DI SUSUN OLEH :
CI INSTITUSI CI LAHAN
A. Definisi
Pneumonia adalah proses inflamasi atau peradangan pada jaringan
paru yang tampak fusi serta dapat terjadi pengisian di lubang alveoli yang
disebabkan oleh jamur, virus bakteri, dan benda asing. Pneumonia juga bisa
disebabkan oleh bahan kimia, dan aspirasi. Pneumonia merupakan
peradangan akut di parenkim paru dan sering mengganggu pertukaran gas
(Akbar, 2019)
Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang terjadi karena
infeksi di saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) disertai dengan sesak nafas
yang disebabkan oleh virus, mycoplasma (fungi) .Pneumonia merupakan
peradangan akut jaringan paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat. Bronkopneumonia digunakan unutk
menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi
konsolidasi area berbercak.
Bronkopneumonia adalah peradangan umum dari paru-paru, juga
disebut sebagai pneumonia bronkial, atau pneumonia lobular. Peradangan
dimulai dalam tabung bronkial kecil bronkiolus, dan tidak teratur menyebar
ke alveoli peribronchiolar dan saluran alveolar.
B. Anatomi
2016).
1) Hidung
2) Faring
3) Laring
Merupakan jalinan tulang rawan yang dilengkapi dengan otot,
4) Trakea
tetap terbuka.
5) Bronkus
kanan dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar dari pada
bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah dan bawah,
6) Bronkiolus
7) Paru – paru
Paru sebagai alat pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu paru
kanan dan kiri. Pada bagian tengah organ ini terdapat organ jantung
C.
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat
menimbulkan pneumonia dan penyakit ini baru akan timbul apabila ada
faktor- faktor prsesipitasi, namun pneumonia juga sebagai komplikasi dari
penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di
bawah ini :
a. Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan pneumonia adalah : Diplococus
pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia),
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri gram positif yang menyebabkan
pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus
dan streptococcus pyogenis
b. Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum
disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus merupakan penyebab utama pneumonia virus. Virus lain
yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Respiratory syntical virus
dan virus stinomegalik.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung. Jamur yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas,
Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda
Albicans, Mycoplasma Pneumonia.
d. Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti
pada penderita AIDS.
e. Faktor lain yang mempengaruhi
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP),
penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.
E. Klasifikasi
1. Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
a. Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris
dengan opasitas lobus atau lobularis.
b. Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang
meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
2. Berdasarkan faktor lingkungan
a. Pneumonia komunitas
b. Pneumonia nosokomial
c. Pneumonia rekurens
d. Pneumonia aspirasi
e. Pneumonia pada gangguan imun
f. Pneumonia hipostatik
3. Berdasarkan sindrom klinis
a. Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe
tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk
bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe
campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai
konsolidasi paru.
b. Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang
disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella
F. Manifestasi Klinis
1. Meriang, tampak tanda sebagai infeksi pertama. Sering terjadi
dengan suhu mencapai 39,5-40,5oC.
2. Susah makan, hal yang umum melalui tahap demam dari
penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap pemulihan.
3. Muntah, jika muntah bersamaan dengan penyakit yang
merupakan petunjuk untuk awalan infeksi.
4. Sakit pada perut, merupakan keluhan umum. Terkadang tidak
bisa membedakan dengan nyeri apendiksitis.
h. Ekstremitas
Biasanya pada ekstremitas akral teraba dingin bahkan bahkan crt
> 2 detik karena kurangnya suplai oksigen ke Perifer, ujung-ujung
kuku sianosis.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik Menurut Manurung dkk (2013), yaitu :
1) Pemeriksaan Radiologi
a) Biasanya pada rontgen thoraks ditemukan beberapa lobus
berbercak-bercak infiltrasi
b) Bronkoskopi digunakan untuk melihat dan memanipulasi
cabang- cabang utama dari arbor trakeobronkial. Jaringan yang
diambil untuk pemeriksaan diagnostik , secara terapeutik
digunakan untuk mengidentifiksi dan mengangkat benda asing
2) Hematologi
a) Darah lengkap
(1) Hemoglobin pada pasien bronchopneumonia biasanya
tidak mengalami gangguan. Pada bayi baru lahir
normalnya 17-12 gram/dl, Umur 1 minggu normalnya 15-
20 gram/dl, Umur 1 bulan normalnya11-15 gram/dl, dan
pada Anak-anak normalnya 11-13 gram/dl
(2) Hematokrit pada pasien bronchopneumonia biasanya tidak
mengalami gangguan. Pada Laki-laki normalnya 40,7% -
50,3%, dan pada Perempuan normalnya 36,1% - 44,3%
(3) Leukosit pada pasien bronchopneumoia biasanya
mengalami peningkatan, kecuali apabila pasien mengalami
imunodefisiensi Nilai normlanya 5 .– 10 rb /𝑚𝑚3
(4) Trombosit biasanya ditemukan dalam keadaan normal
yaitu 150 – 400 rb 𝑚𝑚3
(5) Eritrosit biasanya tidak mengalami gangguan dengan nilai
normal Laki – laki 4,7- 6,7 juta dan pada Perempuan 4,2–
5,4 juta
Bronchopneumonia
Hipoksia
4. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus
implementasi diantaranya, mempertahankan daya tahan tubuh,
menemukan perubahan sistem tubuh, mencegah komplikasi, memantapkan
hubungan klien dengan lingkungan.
Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan ( intervensi ). Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan dan kegiatan komunikasi.
Tujuan implementasi adalah Melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan untuk selanjutnya di evaluasi untuk mengetahui kondisi
kesehatan pasien dalam periode yang singkat, mempertahankan daya tahan
tubuh, mencegah komplikasi, dan menemukan perubahan sistem tubuh.
5. Evaluasi
Evaluasi atau tahap penelitian adalah perbandingan sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersambugan dengan melibatkan klien, keluarga,
dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat
kemampuan klien mencapai tujuan yang di inginkan dengan kriteria hasil
pada perencanaan. Format yang dipakai adalah format SOAP:
1. S : Data Subjektif
Perkembangan yang di dasarkan pada apa yang di rasakan, di keluhkan
dan di kemukakan klien.
2. O : Data Objektif
Perkembangan yang biasa di amati dan di ukur oleh perawat atau tim
kesehatan lain.
3. A : Analisis
Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif) apakah
berkembang ke arah kebaikan atau kemunduran.
4. P : Perencanaan
Rencana penanganan klien yang di dasarkan pada hasil analisis di atas
berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan atau
masalah belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
OLEH :
SUKMAWATY
NIM. 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system
saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum
cerebellum, brainstem, dan limbic system (Derrickson &Tortora, 2019). Otak
merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron
telah di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau
plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak mengambil alih
fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke ( Feign, 2019).
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan
medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST).
Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP
dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2019).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
1. Cerebrum Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus (Ganong, 2019).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a. Lobus Frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi
intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak
dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan
emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter
di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,
perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2019).
b. Lobus Temporalis Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura
parieto-oksipitalis (White, 2020). Lobus ini berfungsi untuk
mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm
pembentukan dan perkembangan emosi.
c. Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran
sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba
dan pendengaran (White, 2020).
d. Lobus oksipitalis Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat
penglihatan dan area asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan
memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan
mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori
(White, 2020).
e. Lobus Limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi
manusia, memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan
perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan susunan
otonom (White, 2020).
2. Cerebellum Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung
lebih banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki
peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan
pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih
banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat koordinasi
untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot
volunter secara optimal (Purves, 2019).
3. Brainstem Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla
spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf
cranial.
