Anda di halaman 1dari 39

Tinjauan terhadap Terapi pada Rinitis Alergi dan Rinopati non

Alergika

Alexander N. Greiner dan Eli O. Meltzer


Proceedings of The American Thoracic Society Vol 8. Pp 121 131, 2011

Rinitis Alergi dan rinopati non alergika merupakan gangguan pada hidung yang
mengenai jutaan orang di seluruh penjuru dunia. Walaupun pasien mengalami gejala
gejala yang mirip, Pasien dengan rinopati non alergika seringkali hanya menjangkiti
pada pasien yang sudah melewati usia anak anak dan jarang disertai dengan masalah
atopik seperti asma, dermatitis atopi, dan alergi makanan. Pasien dengan rinopati non
alergika murni biasanya tidak terdapat sensitivitas terhadap alergen spesifik tertentu,
sedangkan pasien dengan rinitis campuran ( alergi dan non alergi ) tersensitisasi oleh
alergen udara, tapi alergi pada pasien tidak dapat dihubungkan dengan durasi dan
keparahan dari gejala. Peninjauan yang dilakukan ini bertujuan untuk melihat
penggunaan obat obatan yang tersedia untuk terapi rinitis alergi dan rinopati non
alergika, termasuk kortikosteroid intra nasal, anti histamin H1, dekongestan, sodium
kromolin, anti leukotrien, antikolinergik, capsaisin, anti IgE, dan salin intranasal,
sebagai tambahan imunoterapi subkutan. Selanjutnya, aka nada algoritma terapi untuk
rinitis alergi dan rinopati non alergika dengan pendekatan gradasi obat yang paling
baik ke paling rendah atau sebaliknya, yang akan membantu klinikus untuk memilih
terapi yang tepat.

PENDAHULUAN
Rinitis, suatu jenis rinopati yang sering terjadi, memiliki karakteristik yaitu timbulnya satu
atau lebih gejala berikut ini : pruritus nasal, bersin, rinore, dan kongesti nasal. Gejala gejala
lain yang terkadang timbul misalkan alodinia, hiperalgesia, ataupun hiposmia. Rinitis dapat
terjadi tanpa penyebab yang jelas ( idiopatik ) maupun dirangsang oleh beberapa hal seperti
atopi, obat obatan, hormonal / metabolik, infeksi, peradangan, dan rangsangan dari struktur
anatomi yang ada. Pembaca dapat membaca tinjauan yang lebih detail mengenai jenis jenis
rinitis pada sumber yang lain. Jurnal ini berfokus pada rinitis alergi dan rinitis non alergi
idiopatik, atau bisa juga disebut rinopati non alergika.

EPIDEMIOLOGI
Pendataan terhadap rinitis jenis tertentu dapat menjadi sesuatu yang menantang mengingat
adanya perbedaan klasifikasi dan penilaian diagnostik. Rinitis alergi dilaporkan mengenai

sekitar 14 % dari populasi dewasa di Amerika Serikat, tapi mencapai angka 42 % pada
populasi anak anak. Sedangkan prevalensi pada rinopati non alergi lebih sulit untuk dilacak
tapi diperkirakan sekitar 23 29 % dari pasien yang dievaluasi dari rinitis alergi. Dari 9
penelitian terbaru mengenai studi prevalensi rinitis alergi, dapat disimpulkan dari 52.850
orang, 71 % menderita rinitis alergi dan 29 % menderita rinopati non alergika. Walau rinopati
non alergika telihat lebih sedikit terjadi daripada rinitis alergi, namun penting untuk dipahami
bahwa kategori ini tidak sepenuhnya eksklusif. Survei nasional mengenai rinitis
mengkategorikan 43 % dari 975 pasien rinitis merupakan rinitis alergi dan 23 % merupakan
rinopati non alergika. Sedangkan 34 % sisanya merupakan campuran dari rinitis alergi dan
rinopati non alergika. Jadi 57 % pasien rinitis menderita rinitis non alergika, baik yang
tunggal maupun yang campuran dengan rinitis alergika.

