Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH PELAYANAN FARMASI

“PENYAKIT ASMA”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

Aminung (O1B1 19 003)


Astried Amalia A. (O1B1 19 007)
Fadila Ayu Lestari (O1B1 19 012)
Ica (O1B1 19 017)
La Ode Novial Ashar (O1B1 19 022)
Masni (O1B1 19 024)
Putri Candra Sari (O1B1 19 027)
Rifa’atul Mahmudah (O1B1 19 032)
Riska Rahayu (O1B1 19 034)
Sitti Syarifah (O1B1 19 037)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami masih diberikan kesehatan

dan kekuataan untuk dapat menyelesaikan makalahyang berjudul “ASMA”ini dapat

terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari mata

kuliah “Pelayanan Farmasi”.Dengan adanya makalah ini kami berharap dapat

membantu meningkatkan pengetahuan kita tentang Penyakit “ASMA”serta dapat

memahami dan menyelesaikan permasalahan terkait penyakit yang dimaksud dalam

rangka meningkatkan kualitas hidup dibidang kesehatan serta meningkatkan mutu

individu itu sendiri.

Kami sangat menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan, sehingga saran dan kritik yang membangun dari dosen pengajar

maupun berbagai pihak sangat kami harapkan dalam rangka perbaikan makalah ini

ke depannya.

Kendari, September 2019

Penyusun

Kelompok 3
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Asma

B. EtiologiAsma

C. Patofisiologi Asma

D. Faktor Resiko Asma

E. Gejala Asma

F. Diagnosis Asma

G. Klasifikasi Asma

H. Penatalaksanaan Terapi Asma

BAB IIIKASUS

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di

Indonesia,Hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT)

diberbagai propinsi di Indonesia.Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab

kesakitan(morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada

SKRT1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4

diIndonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia

sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru2/1000.

Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan

kuesionerInternational Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),

didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 %

yang 64 %diantaranya mempunyai gejala klasik (Depkes RI, 2007).

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh

inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran

napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai.Prevalensi

asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak

sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah

pertama. Sedangkan menurut survey yang dilakukan oleh Mahasiswa Farmasi UHO

di Rumah Sakit Batramas data prevalensi yang dilakukan, sejak 3 tahun terakhir

(2014-2016) populasi asma pada anak usia 5-14 tahun untuk rawat jalan kian
meningkat. Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan

morbiditas karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah

sesuai.Seiring dengan perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan

keefektifan terapetik, baik peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami

faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasie (Depkes RI, 2007).

Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai oleh inflamasi,

peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan saluran napas

yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai. Meskipun

pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas karena asma,

keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai. Seiring dengan

perlunya mengetahui hubungan antara terapi yang baik dan keefektifan terapetik,

baik peneliti maupun tenaga kesehatan harus memahami faktor-faktor yang

berhubungan dengan kepatuhan pasien.Berbagai upaya telah dilakukan oleh

pemerintah untuk menanggulangi asma di masyarakat, namun tanpa peran serta

masyarakat tentunya tidak akan dicapai hasil yang optimal.

Apoteker dalam hal ini dapat membantu penanganan penyakit asma dengan

mengarahkan pasien yang diduga menderita asma untuk memeriksakan dirinya,

memotivasi pasien untuk patuh dalam pengobatan, memberikan informasi dan

konseling serta membantu dalam pencatatan untuk pelaporan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan asma?

2. Bagaimana etiologi, patofisiologi, faktor resiko, gejala umum, dan

diagnosis asma?
3. Apa saja klasifikasi asma?

4. Bagaimana tatapelaksanaan pengobatan asma?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1. Untuk mengetahui defenisi asma.

2. Untuk mengetahui etiologi, patofisiologi, faktor resiko, gejala umum, dan

diagnosis asma.

3. Untuk mengetahui klasifikasi asma.

4. Untuk mengetahui penatalaksanaan pengobatan asma.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Defenisi Asma
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak

dijumpai baik pada anak-anak maupun dewasa.Pada dasarnya klasifikasi umur

menjadi enam kelompok yaitu bayi, anak, dewasa muda, dewasa menengah dan

dewasa yang lebih tua untuk usia lansia rata-rata, lansia (di bawah 1, l-14, 15-

24, 25-44, 45-64 dan 65+ tahun) (Department Of International Economic And

Social Affairs, 1982).

Kata asma (Asthma) berasal dari bahasa yunani yang berarti “terengah-

engah”.Lebih dari 200 tahun yang lalu, hipokratesmenggunakan istilah asma

untuk menggambarkan kejadian pernafasan yang pendek-pendek (shortness of

breath). Sejak itu istilah asma sering digunakan untuk

menggambarkangangguan apa saja yang terkait dengan kesulitan bernafas,

termasuk ada istilah asma kardiak dan asma bronkial (Ikawati, 2014).

Menurut global initiative for asthma (GINA) tahun 2008, asma

didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis pada saluran pernafasan dimana

berbagai sel dan elemen seluler berperan, terutama sel mast, eusinofil, leukosit

t, makrofag, dan sel epithelial.Inflamasi kronis ini berhubungan dengan

hiperesponsifitas saluran pernafasan terhadap berbagai stimulus yang

menyebabkan kekambuhan sesak nafas (mengi), kesulitan bernafas, dada terasa

sesak, dan batuk-batuk yang terjadi utamanya pada malam hari atau dini

hari.Sumbatan saluran pernafasan ini bersifat reversibel baik atau tanpa

pengobatan (Ikawati, 2014).


B. Etiologi Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi

berperan, terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, netrofil dan sel

epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab

atau pencetus inflamasi saluran napas pada pasien asma. Inflamasi terdapat

pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten.

Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif (hipereaktifitas)

jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak

napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam dan/atau dini

hari. Episodik tersebut berkaitan dengan sumbatan saluran napas yang luas,

bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Asma yang terjadi pada anak-anak sangat erat kaitannya dengan alergi.

Kurang lebih 80% pasien asma memiliki riwayat alergi. Asma yang mucul

pada saat dewasa dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti : adanya

sinusitis, polip hidung, sensitivitas terhadap aspirin atau obat-oabat anti-

inflamasi non steroid (AINS), atau mendapatkan picuan ditempat kerja.

Ditempat-tempat kerja tertentu yang banyak terdapat agen-agen yang dapat

terhirup seperti debu, bulu binatang, dll, banyak dijumpai orang yang menderita

asma disebut accupational asthma, yaitu asma yang disebabkan karena

pekerjaan dengan kelompok resiko terbesar terhadap perkembangan asma

adalah anak-anak yang mengidap alergi dan memiliki keluarga dengan riwayat

asma.

Beberapa faktor risiko terjadinya asma dapat dibagi menjadi dua, yaitu

yang menyebabkan berkembangnya asma pada individu dan yang memicu


terjadinya gejala asma. Faktor yang pertama utamanya berasal dari faktor

pasien, yaitu meliputi unsure genetik, obesitas dan jenis kelamin.

Asma memiliki komponen herediter, dimana banyak gen terlibat dalam

perkembangan pathogenesis penyakit ini. Penelitian mengenai unsure genetic

yang terlibat pada pathogenenesis asma berfokus pada 4 area besar, yaitu :

produksi IgE spesifik, ekspresi hiperresponsitivitas saluran nafas,

pembentukkan mediator inflamasi seperti sitokin, chemokin, dan faktor

pertumbuhan ; serta penentuan rasio respon imun limfosit Th 1 dan Th2.

Namun demikiann, pencarian gen spesifik yang terlibat dalam kerentanan

individu terhadap alergi atau asma sampai sekarang masih berjalan dan belum

menghasilkan persamaan yang konsisten.

Obesitas juga merupaka faktor risiko terjadinya asma pada individu, di

mana kelebihan berat badan dan obesitas meningkatkan risiko terjadinya asma

sampai 50%, baik pada pria maupun wanita. jenis kelamin merupakan faktor

resiko berikutnya, dimana jenis kelamin pria merupakan faktor risiko pada

anak-anak. Pada anak-anak dibawah umur 14 tahun. Pravalensi asma pada anak

laki-laki hampir dua kali lipat dari pada anak perempuan. Namun demikian

pada usia dewasa. Kejadian asma lebih banyak pada wanita daripada pada pria.

Faktor lingkungan lebih berperan dalam memicu kekambuhan asma.

Beberapa diantaranya adalah alergen, infeksi, obat/bahan sensitizer, asap

rokok, dan polusi udara, baik di dalam maupun diluar ruangan. Selain itu, ada

faktor lain yang dapat meningkatkan keparahan asma. Beberapa diantaranya

adalah rhinitis yang tidak diobati atau sinusitis, gangguan

refluksgastroesofagal, sensitivitas terhadap aspirin pemaparan terhadap


senyawa sulfit atau obat golongan beta blokerinfluenza, faktor mekanik atau

faktor psikis (misalnya stress).

C. Patofisiologi Asma

Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit

yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi

utama pada saat itu adalah suatu brokodilator, seperti beta agonis dan golongan

metil ksantin saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep baru yang

kemudian digunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan penyakit

inflamasi pada saluran nafas, yang di tandai dengan bronkokontriksi,

inflamasi,dan respon yang berlebihan terhadap rangsangan

(hyperresponsiveness), selain itu juga terdapat penghambatan terhadap aliran

udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkuus.

Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru dan

meningkatnya kesulitan bernafas. Selain itu juga terjadi peningkatan mukus

yang berlebihan.

Seacara klasik, asma dibagi dalam dua kategoru berdasarkan faktor

pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergik dan asma intrinsik atau

idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena

menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki

keluarga dengan riwayat penyakir alergi (baik ekstrim, ytikuria atau hay fever).

Asma intrinsik mengacu pada asma yang disebabka karena faktor di luar

mekanisme imunitas, dan umumnya dijumpai pada orang dewasa. Beberapa

faktor yang dpa memiu terjadinya asma antara lain : udara dingin, obat-obatan,
stress, dan olahraga. Khusus untuk asma yang dipicu oleh olahraga dikenal

dengan istilah exercise-induced asma.

Seperti telah dikatakan diatas, asma adalah adalah penyakit inflamasi

saluran afas. Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu respons

inflamasi, baik pada asma ekstrinsik mau[un intristik, tetapi karakteristik

inflamasi pada umumnya sama, yaitu terjadinya eosinofil dan limfosit serta

terjadinya pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran nafas dan peningkatan

permeabilitas mukosa. Kejadian ini bahkan dapat dijumpai juga pada penderita

asma yang ringan. Pada pasien yang meninggal karena serangan asma, secara

histologis terlihat adanya seumbatan (plugs) yang terdiri dari mukus

glikoprotein dan eksudat protein plasma yang memperangkap debris yang

berisi sel-sel epiteal yang terkelupas dan sel-sel inflamasi. Selain itu, terlihat

adanya lapisan subepitelial saluran nafas. Respons inflamasi ini terjadi hampir

di sepanjang saluran nafas. Dari trakea sampai ujung bronkiolus. Juga terjadi

hiperplasia dari kelenjar-kelenjar sel goblet yang hiperplasia mukus yang

kemudian turur menyumbat nafas.

Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,

mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama

yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara

lain adalah mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan mediator inflamasi utama

yang terlibat dalam asama adalah histamin, leukotrin, faktor kemotatik

esosinofil ( eosinofil Chemotactic faktor), dan beberapa sitokin yaitu :

interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13.


Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari

meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan

dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memivu

pelepasan berbagai senyawa alergen dari sel mast yang merupakan mediator

inflamasi, yaitu histamin, leokotrien, dan faktor kemotaktik eosinofil. Histamin

dan leokotrien merupakan bronkonstriktor yang poten. Sedangkan kemotaktik

eosinofil bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju tempat

terjadinya perdangan yaitu di bronkus.

Sel-sel inflamasi pada penyakit asma

Sel-sel inflamasi yang terlibat dalam patofisiologis asma terutama adalah sel

mast, limfosit, eosinofil. Di bagian ini alan dibicarakan satu-persatu peranan

dari setiap sel tersebut.

Sel mast. Sel ini sudah lama dikaitka dengan penyakit asma dan alergi,

karena ia dapat melepaskan berbagai mediator inflamasi, baik yang sudah

tersimpan atau baru disintesis, yang bertanggunjawab terhadap beberapa tanda

asma dan alergi, berbagai mediator tersebut antara lain adlah histamin, yang

disintesis dan disimpan di dalam granul sel dan dilepaskan secara cepat ketika

sel teraktivasi, prostaglandin PGD2 dan Leukotrien LTC4, yang baru

disintesisdalam waktu yang lebih lambat dan berperan dalam reaksi fase

lambat. Sel mast diaktivasi oleh alergen melalui ikatan suatu alergen IgE yang

telah melekat pada reseptornya (FC1 Reseptor) dipermukaan sel mast. Adanya

ikatan cross-linking antara alergen dan IgE tersebut memicu serangkaian

peristiwa biokimia di dalam sel yang kemudian menyebabkan degranulasi sel


mast. Degranulasi adalah peristiwa pecahnya sel mast yang menyebablan

pelepasan berbagai mediator inlamasi.

Sel mast terdapat pada lapisan epitelial maupun subepitelial saluran napas,

dan karenanya daoat berespon terhadap alergen yang terhirup. Terdapatnya

peningkatan jumlah sel mast pada cairan bronkoalveolar pasien asma

mengindikasikan bahwa sel ini terlibat dalam patofisiologis asma. Selain itu,

pada pasien asma juga peningkatan kadar histamin dan triptase pada cairan

bronkoalveolarnya, yang diduga kuat berasal dari sel mast yang terdegranulasi.

Beberapa obat telah dikembangkan untuk menstabilkan sel mast agar tidak

mudah terdegranulasi. Peran sel mast pada reaksi alergi fase lambat masih

belum diketahui pasti. Namun, sel mast juga mengandung faktor kemotaktik

yang dapat menarik eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas.

Peranan limfosit dalam asma semaik banyak mendapat dukungan fakta,

antara lain dengan terdapatnya produk-produk limfosit yait5u sitokin pada

biopsi bronkial pasien asma. Selain iitu, sel-sel limfosit juga di jumpai pada

cairan bronkoalveolar pasien asma pada reaksi fase lambat. Limfosit sendiri

terdiri dari dua tipe yaitu limfosit T dan Limfosi B. Limfosit T masih terbagi

lagi menjadi dua subtipe th1 dan th2 ( t helper 1 dan T helper 2). Sel Th2

memproduksi berbagai sitokin yang berperan dalam reaksi inflamasi sehingga

inflasi sehingga disebut sitokin proinflmasi, seperti IL-3, IL-4, IL-6, IL-9, dan

IL-13. Sitokin-sitokin ini nampaknya berfungsi dalam pertahanan tubuh.

Terhadap patogen ekstrasel. IL-4 dan IL-13 misalnya, dia bekerja mengaktivasi

sel limfosit B untuk memproduksi IgE, yang nantinya akan menempel pada sel-

sel inflamasi sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator inflamasi.


Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa eosinofil berkontribusi

terhadap patofisiologi penyakit alergi pada saluran nafas. Dijumpai adanya

kaitan yang erat antara keparahan asma dengan keberadaan eosinofil di saluran

nafas yang terinflamasi, sehingga inflamasi pada asma atau alergi sering

disebut juga inflamasi eodinofilia. Eosinofil mengandung berbagai protein

granul seperti : major basic portein (MBP), eosinophil Perooxidase (EPO), dan

Eosiphil cationic Protein (ECP), yang dapat menyebabkan kerusakan epitelium

saluran nafas, menyebabkan hiperresponsivitas bronkus, sekresi mediator dari

sel mast dan basofil, serta secara langsung menyebabkan kontaksi otot polos

saluran nafas. Selain itu, beberapa produk eosinofil seperti LTC4, PAF

(Pratelet-Activating Factor), Dan metabolit oksigen Toksik dapat menambah

Keparahan Asma.

Ada dua fase gejala asma, yaitu gejala fase akut dan gejala fase lambat.

Gejala fase akut terjadi dalam hitungan menit dan berakhir setekah beberapa

jam, dimana pada saat itu terjadi interaksi antar alergen dengan makrofag. Pada

saat ini juga terjadi up-regulasi sel limfosit T yang akan memproduksi berbagai

interleukin. Respon yang terjadi pada fase akut adalah bronkokonstriksi. Fase

lambat terjadi dalam 2-6 jam dan berakhir kurang lebih setelah 12 – 24 jam.

Sitokin seperti interleukin bekerja mengaktivasi eosinofil dan limfosit T di

saluran pernafasan untuk melepaskan mediator yang memicu serangan ulang

asma.

Pada asma non-atopik, alergi bukan penyebab serangan, tetapi pemicuan

serangan asma lebih banyak dilakukan oleh faktor lain seperti penggunaan obat

seperti aspirin, AINS, dan golongan beta bloker, adanya iritan kimiawi,
penyakit paru obstruksi kronis, udara kering, stres yang berlebihan dan

olahraga. Mekanismenya bukan melalui sel mast, tetapi melalui stimulasi pada

jalur refleks parasimpatik yang melepaskan asetilkolin, dan kemudian

mengkontraksi otot polos bronkus.

Peningkatan permeabilitas dan sensitivitas terhadap alergen yang terhirup,

iritan dan mediator inflamasi merupakan konsekuensi dari adanya cedera pada

epitel. Inflamasi kronis pada saluran pernafasan dapat menyebabkan penebalan

membran dasar dan seposisi kolagen pada dinding bronkial. Perubahan ini

dapat menyebabkan sumbatan pada saluran nafas secara kronis seperti yang

dijumpai pada penderita asma. Pelepasan berbagai mediator inflamasi

menyebabkan bronkokonstriksi, sumbatan vaskuler, permeabilitas vaskuler,

edema, produksi dahak yang kental, dan gangguan fungsi mukosiliar.