C. Etiologi Tumor Otak
Tidak ada faktor etiologi jelas yang telah ditemukan untuk tumor otak
primer. Walaupun tipe sel yang berkembang menjadi tumor sering kali dapat
diidentifikasi, mekanisme yang menyebabkan sel bertindak abnormal tetap
belum diketahui. Kecenderungan keluarga, imunosupresi, dan faktor-faktor
lingkungan sedang diteliti. Waktu puncak untuk kejadian tumor otak adalah
decade kelima dan ketujuh. Selain itu, pria terkena lebih sering dari pada
wanita.
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan
kecuali pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai
pada anggota-anggota sekeluarga. Dibawah 5% penderita glioma
mempunyai sejarah keluarga yang menderita brain tumor. Sklerosis
tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang
jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang
kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada
neoplasma.
b. Sisa-Sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-
bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam
tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal
dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya.
Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma,
teratoma intrakranial dan kordoma.
c. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat
memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma
terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan
besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi
virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum
ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.
e. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas
dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik
seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan
percobaan yang dilakukan pada hewan.
f. Trauma kepala
Trauma kepala yang dapat menyebabkan hematoma sehingga
mendesak massa otak akhirnya terjadi tumor otak.
4. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum eletrik di
otak, dengan meletakkan elektroda-elektroda pada daerah kulit kepala
atau dengan menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak.
Pemeriksaan ini memberikan kajian fisiologis aktifitas serebri. EEG
bertindak sebagai indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut,
bekuan darah, dan infeksi dapat menyebabkan aktifitas listrik berbeda
dari pola normal irama dan kecepatan. Pemeriksaan ini pada tumor otak
berfungsi untuk mengevaluasi lobus temporal pada saat kejang.
6. Angiografi Serebral
Menegaskan adanya tumor. Memberikan gambaran pembuluh
darah serebral dan letak tumor serebral. Pada tumor otak ini pembuluh
darah pada siklus Willis di cabang arteri otak yang kecil akan mengalami
pembesaran masa pembuluh darah saat dilakukan pemeriksaan ini.
Gambar 10 Hasil Pemeriksaan Angiografi Serebral pada Tumor Otak
(Pearce, 2009)
e Pencernaan B5 (Bowel)
Mual dan muntah terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
sehingga menekan pusat muntah pada otak. Gejala mual dan muntah
ini biasanya akan diikuti dengan penurunan nafsu makan pada
pasien. Kondisi mulut bersih dan mukosa lembab
f Muskuloskeletal/integument B6 (Bone)
Keterbatasan pergerakan anggota gerak karena kelemahan bahkan
kelumpuhan. Kemampuan pergerakan sendi bebas, kondisi tubuh
kelelahan.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis (00133) berhubungan dengan perembesan tumor:
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan penekanan
medula oblongata.
3. Risiko ketidakefekifan perfusi jaringan serebral (00200) berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema
serebri.
4. Resiko cedera (00035) berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap
hipotensi ortostatik.
5. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002) berhubungan
dengan efek kemoterapi dan radioterapi.
6. Gangguan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan gangguan sensorik
dan motorik
7. Gangguan rasa nyaman (00214) berhubungan dengan nyeri akibat tidak
mampu menggerakan leher.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri kronis (00133) berhubungan dengan perembesan tumor:
peningkatan tekanan intrakranial.
Domain 12: Comfort
Class 1. Physical Comfort
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Pain Management (1400)
keperawatan selama 1x24 jam nyeri 1) Mengurangi/menghilangkan
yang dirasakan berkurang 1 atau dapat faktor-faktor yang memimbulkan /
diadaptasi oleh klien dengan kriteria meningkatkan pengalaman nyeri
hasil : 2) Memilih dan
a. Klien mengungkapkan nyeri mengimplementasikan satu jenis
yang dirasakan berkurang atau tindakan (farmakologi, non-
dapat diadaptasi ditunjukkan farmakologi, interpersonal) untuk
penurunan skala nyeri. Skala = 2 memfasilitasi pertolongan nyeri
b. Klien tidak merasa kesakitan. 3) Mempertimbangkan jenis dan
c. Klien tidak gelisah sumber nyeri ketika memilih
Domain-Health Knowledge & strategi pertolongan nyeri
Behaviour (IV) 4) Mendorong klien untuk
Pain Control (1605) menggunakan pengobatan nyeri
Klien dapat mengenal onset nyeri yang adekuat
Klien dapat menggambarkan faktor 5) Instruksikan pasien/keluarga
penyebab untuk melaporkan nyeri dengan
Klien mengenal gejala yang segera jika nyeri timbul.
berhubungan dengan nyeri (160509) 6) Mengajarkan tehnik relaksasi dan
Melaporkan kontrol nyeri (160511) metode distraksi
Pain: Disruptive Effects (2101) 7) Observasi adanya tanda-tanda
Hubungan interpersonal tidak nyeri non verbal seperti ekspresi
terganggu wajah, gelisah,
Tindakan peran seperti semula menangis/meringis, perubahan
Dapat melakukan ktivitas sehari-hari tanda vital.
Aktivitas fisik tidak terganggu Kolaborasi: Analgesic Administration
(2210)
1) Menentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan keparahan nyeri
sebelum pengobatan klien
2) Mengecek permintaan medis
untuk obat, dosis, dan frekuensi
dari analgesik yang telah
ditentukan (resep)
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan penekanan
medula oblongata.
Domain 4: Activity/Rest
Class 4. Cardiovascular/Pulmonary Responses
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Airway Management (3140)
keperawatan selama 1x24 jam pola 1) Monitor status respirasi dan
pernafasan kembali normal dengan oksigenasi, yang tepat
kriteria Hasil : Respiratory Management (3350)
a. Pola nafas efekif 1) Monitor kecepatan, irama,
b. GDA normal kedalaman dan upaya pernafasan.
c. Tidak terjadi sianosis 2) Monitor pola pernapasan
3) Monitor tingkat saturasi oksigen
Domain-Physiologic Health (II) dalam klien yang tenang
Class-Cardiopulmonary (E) 4) Auskultasi suara napas, mencatat
Respiratory Status (0415) area penurunan ketiadaan ventilasi
Respiraroty Rate normal dan keberadaan suara tambahan
Respiraory Rhytm normal
Kedalaman inspirasi normal
Saturasi oksigen normal
Tidak ada sianosis
Mengenai lobus oksipitalis Pertumbuhan Sel yang Abnormal Obstruksi cairan Peregangan Epidural
serebrospinal dari ventrikel
lateral ke sub arachnoid
Gangguan visual TUMOR OTAK Nyeri Kepala
HIDROSEPALUS Papiledema
Penambahan Massa Otak dan atau Cairan Otak
Kerusakan pembuluh darah otak Kompresi jaringan otak Mengenai lobus frontalis Mengenai batang otak Bergesernya ginus
terhadap sirkulasi darah & O2 medialis lobus temporal
ke inferior melalui
Perpindahan cairan intravaskuler Kompresi daerah motorik Iritasi pusat vagal di insisura tentorial
ke jaringan serebral Penurunan suplai O2 ke medula oblongata
jaringan otak akibat obstruksi
Hemiparesis
Herniasi medula
Volume intrakranial naik (PTIK) Mual & Muntah oblongata
Iskemik
MK. Gangguan
Menggangu fungsi spesifik Mobilitas Fisik MK. Nutrisi
MK. Gangguan Perfusi MK. Risiko Menekan pusat saraf napas
bagian otak tempat tumor Kurang dari
Jaringan Cerebral Tinggi Cedera
Kebutuhan Tubuh
Mengenai lobus parietalis
MK. Ketidakefektifan
MK. Nyeri Kronis
Pola Napas
Kejang fokal
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M., [et al.]. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), Sixth
Edition. United States of America: Mosby Elsevier
Moorhead, Sue., [et al.]. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): measurement
of health outcomes, Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS CKD DI RUANGAN ANGGREK RSUD
UNDATA KOTA PALU
SULAWESI TENGAH
DI SUSUN OLEH:
NAMA : SUKMAWATY
NIM : 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
2022
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney Disease (CKD)
yaitu merupakan kehilangan atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut
dan bertahap serta bersifat menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan pengobatan yang serius.
