
- ronkhi basah
- RR 17x/menit
C. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd sekresi yang tertahan (D0001)

D. Intervensi Keperawatan

Dx. Tujuan &Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil

Bersihan jalan Setelah dilakukan Menejemen jalan nafas buatan


nafas tidak tindakan keperawatan (L01012)
efektif bd 3x7 jam diharapkan Observasi
sekresi yang jalan nafas meningkat Mnitor kulit area stoma
tertahan dengan kriteria hasil trakeostomi (kemerahan, drain,
(D0001) 1. Produksi sputum perdarahan)
menurun
Terapeutik
2. Frekuensi nafas
Lakukan penghisapan lendir
membaik
Lakukan perawatan mulut
Lakukan perawatan stoma
trakheostomi
Kolaborasi
kolaborasi intubasi ulang jika
terbentuk mucous plug yang
tidak dapat dilakukan
penghisapan
E. Implementasi dan Evaluasi
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya jalan nafas buatan (D.0001)

Waktu Tindakan Keperawatan Evaluasi (SOAP)


01/03/2023 Memonitor kulit area stoma S:-
17.00 WIB O:
trakeostomi (kemerahan, drain,
perdarahan) - batuk tidak efektif

melakukan penghisapan lendir - sputum berlebih

melakukan perawatan mulut ( banyak secret

melakukan perawatan stoma ditrakeostomi dan

trakheostomi mulut)
- ronkhi basah
- RR 17x/menit
A : masalah belum
teratasi
P : lanjutkan
intervensi

02/03/2023 Memonitor kulit area stoma S:-


11.00 WIB O:
trakeostomi (kemerahan, drain,
- batuk tidak efektif
perdarahan)
- sputum berlebih
melakukan penghisapan lendir
( banyak secret
melakukan perawatan mulut
ditrakeostomi dan
melakukan perawatan stoma
mulut)
trakheostomi
- ronkhi basah
- RR 19x/menit
A ; masalah belum
teratasi
P : lanjutkan
intervensi

03/03/2023 Memonitor kulit area stoma S:-


11.00 WIB trakeostomi (kemerahan, drain, O:
perdarahan) - Ba batuk tidak

melakukan penghisapan lendir efektif

melakukan perawatan mulut - sputum berlebih

melakukan perawatan stoma ( banyak secret

trakheostomi ditrakeostomi dan


mulut)
- ronkhi basah
- RR 19x/menit
A ; masalah belum
teratasi
P : lanjutkan
intervensi
BAB V
APLIKASI EBN
A. Biodata Pasien
Nama : Ny.P
Alamat : Semarang
Usia : 67 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Tgl masuk RS : 23/01/2023
Tgl pengkajian : 28/02/2023
Diagnosa medis : Broncopneumonia
B. Data focus

Hari, Data Data obektif Permasalahan Etiologi


tanggal subjektif

Selasa, - - pasien terpasang Bersihan jalan Sekresi


01/03/23 trakheastomi nafas tidak yang
- sputum berlebih efektif tertahan
( banyak secret di
mulut)
- suara grok-grok
- ronkhi basah
- RR 17x/menit

C. Diagnosa

Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya jalan nafas buatan (D.0001)

D. Ebn yang diterapkan


Penerapan EBN yang di lakukan berdasarkan refensi jurnal EBN dengan judul
“PENGARUH TINDAKAN SUCTION TERHADAP PERUBAHAN SATURASI
OKSIGEN PADA PASIEN YANG TERPASANG VENTILASI MEKANIK DI RUANG
INTENSIVE CARE UNIT (ICU)”
penulis melakukan penerapan EBN terhadap pasien yang dirawat diruang ICU dengan
broncopneumonia
E. Analisa sintesa