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS DARI RINITIS ALERGI


Rinitis alergi, yaitu suatu keadaan peradangan pada mukosa nasal yang dimediasi oleh
IgE terhadap alergen dari lingkungan, secara tradisional di klasifikasikan menjadi musiman
dan menahun, tergantung dari apa yang mengsensitisasi pasien, serbuk sari yang bersifat
musiman atau alergen yang ada sepanjang tahun seperti debu, tungau, kecoak, bulu binatang,
dan jamur. Sistem klasifikasi ini terbukti dibuat buat dan seringkali tidak konsisten karena
berdasarkan keadaan lingkungan, sensitisasi alergi oleh alergen musiman dalam jumlah
banyak dapat menyebabkan keluhan sepanjang tahun, dan sebaliknya, paparan terhadap
alergen yang ada sepanjang tahun seperti bulu binatang, karena paparan yang bersifat
episodik dapat menghasilkan gejala pada periode waktu tertentu saja.
Walaupun riset klinik dan regulasi yang ada tetap menggunakan nomenklatur ini, tapi
dokumen global mengenai klasifikasi dan terapi rinitis alergi seperti pada organisasi
kesehatan dunia mengajukan bahwa penyakit alergi pada hidung menggunakan kategorisasi
yaitu intermiten atau persisten, dan ringan / sedang / berat. Rinitis intermiten memiliki
karakteristik gejala yaitu timbul kurang dari 4 hari dalam seminggu dan durasi nya dibawah 4
minggu. Jika gejala timbul lebih dari 4 hari dalam seminggu dan durasi lebih dari 4 minggu
maka diklasifikasikan sebagai rinitis alergi persisten. Gejala yang ringan tidak mengganggu
tidur pasien, tidak mempengaruhi aktivitas harian, olahraga, dan waktu luang, atau tidak
mengganggu pekerjaan atau sekolah, dan jika ternyata ada, tidak sulit ataupun merepotkan.
Sedangkan gejala yang sedang hingga parah dapat menimbulkan gangguan pada setiap
aktivitas atau setiap aspek kehidupan dari pasien. Walau secara kategori menggunakan durasi
seperti intermiten dan persisten tampaknya digunakan pada sistem karena praktis, perbaikan
lebih lanjut klasifikasi kasus menggunakan kategori berdasarkan keparahan akan berguna.
Sebagai tambahan, publikasi terkini mengenai metode untuk melakukan penilaian terhadap
kontrol rinitis mungkin membantu untuk menggambarkan keadaan rinitis alergi pada pasien
dengan gejala rinitis alergi yang bervariasi.
Diagnosis rinitis alergi mungkin dapat dibuat berdasarkan dugaan yang berlandaskan
tipe dari gejala dan riwayat alergen yang menjadi pemicu. Konfirmasi membutuhkan
dokumentasi dari reaktivitas IgE spesifik lewat pengecekan sensitivitas alergen menggunakan

tes cukit kulit atau IgE. Prosedur ini dapat membantu mendeteksi sensitivitas alergi spesifik
dan menyediakan informasi untuk melakukan kontrol terhadap lingkungan pasien.

intermiten

ringan

persisten

sedang/berat

Rinitis alergi

Rinitis infeksius
infeksi
Rinopati
mekanik/struktural
Rhinosinusitis kronis

inflamasi

penyakit pernafasan
eksaserbasi aspirin
Rinopati
karena obat

vasokonstriktor topikal,
NSAID, beta-blocker

karena hormon

penyakit tiroid,
kehamilan

entopy dan/
Rinitis non alergi
Rinitis okupasional
(mungkin imunologis /
iritan)

rinopati non alergi


(rhinitis
vasomotor/rhinitis
idiopatik)

