Anda di halaman 1dari 179

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS BRONCHOPNEUMONIA

DI RUANGAN SEROJA RSUD UNDATA


PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : Sukmawaty, S.Kep


NIM : 2022031033

CI INSTITUSI CI LAHAN

Ns. Siti Yartin, S.Kep., M.Kep Ns. Susianti, S.Kep


NIK. 20210902025 NIP. 197911242000032002

PROGRAM STUDI NERS PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA PALU
2022
KONSEP DASAR PENYAKIT BRONCHOPNEUMONIA

A. Definisi
Pneumonia adalah proses inflamasi atau peradangan pada jaringan
paru yang tampak fusi serta dapat terjadi pengisian di lubang alveoli yang
disebabkan oleh jamur, virus bakteri, dan benda asing. Pneumonia juga bisa
disebabkan oleh bahan kimia, dan aspirasi. Pneumonia merupakan
peradangan akut di parenkim paru dan sering mengganggu pertukaran gas
(Akbar, 2019)
Pneumonia merupakan salah satu penyakit yang terjadi karena
infeksi di saluran pernafasan bawah akut (ISNBA) disertai dengan sesak nafas
yang disebabkan oleh virus, mycoplasma (fungi) .Pneumonia merupakan
peradangan akut jaringan paru yang biasanya berasal dari suatu infeksi
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan gangguan
pertukaran gas setempat. Bronkopneumonia digunakan unutk
menggambarkan pneumonia yang mempunyai pola penyebaran berbercak,
teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi didalam bronki dan meluas ke
parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi
konsolidasi area berbercak.
Bronkopneumonia adalah peradangan umum dari paru-paru, juga
disebut sebagai pneumonia bronkial, atau pneumonia lobular. Peradangan
dimulai dalam tabung bronkial kecil bronkiolus, dan tidak teratur menyebar
ke alveoli peribronchiolar dan saluran alveolar.
B. Anatomi

Dengan bernapas setiap sel dalam tubuh menerima persediaan

oksigennya dan pada saat yang sama melepaskan produk oksidanya.

Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dan jaringan

memungkinkan setiap sel melangsungkan sendiri proses

metabolismenya, yang berarti pekerjaan selesai dan hasil buangan

dalam bentuk karbondioksida (CO2) dan air (H2O) dihilangkan (Pearce,

2016).

Menurut Syaifuddin (2016) sistem pernapasan terdiri atas :

1) Hidung

Merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai alat pernapasan

(respirasi) dan indera penciuman (pembau).

2) Faring

Suatu saluran otot selaput kedudukannya tegak lurus antara basis

kranii dan vertebrae servikalis VI.

3) Laring
Merupakan jalinan tulang rawan yang dilengkapi dengan otot,

membran, jaringan ikat, dan ligamentum.

4) Trakea

Tabung berbentuk pipa seperti huruf O, yang dibentuk oleh tulang –

tulang rawan yang disempurnakan oleh selaput, terletak di antara

vertebrae servikalis VI sampai ke tepi bawah kartilago krikoldea

vertebra torakalis V. Panjang nya kurang lebih 13 cm dan diamet 2.5 9

cm, dilapisi oleh otot polos, mempunyai dinding fibroelastis yang

tertanam dalam balok – balok hialin yang mempertahankan trakea

tetap terbuka.

5) Bronkus

Merupakan lanjutan dari trakea, yang terdiri atas dua percabangan

kanan dan kiri. Bagian kanan lebih pendek dan lebar dari pada

bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah dan bawah,

sedangkan bronkus kiri lebih panjang dari bagian kanan yang

berjalan dari lobus atas dan bawah.

6) Bronkiolus

Bronkiolus merupakan percabangan setelah bronkus

7) Paru – paru

Paru merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Paru

terletak dalam rongga torakssetinggi tulang selangka sampai dengan

diafragma. Paru terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh

pleura parietalis dan pleura viseralis, serta dilindungi oelh cairan


pleura yang berisi surfaktan. Paru kanan terdiri dari tiga lobus dan

paru kiri dua lobus.

Paru sebagai alat pernapasan terdiri atas dua bagian, yaitu paru

kanan dan kiri. Pada bagian tengah organ ini terdapat organ jantung

beserta pembuluh darah yang berbentuk bagian puncak disebut

apeks. Paru memiliki jaringan yang bersifat elasti berpori, serta 10

berfungsi sebagai tempat pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida yang dinamakan alveolus.

C.
Sebenarnya pada diri manusia sudah ada kuman yang dapat
menimbulkan pneumonia dan penyakit ini baru akan timbul apabila ada
faktor- faktor prsesipitasi, namun pneumonia juga sebagai komplikasi dari
penyakit yang lain ataupun sebagai penyakit yang terjadi karena etiologi di
bawah ini :
a. Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan pneumonia adalah : Diplococus
pneumonia, Pneumococcus, Streptococcus Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia),
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri gram positif yang menyebabkan
pneumonia bakteri adalah steprokokus pneumonia, streptococcus aureus
dan streptococcus pyogenis
b. Virus
Pneumonia virus merupakan tipe pneumonia yang paling umum
disebabkan oleh virus influenza yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus merupakan penyebab utama pneumonia virus. Virus lain
yang dapat menyebabkan pneumonia adalah Respiratory syntical virus
dan virus stinomegalik.
c. Jamur
Infeksi yang disebabkan oleh jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung. Jamur yang dapat menyebabkan
pneumonia adalah : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas,
Blastomices Dermatides, Cocedirides Immitis, Aspergillus Sp, Candinda
Albicans, Mycoplasma Pneumonia.
d. Protozoa
Ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami imunosupresi seperti
pada penderita AIDS.
e. Faktor lain yang mempengaruhi
Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia adalah daya tahan
tubuh yang menurun misalnya akibat malnutrisi energi protein (MEP),
penyakit menahun, pengobatan antibiotik yang tidak sempurna.

Faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat Pnemonia


1. Umur dibawah 2 bulan
2. Tingkat sosio ekonomi rendah
3. Gizi kurang
4. Berat badan lahir rendah
5. Tingkat pendidikan rendah
6. Tingkat pelayanan (jangkauan) pelayanan kesehatan rendah
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Menderita penyakit kronis
D. Patofisiologi
Suatu penyakit infeksi pernapasan dapat terjadi akibat adanya
serangan agen infeksius yang bertransmisi atau di tularkan melalui udara.
Namun pada kenyataannya tidak semua penyakit pernapasan di sebabkan oleh
agen yang bertransmisi denagan cara yang sama. Pada dasarnya agen
infeksius memasuki saluran pernapasan melalui berbagai cara seperti inhalasi
(melaui udara), hematogen (melaui darah), ataupun dengan aspirasi langsung
ke dalam saluran tracheobronchial. Selain itu masuknya mikroorganisme ke
dalam saluran pernapasan juga dapat di akibatkan oleh adanya perluasan
langsung dari tempat tempat lain di dalam tubuh. Pada kasus pneumonia,
mikroorganisme biasanya masuk melalui inhalasi dan aspirasi.
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara
daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya infeksi penyakit.
Sekresi enzim – enzim dari sel-sel yang melapisi trakeo-bronkial yang
bekerja sebagai antimikroba yang non spesifik. Bila pertahanan tubuh tidak
kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas sampai ke alveoli yang
menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya. Setelah itu
mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang
meliputi empat stadium, yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan
peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan
dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler
dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak,
stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
Penyakit pneumonia sebenarnya merupakan manifestasi dari rendahnya daya
tahan tubuh seseorang akibat adanya peningkatan kuman patogen seperti
bakteri yang menyerang saluran pernapasan. Selain adanya infeksi kuman dan
virus, menurunnya daya tahan tubuh dapat juga di sebabkan karena adanya
tindakan endotracheal dan tracheostomy serta konsumsi obat obatan yang
dapat menekan refleks batuk sebagai akibat dari upaya pertahanan saluran
pernapasan terhadap serangan kuman dan virus.

E. Klasifikasi
1. Berdasarkan ciri radiologis dan gejala klinis, dibagi atas :
a. Pneumonia tipikal, bercirikan tanda-tanda pneumonia lobaris
dengan opasitas lobus atau lobularis.
b. Pneumonia atipikal, ditandai gangguan respirasi yang
meningkat lambat dengan gambaran infiltrat paru bilateral yang difus.
2. Berdasarkan faktor lingkungan
a. Pneumonia komunitas
b. Pneumonia nosokomial
c. Pneumonia rekurens
d. Pneumonia aspirasi
e. Pneumonia pada gangguan imun
f. Pneumonia hipostatik
3. Berdasarkan sindrom klinis
a. Pneumonia bakterial berupa : pneumonia bakterial tipe
tipikal yang terutama mengenai parenkim paru dalam bentuk
bronkopneumonia dan pneumonia lobar serta pneumonia bakterial tipe
campuran atipikal yaitu perjalanan penyakit ringan dan jarang disertai
konsolidasi paru.
b. Pneumonia non bakterial, dikenal pneumonia atipikal yang
disebabkan Mycoplasma, Chlamydia pneumoniae atau Legionella
F. Manifestasi Klinis
1. Meriang, tampak tanda sebagai infeksi pertama. Sering terjadi
dengan suhu mencapai 39,5-40,5oC.
2. Susah makan, hal yang umum melalui tahap demam dari
penyakit, seringkali memanjang sampai ke tahap pemulihan.
3. Muntah, jika muntah bersamaan dengan penyakit yang
merupakan petunjuk untuk awalan infeksi.
4. Sakit pada perut, merupakan keluhan umum. Terkadang tidak
bisa membedakan dengan nyeri apendiksitis.

5. Batuk, menjadi perkiraan terbuka dari masalah respirasi. Bisa


sebagai bukti hanya selama fase akut.
6. Bunyi pernafasan, seperti batuk, mengi, mengorok. Saat di
auskultasi terdengar suara mengi.
7. Sakit tenggorokan, menjadi keluhan yang kerap terjadi.
Diketahui dengan menolak untuk minum dan makan.
8. Disamping batuk atau kesulitan bernafas, terdapat nafas
cepatpada orang dewasa : ≥20 kali/menit.
G. Pemeriksaan Fisik
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian
atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik secara mendadak sampai
37,6-40°C dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Selain itu,
anak bisa menjadi sangat gelisah, pernapasan cepat dan dangkal disertai
pernapasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Sedangkan, batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit, seorang anak
akan mendapat batuk setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa
batuk kering kemudian menjadi produktif. Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Inspeksi: Pernafasan cuping hidung (+), sianosis sekitar
hidung dan mulut, retraksi sela iga.
2. Palpasi: Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
3. Perkusi: Sonor memendek sampai beda.
4. Auskultasi: Suara pernapasan mengeras (vesikuler
mengeras) disertai ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya
daerah yang terkena. Pada perkusi thoraks sering tidak dijumpai adanya
kelainan. Pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung
halus sampai sedang. Bila sarang bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar suara yang meredup dan suara pernapasan
pada auskultasi terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronki dapat
terdengar lagi. Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan dapat terjadi
antara 2-3 minggu (PDPI Lampung & Bengkulu, 2020)
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Chest x-ray
2. Analisa gas darah & pulsea oxymetry
3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan
maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil
melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan
kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain
adalah aspirasi transtorakal.
4. Pewarnaan gram/ culture sputum dan darah
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung
dan biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk)
dan sel epitel < 10 / lpk.
5. Periksa darah lengkap : leukositosis biasanya timbul, meskipun
nilai pemeriksaan darah putih rendah pada infeksi virus.
6. Tes serologi: membantu dalam membedakan diagnosis pada
organisme secara spesifik.
7. LED: meningkat
8. Pemeriksaan fungsi paru-paru: volume mungkin menurun (kongesti
dan kolaps alveolar): tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas
pemenuhan udara menurun, hipoksemia
9. Elektrolit: sodium dan klorida kemungkinan rendah
10. Bilirubin mungkin meningkat.

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leucosit,


biasanya > 10.000/µl kadang mencapai 30.000 jika disebabkan virus atau
mikoplasma jumlah leucosit dapat normal, atau menurun dan pada hitung
jenis leucosit terdapat pergeseran kekiri juga terjadi peningkatan LED.
Kultur darah dapat positif pada 20 – 25 pada penderita yang tidak diobatai.
Kadang didapatkan peningkatan ureum darah, akan tetapi kteatinin masih
dalah batas normal. Analisis gas darah menunjukan hypoksemia dan
hypercardia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
I. Diagnosis
Alasan diagnosis bronkopneumonia dapat ditegakkan karena pada pasien
ditemukan 4 dari 5 gejala berdasarkan kriteria diagnosis sesuai dengan teori
yang didapatkan sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan
tarikan dinding dada, Ronkhi basah sedang nyaring (crackles), Foto thorax
menunjukkan gambaran infiltrat difus dan leukositosis. Pneumonia namun
khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas
bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai
39-400 C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak
sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan
cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak
dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah beberapa
hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
J. Tindakan Penanganan
a. Keperawatan
Pada penderita yang penyakitnya tidak berat, bisa diberikan antibiotic per-
oral, dan tetap tinggal dirumah. Penderita yang lebih tua dan dan penderita
dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau paru lainnya, harus
dirawat dan antibiotic diberikan melalui infuse. Mungkin perlu diberikan
oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu napas mekanik.
Kebanyakan penderita akan memberikan respon terhadap pengobatan dan
keadaannya membaik dalam waktu 2 minggu. Penatalaksanaan :
1. Oksigen 1-2 L / menit
2. IVFD (Intra Venous Fluid Drug)/ (pemberian obat melalui intra vena)
dekstrose 10 % : NaCl 0,9 % = 3 : 1, + KCL 10 mEq / 500 ml cairan
3. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
4. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai dengan makanan entral
bertahap melalui selang nasogastrik dengan feding drip.
5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.
6. Koreksi gangguan keseimbangan asam - basa dan
elektrolit. (Nurarif & Kusuma, 2019)
b. Medis
Konsolidasi atau area yang menebal dalam paru-paru yang akan tampak pada
rontgen dada mencakup area berbercak atau keseluruhan lobus (pneumonia
lobaris). Pada pemeriksaan fisik, temuan tersebut dapat mencakup bunyi
napas broonkovesikular atau bronchial, krekles, peningkatan fremitus,
egofani, dan pekak padaperkusi. Pengobatan pneumonia termasuk pemberian
antibiotik yang sesuai seperti yang ditetapkan oleh hasil pewarnaan gram.
Selain itu untuk pengobatan pneumonia yaitu eritromisin, derivat tetrasiklin,
amantadine, rimantadine, trimetoprim- sulfametoksazol, dapsone, pentamidin,
ketokonazol.
Untuk kasus pneumonia komuniti base:
1. Ampisilin 100 mg / kg BB / hari dalam 4 hari pemberian
2. Kloramfenicol 75 mg / kg BB / hari dalam 4 hari
pemberian Untuk kasus pneumonia hospital base :
3. Sevotaksim 100 mg / kg BB / hari dalam 2 kali pemberian
4. Amikasim 10 - 15 mg / kg BB / hari dalam 2 kali
pemberian. (Nurarif & Kusuma, 2019)
K. Komplikasi
Komplikasi bronkopneumonia umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak,
orang dewasa yang lebih tua (usia 65 tahun atau lebih), dan orang-orang
dengan kondisi kesehatan tertentu, seperti diabetes (Akbar Asfihan, 2019).
Beberapa komplikasi bronkopneumonia yang mungkin terjadi, termasuk :
1. Infeksi Darah
Kondisi ini terjadi karena bakteri memasuki aliran darah dan
menginfeksi organ lain. Infeksi darah atau sepsis dapat menyebabkan
kegagalan organ.
2. Abses Paru-paru
Abses paru-paru dapat terjadi ketika nanah terbentuk di rongga paruparu.
Kondisi ini biasanya dapat diobati dengan antibiotik. Tetapi kadang-
kadang diperlukan pembedahan untuk menyingkirkannya.
3. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu kondisi di mana cairan mengisi ruang di
sekitar paru-paru dan rongga dada. Cairan yang terinfeksi biasanya
dikeringkan dengan jarum atau tabung tipis. Dalam beberapa kasus,
efusi pleura yang parah memerlukan intervensi bedah untuk membantu
mengeluarkan cairan.
4. Gagal Napas
Kondisi yang disebabkan oleh kerusakan parah pada paru-paru, sehingga
tubuh tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen karena gangguan fungsi
pernapasan. Jika tidak segera diobati, gagal napas dapat menyebabkan
organ tubuh berhenti berfungsi dan berhenti bernapas sama sekali.
Dalam hal ini, orang yang terkena harus menerima bantuan pernapasan
melalui mesin (respirator).
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS
BRONCHOPNEUMONIA
1. Pengkajian
Pengkajian pada pasien dengan kasus Bronchopneumonia :
a. Identitas, seperti: nama, tempat tanggal lahir/umur,
Bronchopneumonia sering terjadi pada bayi dan anak. Kasus
terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 3 tahun dan kematian
terbanyak terjadi pada bayi yang berusia kurang dari 2 bulan.
b. Keluhan Utama
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Bronchopneumonia Virus
Biasanya didahului oleh gejala-gejala infeksi saluran napas,
termasuk rinitis dan batuk, serta suhu badan lebih rendah dari
pada pneumonia bakteri. Bronchopneumonia virus tidak dapat
dibedakan dengan Bronchopneumonia bakteri dan
mukuplasma.
b) Bronchopneumonia Stafilokokus (bakteri)
Biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas
atau bawah dalam beberapa hari hingga 1 minggu, kondisi suhu
tinggi, batuk dan mengalami kesulitan pernapasan.
2) Riwayat Kesehatan Dahulu:
Biasanya anak sering menderita penyakit saluran pernapasan
bagian atas. Riwayat penyakit campak / fertusis (pada
Bronchopneumonia).
3) Riwayat pertumbuhan
Biasanya anak cenderung mengalami keterlambatan pertumbuhan
karena keletihan selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori
sebagai akibat dari kondisi penyakit.
4) Riwayat psikososial dan perkembangan
Kelainan Bronchopneumonia juga dapat membuat anak
mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan, hal
ini disebabkan oleh adanya ketidakadekuatan oksigen dan nutrien
pada tingkat jaringan, sehingga anak perlu mendapatkan stimulasi
pertumbuhan dan perkembangan yang cukup.
5) Riwayat Imunisasi
Biasanya pasien belum mendapatkan imunisasi yang lengkap
seperti DPT-HB-Hib 2.
c. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala-leher
Pada umumnya tidak ada kelainan pada kepala, kadang ditemukan
pembesaran Kelenjer getah bening.
b. Mata
Biasanya pada pasien dengan Bronchopneumonia mengalami
anemiskonjungtiva.
c. Hidung
Pada pemeriksaan hidung secara umum ada tampak mengalami
nafaspendek, dalam, dan terjadi cupping hidung.
d. Mulut
Biasanya pada wajah klien Brochopneumonia terlihat sianosis
terutama pada bibir.
e. Thorax
Biasanya pada anak dengan diagnosa medis Bronchopneumonia,
hasil inspeksi tampak retraksi dinding dada dan pernafasan yang
pendek dan dalam, palpasi terdapatnya nyeri tekan, perkusi
terdengar sonor, auskultasi akan terdengar suara tambahan pada
paru yaitu ronchi,weezing dan stridor. Pada neonatus, bayi akan
terdengar suara nafas grunting (mendesah) yang lemah, bahkan
takipneu.
f. Abdomen
Biasanya ditemukan adanya peningkatan peristaltik usus.
g. Kulit
Biasanya pada klien yang kekurangan O2 kulit akan tampak pucat
atau sianosis, kulit teraba panas dan tampak memerah.

h. Ekstremitas
Biasanya pada ekstremitas akral teraba dingin bahkan bahkan crt
> 2 detik karena kurangnya suplai oksigen ke Perifer, ujung-ujung
kuku sianosis.
d. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik Menurut Manurung dkk (2013), yaitu :
1) Pemeriksaan Radiologi
a) Biasanya pada rontgen thoraks ditemukan beberapa lobus
berbercak-bercak infiltrasi
b) Bronkoskopi digunakan untuk melihat dan memanipulasi
cabang- cabang utama dari arbor trakeobronkial. Jaringan yang
diambil untuk pemeriksaan diagnostik , secara terapeutik
digunakan untuk mengidentifiksi dan mengangkat benda asing
2) Hematologi
a) Darah lengkap
(1) Hemoglobin pada pasien bronchopneumonia biasanya
tidak mengalami gangguan. Pada bayi baru lahir
normalnya 17-12 gram/dl, Umur 1 minggu normalnya 15-
20 gram/dl, Umur 1 bulan normalnya11-15 gram/dl, dan
pada Anak-anak normalnya 11-13 gram/dl
(2) Hematokrit pada pasien bronchopneumonia biasanya tidak
mengalami gangguan. Pada Laki-laki normalnya 40,7% -
50,3%, dan pada Perempuan normalnya 36,1% - 44,3%
(3) Leukosit pada pasien bronchopneumoia biasanya
mengalami peningkatan, kecuali apabila pasien mengalami
imunodefisiensi Nilai normlanya 5 .– 10 rb /𝑚𝑚3
(4) Trombosit biasanya ditemukan dalam keadaan normal
yaitu 150 – 400 rb 𝑚𝑚3
(5) Eritrosit biasanya tidak mengalami gangguan dengan nilai
normal Laki – laki 4,7- 6,7 juta dan pada Perempuan 4,2–
5,4 juta

(6) Laju endap darah ( LED ) biasanya mengalami


peningkatan normal nya pada laki-laki 0 – 10 mm
perempuan 0 -15 mm
b) Analisa Gas Darah (AGD)
Biasanya pada pemeriksaan AGD pada pasien
bronchopneumonia ditemukan adanya kelainan. Pada nilai pH
rendah normalnya7,38- 7,42, Bikarbonat (HCO3) akan
mengalami peningkatan kecuali ada kelainan metabolik
normalnya 22-28 m/l, Tekanan parsial oksigen akan
mengalami penurunan nilai normalnya 75-100 mm Hg,
Tekanan (pCO2) akan mengalami peningkatan nilai normalnya
38-42 mmHg, dan pada saturasi oksigen akan mengalami
penurunan nilai normalnya 94-100 %.
c) Kultur darah
Biasanya ditemukan bakteri yang menginfeksi dalam darah,
yang mengakibatkan sistem imun menjadi rendah.
d) Kultur sputum
Pemeriksaan sputum biasanya di temukan adanya bakteri
pneumonia dan juga bisa bakteri lain yang dapat merusak paru.
Pathway

Bakteri dtafilokokus aureus, dan bakteri hemofilus influenza

Bronchopneumonia

Peradangan pada bronkus Infeksi saluran pernafasan


Proses inflamasi
bawah
Ketidak efektifan Akumulasi secret di
bersihan jalan nafas bronkus Dilatasi pembuluh Edema antara
Hipertermi kapiler dan alveoli
darah
Mucus bronkus meningkat
Eksudat plasma Intasi PMN eritrosit
masuk alveoli pecah
Bau mulut tidak sedap
Gangguan difusi
Anoreksia dalam plasma Edema paru

Intake kurang Ketidakefektifan


pola nafas Hambatan Pergerakan dinding
pertuakaran gas paru
Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh Retraksi dada/ nafas Pertukaran
cuping hidung conpiliance paru

Dispneu Dilatasi pembuluh Suplai O2 menurun


darah

Hipoksia

Penurunan toleransi Akuntansi asam Metabolism anaerob


aktifitas laktat meningkat
2. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi
lendir di jalan nafas, inflamasi trakeabronkial, nyeri pleuritik,
penurunan energi, kelemahan.
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi,
kerusakan neurologis
c. Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi ventilasi
d. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam
dan proses infeksi, mual dan muntah.
f. Penurunan toleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum, batuk
berlebihan dan dipsnea
3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Rasional


1 Domain 11, kelas 2 a. Respiratory Airway Suction
(00031) Status 1) Pastikan kebutuhan 1. membersihkan
Ketidakefektifan Ventilation oral suctioning sekret
Bersihan Jalan Nafas 2) Auskultasi suara 2. Mengetahui ada
Kriteria hasil : nafas sebelum dan perubahan suara
Batasan karakterstik : 1) Frekuensi sesudah suctioning nafas setelah
1) Suara nafas pernafasan dalam 3) Informasikan suctioning
tambahan batas normal (40- pada klien dan 3. memandirikan
2) Perubahan 50x/menit) keluarga tentang keluarga untuk
frekuensi napas 2) Irama pernafasan suctioning suctioning
3) Sianosis 3) Kedalaman 4) Monitor status 4. mengetahui
4) Penurunan bunyi inpirasi oksigen pasien perubahan saturasi
nafas 4) Tidak ada suara 5) Berikan oksigen O2
5) Sputum dalam nafas tambahan dengan 5. memenuhi
jumlah yang 5) Pernafasan menggunakan kebutuhan oksigen
berlebih cuping hidung nasal untuk
6) Gelisah tidak ada memfasilitasi
6) Tidak ada suction nasotrakeal
Faktor yang penggunaan otot
berhubungan dengan : bantu nafas Airway Management 1. membebaskan jalan
obstruksi jalan nafas 7) Akumulasi 1) Buka jalan nafas napas
1) Spasme jalan sputum 2) Posisikan pasien 2. Memaksimalkan
nafas umtuk ekspansi paru
2) Mukus dalam a. Respiratory Status memaksimalkan 3. Memebantu
jumlah Airway Patency ventilasi membuka jalan
berlebihan 3) Identifikasi pasien napas
3) Sekresi dalam Kriteria hasil : perlunya 4. Membantu
bronki 1) Respiratory rate pemasangan alat mengeluarkan
4) Benda asing di dalam rentang jalan nafas sekret
jalan nafas normal 4) Lakukan fisioterapi 5. Mengetahui
2) Pasien tidak dada bila perlu perubahan bunyi
cemas 5) Auskultasi suara nafas tambahan
3) Menunjukkan nafas, catat adanya 6. Mengetahui
jalan nafas yang suara tambahan perubahan saturasi
paten 6) Monitor status O2
respirasi dan O2
Cough Enhancement
1) Bantu pasien untuk
1. Posisi duduk dapat
posisi duduk
memaksimalkan
ventilasi
2) Dorong pasien 2). Membantu
untuk melakukan memberikan rasa
latihan nafas dalam rileks
3) Dorong pasien 3)memudahkan
untuk tarik nafas mengeluarkan
dalam selama 2 sekret
detik dan
batukkan, lakukan
2 atau 3 kali
berturut-turut

Vital Sign Monitoring


1) Monitor TD, nadi, 1) Mengetahui
suhu, dan RR perubahan tanda-
2) Catat adanya tanda vital
fluktasi tekanan 2) Mengetahui
darah perubahan tekanan
3) Monitor vital sign darah
saat pasien 3) Mengethaui
berbaring, duduk perubahan dan
atau berdiri perbandingan vital
4) Monitor TD, nadi, sign dalam posisi
RR, sebelum, yang berbeda-beda
selama dan setelah 4) Membandingkan
aktifitas vitan sign saat
5) Monitor kualitas berktifitas dan
nadi istirahat
6) Monitor frekuensi 5) Mengetahui
dan irama perubahan nadi
pernafasan 6) Mengethaui pola
7) Monitor suara nafas pasien
paru 7) Mengetahui suara
8) Monitor pola nafas tambahan
pernafasan 8) Mengetahui adanya
abnormal pernafasan yang
9) Monitor suhu, dan abnormal
kelembapan kulit 9) Mengetahui adanya
10) Identifikasi tanda syok
penyebab dari 10) Mengetahui
perubahan vital penyebab
sign perubahan vita sign