D. Faktor Risiko Asma

Faktor resiko yang secara murni berpengaruh meningkatkan risiko terjadinya

asma pada anak adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pemberian ASI secara

tidak eksklusif, adanya riwayat keluarga asma dan terpapar binatang

peliharaan. Risiko anak mengalami asma jika salah satu orang tua menderita

asma sebesar 25% dan jika kedua orang tua menderita asma maka risiko asma

pada anak akan meningkat menjadi 50%. Paparan hewan peliharaan merupakan

salah faktor risiko yang telah terbukti sebagai pencetus asma dari beberapa

mendapatkan risiko mengalami asma pada anak dengan keluarga yang

memiliki binatang peliharaan 16,94 kali dibandingkan anak dengan keluarga

yang tidak mempunyai hewan peliharaan. ( mangguang, 2016).


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu

(host) dan faktor lingkungan.

Faktor pejamu tersebut adalah:

 predisposisi genetik asma

 alergi

 hipereaktifitas bronkus

 jenis kelamin

 ras/etnik

Faktor lingkungan dibagi 2, yaitu :

a. Yang mempengaruhi individu dengan kecenderungan /predisposisi asma

untuk berkembang menjadi asma

b. Yang menyebabkan eksaserbasi (serangan) dan/atau menyebabkan gejala

asma menetap.

Faktor lingkungan yang mempengaruhi individu dengan predisposisi asma

untuk berkembang menjadi asma adalah :

a. alergen di dalam maupun di luar ruangan, seperti mite domestik, alergen

binatang, alergen kecoa, jamur, tepung sari bunga

b. sensitisasi (bahan) lingkungan kerja

c. asap rokok

d. polusi udara di luar maupun di dalam ruangan

e. infeksi pernapasan (virus)

f. diet

g. status sosioekonomi
h. besarnya keluarga

i. obesitas

Sedangkan faktor lingkungan yang menyebabkan eksaserbasi dan/atau

menyebabkan gejala asma menetap adalah :

a. alergen di dalam maupun di luar ruangan

b. polusi udara di luar maupun di dalam ruangan

c. infeksi pernapasan

d. olah raga dan hiperventilasi

e. perubahan cuaca

f.makanan, additif (pengawet, penyedap, pewarna makanan)

g. obat-obatan, seperti asetil salisilat

h. ekspresi emosi yang berlebihan

i. asap rokok

j. iritan antara lain parfum, bau-bauan yang merangsang

E. Gejala Asma

Gejala asma bersifat episodik, seringkali reversibel dengan/atau tanpa

pengobatan. Gejala awal berupa :

a. batuk terutama pada malam atau dini hari

b. sesak napas

c. napas berbunyi (mengi) yang terdengar jika pasien menghembuskan

napasnya

d. rasa berat di dada

e. dahak sulit keluar.


Gejala yang berat adalah keadaan gawat darurat yang mengancam jiwa. Yang

termasuk gejala yang berat adalah:

a. Serangan batuk yang hebat

b. Sesak napas yang berat dan tersengal-sengal

c. Sianosis (kulit kebiruan, yang dimulai dari sekitar mulut)

d. Sulit tidur dan posisi tidur yang nyaman adalah dalam keadaan duduk

Kesadaran menurun

F. Diagnosis Asma

Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan

fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi

pada pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar

mengi, karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting

adalah pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri atau

peak expiratory flow meter.

Beberapa kriteria diagnosis untuk itu selalu mempunyai berbagai

kelemahan, tetapi umumnya disepakati bahwa hiper reaktivitas bronkus tetap

merupakan bukti objektif yang perlu untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma

pada anak.

Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain:

1. Mengi pada saat menghirup nafas

2. Riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi

berulang dan nafas tersengal-sengal

3. Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari


4. Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga infeksi virus dan perubahan

musim serta sensitive terhadap alergi.

Spirometri adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP)

dan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat

tergantung kepada kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator

yang jelas dan kooperasi pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil

nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari

nilai VEP1< 80% nilai prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75%.Selain itu, dengan

spirometri dapat mengetahui reversibiliti asma, yaitu adanya perbaikan VEP1>

15 % secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator),

atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian

kortikosteroid (inhalasi/oral) 2 minggu.

Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)

Gambar 1. Macam-macam PEF meter

Alat ini adalah alat yang paling sederhana untuk memeriksa gangguan

sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah, mudah dibawa. Dengan PEF

meter fungsiparu yang dapat diukur adalah arus puncak ekspirasi (APE).

Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut :Penuntun

meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk menghirup


napas dalam, kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan

sangat keras dan cepat ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun

meteran akan bergeser ke angka tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang

dinyatakan dalam liter/menit

Gambar 2.Cara mengukur arus puncak ekspirasi dengan PEF meter

Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai APE < 80% nilai prediksi.

Selain itu juga dapat memeriksa reversibiliti, yang ditandai dengan perbaikan

nilai APE > 15 % setelah inhalasi bronkodilator, atau setelah pemberian

bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid

(inhalasi/oral) 2 minggu.

Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang

berbeda nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%.

Cara pemeriksaan variabilitas APE. Pada pagi hari diukur APE untuk

mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk mendapatkan nilai tertinggi.

APE malam – APE pagi


Variabilitas harian = ------------------------------------- x 100%
½ (APE malam + APE pagi)
G. Klasifikasi Asma

Berdasarkan frekuensi dan intensitas gejalanya, asma diklasifikasikan

menjadi 2, yaitu intermiten dan persisten.Golongan persisten sendiri masih

dibagi lagi menjadi 3, yaitu persisten ringan, persisten sedang, dan persisten

berat (Ikawati, 2014).Berikut tabel klasifikasi asma menurut Depkes RI,(2007).

DERAJAT ASMA GEJALA FUNGSI PARU


I. Intermiten Siang hari < 2 kali per minggu Variabilitas APE <
Malam hari < 2 kali per bulan 20%
Serangan singkat VEP1 > 80% nilai
Tidak ada gejala antar serangan prediksi
Intensitas serangan bervariasi APE > 80% nilai
terbaik
II. Persisten Ringan Siang hari > 2 kali per minggu, Variabilitas APE 20
tetapi < 1 kali per hari - 30%
Malam hari > 2 kali per bulan VEP1> 80% nilai
Serangan dapat prediksi
mempengaruhi aktifitas APE > 80% nilai
terbaik
III. Persisten Siang hari ada gejala Variabilitas APE >
Sedang Malam hari > 1 kali per 30%
minggu VEP1 60-80% nilai
Serangan mempengaruhi prediksi
aktifitas APE 60-80% nilai
Serangan > 2 kali per minggu terbaik
Serangan berlangsung berhari-
hariSehari-hari menggunakan
inhalasi ß2-agonis short acting

IV. Persisten Berat Siang hari terus menerus ada Variabilitas APE >
gejala 30%
Setiap malam hari sering VEP1 < 60% nilai
timbul gejala prediksi
Aktifitas fisik terbatas APE < 60% nilai
Sering timbul serangan terbaik
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan derajat keparahan

APE = Arus puncak ekspirasi


FEV = Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik
Tabel 2.Klasifikasi tahapan penyakit asma berdasarkan keparahan penyakitnya pada

pasienkategori umur 5 -11 tahun dan ≥ 12 tahun dewasa (Ikawati, 2014).


Komponen Keparahan Klasifikasi keparahan asma
Intermiten Persisten
Ringan Sedang Berat
Gejala ≤ 2 hari/ minggu >2 Setiap hari Sepanjang hari
hari/minggu,
tapi tidak setiap
Gangguan hari
Terbangun ≤ 2 hari/bulan 3-4 x/bulan Setiap hari Beberapa kali
malam hari sehari
Catatan: Penggunaan β- ≤ 2 hari/minggu >2 hari/minggu Beberapa kali
Nilai agonis untuk tetapi tidak >1x sehari
Normal mengatasi sehari Setiap hari
FEV1/FV gejala
C Pengaruh Tidak ada Ada sedikit Lebih banyak Aktivitas sangat
8-19 th terhadap keterbatasan keterbatasan terbatas
85% aktivitas normal aktivitas aktivitas
20-39 th Fungsi paru - Normal - FEV1 - FEV1 60- - FEV1<
80% diantara >80% 80% 60%
40-59 th Umur ≥ 12 th serangan - FEV1 - FEV1
75% s/d dewasa - FEV1 /FVC /FVC
>80% normal - FEV1/FV berkurang
- FEV1/F C sampai
VC berkuran >5%
g
60-80 th Normal 5%
70%
Umur 5-11 th - Normal - FEV1 ≥ - FEV1 60- - FEV1<60
diantara 80% 80% %
serangan - FEV1/F - FEV1/FV - FEV1/FE
- FEV1> VC > C 75- C <75%
80% 80% 80%
- FEV1/F
VC >
85%
Serangan yang 0 – 1 x/tahun ≥ x/tahun
Resiko membutuhkan Pertimbangan keparahan dan interval sejak serangan terakhir. Frekuensi
kortikosteroid dan keparahan mungkin berfluktuasi dari waktu ke waktu untuk pasien
oral sistemik pada semua kategori keparahan
Resiko tahunan relatif serangan mungkin terkait dengan nilai FEV1
H. Penatalaksanaan Terapi Asma