disfungsi nervus
nosiseptif dan/

rhinitis non alergi


dengan sindrom
eosinofilia

disregulasi otonom

gustatory/penuaan

Gambar 1. Klasifikasi rinopati

karena refleks

iritan/kimia

rhinitis atrofi

fisiologis

KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS RINITIS NON ALERGIKA


Rinitis non alergika didefinisikan sebagai keadaan dimana tidak adanya sensitisasi
alergi sistemik sebagai ukuran dari IgE spesifik alergen dan tidak adanya penyebab infeksius
atau anatomis / mekanis. Kategori ini termasuk rinitis karena obat, rinitis karena hormonal,
rinitis toksik iritatif, dan rinitis non alergika, yang akhir akhir ini juga dapat disebut sebagai
rinitis vasomotor, rinitis idiopatik, atau rinitis non alergika perenial. Rinitis non alergika
mungkin merupakan suatu istilah yang spesial karena akhiran kata pada rinitis menunjukan
adanya inflamasi, yang mungkin tidak dapat ditemukan pada kasus rinitis non alergika.
Namun karena studi klinis yang di publikasikan memasukan populasi yang bersifat
heterogen, istilah ini akan digunakan dalam jurnal ini.
Patofisiologi yang pasti dari rinitis non alergika masih tidak jelas. Terdapat beberapa
mekanisme, yang mungkin tumpang tindih, yang dianggap mendasari penyakit ini.
Mekanisme mekanisme tersebut adalah reaksi alergi nasal yang bersifat lokal tanpa tanda
sistemik dari alergi, disfungsi nervus nosiseptif, disregulasi otonomik yang berakar pada
sistem non adrenergik, sistem non kolinergik atau simpatis parasimpatis, atau lewat
mekanisme lainnya yang belum dapat diuraikan.
Rinitis non alergika memiliki karakteristik adanya gejala gangguan hidung baik
persisten atau intermiten yang dapat dimulai dari berbagai macam rangsangan yang biasanya
tidak akan menjadi faktor pencetus pada orang yang sehat. Contoh dari rangsangan tersebut
adalah iritan seperti asap rokok, bau parfum, perubahan iklim dan kelembapan, perubahan
tekanan udara, dan perubahan temperatur. Namun pada beberapa pasien dengan rinitis non
alergika, gejala tetap ada walau tidak ada rangsangan seperti yang sudah disebutkan di atas.
Rinitis non alergika biasanya dibedakan dengan rinitis alergi dengan melihat karakteristik
masing masing penyakit, termasuk usia saat terjadi penyakit, jenis kelamin, dan kelainan
atopi yang mungkin dimiliki seperti dermatitis atopi, asma, atau alergi makanan. Walau
secara alami, faktor pencetus mengarahkan diagnosis ke arah rinitis non alergika, penting
untuk dipahami bahwa seseorang dengan rinitis alergi memiliki angka kejadian yang tinggi
untuk bereaksi terhadap rangsangan non spesifik. Tidak jelas benar apakah keadaan ini
merupakan reaksi non spesifik yang berlebih pada saluran nafas bagian atas seperti pada
bronkus pada kasus asma, atau merupakan gambaran seseorang dengan rinitis campuran.
Walau tidak spesifik, gejala gangguan hidung dapat mengarahkan diagnosis ke rinitis non
alergika yaitu obstruksi nasal dan rinore cenderung lebih menonjol daripada bersin, gatal
pada hidung dan palatum, atau gejala pada mata yang lebih sering muncul pada penyakit
alergi pada salura nafas bagian atas.

