Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

1. Pengertian ISPA

` Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan salah satu


penyebab utama kematian pada balita didunia. Penyakit ini paling banyak
terjadi di negara- negara berkembang di dunia. Populasi penduduk yang
terus bertambah dan tidak terkendali mengakibatkan kepadatan penduduk
di suatu wilayah yang tidak tertata baik dari segi aspek sosial, budaya dan
kesehatan (Adesanya & Chiao, 2017). Kondisi ini akan bertambah buruk
dengan status sosial ekonomi keluarga yang rendah atau berada dibawah
garis kemiskinan karena tidak dapat memenuhi asupan gizi yang baik dan
sehat untuk balita ditambah dengan kondisi fisik rumah yang tidak layak
tinggal (Kolawole, Oguntoye, Dam, & Chunara, 2017).(Mahendra &
Farapti, 2018)

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang


melibatkan organ saluran pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan
bagian bawah. Inveksi ini disebabkan oleh virus, jamur, dan bakteri. ISPA
akan menyerang host, apabila ketahanan tubuh (immunologi) menurun.
Penyakit ISPA ini paling banyak di temukan pada anak di bawah lima
tahun karena pada kelompok usia ini adalah kelompok yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit.
(Karundeng Y.M, et al. 2016)(Suriani, 2018)

2. Anatomi fisiologi
Saluran pernapasan bagian atas terdiri atas hidung, faring, laring, dan
epiglotis, yang berfungsi menyaring, menghangatkan, dan melembabkan
udara yang dihirup. (Nursing Students, 2015)
1. Hidung
Bagian ini terdiri atas nares anterior (saluran di dalam lubang hidung)
yang memuat kelenjar sebaseus dengan ditutupi bulu kasar yang
bermuara ke rongga hidung. Bagian hidung lain adalah rongga hidung
yang dilapisi oleh selaput lendir yang mengandung pembuluh darah.
Proses oksigenasi diawali dari sini. Pada saat udara masuk melalui
hidung, udara akan disaring oleh bulu-bulu yang ada di dalam
vestibulum (bagian rongga hidung), kemudian dihangatkan serta
dilembabkan.
2. Faring
Merupakan pipa yang memiliki otot, memanjang mulai dari dasar
tengkorak sampai dengan esofagus yang terletak di belakang naso
faring (di belakang hidung), di belakang mulut (orofaring), dan di
belakang laring (laringo faring).
3. Laring (Tenggorokan)
Laring merupakan saluran pernapasan setelah faring yang terdiri atas
bagian tulang rawan yang diikat bersama ligamen dan membran, yang
terdiri atas dua lamina yang bersambung di garis tengah.
4. Epiglotis
Merupakan katup tulang rawan yang berfungsi membantu menutup
laring ketika orang sedang menelan

Saluran pernapasan bagian bawah terdiri atas trakhea, tandan


bronkhus, segmen bronkhus, dan bronkhiolus, yang berfungsi mengalirkan
udara dan memproduksi surfaktan.
5. Trakhea
Trakhea atau disebut sebagai batang tenggorok yang memiliki
Panjang kurang lebih 9 cm dimulai dari laring sampai kira-kira setinggi
vertebra thorakalis kelima. Trakhea tersebut tersusun atas enam belas sampai
dua puluh lingkaran tidak lengkap yang berupa cincin. Trakhea ini dilapisi
oleh selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia yang dapat
mengeluarkan debu atau benda asing.
6. Bronkhus
Bentuk percabangan atau kelanjutan dari trakhea yang terdiri atas dua
percabangan yaitu kanan dan kiri. Pada bagian kanan lebih pendek dan lebar
dari pada bagian kiri yang memiliki tiga lobus atas, tengah, dan bawah;
sedangkan bronkhus kiri lebih panjang dari bagian kanan yang berjalan
dalam lobus atas dan bawah. Kemudian saluran setelah bronkhus adalah
bagian percabangan yang disebut sebagai bronkhiolus.
7. Paru
Merupakan organ utama dalam sistem pernapasan. Letak paru itu sendiri di
dalam rongga thoraks setinggi tulang selangka sampai dengan diafragma. Paru
terdiri atas beberapa lobus yang diselaputi oleh pleura yaitu pleura parietalis
dan pleura viseralis, kemudian juga dilindungi oleh cairan pleura yang berisi
cairan surfaktan.
Paru sebagai alat pernapasan utama terdiri atas dua bagian (paru kanan dan
paru kiri) dan bagian tengah dari organ tersebut terdapat organ jantung beserta
pembuluh darah yang berbentuk kerucut, dengan bagian puncak disebut apeks.
Paru memiliki jaringan yang bersifat elastis, berpori, dan memiliki fungsi
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida.