1. Tujuan Terapi

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan

mempertahankankualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa

hambatan dalam melakukanaktivitas sehari-hari.Tujuan terapi asma seperti

ditetapkan oleh panduan NAEPP 2007 adalah Memungkinkan pasien menjalani

hidup yang normal dengan hanya sedikit gangguan atau tanpa gejala. Beberapa

tujuan yang lebih rinci antara lain adalah:

1. Mencegah timbulnya gejala yang kronis dan mengganggu, seperti batuk, sesak

nafas

2. Mengurangi penggunaan beta agonis aksi pendek

3. Menjaga fungsi paru “mendekati” normal

4. Menjaga aktivitas pada tingkat normal (bekerja, sekolah, olah raga, dll)

5. Mencegah kekambuhan dan meminimalisasi kenjungan darurat ke RS

6. Mencegah progresivitas berkurangannya fungsi paru, dan untuk anak-anak

mencegah berkurangnya pertumbuhan paru-paru

7. Menyediakan farmakoterapi yang optimal dengan sesedikit mungkin efek

samping

Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan

terkontrol bila :

1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam

2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk exercise

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis ß2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak

diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20 %

5. Nilai APE normal atau mendekati normal

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)

7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

2. Strategi Terapi

a. Terapi Non Farmakologi

Terapi non-farmakologi meliputi dua komponen utama, yaitu edukasi

pada pasien atau yang merawat mengenai bebrbagai hal tentang asma, dan

kontrol terhadap faktor-faktor pemicu serangan antara lain adalah debu, polusi,

merokok, olah raga, perubahan temperatur secara ekstrim, dll., termasuk

penyakit-penyakit yang mempengaruhi kejadian asma, seperti rinitis, sinusitis,

gastro esophagal refluks disease (GERD), dan infeksi virus.

Untuk memastikan macam alergen pemicu serangan pasien, maka

direkomendasikan untuk mengetahui riwayat kesehatan pasien serta uji kulit (

skin test). Jika penyebab serangan sudah diidentifikasi, pasien perlu di edukasi

mengenai berbagai cara mencegah dan mengatasi diri dalam serangan asma.

Edukasi kepada pasien juga meliputi pengetahuan tentang patogenesis asma,

bagaimana mengenal pemicu asmanya dan mengenal tanda-tanda awal

keparahan gejala, cara penggunaan obat yang tepat terutama taknik inhalasi

yang benar, dan bagaimana memonitor fungsi paru-parunya. Selain itu juga

dapat dilakukan fisioterapi napas (senam asma), vibrasi dan atau perkusi

toraks dan batuk yang efisien.


b. Terapi Farmakologi

Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan

yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan

penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan

jangka panjang untuk mengontrol gejala asma, dan pengobatan cepat (quick-

relief medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang

digunakan untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, beta-

2 agonis aksi panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromolin,

modifier leukotrien, dan golongsn metil ksantin. Sedangkan untuk

pengobatan cepat sering digunakan suatu bronkodilator (beta-2 kortikosteroid

oral (sistemik). Obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan

nebulizer, meterd dose inhaler (MDI) dan dry-powder inhaler (DPI).

c. Algoritma Tatalaksanan Terapi

Pengobatan asma terdiri dari beberapa langkah yang tergantung pada

klasifikasi keparahan serangan asma. Algoritma penatalaksanaan asma dapat

dilihat pada gambar dibawah untuk serangan yang terjadi dirumah. Kontrol

terhadap gejala asma harus dicapai secepat mungkin. Untuk itu, pengobatan

dapat dimulai pada tahap yang paling tepat terhadap keparahan gejalanya.

Penggunaan kortikosteroid oral terutama ditunjukkana untuk pasien yang

membutuhkan pengobatan cepat.


Gambar 3. Algoritma penatalaksanaan serangan asma yang terjadi dirumah

Nilaikeparahan

Ukur PEF: Nilai < 50% merupakan eksaserbasi berat

Catat gejala dan tanda, derajat batuk, sesak napas, mengi dan
sesak didada berkotrelasi denga keparahan eksaserbasi.
Penggunaan otot-otot perut untuk bernafas menujukkan adanya
eksaserbasi berat.

Pengatasan awal

 Inhalasi aagonis beta2 aksi pendek:


 Sampai 3 kali 2-4 semprot dengan MDI
dengan interval 20 menit atau
menggunakan nebulizer

Good response Respon buruk


Respon tidak sempurna
Oksaserbasi ringan PEF < 50% prediksi
Eksaserbasi sedang PEF
mengi yang nyata dan
PEF > 80% prediksi, tidak 50%-80% terprediksi
nafas tersengal-sengal
mengi atau nafas tersengal- mengi yang persisten dan
sengal. Respon gterhadap nafas tersengal-sengal.  tambah
beta-2 agonis bertahan kortikosteroid oral
 tambahkan
sampai 4 jam.  ulangi beta2 agonis
kortikosteroid oral
segera
 Boleh teruskan bera2-  lanjutkan beta2-agonis
 jika kondisi masih
agonis setiap 3-4 jam berat dan tidak
selama 24-48 jam berespon, hubungi
 Untuk pasien yang dokter dan
menggunakan Hubungi dokter persiapkan untuk
kortikosteroid inhalasi, masuk bagian
untuk instruksi
tingkatkan dosis 2 kali Gawat Darurat RS.
lebih lanjut
selama 7-10 hari.

Hubungi dokter Bawa ke bagian


untuk instruksi Darurat RS
lebih lanjut
Serangan asma sebaiknya tidak disepelekan, karena bisa mengancam jiwa.

Serangan dikatakan berat dan perlu segera mendapat perawatan medis jika:

 pasien tidak dapat bernafas dalam keadaan istrahat, badan sampai membungkuk

kedepan, tidak dapat berkata-kata, hanya bisa berkata sepatah-sepatah dan tidak

bisa membentuk satu kalimat utuh (seperti bayi, dia berhenti menyusu), terlihat

gelisan, mengantuk/lesu, atau kecepatan bernafas lebih dari 30 menit

 suara mengi yang keras atau bahkan tidak terdengar

 denyut jantung lebih dari 120/menit (untuk bayi 160/menit)

 PEF < 60% prediksi, bahkan pada awal pengobatan

 pasien kelelahan

Pasien yang mendapat serangan akut asma dan dirawat di RS, perlu mendapat

perawatan seperti tersaji dalam algoritma dibawah ini:

Assesment awal

Riwayat, uji fisk (auskultasi, penggunaan obat accessory,


denyut jantung pernafasan), PEF atau FEV, saturasi oksigen
dan test lain yang diperlukan

FEV1 of PEV > 50% Kegagalan respirasi yang


FEV1 of PEV < 50%
aktual
 -inhalasi beta2-agonis (eksaserbasi berat)
dengan MDI atau  -intubasi dan ventilasi
 -inhalasi beta2-agonis
nebulizer, sampai 3 dosis mekanik dengan O2
dosis tinggi dan
pada satu jam pertama 100%
antikolinergik dengan
 -oksigen untuk mencapai nebulisasi setiap 20 min  -nebulisasi beta2-agonis
O2 > atau sama dengan atau sevcara kontinyu dan antikolinerginya
90% selama 1 jam  Kortikosteroid iv
 -kortikosteroid oral jika  -oksigen untuk mencapai
tidak ada respon segera saturasi O2 > 90%
atau jika pasien  -kortikosteroid sistemik Masuk ke ICU
sebelumnya
oral
Ulangi asesmen
Gejala, uji fisik, PEF, saturasi O2 dan tes lain yang diperlukan

Eksaserbasi sedang Eksaserbasi berat


FEV1 atau PEF 50%-80% prediksi, uji fisik: FEV1 atau PEF < 50% prediksi, uji fisik:

Gejala sedang Gejala berat, penggunaan otot accessory, retraksi dada

 -inhalasi beta2-agonis aksi pendek setiap 60 Riwaya: pasien beresiko tinggi


min Tidak ada perbaikan sejak awal pengobatan
 -kortikosteroid sistemik oral
 -inhalasi beta2-agonis aksi pendek, setiap jam atau
 -lanjutkan treatmen sampai 1-3 jam, sampai
kontinyu, +inhalasi antikolinergik
ada perbaikan
 -oksigen

Respon baik
Respon parsial Respon buruk
 -FEV1 atau PEF > 70%
- FEV1 atau PEF > 50%  FEV1 atau PEF < 50%
 -respon bertahan sampai 60
tetapi < 70%  PCO2> atau sama dengan
min setelah pengobatan
42 mm Hg
terakhir
 -uji fisik: gejala berat,
 -tidak ada stress/tekanan
lemah/lesu, bingung
 -uji fisik:normal
Keputusan individual

Dirawat di RS atau
pulang Masuk ke ICU RS
Boleh pulang dirumah  Inhalasi beta2-agonis
Dirawat di RS setiap jam atau
 -lanjutkan pengobatan
 -inhalasi beta2- kontinyu+inhalasi
dengan inhalasi beta2-
agonis+inhalasi antikolinergik antikolinergik
agonis
 -kortikosteroid sistemik (oral  Kkortikosteroid iv
 -lanjutkan kur
atau intravena)  Oksigen
kortikosteroid sistemik oral
 -oksigen  Mungkin perlu intubasi
 -edukasi pasien
 -monitor FEV1 atau PEF O2 dan ventilasi mekanik
Pulang kerumah