2 Domain 4, kelas 3 1) pernafasan ventilasi 2). Membantu


(00154) normal (40- 1) Lakukan mengeluarkan sekret
Ketidak efektifan 50x/menit) fisioterapy dada 3) memudahkan
pola napas pengeluaran sekret
Batasan karakteristik : 2) Irama pernafasan jika perlu 4)memudahkan anak
1) pernafasan normal 2) Motivasi pasien untuk mengeluarkan
2) Bradipnea 3) Kedalaman untuk bernafas sekret
3) Penurunan tekanan inspirasi pelan, dalam, 5)Mengetahui
inspirasi 4) Suara auskultasi berputar, dan batuk perubahan suara
4) Penurunan tekanan pernafasan 3) Gunakan teknik nafas
ekspirasi normal yang
5) Penurunan kapsitas 5) Kepatenan jalan menyenangkan
vital nafas untuk memotivasi
6) Dipsnea 6) Volume tidal bernafas dalam
7) Pernafasan cuping 7) Kapasitas vital kepada anak-anak
hidung 8) Penggunaan otot 4) Auskultasi suara
8) Penggunaan otot bantu nafas tidak nafas, catat area
aksesoris untuk ada yang ventilasinya
bernafas 9) Retraksi dinding menurun atau tidak
dada tidak ada adanya suara nafas
Faktor yang 10) Sianosis tidak ada tambahan
1) Mempertahan
berhubungan 11) Suara nafas
1) Hiperventilasi bebasnya jalan
tambahan tidak Terapi Oksigen
2) Kerusakan neurologis napas
ada 1) Pertahankan
3) Keletihan otot 2) Memastikan
kepatenan jalan
pernafasan kepatenan aliran
b. Status nafas
oksigen kepasien
Pernafasan : 2) Monitor aliran
3) Mengetahui proses
Kepatenan oksigen
keberhasilan terapi
Jalan Nafas 3) Monitor efektifitas
oksigen
terapi oksigen
4) Mengethaui terjadi
Kriteria hasil : 4) Amati tanda-tanda
hipoventilasi
1) Frekuensi adanya
oksigen
pernafasan hipoventilasi
5) Memenuhi
normal (40- oksigen
kebutuhan oksigen
50x/nmenit) 5) Sediakan oksigen
2) Irama pernafasan ketika pasien
3) Suara nafas dibawah /
tambahan dipidahkan
4) Pernafasan 1) Mengethui pola
cuping hidung Monitor Pernafasan napas pasien
5) Dipsnea saat 1) Monitor kecepatan, 2) Mengetahui adanya
istirahat irama, kedalaman retraksi dada saat
6) Batuk dan kesulitan bernafas
7) Akumulasi bernafas 3) Mengetahui
sputum 2) Catat pergerakan perubahan suara
dinding dada dan nafas
pengunaan otot 4) Mengeth
bantu aui perubahan pola
3) Monitor suara nafas
nafas 5) Mengeta
tambahan seperti hui adanya
ngorok ketidaksimeterisan
4) Monitor pola nafas pengembangan
5) Palpasi paru
kesimetrisan 6) Mengeta
ekspansi paru hui suara nafas
6) Auskultasi tambahan
suara nafas
tambahan
3 Domain 3 kelas 4 a. Status Monitor Vital Sign
(00030) Pernafasan : 1) Memonitor 1) Mengetahui
Hambatan Pertukaran Gas tekanan darah, perubahan vital
Pertukaran Gas nadi, suhu, dan sign
Kriteria hasil: status pernafasan 2) Mengetahui
Batasan karakteristik : 1) Tekanan parsial 2) Memonitor perubahan Nadi
1) pH darah arteri oksigen dalam Denyut jantung 3) Mengeahui suara
abnormal darah arteri (po2) 3) Memonitor suara napas tambahan
2) pernafasan 2) Tekanan parsial paru-paru 4) Mengetahui
abnormal ( mis, oksigen dalam 4) Memonitor warna adanya sianosis
kecepatan, irama, darah arteri kulit akibat kekurangan
kedalaman) (pco2) 5) Menilai oksigen
3) warna kulit 3) Saturasi oksigen Cavilarevil 5) Mengetahui
abnormal ( pucat 4) Keseimbangan perubahan perfusi
) ventilasi perfusi Monitor Pernafasan perifer
4) sianosis 5) Dyspnea pada 1) Memonitor 1) Mengetahui
5) nafas cuping saat istirahat tingkat, irama, perubahan pola
hidung 6) Sianosis kedalaman, dan napas
respirasi 2) Mengetahui
2) Memonitor adanya retraksi
Faktor yang
gerakan dada dada saat bernafas
berhubungan :
3) Mengetahui suara
1) perubahan 3) Monitor bunyi
napas tambahan
membran pernafasan
4) Mengetahui suara
alveolar –kapiler 4) Auskultasi bunyi
napas tambahan
2) ventilasi pervusi paru
5) Mengetahui
5) Memonitor
perubahan kondisi
dyspnea dan hal pasien
yang
meningkatkan dan
memperburuk
kondisi
Terapi Oksigen 1) Memastikan jalan
1) Pertahankan napas paten
kepatenan jalan 2) Mempertahakan
nafas kebutuhan
2) Monitor aliran oksigen terpenuhi
oksigen 3) Mengetahui
3) Amati tanda-tanda adanya tanda
hipoventilasi tanda hipoventilas
induksi oksigen
4 Perawatan Demam 1) Mengetahui
Domain 11, kelas 6 Termoregulasi
1) Pantau suhu dan perubahan vital
(00007) Kriteria hasil :
tanda vital lainnya sign
1) Berkeringat saat
Hipertermi 2) Monitor warna 2) Mengetahui
panas
kulit perubahan suhu
Batasan karakteristik : 2) Tingkat
3) Monitor asupan klien
1) Kulit kemerahan pernafasan
dan keluaran, 3) Mempertahankan
2) Peningkatan suhu 3) Peningkatan suhu
sadari perubahan keseimbangan
tubuh perkisaran kulit
kehilangan cairan cairan
diatas normal 4) Hipertermia 4) Memenuhi
3) Kejang yang tak dirasakan
5) Sakit kepala kebutuhan cairan
4) Kulit terasa 4) Beri obat atau
6) Dehidrasi akibat evapoasi
hangat cairan IV
5) Tutup pasien 5) Mengurangi
Status evaporasi yang
Faktor yang dengan selimut
Neurologis berlebih
berhubungan : atau pakaian
Kriteria hasil : 6) Mencegah
1) Pemajanan ringan
1) Kesadaran terjadinya
lingkungan yang 6) Dorong konsumsi
2) Pola bernafas dehidrasi
panas cairan
3) Pola istirahat dan 7) Istirahat yang
2) Penyakit 7) Fasilitasi istirahat,
tudur cukup
Peningkatan laju terapkan
4) Laju pernafasan memaksimalkan
metabolisme pembatasan
5) Hipertermia proses
aktifitas jika
6) Aktivitas kejang penyembuhan
diperlukan
8) Memenuhi
Tanda TandaVital 8) Berikan oksigen
kebutuhan
Kriteria hasil : yang sesuai
oksigen
1) Suhu tubuh 9) Tingkatkan 9) Memberikan rasa
2) Tingkat sirkulasi udara nyaman kepaa
pernafasan 10) Mandikan klien
3) Irama pernafasan pasien dengan 10) Menjaga
4) Tekanan nadi spons hangat kebersihan diri
5) Kedalaman dengan hati-hati 1. Mengetahui
inspirasi perubahan suhu
Pengaturan Suhu 2. Mengetahui
1) Monitor suhu perubahan suhu
paling tidak setiap 3. Mengganti cairan
2 jam sesuia yang kurag akibat
kebutuhan evaporasi
2) Monitor dan 4. Menurunkan demam
laporkan adanya
tanda gejala
hipotermia dan
hipertermia
3) Tingkatkan intake
cairan dan nutrisi
adekuat
4) Berikan
pengobatan
antipiuretik sesuai
kebutuhan

Manajemen 1. Pengobatan yang


Pengobatan tepat mempercepat
1) Tentukan obat apa proses penyembuhan
yang diperlukan, 2. Mengetahui
dan kelola keefektifan obat
menurut resep yang diberikan
dan/atau protokol
2) Monitor
efektifitas cara
pemberian obat
yang sesuai
5 Domain 2, kelas 1 a. Status Nutrisi Manajemen Berat
(00002) Badan
Ketidak Seimbangan Kriteria hasil: 1) Diskusikan 1) Meni
Nutrisi : Kurang Dari 1) Status nutrisi bersama pasien ngkatkan
Kebutuhan Tubuh 2) Asupan gizi dan keluarga pengetahuan klien
3) Asupan makanan mengenai dalam pemenuhan
Batasan karakteristik : 4) Asupan cairan hubungan antara nutrisi
1) Diare 5) Energi intake makanan, 2) Meng
2) Bising usus 6) Berat badan latihan, pening atur pola makan
hiperaktif katan BB dan dan diit yang
3) Membran mukosa b. Appetite penurunan BB sesuai
pucat 2) Diskusikan 3) Menc
4) Tonus otot Kriteia hasil: bersama pasien egah kebiasaan dan
menurun 1) Keinginan untuk mengenai kondisi pola makan yang
5) Kelemahan otot makan medis yang dapat tidak sehat
menelan 2) energ mempengaruhi BB 4) Meng
i untuk 3) Diskusikan urangi penurunan
Faktor yang makan bersama pasien BB yang drastis
berhubungan : 3) Asupan makanan mengenai 5) Mem
1) Faktor biologis asupan gizi kebiasaan, gaya otivasi klien untuk
2) Ketidak 4) Asupan cairan hidup dan factor mempertahankan
mampuan 5) Stimulus untuk herediter yang BB ideal
mengabsropsi makan dapat
nutrien mempengaruhi BB
3) Ketidak 4) Diskusikan
mampuan bersama pasien
mencerna mengenai risiko
makanan yang berhubungan
4) Ketidakmampuan dengan BB
menelan makanan berlebih dan
penurunan BB
5) Dorong pasien
untuk merubah
kebiasaan makan
Perkirakan BB
badan ideal pasien
Manajemen Nutrisi
1) Kaji adanya alergi
makanan
2) Kolaborasi dengan 1) Mencegah
ahli gizi untuk keracunan
menentukan makanan
jumlah kalori dan
2) Memenuhi
nutrisi yang
kebutuhan kalori
dibutuhkan pasien.
sesuai kebutuhan
3) Anjurkan pasien
tubuh
untuk
meningkatkan 3) Mencegah
intake Fe penurunan zat besi
4) Anjurkan pasien
4) Meningkatkan
untuk
imunitas
meningkatkan
protein dan 5) Menngkatkan
vitamin C energi
5) Berikan substansi 6) Melancarkan
gula pencernaan
6) Yakinkan diet
yang dimakan 7) Diit yang seimbang
mengandung tinggi baik untuk
serat untuk kesehatan
mencegah 8) Mengetahui jumlah
konstipasi kebutuhan kalori
7) Berikan makanan dan zat nutrien
yang terpilih ( lainnya
sudah
dikonsultasikan 9) Mengajarkan
dengan ahli gizi) keluarga untuk
8) Monitor jumlah emenuhi
nutrisi dan kebutuhan nutrisi
kandungan kalori klien
9) Berikan informasi
tentang kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga
Monitor Nutrisi
1) Monitor
1) Mengetahui
pertumbuhan dan
tumbuh kembang
perkembangan klien
2) Monitor turgor 2) Mengetahui
kulit dan modalitas status cairan klien
3) Identifikasi 3) Mengetahui
abnormalitas kulit adanya malnutrisi
4) Minitor adanya klien
mual muntah 4) Mengurangi
5) Identifikasi faktor pencetus
perubahan nafsu mual dan muntah
makan dan 5) Mencegah
6) aktifitas penurunan BB
akhir-akhir ini
6 Domain 4, kelas 2 Toleransi Terapi Aktifitas
(00298) Aktifitas 1) Bantu klien 1) Mememnuhi
Penurunan toleransi Kriteria hasil : mengidentifikasi kebutuhan klien
Aktifitas Faktor yang 1) Saturasi oksigen aktivitas yang secara mandiri
berhubungan dengan : dengan aktivitas mampu dilakukan sesuai kemampuan
1) Masalah sirkulasi 2) Denyut nadi 2) Bantu klien untuk 2) memenuhi
2) Masalah dengan aktivitas memilih aktivitas kebutuhan
pernapasan 3) Tingkat yang sesuai dengan aktivitas klien
pernapasan kemampuan fisik, 3) Mememnuhi
dengan aktivitas psikologi, dan kebutuhan klien
4) Warna kulit sosial secara mandiri
5) Kecepatan 3) Bantu untuk sesuai kebutuhan
berjalan kaki mengidentifikasi 4) memenuhi
dan mendapatkan kebutuhan
Tingkat kelelahan aktivitas yang
sumber yang
Kriteia hasil: diperlukan untuk disukai klien
1) Tingkat aktivitas yang 5) mengetahui
kelelahan diinginkan kemampuan klien
2) Gangguan 4) Bantu untuk 6) memaksimalkan
konsentrasi mengidentifikasi kemampuan klien
menurun aktivitas yang secara mandiri
3) Tingkat stres 7) mengetahui
disukai
perubahan fisik,
4) Kualitas tidur 5) Bantu pasien atau
emosi, sosial dan
5) Saturasi oksigen keluarga untuk
spiritual
6) Kualitas istirahat mengidentifikasi
kekurangan dalam
Tanda-tanda vital
beraktivitas
Kriteria hasil: 6) Bantu pasien untuk
1) Denyut jantung mengembangkan
apikal motivasi diri dan
2) Denyut nadi penguatan
radial 7) Monitor respon
3) Tingkat fisik, emosi, sosial,
pernapasan dan spiritual.
4) Irama pernapasan
5) Tekanan nadi Monitor Tanda-
6) Kedalaman tanda Vital
inspirasi 1) Monitor tekanan 1) mengetahui
darah, nadi, suhu, perubahan vital
dan pernafasan sign
2) Monitor dan 2) mengetahui
laporkan tanda dan adanya perubahan
gejala hipotermia suhu
dan hipertermia 3) mengethaui
3) Monitor kualitas perubahan nadi
nadi

4. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Fokus
implementasi diantaranya, mempertahankan daya tahan tubuh,
menemukan perubahan sistem tubuh, mencegah komplikasi, memantapkan
hubungan klien dengan lingkungan.
Pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah
disusun pada tahap perencanaan ( intervensi ). Proses pelaksanaan
implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain
yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi
keperawatan dan kegiatan komunikasi.
Tujuan implementasi adalah Melaksanakan hasil dari rencana
keperawatan untuk selanjutnya di evaluasi untuk mengetahui kondisi
kesehatan pasien dalam periode yang singkat, mempertahankan daya tahan
tubuh, mencegah komplikasi, dan menemukan perubahan sistem tubuh.
5. Evaluasi
Evaluasi atau tahap penelitian adalah perbandingan sistematis dan
terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan,
dilakukan dengan cara bersambugan dengan melibatkan klien, keluarga,
dan tenaga kesehatan. Tujuan evaluasi ini adalah untuk melihat
kemampuan klien mencapai tujuan yang di inginkan dengan kriteria hasil
pada perencanaan. Format yang dipakai adalah format SOAP:
1. S : Data Subjektif
Perkembangan yang di dasarkan pada apa yang di rasakan, di keluhkan
dan di kemukakan klien.
2. O : Data Objektif
Perkembangan yang biasa di amati dan di ukur oleh perawat atau tim
kesehatan lain.
3. A : Analisis
Penilaian dari kedua jenis data (baik subjektif maupun objektif) apakah
berkembang ke arah kebaikan atau kemunduran.
4. P : Perencanaan
Rencana penanganan klien yang di dasarkan pada hasil analisis di atas
berisi melanjutkan perencanaan sebelumnya apabila keadaan atau
masalah belum teratasi.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar Asfihan. 2019. Bronchopneumonia. Available at:


https://adalah.co.id/bronchopneumonia/.
Chairunisa, Y. 2019. ‘Karya tulis ilmiah asuhan keperawatan anak dengan
bronkopneumonia di rumah sakit samarinda medika citra’.
Dwi Hadya Jayani. 2018. ‘10 Penyebab Utama Kematian Bayi di Dunia’, in Hari
Widowati (ed.). Jakarta: Katadata. Available at: ourworlddindata.org.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Health Statistics. Jakarta.
Mulyani, P. 2018 ‘Penerapan Teknik Nafas Dalam Pada Anak Balita Dengan
Bronkopneumonia Di RSUD Wonosari Kabupaten Gunungkidul’, pp. 1–71.
Herdman dkk. 2021. NANDA International Diagnosis Keperawatan: Definisi dan
Klasifikasi 2021 - 2023, Edisi ke-12. EGC : Jakarta
Butcher Dkk.2020. Kalsifikasi Luaran Keperawatan Nursing Otcome Classification
(NOC) Pengukuran Outcome Kesehatan Edisi Keenam: Elseiver : Jakarta
Butcher Dkk.2020. Nursing Interventions Classification (NIC).Edisi Ketujuh. Elseiver :
Jakarta
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS TUMOR OTAK DI
RUANGAN teratai RSUD UNDATA PALU

OLEH :
SUKMAWATY
NIM. 2022031033

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Putu Alit, S.Kep Ns.Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep

POGRAM STUDI NERS PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
TUMOR OTAK

A. Definisi Tumor Otak


Tumor Otak adalah tumbuhnya sel abnormal pada otak. Banyak jenis
tumor yang berbeda-beda. Beberapa tumor otak bukan merupakan kanker
(jinak) dan beberapa tumor otak lainnya adalah kanker (ganas). Tumor otak
dapat berasal dari otak (tumor otak primer) atau kanker yang berasal dari
bagian tubuh lain dan merambat ke otak (tumor otak sekunder / metastatik).
Tumor otak adalah terdapatnya lesi yang ditimbulkan karena ada
desakan ruang baik jinak maupun ganas yang tumbuh di otak, meningen, dan
tengkorak. (Sylvia.A, 1995: 1030). Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif
yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas (maligna) membentuk massa
dalam ruang tengkorak kepala (intra cranial) atau di sumsum tulang belakang
(medulla spinalis). Neoplasma pada jaringan otak dan selaputnya dapat berupa
tumor primer maupun metastase. Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan
otak itu sendiri disebut tumor otak primer dan bila berasal dari organ-organ
lain (metastase) seperti kanker paru, payudara, prostate, ginjal, dan lain-lain
disebut tumor otak sekunder. (Mayer. SA,2002).
Central Brain Tumor Registry for the United States (CBTRUS)
memperkirakan bahwa akan terdapat 190.600 tumor otak yang akan
terdiagnosis pada 2005. Dari jumlah tersebut 43.800 diperkirakan adalah
tumor otak primer dan sisanya adalah sekunder atau metastasis. Insiden umum
untuk tumor otak primer dan CNS adalah 14 kasus per 100.000 orang/tahun.
Insiden tumor otak tampaknya makin meningkat, tetapi ini mungkin
mencerminkan diagnosis yang lebih cepat dan lebih akurat. CBTRUS
mencatat bahwa, pada tahun 2000, sekitar 359.00 orang di Amerika Serikat
hidup dengan tumor otak primer dengan 75% memiliki tumor jinak dan 23%
memiliki tumor ganas.
B. Anatomi dan Fisiologi Otak

Otak terletak dalam rongga cranium , terdiri atas semua bagian system
saraf pusat (SSP) diatas korda spinalis. Secara anatomis terdiri dari cerebrum
cerebellum, brainstem, dan limbic system (Derrickson &Tortora, 2019). Otak
merupakan organ yang sangat mudah beradaptasi meskipun neuron-neuron
telah di otak mati tidak mengalami regenerasi, kemampuan adaptif atau
plastisitas pada otak dalam situasi tertentu bagian-bagian otak mengambil alih
fungsi dari bagianbagian yang rusak. Otak belajar kemampuan baru, dan ini
merupakan mekanisme paling penting dalam pemulihan stroke ( Feign, 2019).
Secara garis besar, sistem saraf dibagi menjadi 2, yaitu sistem saraf
pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat (SSP) terbentuk oleh otak dan
medulla spinalis. Sistem saraf disisi luar SSP disebut sistem saraf tepi (SST).
Fungsi dari SST adalah menghantarkan informasi bolak balik antara SSP
dengan bagian tubuh lainnya (Noback dkk, 2019).
Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
1. Cerebrum Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer
kanan dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus (Ganong, 2019).
Cerebrum dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu:
a. Lobus Frontalis Lobus frontalis berperan sebagai pusat fungsi
intelektual yang lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak
dan nalar, bicara (area broca di hemisfer kiri), pusat penghidu, dan
emosi. Bagian ini mengandung pusat pengontrolan gerakan volunter
di gyrus presentralis (area motorik primer) dan terdapat area asosiasi
motorik (area premotor). Pada lobus ini terdapat daerah broca yang
mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan sadar,
perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves dkk, 2019).
b. Lobus Temporalis Mencakup bagian korteks serebrum yang berjalan
ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari fisura
parieto-oksipitalis (White, 2020). Lobus ini berfungsi untuk
mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan dlm
pembentukan dan perkembangan emosi.
c. Lobus parietalis Lobus parietalis merupakan daerah pusat kesadaran
sensorik di gyrus postsentralis (area sensorik primer) untuk rasa raba
dan pendengaran (White, 2020).
d. Lobus oksipitalis Lobus Oksipitalis berfungsi untuk pusat
penglihatan dan area asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan
memproses rangsang penglihatan dari nervus optikus dan
mengasosiasikan rangsang ini dengan informasi saraf lain & memori
(White, 2020).
e. Lobus Limbik Lobus limbik berfungsi untuk mengatur emosi
manusia, memori emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan
perubahan melalui pengendalian atas susunan endokrin dan susunan
otonom (White, 2020).
2. Cerebellum Cerebellum adalah struktur kompleks yang mengandung
lebih banyak neuron dibandingkan otak secara keseluruhan. Memiliki
peran koordinasi yang penting dalam fungsi motorik yang didasarkan
pada informasi somatosensori yang diterima, inputnya 40 kali lebih
banyak dibandingkan output. Cerebellum merupakan pusat koordinasi
untuk keseimbangan dan tonus otot. Mengendalikan kontraksi otot-otot
volunter secara optimal (Purves, 2019).
3. Brainstem Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara medulla
spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12 pasang saraf
cranial.
C. Etiologi Tumor Otak
Tidak ada faktor etiologi jelas yang telah ditemukan untuk tumor otak
primer. Walaupun tipe sel yang berkembang menjadi tumor sering kali dapat
diidentifikasi, mekanisme yang menyebabkan sel bertindak abnormal tetap
belum diketahui. Kecenderungan keluarga, imunosupresi, dan faktor-faktor
lingkungan sedang diteliti. Waktu puncak untuk kejadian tumor otak adalah
decade kelima dan ketujuh. Selain itu, pria terkena lebih sering dari pada
wanita.
Penyebab tumor hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Adapun faktor-faktor yang perlu ditinjau, yaitu :
a. Herediter
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan
kecuali pada meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai
pada anggota-anggota sekeluarga. Dibawah 5% penderita glioma
mempunyai sejarah keluarga yang menderita brain tumor. Sklerosis
tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap sebagai
manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang
jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang
kuat untuk memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada
neoplasma.
b. Sisa-Sisa Sel Embrional (Embryonic Cell Rest)
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-
bangunan yang mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam
tubuh. Tetapi ada kalanya sebagian dari bangunan embrional tertinggal
dalam tubuh, menjadi ganas dan merusak bangunan di sekitarnya.
Perkembangan abnormal itu dapat terjadi pada kraniofaringioma,
teratoma intrakranial dan kordoma.
c. Radiasi
Jaringan dalam sistem saraf pusat peka terhadap radiasi dan dapat
mengalami perubahan degenerasi, namun belum ada bukti radiasi dapat
memicu terjadinya suatu glioma. Pernah dilaporkan bahwa meningioma
terjadi setelah timbulnya suatu radiasi.
d. Virus
Banyak penelitian tentang inokulasi virus pada binatang kecil dan
besar yang dilakukan dengan maksud untuk mengetahui peran infeksi
virus dalam proses terjadinya neoplasma, tetapi hingga saat ini belum
ditemukan hubungan antara infeksi virus dengan perkembangan tumor
pada sistem saraf pusat.
e. Substansi-substansi Karsinogenik
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dan luas
dilakukan. Kini telah diakui bahwa ada substansi yang karsinogenik
seperti methylcholanthrone, nitroso-ethyl-urea. Ini berdasarkan
percobaan yang dilakukan pada hewan.
f. Trauma kepala
Trauma kepala yang dapat menyebabkan hematoma sehingga
mendesak massa otak akhirnya terjadi tumor otak.