TINJAUAN PADA TERAPI FARMAKOLOGIS


Penanganan optimal rinitis melibatkan berbagai segi pendekatan termasuk edukasi
pasien, kontrol lingkungan, menghindari pencetus, terapi farmakologis, dan pada beberapa
pasien digunakan terapi imunologis sub kutan.
Pada kasus rinitis alergi ringan intermiten, untuk terapi farmakologis awal disarankan
terdiri dari obat oral anti histamin 1, obat intranasal anti histamin 1, dan / atau dekongestan
oral atau intranasal, yang masa kerja pendek atau dengan dasar intermiten. Dapat juga
dipertimbangkan memakai obat anti leukotrien oral. Jika pada kasus intermiten tingkat
keparahannya sedang atau berat, atau kasus rinitis alergi persisten, terapi awal dapat
menggunakan kortikosteroid intra nasal sebelum menggunakan golongan obat obat yang
sudah disebutkan tadi. Pada semua tingkat keparahan, efek obat ditinjau secara berkala
selama beberapa waktu untuk menentukan manakah yang lebih tepat, apakah menggunakan
pendekatan gradasi pemilihan obat dari yang paling baik yang ke rendah atau sebaliknya.
Segera lakukan evaluasi lebih lanjut bila rinitis alergi yang diderita pasien tidak bereaksi
terhadap pemberian kortikosteroid intranasal selama 2 sampai 4 minggu. Tes yang dapat
dilakukan adalah tes alergi, tes rinofaringoskopi untuk menilai adakah obstruksi mekanik,
evaluasi dengan radiologis untuk melihat adenoid dan / atau sinus, ataupun pemeriksaan lain
tergantung dari kasus yang ada. Usulan penanganan rinitis alergi dengan farmakoterapi dapat
dilihat pada gambar 2.
Terapi pada kasus rinitis non alergi seringkali memerlukan pendekatan terapi dengan
cara uji coba untuk mengatasi gejala yang mengganggu. Terapi empiris dengan dekongestan,
anti histamin baik oral atau intra nasal, konrtikosteroid intra nasal, irigasi salin intranasal,
ipratropium bromide intranasal, dan golongan obat lain yang bersifat anti kolinergik
seringkali digunakan dengan angka kesuksesan yang bervariasi. Pilihan obat berdasarkan
pendekatan dari obat yang paling baik dilanjutkan dengan yang lebih rendah atau sebaliknya
berdasarkan perbaikan dan gejala yang timbul dapat juga digunakan untuk penanganan terapi
rinitis non alergika. Usulan algoritma terapi farmakologis untuk rinitis non alergi dan rinopati
non alergika dapat dilihat pada gambar 3.

Rhinitis Alergi

Gejala intermiten

ringan

Gejala persisten

sedang berat

Anti H1 oral
dan/dekonges
tan
Anti H1
intranasal
dan/dekonges
tan
Pengubah
leukotrien

ringan

Steroid
intranasal
Anti H1 oral
dan/dekonges
tan
Anti H1
intranasal
dan/dekonges
tan
Sodium
kromoglikat
Pasien diperiksa setelah 2-4
minggu

sedang berat

Steroid
intranasal
Pasien diperiksa setelah 2-4
minggu
Membai
k
Turunka
n dan
lanjutka
n
1x/bulan

Jika memburuk: naikkan


Jika membaik: lanjutkan
1x/bulan

Tambahkan
steroid
intranasal

Rhinore:
tambahkan
ipratropium

Pertimbangkan
imunoterapi
Gambar 2. Algoritme pertimbangan
terapi farmakologi rhinitis alergi

Membur
uk
Tambahkan
anti-H1
intranasal
Memburuk
Tinjau diagnosa
Tinjau
compliance

Blokade:
tambahkan
kortikosteroid
dekongestan/ora
l (jangka

Gambar 3. Algoritme pertimbangan terapi farmakologi rhinitis non alergi

KORTIKOSTEROID INTRA NASAL


Peran kortikosteroid intranasal dalam penanganan rinitis alergi
Kortikosteroid intranasal mengurangi semua gejala gangguan hidung yang timbul,
seperti kongesti nasal, rinore, hidung gatal, dan bersin bersin. Secara umum golongan obat
ini memiliki jangkauan efek yang lebih luas dianding dengan golongan obat yang lain. Efek
klinis yang komprehensif dari kortikosteroid intra nasal adalah berdasarkan mekanisme
kerjanya yang luas. Sebagai glukokortikoid, obat ini berdifusi melewati membran sel, lalu
terikat pada reseptor di intra sel, membentuk suatu kompleks yang akan di bawa masuk
kedalam nukleus dan terikat pada elemen reseptor glukokortikoid disana. Hasilnya,
transkripsi gen yang berhubungan dengan elemen reseptor glukokortikoid tadi akan
mengalami perubahan regulasi, yang membuat terjadinya penurunan aktivitas radang pada sel
serta mediator inflamasi di mukosa hidung.
Saat ini kortikosteroid intra nasal yang tersedia adalah beklometason, budesonid,
sislesonid, flunisonid, flutikason furoat, flutikason propionat, mometason furoat, dan
triamsinolon asetonid. Semua jenis steroid ini dalam sediaan cair dan menunjukan efek baik
pada rinitis alergi musiman atau menahun pada studi studi besar dan terkontrol. Walaupun
volume kortikosteroid ini beragam akibat pancaran semprotan yang berbeda, rasa yang