 Lanjutkan pengobatan dengan beta2-agonis


 Lanjutkan kur kortikosteroid sistemik oral
 Edukasi pasien

Gambar 5. Algoritma tatalaksana terapi serangan asama akut di RS


(diadaptasi dari ref no 51)

Dibawah ini disajikan tabel dosis obat-obat yang dapat digunakan untuk
serangan akut asma.
Tabel 3. Dosis obat yang digunakan pada serangan asma akut
Dosis
Nama obat < atau sama dengan 6
>6 tahun keatas
tahun
Inhalasi beta agonis
0,15 mg/kg setiap 20 min
2,5-5 mg setiap 20 min
untuk 3 kali, lalu 0,15-0,5
untuk 3 kali, lalu 2,5-10
mg/kg sampai 10 mg
Salbutamol (5 mg/mL) mg setiap 1-4 jam jika
setiap 1-4 jam jika perlu,
perlu atau 10-15 mg/jam
atau 0,5/kg/jam dengan
kontinyu
nebulisasi kontinyu
4-8 semprot setiap 30 4-8 semprot setiap 20 min
Salbutamol MDI (90
min sampai 4 jam, lalu untuk 3 kali, lalu setiap 1-
mcg/semprot)
setiap 1-4 jam jika perlu 4 jam jika perlu
Beta-agonis sistemik
0,3-0,5 mg setiap 20 min 0,01 mg/kg sampai 0,5
Epinefrin 1:1000 (1
untuk 3 kali secara mg setiap 20 min untuk 3
mg/ml)
subkutan kali secara subkutan
Kortikosteroid
60-80 mg dalam 3-4
1 mg/kg setiap 6 jam
Prednison, dosis terbagi untuk 48
selama 48 jam, lalu 1-2
metilprednisolon,prednis jam, lalu 30-40 mg/hari
mg/kg/hari dalam 2 dosis
olon sampai PEF mencapai
terbagi sampai PEF 70%
70%
a) Penatalaksanaan asma kronis (terapi pemeliharaan )

Untuk menatalaksana asma kronis, disarankan pendekatan yang disebut

stepwise approach, yang ditujukan unutk membantu menentukan keputusan

klinik, disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada panduan NAEPP tahun 2007,

pendekatan stepwise dibedakan dalam 3 kategori umur, yaitu umur 0-4 tahu,

umur 5-11 tahun dan umur > atau samadengan 12 th-dewasa. Pada panduan

NAEPP tahun 2007 terdapat 6 step pendekatan, yang pada prinsipnya jika

asmanya terkontrol, penatalaksanaan disesuaikan sengan step yang lebih tinggi

(step up). Pendekatan stepwise pada setiap kategori umur disajikan pada

gambar 6-4, 6-5, dan 6-6.


Asthma Asma persisten:terapi pemeliharaan
intermite
Konsultasikan dengan dokter spesialis jika diperlukan terapi tahap
n
4/lebih.
Pertimbangan konsultasi pada terapi tahap 3 Tingkatkan
tahap terapi
jika perlu
Tahap 6
(pertama,
Tahap 5
Pilihan: cek
Tahap 4 kepatuhan
Tahap 3 Pilihan: KSI dosis
Tahap 2 Pilihan: KSI dosis tinggi+bet teknik
Pilihan: tinggi+beta a agonis menggunaka
KSI dosis
Pilihan: KSI dosis aksi n inhaler,
sedang+be - leikotrin
Kortikoste rendah+ panjang kontrol
ta-agonis atau
roid beta lingkungan,
aksi teofilinago
inhalasi agonis Alternatif: dan kondisi
panjanhg nis aksi
(KSI) aksi KSI dosis komorbid)
panjang
dosis panjang. Alternatif: tingi+anta
rendah Antagonis KSI dosis Alternatif: gonis Amati
Tahap 1 leukotrin, tinggi KSI dosis leukotrin, apakah
Alternatif, atau atau gejala
tinggi+anta
Pilihan: Kromolin, terkontrol
teofilin gonis teofilin
Beta- antagonis
agonis leukotrin, Alternatif: Turunkan
aksi medokrom KSI dosis tahap terapi
pendek atau sedang jika
jika perlu teofilin mungkin
dan asma
terkontrol
Setiap tahap: lakukan edukasi pasien,kontrol lingkungan, dan penatalaksanaan kondisi
baik selama
komorbiditas
sedikitnya 3
Tahap 2-4 pertimbangkan imunoterapi untuk pasien yang menderita asma alergi bulan
penatalaksanaan kondisi pasien

Pengobatan fase akut untuk semua pasien:

 Beta agonis aksi pendek digunakan jika perlu untuk mengatasi gejala. Intensitas
pengobatan tergantung pada keparahan gejala, sampai 3 kali pemberian setiap interval
20 menit jika diperlukan
 -perhatian:penggunaan beta agonis yang meningkat atau atau >2 hari dalam seminggu
menunjukkan gejala yang kurang terkontrol dan perlu meningkatkan tahap terapi

Gambar 6. Pendekatan stepwise untuk penatalaksanaan asma


pada kategori umur 5-11 tahun
b) Obat-Obat Yang Digunakan

Pada asma yang ringan dan persisten atau yang lebih parah pada anak-

anak dan memerlukan pengobatan jangka panjang untuk mengontrol gejala,

kortikosteroid inhalasi merupakan pilihan yang direkomendasikan. Inhalasi

kortikosteroid, terutama jika dosis rendah cukup aman bagi anak-anak. Namun

demikian perlu adanya pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek

samping seperti gangguan pertumbuhan.

Kortikosteroid oral sebaiknya digunakan jika serangan asmanya sedang

sampai berat. Selain itu, bagi anak-anak berumur 5 tahun ke bawah,

penggunaan nebulizer atau MDI dengan masker lebih dianjurkan untuk

mengoptimalkan obat yang dihirup. Selain kortikosteroid, alternatif obat

lainnya adalah golongan kromolin, seperti nedokromil atau sodium kromoglikat

inhalasi, dan modifier leukotriene yaitu montelukast. Tabel menyajikan

penatalaksanaan serangan asma akut pada anak-anak.

Tabel 4. Penatalaksanaan serangan asma akut pada anak-anak.


Terapi Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat
Perawatan di Mungkin tidak
Mungkin perlu Ya, pertimbangkan ICU
RS perlu
Mungkin tidak
Oksigen Monitor SaO2 Perlu
perlu
6 - 12 semprot setiap 20
menit dgn 3x dosis dlm 1
6 atau 12 semprot,
jam
6 atau 12 jika respon awal
Jika mengancam jiwa:
semprot (@ 100 tidak cukup, ulangi
Salbutamol nebulisasi salbutamol
µg), amati setiap dengan interval 20
secara kontinyu, kalau
20 menit menit untuk dosis
tidak berespon berikan IV
berikutnya
5 µg/kg selama 10 menit,
setelah itu 1-5 µg/kg 1
menit
2 atau 4 semprot setiap 20
Ipratropium Tidak perlu Opsional menit x 3 dosis dlm 1 jam
pertama
Prednisolon oral 1 mg/kg
perhari sampai 3 hari
Jika mengacam jiwa:
prednisolon IV 1 mg/kg
Prednisolon oral 1
Steroid Ya setiap 6 jam pada hari 1,
mg/kg perhari
kemudian setiap 12 jam
hari ke 2, selanjutnya
setiap hari pada hari
berikutnya.
Hanya di ICU: loading
dose 10 mg/kg, dosis
Aminofilin Tidak Tidak pemeliharaan: 1,1
mg/kg/jam (> 9 th), 0,7
mg/kg/jam (< 9 th)

c) Inhalasi kortikosteroid

Kortikosteroid inhalasi hingga saat ini masih merupakan obat yang

paling efektif untuk penatalaksanaan asma, dan ia diindikasikan untuk

pencegahan jangka panjang dan pengontrolan gejala asma. Steoid inhalasi

sangat lipofilik dan masuk secara cepat ke sel target disaluran nafas dan

berikatan dengan reseptor glukokortikoid disitosol atau dinukleus. Aktivitas

reseptor glukokortikoid oleh senyawa steroid akan mengaktifkan factor

transkripsi dan memicu berbagai respon biologis. Antara lain, steroid inhalasi

dapat mengurangi jumlah eosinophil yang berada dalam sirkulasi dan jumlah

sel mast disaluran pernafasan dan meningkatkan jumlah reseptor adrenergik β2.

Sterid juga men-down regulasi ekspresi gen untuk sintsis berbagai sitokin,

sehingga menekan produksi berbagai sitokin penting yang berperan pada


inflamasi asma. Selain itu, steroid juga mengurangi hiperresponsivitas saluran

nafas dengan mengurangi inflamasi. Penggunaaan steroid secara kronis

mengurangi gejala dan meningkatkan fungs paru. Obat ini memberikan

pencegahan jangka panjang terhadap gejala asma; menekan, mengontrol dan

menyembuhkan inflamasi jika digunakan secara teratur. Namun demikian,

steroid inhalasi tidak efektif untuk mengatasi serangan akut.