3. Klasifikasi

Penyakit ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian


atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk paru-paru) dan organ
aksesoris saluran pernafasan. Berdasarkan batasan tersebut jaringan paru
termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). Program
pemberantasan penyakit (P2) ISPA dalam 2 golongan yaitu
(Cahyaningrum, 2012):

1) Ispa non – pneumonia, Merupakan penyakit yang banyak dikenal


masyarakat dengan istilah batuk dan pilek (common cold).

2) Ispa pneumonia, Pengertian pneumonia sendiri merupakan proses


infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya
disebabkan oleh invasi kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinik
batuk, disertai adanya nafas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian
bawah.
Berdasarkan kelompok umur program-programpemberantasan ISPA
(P2 ISPA) mengklasifikasikan ISPA(Cahyaningrum, 2012) sebagai
berikut:
1) Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas:
a) Pneumonia berat
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang kuat
pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.

b) Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)


Bila tidak ditemukan tanda tarikan yang kuat dinding dada bagian
bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat, frekuensi kurang dari 60
menit.
2) Kelompok umur 2 bulan -<5 tahun diklasifikasikan atas:
a) Pneumonia berat
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan dinding dada
dan bagian bawah ke dalam.

b) Pneumonia
Tidak ada tarikan dada bagian bawah ke dalam, adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2 - <12 bulan dan 40
kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan - <5 tahun.

c) Bukan pneumonia
Tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, tidak ada
nafas cepat, frekuensi kurang dari 50 kali per menit pada anak
umur 2- <12 bulan dan kurang dari 40 permenit 12 bulan - <5
tahun.

4. Manifestasi klinis

Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis,


nyeri tenggorokan, batuk dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri
retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari
disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah dan
insomnia. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan
adanya penyulit.
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya ISPA yaitu,


faktor lingkungan, individu anak (umur, jenis kelamin dan berat badan
lahir), nutrisi, imunisasi, status sosial ekonomi, dan perilaku orang tua
yang merokok, Maryunani (2010)(Syahidi, Gayatri, & Bantas, 2016)

6. Masalah – masalah yang terjadi

Komplikasi yang dapat timbul dari penyakit ini yaitu asma. Komplikasi lain
yang dapat timbul yaitu:
1. Otitis media
2. Croup
3. Gagal nafas
4. Sindrom kematian bayi mendadak dan kerusakan paru residu
(Wuandari.D & Purnamasari. L, 2015)

7. Patofisiologi

Menurut (Amalia Nurin, dkk, 2014) Perjalanan alamiah penyakit


ISPA dibagi 4 tahap yaitu:
a. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum
menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa.
Tubuh menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan
sebelumnya rendah.
c. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul
gejala demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh
sempurna,sembuh dengan atelektasis,menjadi kronos dan meninggal
akibat pneumonia.

Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar


sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang
efektif dan efisien. Ketahanan saluran pernafasan tehadap infeksi maupun partikel
dan gas yang ada di udara amat tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada
orang sehat yaitu keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan
antibodi.

Infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah
rusak akibat infeksi yang terdahulu. Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu
keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama
dalam pencemaran udara), sindroma imotil, pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25
% atau lebih). Makrofag banyak terdapat di alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain
bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh
bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat yang
ada di saluran nafas ialah Ig A. Antibodi ini banyak ditemukan di mukosa. Kekurangan
antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran nafas, seperti yang terjadi pada
anak. Penderita yang rentan (imunokompkromis) mudah terkena infeksi ini seperti pada
pasien keganasan yang mendapat terapi sitostatika atau radiasi. Penyebaran infeksi pada
ISPA dapat melalui jalan hematogen, limfogen, perkontinuitatum dan udara nafas.