Perbedaan kata kronis disini dibanding dengan akut adalah kronologis waktu
dan tingkat fisiologis flitrasi. Berdasarkan Mc Clellan (2006) dijelaskan
bahwa gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang
persisten (keberlangsungan ≥ 3 bulan) dengan:
1. Kerusakan ginjal; dan
2. Kerusakan Glomerulus Filtration Rae (GFR) dengan angka GFR ≤ 60
ml/menit/1,73 m2.
CKD
A. Pengkajian
1. Anamnesa
Pengkajian pada klien gagal ginjal kronis sebenarnya hamper sama
dengan klien gagal ginjal akut , namun disini pengkajian lebih penekanan
pada support system untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam
tubuh (hemodynamically process). Dengan tidak optimalnya/gagalnya
fungsi ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam
batas ambang kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini berlanjut (kronis), maka
akan meimbulkan berbagai manifestasi klinis yang menandakan gangguan
sisem tersebut. Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada klien
dengan gagal ginjal kronis:
a. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-
laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan
pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari
insidensi gagal ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri.
b. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria)
sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada
sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah,diaforesis,
fatingue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh karena
penumpukan (akumulasi) zat sisa metaboliisme/toksin dalam tubuh
karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien degan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine
output, penrunan kesadaran, perubahan pola napas karena komplikasi
dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau
urea pada napas. Selain itu, karena berampak pada proses metabolisme
(sekuder karena intoksikasi), maka akan terjadi anoreksi, nausea dan
vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi.
Priscilla, L., Karen, M., & Gerene, B. (2016). buku ajar keperawatan medikal
bedah: gangguan eliminasi. jakarta: EGC.
tanto, c., liwang, f., hanifan, s., & pradipta, e. a. (2014). kapita selekta kedokteran.
jakarta: media aesculapius.
SULAWESI TENGAH
DI SUSUN OLEH:
NAMA : SUKMAWATY
NIM : 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
2022
1
LAPORAN PENDAHULUAN
INTRACEREBRAL HEMATOMA (ICH)
2. ETIOLOGI
Etiologi dari Intra Cerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor
2
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat
l. Merokok
3. MANIFESTASI KLINIK
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang,
hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu,
pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala
terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa
berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata
bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak
normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa
dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009)
manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya
hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan
intra cranium.
3
4. PATOFISIOLOGI
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah
didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh darah
sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar
perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi,
perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang
menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan
kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila
aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi
penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala ini
masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah,
otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada
keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan
fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi
(ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial
dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat berakibat
mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal. Timbulnya penyakit
ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa
hari. (Corwin, 2009)
4
5. PATHWAYS
Trauma kepala, Fraktur depresi tulang tengkorak, , Hipertensi, Malformasi Arteri Venosa,
Aneurisma, Distrasia darah, Obat, Merokok
Nyeri
(Corwin, 2009)
5
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Angiografi
b. Ct scanning
c. Lumbal pungsi
d. MRI
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG
7. PENATALAKSANAAN
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang
yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang
mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan
hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu.
Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan
antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk.
Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah,
mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang
membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena
operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa
6
memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang
parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar
pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah
mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara
bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium lainnya
yang menunjang.
7
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai
90%.
b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara
napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c) Feel (raba)
2) Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap
pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di
evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan
dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-
takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi
yang adekuat
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan
cardiac output walaupun stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan
diastolik)
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah
hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan
pada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE
(Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau
8
darah mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya
koagulopati dan gangguan irama jantung.
4) Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5) Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus
menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
b. Secondary Survey
1) Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi
rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala,
massa, pembengkakan, nyeri tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa),
tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2) Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan
kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik
pada saat dada bergerak atau pada saat diem, terutama sewaktu dilakukan
pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada
dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan
tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem
bronkopulmonal selama seseorang berbicara)
9
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara
(pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara.
Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-paru dan rongga
pleura.
3) Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan
untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan
(heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi
jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan
area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan
tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang
dilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat pada hasil foto torak
anteroposterior.
4) Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas
bersangkutan, antara lain :
a) Cedera pembuluh darah.
b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi arteri tidak teraba.
b) Pucat (pallor).
c) Dingin (coolness).
d) Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e) Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.
10
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat
mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat
meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai
5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera
kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
b. Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c. Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
d. Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e. Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik
f. Kerusakan kamunikasi verbal.
g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi
3. INTERVENSI
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep
12
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep
13
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep
14
DAFTAR PUSTAKA
Paula, J. Christensen dan Janet W Kenney. 2009. Proses Keperawatan Aplikasi Model
Konseptual. Jakarta: EGC
Suharyanto, Toto , Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta
Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.
15
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ULKUS DEKUBITUS DI RUANGAN BOGENVILE
RSUD UNDATA KOTA PALU
SULAWESI TENGAH
DI SUSUN OLEH:
NAMA : SUKMAWATY
NIM : 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
2022
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan kontraksi otot
ekstrem. Saat tulang patah, jaringan disekitar akan terpengaruh, yang dapat mengakibatkan
edema pada jaringan lunak, dislokasi sendi, kerusakan saraf. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Brunner & Suddart, 2019).
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap ( Nurarif, 2020).
Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat trauma
secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami laki — laki dewasa (Desiartama,2018).
Fraktur neck femur (Nekrosis avascular) atau dislokasi sendi panggul adalah salah satu
jenis fraktur yang sangan mempengaruhi kualitas hidup manusia. Pada kasus ini sering kali
diderita pada usia lanjut, sedangkan pada usia muda sering terjadi karena trauma yang cukup
besar, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Sutanto Iwan,
2020).
Fraktur collum atau neck (leher) femur adalah tempat yang paling sering terkena
fraktur pada usia lanjut. Ada beberapa variasi insiden terhadap ras. Fraktur collum femur
lebih banyak pada populasi kulit putih di Eropa dan Amerika Utara. Insiden meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia tujuh
puluh dan delapan puluhan. Namun fraktur collum femur bukan semata-mata akibat
penuaan.
Fraktur collum femur cenderung terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata,
banyak diantaranya mengalami kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan tulang
dan kelemahan tulang, misalnya pada penderita osteomalasia, diabetes, stroke, dan
alkoholisme. Beberapa keadaan tadi juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan
terjatuh. Selain itu, orang lanjut usia juga memiliki otot yang lemah serta keseimbangan
yang buruk sehingga meningkatkan resiko jatuh.
B. Anatomi fisiologi
Femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, meneruskan berat
tubuh dari os coxae ke tibia sewaktu kita berdiri. Caput femoris ke arah craniomedial
dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri
dari sebuah caput femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor
Area intertrochanter dari femur adalah bagian distal dari collum femur dan proksimal
dari batang femur. Area ini terletak di antara trochanter mayor dan trochanter minor.
Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut (1150-1400) terhadap poros
panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Corpus
femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur,
berakhir menjadi dua condylus, epicondylus medialis dan epicondylus lateralis yang
melengkung bagaikan ulir.
Caput femoris mendapatkan aliran darah dari tiga sumber, yaitu pembuluh darah
intramedular di leher femur, cabang pembuluh darah servikal asendens dari anastomosis
arteri sirkumfleks media dan lateral yang melewati retinakulum sebelum memasuki
caput femoris, serta pembuluh darah dari ligamentum teres
Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intramedular dan pembuluh darah
retinakulum mengalami robekan bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur transervikal
adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai kapasitas yang sangat rendah
dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh,
serta hambatan dari cairan sinovial.