Untuk mengontrol gejala, direkomendasikan untuk menggunakan dosis

terendah, yaitu : 2-4 hirupan sebanyak 2-4 kali sehari. Efek terbaik inhalasi

steroid dapat dicapai pada orang dewasa pada dosis relatif rendah, yaitu yang

ekivalen dengan 400 µg budesonide. Kurva dosis respon pada terapi inhalasi

kortikosteroid akan mendatar (flat) pada banyak pengukuran pada dosis rendah

sampai medium. Peningkatan dosis hanya memberikan efek, dan justru

meningkatkan risiko efek samping, namun demekian terdapat variasi individual

dalam hal respon terapi terhadap inhalasi steroid, sehingga sebagian pasien

mungkin memerlukan dosis lebih tnggi untuk mencapai efek optimalnya.

Efikasi dai beberapa produk inhalasi steroid bervariasi jika diberikan

dengan alat yang berbeda. Steroid inhalai ada yang tersedia dalam bentuk

serbuk, dengan harapan dapat mencapai paru-paru dengan lebih baik.

Contohnya adalah budesonid. Untuk mencapai efektivitas yang maksimum,

diperlukan kira-kira waktu 2 minggu penggunaan kortikosteroid inhalasi secara

kontinyu. Untuk menjada efikasinya dalam mengontrol asm, NAEPP 2007

menyarankan penambahan bronkodilator aksi panjang terhadap inhalasi steroid

dosis rendah atau sedang, daripada menggunakan inhalasi steroid dosis tinggi.
Steroid inhalasi tidak direkomendasikan untuk serangan akut dan harus

digunakan dengan hati-hati pada anak-anak. Namun demikian, obat in dapat

diberikan pada anak-anak balita dengan suatu spacer atau masker jika obat-obat

penstabil sel mast tidak efektif. Obat steroid inhalasi umumnya dapat

ditoleransi dengan baik. Efek sampingnya minimal dan dapat diminimalkan

lagi dengan baik. Efek sampingnya minimal dan dapat diminimalkan lagi

dengan pengunaan spacer. Reaksi samping (adverse reaction) yang paling

sering terjadi adalah kandidiasis orofaringeal, disfonia, serak dan batuk, sakit

kepala. Sebagian besar reaksi samping ini tergantungdosis dan dapat dikurangi

dengan penggunaan spacer atau dengan mencuci mulut setelah penggunaan.

Kortikosteroid sistemik memiliki aksi-aksi yang serupa denagn

kortikosteroid topical, namun memiliki efek samping sistemik yang lebih besar.

Penggunaan steroid sistemik jangka panjang dapat menyebabkan efek-efek

samping seperti osteoporosis, hiertensi arterial, diabetes, obesitas, katarak,

glaucoma, penipisan kulit, dan kelemahan otot. Karena itu bentuk sistemik ini

sebaiknya digunakan jika obat-obat lain sudah tidak memberikan perbaikan,

atau pada kondisi berat seperti status asmatikus. Setelah serangan akut teratasi

(mencapai 50% FEV, yang biasanya dicapai dalam 48 jam pertama), dosis

steroid sebaiknya diturunkan menjadi 1mg/kg pada anak-anak dan 60mg/kg

pada dewasa, dalam dosis tunggal atau terbagi.

Untuk mencegah dan mengatasi efek samping pengunaan steroid, baik

inhalasi maupun sistemik, pada pasien dewasa direkomendasikan pemberian

suplemen kalsium (1000-1500 mg/hari) dan vitamin D (400-800 unit sehari),


terutama pada wanita yan memasuki masa perimenopause, untuk mencegah

risiko osteoporosis.

Tabel 5. Dosis kortiktikosteroid inhalasi


Obat Dosis dewasa Dosis anak-anak

Betklometason 200 µg x sehari atau 100 µg 50-100 µg 2-4 x sehari


Dipropionat 3-9 x sehari (pada kondisi atau 100-200 µg 2x sehari
berat dosis awal 600-800 µg
sehari )
Budesonid 200 µg 2x sehari, 200-800 µg sehari dalam
Asma ringan : 200 µg sehari dosis terbagi (asma berat :
Asma berat : sampai 800 800 µg)
µg/hari
Flutilkason 100-250 µg 2x seahri, dapat 4-16 th : 50-100 µg 2x
dinaikkan sampai 1 mg 2x sehari
sehari
Tabel 6.Perkiraan ekuipotensi dosis harian inhalasi glukokortikosteroid
untuk dewasa dan anak diatas 5 tahun
Nama obat Dosis rendah (µg) Dosis sedang Dosis tinggi harian
harian (µg) (µg)
Beklometason 200-500 >500-1000 >1000-2000
Propionate
Budesonid 200-400 >400-800 >800-1600

Ciclesonid 80-160 >160-320 >320-1280

Flunisoid 500-1000 >1000-2000 >2000

Flutikason 100-250 >250-500 >500-1000


propionat
Mometaso furoat 200-400 >400-800 >800-1200

Triamsinolon 400-1000 >1000-2000 >2000


asetonid
d) Agonis β-2 adrenergik

Pada terapi asma, obat golongan β-2 adrenergik merupakan bronkodilator

paling poten yang tersedia danmerupakan obat penyelamat untuk

melonggarkanjalan napas pada serangan asma. Obat ini bekerja dengan

mengaktivasi adenilat siklase sehingga meningkatkan kadar siklik AMP intrasel,

dan merelaksasi otot polos bronkus. Berdasarkan durasi kerjanya, obat-obat

golongan β2 terbagi menjadi obat aksi pendek dan aksi panjang. Obat-obat aksi

pendek bekerja dengan cepat, namun aksinya tidak bertahan lama. Umumnya

digunakan untuk pengobatan segera pada seragan akut. Sedangkan obat-obat

aksi panjang umumnya aksinya bisa bertahan sampai 12 jam, tetapi onsetnya

lambat , sehingga tidak tepat untuk pengobatan serangan akut. Contoh obat β-

agonis aksi cepat adalah albuterol/salbutamol,turbutalin, pirbuterol, levarbuterol,

fenoterol, sedangkn yang beraksi lambat adalah salmeterol dan formoterol.

Karena obat golongan β2 agonis ini masih bisa berikatan denagan reseptor β1

(walaupun lemah), maka golongan obat ini memiliki efek samping

kardiovaskuler. Karena itu, obat-obat ini perlu diberikan dengan hati-hati pada

pasien dengan riwayat gangguan kardiovaskuler.

Tabel 6. Selektivitas relative potensi dan durasi aksi agonis β adrenergic

Durasi Durasi Aktivitas


Selektivi Selektivitas Potensi aksi
Obat aksi(jam) sistemik
-tas β1 β2 relatif (jam)
bronkodilatasi proteksi Ya / tidak
Isoproterenol ++++ ++++ 1 0,5-2 0,5-1 Ya
Metaproterenol +++ +++ 15 3-4 1-2 Tidak
Isoetarin ++ +++ 6 0,5-2 0,5-1 Ya
Albuterol + ++++ 2 4-8 2-4 Tidak
Bitolterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya
Pirbuterol + ++++ 5 4-8 2-4 Ya
Terbutaline + ++++ 4 4-8 6-12 Ya
Formoterol + ++++ 0,24 >12 6->12 Tidak
Salmeterol + ++++ 0,5 >12 6->12 Tidak

Obat golongan β2 agonis aksi panjang seperti formoterol dan salmeterol

sebaiknya tidak digunakan secara tunggal pada asma karena tidak berefek terhadap

inflamasi saluran napas. Obat-obat ini paling efektif jika digunakan dalam

kombinasi dengan steroid inhalasi, misalnya salmeterol 25 µg dengan flutikason 50

µg (seretide), dan terutama dipakai sebagai terapi pemeliharaan. Dibawah ini adalah

beberapa kombinasi jenis β-agonis aksi panjang dengan golongan kortikosteroid.

Tabel 7. Kombinasi sediaan inhalasi steroid dan β-agonis aksi panjang


Dengan golongan kortikosteroid.
Dosis yang
Sediaan Hirupan/
Formulasi tersedia (µg) penggunaan
inhalasi hari
ICS/LABA
100/50
Fluticasone 1 hirupan
DPI 250/50 Pemeliharaan
Propionate/salmeterol x2
500/50
50/25
Fluticasone 2 hirupan
MDI 125/25 Pemeliharaan
Propionate/salmeterol x2
250/25
80/4,5 1-2 Pemeliharaan
Budesonide/formoterol DPI 160/4,5 hirupan x dan terapi
320/9,0 2 akut
80/4,5 2 hirupan
Budesonide/formoterol MDI Pemeliharaan
160/4,5 x2
1-2
Beclometason/formoterol MDI 100/6 hirupan x Pemeliharaan
2
100/5 2 hirupan
Mometason/formoterol MDI Pemeliharaan
200/5 x2
Keterangan :
ICS = inhalation of corticosteroid
LABA = long acting beta agonist
Salmeterol dan formoterol memiliki durasi efek bronkodilatasi yang mirip,

tetapi ada sedikit perbedaan farmakologis, yaitu bahwa farmoterol memiliki onset

yang lebih cepat dari pada salmeterol, yang membuat farmoterol juga mungkin

dipakai untuk pengobatan untuk pengatasan gejala.