8. WOC

Bakteri, virus dan jamur

9. Penatalaksanaan

1) Upaya pencegahan

Menurut Wijayaningsih tahun 2013, hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyakit ISPA pada anak antara lain:
a. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
b. Memberikan imunisasi yang lengkap kepada anak agar daya tahan
tubuh terhadap penyakit baik.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA.
2) Upaya perawatan

Prinsip perawatan ISPA antara lain:

a. Meningkakan istirahat minimal 8 jam per hari


b. Meningkatkan makanan bergizi
c. Bila demam beri kompres dan banyak minum
d. Bila hidung tersumbat karena pilek bersihkan lubang hidung
e. Bila demam gunakan pakaian yang cukup tipis dan tidak terlalu ketat
f. Bila anak terserang ISPA tetap berikan makanan dan ASI
3) Penatalaksanaan medis : pemberian antibiotik sesuai jenis kuman penyebab.

10. Asuhan keperawatan

1) Pengkajian menurut (Amalia Nurin, dkk, 2014):

a. Identitas Pasien

b. Umur, kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai anak usia
dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering menderita ISPA dari
pada usia yang lebih lanjut.

c. Jenis kelamin, angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari 2 tahun,
dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi daripada laki-laki di
negara Denmark.

d. Alamat, kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah anggota keluarga,
dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk ISPA. Diketahui bahwa
penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan pernafasan lain adalah
rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun diluar rumah baik secara biologis,
fisik maupun kimia. Adanya ventilasi rumah yang kurang sempurna dan asap
tungku di dalam rumah seperti yang terjadi di Negara Zimbabwe akan
mempermudah terjadinya ISPA anak.

2) Riwayat kesehatan

a. Riwayat penyakit sekarang

Biasanya klien mengalami demam mendadak, sakit kepala, badan lemah, nyeri otot
dan sendi, nafsu makan menurun, batuk,pilek dan sakit tenggorokan.

b. Riwayat penyakit dahulu

Biasanya klien sebelumnya sudah pernah mengalami penyakit ini

3) Riwayat penyakit keluarga

Menurut anggota keluarga ada juga yang pernah mengalami sakit seperti penyakit
klien tersebut.

4) Riwayat sosial

Klien mengatakan bahwa klien tinggal di lingkungan yang berdebu dan


padat penduduknya. (Nursing Student, 2015).

5) Pemeriksaan fisik

a. Keadaan Umum

Bagaimana keadaan klien, apakah letih, lemah atau sakit berat.

b. Tanda vital :

Bagaimana suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah klien

c. Kepala

Bagaimana kebersihan kulit kepala, rambut serta bentuk kepala, apakah


ada kelainan atau lesi pada kepala

d. Wajah

Bagaimana bentuk wajah, kulit wajah pucat/tidak

e. Mata

Bagaimana bentuk mata, keadaan konjungtiva anemis/tidak, sclera


ikterik/ tidak, keadaan pupil, palpebra dan apakah ada gangguan dalam
penglihatan

f. Hidung

Bentuk hidung, keadaan bersih/tidak, ada/tidak sekret pada hidung serta


cairan yang keluar, ada sinus/ tidak dan apakah ada gangguan dalam
penciuman

g. Mulut

Bentuk mulut, membran membran mukosa kering/ lembab, lidah kotor/


tidak, apakah ada kemerahan/ tidak pada lidah, apakah ada gangguan
dalam menelan, apakah ada kesulitan dalam berbicara.

h. Leher

Apakah terjadi pembengkakan kelenjar tyroid, apakah ditemukan


distensi vena jugularis.

i. Thoraks

Bagaimana bentuk dada, simetris/tidak, kaji pola pernafasan, apakah


ada wheezing, apakah ada gangguan dalam pernafasan.