Sendi panggul dan leher femur ini dibungkus oleh capsula yang di medial melekat
pada labrum acetabuli, di lateral, ke depan melekat pada linea trochanterika femoris dan
ke belakang pada setengah permukaan posterior collum femur. Capsula ini terdiri dari
ligamentum iliofemoral, pubofemoral, dan ischiofemoral. Ligamentum iliofemoral
adalah sebuah ligamentum yang kuat dan berbentuk seperti huruf Y terbalik. Dasarnya
disebelah atas melekat ada spina iliaca anterior inferior, dibawah kedua lengan Y
melekat pada bagian atas dan bawah linea intertrochanterica. Ligament ini berfungsi
untuk mencegah ekstensi berlebihan selama berdiri. Ligamentum pubofemoral
berbentuk segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis, dan
apex melekat di bawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligament ini
berfungsi untuk membatasi gerak ekstensi dan abduksi. Ligamentum ischifemoral
berbentuk spiral dan melekat pada corpus ossis ischia dekat margo acetabuli dan di
bagian bawah melekat pada trochanter mayor. Ligament ini membatasi gerak ekstensi.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsun, gaya remuk, gerakan mendadak, bahkan
kontraksi otot eksterm. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur dari pada laki — laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang dekait dengan perubahan hormone pada menopause (Lukman
& Ningsih, 2019).
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatic pada tulang disebabkan oleh:
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tilang patah
secara spontan.
b. Cedera tidak langsug adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang terkendali.
b. Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut.
c. Rakitis.
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya. Tetap faktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif
dan patologi (Noorisa dkk, 2019).
Fraktur yang bisa terjadi akibat faktor proses degenerative biasanya fraktur neck
femur atau fraktur leher femur. Fraktur ini biasanya dipengaruhi berbagai macam risiko,
trauma jatuh pada populasi lanjut usia dan trauma high impact pada populasi muda.
Etiologi pada fraktur neck femur dapat dibedakan berdasarkan jenis frakturnya,
diantaranya:
1. Stress Fraktur
Pada stress fraktur, fraktur disebabkan oleh tekanan repetitive berulang pada
collum femur umumnya terjadi pada pelari, terutama pada pelari wanita. Tekanan
repetitive ini akan menyebabkan terjadinya fraktur mikroskopis yang jika tidak
teridentifikasi dan ditangani akan menyebabkan stress fraktur.
2. Fraktur akut.
Fraktur akut penyebabnya adalah trauma high impact.
3. Fraktur insufisiensi
Fraktur insufisiensi merupakan fraktur yang terjadi pada kondisi pasien abnormal,
umumnya terjadi pada populasi lanjut usia. Penyebab kondisi abnormal ini
diantaranya adalah osteoporosis dan penggunaan obat — obatan yang mempengaruhi
metabolisme tubuh. Kondisi abnormal ini akan menyebabkan terjadinya fraktur pada
stress ringan yang seharusnya tidak menyebabkan fraktur
D. Patofisiologi
Pada orang usia lanjut khususnya pada wanita, terjadi perubahan struktur pada bagian
ujung atas femur yang menjadi predisposisi untuk terjadinya fraktur collum femur.
Karena hilangnya tonus otot dan perubahan pada keseimbangan, pasien dituntut untuk
mengubah pola berjalan mereka. Fraktur collum femur dapat disebabkan karena
lemahnya collum femur terhadap aksi stress dari arah vertical dan rotasional yang terus
menerus, seperti ketika ektermitas bereksorotasi dan tubuh berotasi kearah yang
berlawanan. Pada mekanisme ini, aspek posterior dari collum mengenai lingkaran dari
acetabulum karena berotasi kearah posterior, pada keadaan ini acetabulum berperan
sebagai titik tumpu (Subagyo, 2020).
Fraktur collum femur terjadi akibat jatuh pada daerah trkchanter baik karena
kecelakaan lalu lintas jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di
kamar mandi di mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Pada kondisi
osteoporosis insiden fraktur pada posisi ini tinggi (Noor,2019).
E. Pathway
langsung
Metabolisme asam
lemak
Protein plasma
Hambatan hilang
Mobilitas Fisik
Emboli
Putus vena/arteri
Perdarahan
Kerusakan KetidakefektifanKehilangan Volume Cairan
Integritas Kulit Perfusi Jaringan
Penekanan Menyumbat
pembuluh darah pembuluh darah
Resiko Syok
(Hipovolemik)
2. Kehilangan fungsi.
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
4. Pemendekan ektermitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
G. Komplikasi
Komplikasi umum pada pasien yang berusia tua sangat rentan untuk menderita
komplikasi umum seperti thrombosis vena dalam, emboli paru, pneumonia dan ulkus
dekubitus.
1. Nekrosis avaskular
Nekrosis iskemik dari caput femoris terjadi pada sekitar 30 kasus dengan fraktur
pergeseran dan 10 persen pada fraktur tanpa pergeseran. Hampir tidak mungkin untuk
mendiagnosisnya pada saat fraktur baru terjadi. Perubahan pada sinar-x mungkin
tidak nampak hingga beberapa bulan bahkan tahun. Baik terjadi penyatuan tulang
maupun tidak, kolaps dari caput femoris akan menyebabkan nyeri dan kehilangan
fungsi yang progresif.
2. Non-union
Lebih dari 30 persen kasus fraktur collum femur gagal menyatu, terutama pada
fraktur dengan pergeseran. Penyebabnya ada banyak: asupan darah yang buruk,
reduksi yang tidak sempurna, fiksasi tidak sempurna, dan penyembuhan yang lama.
3. Osteoartritis
Nekrosis avaskular atau kolaps kaput femur akan berujung pada osteoartritis
panggung. Jika terdapat kehilangan pergerakan sendi serta kerusakan yang meluas,
maka diperlukan total joint replacement.
H. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna
struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan
adanyapelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X sendi dapat
menunjukkan adanya cairan, iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
3. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto
sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Pemeriksaan ini sangat
bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan dapat digunakan untuk tingkat amputasi
yang dilakukan. Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini adalah klien dibiarkan
berbaring selama12 jam sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat
penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan untuk melihat adanya
pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna mengkaji apakah sirkulasi
ekstremitas bagian distal adekuat.
4. Artografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur
jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan dalam kisaran pergerakannya
sambil dilakukan serial sinar-X. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen
penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan,
bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X.
Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12 jam sampai 24 jam
dan diberi balut tekan elastis.
6. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung ke dalam
sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi dalam kondisi steril dan perlu
dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun anastesi umum.
7. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan sinovial guna
membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai
adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Setelah melakukan prosedur ini mungkin perlu
dikompres es untuk mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik
untuk mengurangi rasa tidak nyaman.
8. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai masalah
muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti infeksi, sebagai dasar
acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar
hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma dan hitung
sel darah putih. Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai macam
kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi
paratiroid, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama.
I. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin, (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah :
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan;
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
dan menghindari komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan reduksi
anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan mencegah
komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian
hari.
Penatalaksanaan konservatif
1. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah
trauma lebih lanjut dengan cara memberikan mitela pada anggota gerak atas atau
tongkat pada anggota gerak bawah.
2. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna
hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips atau dengan
bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.
4. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai
dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imobilisasi
2. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu ORIF (0pen
Reduction Internal Fixation). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat dan
sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi
yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang
(Sjamsuhidajat, 2021).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (0pen Reduction External Fixation).