Penggunaan obat golongan B-agonis inhalasi memberikan efek samping

yang lebih sedikit dari pada pemberiaan per-oral, meliputi takikardi, tremor otot

rangka, hypokalemia, hiperglikemia, peningkatan kadar asam laktat, dan sakit

kepala. Obat golongan B2 agonis ini dapat berinteraksi dengan simpatomimetik

lain, antidepresan trisiklik, dan inhibitor MAO, dan aksinya diantagonis oleh

golongan beta bloker.

Obat B-agonis tersedia dalam berbagai bentuk sediaan yaitu oral, intravena,

inhalasi, nebulizer, dan MDI degan suatu spacer oleh tenaga yang trampil. Jika

sudah membaik, dosis dapat diturunkan sesuai dengan kondisi pasien. Obat ini juga

merupakan pilihan untuk exercise-induced asthma, yang memberikan proteksi

sampai 2 jam setelah inhalasi.

Tabel 8. Dosis obat-obat golongan B-agonis secara oral dan inhalasi


Dosis dan intravena
Obat
Dewasa Anak-anak
Inhalasi
Salbutamol / albuterol 100-200 ug(1-2 hirupan ) 100 ug (1 hirupan )
Eformoterol 12 ug/inhalasi
>6 th: 0,2-1,0 mg (1-2
Fenoterol 0,2-1,0 mg (1-2 hirupan )
hirupan )
>6 th : 50 ug (2 hirupan ),
50 ug (2 hirupan )2x
Salmeterol 2x sehari
sehari

Oral
Salbutamol 4 mg, 3-4 x sehari, maks 8 < 2 th : 200 ug/ kg 4 x
mg sehari
2-6 th : 1-2 mg 3-4 x
sehari
6-12 th: 2 mg 3-4 x sehari
< 3 th : ½ sendok takaran,
2-3 x sehari
2,5 mg 3 x sehari, bias 3-7 th : ½- 1 sendok
Terbutalin dinaikan sampai 5 m 3x takaran (1,25mg ), 2-3 x
sehari sehari 7-15 th : 1-2
sendok takaran (2,5 mg),
2 x sehari
12-24 ug, 2 kali sehari,
Eformotrol
maks 48 ug

e) Antikolinergik

Antikolinergik tidak direkomendasikan untuk diberikan secara tunggal

pada serangan akut asma, dan ia siberikan dalam kombinasi dengan B-agonis

pada keadaan serangan akut yang berat. Penambahan penggunaan antikolinergik

inhalasi seperti ipratropium bromide umumnya menghasilkan perbaikan

padafungsi paru 10-15% dibandingkan denga jika hanya menggunakan B-agonis

saja. Pada pasien anak dan dewasa, penggunaan impatropium bromide dosis

ganda ayang ditmbahkan pada terapi awal juga mengurangi lama rawat di RS

pada sekelompok pasien yang FEV-nya kurang dari 30% terprediksi.

Ipratropium bromide adalah suatu senyawa amina kuertener yang sulit diabsorpsi

sehingga tidak banyak memberikan efek sistemik. Namun penggunaanya

menggunakan nebulizer harus hati-hati karena jika ada yang mengenai mata,

akan menyebakan dilatasi pupil sehingga terjadi gangguaan penglihatan.

Antikolinergik yang memiliki aksi panjang adalah tiotropium bromida,

yang selama ini diindikasikan untuk terapi pemeliharaan pada penyakit paru
obstruksi kronis (PPOK). Satu studi klinik melaporkan bahwa tiotropium

bromide dapat digunakan untuk terapi step up pada pasien asma yang tidak

terkontrol , sebagai alternative dari penggunaan inhalasi steroid dosis tinggi atau

kombinasi steroid dengan LABA. Namun karena studi ini baru dilakukan pada

sejumlah pasien terbatas, penggunaanya dalam terapi pemeliharaan asma masih

memerlukan penelitian lebih lanjut dan belum direkomendasikan penggunaanya

dalam terapi pemeliharaan asma.

f) Penstabil sel mast

Obat-obatan yang termaksut golongan penstabil sel mast adalah sodium

kromogilak dan nedokromil, yang merupakan obat alternative pada asma

persisten ringan. Mereka diduga bekerja dengan cara mencegah masuknya

kalsium kedalam sel mast. Diketahui bahwa peningkatan kalsium intrasel sangat

ipergunakan untuk proses degranulasi atau pelepasan histamine dan mediator

inflamasi lainya dari sel mast. Dengan mencegh masuknya kalsium, maka obat

tersebut dikatakan dapat menstabilkan sel mast sehingga tidak melepaskan

mediaotor-mediator yang terlibat dalam patofisiologis asma. Selain itu,

mekanisme nedokromil dan kromolikat diperkirakan melibatkan blockade kanal

klorida. Obat ini utamanya berguna untuk mencegah bronkospasma yang dipicu

oleh rangsangan olahraga dan udara kering.

Dosis yang direkomendasikan adalah 2-4 inhalasi 3-4 kali sehari. Obat

ini lebih tepat digunakan sebagai profilaksis jangka panjang, dan tidak tepat

dignakan untuk yang memerlukan pengobatan cepat. Golongan kromolin ini

hanya efektif dalam bentuk inhalasi. Konsentrasi obat dalam plasma terlihat

kurang lebih 15 menit setelah inhalasi, waktu paruhnya 45-100 menit. Untuk
pengobataan jangka panjang, perlu waktu 1-2 minggu untuk mencapai efektivitas

nya. Beberapa efek sampingobat ini antara lain sakit kepala, iritasi nasal,

bronkospasme sementara, batuk, teggorokan kering, dan ruam kulit.

Natrium kromogilat dan nedokromil dilaporkan dapat mengontrol gejala

asma dengan lebih baik dibandingkan placebo pada beberapa ii klinik dan

memberikan proteksi terhadap serangan asma, terutama pada anak-anak. Hasil-

hasil uji klinik ini, bersama dengan profil keaamanya yang baik, mendukung

pertimbangan penggunaanya sebagai salah satu pilihan terapi. Namun demikian ,

secara keseluruhan, hasil penelitian menunjukan bahwa efektifitas golongan

kromolin ini dalam memperbaiki outcome terapi asma masih dibawah golongan

kortikosteroid.
g) Modifier leukotriene

Pada tahun 1980, suatu senyawa kimia yang saat itu dinamakan slow-

reacting substrances of anaphylaxis (S-RSA) dapat dielusidasi strukturnya, dan

saat ini dikenal dengan nama leukotriene. Dinamakan demikia karena molekul

induknya awalnya diisolasi dari leukosit (sel darah putih), dan kerangka

karbonya memiliki tiga seri ikatan rangkap, membentuk suatu senyawa triena.

Leukotrien adalah hasil metabolism asam arakidonat melalui jalur lipoksigenase,

denan bantuaan enzim 5-lipiksigenase, ada 5 tipe leukotrien , yaitu leukotriene

A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE4. Leukotrien A4 bersifat tidak stabil

dan segera diubah menjadi LTC 4 atau LTB4. Leukotrien A4 diubah menjadi

LTC4 didalam sel mast, eosinophil, dan makrofag paru dengan bantuan enzim

leukotriene c4 sintase. LTC4 yag terbentuk kemidian akan keluar dari sel melalui

suatu trasporter. Di luar sel, LTC4 akan berubah menjadi LTD4 dan seterusnya

diubah lagi menjadi LTE4. LTC 4 dan LTD 4 adalah bronkokonstriktor yang

poten, jauh lebih poten dari histamin, sedangkan LTB4 merupkan kemotaktik

factor yang poten terhadap sel-sel inflamasi, terutama eosinophil.

Obat-obat yang bereaksi pada jalur leukotriene ada du golongan yaitu

antagonis reseptor leukotriene dan inhibitor lipoksigenase. Contoh obat golongan

pertama adalah montelukast, pranlukas, dan zafirlukast. Hingga saat ini

pranlukas hanya tersedia dijepang. Mintelukas dan zafirlukast telah disetujui

pemakaiaanya untuk anak-anak. Sedangkan contoh inhibitor lipoksigenase

adalah zileuton. Secara klinis, obat-obat ini terbukti mengurangi gejala asma,

meningkatkan fungsi paru-paru, dan mencegah serangan akut asma. Ia juga dapat

dikatakan bersifat antiinflamasi karena dapat mencehgah rekrutmen eosinophil.


Namun jika digunakan secara tunggal sebagaiobat pemeliharaan asma, efeknya

umumnya lebih lemah dari pada inhalasi steroid dosis rendah.

Efeknya pada janin belum dipastikan, sehingga wanita hamil sebaiknya

menggunakan dengan hati-hati. Pada pasien dengan gangguaan hati juga

sebaiknya dosis diturunkan. Reaksi samping obat modifier leukotriene antara

lain gangguaan gastrointestinal, sakit kepala, demam, malgia, reaksi alergi kulit,

meningkatkan enzim hati, dan infeksi saluran nafas atas. S elain itu, secara

khusus dilaorkan adanya gangguan yang disebut Churg-Strauss syndrome

akibat penggunaan antagonis reseptor leukotrien. Gangguan ini dikarakterisir

dengan adanya riwayat asma, sering diikuti rintis atau sinusitis, dan terjadinya

eosinophilia dan vaskulitis sistemik. Kadar obat dalam plasma zafirlukast

meningkat jika digunakan bersamaan dengan eritromisin atau teofilin.