D. Patofisiologi Tumor Otak


Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis progresif yang
disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal oleh tumor dan kenaikan
tekanan intracranial (TIK). Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan
pada jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak
dengan kerusakan jaringan neuron.
Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
tumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Akibatnya terjadi kehilangan
fungsi secara akut dan dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskular
primer.
Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron
akibat kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah ke dalam jaringan otak.
Peningkatan TIK dapat diakibatkan oleh beberapa faktor seperti
bertambahnya massa dalam tengkorak, edema sekitar tumor, dan perubahan
sirkulasi CSS. Tumor ganas menyebabkan edema dalam jaringan otak yang
diduga disebabkan oleh perbedaan tekanan osmosis yang menyebabkan
penyerapan cairan tumor. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh
kerusakan sawar di otak, menimbulkan peningkatan volume intracranial dan
meningkatkan TIK.
Peningkatan TIK membahayakan jiwa jika terjadi dengan cepat.
Mekanisme kompensasi memerlukan waktu berhari-hari atau berbulan-bulan
untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tidak berguna apabila tekanan
intracranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini meliputi volume darah
intrakranial, volum CSS, kandungan cairan intrasel, dan mengurangi sel-sel
parenkim otak. Kenaikan tekanan yang tidak diatasi akan mengakibatkan
herniasi untuk serebellum.
Herniasi unkus timbul jika girus medialis lobus temporalis bergeser ke
inferior melalui insisura tentorial karena adanya massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensefalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ke-3. Pada herniasi serebellum, tonsil serebellum tergeser
ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu massa posterior.
Kompresi medulla oblongata dan terhentinya pernapasan terjadi
dengan cepat. Perubahan fisiologis lain yang terjadi akibat peningkatan
intrakranial yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik, dan
gangguan pernapasan.
E. Manifestasi Tumor Otak
1. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis mungkin tidak spesifik yang dapat disebabkan
oleh edema dan peningkatan TIK atau spesifik yang disebabkan oleh
lokasi anatomi tertentu.
a. Perubahan Status Mental
Seperti pada gangguan neurologis atau bedah syaraf, perubahan
tingkat kesadaran atau sensoris dapat ditemukan. Perubahan status
emosional dan mental, seperti letargi dan mengantuk, kebingungan,
disorientasi, serta perubahan kepribadian dapat ditemukan.
b. Sakit kepala
Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor otak
yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya tumpul dan
intermitten. Nyeri kepala berat juga sering diperhebat oleh perubahan
posisi, batuk, maneuver valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan
bersama nyeri kepala pada 50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral
pada tumor supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian
frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke oksiput
dan leher.
Sakit kepala dapat terbatas atau keseluruhan. Biasanya
intermiten dengan durasi meningkat dan dapat diperparah dengan
perubahan posisi atau mengejan. Sakit kepala parah dan berulang pada
klien yang sebelumnya bebas sakit kepala atau sakit kepala berulang di
pagi hari yang frekuensi dan keparahannya meningkat dapat
menandakan suatu tumor intrakranial dan membutuhkan pengkajian
lebih lanjut.
c. Mual dan Muntah
Manifestasi klinis mual dan muntah dipercaya terjadi karena
tekanan pada medula, yang terletak pusat muntah. Klien sering
mengeluhkan sakit kepala parah setelah berbaring di ranjang. Saat
sakit kepala makin nyeri, klien juga dapat mengalami mual atau
muntah yang spontan. Selama episode muntah biasanya nyeri kepala
akan berkurang.
d. Papiledema
Kompresi pada nervus kranialis kedua, nervus optik, dapat
menyebabkan papiledema. Mekanisme patofisiologis yang mendasari
hal ini masih belum diapahami. Peningkatan tekanan intrakranial
mengganggu aliran balik vena dari mata dan menumpuk darah di vena
retina sentralis. Juga dikenal sebagai “Choked disc”, papiledema
umum pada klien dengan tumor intrakranial dan mungkin merupakan
manifestasi awal dari peningkatan tekanan intrakranial. Papiledema
awal tidak menyebabkan perubahan ketajaman penglihatan dan hanya
dapat dideteksi dengan pemeriksaan oftalmologis. Papiledema parah
dapat bermanifestasi sebagai penurunan tajam penglihatan.
e. Kejang
Kejang, fokal atau umum, sering ditemui pada klien dengan
tumor intrakranial, terutama tumor hemisfer serebral. Kejang dapat
parsial atau menyeluruh. Kejang parsial biasanya membantu
membatasi lokasi tumor.
2. Manifestasi Lokal
Manifestasi klinis lokal disebabkan oleh kerusakan, iritasi, atau
kompresi dari sebagian otak tempat tumor terletak.
1) Kelemahan Fokal ( misal, hemiparesis)
2) Gangguan sensoris, antara lain tidak dapat merasakan
(anestesia), atau sensasi abnormal (Parestesia)
3) Gangguan bahasa
4) Gangguan koordinasi (misal, jalan sempoyongan)
5) Gangguan penglihatan seperti diplopia (pandangan ganda) atau
gangguan lapang pandang (monopia)
F. Komplikasi Tumor Otak
Menurut beberapa sumber salah satunya menurut Ginsberg
(2008) komplikasi yang dapat terjadi pada tumor otak antara lain:
1. Peningkatan Tekanan Intrakraial
Peningkatan tekanana intrakranial terjadi saat salah satu maupun semua
faktor yang terdiri dari massa otak, aliran darah ke otak serta jumlah
cairan serebrospinal mengalami peningkatan. Peningkatan dari salah satu
faktor diatas akan memicu:
a. Edema Serebral
Peningkatan cairan otak yang berlebih terakumulasi disekitar lesi
sehingga menambah efek masa yang mendesak.
b. Hidrosefalus
Hidrosefalus terjadi akibat peningkatan produksi CSS ataupun karena
adanya gangguan sirkulasi dan absorbsi CSS. Pada tumor otak, massa
tumor akan mengobstruksi aliran dan absorbsi CSS sehingga memicu
terjadinya hidrosefalus.
c. Herniasi Otak
Peningkatan tekanan intracranial dapat mengakibatkan herniasi
sentra, unkus, dan singuli. Herniasi serebellum akan menekan
mesensefalon sehingga menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga (okulomotor) (Fransisca, 2008).
2. Epilepsi
Epilepsi diakibatkan oleh adanya perangsangan atau gangguan di dalam
selaput otak (serebral cortex) yang disebabkan oleh adanya massa tumor
(Yustinus, 2006).
3. Berkurangnya fungsi neurologis
Gejala berkurangnya fungsi neurologis karena hilangnya jaringan otak
adalah khas bagi suatu tumor ganas (Wim, 2002). Penurunan fungsi
neurologis ini tergantung pada bagian otak yang terkena tumor.
4. Ensefalopati radiasi
5. Metastase ke tempat lain
6. Kematian
G. Penatalaksanaan Tumor Otak
Faktor –faktor prognostik sebagai pertimbangan penatalaksanaan:
1. Usia
2. General Health
3. Ukuran Tumor
4. Lokasi Tumor
5. Jenis Tumor
Langkah pertama pada pengobatan tumor otak ialah pemberian
kortikostreoid yang bertujuan untuk memberantas edema otak. Pengaruh
kortikostreoid terutama dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti nyeri
kepala yang hebat, deficit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun.
Beberapa hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan
reasirbsi cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Jenis
kortikostreoid yang dipilih yaitu glukokortikoid; yang paling banyak dipakai
ialah deksametason, selain itu dapat diberikan prednisone atau prednisolon.
Dosis deksametason biasa diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk
mengatasi edema vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi
intracranial (Greenberg et al., 1999). Selain itu terapi suportif yang dapat
dilakukan yaitu IVFD RL XX tetes/menit (makro), ceftriaxon vial 1 gram/12
jam, ranitidine ampul 1 gram/12 jam, dexamethason 1 ampul/6 jam.
Untuk tumor otak metode utama yang digunakan dalam
penatalaksaannya, yaitu :
1) Pembedahan
Tumor jinak sering kali dapat ditangani dengan eksisi komplet dan
pembedahan merupakan tindakan yang berpotensi kuratif, untuk tumor
primer maligna, atau sekunder biasanya sulit disembuhkan. Pembedahan
tumor biasanya harus melalui diagnosis yang histologis terlebih dahulu.
2) Terapi Medikamentosa
a) Antikonvulsan untuk epilepsi
b) Kortikosteroid (dekstrametason) untuk peningkatan tekanan
intrakranial. Steroid juga dapat memperbaiki defisit neurologis fokal
sementara dengan mengobati edema otak
c) Kemoterapi diindikasikan pada beberapa kasus glioma, sebagai ajuvan
pembedahan dan radioterapi dengan pengawasan unit spesialistik
neuro onkologi.
3) Terapi Radiasi
Radioterapi konvensional menghantarkan radiasi menggunakan
akselerator linier. Dosis standar untuk tumor otak primer kurang lebih 6.000
Gy yang diberikan lima kali seminggu selama 6 minggu. Untuk klien dengan
tumor metastasis, dosis standar radiasi kurang lebih 3.000 Gy. Dosis pasti
akan bergantung pada karakteristik tumor, volume jaringan yang harus
diradiasi biasanya diberikan dalam periode yang lebih pendek untuk
melindungi jaringan normal di sekitarnya. Bentuk lain dari terapi radiasi,
walaupun tidak dianggap konvensional dan belum tersedia luas, adalah terapi
radiasi partikel berat, radioterapi neutron cepat, terapi fotodinamik, dan terapi
tangkapan neutron boron. Walaupun penggunaannya luas, terapi radiasi bukan
tanpa konsekuensi.

H. Pemeriksaan Penunjang Tumor Otak


1. CT Scan dan MRI
Memperlihatkan semua tumor intrakranial dan menjadi prosedur
investigasi awal ketika penderita menunjukkan gejala yang progresif atau
tanda-tanda penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda
spesifik dari sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan
tumor dari abses ataupun proses lainnya.
2. Foto Polos Dada
Dilakukan untuk mengetahui apakah tumornya berasal dari suatu
metastasis yang akan memberikan gambaran nodul tunggal ataupun
multiple pada otak.
3. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Dilakukan untuk melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker
tumor. Tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien
dengan massa di otak yang besar. Umumnya diagnosis histologik
ditegakkan melalui pemeriksaan patologi anatomi, sebagai cara yang tepat
untuk membedakan tumor dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).
4. Biopsi Stereostatik
Dapat digunakan untuk mendiagnosis kedudukan tumor yang
dalam dan untuk memberikan dasar-dasar pengobatan dan informasi
prognosis.
5. Angiografi Serebral
Memberikan gambaran pembuluh darah serebral dan letak tumor
serebral.
6. Elektroensefalogram (EEG)
Mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang ditempati
tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus temporal pada
waktu kejang.
Menurut Muttaqin (2008) ada beberapa pemeriksaan diagnostik yang
digunakan dalam mengindikasi penyakit tumor otak, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Computed Tomography (CT) Scan merupakan suatu teknik
diagnostik dengan menggunakan sinar sempit dari sinar-X untuk
memindai kepala dalam lapisan yang berurutan. Bayangan yang
dihasilkan memberi gambaran potongan melintang dari otak, dengan
membandingkan perbedaan jaringan padat pada tulang kepala, korteks,
struktur subkortikal, dan ventrikel. Bayangan ditunjukkan pada osiloskop
atau monitor TV dan difoto. Lesi-lesi pada otak terlihat sebagai variasi
kepadatan jaringan yang berbeda dari jaringan otak normal sekitarnya.
Jaringan abnormal sebagai indikasi kemungkinan adanya massa tumor,
infark otak dan atrofi kortikal. Oleh karena itu, CT Scan merupakan alat
diagnostik yang penting dalam evaluasi pasen yang diduga menderita
tumor otak. Sensitifitas CT Scan untuk mendeteksi tumor yang
berpenampang kurang dari 1 cm dan terletak pada basis kranil. Gambaran
CT Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya
tumor otak dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena
densitasnya lebih rendah. Adanya kalsifikasi, perdarahan atau invasi
mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya karena sifatnya yang
hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila pada waktu
pemeriksaan CT Scan disertai dengan pemberian zat kontras.
Penilaian CT Scan pada tumor otak:
a. Tanda proses desak ruang:
1. Pendorongan struktur garis tengah itak
2. Penekanan dan perubahan bentuk ventrikel
b. Kelainan densitas pada lesi:
1. Hipodens
2. Hiperdens atau kombinasi
c. Klasifikasi, perdarahan
1. Edema perifokal

Gambar 5 Pemeriksaan CT scan pada Tumor Otak (Pearce, 2009)


2. Positron Emmision Tomography (PET)
Positron Emmision Tomography (PET) adalah teknik pencitraan
nuklir berdasarkan komputer yang dapat menghasilkan bayangan fungsi
organ secara aktual. Klien menghirup gas radioaktif atau diinjeksikan
dengan zat radioaktif yang memberikan partikel bermuatan positif. Bila
positron ini berkombinasi dengan elektron-elektron bermuatan negatif
(normalnya didapat dalam sel-sel tubuh), resultan sinar gamma dapat
dideteksi oleh alat pemindai. Dalam alat-alat pemindai, detektor tersusun
dalam sebuah cincin dan seri-seri yang dihasilkan berupa gambar dua
dimensi pada berbagai tingkatan otak. Informasi ini terintegrasi oleh
komputer dan memberikan sebuah komposisi bayangan kerja otak. PET
memungkinkan pengukuran aliran darah, komposisi jaringan, dan
metabolisme otak. PET mengukur aktifitas ini secara spesifik pada
daerah otak dan dapat mendeteksi perubahan penggunaan glukosa. Uji ini
digunakan untuk melihat perubahan metabolik otak, melokasikan lesi
seperti adanya tumor otak. PET digunakan untuk mendiagnosa kelainan
metabolisme pada otak dan mampu mendiagnosa penyakit Alzheimer
serta penyebab lain dari demensia. Hasil yang didapatkan seperti pada
(Gambar 2-6).

Gambar 6 Positron Emmision Tomography (PET) (Pearce, 2019)

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Pemindaian MRI dapat mendemonstrasikan otak dengan
menggunakan fasilitas multiplanar pada bidang aksial, koronal dan
sagital dengan gambaran yang sangat baik pada fosa posterior, karena
tidak ada artefak tulang. MRI merupakan pemeriksaan yang sangat
sensitif dalam mendeteksi tumor seperti adenoma hipofisis dan neuroma
akustik. MRI menunjukkan gejala yang progresif atau tanda-tanda
penyakit otak yang difus atau fokal, atau salah satu tanda spesifik dari
sindrom atau gejala-gejala tumor. Kadang sulit membedakan tumor dari
abses ataupun proses lainnya. Pada keadaan tumor otak ini akan nampak
warna yang kontras dengan warna organ normal dan terjadi penebalan
jaringan otak.

Gambar 7 Hasil MRI pada Tumor Otak (Pearce, 2009)

4. Elektroensefalografi
Elektroensefalografi (EEG) merekam aktifitas umum eletrik di
otak, dengan meletakkan elektroda-elektroda pada daerah kulit kepala
atau dengan menempatkan mikroelektroda dalam jaringan otak.
Pemeriksaan ini memberikan kajian fisiologis aktifitas serebri. EEG
bertindak sebagai indikator kematian otak. Tumor, abses, jaringan parut,
bekuan darah, dan infeksi dapat menyebabkan aktifitas listrik berbeda
dari pola normal irama dan kecepatan. Pemeriksaan ini pada tumor otak
berfungsi untuk mengevaluasi lobus temporal pada saat kejang.

Gambar 8 Contoh Gambaran EEG pada Tumor Otak (Pearce, 2009)


5. MR-Spectroscopy
MR-Spectroscopy (MRS) mampu membedakan berbagai lesi pada
otak. Derajat akurasinya mencapai 95-100% untuk membedakan lesi
neoplasma atau nonneoplasma. Choline adalah marker spesifik pada
neoplasma intrakranial. Peningkatan konsentrasi choline atau jumlah
rasio Cho/Cr atau Cho/NNA menunjukkan adanya suatu neoplasma
(Castillo et al, 1998). Kelainan spesifik tertentu dapat mempersulit untuk
membedakan diagnostik antara tumor atau proses inflamasi seperti pada
high grade glioma dan abses serebri dimana puncak konsentrasi choline
dapat tidak muncul karena adanya proses nekrosis. Berbagai cara tertentu
dapat digunakan seperti penggunaan long TE dapat mempermudah
identifikasi puncak choline. Adanya puncak cytosolic amino acids pada
0,9 ppm adalah karakteristik khusus untuk abses. Pada diffusion weight
image, abses menunjukkan high signal intensity sedangkan pada tumor
dengan degenerasi nekrosis menunjukkan ISO sampai low signal
intensity. Pada abses biasanya menunjukkan hipoperfusi sedangkan pada
glioma menunjukkan hiperperfusi (Fatterpekar et al, 2001).

Gambar 9 Gambaran Grafik MR-Spectroscopy Tumor Otak

6. Angiografi Serebral
Menegaskan adanya tumor. Memberikan gambaran pembuluh
darah serebral dan letak tumor serebral. Pada tumor otak ini pembuluh
darah pada siklus Willis di cabang arteri otak yang kecil akan mengalami
pembesaran masa pembuluh darah saat dilakukan pemeriksaan ini.
Gambar 10 Hasil Pemeriksaan Angiografi Serebral pada Tumor Otak
(Pearce, 2009)

7. Pemeriksaan Lumbal Pungsi


Menunjukan peningkatan cairan serebrospinal (CSS), yang
mencerminkan TIK, peningkatan kadar protein, penurunan kadar
glukosa, dan terkadang sel-sel tumor pada CSS. Dilakukan untuk
melihat adanya sel-sel tumor dan juga marker tumor. Tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dilakukan terutama pada pasien dengan massa di otak yang
besar. Umumnya diagnosis histologik ditegakkan melalui pemeriksaan
patologi anatomi, sebagai cara yang tepat untuk membedakan tumor
dengan proses-proses infeksi (abses cerebri).

Gambar 11 Pemeriksaan Lumbar Pungsi (Pearce, 2009)


I. Pencegahan
1. Hindari stresdan terapkan koping yang efektif terhadap stres
2. Terapkan pola hidup sehat dengan mengkomsumsi makanan yang bergizi
seimbang dan olahraga secara teratur
3. Hindari menggunakan telepon seluluer terlalu lama dan penggunaan
headset ketika berkomunikasi dengan orang lain melalui telepon
4. Hindari rokok

J. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI TUMOR OTAK


A. Pengkajian
Pengkajian keperawatan yang menyeluruh dan akurat sangat penting
dalam merawat pasien yang memiliki masalah saraf. Perawat perlu waspada
terhadap berbagai perubahan yang kadang samar dalam kondisi pasien yang
mungkin menunjukkan perburukan kondisi.
1. Anamnesa
a Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin,
status perkawinan, dan penanggung biaya.
b Keluhan utama
Biasanya klien mengeluh nyeri kepala yang hilang timbul dan
durasinya makin meningkat
c Riwayat penyakit saat ini
Klien mengeluh nyeri kepala saat perubahan posisi dan dapat
meningkat dengan aktivitas, vertigo, muntah proyektil, perubahan
mental seperti disorientasi, letargi, papiledema, penurunan tingkat
kesadaran, penurunan penglihatan atau penglihatan double,
ketidakmampuan sensasi (parathesia atau anasthesia), hilangnya
ketajaman atau diplopia.
d Riwayat penyakit dahulu
Klien pernah mengalami pembedahan kepala atau trauma kepala
e Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin
ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat
keluarga dengan tumor kepala.
f Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental,
kesulitan mengambil keputusan, kecemasan dan ketakutan
hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur pembedahan, adanya
perubahan peran.
2. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
Pemeriksaan fisik pada klien dengan tomor otak meliputi pemeriksaan
fisik umum per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan
tanda-tanda vital, B1 (breathing), B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder),
B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
a Pernafasan B1 (Breath)
Adanya peningkatan irama pernafasan (pola napas tidak teratur) dan
sesak napas terjadi karena tumor mendesak otak sehingga hermiasi
dan kompresi medulla oblongata. Bentuk dada dan suara napas klien
normal, tidak menunjukkan batuk, adanya retraksi otot bantu napas,
dan biasanya memerlukan alat bantu pernapasan dengan kadar
oksigen 2 LPM.
b Kardiovaskular B2 (Blood)
Desak ruang intracranial akan menyebabkan peningkatan tekanan
intracranial sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
Selain itu terjadi ketidakteraturan irama jantung (irreguler) dan
bradikardi. Klien tidak mengeluhkan nyeri dada, bunyi jantung
normal, akral hangat, nadi bradikardi.
c Persyarafan B3 (Brain)
a. Penglihatan (mata) : Penurunan penglihatan, hilangnya
ketajaman atau diplopia.
b. Pendengaran (telinga): Terganggu bila mengenai lobus temporal
c. Penciuman (hidung) : Mengeluh bau yang tidak biasanya, pada
lobus frontal
d. Pengecapan (lidah) : Ketidakmampuan sensasi (parathesia atau
anasthesia)
1) Afasia : Kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa,
kemungkinan ekspresif atau kesulitan berkata-kata, reseotif
atau berkata-kata komprehensif, maupun kombinasi dari
keduanya.
2) Ekstremitas : Kelemahan atau paraliysis genggaman tangan
tidak seimbang, berkurangnya reflex tendon.
3) GCS : Skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran
pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak)
dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang
diberikan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan
rentang angka 1– 6 tergantung responnya yaitu :
a) Eye (respon membuka mata)
(4):Spontan
(3):Dengan rangsang suara (suruh pasien membuka
mata).
(2):Dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri,
misalnya menekan kuku jari)
(1): Tidak ada respon
b) Verbal (respon verbal)
(5) : Orientasi baik
(4) : Bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya
berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.
(3) : Kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata
masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya
“aduh…, bapak…”)
(2) : Suara tanpa arti (mengerang)
(1) : Tidak ada respon
c) Motor (respon motorik)
(6):Mengikuti perintah
(5):Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4):Withdraws (menghindar/menarik ekstremitas atau
tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3):Flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi
kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang
nyeri).
(2):Extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi
di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri).
(1):Tidak ada respon
Berdasarkan Fokal
Tumor Lobus Frontalis
a. Gangguan keperibadian dan mental seperti apatis,kesukaran
dalam pandangan ke depan, regresi dalam tingkah laku
social
b. Graps refleks (reflek memegang)
c. Spasme tonik pada jari-jari kaki atau tangan
d. Kejang fokal atau wajah
e. Todd’s paralisis
f. Afasia motorik
g. Jika terjadi di traktus kortikospinalis :hemiparesis sampai
hemiplegia kontralateral lesi
h. Sindrom foster kennedy
Tumor lobus temporalis
a. Kajang parsiil
b. Movement motoric automatic
c. Nyeri epigastrium
d. Perasaan fluttering di epigastrik atau toraks
e. Dejavu
Tumor lobus parietalis
a. Astereognosis
b. Antopognosis
c. Hemianestesia
d. Tidak dapat membedakan kanan taua kiri
e. Loss of body image
Tumor lobus oksipitalis
a. Gangguan yojana penglihatan
b. Nyeri kepala di daerah oksipital
c. Hemianopsia homonym
Tumor Serebellum
a. Nyeroi kepala, muntah ban pupil edema
b. Ganguan gait dan gangguan koordinasi
c. Bila berjalan kan jatuh ke sisi lesi
d. Ataksia, tremor, nistagmus hipotonia
Tumor daerah thalamus
a. Refleks babinsky positif, hemiparesis, hiperrefleks
b. Tekanan intracranial yang tinggi
c. Lama kelamaan bisa menjadi hidrosefalus
Tumor daerah pineal/epifise
a. Tanda perinaud fenomena bell
b. Fenomena puppenkoft
c. Pupil argyl Robertson
d. Pubertas prekoks
e. Diabetes insipidus
Tumor batang otak
a. Kesadaran menurun
b. Gangguan N III
c. Sindrom webber
d. Sindrom benedict
e. Sindrom claude
Tumor sudut sereblo pontin
a. Gangguan pendengaran
b. Vertigo
Berdasarkan PTIK
Nyeri kepala,kejang, gangguan mental, pembesaran kepala,
papiledema, sensasi abnormal di kepala, false localizing sign
d Perkemihan B4 (Bladder)
Gangguan control sfinter urine, kebersihan bersih, bentuk alat
kelamin normal, uretra normal, produksi urin normal

e Pencernaan B5 (Bowel)
Mual dan muntah terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial
sehingga menekan pusat muntah pada otak. Gejala mual dan muntah
ini biasanya akan diikuti dengan penurunan nafsu makan pada
pasien. Kondisi mulut bersih dan mukosa lembab
f Muskuloskeletal/integument B6 (Bone)
Keterbatasan pergerakan anggota gerak karena kelemahan bahkan
kelumpuhan. Kemampuan pergerakan sendi bebas, kondisi tubuh
kelelahan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri kronis (00133) berhubungan dengan perembesan tumor:
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan penekanan
medula oblongata.
3. Risiko ketidakefekifan perfusi jaringan serebral (00200) berhubungan
dengan peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema
serebri.
4. Resiko cedera (00035) berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap
hipotensi ortostatik.
5. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002) berhubungan
dengan efek kemoterapi dan radioterapi.
6. Gangguan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan gangguan sensorik
dan motorik
7. Gangguan rasa nyaman (00214) berhubungan dengan nyeri akibat tidak
mampu menggerakan leher.
C. Intervensi Keperawatan
1. Nyeri kronis (00133) berhubungan dengan perembesan tumor:
peningkatan tekanan intrakranial.
Domain 12: Comfort
Class 1. Physical Comfort
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Pain Management (1400)
keperawatan selama 1x24 jam nyeri 1) Mengurangi/menghilangkan
yang dirasakan berkurang 1 atau dapat faktor-faktor yang memimbulkan /
diadaptasi oleh klien dengan kriteria meningkatkan pengalaman nyeri
hasil : 2) Memilih dan
a. Klien mengungkapkan nyeri mengimplementasikan satu jenis
yang dirasakan berkurang atau tindakan (farmakologi, non-
dapat diadaptasi ditunjukkan farmakologi, interpersonal) untuk
penurunan skala nyeri. Skala = 2 memfasilitasi pertolongan nyeri
b. Klien tidak merasa kesakitan. 3) Mempertimbangkan jenis dan
c. Klien tidak gelisah sumber nyeri ketika memilih
Domain-Health Knowledge & strategi pertolongan nyeri
Behaviour (IV) 4) Mendorong klien untuk
Pain Control (1605) menggunakan pengobatan nyeri
Klien dapat mengenal onset nyeri yang adekuat
Klien dapat menggambarkan faktor 5) Instruksikan pasien/keluarga
penyebab untuk melaporkan nyeri dengan
Klien mengenal gejala yang segera jika nyeri timbul.
berhubungan dengan nyeri (160509) 6) Mengajarkan tehnik relaksasi dan
Melaporkan kontrol nyeri (160511) metode distraksi
Pain: Disruptive Effects (2101) 7) Observasi adanya tanda-tanda
Hubungan interpersonal tidak nyeri non verbal seperti ekspresi
terganggu wajah, gelisah,
Tindakan peran seperti semula menangis/meringis, perubahan
Dapat melakukan ktivitas sehari-hari tanda vital.
Aktivitas fisik tidak terganggu Kolaborasi: Analgesic Administration
(2210)
1) Menentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan keparahan nyeri
sebelum pengobatan klien
2) Mengecek permintaan medis
untuk obat, dosis, dan frekuensi
dari analgesik yang telah
ditentukan (resep)
2. Ketidakefektifan pola nafas (00032) berhubungan dengan penekanan
medula oblongata.
Domain 4: Activity/Rest
Class 4. Cardiovascular/Pulmonary Responses
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Airway Management (3140)
keperawatan selama 1x24 jam pola 1) Monitor status respirasi dan
pernafasan kembali normal dengan oksigenasi, yang tepat
kriteria Hasil : Respiratory Management (3350)
a. Pola nafas efekif 1) Monitor kecepatan, irama,
b. GDA normal kedalaman dan upaya pernafasan.
c. Tidak terjadi sianosis 2) Monitor pola pernapasan
3) Monitor tingkat saturasi oksigen
Domain-Physiologic Health (II) dalam klien yang tenang
Class-Cardiopulmonary (E) 4) Auskultasi suara napas, mencatat
Respiratory Status (0415) area penurunan ketiadaan ventilasi
Respiraroty Rate normal dan keberadaan suara tambahan
Respiraory Rhytm normal
Kedalaman inspirasi normal
Saturasi oksigen normal
Tidak ada sianosis

