KARIADI SEMARANG
PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN KRITIS
Disusun Oleh :
FINI DWI ERIYANI
G3A022092
A. Latar Belakang
Bronkopneumonia atau disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan
pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga
mengenai alveolus disekitarnya yang sering ditemukan pada balita dan anak-anak.
Bronkopneumonia disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda
asing. Tanda gejala bronkopneumonia berupa demam tinggi, gelisah, dispnue, napas
cepat dan dangkal, muntah, diare, batuk kering dan produktif (Ngastiyah, 2014).
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh
bakteri Stafilococcus aureus dan Haemofilus influenza yang masuk ke saluran pernafasan
sehingga terjadi peradangan bronkus dan alveolus. Inflamasi bronkus ini ditandai dengan
adanya penumpukan sekret, batuk produktif, ronchi positif. Mikroorganisme yang
terdapat dalam paru dapat menyebar ke bronkus, bronkus akan mengalami fibrosis dan
pelebaran. Pelebaran tersebut dapat menyebabkan akumulasi sekret di bronkus. Bayi dan
balita tidak dapat mengatur bersihan jalan napas secara mandiri, oleh sebab itu jika
akumulasi sekret di bronkus tidak segera ditangani akan terjadi ketidakefektifan bersihan
jalan nafas (Riyadi, 2015).
Bronkopneumonia dapat terjadi sebagai akibat inhalasi mikroba yang ada di
udara, aspirasi organisme dari nasofaring atau penyebaran hematogen dari fokus infeksi
yang jauh. Bakteri yang masuk ke paru melalui saluran nafas masuk ke bronkioli dan
alveoli, menimbulkan reaksi peradangan hebat dan menghasilkan cairan edema yang
kaya protein dalam alveoli dan jaringan interstitial. Masuknya jamur, virus dan bakteri ke
paru-paru yang mengakibatkan terjadinya infeksi parenkim paru. Salah satu reaksi infeksi
adalah dengan meningkatnya produksi sputum. Produksi sputum yang meningkat akan
menjadi masalah utama pada anak dengan Bronkopneumonia yang akan mengakibatkan
tidak efektifnya bersihan jalan nafas pada anak (Adriana, 2015).
Pneumonia disebabkan oleh bakteri yang masuk kedalam bronkiulus dan alveoli
yang menimbulkan peradangan hebat, terdapat cairan edema yang kaya protein dalam
alveoli, sehingga saluran pernafasan akan terganggu dan tidak berfungsi dengan normal
dan keluar masuknya oksigen juga akan terganggu dan akan mengakibatkan gangguan
pertukaran gas yang dapat menyebabkan terjadinya hipoksia dan gagal. Hal ini terjadi
karena daerah paru menjadi padat (eksudat) sehingga terjadi penurunan rasio ventilasi
dan perfusi yang berdampak pada penurunan kapasitas difusi paru (Djodjosubroto ,2009).
Dampak dari pneumonia apabila tidak diberikan penanganan asuhan keperawatan yang
sesuai antara lain demam, nafas cepat, terjadinya karsinoma pernafasan dan akan
menimbulkan komplikasi yaitu atelektasis, syok, gagal pernafasan, dan efusi pleura
Pneumonia merupakan penyebab kematian terbesar di seluruh dunia pada tahun
2015, terjadi, terjadi 920.136 kematian akibat pneumonia, 16% dari seluruh kematian
anak usia kurang dari 5 tahun (WHO,2016). Di Negara maju terdapat 4 juta kasus setiap
tahunnya sehingga setiap insiden pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus
pneumonia pada anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3%) dari 156 juta kasus
di seluruh dunia
Di Indonesia prevalensi pneumonia semakin meningkat sesuai bertambahnya usia,
peningkatan terjadi terutama pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 5,4%, kelompok
usia 55-64 tahun sebesar 6,2%, kelompok usia 65-74 tahun sebesar 7,7% dan usia lebih
dari 75 tahun sebesar 7,8%
Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang-orang lanjut usia (lansia) dan
sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada
pasien dengan penyakit lain seperti diabetes mellitus (DM), gagal jantung, penyakit arteri
koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik.
Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus,
diabetes melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan atau kelemahan struktur organ dada
dan penurunan kesadaran
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Memberikan pengetahuan, dan pemahaman mengenai asuhan keperawatan pada
pasien dengan diagnosa Broncopneumonia
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui konsep penakit Broncopneumonia
b. Mengetahui konsep asuhan kegawatdaruratan Broncopneumonia
c. Mengetahui asuhan keperawatan pada Broncopneumonia
C. Sistematika penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini adalah :
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : KONSEP DASAR
BAB III : RESUME ASKEP
BAB IV : APLIKASI ARTIKEL/ EBN
BAB V : PEMBAHASAN
BAB VI : PENUTUP
BAB II
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian
2. Etiologi Bronkopneumonia
d) Dalam waktu singkat suhu naik dengan cepat sehingga kadang-kadang terjadi kejang.
e) merasa nyeri atau sakit di daerah dada sewaktu batuk dan bernapas.
4. Patofisiologi Bronkopneumonia
serta relative sedikit leukosit sehingga kapiler alveoli menjadi melebar. Apabila proses
konsolidasi tidak dapat berlangsung dengan baik maka setelah edema dan terdapatnya
eksudat pada alveolus maka membran dari alveolus akan mengalami kerusakan.
Perubahan tersebut akan berdampak pada pada penurunan jumlah oksigen yang dibawa
oleh darah. Sehingga berakibat pada hipoksia dan kerja jantung meningkat akibat saturasi
oksigen yang menurun dan hiperkapnia. Penurunan itu yang secara klinis menyebabkan
penderita mengalami pucat sampai sianosis. Terdapatnya cairan purulent pada alveolus
juga dapat mengakibatkan peningkatan tekanan pada paru, selain dapat berakibat
peningkatan retraksi dada. Secara hematogen maupun langsung (lewat penyebaran sel)
mikroorganisme yang terdapat dalam paru dapat menyebar ke bronkus. Setelah terjadi
fase peradangan lumen bronkus bersebukan sel radang akut, terisi eksudat (nanah) dan
sel epitel rusak. Bronkus dan sekitarnya penuh dengan netrofil (bagian leukosit) yang
banyak pada saat awal peradangan dan bersifat fagositosis dan sedikit eksudat fibrinosa.
Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga
dapat timbul bronkiektasis. Selain itu organisasi eksudat dapat terjadi karena absorbsi
yang lambat. Eksudat pada infeksi ini mula-mula encer dan keruh, mengandung
purulen, dan menyebabkan sumbatan pada lumen bronkus. Sumbatan tersebut dapat
mengurangi asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas.
Terdapatnya peradangan pada bronkus dan paru juga akan mengakibatkan peningkatan
produksi mukosa dan peningkatan gerakan silia pada lumen bronkus sehingga timbul
yaitu didahului dulu dengan infeksi pada bronkus kemudian berkembang menjadi infeksi
peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. Inflamasi pada bronkus
ditandai adanya penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi
positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
Disebut hyperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada
daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler ditempat infeksi.
disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat
dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi peradangan.
Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit,dan
cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada peraban seperti hepar, pada stadium
ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga
penumpukan secret, sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif, dan mual
6. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thoraks
Pada foto thoraks bronkopneumonia terdapat bercak-bercak infiltrat pada satu atau
beberapa lobus.
2. Laboratorium
a) Pemeriksaan darah
Analisa gas darah arteri bisa menunjukkan asidosis metabolic dengan atau
c) Kultur darah
Leukositosis dapat mencapai 15.000-40.000 mm3 dengan pergeseran ke kiri
3. GDA: tidak normal mungkin terjadi,tergantung pada luas paru yang terlibat dan
4. Analisa gas darah arteri bisa menunjukkan asidosis metabolic dengan atau tanpa
retensi CO2.
5. LED meningkat.
6. WBC (white blood cell) biasanya kurang dari 20.000 cells mm3.
7. Penatalaksanaan
Memurut Nurarif dan Kusuma (2015) penatalaksanaan yang dapat diberikan antara
lain:
b. Kebutuhan Istirahat Pasien ini sering hiperpireksia maka pasien perlu cukup
istirahat, semua kebutuhan pasien harus ditolong ditempat tidur.
1. Pengkajian
1. Pengkajian primer
A. Airway (Jalan nafas)
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan yaitu memeriksa responsivitas pasien
dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan
nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka
Bagi pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka. Pasien
yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Obstruksi jalan
nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar
Perlu di perhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
1. Kepatenan jalan nafas pasien.
2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
a) Adanya snoringataugurgling
b) Agitasi (hipoksia)
c) Penggunaanotot bantu pernafasan
d) Sianosis
3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial
penyebab obstruksi.