Pemeriksaan Fisik Difokuskan Pada Pengkajian Sistem Pernafasan

a) Inspeksi
 Membran mukosa- faring tamppak kemerahan
 Tonsil tampak kemerahan dan edema
 Tampak batuk tidak produktif
 Tidak ada jaringan parut dan leher
 Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan, pernafasan
cuping hidung
b) Palpasi
 Adanya demam
 Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri
tekan pada nodus limfe servikalis
 Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c) Perkusi
 Suara paru normal (resonance)
d) Auskultasi
 Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru.

j. Abdomen

Bagaimana bentuk abdomen, turgor kulit kering/ tidak, apakah terdapat


nyeri tekan pada abdomen, apakah perut terasa kembung, lakukan
pemeriksaan bising usus, apakah terjadi peningkatan bising usus/tidak.

k. Genitalia

Bagaimana bentuk alat kelamin, distribusi rambut kelamin ,warna


rambut kelamin. Pada laki-laki lihat keadaan penis, apakah ada
kelainan/tidak. Pada wanita lihat keadaan labia minora, biasanya labia
minora tertutup oleh labia mayora.

l. Integumen

Kaji warna kulit, integritas kulit utuh/tidak, turgor kulit kering/ tidak,
apakah ada nyeri tekan pada kulit, apakah kulit teraba panas.

m. Ekstremitas atas

Adakah terjadi tremor atau tidak, kelemahan fisik, nyeri otot serta
kelainan bentuk. (Nursing Student, 2015).

6) Diagnosa keperawatan

a. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d sekresi yang tertahan d.d
sputum berlebihan

b. Hipertermia b.d proses penyakit d.d takipnea

c. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologi d.d pola nafas berubah

d. Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif d.d membran mukosa


kering

e. Risiko defisit nutrisi d.d ketidakmampuan menelan makanan

f. Intoleransi aktivitas b.d ketidakmampuan antara suplai dan


kebutuhan oksigen d.d merasa lemah
7) Analisa data

Data Etiolgi Masalah Keperawatan


DS Bakteri, virus dan jamur Bersihan jalan napas

→ Pasien tidak efektif b.d sekresi
Terhisap masuk ke
mengatakan sulit saluran pernapasan yang tertahan d.d

bernafas sputum berlebihan
Menempel pada hidung,
→ Pasien sinus, faring, laring,
mengatakan sulit bronkus

berbicara ISPA
DO : ↓
1. Menginvasi sel
→ RR = 36 x/mnt ↓
→ Ronchi (+) Respon pertahanan sel

→ Pasien tampak Produksi mukus ↑
gelisan ↓
Kongesti pada hidung
→ Sianosis ↓
→ Pola nafas Kesulitan bernafas

berubah Bersihan Jalan Napas
Tidak Efektif
DS: Bakteri, virus dan jamur Hipertermia b.d proses

→ Pasien penyakit d.d takipnea
Terhisap masuk ke
mengatakan saluran pernapasan

tubuh nya panas
Menempel pada hidung,
→ Pasien sinus, faring, laring,
mengatakan bronkus
2. ↓
kulitnya terasa ISPA
panas ↓
Invasi kuman
DO : ↓
→ Suhu = 390C Merangsang tubuh
melepas zat pirogen
→ Kulit tampak ↓
merah Hipotalamus ke bagian
termoregulator
→ Kulit terasa ↓

hangat
Hipertermia

DS: Bakteri, virus dan jamur Nyeri Akut b.d agen



→ Pesien pencedera fisiologi d.d
Terhisap masuk ke
mengatakan sakit saluran pernapasan pola nafas berubah

→ Pasien batuk
Menempel pada hidung,
sejak beberapa sinus, faring, laring,
hari yang lalu bronkus