3. Risiko ketidakefekifan perfusi jaringan serebral (00200) berhubungan


dengan peningkatan tekanan intrakranial, pembedahan tumor, edema
serebri.
Domain 4: Activity/Rest
Class 4. Cardiovascular/Pulmonary Responses
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Intracranial Pressure (ICP) Monitoring
keperawatan selama 1x24 jam perfusi (2590)
jaringan klien membaik ditandai 1) Monitor kualitas dan karakteristik
dengan tanda-tanda vital stabil dengan dari bentuk gelombang TIK
kriteria hasil : 2) Monitor tekanan perfusi cerebral
a. Tekanan perfusi 3) Monitor status neurologis
serebral >60mmHg, tekanan 4) Monitor TIK klien dan respon
intrakranial <15mmHg, tekanan neurologis untuk merawat
arteri rata-rata 80-100mmHg aktivitas dan stimuli lingkungan
b. Menunjukkan tingkat kesadaran 5) Monitor jumlah, kecepatan, dan
normal karakteristik dari aliran cairan
c. Orientasi pasien baik serebrospinal (CSF)
d. RR 16-20x/menit 6) Memberikan agen farmakologi
e. Nyeri kepala berkurang atau untuk menjaga TIK pada batas
tidak terjadi tertentu
Domain-Physiologic Health (II) 7) Memberi jarak waktu intervensi
Class-Cardiopulmonary (E) keperawatan untuk
Perfusi Jaringan: Serebral (0406) meminimalkan PTIK
Tekanan intracranial normal 8) Monitor secara berkala tanda dan
Tekanan darah sistolik normal gejala peningkatan TIK
Tekanan darah diastolic normal a. Kaji perubahan tingkat
Mean Blood Pressure normal kesadaran, orientasi, memori,
Sakit kepala hilang periksa nilai GCS
Tidak mengalami penurunan tingkat b. Kaji tanda vital dan
kesadaran bandingkan dengan keadaan
Tidak ada gangguan reflek neurologik sebelumnya
c. Kaji fungsi autonom: jumlah
dan pola pernapasan, ukuran
dan reaksi pupil, pergerakan
otot
d. Kaji adanya nyeri kepala,
mual, muntah, papila edema,
diplopia, kejang
e. Ukur, cegah, dan turunkan
TIK
1. Pertahankan posisi dengan
meninggikan bagian
0
kepala 15-30 , hindari
posisi telungkup atau
fleksi tungkai secara
berlebihan
2. Monitor analisa gas darah,
pertahankan PaCO2 35-45
mmHg, PaO2 >80mmHg
3. Kolaborasi dalam
pemberian oksigen
4. Hindari faktor yang dapat
meningkatkan TIK
9) Istirahatkan pasien, hindari
tindakan keperawatan yang dapat
mengganggu tidur pasien
10) Berikan sedative atau analgetik
dengan kolaboratif.
4. Resiko cedera (00035) berhubungan dengan vertigo sekunder terhadap
hipotensi ortostatik.
Domain 11: Safety/Protection
Class 2. Physical Injury
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Fall Prevention (6490)
keperawatan selama 1x24 jam 1) Identifikasi tingkah laku dan
diagnosa tidak menjadi masalah actual faktor yang berpengaruh pada
dengan kriteria hasil : risiko jatuh
a. Pasien dapat mengidentifikasikan 2) Memberikan tanda untuk
kondisi-kondisi yang mengingatkan klien untuk
menyebabkan vertigo meminta tolong ketika pergi dari
b. Pasien dapat menjelaskan tempat tidur, yang tepat
metode pencegahan penurunan 3) Menggunakan teknik yang sesuai
aliran darah di otak tiba-tiba untuk mengantar klien ked an dari
yang berhubungan dengan kursi roda, tempat tidur, toilet dan
ortostatik. lainnya
c. Pasien dapat melaksanakan 4) Kaji tekanan darah pasien saat
gerakan mengubah posisi dan pasien mengadakan perubahan
mencegah drop tekanan di otak posisi tubuh.
yang tiba-tiba. 5) Diskusikan dengan klien tentang
d. Menjelaskan beberapa episode fisiologi hipotensi ortostatik.
vertigo atau pusing. 6) Ajarkan teknik-teknik untuk
Domain-Health Knowledge & mengurangi hipotensi ortostatik
Behaviour (IV) a. Untuk mengetahui pasien
Class-Risk Control & Safety (T) mengakami hipotensi
Falls Occurrence (1912) ortostatik ataukah tidak.
Tidak terjadi jatuh ketika posisi b. Untuk menambah
berdiri, berjalan, duduk dan ketika pengetahuan klien tentang
tidur hipotensi ortostatik.
Domain-Health Knowledge & c. Melatih kemampuan klien dan
Behaviour (IV) memberikan rasa nyaman
Class-Risk Control & Safety (T) ketika mengalami hipotensi
Physical Injury Severity (1913) ortostatik.
Cedera bedah kepala tidak ada
Gangguan mobilitas tidak ada
Penurunan tingkat kesadaran tidak
terjadi
Perdarahan tidak terjadi
5. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh (00002) berhubungan
dengan efek kemoterapi dan radioterapi.
Domain 2: Nutrition
Class 1. Ingestion
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan Nutrition Monitoring (1160)
keperawatan selama 1x24 jam 1) Kaji tanda dan gejala kekurangan
kebutuhan nutrisi klien dapat nutrisi: penurunan berat badan,
terpenuhi dengan adekuat dengan tanda-tanda anemia, tanda vital
kriteria hasil: 2) Monitor intake nutrisi pasien
a. Antropometri: berat badan tidak 3) Berikan makanan dalam porsi
turun (stabil) kecil tapi sering.
b. Biokimia: albumin normal 4) Timbang berat badan 3 hari sekali
dewasa (3,5-5,0) g/dl 5) Monitor hasil laboratorium: Hb,
c. Hb normal (laki-laki 13,5-18 albumin
g/dl, perempuan 12-16 g/dl) 6) Kolaborasi dalam pemberian obat
1) Clinis: tidak tampak kurus, antiemetic
terdapat lipatan lemak,
rambut tidak jarang dan
merah
2) Diet: klien menghabiskan
porsi makannya dan nafsu
makan bertambah
Nutritional Status (1004)
Intake nutrisi adekuat
Intake makanan adekuat
Intake cairan adekuat
Hidrasi

6. Gangguan mobilitas fisik (00085) berhubungan dengan gangguan sensorik


dan motorik
Domain 4: Activity/Rest
Class 2. Activity/Exercise
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam, 1) Kaji fungsi motorik secara berkala
gangguan mobilitas dapat 2) Menjaga pergelangan kaki 90
diminimalkan dengan kriteria Hasil : derajat dengan papan kaki.
1. Mempertahankan posisi fungsi Gunakan trochanter rolls sepanjang
yang dibuktikan dengan tidak paha saat di ranjang
adanya kontraktur. Foodtrop 3) Ukur dan pantau tekanan darah
2. Meningkatkan kekuatan tidak pada fase akut atau hingga stabil.
terpengaruh/ kompenssi bagian Ubah posisi secara perlahan
tubuh 4) Inspeksi kulit setiap hari. Kaji
3. Menunjukan teknik eprilaku terhadap area yang tertekan dan
yang meingkinkan dimulainya memberikan perawatan kulit secara
kembali kegiatan teliti
Mobility (0208) 5) Membantu mendorong pulmonary
Keseimbangan terjaga hygiene seperti napas dalam,
Koordinasi terjaga batuk, suction
Bergerak dengan mudah 6) Kaji dari kemerahan,
bengkak/ketegangan otot jaringan
betis
7. Gangguan rasa nyaman (00214) berhubungan dengan nyeri akibat tidak
mampu menggerakan leher.
Domain 12: Comfort
Class 1. Physical Comfort
NOC NIC
Tujuan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1x24 jam 1) Kaji rentang gerak leher klien
memberikan kenyamanan gerak leher 2) Memberi helth education kepada
pada klien dengan kriteria Hasil : pasien mengenai penurunan
a. Klien dapat menggerakan leher fungsi gerak leher
secara normal 3) Kolaburasi dengan fisioterapi
b. Klien dapat beraktifitas secara 4) Mengetahui kemampuan gerak
normal leher klien
5) Membantu pasien untuk dapat
menerima kondisi yang dialami
6) Terapi dapat membantu
mengembalikan gerak leher klien
secara normal
PATHWAY TUMOR OTAK
Herediter Trauma Virus Onkogenik (Rotavirus) Radiasi

Mengenai lobus oksipitalis Pertumbuhan Sel yang Abnormal Obstruksi cairan Peregangan Epidural
serebrospinal dari ventrikel
lateral ke sub arachnoid
Gangguan visual TUMOR OTAK Nyeri Kepala

HIDROSEPALUS Papiledema
Penambahan Massa Otak dan atau Cairan Otak

Kerusakan pembuluh darah otak Kompresi jaringan otak Mengenai lobus frontalis Mengenai batang otak Bergesernya ginus
terhadap sirkulasi darah & O2 medialis lobus temporal
ke inferior melalui
Perpindahan cairan intravaskuler Kompresi daerah motorik Iritasi pusat vagal di insisura tentorial
ke jaringan serebral Penurunan suplai O2 ke medula oblongata
jaringan otak akibat obstruksi
Hemiparesis
Herniasi medula
Volume intrakranial naik (PTIK) Mual & Muntah oblongata
Iskemik
MK. Gangguan
Menggangu fungsi spesifik Mobilitas Fisik MK. Nutrisi
MK. Gangguan Perfusi MK. Risiko Menekan pusat saraf napas
bagian otak tempat tumor Kurang dari
Jaringan Cerebral Tinggi Cedera
Kebutuhan Tubuh
Mengenai lobus parietalis
MK. Ketidakefektifan
MK. Nyeri Kronis
Pola Napas
Kejang fokal
DAFTAR PUSTAKA

Ginsberg,Lionel. 2005. Lecture Notes: Neurologi. Jakarta: Erlangga


Baughman, Diace C dan Joann C. Hackley. 2000. Buku Saku Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A dan Lorrane M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Vol 2. Jakarta: EGC
Tarwoto, Watonah, dan Eros Siti Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah
Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: CV Sagung Seto
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (Eds.). (2014). NANDA International Nursing


Diagnoses: Definitions & Classification, 2015-2017, Tenth Edition. Oxford: Wiley
Blackwell

Bulechek, Gloria M., [et al.]. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC), Sixth
Edition. United States of America: Mosby Elsevier

Moorhead, Sue., [et al.]. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC): measurement
of health outcomes, Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS CKD DI RUANGAN ANGGREK RSUD
UNDATA KOTA PALU

SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH:

NAMA : SUKMAWATY

NIM : 2022031033

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns Uswatun, S. Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep

NIP. 198107252007012015 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI NERS

PROFESI NERS UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2022
TINJAUAN TEORI

A. Definisi
Gagal ginjal kronis disebut juga sebagai Chronic Kidney Disease (CKD)
yaitu merupakan kehilangan atau penurunan fungsi ginjal yang sudah lanjut
dan bertahap serta bersifat menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi
dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan pengobatan yang serius.
Perbedaan kata kronis disini dibanding dengan akut adalah kronologis waktu
dan tingkat fisiologis flitrasi. Berdasarkan Mc Clellan (2006) dijelaskan
bahwa gagal ginjal kronis merupakan kondisi penyakit pada ginjal yang
persisten (keberlangsungan ≥ 3 bulan) dengan:
1. Kerusakan ginjal; dan
2. Kerusakan Glomerulus Filtration Rae (GFR) dengan angka GFR ≤ 60
ml/menit/1,73 m2.

Berdasarkan analisa definisi di atas, jelas bahwa gagal ginjal kronis


merupakan gagal ginjal akut yang sudah berlangsung lama, sehingga
mengakibatkan gangguan yang persisten dan dampak yang bersifat kontinu.
Sedangkan National Kidney Foundation (NKF) mendefinisikan dampak dari
kerusakan ginjal adalah sebagai kondisi mikroalbuminuria/over proteinuria,
abnormalitas sedimentasi, dan abnormalitas gambaran ginjal. Oleh karena itu,
perlu diketahui klasifikasi dari derajat gagal ginjal kronis untuk mengetahui
tingkat prognosanya.

Stage Deskripsi GFR


(ml/menit/1,73 m2)
1 Kidnet damage with normal or increase of ≥90
GFR
2 Kidney damaege eith mild decrease of GFR 60-89
3 Moderate decrease of GFR 30-59
4 Severe decrease of GFR 15-29
5 Kidney failure < 15 (or dialysis)
(Prabowo & Pranata, 2014; (tanto, liwang, hanifan, & pradipta, 2014)
B. Etiologi
1. Gangguan pembuluh darah ginjal : berbagai jenis lesi vaskular dapat
menyebabkan iskemik ginjal dan kematian jaringan ginjal.lesi yang paling
sering adalah aterosklerosis pada arteri renalis yang besar,dengan
konstriksi skleratik progresif padapembuluh darah.hiperplasi
fibromuskular pada suatu atau lebih arteril besar yang juga menimbulkan
sumbatan pembuluh darah. Nefrosklerosis yaitu suatu kondisi yang
disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak diobati,dikarakteristikkan oleh
penebalan hilangnya elastisitas sistem,perubahan darah ginjal
mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
2. Ganguan imunologis: seperti glomerulonefritis & SLE
3. Infeksi : dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli
yang berasal dari kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri.bakteri
ini mencapai ginjal melalui aliran darah atau yang lebih sering secara
ascenden dari traktus urinarius bagi.bawah lewat ureter keginjal sehingga
dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut
plenlonefritis.
4. Gangguan metabolik: seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak
meningkat sehingga terjadi penebalan membran kapiler dan diginjal dan
berlanjut dengan disfungsi endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis
yang disebabkan oleh endapan zat-zat proteinemia abnormal pada dinding
pembuluh darah secara serius merusak membran glomerulus.
5. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesik atau
logam berat.
6. Obstruksi traktus urinarius : oleh batu ginjal,hipertrofi prostat,dan
konstriksi uretra.
7. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik = kondisi
keturunan yang dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan
didalam ginjal dan organ lain,serta tidak adanya jaringan ginjal yang
bersifat kongenital (hipoplasia renalis) serta adanya asidosis (Wijaya &
Putri, 2013)
Gagal ginjal kronik sering kali menjadi penyakit komplikasi dari penyakit
lainnya,sehingga merupakan penyakit sekunder (secondary illness).penyebab
yang sering adalah diabetes mellitus dan hipertensi.selain itu,ada beberapa
penyebab lainnya dari gagal ginjal kronis,yaitu (Robinson,2013):
1. Penyakit glomerular kronis (glomerulonefritis)
2. Infeksi kronis (pyelonefritis kronis,tuberkulosis)
3. Kelainan kongenital (polikistik ginjal)
4. Penyakit vaskuler ( renal nephrosclerosis)
5. Obstruksi saluran kemih (nephrolithisis)
6. Penyakit kolagen (Systemic Lupus Erythematosus)
7. Obat-obatan nefrotoksik (aminoglikosida) (Prabowo & Pranata, 2014)
C. Manifestasi
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan
yang bersifat sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam pesan sirkulasi
memiliki fungsi yang banyak (organs multifunction), sehingga kerusakan
kronis secara fisiologis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda dan gejala yang
ditunjukkan oleh gagal ginjal kronis.
1. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponatremi maka timbul hipotensi, mulut kering,
penurunan turgor kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian
terjadi enurunan kesadaran (somnolen), dan nyeri kepala yang hebat.
Dampak dari peningkatan kalium adalah peningkatan iritabilitas otot
dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan cairan yang tidak
terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolic. Tanda paling
khas adalah terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi
yang tinggi.
2. Kardiovaskular
Biasanya terjadi hipertensi, aritmia, kardiomyopati, uremic
pericarditis, efflusi pericardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade
jantung), gagal jantung, edema periorbital dan edema perifer.
3. Respiratory System
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi
pleura, crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic
lung, dan sesak napas.
4. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan perdarahan gusi, dan
kemungkinan juga disertai parotitis, esophagitis, gastritis, ulseratif
duodenal, lesi pada usus halus/usus besar,colitis, dan pankreatitis.
Kejadian sekunder biasanya mengikuti seperti anoreksia, nausea dan
vomiting.
5. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp.
Selain itu, biasanya juga menunjukkan adanya purpula,
ekimosis,petechiae, dan timbunan urea pada kulit.
6. Neurologis
Biasanya ditunjukkan denagn adanya neuropathy perifer , nyeri, gatal
pada lengan dan kaki. Selain itu juga adanya kram pada otot dan
reflex kedutan, daya memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat,
iritabilitas, pusing, koma,dan kejang. Dari hasil EEG menunjukkan
adanya perubahan metabolic encephalophaty.
7. Endokrin
Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan
gangguan siklus menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi
sperma, peningkatan sekresi aldosterone, dan kerusakan metabolisme
karbohidrat.
8. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunaan waktu hidup sel darah merah,
trombositopenia (dampak dari dialysis), dan kerusakan
platelet.Biasanya masalah yang serius pada sistem hematologi
ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan
petechiae).
9. Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis,
dan kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard) (Prabowo & Pranata,
2014)
D. Patofisiologi
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk
glemorulus dan tubulus) diduga utuh sedangkan yang lain rusak (hipotesa
nefron utuh). Nefron-nefron yang utuh hipertrofi dan memproduksi volume
filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun dalam keadaan
penurunan GFR / daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾ dari nefron-nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut
menjadi lebih besar daripada yang bisa direabsorpsi berakibat diluresis
osmotik disertai poliuri dan haus. Selanjutnya karena jumlah nefron yang
rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai retensi produk sisa. Titik
dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan muncul
gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80
– 90%. Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance
turun sampai 15 ml.menit atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang
normalnya dikeskresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. terjadi
uremia dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan
produk sampah maka gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia
membaik setelah dialisis (Wijaya & Putri, 2013)
E. Pathway

Infeksi saluran kemih Penyakit metabolik (DM) Nefropatik


Penyakit vaskuler hipertensi gangguan jaringan ikat gangguan kongenital

CKD

Renin meningkat Penurunan laju


glomerulus Penurunan Peningkatan kadar
fungsi ginjal creatinin dan BUN serum
Angiostensi Angiostensi II
I meningkat meningkat Ginjal tak mampu
mengencerkan urin Penurunan fungsi ginjal
secra maksimal (produksi eritprotein Uremia
Vasikonutrisi Peningkatan Na&K menurun
pembuluh darah

Masuk ke vaskuler Penurunan pembentukan Perfusi Perifer Tidak


Tekanan darah eritrosit Efektif
meningkat
Beban jantung
meningkat Anemia
Penurunan Curah
Jantung
Pola Napas Tidak Intoleransi
Efektif Aktivitas
F. Klasifikasi
- Gagal ginjal kronik dibagi 3 stadium :
1. Stadium 1 : penurunan cadangan ginjal, pada stadium kadar kreatinin
serum normal dan penderita asimptomatik.
2. Staidum 2 : insufisiensi ginjal, dimana lebih dari 75% jaringan telah
rusak, Blood Urea Nitrogen (BUN) meningkat, dan kreatinin serum
meningkat.
3. Stadium 3 : gagal ginjal stadium akhir atau uremia.
- K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari
stadium dari tingkat penurunan LFG :
1. Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria
persisten dan LFG yang masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2)
2. Stadium 2 : kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG
antara 60-89 mL/menit/1,73 m2)
3. Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73
m2
4. Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29 mL/menit/1,73
m2
5. Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15 mL/menit/1,73 m2 atau
gagal ginjal terminal.
- Untuk menilai GFR (glomeluler filtration rate) / CCT (clearance creatinin
test) dapat digunakan dengan rumus :

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85


1. Stadium I
Penurunan cadangan ginjal, ditandai dengan kehilangan fungsi
nefron 40-75%. Pasien biasanya tidak mempunyai gejala, karena sisa
nefron yang ada dapat membawa fungsi-sungsi normal ginjal.
2. Stadium II = insufisiensi ginjal
Kehilangan fungsi ginjal 75-90%. Pada tingkat ini terjadi kreatinin
serum dan nitrogen urea darah, ginjal kehilangan kemampuannya
untuk mengembangkan urin pekat dan azotemia.
3. Stadium III = payah gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Tingkat renal dari GGK yaitu sisa nefron yang berfungsi < 10%.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan mrnyolok sekali sebagai respon terhadap GFR yang
mengalami penurunan sehingga terjadi ketidakseimbangan kadar
ureum nitrogen darah dan elektrolit, pasien diindikasikan untuk
dialisis (Wijaya & Putri, 2013)
G. Penatalaksanaan
Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan
pengembalian, maka tujuan penatalaksanaan klien gagal ginjal kronis
adalah untuk mengoptimalkan fungsi ginjal yang ada dan mempertahankan
keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang harapan hidup klien.
Sebagai peyakit yang kompleks, gagal ginjal kronis membutuhkan
penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir
komplikasi meningkatkan harapan hidup klien.
Oleh karena itu, beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan
penatalaksanaan pada klien gagal ginjal kronik:
1. Perawatan kulit yang baik
Perhatikan hygiene kulit pasien dengan dengan baik melalui personal
hygiene (mandi/seka) secara rutin, Gunakan sabun yang mengandug
lemak dan lotion tanpa alkohol untuk mengurangi rasa gatal. Jangan
gunakan gliserin/sabun yang mengandung gliserin karena akan
mengakibatkan kulit tambah kering.
2. Jaga kebersihan oral
Lakukan perawat oral hygiene melalui sikat gigi dengan bulu sikat yang
lembut/spon. Kurangi konsumsi gula(bahan makanan manis) untuk
mengurangi rasa tidak nyaman di mulut.
3. Beri dukungan nutrisi
Kolaborasi dengan nutritionist untuk menyediakan menu makanan
favorit sesuai dengan anjuran diet. Beri dukungan intake tinggi kalori,
rendah natrium dan kalium.
4. Pantau adanya hyperkalemia
Hiperkalemia biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang/ kram pada
lengan dan abdomen, dan diarea. Selain itu pemantauan hyperkalemia
dengan hasil ECG. Hiperkalemia bisa diatasi dengan dialisis.
5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia
Kondisi hiperfosfatemia dan hipokalsemia bisa diatasi dengan pemberian
antasida (kandungan alumunium/kalsium karbonat).
6. Kaji status hidrasi dengan hati-hati
Dilakukan dengan memeriksa ada/ tidaknya distensi vena jugularis, ada/
tidaknya crackles Pada auskultasi paru. Selain itu, status hidrasi bisa
dilihat dari keringat berlebih pada aksila, lidah yang kering,
hipertensi,dan edema perifer,Cairan hidrasi yang diperbolehkan adalah
500-600 ml atau lebih dari haluaran urine 24 jam.
7. Kontrol tekanan darah
Tekanan diupayakan dalam kondisi normal, Hipertensi dicegah dengan
mengontrol volume intravaskuler dan obat-obatan antihipertensi.
8. Pantau adanya/ tidaknya komplikasi pada tulang dan sendi.
9. Latihan klien napas dalam dan batuk efektif untuk mencegah terjadinya
kegagalan napas akibat obstruksi.
10. Jaga kondisi septik dan aseptic setiap prosedur perawatan(pada
perawatan luka operasi).
11. Observasi adanya tanda-tanda perdarahan
Pantau kadar hemoglobin dan hematocrit klien, Pemberian heparin
selama klien menjalani dialysis harus sesuai dengan kebutuhan.
12. Observasi adanya gejala neurologis
Laporkan segera jika dijumpai kedutan, sakit kepala, kesadaran delirium,
dan kejang otot. Berikan diazepam/ fenitoin jika dijumpai kejang.
13. Atasi komplikasi dari penyakit
Sebagai penyakit yang sangat mudah menimbulkan komplikasi, maka
harus dipantau secara ketat. Gagal jantung kongestif dan edema
pulmonal dapat diatasi dengan membatasi cairan, diet rendah
natrium,diuretic, preparat inotropic (digitalis/ dobutamin) dan lakukan
dialysis jika perlu. Kondisi asidosis metabolic bisa diatasi dengan
pemberian natrium bikarbonat atau dialysis.
14. Laporkan segera jika ditemui tanda-tanda pericarditis (friction rub dan
nyeri dada)
15. Tata laksana dialysis/transplantasi ginjal
Untuk membantu mengoptimalkan fungsi ginjal maka dilakukan dialysis.
Jika memungkinkan koordinasikan untuk dilakukan transplantasi ginjal
(Prabowo & Pranata, 2014).
H. Kompllikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronis adalah:
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan
mengakibatkan dekisfungiip alsifikasi matriks tulang, sehingga tulang
akan menjadi rapuh (osteoporosis) dan jika berlangsung lama akan
menyebabkan fraktur pathologis.
2. Penyakit kardiovaskuler
Ginjal sebagai control sirkulasi sistemik akan berdampak secara
sistematik berupa hipertensi, kelainan lipid, intoleransi glukosa, dan
kelainan hemodinamik (sering terjadi hipertrofi ventrikel kiri)
3. Anemia
Selain berfungsi dalam sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian
hormonal (enokrin). Sekresi etirooetin yang megalami defisiensi d ginjal
akan mengakibatkan penrunan haemoglobin
4. Disfungsi seksual
Dalam gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami
penurunan dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi
hiperprolaktinemia (Prabowo & Pranata, 2014)
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
Pengkajian pada klien gagal ginjal kronis sebenarnya hamper sama
dengan klien gagal ginjal akut , namun disini pengkajian lebih penekanan
pada support system untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam
tubuh (hemodynamically process). Dengan tidak optimalnya/gagalnya
fungsi ginjal, maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam
batas ambang kewajaran. Tetapi, jika kondisi ini berlanjut (kronis), maka
akan meimbulkan berbagai manifestasi klinis yang menandakan gangguan
sisem tersebut. Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada klien
dengan gagal ginjal kronis:
a. Biodata
Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-
laki sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan
pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari
insidensi gagal ginjal akut, sehingga tidak berdiri sendiri.
b. Keluhan Utama
Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang
menyertai. Keluhan bisa berupa urine output yang menurun (oliguria)
sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada
sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan muntah,diaforesis,
fatingue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu oleh karena
penumpukan (akumulasi) zat sisa metaboliisme/toksin dalam tubuh
karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada klien degan gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine
output, penrunan kesadaran, perubahan pola napas karena komplikasi
dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan fisiologis kulit, bau
urea pada napas. Selain itu, karena berampak pada proses metabolisme
(sekuder karena intoksikasi), maka akan terjadi anoreksi, nausea dan
vomit sehingga beresiko untuk terjadinya gangguan nutrisi.