Bakteri stafilokokus

Saluran pernafasan atas

Kuman berlebih di bronkus

Proses inflamasi

Akumulasi seret dibronkus

Bersihan jalan nafas tidak efektif

Suction
F. Landasan teori terkait EBN

Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan

oleh virus penyebab bronkopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga

terjadi peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. Inflamasi pada

bronkus ditandai adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk

produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli

membentuk suatu proses peradangan. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan

pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu

organisasi eksudat dapat terjadi karena absorbsi yang lambat. Eksudat pada infeksi

ini mula-mula encer dan keruh, mengandung banyak kuman penyebab

(streptokokus,virus dll). Selanjutnya eksudat berubah menjadi purulen, dan

menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat mengurangi

asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas. Kasus kegagalan

dalam pernafasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di ruangan Intensive

Care Unit (ICU). Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan

kematian yang tinggi di instalasi perawatan intensif. Kegagalan dalam pernafasan

dapat dibantu dengan alat bantu nafas, salah satunya yaitu ventilasi mekanik,

Ventilasi mekanik adalah proses penggunaan suatu peralatan untuk memfasilitasi

transpor oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk meningkatkan

pertukaran gas dan paru-paru. Pasien yang terpasang ventilasi mekanik di ruang ICU

juga memerlukan pemasangan Endotracheal Tube (ETT) yang digunakan sebagai

jalan nafas buatan untukmenghubungkan antara bronchus dengan mesin ventilasi


BAB V
PEMBAHASAN

A. Justifikasi pemilihan tindakan berdasarkan EBN


Pasien yang terpasang ventilasi mekanik di ruang ICU memerlukan pemasangan
Endotracheal Tube (ETT) yang digunakan sebagai jalan nafas buatan untuk
menghubungkan antara bronchus dengan mesin ventilasi SelangEndotracheal
Tube (ETT) juga sangat berarti dalam melindungi jalan nafas (dengan cuff utuh),
memberikan dukungan ventilasi kontinu dan memberikan konsentrasi oksigen
secara terus-menerus Endotracheal Tube (ETT) yang telah terpasang
membutuhkan perhatian khusus dalam menjaga kebersihandari akumulasi
sekret.Oleh karena itu, diperlukan penghisapan lendir (suction) untuk menjaga
kepatenan
jalan nafas akibat penumpukan sekresi. Pada saat akan melakukan tindakan
suction sangatlah perlu adanya pemantauan saturasi oksigen. Hal ini karena
tindakan
suction ETT dapat memberikan efek samping antara lain dapat menyebabkan
penurunan kadar saturasi oksigen >5%. Saturasi oksigen adalah presentasi
hemoglobin yang berikatan dengan oksigen dalam arteri. Saturasi oksigen arteri
(SaO2) nilai di bawah 90% menunjukkan keadaan hipoksemia. Batas normal
saturasi oksigen < 95-100, maka penulis ingin mengetahui pengaruh posisi saat
tindakan suction terhadap perubahan saturasi oksigen pada pasien yang terpasang
ventilasi mekanik
B. Mekanisme penerapan EBN pada kasus

Pada pasien broncopneumonia


C. Hasil yang dicapai
Didapatkan hasil Ada pengaruh posisi tindakan suction semifowler terhahap
saturasi oksigen pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik. Saturasi oksigen
pada pasien sebelum tindakan suction SpO2 94% dan setelah dilakuakan suction
meningkat menjadi 98% . sejalan dengan jurnal yang dipilih bahwa Penelitian
pada jurnal menunjukkan ada pengaruh posisi semi fowler pada tindakan suction
terbukti meningkatkan nilai SpO2.
D. Kelebihan dan kekurangan atau hambatan yang ditemui selama aplikasi
EBN
Mengatur pasien dengan memberikan posisi tidur semi fowler akan mengurangi
sesak nafas pada pasien karena pada posisi tersebut lebih membantu menurunkan
konsumsi oksigen dan meningkatkan ekspansi paru secara maksimal serta
mengatasi kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan perubahan
membrane alveolus.

Berdasarkan jurnal yang peneliti lakukan,saran untuk penelitian selanjutnya


adalah perlu dilakukannya penelitian kembali mengenai pengaruh posisi saat
dilakukan tindakan suction. Hal-hal yang kurang dalam penelitian ini bisa
dijadikan acuan untuk perbaikan penelitian lebih lanjut mengenai jenis-jenis
pemberian posisi tidur pada pasien kritis

Anda mungkin juga menyukai