4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
5. Gunakan berbagai alat bantu untuk mematenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
a) Chin lift/jaw thrust
b) Lakukan suction (jika tersedia)
c) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
d) Lakukan intubasi.
e) Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
f) Lakukan intubasi.
B. Breathing (Pernafasan)
Pengkajian breathing (pernafasan) dilakukan setelah penilaian jalan nafas. Pengkajian
pernafasan dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi. Bila diperlukan auskultasi dan
perkusi. Inspeksidada korban: Jumlah, ritme dan tipepernafasan; Kesimetrisan
pengembangan dada; Jejas/kerusakan kulit; Retraksi intercostalis. Palpasi dada korban:
Adakah nyeri tekan; Adakah penurunan ekspansi paru. Auskultasi: Bagaimanakah bunyi
nafas (normal atau vesikuler menurun); Adakah suara nafas tambahan seperti ronchi,
wheezing, pleural friksionrub. Perkusi, dilakukan di daerah thorak dengan hati hati,
beberapa hasil yang akan diperoleh adalah sebagai berikut: Sonor (normal); Hipersonor
atau timpani bila ada udara di thorak; Pekak atau dullnes bila ada konsolidasi atau cairan.
C. Circulation (Sirkulasi)
Pengkajian sirkulasi bertujuan untuk mengetahui dan menilai kemampuan jantung dan
pembuluh darah dalam memompa darah keseluruh tubuh. Pengkajian sirkulasi meliputi:
Tekanan darah; Jumlah nadi; Keadaan akral: dingin atau hangat; Sianosis; Bendungan
vena jugularis
D.Disability
Tingkat kesadaran pasien dan respons terhadap lingkungan adalah indikator paling
sensitif untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran,
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran pasien dan bahan evaluasi
untuk pemantauan pemberian asuhan
E.Eksposure
2. Pengkajian sekunder Secondary Survey
Pemeriksaan dilakukan setelah pasien dengan keadaan stabil dan dipastikan
airway, breathing dan sirkulasidapat membaik. Prinsip survey sekunder adalah
memeriksa ke seluruh tubuh yang lebih teliti dimulai dari ujung rambut sampai ujung
kaki ( head to toe) baik pada tubuh dari bagian depan maupun belakang serta evaluasi
ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa yang
singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past illness, last meal dan event of injury).
Pemeriksaan penunjang ini dapat dilakukan pada fase meliputi foto thoraks
Penanganan klinis mempunyai tahap yang menggunakan prosedur 6B yaitu :
a. Breathing : perhatikan adanya frekuensi dan jenis pernafasan, pembebasan obstruksi
jalan nafas, oksigenasi yang cukup, atau adanya hiperventilasi jika diperlukan.
b. Blood Pada pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium seperti Hb dan
leukosit.
c. Brain Langkah awal penilaian ditentukan pada respon mata, motorik, dan verbal
(GCS). Ketika memburuk perlu pemeriksaan keadaan pupil serta gerakan bola mata.
d. Bladder Kandung kemih segera dikosongkan dengan pemasangan kateter.