d. Riwayat penyakit Dahulu


Gagal ginjal kronik dimulai dengan periode gagal ginjal akut dengan
berbagai penyebab (mutikausa). Oleh karena itu, informasi penyakit
terdahulu akan menegaskan untuk penegakan masalah. Kaji riwayat
penyakit ISK. Payah jantung, pengunaan obat berlebihan (overdosis)
khususnya oba yang bersifat nefrotoksik, BPH dan lain sebagai yang
mampu mempegaruhi kerja ginja. Selain itu, ada bebearapa penyakit
yang langsung mempengaruhi/menyebabkan gagal ginjal yaitu diabetes
mellitus, hipertensi, batu saluran kemih (urolithiasis).
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular. Namun, Pencetus secunder
seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian
penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat herediter.
Kaji pola kesehatan keluarga yang diterapkan jika ada anggota
keluarrga yang sakit, misalya minum jamu saa sakit.
f. Riwayat Psikososial
Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien mengalami koping
adapitf yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan
psikososial terjadi pada waktu klien mengalami peubahan struktur
fungsi tubuh dan menjalani proses dialisa. Klien akan mengurung diri
dan lebih banyak berdiam diri (murung). Selain itu, kondisi inii juga
dipicu oleh biaya yang dikelurkan selama proses pengobatan, sehingga
klien mengalami kecemasan.
2. Pengkajian Sistem
a. Sistem Pernapasan
Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi
asidosis/alkalosis respiratorik maka kondisi penapasan akan mengalami
patologis gangguan. Pola napas akan semakin cepat dalam sebagai
bentuk kompensasi tubuh mempertahankan venntilasi (kussmaull).
b. Sistem Hematologi
Ditemukan adanya fiction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu,
biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT > 3 detik, palpitasi
jantung, chest pain, dispneu, gangguan irama jantung dan gangguan
sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika zat sisa
metabolisme semakin tinggi dalam tubuh karena tidak efektif dalam
eksresinya, selain itu, pada fisiologis darah sendiri sering ada gangguan
anemia karena peurunan eritropoetin.
c. Sistem Neuromuskular
Penurunan kesadaran menurun setelah mengalami hiperkabic dan
sirkulasi celebral terganggu.oleh karena itu, penurunan kognitif dan
terjadinya disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.
d. Sistem Kardiovaskuler
Penyakit yang berhubunngan langsung dengan kejadian gagal ginjal
kronis salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi di
atas ambang kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler. Stagasi
ini akan memicu retensi natrium dan air sehingga akan meningkatkan
bebang jantung.
e. Sistem Endokrin
Berhubung dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronis
akan mengalami disfungsi sesksualitas karena penurunan hormone
reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis berhubung
dengan penyakit DM, maka aka nada gangguan dalam sekresi insulin
yang berdampak pada proses metabolisme.
f. Sistem perkemihan
Dengan gangguan/kegagalan fungsi ginjal secara kompleks
(filtrsi,sekresi,reabsorsi dan ekskresi), maka manifestasi yang paling
menonjol adalah penurunan urine output < 400 ml/hari bahkan sampai
pada anuria (tidak adanya urine output).
g. Sistem Pencernaan
Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit
(stress effect). Sering ditemukan anoreksia, nausea,, vomit, dan diare.
h. Sistem Maskulokletal
Dengan penurunan/kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka
berdampak pada proses demineralisasi tulang. Sehingga terjadinya
resiko osteoporosis tinggi.
3. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum
meningkat. Dari kadar kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan
estimasi LFG dengan rumus Cockrof-Gaulf atau studi MDRD;
b. Pemeriksaan elektrolit: hiperkelemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia,
hipermagnesemia;
c. Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid (hiperkolesterolemia),
hipertrigliseridemia, LDL.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif b/d hambatan upaya nafas ditandai dengan penggunaan
otot bantu nafas
2. Penurunan curah jantung b/d perubahan irama jantung ditandai dengan takikardi
3. Perfusi perifer tidak efektif b/d penurunan konsentrasi haemoglobin ditandai
dengan edema
4. Intoleransi aktivitas b/d kelemahan ditandai dengan merasa lemah
C. Intervensi keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Standar Luaran Intervensi Keperawatan
1 Pola nafas tidak efektif b/d Setelah dilakukan tindakan Observasi
hambatan upaya nafas ditandai keperawatan selama …..x24 jam 1. Monitor pola napas (frekuensi dan usaha napas)
dengan penggunaan otot bantu diharapkan pola nnafas membaik 2. Monitor bunyi napas tambahan ( mis. Gardline,
nafas ditandai dengan kriteria hasil : mengi, whezing, ronchki kering)
 Pengunaan otot bantu nafas 3. Monitor secret (jumlah, warna dan aroma)
menurun Terapeutik
 Ventilasi semenit menurun 4. Posisikan semi fowler atau fowler
frekuensi nafas membaik 5. Berikan minum hangat
6. Keluarkan sumbatan benda padat dengan torsep
mcgiil
7. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000 ml /hari, jika tidak
kontraindikasi
9. Anjarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator, espektoran,
mukolitik, jika perlu
2 Penurunan curah jantung b/d Setelah dilakukan tindakan Observasi
perubahan irama jantung keperawatan selama …..x24 jam 1. Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah
ditandai dengan takikardi diharapkan curah jantung membaik jantung (kelelahan, edema)
ditandai dengan kriteria hasil : 2. Monitor intake dan output cairan
 Edema menurun 3. Monitor saturasi oksigen
 Takikardi menurun 4. Monitor EKG 12 ssadapan
 Kekuatan nadi perifer 5. Monitor aritmea (kelainan irma dan frekuensi)
menurun Terapeutik
6. Posisikan pasien semi fowler atau fowler
7. Berikan diet jantung yang sesuai (mis. Batasi
asupan kafein, natrium, koletrol, dan makanan
tinggi lemak)
8. Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi
hidup sehat
9. Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi
stress, jika perlu
Edukasi
10. Anjurkan beraktivitas fisik sesuai teloransi
11. Anjurkan beraktivitas secara bertahap
12. Anjurkan berhenti merokok
Kolaborasi
13. Kolaborasi pemberian anti aritmea, jika perlu
14. Rujuk keprogram rehabilitas jantung
3 Perfusi perifer tidak efektif b/d Setelah dilakukan tindakan Observasi
penurunan konsentrasi keperawatan selama …..x24 jam 1. Periksa serkulasi perifer (mis, nadi pwrifer,
haemoglobin ditandai dengan diharapkan keadekuatan aliran edema dan pengisian kapiler)
edema darah membaik ditandai dengan 2. Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi
kriteria hasil : (mis. Hipertensi dan kadar kolestrol tinggi).
 Warna kulit pucat menurun 3. Monitor panas, kemerahan, nyeri atau bengkak
 Edema perifer menurun pada ekstremita
 Denyut nadi perifer menurun Terapeutik
4. Hindari pemasangan infus atau pengambilan
darah di area keterbatasan perfusi
5. Hindari pengukuran TD pada ekstremitas pada
keterbatasan perfusi
6. Lakukan pencegahan infeksi
Edukasi
7. Anjurkan berolahraga rutin
8. Ajarkan program diet untuk memperbaiki
serkulasi (mis. Rendah lemak jenuh, minyak
ikan omega tiga).
9. Informasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan (mis. Rasa sakit tidak hilang
pada saat istirahat)
4 Intoleransi aktivitas b/d Setelah dilakukan tindakan Observasi
kelemahan ditandai dengan keperawatan selama …..x24 jam 1. Identifikasi gangguan tubuh yang megakibatkan
merasa lemah diharapkan respon fisiologis kelelahan
terhadap aktifitas membaik 2. Monitor pola jam tidur
ditandai dengan kriteria hasil : 3. Monitor lokasi dan ketidak nyamanan selama
 Kemudahan dalam melakukan melakukan aktivitas
aktivitas sehari-hari Terapeutik
menungkat 4. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
 Frekuensi nafas membaik stimulus
 Perasaan lemah menurun (mis. Cahaya, suara, dan kunjungan)
5. Berikan aktivitas distraksi menenangkan
6. Fasilitasi duduk di samping tempat tidur, jika
tidak dapat berpindah atau berjalan
Edukasi
7. Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
8. Ajarkan strategi koping untuk mengurangi
kelelahan
9. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
10. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Z. (2013). Sinopsis Organ Sistem Ginjal. pamulang-Tangerang selatang:
karisma publishing group.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2016).


Nursing Intervension Clasification (NIC) (6th ed.; T. R. D. Nurjanah Intasari,
ed.). Singapore: Elseviers Singapore Pte Ltd.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing
Outcomes Clasification (NOC) (5th ed.; T. R. D. Nurjanah Intasari, ed.).
Singapore: Elseviers Singapore Pte Ltd.
NANDA International, I. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions and
Classification 2015-2017. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Prabowo, E., & Pranata, A. E. (2014). buku ajar asuhan keperawatan sistem
perkemihan. yogyakarta: nuha medika.

Priscilla, L., Karen, M., & Gerene, B. (2016). buku ajar keperawatan medikal
bedah: gangguan eliminasi. jakarta: EGC.

tanto, c., liwang, f., hanifan, s., & pradipta, e. a. (2014). kapita selekta kedokteran.
jakarta: media aesculapius.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawtan medikal bedah keperwatan


dewasa teori dan contoh askep. Yogyakarta: Nuha Medika.
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ICH DI RUANGAN MAWAR RSUD UNDATA KOTA
PALU

SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH:

NAMA : SUKMAWATY

NIM : 2022031033

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns Nova Ningsih, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep

NIP. 198107252007012015 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI NERS

PROFESI NERS UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2022

1
LAPORAN PENDAHULUAN
INTRACEREBRAL HEMATOMA (ICH)

A. KONSEP DASAR MEDIS


INTRACEREBRAL HEMATOMA (ICH)
1. PENGERTIAN
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak
biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis
ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi,
pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan
operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah,
Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi.
Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-
faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural. (Paula, 2009)
Intra Cerebral Hematom adalah perdarahan kedalam substansi otak .Hemorragi ini
biasanya terjadi dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil dapat terjadi pada
luka tembak ,cidera tumpul. (Suharyanto, 2009)
Intra secerebral hematom adalah pendarahan dalam jaringan otak itu sendiri. Hal
ini dapat timbul pada cidera kepala tertutup yang berat atau cidera kepala terbuka
.intraserebral hematom dapat timbul pada penderita stroke hemorgik akibat melebarnya
pembuluh nadi. (Corwin, 2009)

2. ETIOLOGI
Etiologi dari Intra Cerebral Hematom menurut Suyono (2011) adalah :
a. Kecelakaan yang menyebabkan trauma kepala
b. Fraktur depresi tulang tengkorak
c. Gerak akselerasi dan deselerasi tiba-tiba
d. Cedera penetrasi peluru
e. Jatuh
f. Kecelakaan kendaraan bermotor

2
g. Hipertensi
h. Malformasi Arteri Venosa
i. Aneurisma
j. Distrasia darah
k. Obat
l. Merokok

3. MANIFESTASI KLINIK
Intracerebral hemorrhage mulai dengan tiba-tiba. Dalam sekitar setengah orang,
hal itu diawali dengan sakit kepala berat, seringkali selama aktifitas. Meskipun begitu,
pada orang tua, sakit kepala kemungkinan ringan atau tidak ada. Dugaan gejala
terbentuknya disfungsi otak dan menjadi memburuk sebagaimana peluasan pendarahaan.
Beberapa gejala, seperti lemah, lumpuh, kehilangan perasa, dan mati rasa,
seringkali mempengaruhi hanya salah satu bagian tubuh. orang kemungkinan tidak bisa
berbicara atau menjadi pusing. Penglihatan kemungkinan terganggu atau hilang. Mata
bisa di ujung perintah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Pupil bisa menjadi tidak
normal besar atau kecil. Mual, muntah, serangan, dan kehilangan kesadaran adalah biasa
dan bisa terjadi di dalam hitungan detik sampai menit. Menurut Corwin (2009)
manifestasi klinik dari dari Intra cerebral Hematom yaitu :
a. Kesadaran mungkin akan segera hilang, atau bertahap seiring dengan membesarnya
hematom.
b. Pola pernapasaan dapat secara progresif menjadi abnormal.
c. Respon pupil mungkin lenyap atau menjadi abnormal.
d. Dapat timbul muntah-muntah akibat peningkatan tekanan intra cranium.
e. Perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik
dapat timbul segera atau secara lambat.
f. Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan peningkatan tekanan
intra cranium.

3
4. PATOFISIOLOGI
Perdarahan intraserebral ini dapat disebabkan oleh karena ruptur arteria serebri
yang dapat dipermudah dengan adanya hipertensi. Keluarnya darah dari pembuluh darah
didalam otak berakibat pada jaringan disekitarnya atau didekatnya, sehingga jaringan
yang ada disekitarnya akan bergeser dan tertekan. Darah yang keluar dari pembuluh darah
sangat mengiritasi otak, sehingga mengakibatkan vosospasme pada arteri disekitar
perdarahan, spasme ini dapat menyebar keseluruh hemisfer otak dan lingkaran willisi,
perdarahan aneorisma-aneorisma ini merupakan lekukan-lekukan berdinding tipis yang
menonjol pada arteri pada tempat yang lemah. Makin lama aneorisme makin besar dan
kadang-kadang pecah saat melakukan aktivitas. Dalam keadaan fisiologis pada orang
dewasa jumlah darah yang mengalir ke otak 58 ml/menit per 100 gr jaringan otak. Bila
aliran darah ke otak turun menjadi 18 ml/menit per 100 gr jaringan otak akan menjadi
penghentian aktifitas listrik pada neuron tetapi struktur sel masih baik, sehingga gejala ini
masih revesibel. Oksigen sangat dibutuhkan oleh otak sedangkan O2 diperoleh dari darah,
otak sendiri hampir tidak ada cadangan O2 dengan demikian otak sangat tergantung pada
keadaan aliran darah setiap saat. Bila suplay O2 terputus 8-10 detik akan terjadi gangguan
fungsi otak, bila lebih lama dari 6-8 menit akan tejadi jelas/lesi yang tidak putih lagi
(ireversibel) dan kemudian kematian. Perdarahan dapat meninggikan tekanan intrakranial
dan menyebabkan ischemi didaerah lain yang tidak perdarahan, sehingga dapat berakibat
mengurangnya aliran darah ke otak baik secara umum maupun lokal. Timbulnya penyakit
ini sangat cepat dan konstan dapat berlangsung beberapa menit, jam bahkan beberapa
hari. (Corwin, 2009)

4
5. PATHWAYS

Trauma kepala, Fraktur depresi tulang tengkorak, , Hipertensi, Malformasi Arteri Venosa,
Aneurisma, Distrasia darah, Obat, Merokok

Pecahnya pembuluh darah ICH pada capsula


otak (perdarahan intracranial) externa kiri

Darah masuk ke dalam


jaringan otak
Suplai darah pada
area brocca

Penekanan pada jaringan Kerusakan


otak sel saraf
meningkat
Resiko infeksi
Peningkatan Tekanan
Intracranial

Metabolisme Gangguan aliran darah


Sel melepaskan Fungsi otak menurun
anaerob dan oksigen ke otak Fungsi otak menurun
mediator nyeri :
prostaglandin, Refleks menelan
sitokinin Ketidakefektifan Kerusakan Gangguan
Vasodilatasi menurun
perfusi jaringan neuromotorik bicara
pembuluh darah
cerebral
Kelemahan otot Anoreksia
Impuls ke pusat
nyeri di otak progresif
(thalamus)
Ketidakseimbangan
kebutuhan nutrisi
ADL dibantu Kerusakan mobilitas
Impuls ke pusat kurang dari
fisik
kebutuhan tubuh
nyeri di otak Kerusakan
(thalamus) komunikasi verbal
Gangguan pemenuhan
Somasensori korteks kebutuhan ADL
otak : nyeri
dipersepsikan

Nyeri

(Corwin, 2009)

5
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang dari Intra Cerebral Hematom menurut Sudoyo (2006)
adalah sebagai berikut :
a. Angiografi
b. Ct scanning
c. Lumbal pungsi
d. MRI
e. Thorax photo
f. Laboratorium
g. EKG

7. PENATALAKSANAAN
Pendarahan intracerebral lebih mungkin menjadi fatal dibandingkan stroke
ischemic. Pendarahan tersebut biasanya besar dan catastrophic, khususnya pada orang
yang mengalami tekanan darah tinggi yang kronis. Lebih dari setengah orang yang
mengalami pendarahan besar meninggal dalam beberapa hari. Mereka yang bertahan
hidup biasanya kembali sadar dan beberapa fungsi otak bersamaan dengan waktu.
Meskipun begitu, kebanyakan tidak sembuh seluruhnya fungsi otak yang hilang.
Pengobatan pada pendarahan intracerebral berbeda dari stroke ischemic.
Anticoagulant (seperti heparin dan warfarin), obat-obatan trombolitik, dan obat-obatan
antiplatelet (seperti aspirin) tidak diberikan karena membuat pendarahan makin buruk.
Jika orang yang menggunakan antikoagulan mengalami stroke yang mengeluarkan darah,
mereka bisa memerlukan pengobatan yang membantu penggumpalan darah seperti :
a. Vitamin K, biasanya diberikan secara infuse.
b. Transfusi atau platelet. Transfusi darah yang telah mempunyai sel darah dan
pengangkatan platelet (plasma segar yang dibekukan).
c. Pemberian infus pada produk sintetis yang serupa pada protein di dalam darah yang
membantu darah untuk menggumpal (faktor penggumpalan).
Operasi untuk mengangkat penumpukan darah dan menghilangkan tekanan di
dalam tengkorak, bahkan jika hal itu bisa menyelamatkan hidup, jarang dilakukan karena
operasi itu sendiri bisa merusak otak. Juga, pengangkatan penumpukan darah bisa

6
memicu pendarahan lebih, lebih lanjut kerusakan otak menimbulkan kecacatan yang
parah. Meskipun begitu, operasi ini kemungkinan efektif untuk pendarahan pada kelenjar
pituitary atau pada cerebellum. Pada beberapa kasus, kesembuhan yang baik adalah
mungkin.
Menurut Corwin (2009) menyebutkan penatalaksanaan untuk Intra Cerebral
Hematom adalah sebagai berikut :
a. Observasi dan tirah baring terlalu lama.
b. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh yang pecah dan evakuasi hematom secara
bedah.
c. Mungkin diperlukan ventilasi mekanis.
d. Untuk cedera terbuka diperlukan antibiotiok.
e. Metode-metode untuk menurunkan tekanan intra kranium termasuk pemberian
diuretik dan obat anti inflamasi.
f. Pemeriksaan Laboratorium seperti : CT-Scan, Thorax foto, dan laboratorium lainnya
yang menunjang.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Primary Survey (ABCDE)
1) Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway
a) Look (lihat) apakah penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun.
Agitasi memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan
oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku-kuku dan
kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan penggunaan otot-otot napas
tambahan yang apabila ada, merupakan bukti tambahan adanya gangguan airway.
Airway (jalan napas) yaitu membersihkan jalan napas dengan memperhatikan
kontrol servikal, pasang servikal kollar untuk immobilisasi servikal sampai
terbukti tidak ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala sumbatan,
benda asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain.
Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma Scale) < 8,

7
pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen tidak mencapai
90%.
b) Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara
napas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
c) Feel (raba)
2) Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat
a) Look (lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang
adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail chest dan tiap
pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored breathing) sebaiknya harus
dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenasi penderita dan harus segera di
evaluasi. Evaluasi tersebut meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan
dada, palpasi terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu
ventilasi, perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
b) Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada. Penurunan atau
tidak terdengarnya suara napas pada satu atau hemitoraks merupakan tanda akan
adanya cedera dada. Hati-hati terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-
takipneu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen.
c) Gunakan pulse oxymeter. Alat ini mampu memberikan informasi tentang saturasi
oksigen dan perfusi perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanya ventilasi
yang adekuat
3) Circulation dengan kontrol perdarahan
a) Respon awal tubuh terhadap perdarahan adalah takikardi untuk mempertahankan
cardiac output walaupun stroke volum menurun
b) Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan
diastolik)
c) Jika aliran darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah
hipotensi
d) Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan dengan balut tekan
pada daerah tersebut
e) Ingat, khusus untuk otorrhagia yang tidak membeku, jangan sumpal MAE
(Meatus Akustikus Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau

8
darah mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial)
f) Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya
koagulopati dan gangguan irama jantung.
4) Disability
a) GCS setelah resusitasi
b) Bentuk ukuran dan reflek cahaya pupil
c) Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak
5) Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang menutupi tubuh
penderita harus dilepas agar tidak ada cedera terlewatkan selama pemeriksaan.
Pemeriksaan bagian punggung harus dilakukan secara log-rolling dengan harus
menghindari terjadinya hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS)
b. Secondary Survey
1) Kepala dan leher
Kepala. Inspeksi (kesimetrisan muka dan tengkorak, warna dan distribusi
rambut kulit kepala), palpasi (keadaan rambut, tengkorak, kulit kepala,
massa, pembengkakan, nyeri tekan, fontanela (pada bayi)).
Leher. Inspeksi (bentuk kulit (warna, pembengkakan, jaringan parut, massa),
tiroid), palpasi (kelenjar limpe, kelenjar tiroid, trakea), mobilitas leher.
2) Dada dan paru
Inspeksi. Dada diinspeksi terutama mengenai postur, bentuk dan
kesimetrisan ekspansi serta keadaan kulit. Inspeksi dada dikerjakan baik
pada saat dada bergerak atau pada saat diem, terutama sewaktu dilakukan
pengamatan pergerakan pernapasan. Pengamatan dada saat bergerak
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi, sifat dan ritme/irama
pernapasan.
Palpasi. Dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji keadaan kulit pada
dinding dada, nyeri tekan, massa, peradangan, kesimetrisan ekspansi, dan
tactil vremitus (vibrasi yang dapat teraba yang dihantarkan melalui sistem
bronkopulmonal selama seseorang berbicara)

9
Perkusi. Perhatikan adanya hipersonor atau ”dull” yang menunjukkan udara
(pneumotorak) atau cairan (hemotorak) yang terdapat pada rongga pleura.
Auskultasi. Berguna untuk mengkaji aliran udara melalui batang
trakeobronkeal dan untuk mengetahui adanya sumbatan aliran udara.
Auskultasi juga berguna untuk mengkaji kondisi paru-paru dan rongga
pleura.
3) Kardiovaskuler
Inspeksi dan palpasi. Area jantung diinspeksi dan palpasi secara stimultan
untuk mengetahui adanya ketidaknormalan denyutan atau dorongan
(heaves). Palpasi dilakukan secara sistematis mengikuti struktur anatomi
jantung mulai area aorta, area pulmonal, area trikuspidalis, area apikal dan
area epigastrik
Perkusi. Dilakukan untuk mengetahui ukuran dan bentuk jantung. Akan
tetapi dengan adanya foto rontgen, maka perkusi pada area jantung jarang
dilakukan karena gambaran jantung dapat dilihat pada hasil foto torak
anteroposterior.
4) Ekstermitas
Beberapa keadaan dapat menimbulkan iskemik pada ekstremitas
bersangkutan, antara lain :
a) Cedera pembuluh darah.
b) Fraktur di sekitar sendi lutut dan sendi siku.
c) Crush injury.
d) Sindroma kompartemen.
e) Dislokasi sendi panggul.
Keadaan iskemik ini akan ditandai dengan :
a) Pusasi arteri tidak teraba.
b) Pucat (pallor).
c) Dingin (coolness).
d) Hilangnya fungsi sensorik dan motorik.
e) Kadang-kadang disertai hematoma, ”bruit dan thrill”.

10
Fiksasi fraktur khususnya pada penderita dengan cedera kepala sedapat
mungkin dilaksanakan secepatnya. Sebab fiksasi yang tertunda dapat
meningkatkan resiko ARDS (Adult Respiratory Disstress Syndrom) sampai
5 kali lipat. Fiksasi dini pada fraktur tulang panjang yang menyertai cedera
kepala dapat menurunkan insidensi ARDS.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral b.d Tahanan pembuluh darah ;infark
b. Nyeri kepala akut b.d peningkatan tekanan intracranial (TIK)
c. Ketidakseimbangan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
d. Kerusakan mobilitas fisik b.d Kelemahan neutronsmiter
e. Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d kelemahan fisik
f. Kerusakan kamunikasi verbal.
g. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan invasi

3. INTERVENSI
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep

1 Ketidakefe Perfusi jaringan 1. Monitor Vital Sign. 1. Identifikasi hipertensi.


ktifan cerebral efektif 2. Monitor tingkat 2. Mengetahui perkembangan
perfusi setelah dilakukan kesadaran. 3. Mengetahui perkembangan
jaringan tindakan 3. Monitor GCS. 4. Acuan intervensi yang tepat.
cerebral keperawatan 4. Tentukan faktor 5. Meningkatakan tekanan arteri
b.d selama 3x24 jam penyebab penurunan dan sirkulasi atau perfusi
Tahanan dengan KH: perfusi cerebral. cerebral.
pembuluh 5. Pertahankan posisi tirah 6. Membuat klien lebih tenang.
darah - Vital Sign baring atau head up to
;infark normal. 30°.
- Tidak ada tanda- 6. Pertahankan lingkungan
tanda yang nyaman.
peningkatan TIK 7. Kolaborasi dengan tim
(takikardi, kesehatan. Pemberian
Tekanan darah terapi oksigen
turun pelan2)
- GCS E4M5V6
2 Nyeri - Setelah 1. Observasi keadaan 1. Mengetahui respon autonom
kepala dilakukan asuhan umum dan tanda-tanda tubuh
akut b.d keperawatan vital
peningkata selama 3x24 jam 2. Lakukan pengkajian 2. Menentukan penanganan nyeri
n tekanan diharapkan nyeri nyeri secara secara tepat
11
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep

intracrania terkontrol atau komprehensif 3. Mengetahui tingkah laku


l (TIK) berkurang 3. Observasi reaksi ekspresi dalam merespon nyeri
dengan kriteria abnormal dan 4. Meminimalkan factor eksternal
hasil : ketidaknyamanan yang dapat mempengaruhi
- Ekspresi wajah 4. Control lingkungan yang nyeri
rileks dapat mempengaruhi 5. Meningkatkan kualitas tidur
- Skala nyeri nyeri dan istirahat
berkurang 5. Pertahankan tirah baring 6. Terapi dalam penanganan
- Tanda-tanda vital 6. Ajarkan tindakan non nyeri tanpa obat
dalam batas farmakologi dalam 7. Terapi penanganan nyeri
normal penanganan nyeri secara farmakologi
7. Kolaborasi pemberian
analgesic sesuai program
3 Ketidaksei Kebutuhan nutrisi 1. Kaji kebiasaan makan- 1. Menentukan intervensi yang
mbangan terpenuhi setelah makanan yang disukai tepat.
kebutuhan dilakukan tindakan dan tidak disukai. 2. Mengurangi rasa bosan
nutrisi keperawatan 2. Anjurkan klien makan sehingga makanan habis.
kurang selama 3x24 jam sedikit tapi sering. 3. Agar kebutuhan nutrisi
dari dengan KH: 3. Berikan makanan sesuai terpenuhi.
kebutuhan diet RS. 4. Mulut bersih meningkatkan
tubuh b.d - Asupan nutrisi 4. Pertahankan kebersihan nafsu makan.
anoreksia adekuat. oral. 5. Menentukan diet yang sesuai.
- BB meningkat. 5. Kolaborasi dengan ahli
- Porsi makan yang gizi.
disediakan habis.
- Konjungtiva
tidak ananemis.
4 Kerusakan Mobilitas 1. Kaji tingkat mobilisasi 1. Menentukan intervensi.
mobilitas meningkat setelah fisik klien. 2. Meningkatkan kanyamanan,
fisik b.d dilakukan tindakan 2. Ubah posisi secara cegah dikobitas.
Kelemaha keperawatan periodik. 3. Melancarkan sirkulasi.
n selama 3 x 24 jam 3. Lakukan ROM 4. Mencegah kontaktur.
neutronsm dengan KH: aktif/pasif. 5. Menentukan program yang
iter 4. Dukung ekstremitas tepat.
- Klien mampu pada posisi fungsional.
melakukan 5. Kolaborasi dengan ahli
aktifitas dbn. fisio terapi.
- Kekuatan otot
meningkat.
- Tidak terjadi
kontraktur.
5 Gangguan Pemenuhan 1. Kaji kemampuan ADL. 1. Mengetahui kemampuan
pemenuha kebutuhan ADL 2. Dekatkan barang-barang ADL.
n terpenuhi setelah yang dibutuhkan klien. 2. Mempermudah pemenuhan

12
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep

kebutuhan dilakukan tindakan 3. Motivasi klien untuk ADL.