Zafirlukast dapat meningkatkan efek warfarin jika digunakan bersama. Absorpsi

zafirlukast menurun dengan adanya makanan, sedangkan zileuton tidak

dipengaruhi oleh makanan.

Dari keempat jenis modifier leukotriene, hanya zafirlukast dan

montelukast yang disetujui penggunaanya pada anak-anak. Pada pasien dewasa,

zileuton terbukti dapat mengontrol asma lebih efektif dibandingkan placebo dan

sebanding denga teofilin.


Tabel 9. Dosis lazim untuk golongan modifiler leukotriene
Dosis dan Interval
Obat
Dewasa Anak-anak
10 mg, setiap malam 5 mg, setiap malam
Montelukast
sebelum tidur sebelum tidur
Pranlukast 450 mg, 2 x sehari --
Zafirlukast 20 mg, 2 x sehari 10 mg. 2 x sehari
Zileuton 600 mg, 4 x sehari --

h) Metil ksantin

Obat golongan metil ksantin yang utama adalah teofilin, teobromin, dan

kafein, tetapi yang paling banyak digunakan dalam terapi asma adalah teofilin

walaupun perannya mulai banyak berkurang dengan adanya obat-obat bronkodilator

yang lebih poten dan aman. Dalam panduan NAEPP 2007, teofilin bentuk

sustained-released merupakan alternatif, tetapi bukan terapi pilihan, untuk terapi

pemeliharaan asma persisten sedang, dan dapat digunakan sebagai terapi tambahan

terhadap inhalasi steroid.

Teofilin banyak dijumpai dalam bentuk kompleks dengan etilendiamin,

yang dinamakan aminofilin. Obat golongan metilksantin bekerja dengan

menghambat enzim fosfodiesterase, sehingga mencegah penguraian siklik AMP,

sehingga kadar siklik AMP intrasel meningkat. Hal ini akan merelaksasi otot polos

bronkus, dan mencegah pelepasan mediator alergi seperti histamin dan leukotrien

dari sel mast. Selain itu, metilksantin juga mengantagonis bronkokonstriksi yang

disebabkan oleh prostaglandin dan memblo reseptor adenosin.

Disisi lain, obat golongan metil ksantin memiliki efek pada sistem saraf dan

stimulasi jantung. Mereka meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan

pembuluh vena, sehingga menimbulkan berbagai reaksi samping ynag tidak


diinginkan. Karena itu, teofilin digolongkan sebagai obat lini ketiga untuk terapi

asma. Selain itu, teofilin juga dapat berinteraksi dengan banyak obat lain (lihat tabel

6-9), sehingga kurang aman diberikan pada pasien lanjut usia, maupun wanita

hamil.

Tabel 10.Obat atau faktor yang mempengaruhi klirens teofilin


Penurunan Peningkatan
Obat/faktor Obat/faktor
klirens (%) klirens (%)
Simetidin -35 sampai -60 Rifampisin +53
Troleandomisin -25 sampai -50 Karbamazepin +50
Eritromisin -25 Fenobarbital +34
Alopurinol -20 Fenitoin +70
Kontrasepsi oral -10 sampai -30 Merokok +40
Propanolol -30 Diet tinggi protein +25
Siprofloksasin -25 sampai -30 Daging bakar +30
Norfloksasin -10 Sulfinpirazon +22
Ofloksasin -26

i) Anti-IgE (Imunoglobulin E)

Anti-IgE omalizumab bekerja mengikat IgE sehingga tidak bekerja pada

reseptornya memicu pelepasan mediator inflamasi. Pilihan pengobatan dengan

omalizumab terbatas pada pasien dengan peningkatan serum IgE, dan pasien

dengan asma alergi yang berat yang tidak terkontrol dengan inhalasi steroid.

Obat ini dapat diberikan secara subkutan setiap 2-4 minggu, tergantung pada

berat badan kadar IgE serum.

1. MONITORING DAN KIE


Pengobatan asma merupakan long term medication, oleh karena itu

kepatuhan pasien dalam menggunakan obat sangat diharapkan. Peran apoteker

dalam penatalaksanaan asma yaitu mendeteksi, mencegah dan mengatasi masalah

terkait obat yang dapat timbul pada tahapan berikut (Depkes RI, 2007) :

a) Rencana Pengobatan (Care Plan)

Dalam tim terpadu, peran apoteker adalah memberikan rekomendasi

dalam pemilihan obat yang tepat berdasarkan kondisi pasien yang diperoleh dari

hasil wawancara dan hasil diagnosa dokter.

b) Implementasi Pengobatan

a. Menyediakan obat (drug supply management)

b. Pemberian informasi dan edukasi

Tujuan pendidikan kepada pasien adalah agar mereka lebih mengerti

danmemahami rejimen pengobatan yang diberikan sehingga pasien dapat

lebihberperan aktif dalam pengobatannya yang dapat meningkatkan

kepatuhanmereka dalam menggunakan obat.

Informasi dan edukasi yang dapat disampaikan kepada pasien dan

keluarganya (Depkes RI, 2007 dan MIMS, 2015), yaitu:

1) Mengenali sejarah penyakit, gejala-gejala dan faktor-faktor pencetus asma.

2) Pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien asma.

3) Bagaimana mengenali serangan asma dan tingkat keparahannya; serta hal-hal

yang harus dilakukan apabila terjadi serangan termasuk mencari pertolongan

apabila diperlukan.

4) Pemberian obat asma dapat dilakukan secara oral, parenteral dan inhalasi

(inhaler, rotahaler dan nebuliser).


5) Jelaskan kepada orang tua atau pengasuh anak mengenai obat-obat yang perlu

digunakan dan cara penggunaan yang tepat, seperti nama obat, dosis,

frekuensi penggunaan, khasiat dll.

6) Bagaimana cara penyimpanan obat asma dan bagaimana cara

mengetahuijumlah obat yang tersisa dalam aerosol inhaler.

7) Pengobatan asma adalah pengobatan jangka panjang dan kepatuhandalam

berobat dan pengobatan sangat diharapkan.

8) Apabila ada keluhan pasien dalam menggunakan obat segera laporkan

kedokter atau apoteker.

9) Sedapat mungkin kurangi atau singkirkan agen pemicu asma dari lingkungan

sekitar

10) Gunakan saringa udara atau air ionizers untuk membantu membersihkan

udara didalam rumah.

11) Bersihkan rumah secara rutin, terutama pada area tempat berkumpulnya

tungau.

12) Jika timbul serangan asma, instruksikan anak untuk segera beristirahat dan

berikan segera obat asam sesuai dengan yang diresepkan.

13) Hindari pemaparan dengan asap rokok, udara kotor, debu dan asap.

14) Beritahu orang tua anak bahwa cara terbaik untuk menghindari timbulnya

serangan asma yaitu istirahat dan lakukan upaya pencegahan lainnya.

c) Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk melihat dan

meningkatkan keberhasilan terapi. Pelaksanakan kegiatan ini memerlukan

pencatatan data pengobatan pasien (medication record).


BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Asma didefinisikan sebagai penyakit inflamasi kronis pada saluran

pernafasan dimana berbagai sel dan elemen seluler berperan, terutama sel

mast, eusinofil, leukositt, makrofag, dan sel epithelial.

2. Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks antara sel-sel inflamasi,

mediator inflamasi, dan jaringan pada saluran nafas. Sel-sel inflamasi utama

yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada serangan asma antara

lain adalah mast, limfosit, dan eosinofil, sedangkan mediator inflamasi

utama yang terlibat dalam asama adalah histamin, leukotrin, faktor

kemotatik esosinofil ( eosinofil Chemotactic faktor), dan beberapa sitokin

yaitu : interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13.

3. Berdasarkan frekuensi dan intensitas gejalanya, asma diklasifikasikan

menjadi 2, yaitu intermiten dan persisten. Golongan persisten sendiri masih

dibagi lagi menjadi 3, yaitu persisten ringan, persisten sedang, dan persisten

berat.

4. Cara pengobatan asma yaitu dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan

nonfarmakologi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2015. MIMS Petunjuk Konsultasi. Jakarta: BIP Gramedia.

Department Of International Economic And Social Affairs. 1982. Provisional


Guidelines On Standard International Age Classifications. United Nations.
United Nations. New York.

Depkes RI. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Asma. Jakarta: Ditjen Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Ikawati, Z. 2014. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana


Terapinya.Yogyakarta: Bursa Ilmu.

John Rees dkk. 1998. Petunjuk Penting Asma, Edisi III. Jakarta: Penerbit buku
Kedokteran EGC

Mangguang, Masrizal Dt. 2016. Faktor Risiko Kejadian Asma Pada Anak Di Kota
Padang. Arc. Com. Health. Vol. 3 No. 1 : 1 – 7.

Seggie, J. 2013. Guidelines For The Management Of Acute Asthma In


Children:2013 Update. South African Medical Journal.

Anda mungkin juga menyukai