DO : ISPA
→ Pasien tampak ↓
Inflamasi
3. meringis ↓
→ Skala nyeri 7 Merangsang pengeluaran
zat-zat seperti mediator
→ Pasien tampak kimia, bradikinin serotonin,
histamin, dan prostaglandin
gelisah ↓
→ Pola napas Nociseptor

berubah
Thalamus

Korteks serebri

Nyeri Akut
DS : Bakteri, virus dan jamur Hipovolemia b.d

→ Pasien kehilangan cairan aktif
Terhisap masuk ke
mengatakan saluran pernapasan d.d membran mukosa

merasa lemah kering
Menempel pada hidung,
4. → Pasien sinus, faring, laring,
mengatakan bronkus

sering merasa ISPA
haus ↓
Virus merusak lapisan
DO: epitel dan lapisan mukosa

→ Suhu = 390C ↓
Tubuh menjadi lemah dan
→ Nadi = 60 x/mnt
daya tahan tubuh menjadi
→ Turgor kulit rendah

menurun
Diare
→ Membran ↓
Hipovolemia
mukosa kering
→ Nadi teraba
lemah
DS : Bakteri, virus dan jamur Risiko defisit nutrisi d.d

→ Pasien ketidakmampuan
Terhisap masuk ke
mengatakan saluran pernapasan menelan makanan

kesulitan
Menempel pada hidung,
menelan sinus, faring, laring,
DO: bronkus

→ Terdengar suara ISPA
5. ronchi(+) ↓
Aktivitas sistem imun
→ Pasien tampak ↓
kesulitanbernafas Limfadenopati regional

Menyumbat makanan

Nyeri saat menelan (disfgia)

Risiko Defisit Nutrisi

DS: Bakteri, virus dan jamur Intoleransi aktivitas b.d



→ Pasien ketidakmampuan antara
Terhisap masuk ke
mengatakan saluran pernapasan suplai dan kebutuhan

6. badannya lemas oksigen d.d merasa
Menempel pada hidung,
→ Pasien sinus, faring, laring, lemah
mengatakan lelah bronkus

DO : ISPA
→ Pasien tampak ↓
Penumpukan sekret mukus
lelah pada jalan napas
→ Sianosis ↓
Suplai jaringan O2 ke
→ Gambar EKG jaringan↓
menujukkan ↓
Penurunan metabolisme sel
aritmia ↓
saat/setelah Intoleransi Aktivitas