ADL b.d keperawatan melakukan aktivitasa 3. Meningkatkan kemandirian
kelemahan selama 3 x 24 jam secara bertahap. klien.
fisik. dengan KH: 4. Dorong dan dukung 4. Meningkatkan kemandirian
aktivitas perawatan diri. klien dan meningkatkan
- Mampu 5. Menganjurkan keluarga menyamanan.
memenuhi untuk membantu klien 5. Pemenuhan kebutuhan klien
kebutuhan secara memenuhi kebutuhan dapat terpenuhi.
mandiri. klien.
- Klien dapat
beraktivitas
secara bertahap.
- Nadi normal.
6 Kerusakan Setelah di lakukan 1. Jelaskan pada klien 1. Memotivasi klien dalam berlatih
komunikas perawatan 3x24 tentang pen-tingnya 2. Membantu klien dalam berlatih
i verbal jam di harapkan untuk selalu melatih berbicara
klien menunjuk kan bicara/ vokalisasi 3. Mengajarkan bicara non verbal
peningkatan 2. Ajak klien untuk 4. Memperhatikan klien untuk
kemam- puan berbicara dengan singkat mendapatkan apa yang mampu
komunikasi verbal dan jelas. dibicarakan
dengan kriteria: 3. Ajarkan pada klien untuk 5. Untuk mengetahui kemampuan
- Keluarga mempergunakan tangan yang dapat klien lakukan
mengungkap kan untuk lebih memperjelas
pelo yang di alami maksud pembicaraan.
Ny. T berkurang. 4. Dengarkan klien dengan
- Klien penuh perhatian.
berkomunikasi 5. Observasi kemampuan
dengan jelas. klien dalam
- Klien tidak berkomunikasi
berbicara berulang-
ulang untuk
mengulang maksud
yang sama.

7 Resiko Mempertahankan 1. Berikan perawatan 1. Cara pertama untuk


tinggi nonmotermia, aseptik dan antiseptic. menghidari infeksi
terhadap bebas tanda-tanda nosokomial.
infeksi infeksi 2. pertahankan teknik cuci 2. Deteksi dini perkembangan
berhubung o Mencapai tangan yang baik. infeksi
an dengan penyembuhan luka 3. catat karakteristik dari 3. memungkinkan untuk
invasi MO (craniotomi) tepat drainase dan adanya melakukan tindakan dengan
pada waktunya. inflamasi. segera dan pencegahan
4. Pantau suhu tubuh secara terhadap komplikasi

13
Diagnosa
No Tujuan Intervensi Rasional
Kep

teratur. Catat adanya selanjutnya


demam, menggigil, 4. Dapat mengindikasikan
diaforesis dan perubahan perkembangan sepsis yang
fungsi mental (penurunan selanjutnya memerlukan
kesadaran). evaluasi atau tindakan dengan
5. Batasi pengunjung yang segera.
dapat menularkan infeksi 5. Menurunkan pemajanan
atau cegah pengunjung terhadap “pembawa kuman
yang mengalami infeksi penyebab infeksi”.
saluran napas bagian 6. Terapi profilaktik dapat
atas. digunakan pada pasien yang
mengalami trauma (luka,
6. Berikan antibiotik sesuai kebocoran CSS atau setelah
indikasi. dilakukan pembedahan untuk
menurunkan risiko terjasdinya
7. Ambil bahan infeksi nasokomial).
pemeriksaan (spesimen) 7. Kultur/sensivitas. Pewarnaan
sesuai indikasi Gram dapat dilakukan untuk
memastikan adanya infeksi
dan mengidentifikasi
organisme penyebab dan untuk
menentukan obat pilihan yang
sesuai.

14
DAFTAR PUSTAKA

Paula, J. Christensen dan Janet W Kenney. 2009. Proses Keperawatan Aplikasi Model
Konseptual. Jakarta: EGC

Suharyanto, Toto , Abdul Madjid. 2009. Asuhan Keperwatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Perkemihan. Jakarta : Salemba Medika

Corwin, Elizabeth J. 2009.Buku Saku PATOFISIOLOGI.Jakarta : EGC

Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta

Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.

15
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ULKUS DEKUBITUS DI RUANGAN BOGENVILE
RSUD UNDATA KOTA PALU

SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH:

NAMA : SUKMAWATY

NIM : 2022031033

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Ira Martini, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep

NIP. 198107252007012015 NIK. 20210902025


PROGRAM STUDI NERS
PROFESI NERS UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2022

A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk dan kontraksi otot
ekstrem. Saat tulang patah, jaringan disekitar akan terpengaruh, yang dapat mengakibatkan
edema pada jaringan lunak, dislokasi sendi, kerusakan saraf. Organ tubuh dapat
mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Brunner & Suddart, 2019).

Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan
dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap ( Nurarif, 2020).

Fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat trauma
secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya lebih
banyak dialami laki — laki dewasa (Desiartama,2018).

Fraktur neck femur (Nekrosis avascular) atau dislokasi sendi panggul adalah salah satu
jenis fraktur yang sangan mempengaruhi kualitas hidup manusia. Pada kasus ini sering kali
diderita pada usia lanjut, sedangkan pada usia muda sering terjadi karena trauma yang cukup
besar, salah satunya trauma yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (Sutanto Iwan,
2020).
Fraktur collum atau neck (leher) femur adalah tempat yang paling sering terkena
fraktur pada usia lanjut. Ada beberapa variasi insiden terhadap ras. Fraktur collum femur
lebih banyak pada populasi kulit putih di Eropa dan Amerika Utara. Insiden meningkat
seiring dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien adalah wanita berusia tujuh
puluh dan delapan puluhan. Namun fraktur collum femur bukan semata-mata akibat
penuaan.

Fraktur collum femur cenderung terjadi pada penderita osteopenia diatas rata-rata,
banyak diantaranya mengalami kelainan yang menyebabkan kehilangan jaringan tulang
dan kelemahan tulang, misalnya pada penderita osteomalasia, diabetes, stroke, dan
alkoholisme. Beberapa keadaan tadi juga menyebabkan meningkatnya kecenderungan
terjatuh. Selain itu, orang lanjut usia juga memiliki otot yang lemah serta keseimbangan
yang buruk sehingga meningkatkan resiko jatuh.

B. Anatomi fisiologi
Femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, meneruskan berat
tubuh dari os coxae ke tibia sewaktu kita berdiri. Caput femoris ke arah craniomedial
dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri
dari sebuah caput femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor

Area intertrochanter dari femur adalah bagian distal dari collum femur dan proksimal
dari batang femur. Area ini terletak di antara trochanter mayor dan trochanter minor.
Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut (1150-1400) terhadap poros
panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Corpus
femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur,
berakhir menjadi dua condylus, epicondylus medialis dan epicondylus lateralis yang
melengkung bagaikan ulir.

Caput femoris mendapatkan aliran darah dari tiga sumber, yaitu pembuluh darah
intramedular di leher femur, cabang pembuluh darah servikal asendens dari anastomosis
arteri sirkumfleks media dan lateral yang melewati retinakulum sebelum memasuki
caput femoris, serta pembuluh darah dari ligamentum teres
Pada saat terjadi fraktur, pembuluh darah intramedular dan pembuluh darah
retinakulum mengalami robekan bila terjadi pergeseran fragmen. Fraktur transervikal
adalah fraktur yang bersifat intrakapsuler yang mempunyai kapasitas yang sangat rendah
dalam penyembuhan karena adanya kerusakan pembuluh darah, periosteum yang rapuh,
serta hambatan dari cairan sinovial.

Sendi panggul dan leher femur ini dibungkus oleh capsula yang di medial melekat
pada labrum acetabuli, di lateral, ke depan melekat pada linea trochanterika femoris dan
ke belakang pada setengah permukaan posterior collum femur. Capsula ini terdiri dari
ligamentum iliofemoral, pubofemoral, dan ischiofemoral. Ligamentum iliofemoral
adalah sebuah ligamentum yang kuat dan berbentuk seperti huruf Y terbalik. Dasarnya
disebelah atas melekat ada spina iliaca anterior inferior, dibawah kedua lengan Y
melekat pada bagian atas dan bawah linea intertrochanterica. Ligament ini berfungsi
untuk mencegah ekstensi berlebihan selama berdiri. Ligamentum pubofemoral
berbentuk segitiga. Dasar ligamentum melekat pada ramus superior ossis pubis, dan
apex melekat di bawah pada bagian bawah linea intertrochanterica. Ligament ini
berfungsi untuk membatasi gerak ekstensi dan abduksi. Ligamentum ischifemoral
berbentuk spiral dan melekat pada corpus ossis ischia dekat margo acetabuli dan di
bagian bawah melekat pada trochanter mayor. Ligament ini membatasi gerak ekstensi.
C. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsun, gaya remuk, gerakan mendadak, bahkan
kontraksi otot eksterm. Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat
tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur dari pada laki — laki yang berhubungan dengan meningkatnya
insiden osteoporosis yang dekait dengan perubahan hormone pada menopause (Lukman
& Ningsih, 2019).

Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010) (dalam Andini,2018)


dapat dibedakan menjadi:

1. Cedera Traumatik
Cedera traumatic pada tulang disebabkan oleh:
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tilang patah
secara spontan.

b. Cedera tidak langsug adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang terkendali.
b. Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut.
c. Rakitis.
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas dan
sebagainya. Tetap faktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti proses degeneratif
dan patologi (Noorisa dkk, 2019).

Fraktur yang bisa terjadi akibat faktor proses degenerative biasanya fraktur neck
femur atau fraktur leher femur. Fraktur ini biasanya dipengaruhi berbagai macam risiko,
trauma jatuh pada populasi lanjut usia dan trauma high impact pada populasi muda.
Etiologi pada fraktur neck femur dapat dibedakan berdasarkan jenis frakturnya,
diantaranya:

1. Stress Fraktur
Pada stress fraktur, fraktur disebabkan oleh tekanan repetitive berulang pada
collum femur umumnya terjadi pada pelari, terutama pada pelari wanita. Tekanan
repetitive ini akan menyebabkan terjadinya fraktur mikroskopis yang jika tidak
teridentifikasi dan ditangani akan menyebabkan stress fraktur.

2. Fraktur akut.
Fraktur akut penyebabnya adalah trauma high impact.
3. Fraktur insufisiensi
Fraktur insufisiensi merupakan fraktur yang terjadi pada kondisi pasien abnormal,
umumnya terjadi pada populasi lanjut usia. Penyebab kondisi abnormal ini
diantaranya adalah osteoporosis dan penggunaan obat — obatan yang mempengaruhi
metabolisme tubuh. Kondisi abnormal ini akan menyebabkan terjadinya fraktur pada
stress ringan yang seharusnya tidak menyebabkan fraktur

D. Patofisiologi
Pada orang usia lanjut khususnya pada wanita, terjadi perubahan struktur pada bagian
ujung atas femur yang menjadi predisposisi untuk terjadinya fraktur collum femur.
Karena hilangnya tonus otot dan perubahan pada keseimbangan, pasien dituntut untuk
mengubah pola berjalan mereka. Fraktur collum femur dapat disebabkan karena
lemahnya collum femur terhadap aksi stress dari arah vertical dan rotasional yang terus
menerus, seperti ketika ektermitas bereksorotasi dan tubuh berotasi kearah yang
berlawanan. Pada mekanisme ini, aspek posterior dari collum mengenai lingkaran dari
acetabulum karena berotasi kearah posterior, pada keadaan ini acetabulum berperan
sebagai titik tumpu (Subagyo, 2020).

Fraktur collum femur terjadi akibat jatuh pada daerah trkchanter baik karena
kecelakaan lalu lintas jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di
kamar mandi di mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi. Pada kondisi
osteoporosis insiden fraktur pada posisi ini tinggi (Noor,2019).
E. Pathway

langsung

Trauma langsung Trauma tidak Kondisi patologis


Fraktur Tindakan bedah

Diskontinuitas Pergeseran Nyeri Akut Post Op


tulang fragmen tulang

Kerusakan Efek anastesi Luka insisi


Perubahan jaringan fragmen tulang
sekitar

Tekanan Mual, muntah Inflamasi


Pergeseran fragmen
Spasme otot sumsum tulang bakteri
tulang
lebih tinggi dari Ketidakseimba Resiko Infeksi
kapiler -ngan nutrisi
Peningkatan kurang dari
Deformitas
tekanan kapiler kebutuhan
tubuh
Melepaskan
Gangguan fungsi katekolamin
Pelepasan histamine Nyeri Akut
pergerakan

Metabolisme asam
lemak

Protein plasma
Hambatan hilang
Mobilitas Fisik

Laserasi kulit Edema Bergabung dengan


trombosit

Emboli

Putus vena/arteri
Perdarahan
Kerusakan KetidakefektifanKehilangan Volume Cairan
Integritas Kulit Perfusi Jaringan
Penekanan Menyumbat
pembuluh darah pembuluh darah

Resiko Syok
(Hipovolemik)

(sumber: smeltz 2918)


F. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer (2018) meliputi:
1. Nyeri akut terus — menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi, hematoma, dan edema.

2. Kehilangan fungsi.
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
4. Pemendekan ektermitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.


6. Edema local.
7. Ekimosis.

G. Komplikasi
Komplikasi umum pada pasien yang berusia tua sangat rentan untuk menderita
komplikasi umum seperti thrombosis vena dalam, emboli paru, pneumonia dan ulkus
dekubitus.

1. Nekrosis avaskular
Nekrosis iskemik dari caput femoris terjadi pada sekitar 30 kasus dengan fraktur
pergeseran dan 10 persen pada fraktur tanpa pergeseran. Hampir tidak mungkin untuk
mendiagnosisnya pada saat fraktur baru terjadi. Perubahan pada sinar-x mungkin
tidak nampak hingga beberapa bulan bahkan tahun. Baik terjadi penyatuan tulang
maupun tidak, kolaps dari caput femoris akan menyebabkan nyeri dan kehilangan
fungsi yang progresif.

2. Non-union
Lebih dari 30 persen kasus fraktur collum femur gagal menyatu, terutama pada
fraktur dengan pergeseran. Penyebabnya ada banyak: asupan darah yang buruk,
reduksi yang tidak sempurna, fiksasi tidak sempurna, dan penyembuhan yang lama.
3. Osteoartritis
Nekrosis avaskular atau kolaps kaput femur akan berujung pada osteoartritis
panggung. Jika terdapat kehilangan pergerakan sendi serta kerusakan yang meluas,
maka diperlukan total joint replacement.

H. Pemeriksaan diagnostik
1. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara paripurna
struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang menunjukkan
adanyapelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas. Sinar-X sendi dapat
menunjukkan adanya cairan, iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.

2. CT Scan ( computed tomography)


Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan tendon. CT Scan
digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulang di daerah yang
sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan dapat dengan atau tanpa
kontras dan berlangsung sekitar satu jam.

3. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto
sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut. Pemeriksaan ini sangat
bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan dapat digunakan untuk tingkat amputasi
yang dilakukan. Perawatan yang dilakukan setelah prosedur ini adalah klien dibiarkan
berbaring selama12 jam sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat
penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan untuk melihat adanya
pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna mengkaji apakah sirkulasi
ekstremitas bagian distal adekuat.
4. Artografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk melihat struktur
jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan dalam kisaran pergerakannya
sambil dilakukan serial sinar-X. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
mengidentifikasi adanya robekan akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen
penyangga lutut, bahu, tumit, pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan,
bahan kontras akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X.
Setelah dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12 jam sampai 24 jam
dan diberi balut tekan elastis.

5. Artrosentesis (aspirasi sendi)


Dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan pemeriksaan atau
menghilangkan nyeri akibat efusi. Normalnya, cairan sinovial jernih, pucat berwarna
seperti jerami, dan volumenya sedikit. Cairan tersebut kemudian diperiksa secara
makroskopis mengenai volume, warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Secara
mikroskopis untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan pewarnaan
Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya. Pemeriksaan ini sangat berguna untuk
mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi inflamasi lainnya dan dapat
memperlihatkan adanya hemartrosis (perdarahan di dalam rongga sendi), yang
menyebabkan trauma atau kecenderungan perdarahan.

6. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan langsung ke dalam
sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi dalam kondisi steril dan perlu
dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun anastesi umum.

7. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan sinovial guna
membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi harus dipantau mengenai
adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Setelah melakukan prosedur ini mungkin perlu
dikompres es untuk mengontrol edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik
untuk mengurangi rasa tidak nyaman.
8. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai masalah
muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti infeksi, sebagai dasar
acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan darah lengkap meliputi kadar
hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi perdarahan karena trauma dan hitung
sel darah putih. Pemeriksaan kimia darah memberi data mengenai berbagai macam
kondisi muskuloskeletal. Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi
paratiroid, penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama.

I. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin, (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah :
1. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis,
pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan;
lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan
dan menghindari komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.

2. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling optimal didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan reduksi
anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal, dan mencegah
komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta perubahan osteoartritis di kemudian
hari.

3. Retention (imobilisasi fraktur)


Secara umum, teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah mengistirahatkan
tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan penyatuan yang lebih cepat antara
kedua fragmen tulang yang mengalami fraktur.

4. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal mungkin)


Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh keadaan klien pada
fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali. Misalnya, pada klien pasca
amputasi cruris, program rehabilitasi yang dijalankan adalah bagaimana klien dapat
melanjutkan hidup dan melakukan aktivasi dengan memaksimalkan organ lain yang
tidak mengalami masalah.

Penatalaksanaan konservatif
1. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk mencegah
trauma lebih lanjut dengan cara memberikan mitela pada anggota gerak atas atau
tongkat pada anggota gerak bawah.

2. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai eksterna
hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan gips atau dengan
bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.

3. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang menggunakan


gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum
dan lokal. Reposisi yang dilakukan melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan
gips untuk imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.

4. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini mempunyai
dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan imobilisasi

Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi hal-hal sebagai berikut :


1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire.
Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat tidak stabil, reduksi
dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire perkutan (Muttaqin, 2019).

2. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu ORIF (0pen
Reduction Internal Fixation). Fiksasi interna yang dipakai biasanya berupa pelat dan
sekrup. Keuntungan ORIF adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi
yang kokoh sehingga pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi
segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang
(Sjamsuhidajat, 2021).

3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (0pen Reduction External Fixation).
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak. Pemasangan OREF akan memerlukan waktu yang lama dengan masa
penyembuhan antara 6-8 bulan. Setelah dilakukan pembedahan dengan pemasangan
OREF sering didapatkan komplikasi baik yang bersifat segera maupun komplikasi
tahap lanjut (Muttaqin, 2019).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no register, tanggal
MRS, diagnosa medis.

b. Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut
bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh
pengkajian yang lengkap tentan rasa nyeri klien digunakan:

1) Provoking insident : apakah ada peristiwa yang terjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri

2) Quality of pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

3) Region : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar,
dan dimana rasa sakit terjadi.

4) Severity (scale) of pain : seberah jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.

5) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari.

c. Riwayat penyakit sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang
nantinya membantu dalam membuat rencana terhadap klien.

d. Riwayat penyakit dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi
petunjuk beberapa lama tulang tersebut akan menyambung.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetic.

f. Riwayat psikologi
Riwayat psikososial spiritual. mengkaji respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarganya serta masyarakat, respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun dalam
masyarakat. Pemeriksaan Fisik

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua yaitu pemeriksaan umum untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokal). Keadaan umum
meliputi:

a. Tingkat kesadaran (apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis yang bergantung
pada keadaan klien).

b. Kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang, dan pada kasus
osteomielitis biasanya akut).

c. Tanda-tanda vital tidak normal terutama pada fraktur

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pre op adalah :
1. Nyeri akut b/d agen cedera fisik
2. Kerusakan integritas kulit b/d laserasi kulit
3. Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada post op adalah :


1. Nyeri akut b/d agen cedera fisik
2. Resiko infeksi b/d prosedur invasif
C. Intervensi keperawatan
Pre Op

1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b/d agen cedera fisik


Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam
diharapkan nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil :

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)

b. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)


c. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji skala nyeri dengan PQRST Nyeri merupakan pengalaman
subjektif dan harus dijelaskan oleh
pasien. Identifikasi karakteristik
nyeri dan factor yang berhubungan
merupakan suatu hal yang amat
penting untuk memilih intervensi
yang cocok dan untuk mengevaluasi
keefektifan dari terapi yang

diberikan
2 Observasi adanya tanda-tanda nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, posisi yang tidak langsung yang dialami.
tubuh, gelisah, menangis/meringis, Sakit kepala mungkin bersifat akut
menarik diri, perubahan frekuensi atau kronis. Jadi manifestasi

jantung/pernapasan, tekanan darah fisiologis bisa muncul atau tidak


3 Ajarkan teknik distraksi/pengalihan nyeri Mengajarkan pasien pengendali nyeri
dan/atau dapat mengubah mekanisme
sensasi nyeri dan mengubah persepsi

nyeri
4 Anjurkan untuk beristirahat dalam ruangan Menurunkan stimulasi yang
yang tenang berlebihan yang dapat mengurangi

nyeri
5 Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam Menurunkan edema/pembentukan
pertama dan sesuai keperluan hematoma, menurunkan sensasi

nyeri
6 Berikan penjelasan kepada keluarga dan Pengenalan segera meningkatkan

pasien jika nyeri tersebut muncul segera intervensi dini dan dapat
melaporkan kepada petugas kesehatan menurunkan beratnya serangan
7 Kolaborasi dalam pemberian analgetik Analgetik dapat memblok nyeri
sehingga nyeri dapat berkurang

2. Diagnosa Keperawatan : Kerusakan integritas kulit b/d laserasi kulit


Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam
diharapkan tidak terjadi kerusakan integritas kulit, dengan kriteria hasil :

a. Menyatakan ketidaknyamanan hilang


b. Menunjukkan perilaku/teknik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan
penyembuhan sesuai indikasi

c. Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi


d. Perfusi jaringan baik
e. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya
cedera berulang

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Inspeksi kulit terhadap perubahan warna, Menandakan area sirkulasi
turgor, vascular. Perhatikan kemerahan, buruk/kerusakan yang dapat
ekskoriasi. Observasi terhadap ekimosis, menimbulkan pembentukan

Purpura dekubitus/infeksi
2 Pantau masukan cairan atau hidrasi kulit Mendeteksi adanya dehidrasi atau
dan membran mukosa hidrasi yang berlebihan yang
mempengaruhi sirkulasi dan integritas
jaringan pada tingkat seluler
3 Inspeksi area tergantung terhadap edema Jaringan edema lebih cenderung
rusak/robek
4 Ubah posisi dengan sering, gerakkan Menurunkan tekanan pada edema,
pasien dengan perlahan, beri bantalan pada jaringan dengan perfusi burukuntuk
tonjolan tulang menurunkan iskemia. Peninggian
meningkatkan aliran balik statis vena

terbatas/pembentukan edema
5 Selidiki keluhan gatal Meskipun dialysis mengalami
masalah kulit yang berkenaan dengan
uremik, gatal dapat terjadi karena kulit
adalah rute ekskresi untuk produk sisa

6 Pertahankan linen kering, bebas keriput Menurunkan iritasi dermal dan risiko
kerusakan kulit

7 Anjurkan menggunakan pakaian katun Mencegah iritasi dermal langsung dan


longgar meningkatkan evaporasi lembab pada
kulit

3. Diagnosa Keperawatan : Hambatan mobilitas fisik b/d gangguan muskuloskeletal


Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24 jam
diharapkan klien dapat melakukan mobilitas fisik tanpa hambatan, dengan kriteria
hasil :

a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik


b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan
berpindah

d. Mempertahankan posisi fungsional

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji derajat imobilitas yang dihasilkan Pasien mungkin dibatasi oleh
oleh cedera/pengobatan dan perhatikan pandangan diri/persepsi diri tentang
persepsi pasien terhadap imobilisasi keterbatasan fisik actual, memerlukan
informasi/intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
2 Dorong partisipasi pada aktivitas Memberikan kesempatan untuk
terapeutik/rekreasi. Pertahankan rangsang mengeluarkan energi, memfokuskan
lingkungan contoh : radio, TV, Koran, kembali perhatian, meningkatkan rasa
barang milik pribadi/lukisan, jam, kontrol diri/harga diri dan membantu

kalender, kunjungan keluarga/teman menurunkan isolasi sosial


3 Instruksikan klien untuk/bantu dengan Kontraksi otot isometric untuk
rentang gerak pasien/aktif pada daerah membantu mempertahankan kekuatan
yang sakit dan yang tak sakit dan masa otot
4 Bantu/dorong perawatan diri/kebersihan Meningkatkan kekuatan otot dan
(contoh mandi, mencukur) sirkulasi, meningkatkan kontrol
pasien dalam situasi dan

meningkatkan kesehatan diri langsung


5 Berikan/bantu dalam mobilisasi Mobilisasi dini menurunkan
komplikasi tirah baring (contoh
flebitis) dan meningkatkan
penyembuhan dan normalisasi fungsi
organ

6 Awasi TD dengan melakukan aktivitas. Hipotensi postural adalah masalah


Perhatikan keluhan pusing umum menyertai tirah baring lama
dan dapat memerlukan intervensi
khusus

7 Ubah posisi secara periodic dan dorong Mencegah/menurunkan insiden


untuk latihan batuk/napas dalam komplikasi kulit/pernapasan (contoh :
dekubitus, atelektasis, pneumonia)

8 Auskultasi bising usus. Awasi kebiasaan Tirah baring, penggunaan analgesik,


eliminasi dan berikan keteraturan defekasi dan perubahan dalam kebiasaan diet
rutin. Tempatkan pada pispot bila dapat memperlambat peristaltik dan
mungkin. Berikan privasi menghasilkan konstipasi. Tindakan
keperawatan yang dapat memudahkan
eliminasi dapat mencegah/membatasi
komplikasi.

9 Dorong peningkatan masukan cairan Mempertahankan hidrasi tubuh,


sampai 2000-3000 ml/hari, termasuk air menurunkan resiko infeksi urinarius,
asam/jus pembentukan batu dan konstipasi

10 Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, Pada adanya cedera musculoskeletal,


vitamin dan mineral. Pertahankan nutrisi yang diperlukan untuk
kandungan protein sampai setelah defekasi penyembuhan berkurang dengan
pertama cepat, sering mengakibatkan
penurunan berat badan sebanyak 20-
30 pon selama traksi tulang. Ini dapat
mempengaruhi masa otot, tonus dan
kekuatan

11 Kolaborasi : Berguna dalam membuat aktivitas


individual/program latihan. Pasien
Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi
dapat memerlukan bantuan jangka
dan/atau rehabilitasi spesialis
panjang dengan gerakan, kekuatan
dan aktivitas yang mengandalkan
berat badan, dan juga penggunaan
alat.