e. Bowel Usus yang penuh cenderung akan meningkatkan tekanan intracranial dan
pemeriksaan
f. Bone kekuatan tulang pasien yang harus diukur
3. Pengkajian fisik
1) Inspeksi : perlu diperhatika adanya takipnea,dysnea, sianosis, pernafasan cuping
hidung distensi abdomen, batuk semula non produktif menjadi produktif serta nyeri dada
waktu bernafas adanya retraksi dinding dada
2) Palpasi : hati mungkin akan membesar, flemitus teraba meningkat pada sisi yang sakit,
dan mengalami peningkatan denyut nadi
3) Perkusi : suara redup pada sisi yang sakit
4) Auskultasi : terdengar suara nafas tambahan ronkhi
4. Data focus
pengkajian pada bronkopneumonia meliputi
a. Aktivitas/istirahat Gejala : kelemhan, kelelahan, insomnia Tanda : letargi, penurunan,
penurunan toleransi terhadap aktivitas
b. Sirkulasi Gejala : riwayat gagal jantung kronis Tanda : takikardi, penampilan pucat
c. Integritas ego Gejala : banyak stressor
d. Makanan/cairan Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah Tanda : distensi
abdomen, bunyi usus hiperaktif, kulit kering, turgor kulit buruk, penampilan
malnutrisi
e. Neurosensori Gejala : sakit kepala dengan frontal Tanda : perubahan mental
f. Nyeri/kenyamanan Gejala : sakit kepala, nyeri dada meningkat, dan batuk myalgia 7)
Pernafasan Gejala : riwayat PPOM, prokok aktif,takipnea,dyspnea, pernafasan
dangkal, penggunaan otot aksesori, pelebaran nasal Tanda :
Sputum : merah muda, berkarat atau purulen
Perkusi : peka bila terdapar cairan paru
Bunyi nafas : terdapat suara ronkhi basah nyaring halus atau sedang
Fremitus : taktil dan vokal meningkat dengan konsolidasi
Watna : pucat atau sianosis bibir/kuku
g. Keamanan Gejala : riwayat gangguan system imun, demam Tanda : berkeringat,
menggigil berulang, gemetar, kemerahan, mungki pada kasus rubeda/veriseia
3. Diagnosa
sputum
alveolus
01 Maret 2022
HR (x/menit) 60 72 49 54 50
RR (x/menit) 24 25 19 14 19
SPO2 (%) 94 94 95 96 96
HR (x/menit) 77 59 72 50 54
RR (x/menit) 26 33 25 18 14
SPO2 (%) 99 96 97 96 99
03 Maret 2022
HR (x/menit) 55 93 76 72 60
RR (x/menit) 18 20 20 25 24
SPO2 (%) 96 99 99 97 98
Meadsured 37 C
pH 7.297 - 7.37-7.45 L
pCO2 32.5 mmHg
PO2 60.1 mmHg 83-108
Calculated Temp 36.0 C
FIO2 35.0 %
PH(T) 7.311 - 7.37-7.45 L
PCO2(T) 31.1 mmHg 35-45 L
PO2(T) 56.1 mmHg 83-108 L
HCO3- 15.5 mmol/L 22-29 L
TCO2 16.5 mmol/L 23-27 L
BEecf -10.9 mmol/L
BE(B) -9.8 mmol/L (-2)-(+3)
SO2c 88.8 % 94%-98% L
A-Ado2 156.1 mmHg
6. Pemeriksaan Diagnostik
Thoraks 16/2/23
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar)
Gambaran bronchopneumonia dengan bercak relatif sama
Thorax 5/2/23
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar) Gambaran bronchopneumonia
berkurang CXR Brixia Score : 1 (001-000), (Range Score : 0-18)
X-Thorax 28/01/2023
Konfigurasi jantung relatif sama (Cor tak membesar) Gambaran edema pulmonum
perbaikan disertai bronchopneumonia CXR Brixia Score : 3 (001-011), (Range Score : 0-
18) MSCT kepala tanpa kontras 19/1/23 RST Tak tampak infark, perdarahan maupun
SOL intracranial. Kalsifikasi ganglia basalis, plexus choroideus dextra sinistra dan pineal
body. Tak tampak peningkatan tekanan intracranial
D. Intervensi Keperawatan
trakheostomi mulut)
- ronkhi basah
- RR 17x/menit
A : masalah belum
teratasi
P : lanjutkan
intervensi
C. Diagnosa
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya jalan nafas buatan (D.0001)
Bakteri stafilokokus
Proses inflamasi
Suction
F. Landasan teori terkait EBN
terjadi peradangan bronkus dan alveolus dan jaringan sekitarnya. Inflamasi pada
produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan. Bronkus rusak akan mengalami fibrosis dan
pelebaran akibat tumpukan nanah sehingga dapat timbul bronkiektasis. Selain itu
organisasi eksudat dapat terjadi karena absorbsi yang lambat. Eksudat pada infeksi
asupan oksigen dari luar sehingga penderita mengalami sesak nafas. Kasus kegagalan
dalam pernafasan merupakan salah satu indikasi pasien dirawat di ruangan Intensive
Care Unit (ICU). Gagal napas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan
dapat dibantu dengan alat bantu nafas, salah satunya yaitu ventilasi mekanik,
transpor oksigen dan karbondioksida antara atmosfer dan alveoli untuk meningkatkan
pertukaran gas dan paru-paru. Pasien yang terpasang ventilasi mekanik di ruang ICU