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak. Pemasangan OREF akan memerlukan waktu yang lama dengan masa
penyembuhan antara 6-8 bulan. Setelah dilakukan pembedahan dengan pemasangan
OREF sering didapatkan komplikasi baik yang bersifat segera maupun komplikasi
tahap lanjut (Muttaqin, 2019).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no register, tanggal
MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentan rasa nyeri klien digunakan:
1) Provoking insident : apakah ada peristiwa yang terjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri
2) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (scale) of pain : seberah jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.
f. Riwayat psikologi
Riwayat psikososial spiritual. mengkaji respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarganya serta masyarakat, respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Pemeriksaan Fisik
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal). Keadaan umum
meliputi:
a. Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung
pada keadaan klien).
b. Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, dan pada kasus
osteomielitis biasanya akut).
B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pre op adalah :
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisik
2. Kerusakan integritas kulit b/d laserasi kulit
3. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji skala nyeri dengan PQRST Nyeri merupakan pengalaman
subjektif dan harus dijelaskan oleh
pasien. Identifikasi karakteristik
nyeri dan factor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat
penting untuk memilih intervensi
yang cocok dan untuk mengevaluasi
keefektifan dari terapi yang
diberikan
2 Observasi adanya tanda-tanda nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi yang tidak langsung yang dialami.
tubuh, gelisah, menangis/meringis, Sakit kepala mungkin bersifat akut
menarik diri, perubahan frekuensi atau kronis. Jadi manifestasi
nyeri
4 Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang
yang tenang berlebihan yang dapat mengurangi
nyeri
5 Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam Menurunkan edema/pembentukan
pertama dan sesuai keperluan hematoma, menurunkan sensasi
nyeri
6 Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan segera meningkatkan
pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat
melaporkan kepada petugas kesehatan menurunkan beratnya serangan
7 Kolaborasi dalam pemberian analgetik Analgetik dapat memblok nyeri
sehingga nyeri dapat berkurang
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, Menandakan area sirkulasi
turgor, vascular. Perhatikan kemerahan, buruk/kerusakan yang dapat
ekskoriasi. Observasi terhadap ekimosis, menimbulkan pembentukan
Purpura dekubitus/infeksi
2 Pantau masukan cairan atau hidrasi kulit Mendeteksi adanya dehidrasi atau
dan membran mukosa hidrasi yang berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas
jaringan pada tingkat seluler
3 Inspeksi area tergantung terhadap edema Jaringan edema lebih cenderung
rusak/robek
4 Ubah posisi dengan sering, gerakkan Menurunkan tekanan pada edema,
pasien dengan perlahan, beri bantalan pada jaringan dengan perfusi burukuntuk
tonjolan tulang menurunkan iskemia. Peninggian
meningkatkan aliran balik statis vena
terbatas/pembentukan edema
5 Selidiki keluhan gatal Meskipun dialysis mengalami
masalah kulit yang berkenaan dengan
uremik, gatal dapat terjadi karena kulit
adalah rute ekskresi untuk produk sisa
6 Pertahankan linen kering, bebas keriput Menurunkan iritasi dermal dan risiko
kerusakan kulit
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan Pasien mungkin dibatasi oleh
oleh cedera/pengobatan dan perhatikan pandangan diri/persepsi diri tentang
persepsi pasien terhadap imobilisasi keterbatasan fisik actual, memerlukan
informasi/intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
2 Dorong partisipasi pada aktivitas Memberikan kesempatan untuk
terapeutik/rekreasi. Pertahankan rangsang mengeluarkan energi, memfokuskan
lingkungan contoh : radio, TV, Koran, kembali perhatian, meningkatkan rasa
barang milik pribadi/lukisan, jam, kontrol diri/harga diri dan membantu
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji skala nyeri dengan PQRST Nyeri merupakan pengalaman subjektif
dan harus dijelaskan oleh pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan factor
yang berhubungan merupakan suatu hal
yang amat penting untuk memilih
intervensi yang cocok dan untuk
mengevaluasi keefektifan dari terapi yang
diberikan
2 Observasi adanya tanda-tanda nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, tidak langsung yang dialami. Sakit kepala
posisi tubuh, gelisah, mungkin bersifat akut atau kronis. Jadi
menangis/meringis, menarik diri, manifestasi fisiologis bisa muncul atau
perubahan frekuensi tidak
nyeri
4 Anjurkan untuk beristirahat dalam Menurunkan stimulasi yang berlebihan
ruangan yang tenang yang dapat mengurangi nyeri
5 Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam Menurunkan edema/pembentukan
pertama dan sesuai keperluan hematoma, menurunkan sensasi nyeri
6 Berikan penjelasan kepada keluarga Pengenalan segera meningkatkan
dan pasien jika nyeri tersebut muncul intervensi dini dan dapat menurunkan
segera melaporkan kepada petugas beratnya serangan
Kesehatan
7 Kolaborasi dalam pemberian analgetik Analgetik dapat memblok nyeri sehingga
nyeri dapat berkurang
NO INTERVENSI RASIONAL
1 Pantau tanda dan gejala infeksi Evaluasi awal, menentukan intervensi
selanjutnya
2 Pantau/batasi pengunjung. Berikan Membatasi pemajanan terhadap
isolasi bila memungkinkan bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi
dapat dibutuhkan pada anemia aplastik,
dan benar
10 Ambil specimen untuk Membedakan adanya infeksi,
kultur/sensitivitas sesuai indikasi
mengidentifikasi patogen khusus dan
mempengaruhi pilihan pengobatan
11 Berikan antiseptik topikal, antibiotik Mungkin digunakan secara propilaktik
sistemik untuk menurunkan kolonisasi atau
E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien
(Potter & Perry, 2009). Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan
klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori),
dan perencanaan (Asmadi, 2008).
DAFTAR PUSTAKA
Noor, Z. 2019, Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2nd ed. Salemba Medika, Jakarta
pp. 524-534.
Potter & Perry. 2019. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R., 2020. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Interνensi Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Tindakan Keperawatan, edisi l. Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ILEUS OBSTRUKSI DI RUANGAN
FLAMBOYAN RSUD UNDATA KOTA PALU
SULAWESI TENGAH
DI SUSUN OLEH:
NAMA : SUKMAWATY
NIM : 2022031033
CI LAHAN CI INSTITUSI
2022
BAB I
KONSEP TEORI
A. DEFINISI
Ileus obstruktif atau obstruksi mekanis merupakan penyimpatan isi lumen saluran
cerna tidak dapat disalurkan ke distal karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik
yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding, dan rongga peritonium (Bernstein,
2018).
Ileus obstruktif adalah suatu keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak dapat
disalurkan ke distal karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik yang disebabkan
kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan
vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut
(Wahyudi et al., 2020).
Dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif merupakan penyumbatan pada usus yang
menyebabkan isi usus tidak dapat melewati lumen usus sebagai akibat adanya sumbatan
atau hambatan mekanik usus.
B. ANATOMI FISIOLOGI
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan
sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus : lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M
sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah
Luar )Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),
usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
b. Kolon transversum
Membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden dengan panjang
± 28 cm
c. Kolon desenden
Terletak dirongga abdomen disebelah kiri membujur dari anus ke bawah
dengan panjangnya ± 25 cm
d. Kolon sigmoid
Terletak dalam rongga pelvis sebelah kiri yang membentuk huruf "S"
ujung bawah berhubungan dengan rektum
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan yang membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti Vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri di dalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air dan terjadilah
diare.
3. Usus Buntu
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: Caecus, “buta”) dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang berhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan
beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,
sedangkan karnivora ekslusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau
seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.
4. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan
dunia luar. (Drs. Syaifuddin).
C. ETIOLOGI
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen, tetapi
ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko terjadinya ileus,
di antaranya sebagai berikut :
1. Sepsis
2. Obat-batan (misalnya: opoid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
3. Ganguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalamia, hipomagnesemia,
hipernatremia, anemia, atau hoposmolalitas).