12 Kolaborasi : Dilakukan untuk meningkatkan


evakuasi usus
Lakukan program defekasi (pelunak feses,
enema, laksatif) sesuai indikasi
Post Op
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut b/d agen cedera fisik
Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24
jam diharapkan nyeri berkurang atau terkontrol, dengan kriteria hasil :

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri)

b. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)


c. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Kaji skala nyeri dengan PQRST Nyeri merupakan pengalaman subjektif
dan harus dijelaskan oleh pasien.
Identifikasi karakteristik nyeri dan factor
yang berhubungan merupakan suatu hal
yang amat penting untuk memilih
intervensi yang cocok dan untuk
mengevaluasi keefektifan dari terapi yang

diberikan
2 Observasi adanya tanda-tanda nyeri Merupakan indikator/derajat nyeri yang
nonverbal, seperti : ekspresi wajah, tidak langsung yang dialami. Sakit kepala
posisi tubuh, gelisah, mungkin bersifat akut atau kronis. Jadi
menangis/meringis, menarik diri, manifestasi fisiologis bisa muncul atau
perubahan frekuensi tidak

jantung/pernapasan, tekanan darah


3 Ajarkan teknik distraksi/pengalihan Mengajarkan pasien pengendali nyeri
nyeri dan/atau dapat mengubah mekanisme
sensasi nyeri dan mengubah persepsi

nyeri
4 Anjurkan untuk beristirahat dalam Menurunkan stimulasi yang berlebihan
ruangan yang tenang yang dapat mengurangi nyeri
5 Lakukan kompres dingin/es 24-48 jam Menurunkan edema/pembentukan
pertama dan sesuai keperluan hematoma, menurunkan sensasi nyeri
6 Berikan penjelasan kepada keluarga Pengenalan segera meningkatkan
dan pasien jika nyeri tersebut muncul intervensi dini dan dapat menurunkan
segera melaporkan kepada petugas beratnya serangan

Kesehatan
7 Kolaborasi dalam pemberian analgetik Analgetik dapat memblok nyeri sehingga
nyeri dapat berkurang

2. Diagnosa Keperawatan : Resiko infeksi b/d prosedur invasif


Tujuan & Kriteria Hasil : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ...x24
jam diharapkan infeksi tidak terjadi, dengan kriteria hasil :

a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi


b. Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor yang mempengaruhi penularan
serta penatalaksanaanya

c. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi


d. Jumlah leukosit dalam batas normal
e. Menunjukkan perilaku hidup sehat

NO INTERVENSI RASIONAL
1 Pantau tanda dan gejala infeksi Evaluasi awal, menentukan intervensi
selanjutnya
2 Pantau/batasi pengunjung. Berikan Membatasi pemajanan terhadap
isolasi bila memungkinkan bakteri/infeksi. Perlindungan isolasi
dapat dibutuhkan pada anemia aplastik,

bila respon imun sangat terganggu


3 Pantau suhu. Catat adanya menggigil Adanya proses inflamasi/infeksi
dan takikardi dengan atau tanpa demam membutuhkan evaluasi atau pengobatan
4 Amati eritema/cairan luka Indikator infeksi local
5 Pertahankan teknik aseptik ketat pada Menurunkan risiko kolonisasi/infeksi
prosedur/perawatan luka bakteri
6 Berikan perawatan kulit, perianal, oral Menurunkan risiko kerusakan
dengan cermat kulit/jaringan dan infeksi
7 Dorong perubahan posisi/ambulasi yang Meningkatkan ventilasi semua segmen
sering, latihan batuk dan napas dalam paru dan membantu memobilisasi

sekresi untuk mencegah pneumonia


8 Tingkatkan masukan cairan adekuat Membantu dalam pengenceran sekret
pernapasan untuk mempermudah
pengeluaran dan mencegah stasis cairan

tubuh (mis : pernapasan & ginjal)


9 Berikan penjelasan kepada keluarga dan Mencegah kontaminasi bakteri
pasien agar mencuci tangan yang baik

dan benar
10 Ambil specimen untuk Membedakan adanya infeksi,
kultur/sensitivitas sesuai indikasi
mengidentifikasi patogen khusus dan
mempengaruhi pilihan pengobatan
11 Berikan antiseptik topikal, antibiotik Mungkin digunakan secara propilaktik
sistemik untuk menurunkan kolonisasi atau

untuk pengobatan proses infeksi lokal


D. Implementasi
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan keperawatan ke
dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah
kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling
percaya dan saling bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan
melakukan observasi sistematis,kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,
kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan perawat untuk
menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil meningkatkan kondisi klien
(Potter & Perry, 2009). Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif. Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif ini meliputi empat
komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni subjektif (data berupa keluhan
klien), objektif (data hasil pemeriksaan), analisis data (pembandingan data dengan teori),
dan perencanaan (Asmadi, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Noor, Z. 2019, Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2nd ed. Salemba Medika, Jakarta
pp. 524-534.

Nurarif A H. Kusuma H. 2018. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan Publishing.

Potter & Perry. 2019. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba Medika

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.

Sjamsuhidajat, R., 2020. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Jakarta: EGC.

Subagyo. (2021). Rekontruksi Anterior Cruciata Ligament (ACL) dengan Arthroscopy.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta:
DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Interνensi Keperawatan Indonesia: Definisi
dan Tindakan Keperawatan, edisi l. Jakarta: DPP PPNI.
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS ILEUS OBSTRUKSI DI RUANGAN
FLAMBOYAN RSUD UNDATA KOTA PALU

SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH:

NAMA : SUKMAWATY

NIM : 2022031033

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns . Supratmi, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep

NIP. 198107252007012015 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI NERS

PROFESI NERS UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA

2022
BAB I
KONSEP TEORI

A. DEFINISI

Ileus obstruktif atau obstruksi mekanis merupakan penyimpatan isi lumen saluran
cerna tidak dapat disalurkan ke distal karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik
yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding, dan rongga peritonium (Bernstein,
2018).
Ileus obstruktif adalah suatu keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak dapat
disalurkan ke distal karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik yang disebabkan
kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan
vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut
(Wahyudi et al., 2020).
Dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif merupakan penyumbatan pada usus yang
menyebabkan isi usus tidak dapat melewati lumen usus sebagai akibat adanya sumbatan
atau hambatan mekanik usus.
B. ANATOMI FISIOLOGI

Gambar 2.1 Sistem saluran pencernaan (Hurd, 2018)

1. Usus Halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang terletak di
antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan
sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak.
Lapisan usus halus : lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M
sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah
Luar )Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum),
usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).

a. Usus dua belas jari (Duodenum)


Panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung kekiri.
Padabagian kanan duodenum terdapat selaput lendir yang nambulir
disebut papila vateri. Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian
dari usus halus yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke
usus kosong (jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian
terpendek dari usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di
ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak
terbungkus seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari
yang normal berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari
terdapat dua muara saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu.
Nama duodenum berasal dari bahasa Latinduodenum digitorum, yang
berarti dua belas jari.
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum),
yang merupakan bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke
dalam duodenum melalui sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di
cerna oleh usus halus. Jika penuh, duodenum akan megirimkan sinyal
kepada lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.

b. Usus Kosong (jejenum)


Usus kosong atau jejunum (terkadang sering ditulis yeyunum) adalah
bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas jari (duodenum)
dan usus penyerapan (ileum). Pada manusia dewasa, panjang seluruh usus
halus antara 2-8 meter, 1-2 meter adalah bagian usus kosong. Usus
kosong dan usus penyerapan digantungkan dalam tubuh dengan
mesenterium.
Permukaan dalam usus kosong berupa membran mukus dan terdapat
jonjot usus (vili), yang memperluas permukaan dari usus. Secara
histologis dapat dibedakan dengan usus dua belas jari, yakni
berkurangnya kelenjar Brunner. Secara hitologis pula dapat dibedakan
dengan usus penyerapan, yakni sedikitnya sel goblet dan plak Peyeri.
Sedikit sulit untuk membedakan usus kosong dan usus penyerapan secara
makroskopis. Jejunum diturunkan dari kata sifat jejune yang berarti
"lapar" dalam bahasa Inggris modern. Arti aslinya berasal dari bahasa
Laton, jejunus, yang berarti "kosong".Mukosa usus halus Permukaan
epitel yang sangat halus melalui lipatan mukosa dan makro villi
memudahkan penernaan dan absorpasi.

c. Usus Penyerapan (illeum)


Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, ) ini memiliki panjang sekitar 2-4 m dan
terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu.
Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan berfungsi
menyerap vitamin B12 dan garam-garam empedu.
Fungsi usus halus :
1) Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-
kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
2) Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
3) Karbonhidrat diserap dalam bentuk monosakarida didalam usus halus.

2. Usus besar (Kolon)


Panjangnya ±1 meter, Lebar 5-6 cm . Usus besar atau kolon dalam anatomi
adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum. Usus besar terdiri :
a. Kolon asenden
Terletak di abdomen sebelah kanan, membujur ke atas dari ileum sampai
ke hati, panjangnya ± 13 cm

b. Kolon transversum
Membujur dari kolon asenden sampai ke kolon desenden dengan panjang
± 28 cm

c. Kolon desenden
Terletak dirongga abdomen disebelah kiri membujur dari anus ke bawah
dengan panjangnya ± 25 cm

d. Kolon sigmoid
Terletak dalam rongga pelvis sebelah kiri yang membentuk huruf "S"
ujung bawah berhubungan dengan rektum
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan yang membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus
besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti Vitamin K. Bakteri ini
penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri di dalam usus besar. Akibatnya
terjadi iritasi yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air dan terjadilah
diare.

3. Usus Buntu
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: Caecus, “buta”) dalam istilah anatomi
adalah suatu kantung yang berhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon
menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan
beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,
sedangkan karnivora ekslusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau
seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

4. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan rektum dengan
dunia luar. (Drs. Syaifuddin).
C. ETIOLOGI
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen, tetapi
ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko terjadinya ileus,
di antaranya sebagai berikut :

1. Sepsis
2. Obat-batan (misalnya: opoid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine).
3. Ganguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalamia, hipomagnesemia,
hipernatremia, anemia, atau hoposmolalitas).
4. Infark miokard.
5. Pneumonia
6. Trauma (misalnya: patah tulang iga, cidera spina).
7. Bilier dan ginjal kolik.
8. Cidera kepala dan prosedur bedah saraf.
9. Inflamasi intraabdomen dan peritonitis.
10. Hematoma retroperitoneal.
D. PATOFISIOLOGI
Ileus non mekanis dapat disebabkan oleh manipulasi organ abdomen ,
peritonitis, sepsis, dll, sedang ileus mekanis disebabkan oleh perlengketan
neoplasma, hernia, benda asing, volvulus. Adanya penyebab tersebut dapat
mengakibatkan passage usus terganggu sehingga akumulasi gas dan cairan dalam
lumen usus. Adanya akumulasi isi usus dapat meneyebabkan gangguan absorbsi
H2O dan elektrolit pada lumen usus yang mengakibatkan kehilangan H 2O dan
natrium. Selanjutnya akan terjadi penurunan volume cairan ekstraseluler sehingga
terjadi syok hypovolemik, penurunan curah jantung, penurunan perfusi jaringan ,
hipotensi dan asidosis metabolik.
Akumulasi cairan juga mengakibatkan distensi dinding usus sehingga
timbul nyeri, kram dan kolik. Distensi dinding usus juga dapat menekan kandung
kemih sehingga terjadi retensi urine. Retensi juga dapat menekan diafragma
sehingga ventilasi paru terganggu dan menyebabkan sulit bernapas. Selain itu
distensi juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Selanjutnya
terjadi iskemik dinding usus, kemudian terjadi nekrosis, rupture dan perforasi,
sehingga terjadi pelepasan bakteri dan toksin dari usus yang nekrotik ke dalam
peritoneum dan sirkulasi sistem. Pelepasan bakteri dan toksin ke peritoneum akan
menyebabkan peritonitis septikemia.
Akumulasi gas dan cairan dalam lumen usus juga dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi komplet sehingga gelombang perstaltik dapat berbalik arah
dan menyebabkan isi usus terdorong ke mulut . keadaan ini akan menimbulkan
muntah-muntah yang akan yang akan menyebabkan dehidrasi. Muntah-muntah
yang berlebihan dapat menyebakan kehilangan ionhidrogen dan kalium dari
lambung serta penurunan klorida dan kalium dalam darah.
Berdasarkan penjelasan diatas masalah keperawatan yang muncul yaitu
nyeri akut, pola napas tidak efektif, retensi urine, perubahan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh, resiko kekurangan volume cairan.
E. MANIFSTASI KLINIS

Menurut Price & Wilson, (2016) terdapat lima tanda dan gejala ileus
obstruktif yaitu :
a. Mekanik sederhana-usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah,
peningkatan bising usus, nyeri tekan abdomen.
b. Mekanik sederhana-usus halus bawah
Kolik (kram) Signifikasi midabdomen distensi, muntah, peningkatan bising
usus, nyeri tekan abdomen.
c. Mekanik sederhana-kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,
kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan
abdomen.

d. Obstruksi mekanik parsial


Dapat terjadi Bersama granulamatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya
kram nyeri abdomen, didtensi ringan.
e. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat : nyeri hebat, terus menerus dan terkola;isis,
distensi sedang, muntah persisten, biasanya bising usus menurun dan nyeri
tekan terkolalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi gelap atau berdarah atau
mengandung darah sama.
F. KOMPLIKASI
1. Peritonitis septicemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peradangan pada
selaput rongga perut (peritonium) yang disebabkan oleh terdapatnya bakteri
dalam darah (bakterimia).
2. Syok hypovolemia terjadi akibat terjadi dehidrasi dan kekurangan volume
cairan.
3. Perforasiusus adalah suatu kondisi yang ditandai dengan terbentuknya suatu
lubang usus yang menyebabkan kebococran isi usus kedalam rongga perut,
Kebococran ini dapat meneybabkan peritonitis.
4. Nekrosisusus adalah adanya kematian jaringan pada usus.
5. Sepsis adalah infeksi berat di dalam darah karena adanaya bakteri.
6. Abses adalah kondisi medis dimana terkumpulnya nanah didaerah anus oleh
bakteri atau kelenjar yang tersumbat pada anus.
7. Sindroma usus pendek dengan malabsorbsi dan malnutrisi adalah suatu
keadaan dimana tubuh sudah tidak bisa mengabsorbsi nutrisi karena
pembedahan.
8. Gangguan elektrolit. Trefluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.
Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,
serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah (Dermawan,
dkk.2019.).
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada umumnya tidak dapat dijadikan pedoman
untuk menegakan diagnosis. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, BUN (blood urea nitrogen), ureum amilase,
dan kreatinin. Pada ileus obstruksi, terutama pada pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal. Selanjutnya diteruskan adanya hemokonsentrasi leikositosis
dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum yang amilase sering
didapatkan pada semua jenis ileus obstruksi, terutama strangulasi. Penurunan
dalam kadar serium natrium, klorida, an kalium merupakan manifestasi lanjut
dapat juga terjadi alkalosis akibat muntah. Pemeriksaan laboratorium pada anak
dengan obstruksi usus seyoganya berfokus pada deteksi penyulit seperti dehidrasi
dan sepsis. (Bernstein, 2017).
b. Radiografik polos (Foto abdomen polos)
Pemeriksaan radiografik polos yang diambil dua sampai tiga posisi, hal
yang paling spesifik dari obstruksi usus halus ialah distensi ususu halus (diameter
> 3 cm), adanya air fluid level pada posisi setengah duduk dan kekeurangan udara
di kolon. Negarif palsu dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi Ketika letak
obstruksi berada di proksimal ususu halus dan Ketika lumen usus dipenuhi oleh
cairan saja tidak adanya udara. Hal ini dapat mengakibatkan tidak adany adanya
gambaran air fluid level atau distensi usus. Pada ileus obstruksi colon
pemeriksaan foto abdomen menunjukan adanya distensi usus pada bagaian
proksimal atau obstruksia.
c. Foto thorax
Foto thorx dapat menggambarkan adanya free air sickle yang terletak di bawah
difragma kanan yang menunjukan adanya perforasi usus.
H. PENATALAKSANAAN

Menurut (Bernstein, 2019) penderita penyumbatan usus harus di rawat


dirumah sakit. Penatalaksanaan pasien dengan ileus obstruktif adalah:
a. Persiapan
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah
aspirasi danmengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan,
kemudian dilakukan juga resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan
umum. Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada
obstruksi parsial atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan
konservatif

b. Operasi
Operasi dapat dilakukan bila sudah tercapai rehidrasi dan organ-organ
vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering dilakukan adalah
pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila :
1) Strangulasi
2) Obstruksi lengkap
3) Hernia inkarserata
4) Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan
NGT, infus,oksigen dan kateter).
c. Pasca bedah
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama nyeri dan dalam hal cairan dan
elektrolit. Kita harus mencegah terjadinya gagal ginjal dan harus
memberikan kalori yang cukup. Perlu diingatkan bahwa pasca bedah usus pasien
dalam keadaan paralitik nyeri menjadi masalah utama yang dirasakan oleh pasien,
oleh karena itu penangan pemberian analgetik sangat diperlukan oleh pasien
denga keadaan pasca operasi.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar
dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan
dan keperawatan pasien, baik fisik, mental, social dan lingkungan.
a. Identitas
Nama, umur (umunya terjadi pada semua umur, terutama pada dewasa laki-laki
dan perempuan), alamat,jenis kelamin, agama, suku bangsa, pekerjaan, status
perkawinan, gaya hidup.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan klien pada saat dikaji. Pada
umumnya akan ditemukan klien merasakan nyeri pada abdomennya biasanya
terus menerus, demam, nyeri tekan lepas, abdomennya tegang dan kaku.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Biasanya klien mengeluhkan anoreksia dan malaise, demam, takikardia,
diaforesis, pucat, kekauan abdomen kegagalan untuk mengeluarkan feses atau
flatus secara rektal, peningkatan bisisng usus (awal obstruksi), penurunan
bisisng usus selanjutnya, retensi perkemihan, dan leukositosis mengungkapkan
hal-hal yang menyebabkan klien mencari pertolongan dikaji dengan
menggunakan pendekatan PQRST :
P : Provokatus paliatif: Apa yang menyebabkan gejala? Apa yang bisa
memperberat ? apa yang bisa mengurangi ?
Q : QuaLity-quantity: Bagaimana gejala dirasakan, sejauh mana gejala
dirasakan
R : Region – radiasi: Dimana gejala dirasakan ? apakah menyebar?
S : Skala – severity: Seberapah tingkat keparahan dirasakan? Pada skala
berapah ?
T : Time: Kapan gejala mulai timbul? Seberapa sering gejala dirasakan?
tiba-tiba atau bertahap ? seberapa lama gejala dirasakan?
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji apakah klien pernah dioperasi sebelumnya, apakah ada riwayat
tumor, kanker.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit yang sama
dengan klien.
f. Activity Daily Life
Nutrisi : Nutrisi terganggu karena adanya mual dan muntah.
Eliminasi : Klien mengalami konstipasi dan tidak bisa flatus karena peristaltic
usus menurun atau berhenti.
Istirahat : Tidak bisa tidur karena nyeri hebat, kembung dan muntah.
Aktivitas : Badan lemah dan klien dianjurkan untuk istirahat dengan tirah baring
sehingga terjadi keterbatasan aktivitas.
Personal Hygiene : klien tidak mampu merawat dirinya.
Psikologis : Pasien gelisah dan cemas dengan penyakitnya
g. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Lemah, kesadaran menurun sampai syok hipovolemia suhu meningkat(39o C),
pernapasan meningkat(24x/mnt), nadi meningkat(110x/mnt) tekanan
darah(130/90 mmHg)
b) Pemeriksaan fisik ROS (Review Of System)
1. Sistem kardiovaskular: tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada oedema,
tekanan darah 130/90 mmHg, BJ I dan BJ II terdengar normal
2. Sistem respirasi: pernapasan meningkat 24x/mnt, bentuk dada normal,
dada simetris, sonor (kanan kiri), tidak ada wheezing dan tidak ada ronchi
3. Sistem hematologi: terjadi peningkatan leukosit yang merupakan tanda
adanya infeksi.
4. Sistem perkemihan: produksi urin menurun BAK < 500 cc
5. Sistem muskuloskeletal: badan lemah, tidak bisa melakukan aktivitas
secara mandiri
6. Sistem integumen: tidak ada oedema, turgor kulit menurun, tidak ada
sianosis, pucat
7. Sistem gastrointestinal: tampak mengembang atau buncit, teraba keras,
adanya nyeri tekan, hipertimpani, bising usus > 12x/mnt, distensi
abdomen.
B. DIAGNOSA
1. Nyeri akut berhubungan dengan kram abdomen sekunder terhadap distensi
dinding usus
2. Retensi urinarius berhubungan dengan obstruksi jalan keluar kandung kemih
sekunder terhadap tekanan pada kandung kemih
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan muntah
4. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan penurunan O2 sekunder terhadap
tekanan pada diafragma
5. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
yang berlebihan sekunder akibat muntah
No Diagnosa Keperawatan NOC NIC Aktivitas
1. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan Pain Management 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
dengan kram abdomen keperawatan selama 3x24 jam komprehensif termasuk lokasi,
sekunder terhadap distensi nyeri klien berkurang atau hilang karakteristik, durasi, frekuensi,
dinding usus dengan kriteria hasil : kualitas dan faktor presipitasi
1. Mampu mengontrol nyeri 2. Observasi reaksi nonverbal dari
(tahu penyebab nyeri, mampu ketidaknyamanan
menggunakan tehnik 3. Gunakan teknik komunikasi
nonfarmakologi untuk terapeutik untuk mengetahui
mengurangi nyeri, mencari pengalaman nyeri klien
bantuan) 4. Kaji kultur yang mempengaruhi
2. Melaporkan bahwa nyeri respon klien
berkurang dengan 5. Evaaluasi pengalam nyeri masa
menggunakan manajemen lampau
nyeri 6. Evaluasi bersama klien dan tim
3. Mampu mengenali nyeri kesehatan lain tentang
(skala, intensitas, frekuensi ketidakefektifan kontrol nyeri
dan tanda nyeri) masa lamapu
4. Menyatakan rasa nyaman 7. Bantu klien dan keluarga untuk
setelah nyeri berkurang mencari dan menemukan
5. Tanda vital dalam rentang dukungan
normal 8. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi,
nonfarmakologi dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala,
relaksasi, distraksi, kompres
hangat/ dingin
13. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik
14. Tingkatkan istirahat
15. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa
lama nyeri akan berkurang dan
antisipasi ketidaknyamanan dari
prosedur
16. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali

Analgesic administration 1. Tentukan lokasi, karekteriktik,


kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
3. Cek riwayat klien
4. Pilih analgetik yang diperlukan
atau kombinasi dari analgetik
ketika pemberian lebih dari satu
5. Tentukan pilihan analgetik
tergantung tipe dan beratnya nyeri
6. Tentukan analgetik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
7. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgetik
pertama kali
8. Berikan analgetik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
9. Evaluasi efektivitas analgetik,
tanda dan gejala (efek samping)
2 Retensi urinarius Setelah dilakukan tindakan Urunary Retention Care 1. Monitor intake dan output
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam 2. Monitor pwnggunaan obat
obstruksi jalan keluar klien terbebas dari retensi urinaria antikolonergik
kandung kemih sekunder dengan kriteria hasil : 3. Monitor derajat distensi bladder
terhadap tekanan pada 1. Kandung kemih kosong 4. Intruksikan pada pasien dan
kandung kemih secara penuh keluarga untuk mencatat output
2. Tidak ada residu urine >100- urine
200 CC 5. Sediakan privacy untuk eliminasi
3. Bebas dari ISK 6. Stimulasi reflek bladder dengan
4. Tidak ada spasme bladder kompres dingin pada abdomen
5. Balance cairan seimbang 7. Kateterisasi jika perlu
8. Monitor tanda dan gejala ISK
(panas, hematuria, perubahan bau,
dan konsistensi urine)
3 Perubahan nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan Nutrition Management 1. Kaji adanya alergi makanan
dari kebutuhan tubuh keperawatan selam 3x24 jam Nutrition Monitoring 2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
berhubungan dengan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi menentukan jumlah kalori dan
muntah dengan kriteria hasil : nutrisi yang dibutuhkan klien
1. Adanya peningkatan berat 3. Anjurkan klien untuk
badan sesuai dengan tujuan meningkatkan intake
2. Berat badan ideal sesuai 4. Anjurkan klien untuk
dengan tinggi badan meningkatkan protein dan
3. Mampu mengidentifikasi vitamin C
kebutuhan nutrisi 5. Berikan substansi gula
4. Tidak ada tanda tanda 6. Berikan makanan yang terpilih
malnutrisi (sudah dikonsultasikan dengan
5. Tidak terjadi penurunan berat ahli gizi)
badan yang berarti 7. Ajarkan klien bagaimana cara
membuat catatan makanan harian
8. Berikan infoemasi tentang
kebutuhan nutrisi klien
9. Kaji kemampuan klien untuk
mendapatkan nutrisi yang
dibutuhkan
Nutrition Monitoring 1. BB pasien dalam batas normal
2. Monitor adanya penurunan berat
badan
3. Monitor tipe dan jumlah aktivitas
yang biasa dilakukan
4. Monitor lingkungan selama
makan
5. Monitor kulit kering dan
perubahan pigmentasi
6. Monitor turgor kulit
7. Monitor mual dan muntah
8. Monitor kadar albumin, total
protein, Hb, dan kadar Ht
9. Monitor kalori dan intake nutrisi
10. Catar adanya edema, hipermik,
hipertonik papila lidah dan
cavitas oral
11. Catat jika lidah berwarna
magenta, scarlet
4 Pola nafas tak efektif Setelah dilakukan tindakan Airway Management 1. Buka jalan nafas, guanakan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam teknik chin lift atau jaw thrust
penurunan O2 sekunder pola napas klien efektif dengan bila perlu
terhadap tekanan pada kriteria hasil : 2. Posisikan pasien untuk
diafragma 1. Mendemonstrasikan batuk memaksimalkan ventilasi
efektif dan suara nafas yang 3. Identifikasi pasien perlunya
bersih, tidak ada sianosis dan pemasangan alat jalan nafas
dyspneu (mampu buatan
mengeluarkan sputum, 4. Pasang mayo bila perlu
mampu bernafas dengan 5. Lakukan fisioterapi dada jika
mudah, tidak ada pursed lips) perlu
2. Menunjukkan jalan nafas 6. Keluarkan sekret dengan batuk
yang paten (klien tidak atau suction
merasa tercekik, irama nafas, 7. Auskultasi suara nafas, catat
frekuensi pernafasan dalam adanya suara tambahan
rentang normal, tidak ada 8. Lakukan suction pada mayo
suara nafas abnormal 9. Berikan bronkodilator bila perlu
3. Tanda Tanda vital dalam 10. Berikan pelembab udara Kassa
rentang normal (tekanan basah NaCl Lembab
darah, nadi, pernafasan) 11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2
Terapi Oksigen 1. Bersihkan mulut, hidung dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Vital Sign Monitoring 1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2. Catat adanya fluktuasi tekanan
darah
3. Monitor VS saat pasien
berbaring, duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan
dan bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan
abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradikardi, peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari
perubahan vital sign

5. Risiko kekurangan volume Setelah dilakukan tindakan Fluid management 1. Timbang popok/pembalut jika
cairan berhubungan keperawatan selam 3x24 jam diperlukan
dengan kehilangan cairan klien terbebas dari resiko 2. Pertahankan catatan intake dan

yang berlebihan sekunder kekurangan volume cairan dengan output yang akurat
akibat muntah kriteria hasil : 3. Monitor status hidrasi (
1. Mempertahankan urine kelembaban membran mukosa,
output sesuai dengan usia dan nadi adekuat, tekanan darah
BB, BJ urine normal, HT ortostatik ), jika diperlukan
normal 4. Monitor vital sign

2. Tekanan darah, nadi, suhu 5. Monitor masukan makanan /


tubuh dalam batas normal cairan dan hitung intake kalori
3. Tidak ada tanda tanda harian
dehidrasi, Elastisitas turgor 6. Lakukan terapi IV

kulit baik, membran mukosa 7. Monitor status nutrisi

lembab, tidak ada rasa haus 8. Berikan cairan

yang berlebihan 9. Berikan cairan IV pada suhu

ruangan
10. Dorong masukan oral

11. Berikan penggantian nesogatrik

sesuai output
12. Dorong keluarga untuk
membantu pasien makan
13. Tawarkan snack ( jus buah, buah

segar )
14. Kolaborasi dokter jika tanda
cairan berlebih muncul meburuk
15. Atur kemungkinan tranfusi

16. Persiapan untuk tranfusi


C. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke

status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang

diharapkan. Komponen tahap implementasi :

1. Tindakan keperawatan mandiri


2. Tindakan keperawatan kolaboratif
3. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respon klien terhadap asuhan
keperawatan.
4. EVALUASI
Evaluasi yaitu penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil menentukan seberapa
jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari tindakan. Penilaian proses
menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap tahapan proses mulai dari
pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan, dan evaluasi itu sendiri. (Ali,
2009). Evaluasi dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam perencanaan, membandingkan hasil tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan menilai
efektivitas proses keperawatan mulai dari tahap pengkajian, perencanaan dan
pelaksanaan.
DAFTAR PUSTAKA

Nurarif, A. H., &amp; Kusuma, H. (2018). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction.