aktivitas

9) Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan SLKI SIKI


keperawatan
1. Bersihan jalan Setelah Bersihan Jalan Napas Latihan Batuk Efektif
napas tidak efektif dilakukan Definisi : melatih pasien
a. Batuk efektif (3 sedang
b.d sekresi yang intervensi yang tidakmemiliki
)
tertahan d.d selama 4 x 24 kemampuan batuk
sputum berlebihan jam maka b. Sulit berbicara (4 efektif membersihkan
Pernapasan akan cukup membaik )
laring, trakea, dan
meningkat
c. Sianosi (3 sedang ) bronkiolus dari jalan
d. Gelisah (3 sedang) napas atau bendaasing di
dalam jalan napas
e. Frekuensi napas (4
cukup membaik) Tindakan/ observasi
f. Pola napas (4 cukup 1) Identifikasi
membaik) kemampuan batuk
Kontol Gejala 2) Monitor tanda dan
a. Kemampuan gejala infekssaluran
memonitor munculnya napas
gejala secara mandiri (3 3) Monitor input dan
sedang)
output cairan(mis.
b. Kemampuan Jumlah dan
memonitor lama karateristik
bertahannya gejala (3
sedang) Terapeutik
c. Kemampuan 1) Atur posisi semi
memonitor variasi fowler atau fowler
gejala (2 cukup
2) Pasang perlak dan
menurun)
bengkok di pangkuan
Tingkat Infeksi pasien
a. Nafsu makan (1 3) Buang sekret pada
menurun) tempat sputum
b. Demam (2 cukup Edukasi
meningkat)
1) Jelaskan tujuan dan
c. Kemerahan (3 prosedur baefektif
sedang)
2) Anjurkan tarik napas
melaluihidselama 4
detik, diahan selama
2detik kemudian dari
mulut dengbibir
mecucu selama 8
detik
3) Anjurkan
mengulangi tarik
napadalam hingga
3kali
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian
mukolitikekspektoran
jika perlu
Edukasi Fisioterapi Dada
Definisi : Mengajarkan
memobilisasekresi napas
melalui perkusi, getardan
drainase postural
Tindakan /observasi
1) Identifikasi
kemampuan pasien
keluarga menerima
informasi
Terapeutik
1) Persiapan materi dan
edukasi
2) Jadwalkan
waktuyang tepat
untumemberikan
pendidikan
kesehasesuai
kesepakatan dengan
pasien dan keluarga
3) Berikan kesempatan
pasien dankeluarga
untuk bertanya
Edukasi
1) Jelaskan
kontraindikasi
fisioterapi dada
2) Jelaskan tujuan dan
prosedur fisioterapi
dada
3) Ajarkan
mengeluarkan sekret
melalui pernapasan
dalam
4) Ajarkan batuk selama
dan setelah prosedur
Penghisapan Jalan Napas
Definisi : membersihkan
sekret denkateter suction
bertekanan negatif
kdalam mulut
nasofaring,trakea dan
Tindakan/observasi
1) Indikasi kebutuhan
dilakukan
penghisapan
2) Monitor dan catat
warna,
jumlahkonsistensi
sekret
Terapeutik
1) Gunakan teknik
aseptik
2) Gunakan prosedural
streril dan disposibel
3) Lakukan hisapan
lebih dari 15 detik
Edukasi
Anjurkan bernapa dalam
dan pelanselama insersi
Hipertermia b.d kateter suction
proses penyakit
d.d takipnea
2.
Setelah
Manajemen Hipertermia
dilakukan
Observasi
intervensi
selama 4 x 1) Identifikasi penyebab
24jam maka hiperterm(mis.
Demam akan Termoregulasi Dehidrasi, terpapar
membaik Lingkungan panas,
a. Kulit merah (3
penggunaan
sedang)
inkubator)
b. Pucat (4 cukup
2) Monitor suhu tubuh
meningkat)
3) Monitor kadar
c. Suhu tubuh (3
elektrolit
sedang)
4) Monitor komplikasi
d. Suhu kulit (3 sedang)
akibat hipertermi
e. Tekanan darah (3
Terapuetik
sedang)
1) Sediakan lingkungan
yang dingin
2) Longgarkan atau
lepaskan pakaian
3) Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4) Berikan cairan oral
5) Berikan oksigen, jika
perlu
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1) Kolaborasi
pemberian cairan
daelektrolit intravena
Regulasi Temprature
Observasi
1) Monitor suhu tiap
dua jam sekajika
perlu
2) Monitor tekanan
darah,
frekuanfernapasan
dan nadi
3) Monitor warna dan
suhu kulit
4) Monitor dan catat
tanda/gejala
hipertermia
Teraupetik
1) Pasang alat pemantau
suhu kutijika perlu
2) Tingkatkan asupan
nutrisi dan cyang
adekuat
3) Sesuaikan suhu
lingkungan dengan
kebutuahan pasien
Edukasi
1) Jelaskan cara
pencegahan heat
exhaustion dan heat
stroke
Kolaborasi
Nyeri Akut b.d
agen pencedera 1) Kolaborasi
fisiologi d.d pola pemberian
nafas berubah antipiretik, jika perlu

3.
Setelah
dilakukan Manajemen Nyeri
intervensi Tindakan/Observasi
selama 4 x 24
jam maka nyeri 1) Identifikasi lokasi,
Tingkat Nyeri karaktedurasi,
akan menurun
a. Keluhan nyari (4 frekuensi, kualitas,
cukup menurun) intensitas nyeri