4. Infark miokard.
5. Pneumonia
6. Trauma (misalnya: patah tulang iga, cidera spina).
7. Bilier dan ginjal kolik.
8. Cidera kepala dan prosedur bedah saraf.
9. Inflamasi intraabdomen dan peritonitis.
10. Hematoma retroperitoneal.
D. PATOFISIOLOGI
Ileus non mekanis dapat disebabkan oleh manipulasi organ abdomen ,
peritonitis, sepsis, dll, sedang ileus mekanis disebabkan oleh perlengketan
neoplasma, hernia, benda asing, volvulus. Adanya penyebab tersebut dapat
mengakibatkan passage usus terganggu sehingga akumulasi gas dan cairan dalam
lumen usus. Adanya akumulasi isi usus dapat meneyebabkan gangguan absorbsi
H2O dan elektrolit pada lumen usus yang mengakibatkan kehilangan H 2O dan
natrium. Selanjutnya akan terjadi penurunan volume cairan ekstraseluler sehingga
terjadi syok hypovolemik, penurunan curah jantung, penurunan perfusi jaringan ,
hipotensi dan asidosis metabolik.
Akumulasi cairan juga mengakibatkan distensi dinding usus sehingga
timbul nyeri, kram dan kolik. Distensi dinding usus juga dapat menekan kandung
kemih sehingga terjadi retensi urine. Retensi juga dapat menekan diafragma
sehingga ventilasi paru terganggu dan menyebabkan sulit bernapas. Selain itu
distensi juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Selanjutnya
terjadi iskemik dinding usus, kemudian terjadi nekrosis, rupture dan perforasi,
sehingga terjadi pelepasan bakteri dan toksin dari usus yang nekrotik ke dalam
peritoneum dan sirkulasi sistem. Pelepasan bakteri dan toksin ke peritoneum akan
menyebabkan peritonitis septikemia.
Akumulasi gas dan cairan dalam lumen usus juga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi komplet sehingga gelombang perstaltik dapat berbalik arah
dan menyebabkan isi usus terdorong ke mulut . keadaan ini akan menimbulkan
muntah-muntah yang akan yang akan menyebabkan dehidrasi. Muntah-muntah
yang berlebihan dapat menyebakan kehilangan ionhidrogen dan kalium dari
lambung serta penurunan klorida dan kalium dalam darah.
Berdasarkan penjelasan diatas masalah keperawatan yang muncul yaitu
nyeri akut, pola napas tidak efektif, retensi urine, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, resiko kekurangan volume cairan.
E. MANIFSTASI KLINIS
Menurut Price & Wilson, (2016) terdapat lima tanda dan gejala ileus
obstruktif yaitu :
a. Mekanik sederhana-usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah,
peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
b. Mekanik sederhana-usus halus bawah
Kolik (kram) Signifikasi midabdomen distensi, muntah, peningkatan bising
usus, nyeri tekan abdomen.
c. Mekanik sederhana-kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,
kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan
abdomen.
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada umumnya tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menegakan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, BUN (blood urea nitrogen), ureum amilase,
dan kreatinin. Pada ileus obstruksi, terutama pada pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal. Selanjutnya diteruskan adanya hemokonsentrasi leikositosis
dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum yang amilase sering
didapatkan pada semua jenis ileus obstruksi, terutama strangulasi. Penurunan
dalam kadar serium natrium, klorida, an kalium merupakan manifestasi lanjut
dapat juga terjadi alkalosis akibat muntah. Pemeriksaan laboratorium pada anak
dengan obstruksi usus seyoganya berfokus pada deteksi penyulit seperti dehidrasi
dan sepsis. (Bernstein, 2017).
b. Radiografik polos (Foto abdomen polos)
Pemeriksaan radiografik polos yang diambil dua sampai tiga posisi, hal
yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi ususu halus (diameter
> 3 cm), adanya air fluid level pada posisi setengah duduk dan kekeurangan udara
di kolon. Negarif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi Ketika letak
obstruksi berada di proksimal ususu halus dan Ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja tidak adanya udara. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adany adanya
gambaran air fluid level atau distensi usus. Pada ileus obstruksi colon
pemeriksaan foto abdomen menunjukan adanya distensi usus pada bagaian
proksimal atau obstruksia.
c. Foto thorax
Foto thorx dapat menggambarkan adanya free air sickle yang terletak di bawah
difragma kanan yang menunjukan adanya perforasi usus.
H. PENATALAKSANAAN
b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ
vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :
1) Strangulasi
2) Obstruksi lengkap
3) Hernia inkarserata
4) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan
NGT, infus,oksigen dan kateter).
c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama nyeri dan dalam hal cairan dan
elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus
memberikan kalori yang cukup. Perlu diingatkan bahwa pasca bedah usus pasien
dalam keadaan paralitik nyeri menjadi masalah utama yang dirasakan oleh pasien,
oleh karena itu penangan pemberian analgetik sangat diperlukan oleh pasien
denga keadaan pasca operasi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar
dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan
dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, social dan lingkungan.
a. Identitas
Nama, umur (umunya terjadi pada semua umur, terutama pada dewasa laki-laki
dan perempuan), alamat,jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan, status
perkawinan, gaya hidup.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji. Pada
umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya
terus menerus, demam, nyeri tekan lepas, abdomennya tegang dan kaku.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengeluhkan anoreksia dan malaise, demam, takikardia,
diaforesis, pucat, kekauan abdomen kegagalan untuk mengeluarkan feses atau
flatus secara rektal, peningkatan bisisng usus (awal obstruksi), penurunan
bisisng usus selanjutnya, retensi perkemihan, dan leukositosis mengungkapkan
hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan dikaji dengan
menggunakan pendekatan PQRST :
P : Provokatus paliatif: Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bisa
memperberat ? apa yang bisa mengurangi ?
Q : QuaLity-quantity: Bagaimana gejala dirasakan, sejauh mana gejala
dirasakan
R : Region – radiasi: Dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar?
S : Skala – severity: Seberapah tingkat keparahan dirasakan? Pada skala
berapah ?
T : Time: Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala dirasakan?
tiba-tiba atau bertahap ? seberapa lama gejala dirasakan?
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah dioperasi sebelumnya, apakah ada riwayat
tumor, kanker.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama
dengan klien.
f. Activity Daily Life
Nutrisi : Nutrisi terganggu karena adanya mual dan muntah.
Eliminasi : Klien mengalami konstipasi dan tidak bisa flatus karena peristaltic
usus menurun atau berhenti.
Istirahat : Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan muntah.
Aktivitas : Badan lemah dan klien dianjurkan untuk istirahat dengan tirah baring
sehingga terjadi keterbatasan aktivitas.
Personal Hygiene : klien tidak mampu merawat dirinya.
Psikologis : Pasien gelisah dan cemas dengan penyakitnya
g. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Lemah, kesadaran menurun sampai syok hipovolemia suhu meningkat(39o C),
pernapasan meningkat(24x/mnt), nadi meningkat(110x/mnt) tekanan
darah(130/90 mmHg)
b) Pemeriksaan fisik ROS (Review Of System)
1. Sistem kardiovaskular: tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada oedema,
tekanan darah 130/90 mmHg, BJ I dan BJ II terdengar normal
2. Sistem respirasi: pernapasan meningkat 24x/mnt, bentuk dada normal,
dada simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada wheezing dan tidak ada ronchi
3. Sistem hematologi: terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda
adanya infeksi.
4. Sistem perkemihan: produksi urin menurun BAK < 500 cc
5. Sistem muskuloskeletal: badan lemah, tidak bisa melakukan aktivitas
secara mandiri
6. Sistem integumen: tidak ada oedema, turgor kulit menurun, tidak ada
sianosis, pucat
7. Sistem gastrointestinal: tampak mengembang atau buncit, teraba keras,
adanya nyeri tekan, hipertimpani, bising usus > 12x/mnt, distensi
abdomen.