Wilkinson.M.J. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan dan Dokumentasi Keperawatan :


Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif. Jakarta: EGC.

Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta

Nurarif A. H & Kusuma H. 2020. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc ed 1. Jogjakarta : Penerbit Mediaction

Guyton, Arthur C (2020), fisiologi manusia dan mekanisme penyakit EGC penerbitan
buku kedokteran, Jakarta

Corwin Elizabeh.J.2021 Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 9 Alih bahasa Tim
penerbit PSIK UNPAD, EGC, Jakarta,

Price S.A., Wilson L.M. (2019). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.

Saputra. (2020). Buku saku keperawatan pasien dengan gangguan fungsi


gastrointestinal . Jakarta: Binarupa Aksara.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.H DENGAN KASUS
ILEUS OBSTRUKSI DI RUANGAN TERATAI RSUD UNDATA
PROVINSI SULAWESI TENGAH

DI SUSUN OLEH :

NAMA : LUCKY ARISANDI, S.Kep


NIM : 2022031015

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. I Putu Alit Yastika, S.Kep Ns. Siti Yartin, S.Kep.,M.Kep


NIP. 19750712 200003 1 005 NIK. 20210902025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS KATARAK DI
RUANGAN ASTER RSUD UNDATA PALU PROVINSI
SULAWESI TENGAH

DISUSUN OLEH :
SUKMAWATY
NIM: 2022031032

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ira Martini, S.Kep.,Ns Ns. Elifa Ihda Rahmayanti, S.Kep.,


NIP: 198403242010012008 M.Kep
NIK: 20120901025

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS WIDYA NUSANTARA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

KATARAK
A. Tinjauan teori katarak
1. Definisi
Katarak berasal dari bahasa Yunani katarrhakies dan Inggris cataract dan
latin cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular.
Dimana kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang diakibatkan hidrasi
(penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari
kedua-duanya. Biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak
menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa
yang keruh cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang
kabur pada retina. Jumlah dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat
bervariasi (Razi, 2019).
Katarak adalah kekeruhan pada lensa tanpa nyeri yang berangsur–angsur
penglihatan kabur akhirnya tidak dapat menerima cahaya. Katarak adalah
terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau kapsul lensa. Umumnya
akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua orang lebih dari 65 tahun
(Thalia,2019).
Katarak adalah proses terjadinya opasitas secara progresif pada lensa atau
kapsul lensa, umumnya akibat dari proses penuaan yang terjadi pada semua
orang lebih dari 65 tahun (Marilynn Doengoes, dkk. 2000)
Ada beberapa jenis kataran menurut (WebMD 2018), yaitu katarak nuclear,
katarak kortikal, katarak subscapular posterior, katarak traumatic, katarak
sekunder, katarak radiasi, katarak lumelar atau zonular, katarak polar posterior,
katarak polar anterior, katarak pohon natal, katarak brunescant, dan katarak
diebetik, yang tampak seperti kepingan salju.
Menurut data terakhir dari (WHO 2018), Katarak menyebabkan 51% dari
kebutaan penduduk dunia yang mewakili sekitar 20 juta orang. Jumlah orang
yang mengidap katarak diperkirakan semakin bertumbuh dari waktu kewaktu.
Katarak merupakan penyebab penting dari lemahnya penglihatan baik dinegara
maju maupun berkembang. Diindonesia seperti dilansir dalam situs departemen
kesehatan, diperkirakan setiap kasus katarak bertambah sekitar 250.000 orang
pertahun.
2. Anatomi dan fisiologi mata

Mata merupakan organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit,


yang memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna
yang dipantulkan objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif
di tengkorak, yaitu rongga orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata
fibrosa yang kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu sistem lensa untuk
memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan suatu sistem sel dan saraf
yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan informasi visual
ke otak (Junqueira, 2007).
Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka
cahaya karena adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk
struktur seperti cincin di dalam aqueous humour. Lubang bundar di bagian
tengah iris tempat masuknya cahaya ke bagian dalam mata adalah pupil. Iris
mengandung dua kelompok jaringan otot polos, satu sirkuler dan yang lain
radial. Karena serat-serat otot memendek jika berkontraksi, pupil mengecil
apabila otot sirkuler berkontraksi yang terjadi pada cahaya terang untuk
mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot radialis
memendek, ukuran pupil meningkat yang terjadi pada cahaya temaram untuk
meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 2012).
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus
dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan
menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh
dapat difokuskan di retina dikenal sebagai akomodasi. Kekuatan lensa
bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah
bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior.
Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan
jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih
cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat. Serat-serat saraf simpatis
menginduksi relaksasi otot siliaris untuk penglihatan jauh, sementara sistem
saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk penglihatan dekat
(Sherwood, 2012).

3. Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau
bertambahnya usia seseorang. Katarak kebanyakan muncul pada usia lanjut. Data
statistik menunjukkan bahwa lebih dari 90% orang berusia di atas 65 tahun
menderita katarak. Sekitar 50% orang berusia 75- 85 tahun daya penglihatannya
berkurang akibat katarak. Adapun penyebab lain yaitu:
a. Umur
Seiring bertambahnya usia, lensa berkurang kebeningannya, keadaan ini
akan berkembang dengan bertambah beratnya katarak. Pada golongan usia 60
tahun hamper 2/3-nya mulai mengalami katarak.
b. Trauma mata
Trauma mata akan mengakibatkan pembengkakan, penebalan, dan
munculnya warna putih di serat lensa. Warna putih yang terbentuk pada
akhirnya dapat menyebabkan katarak.
c. Diabetes melitus
Diabetes kerap kali dituding menjadi penyakit yang dapat menyebabkan
katarak. Sebab enzim aldosa reduktase yang ada di dalam tubuh penderita
diabetes mampu memicu timbulnya penyakit katarak.
d. Sinar ultaviolet
Sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan pada lensa
mata. Seseorang dengan pekerjaan sehari-hari sering terpapar sinar ultraviolet
meningkatkan factor risiko katarak. Sinar ultraviolet akan diserap oleh protein
terutama asam amino aromatic, yaitu triptofan, fenil alanine dan tirosin
sehingga menimbulkan reaksi foto kimia dan menghasilkan fragmen molekul
yang disebut radikal bebas, seperti anion superoksid, hikdroksil dan spesies
oksigen reaktif seperti hydrogen peroksida yang semuanya bersifat toksis
e. Obat-obatan
Jenis obat tertentu dapat menstimulasi pembentukan katarak,
diantaranya : Amiodaarone (obat untuk jantung), Chlorpromazine (sedatif),
kortikosteroid (penanganan radang akut dan kronis), Lovastatin (penurun
kolesterol), Phenytoin (antiseizure, pengobatan epilepsy). Pengguanaan obat
kortikosteroid sebagai faktor risiko perkembangan katarak.
f. Merokok
Individu yang merokok 20 batang atau lebih jenis sigaret dalam sehari
mempunyai risiko 2 kali lebih banyak mengalami katarak. John J. Harding
dalam penelitiannya bersama Ruth van Heyningen di Oxford berkesimpulan
terdapat hubungan antara perokok berat dengan katarak.

4. Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan
berbentuk seperti kancing baju, meempunyai kekuatan refraksi yang besar.
Lensa mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat
nucleus, diperifer terdapat korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah
kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami
perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat
densitas seperti duri dianterior dan posterior nucleus. Opasitas pada
kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna nampak
seperti kristal salju pada jendela. Perubahan fisik dan kimia dalam lensa
mengakibatkan hilangnya trnsparasi. Perubahan pada serabut halus multiple (
zonula ) yang memajang dari badan silier kesekitar daerah diluar lensa misalnya
dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi.
Perubahan kimia dalam perubahan lensa dapat menyebabkan koagulasi,
sehingga mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya
keretina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi
disertai influks air kedalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang dan mengganggu tranmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu
enzim mempunyai peran dalm melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim
akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien
yang menderita katarak. Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai
kecepatan yang berbeda, dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun
sistemis, seperti diabetes. Namun sebenarnya katarak merupakan konsekwensi
dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang kronik dan
“ matang “. Ketika orang memasuki dekade ketujuh katarak bersifat kongenital
dan harus diindentifikasi awal karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan
ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering
yang berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-
obatan, alkohol, merokok, diabetes dan asupan antitoksin dan yang kurang
dalam jangka waktu yang lama. ( Brunner & Suddarth,2017).
5. Patway
6. Menifestasi klinis
a. Penglihatan kabur seperti melihat kabut atau asap
b. Pupil mengecil akibat kekeruhan pada lensa
c. Merasa silau atau melihat cahaya yang terlalu terang
d. Pada pupil terdapat bercak putih/leukokoria
e. Mata sering berair

7. Komplikasi
a. Glaucoma
Glaukoma. Sebuah katarak senilis, yang terjadi pada usia lanjut,
pertama kali akan terjadi keburaman dalam lensa, kemudian pembengkakan
lensa dan penyusutan akhir dengan kehilangan transparasi seluruhnya.
Selain itu, seiring waktu lapisan luar katarak akan mencair dan membentuk
cairan putih susu, yang dapat menyebabkan peradangan berat jika pecah
kapsul lensa dan terjadi kebocoran. bila tidak diobati, katarak dapat
menyebabkan glaukoma.
b. Uveitis
Protein lensa keluar dan dianggap benda asing, sehingga tubuh
berusaha menghancurkannya. Keadaan ini menimbulkan reaksi uveitis
c. Subluksasi dan Dislokasi lensa
Terjadi pada stadium hipermatur, di mana pada stadium ini zonulnya
menjadi kaku dan rapuh sehingga bisa lepas dari lensa. Lensa bisa subluksasi
atau dislokasi
d. Prolaps iris
Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedah pada
periode pascaoperasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada
lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan
segera dengan pembedahan.
e. Hilangnya vitreous
Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel
vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior, yang merupakan risiko
terjadinya glaukoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan
pengangkatan dengan satu instrumen yang mengaspirasi dan mengeksisi gel
(vitrektomi). Pemasangan lensa intraokular sesegera mungkin tidak bisa
dilakukan pada kondisi ini.
8. Pemeriksaan penunjang
a. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler: mungkin terganggu dengan
kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit
sistem saraf, penglihatan ke retina
b. Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis,
glukoma.
c. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)
d. Pengukuran Gonioskopi : membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup
glukoma
e. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe glukoma
f. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik,
papiledema, perda rahan.
g. Pemeriksaan lampu slit
h. A-scan ultrasound (echography).
i. USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.

9. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan non bedah
1) Terapi penyebab katarak
2) Pengontrolan diabetes melitus, menghentikan konsumsi obat-obatan
yang bersifat kataraktogenik seperti kortikosteroid, fenotiasi, dan miotik
kuat, menghindari radiasi dapat memperlambat atau mencegah
terjadinya proses kataraktogenik.

3) Penilaian terhadap perkembangan visus pada katarak insipien dan


imatur:
a) Retraksi sering berubah sangat cepat, sehingga harus sering di
koreksi
b) Pengaturan pencahayaan, pasien dengan kekeruhan dibagian perifer
lensa dapat diinstruksikan menggunakan pencahayaan yang terang.
Berbeda dengan kekeruhan pada bagian sentral lensa, cahaya
remang yang ditempatkan disamping dan sedikit di belakang kepala
pasien akan memberikan hasil terbaik
c) Penggunaan kacamata gelap, pada pasien dengan kekeruhan lensa
dibagian sentral, hal ini akan memberikan hasil yang baik dan
nyaman apabila beraktivitas diluar ruangan.
d) Midriatil, dilatasi pupil akan memberikan efek positif pada lateral
aksial dengan kekeruhan yang sedikit. Midriatil seperti fenilefrin 5%
atau tropikamid 1% dapat memberikan penglihatan yang jelas.
b. Pembedahan katarak
1. Pengankatan lensa
Ada tiga macam teknik pembedahan ynag biasa digunakan untuk
mengangkat lensa:
a) Operasi katarak Ekstrakapsular atau Ekstraksi katarak ekstra
kapsular (EKEK/ECCE)
EKEK adalah tindakan pembedahan pada lensa katarak dimana
dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek
kapsul lensa anterior sehingga masa lensa dan korteks lensa dapat
keluar melalui robekan tersebut. Pembedahan ini dilakukan pada
pasien katarak muda, pasien dengan kelainan endotel, bersama-sama
keratoplasti, implantasi lensa intraokuler posterior, perencanaan
implantasi sekunder lensa intraokuler, kemungkinan akan dilakukan
bedah glaukomamata dengan predisposisi untuk terjadinya prolaps
badan kaca, mata sebelahnya telah mengalami prolaps badan kaca,
sebelumnya mata mengalami ablasi retina, mata dengan sitoid
makular edema, pasca bedah ablasi, untuk mencegah penyulit pada
saat melakukan pembedahan katarak seperti prolaps badan kaca.
Penyulit yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu dapat
terjadinya katarak sekunder.
b) Operasi katarak intrakapsular atau Ekstraksi katarak
intrakapsular(EKIK/ICCE)
EKIK adalah pembedahan dengan mengeluarkan seluruh lensa
bersama kapsul. Dapat dilakukan pada zonula zinn telah rapuh atau
berdegenerasi dan mudah putus. Pada katarak ekstraksi
intrakapsular tidak akan terjadi katarak sekunder dan merupakan
pembedahan yang sangat lama populer. Pembedahan ini dilakukan
dengan mempergunakan mikroskop dan pemakaian alat khusus
sehingga penyulit tidak banyak. Katarak ekstraksi intrakapsular ini
tidak boleh dilakukan atau kontraindikasi pada pasien berusia
kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea
kapsular. Penyulit yang dapat terjadi pada pembedahan ini adalah
astigmatisme, glaucoma ,uveitis, endoftalmiti dan perdarahan.
Namun, saat ini pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.
c) Phacoemulsification:
Merupakan modifikasi dari ECCE. Pembukaan kapsul
dilakukan dengan teknik Capsular Helix. Keuntungannya: insisi
lebih kecil, komplikasi lebih sedikit, dan lebih aman
2. Penggantian lensa
Penderita yang telah menjalani pembedahan katarak biasanya
akan mendapatkan lensa buatan sebagai pengganti lensa yang teleh
diangkat. Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut
lensa intraokuler dan biasanya lensa intraokuler dimasukkan ke dalam
kapsul lensa di dalam mata. Untuk mencegah infeksi, mengurangi
peradangan, dan mempercepat penyembuhan selama beberapa minggu
setelah pembedahan di berikan tetes mata atau salep. Untuk melindungi
mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau
pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan
benar-benar sembuh.

B. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas fisik
Gejala : perubahan aktifvitas biasanya/hobby sehubungan dengan gangguan
penglihatan
b. Makan/cairan
Gejala : mual / muntah (pada komplikasi kronik / glaukoma akut)
c. Neurosensori
Gejala : gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang
menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer,
kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat / merasa di ruang gelap.
d. Tanda : tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil
e. Nyeri / kenyamanan
Gejala : ketidaknyamanan ringan/mata berair. Nyeri tiba – tiba, berat
menetap atau tekanan pada sekitar mata.
f. Penyuluhan dan pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, diabetes, gangguan sistem vaskular, riwayat
stress, alergi, gangguan vasomotor, ketidakseimbangan endokrin.

2. Diagnosa keperawatan
a. Pre oprasi
1. Gangguan persepsi sensori visual / penglihatan berhubungan dengan
penurunan ketajaman penglihatan, penglihatan ganda.
2. Cemas berhubungan dengan pembedahan yang akan dijalani dan
kemungkinan kegagalan untuk memperoleh penglihatan kembali.
b. Post oprasi
1) Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan prosedur
invasif.
3. Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
(bedah pengangkatan)
4. Gangguan sensori–perceptual : penglihatan berhubungan dengan
gangguan penerimaan sensori/ status organ indera, lingkugan secara
terapeutik dibatasi.

3. Intervensi
a) Pre operasi

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


keperawatan kriteria hasil

Gangguan NOC: NIC:


persepsi Gangguan - Orientasikan - Memperkenalkan
sensori persepsi sensori klien terhadap pada klien
visual/penglih teratasi. lingkungan tentang
atan Kriteria Hasil : aktifitas. lingkungan dan
beruhubungan a. Dengan penglih Bedakan aktifitassehingga
dengan penurunan atan yang kemampuan Dapat
ketajaman terbatas klien lapang meniggalkan
penglihatan ganda mampumelihat pandang stimulus
lingkungan diantara kedua penglihatan.
semaksimal mata. - Menentukan
mungkin. - Observasi kemampuan
- Mengenal tanda lapang
perubahan disorientasi pandang tiap
stimulus dengan mata.
yang tetap - Mengurangi
Positif dan Berada disisi ketakutan klien
negative klien. dan
- Mengidentifik - Dorong meningkatka
asi kebiasaan klien untuk n stimulus.
lingkungan. melakukan - Menignkatkan
aktivitas input sensori dan
sederhana mempertahankan
seperti perasaan normal,
menonton TV, tanpa
radio, dll. meningkatkan
- Anjurkn stress.
klien - Menurunkan
menggunakan penglihatan perifer
kacamata dan gerakan.
katarak
cegah lapang
pandang
perifer
dan catat
terjadinya
bintik
buta.
Posisi
pintu harus
tertutup
terbuka,
jauhkan
rintangan.

Ansietas NOC: NIC:


berhubungan Tujuan : ansetas - Ciptakan - Membantu
dengan menurun. lingkungan mengidentifika
pembedahan yang Kriteria Hasil : yang tenang dan si sumber
akan dijalani dan - Mengung relaks, berikan ansietas.
kemungkinan kapkan dorongan untuk - Meningkatkan
kegagalan untuk kekhawat verbalisasi dan keyakinan
memperoleh irannya mendengarkan klien.
penglihatan dan dengan penuh - Meningkatkan
kembali ketakutan perhatian proses belajar
mengenai - Yakinkan dan informasi
pembeda klien bahwa tertulis
han yang ansietas mempunyai
akan mempunyai sumber rujukan
dijalani respon normal setelah pulang.
dan - Menjelaskan
- Memungkink diperkirakan pilihan
an terjadi pada memungkinkan
pemahaman pembedahan klien membuat
tindakan rutin katarak yang keputusan
preoperasi aka dijalani. secara benar.
dan - Sajikan
perawatan. informasi
menggunakan
metode media
instruksional.
- Jelaskan
kepada klien
aktivitas
premedikasi
yang
diperlukan,
berikan
informasi
tentang
aktifitas
penglihatan
dan suara yang
berkaitan
dengan
periode
intra operatif.

b) Post operasi

Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional


Keperawatan Kriteria hasil

Gangguan rasa NOC: NIC:


nyaman (nyeri akut) Tujuan : nyeri - Bantu klien - Membantu
berhubungan dengan teratasi. Kriteria dalam menemukan
prosedur invasive
Hasil : mengidentifika tindakan
- Klien
melaporkan si tindakan yang dapat
penurunan penghilang menghilangkan
nyeri secara
nyeri yang atau
progresif dan
nyeri terkontrol efektif. mengurangi nyeri
setelah - Jelaskan yang efektif.
intervensi
bahwa nyeri - Nyeri dapat
dapat terjadi terjadi sampai
sapai beberapa anastesi
jam setelah Local habis,
pembedahan. memahami hal ini
- Lakukan dapat membantu
tindakan mengurangi
mengurangi kecemasan yang
nyeri dengan berhubungan
cara : dengan yang tidak
 Posisi: diperkirakan.
tinggikan - Latihan nyeri
bagian dengan
kepala menggunakan
tempat tindakan yang non
tidur ganti farmakologi
posisi dan memungkinkan
tidur pada klien untuk
sisi memperoleh rasa
yang kontrol terhadap
tidak nyeri
dioperasi.
- Analgetk
 Distraksi dapat
 Latihan menghambat
relaksai reseptor nyeri.
- Berikan - Tanda
analgetik sesuai
ini menunjukan
program. Lapor
doker jika nyeri peningkatan
tidak hilang
tekanan
setelah ½ jam
- pemberian obat, intra ocular atau
jika nyeri komplikasi lain.
disertai mual.
Resiko tinggi NOC: NIC:
terjadinya infeksi - Nutrisi dan hidrasi
Tujuan : - Tingkatkan
berhubungan dengan yang optimal akan
infeksi penyembuhan meningkatkan
prosedur invasive kesehatan secara
(bedah) tidak luka dengan : keseluruhan,
terjadi.  Beri meningkatkan
penyembuhan
Kriteria Hasil : dorongan pembedahan.
- Tanda- untuk - Memakai

tanda megikuti pelindung mata

infeksi diet meningkatkan

tidak seimbang penyembuhan dan


terjadi. dan asupan menurukan

- Penyembuh cairan kekuatan iritasi

an luka yang kelopak mata

tepat waktu. adekuat. terhadap jahitan

Bebas drainase  Instrukskn luka.


purulen, eritema klien untuk - Teknik aseptic
dan demam. meminimalkan
tetap
masuknya
menutup
mikroorganisme
mata.
dan mengurangi
- Gunakan teknk
infeksi.
aseptic untuk
- Teknik
meneteskan
aseptic
tetes mata. mengurangi
- Gunakan terjadinya resiko
teknik aseptic infeksi
untuk /bakteri
membersihkan kontaminasi
mata dari silang.
dalam keluar - Mencegah
dengan tisu kontaminasi dari
basah/bola kerusakan
kapas untuk operasi.
tiap usapan - Deteksi
ganti balutan. dini infeksi
- Tekankan memungkinkan
pentingnya penanganan
tidak yang cepat untuk
menyentuh/me meminimalkan
ngg aruk keseriusan
mata yang infeksi.
dioperasi. - Ketegangan pada
- Observasi jahitan dapat
tanda dan menimbulkan
gejala infeksi interupsi
seperti: mencipatakan
kemerahan, Jalan masuk
kelopak mata Untuk mikro

bengkak, organisme.

drainase - Sediaan topical

purulen, digunakan secara

infeksi profilaksis,
dimana terapi
konjungtiva, Lebih agresif
peningkatan diperlukan bila
suhu. terjadi infeksi.
- Anjurkan
untuk
mencegah
ketegangan
pada jahitan
dengancara:
menggunakan
kacamata
protektif dan
pelindung
pada malam
hari.
- Kolaborasi
sesuai indikasi.
Gangguan sensori- NOC: NIC:
perceptual: Hasil yang - Tentukan - Kebutuhan
penglihatan
diharapkan : ketajaman individu dan
berhubungan dengan
gangguan - Meningkatk penglihatan, pilihan
penerimaan an catat apakah intervensi dan
sensori/status organ
ketajaman satu atau pilhan intervensi
indera, lingkungan
secara terapeutik penglihatan kedua mata bervariasi sebab
dibatasi, ditandai dalam batas terlibat. kehilangan
dengan menurunnya
situasi - Orientasiklien pnglihatan
ketajaman, gangguan
penglihatan, individu. terhadap terjadi lambat
perubahan respon - Mengenal lingkugan, dan progresif.
biasanya terhadap gangguan staf/orang lai. - Memberikan
rangsangan.
sensori dan - Observasi peningkatan
berkompen tanda- tanda kenyamanan dan
sasi gejala kekeluargaan,
terhadap disorientasi menurunkan
perubahan. pertahankan emas dan
pengamanan disorientasi
tempat tidur pasca operasi.
sampai benar- - Terbangun dalam
lingkungan yang
benar sembuh
ta dikenal
dari anastesi.
mengalami
- Ingatkan klien
keterbatasa
menggunakan
kacamata penglihatan
katarak yang dapat
tujuannya mengakibatkan
memperbesar ±
25% bingung pada
penglihatan orang tua.
perifer hilang - Perubahan
ketajaman dan
kedalaman
persepsi dapat
menyebabkan
bingung
meningkatkan
resiko cedera
Sampai pasien
belajar untuk
mengkompensasi
4. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana perawat
melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan terminologi SIKI, implementasi terdiri atas melakukan dan
mendokumentasikan yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
perawat. Sebelum melakukan tindakan, perawat harus mengetahui alasan
mengapa tindakan tersebut dilakukan. Implementasi keperawatan berlangsung
dalam tiga tahap. Fase pertama merupakan fase persiapan yang mencakup
pengetahuan tentang validasi rencana, implementasi rencana, persiapan pasien
dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak 1 2 3 4 3) Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus dilakukan (misalnya duduk ditempat tidur, duduk di sisi
tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke kursi) Pengaturan posisi Observasi 1)
Monitor status oksigenasi Terapeutik 1) Motivasi melakukan ROM aktif atau
pasif 2) Hindari gerakan menempatkan klien yang dapat meningkatkan nyeri 24
implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase ketiga
merupakan transmisi perawat dan pasien setelah implementasi keperawatan
selesai dilakukan Evaluasi

5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan merupakan tindakan akhir dalam proses
keperawatan. Evaluasi dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi
terdiri dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama program
berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah program selesai dan
mendapatkan informasi efektivitas pengambilan keputusan.
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP.
Data Subjektif (S) dimana perawat menemui keluhan pasien yang masih
dirasakan setelah diakukan tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang
berdasarkan hasilpengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yang dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assesment)
yaitu interpretasi makna data subjektif dan objektif untuk menilai sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat
dikatakan tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai
kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila perilaku pasien
tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan, sedangkan tidak tercapai apabila
pasien tidak mampu menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan
tujuan, dan yang terakhir adalah planning (P) merupakan rencana tindakan
berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka perawat akan
menghentikan rencana dan apabila belum tercapai, perawat akan melakukan
modifikasi rencana untuk melanjutkan rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini
disebut juga evaluasi proses
Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang pasien hadapi yang
telah dibuat pada perencanaan tujuan dan kriteria hasil. Evaluasi penting
dilakukan untuk menilai status kesehatan pasien setelah tindakan keperawatan.
Selain itu juga untuk menilai pencapaian tujuan, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek, dan mendapatkan informasi yang tepat dan jelas untuk
meneruskan, memodifikasi, atau menghentikan asuhan keperawatan yang
diberikan. (Amid dan Hardhi, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

1. Webmd, 2018. Health Cataracts. Diakses Tanggal 7 April 2020


2. Who, 2018. Causes Bliddness Priority. Diakses Tanggal 7 April 2020
3. Hannah, Thalia. S. 2019. Laporan Pendahuluan Katarak. Diakses pada tanggal 07
april 2020
4. Nurarif. A. H. Dan Kusuma. H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC- NOC. Jogjakarta: Mediaction
5. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
6. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat

Anda mungkin juga menyukai