b. Gelisah (3 sedang) 2) Identifikasi skala


nyeri
c. Pola napas (4 cukup
membaik ) 3) Identifikasi respons
nyeri non verbal
d. Tekanan darah (3
sedang) 4) Identifikasi faktor
memperberat dan
mempernyeri
5) Identifikasi
pengetahuan
keyakinan tentang
nyeri
6) Identifikasi pengaruh
buterhadap respon
nyeri
7) Identifikasi pengaruh
nyeri kualitas hidup
8) Monitor keberhasilan
komplementer yang
sudah diberikan
9) Monitor efek
samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1) Berikan teknik
nonfarmak untuk
mengurangi rasa
nyeri (akupresur,
terapi mbiofeedback,
terapi aromaterapi,
kompres hangat
diterapi bermain
2) Kontrol lingkungan
memperberat rasa
nyeri (mis. ruangan,
pencahayaan,
kebisingan
3) Fasilitasi istirahat
dan tidur
4) timbangkan jenis dan
sumber dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1) Jelaskan penyebab,
periode, pemicu
nyeri
2) Jelaskan strategi
meredakan nyeri
3) Anjurkan memonitor
nyeri mandiri
4) Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
5) Ajarkan teknik
nonfarmakountuk
mengurangi rasa
nyeri
Hipovolemia b.d
Kolaborasi
kehilangan
cairan aktif d.d 1) Kolaborasi
membran pemberian analgetik
mukosa kering

4. Setelah
dilakukan
Manajemen
intervensi
Hipervolemia Observasi:
selama 4 x 24
jam maka Status Cairan 1) Periksa tanda dan
kondisi volume gejala hypervolemia
cairan a. Turgor kulit(2 cukup
2) Identifikasi
membaik memburuk )
penyebab hypervole
b. Berat badan (4 cukup
3) Monitor status
menurun)
hemodinamik
c. Suara tambahan (4
4) Monitor intake dan
cukup menurun )
output cairan
d. Frekuensi nadi (3
5) Monitor tanda
sedang )
hemokonsentrasi
e. Suhu tubuh (3 sedang)
6) Monitor tanda
peningkatan
tekaonkotik plasma
7) Monitor efek
samping diuretik
Teraupetik :
1) Timbang berat
badan setiap harpada
waktu yang sama
2) Batasi asupan cairan
dan garam
3) Tinggikan kepala
tempat tidur 3
derajat
Edukasi :
1) Anjurkan melapor
jika haluan urine 1
kg dalam sehari
2) Ajarkan cara
mengukur dan
mencatat asupan dan
haluan cairan
3) Ajarkan cara
membatasi cairan
Kolaborasi:
1) Kolaborasi
pemberian diuretic
Pemantauan Cairan
Observasi :
1) Monitor frekuensi
dan kekuatan
2) Monitor frekuensi
nafas
3) Monitor berat badan
4) Monitor elastisitas
atau turgor kulit
5) Monitor warna,
jumlah dan berat
urine
6) Monitor kadar
albumin dan
prottotal
7) Monitor intake dan
output cairan
8) Identifikasi tanda
tanda hypervolemia
9) Identifikasi factor
ketidakseimbangan
cairan
Teraupetik :
1) Atur interval waktu
pemantauan
2) Dokumentasikan
hasil pemantau
Edukasi :
1) Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantuan

Risiko defisit 2) Informasikan hasil


nutrisi d.d pemantauan jika
Setelah Status Nutrisi perlu
ketidakmampua
dilakukan
n menelan a. Porsi makanan yang
intervensi
makanan dihabiskan(2 cukup
5. selama 4 x 24
menurun )
jam maka
kebutuhan b. Diare (2 cukup Manajemen Gangguan
metabolisme menurun ) Makan
akan membaik Tindakan/Observasi
c. Berat badan (2 cukup
memburuk ) 1) Monitor asupan dan
keluarnya makanan
d. IMT (2 cukup
dan cairan serta
memburuk )
kebutuhan kalori
e. Nafsu makan (2
Teraupetik
cukup memburuk )
1) Timbang berat badan
secara rutin
2) Diskusikan perilaku
makan dan jumlah
aktivitas fisik
(termasuk olahraga)
yang sesuai
3) Lakukan kontrak
perilaku
4) Dampingi ke kamar
mandi untuk
pengamatan perilaku
memuntahan kembali
makanan
5) Berikan penguatan
positif terhadap
keberhasilan target
dan perubahan
perilaku
6) Berikan konsekuensi
jika tidak mencapai
target kontrak
7) Rencanakan progam
pengobatan untuk
perawatan dirumah
Edukasi
1) Anjurkan membuat
catatan haritentang
perasaan dan situasi
pengeluaran
makanan
2) Ajarkan pengaturan
diet yang terjadwal
3) Ajarkan keterampilan
koping untuk
penyelesaian masalah
perilaku makan
Kolaborasi
Intoleransi 1) Kolaborasi dengan
aktivitas b.d Setelah Toleransi aktivitas ahli gizi tenttarget
ketidakmampu dilakukan berat badan,
an antara suplai a. Frekuensi nadi (3 kebutuhan kdan
intervensi
dan kebutuhan sedang) pilihan makanan
selama 4 x 24
oksigen d.d jam maka b. Kekuatan tubuh
6.
merasa lemah respon bagian atas (2 cukup
terhadap menurun)
aktivitas yang Manajemen Energi
c. Kekuatan tubuh
membutuhkan Tindakan/Observasi
bagian bawah (2
tenaga akan cukup menurun ) 1) Identifikasi gangguan
meningkat
d. Keluhan lelah (4 fungsi tubyang
cukup menurun) mengakibatkan
kelelahan
e. Frekuensi napas (3
sedang) 2) Monitor kelelahan
fisik dan emosional
3) Monitor pola dan jam
tidur
4) Monitor lokasi dan
ketidaknyamanan
selama melakukan
aktivitas
Teraupetik
1) Sediakan lingkungan
yang nyaman dan
rendah stimulus
2) Lakukan latihan
rentang gerak
pasif/aktif
3) Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
4) Fasilitasi duduk di
sisi tempat tijika
tidak dapat berpindah
atau berjalan
Edukasi
1) Anjurkan tirah baring
2) Anjurkan melakukan
aktivitas secara
bertahap
3) Anjurkan
menghubungi
perawat anda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
Kolaborasi
1) Kolaborasi dengan
ahli gizi tentcara
mengkatkan asupan
makan
DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningrum, P. F. (2012). HUBUNGAN KONDISI FAKTOR


LINGKUNGAN DAN ANGKA KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
(ISPA) PADA BALITA DI WILAYAH KERJA

PUSKESMAS CANGKRINGAN KABUPATEN SLEMAN DAERAH


ISTIMEWA YOGYAKARTA PASCA ERUPSI GUNUNG MERAPI TAHUN 2010.
Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Hanafi, P. C. M. M., & Arniyanti, A. (2020). Penerapan Fisioterapi Dada


Untuk Mengeluarkan Dahak Pada Anak Yang Mengalami Jalan Napas Tidak Efektif.
Jurnal Keperawatan Profesional, 1(1), 44–50. https://doi.org/10.36590/kepo.v1i1.84

Mahendra, I. G. A. P., & Farapti, F. (2018). Relationship between Household


Physical Condition with The Incedence of ARI on Todler at Surabaya. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 6(3), 227. https://doi.org/10.20473/jbe.v6i32018.227- 235

Siregar, T., & Aryayuni, C. (2019). Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap


Pengeluaran Sputum Pada Anak Dengan Penyakit Gangguan Pernafasaan Di Poli Anak
RSUD Kota Depok. Jurnal Keperawatan Widya Gantari Indonesia, 2(2), 34–42.

Retrieved from https://ejournal.upnvj.ac.id/index.php/Gantari/article/view/856/591

Suriani, Y. (2018). Asuhan Keperawatan Pada An. R Dengan Gangguan


ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) Di Wilayah Kerja Puskesmas Air Haji Kecamatan
Linggo Sari Baganti Kabupaten Pesisir Selatan. Retrieved from
http://repo.stikesperintis.ac.id/186/

Syahidi, M. H., Gayatri, D., & Bantas, K. (2016). Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Anak Berumur 12-
59 Bulan di Puskesmas Kelurahan Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, Tahun
2013. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Indonesia, 1(1), 23–27.
https://doi.org/10.7454/epidkes.v1i1.1313

Anda mungkin juga menyukai