B. DIAGNOSA
1. Nyeri akut berhubungan dengan kram abdomen sekunder terhadap distensi
dinding usus
2. Retensi urinarius berhubungan dengan obstruksi jalan keluar kandung kemih
sekunder terhadap tekanan pada kandung kemih
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah
4. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan penurunan O2 sekunder terhadap
tekanan pada diafragma
5. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
yang berlebihan sekunder akibat muntah
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Aktivitas
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pain Management 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
dengan kram abdomen keperawatan selama 3x24 jam komprehensif termasuk lokasi,
sekunder terhadap distensi nyeri klien berkurang atau hilang karakteristik, durasi, frekuensi,
dinding usus dengan kriteria hasil : kualitas dan faktor presipitasi
1. Mampu mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal dari
(tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik 3. Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri, mencari pengalaman nyeri klien
bantuan) 4. Kaji kultur yang mempengaruhi
2. Melaporkan bahwa nyeri respon klien
berkurang dengan 5. Evaaluasi pengalam nyeri masa
menggunakan manajemen lampau
nyeri 6. Evaluasi bersama klien dan tim
3. Mampu mengenali nyeri kesehatan lain tentang
(skala, intensitas, frekuensi ketidakefektifan kontrol nyeri
dan tanda nyeri) masa lamapu
4. Menyatakan rasa nyaman 7. Bantu klien dan keluarga untuk
setelah nyeri berkurang mencari dan menemukan
5. Tanda vital dalam rentang dukungan
normal 8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
13. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik
14. Tingkatkan istirahat
15. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
16. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
5. Risiko kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan Fluid management 1. Timbang popok/pembalut jika
cairan berhubungan keperawatan selam 3x24 jam diperlukan
dengan kehilangan cairan klien terbebas dari resiko 2. Pertahankan catatan intake dan
yang berlebihan sekunder kekurangan volume cairan dengan output yang akurat
akibat muntah kriteria hasil : 3. Monitor status hidrasi (
1. Mempertahankan urine kelembaban membran mukosa,
output sesuai dengan usia dan nadi adekuat, tekanan darah
BB, BJ urine normal, HT ortostatik ), jika diperlukan
normal 4. Monitor vital sign
ruangan
10. Dorong masukan oral
sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack ( jus buah, buah
segar )
14. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
15. Atur kemungkinan tranfusi
perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta
Guyton, Arthur C (2020), fisiologi manusia dan mekanisme penyakit EGC penerbitan
buku kedokteran, Jakarta
Corwin Elizabeh.J.2021 Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9 Alih bahasa Tim
penerbit PSIK UNPAD, EGC, Jakarta,
Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.
DI SUSUN OLEH :
CI LAHAN CI INSTITUSI
DISUSUN OLEH :
SUKMAWATY
NIM: 2022031032
CI LAHAN CI INSTITUSI
KATARAK
A. Tinjauan teori katarak
1. Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies dan Inggris cataract dan
latin cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular.
Dimana kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang diakibatkan hidrasi
(penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari
kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak
menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa
yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang
kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat
bervariasi (Razi, 2019).
Katarak adalah kekeruhan pada lensa tanpa nyeri yang berangsur–angsur
penglihatan kabur akhirnya tidak dapat menerima cahaya. Katarak adalah
terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau kapsul lensa. Umumnya
akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua orang lebih dari 65 tahun
(Thalia,2019).
Katarak adalah proses terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau
kapsul lensa, umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua
orang lebih dari 65 tahun (Marilynn Doengoes, dkk. 2000)
Ada beberapa jenis kataran menurut (WebMD 2018), yaitu katarak nuclear,
katarak kortikal, katarak subscapular posterior, katarak traumatic, katarak
sekunder, katarak radiasi, katarak lumelar atau zonular, katarak polar posterior,
katarak polar anterior, katarak pohon natal, katarak brunescant, dan katarak
diebetik, yang tampak seperti kepingan salju.
Menurut data terakhir dari (WHO 2018), Katarak menyebabkan 51% dari
kebutaan penduduk dunia yang mewakili sekitar 20 juta orang. Jumlah orang
yang mengidap katarak diperkirakan semakin bertumbuh dari waktu kewaktu.
Katarak merupakan penyebab penting dari lemahnya penglihatan baik dinegara
maju maupun berkembang. Diindonesia seperti dilansir dalam situs departemen
kesehatan, diperkirakan setiap kasus katarak bertambah sekitar 250.000 orang
pertahun.
2. Anatomi dan fisiologi mata
3. Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau
bertambahnya usia seseorang. Katarak kebanyakan muncul pada usia lanjut. Data
statistik menunjukkan bahwa lebih dari 90% orang berusia di atas 65 tahun
menderita katarak. Sekitar 50% orang berusia 75- 85 tahun daya penglihatannya
berkurang akibat katarak. Adapun penyebab lain yaitu:
a. Umur
Seiring bertambahnya usia, lensa berkurang kebeningannya, keadaan ini
akan berkembang dengan bertambah beratnya katarak. Pada golongan usia 60
tahun hamper 2/3-nya mulai mengalami katarak.
b. Trauma mata
Trauma mata akan mengakibatkan pembengkakan, penebalan, dan
munculnya warna putih di serat lensa. Warna putih yang terbentuk pada
akhirnya dapat menyebabkan katarak.
c. Diabetes melitus
Diabetes kerap kali dituding menjadi penyakit yang dapat menyebabkan
katarak. Sebab enzim aldosa reduktase yang ada di dalam tubuh penderita
diabetes mampu memicu timbulnya penyakit katarak.
d. Sinar ultaviolet
Sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan pada lensa
mata. Seseorang dengan pekerjaan sehari-hari sering terpapar sinar ultraviolet
meningkatkan factor risiko katarak. Sinar ultraviolet akan diserap oleh protein
terutama asam amino aromatic, yaitu triptofan, fenil alanine dan tirosin
sehingga menimbulkan reaksi foto kimia dan menghasilkan fragmen molekul
yang disebut radikal bebas, seperti anion superoksid, hikdroksil dan spesies
oksigen reaktif seperti hydrogen peroksida yang semuanya bersifat toksis
e. Obat-obatan
Jenis obat tertentu dapat menstimulasi pembentukan katarak,
diantaranya : Amiodaarone (obat untuk jantung), Chlorpromazine (sedatif),
kortikosteroid (penanganan radang akut dan kronis), Lovastatin (penurun
kolesterol), Phenytoin (antiseizure, pengobatan epilepsy). Pengguanaan obat
kortikosteroid sebagai faktor risiko perkembangan katarak.
f. Merokok
Individu yang merokok 20 batang atau lebih jenis sigaret dalam sehari
mempunyai risiko 2 kali lebih banyak mengalami katarak. John J. Harding
dalam penelitiannya bersama Ruth van Heyningen di Oxford berkesimpulan
terdapat hubungan antara perokok berat dengan katarak.
4. Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan
berbentuk seperti kancing baju, meempunyai kekuatan refraksi yang besar.
Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat
nucleus, diperifer terdapat korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah
kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami
perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat
densitas seperti duri dianterior dan posterior nucleus. Opasitas pada
kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak
seperti kristal salju pada jendela. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa
mengakibatkan hilangnya trnsparasi. Perubahan pada serabut halus multiple (
zonula ) yang memajang dari badan silier kesekitar daerah diluar lensa misalnya
dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi.
Perubahan kimia dalam perubahan lensa dapat menyebabkan koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya
keretina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi
disertai influks air kedalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu tranmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu
enzim mempunyai peran dalm melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim
akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien
yang menderita katarak. Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai
kecepatan yang berbeda, dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun
sistemis, seperti diabetes. Namun sebenarnya katarak merupakan konsekwensi
dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang kronik dan
“ matang “. Ketika orang memasuki dekade ketujuh katarak bersifat kongenital
dan harus diindentifikasi awal karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan
ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering
yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-
obatan, alkohol, merokok, diabetes dan asupan antitoksin dan yang kurang
dalam jangka waktu yang lama. ( Brunner & Suddarth,2017).
5. Patway
6. Menifestasi klinis
a. Penglihatan kabur seperti melihat kabut atau asap
b. Pupil mengecil akibat kekeruhan pada lensa
c. Merasa silau atau melihat cahaya yang terlalu terang
d. Pada pupil terdapat bercak putih/leukokoria
e. Mata sering berair
7. Komplikasi
a. Glaucoma
Glaukoma. Sebuah katarak senilis, yang terjadi pada usia lanjut,
pertama kali akan terjadi keburaman dalam lensa, kemudian pembengkakan
lensa dan penyusutan akhir dengan kehilangan transparasi seluruhnya.
Selain itu, seiring waktu lapisan luar katarak akan mencair dan membentuk
cairan putih susu, yang dapat menyebabkan peradangan berat jika pecah
kapsul lensa dan terjadi kebocoran. bila tidak diobati, katarak dapat
menyebabkan glaukoma.
b. Uveitis
Protein lensa keluar dan dianggap benda asing, sehingga tubuh
berusaha menghancurkannya. Keadaan ini menimbulkan reaksi uveitis
c. Subluksasi dan Dislokasi lensa
Terjadi pada stadium hipermatur, di mana pada stadium ini zonulnya
menjadi kaku dan rapuh sehingga bisa lepas dari lensa. Lensa bisa subluksasi
atau dislokasi
d. Prolaps iris
Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada
periode pascaoperasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada
lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan
segera dengan pembedahan.
e. Hilangnya vitreous
Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel
vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior, yang merupakan risiko
terjadinya glaukoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan
pengangkatan dengan satu instrumen yang mengaspirasi dan mengeksisi gel
(vitrektomi). Pemasangan lensa intraokular sesegera mungkin tidak bisa
dilakukan pada kondisi ini.
8. Pemeriksaan penunjang
a. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler: mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit
sistem saraf, penglihatan ke retina
b. Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis,
glukoma.
c. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
d. Pengukuran Gonioskopi : membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glukoma
e. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
f. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik,
papiledema, perda rahan.
g. Pemeriksaan lampu slit
h. A-scan ultrasound (echography).
i. USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.
9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan non bedah
1) Terapi penyebab katarak
2) Pengontrolan diabetes melitus, menghentikan konsumsi obat-obatan
yang bersifat kataraktogenik seperti kortikosteroid, fenotiasi, dan miotik
kuat, menghindari radiasi dapat memperlambat atau mencegah
terjadinya proses kataraktogenik.
B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas fisik
Gejala : perubahan aktifvitas biasanya/hobby sehubungan dengan gangguan
penglihatan
b. Makan/cairan
Gejala : mual / muntah (pada komplikasi kronik / glaukoma akut)
c. Neurosensori
Gejala : gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang
menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer,
kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat / merasa di ruang gelap.
d. Tanda : tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : ketidaknyamanan ringan/mata berair. Nyeri tiba – tiba, berat
menetap atau tekanan pada sekitar mata.
f. Penyuluhan dan pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, diabetes, gangguan sistem vaskular, riwayat
stress, alergi, gangguan vasomotor, ketidakseimbangan endokrin.
2. Diagnosa keperawatan
a. Pre oprasi
1. Gangguan persepsi sensori visual / penglihatan berhubungan dengan
penurunan ketajaman penglihatan, penglihatan ganda.
2. Cemas berhubungan dengan pembedahan yang akan dijalani dan
kemungkinan kegagalan untuk memperoleh penglihatan kembali.
b. Post oprasi
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan prosedur
invasif.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
(bedah pengangkatan)
4. Gangguan sensori–perceptual : penglihatan berhubungan dengan
gangguan penerimaan sensori/ status organ indera, lingkugan secara
terapeutik dibatasi.
3. Intervensi
a) Pre operasi
b) Post operasi
bengkak, organisme.
infeksi profilaksis,
dimana terapi
konjungtiva, Lebih agresif
peningkatan diperlukan bila
suhu. terjadi infeksi.
- Anjurkan
untuk
mencegah
ketegangan
pada jahitan
dengancara:
menggunakan
kacamata
protektif dan
pelindung
pada malam
hari.
- Kolaborasi
sesuai indikasi.
Gangguan sensori- NOC: NIC:
perceptual: Hasil yang - Tentukan - Kebutuhan
penglihatan
diharapkan : ketajaman individu dan
berhubungan dengan
gangguan - Meningkatk penglihatan, pilihan
penerimaan an catat apakah intervensi dan
sensori/status organ
ketajaman satu atau pilhan intervensi
indera, lingkungan
secara terapeutik penglihatan kedua mata bervariasi sebab
dibatasi, ditandai dalam batas terlibat. kehilangan
dengan menurunnya
situasi - Orientasiklien pnglihatan
ketajaman, gangguan
penglihatan, individu. terhadap terjadi lambat
perubahan respon - Mengenal lingkugan, dan progresif.
biasanya terhadap gangguan staf/orang lai. - Memberikan
rangsangan.
sensori dan - Observasi peningkatan
berkompen tanda- tanda kenyamanan dan
sasi gejala kekeluargaan,
terhadap disorientasi menurunkan
perubahan. pertahankan emas dan
pengamanan disorientasi
tempat tidur pasca operasi.
sampai benar- - Terbangun dalam
lingkungan yang
benar sembuh
ta dikenal
dari anastesi.
mengalami
- Ingatkan klien
keterbatasa
menggunakan
kacamata penglihatan
katarak yang dapat
tujuannya mengakibatkan
memperbesar ±
25% bingung pada
penglihatan orang tua.
perifer hilang - Perubahan
ketajaman dan
kedalaman
persepsi dapat
menyebabkan
bingung
meningkatkan
resiko cedera
Sampai pasien
belajar untuk
mengkompensasi
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
perawat. Sebelum melakukan tindakan, perawat harus mengetahui alasan
mengapa tindakan tersebut dilakukan. Implementasi keperawatan berlangsung
dalam tiga tahap. Fase pertama merupakan fase persiapan yang mencakup
pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi rencana, persiapan pasien
dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak 1 2 3 4 3) Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus dilakukan (misalnya duduk ditempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi) Pengaturan posisi Observasi 1)
Monitor status oksigenasi Terapeutik 1) Motivasi melakukan ROM aktif atau
pasif 2) Hindari gerakan menempatkan klien yang dapat meningkatkan nyeri 24
implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga
merupakan transmisi perawat dan pasien setelah implementasi keperawatan
selesai dilakukan Evaluasi
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tindakan akhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi
terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program
berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan
mendapatkan informasi efektivitas pengambilan keputusan.
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP.
Data Subjektif (S) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih
dirasakan setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang
berdasarkan hasilpengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment)
yaitu interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat
dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai
kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila perilaku pasien
tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan tidak tercapai apabila
pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
tujuan, dan yang terakhir adalah planning (P) merupakan rencana tindakan
berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka perawat akan
menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat akan melakukan
modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini
disebut juga evaluasi proses
Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang pasien hadapi yang
telah dibuat pada perencanaan tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi penting
dilakukan untuk menilai status kesehatan pasien setelah tindakan keperawatan.
Selain itu juga untuk menilai pencapaian tujuan, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek, dan mendapatkan informasi yang tepat dan jelas untuk
meneruskan, memodifikasi, atau menghentikan asuhan keperawatan yang
diberikan. (Amid dan Hardhi, 2017).
DAFTAR PUSTAKA