berbeda ( rasa tidak nyaman, atau bau ) dan ketaatan serta penerimaan pasien yang berbeda
beda, nampaknya faktor faktor ini tidak mempengaruhi efek obat secara relevan.
Beberapa efek samping yang dilaporkan adalah rasa terbakar pada hidung, rasa
tersengat, iritasi, kekeringan di daerah paparan, serta epistaksis. Efek samping dapat terjadi
pada 5 10 % pasien, dengan pengecualian hanya untuk flunisonid, memiliki insidensi
timbulnya rasa tidak nyaman di hidung yang lebih tinggi dibanding golongan lain. Bukti yang
didapat dari 2 studi jangka panjang yang terpisah dengan menggunakan flutikason propionate
dan mometason, pada penggunaan kortikosteroid intranasal jangka panjang tidak ditemukan
atrofi mukosa nasal. Tanda klinis lain seperti kandidiasis lokal yang kadang terlihat pada
penggunaan kortikosteroid oral, jarang terjadi pada penggunaan kortikosteroid intranasal.
Peningkatan pemahaman akan kortikosteroid dan reseptor glukokortikoid
memungkinkan dikembangkannya obat yang aktif secara lokal, dengan molekul yang poten
tapi memiliki efek sistemik minimal. Evaluasi laboratorium terhadap poros hipotalamus
pituitari kelenjar adrenal menunjukan tidak adanya supresi kerja poros hipotalamus
pituitari kelenjar adrenal jika menggunakan dosis rekomendasi untuk kortikosteroid intra
nasal yang sekarang tersedia. Osteokalsin, penanda dari daur hidup tulang, dan eosinofili
tidak terpengaruh dalam penggunaan budesonid intra nasal, mometason, dan triamsinolon.
Hal ini menunjukan masalah sistemik dari penggunaan glukokortikoid secara klinis efeknya
tidak signifikan. Hasil dari penelitian ini diperkuat dengan penemuan bahwa tidak ditemukan
peningkatan kemungkinan terjadinya patah tulang pada orang dengan usia 80 89 tahun
tanpa memperhatikan dosis yang didapat. Namun perhatian ditujukan pada efek
kortikosteroid intra nasal terhadap pertumbuhan linear anak anak, terutama kortikosteroid
generasi pertama seperti beklometason intranasal, yang dapat mengurangi pertumbuhan linear
dalam dosis 2 kali sehari. Perbedaan ditemukan pada anak yang diterapi dengan budesonid,
flutikason propionat, mometason, atau triamsinolon selama 1 tahun, tidak ditemukan adanya
perlambatan pertumbuhan pada anak anak tersebut. Perhatian juga perlu diberikan karena
tidak adanya studi yang memeriksa pertumbuhan linear pada anak yang menerima
kortikosteroid kombinasi intranasal dan oral.
Kortikosteroid intranasal merupakan golongan obat yang paling efektif dalam
penanganan rinitis alergi sehingga direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada rinitis
persisten, rinitis dengan tingkat keparahan sedang, ataupun rinitis berat. Golongan ini lebih
superior dibanding golongan anti histamin dan antagonis leukotriene, dan, dari sedikit
informasi yang diperoleh, kemampuan kortikosteroid sebanding bahkan lebih superior
dibanding kombinasi antihistamin dan antagonis leukotrien. Tidak terdapat cukup informasi
yang menyatakan anti histamin intra nasal memiliki efek setara dengan kortikosteroid intra
nasal, terutama setelah terapi selama 14 hari. Dan pada hampir di tiap studi, dikatakan bahwa
pemberian tambahan anti histamin oral pada pasien yang menggunakan kortikosteroid intra
nasal tidak memberikan perubahan positif dibanding hanya menggunakan kortikosteroid intra
nasal saja. Namun pemberian anti histamin intranasal pada pasien yang juga menggunakan
kortikosteroid intra nasal memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan monoterapi

Peran kortikosteroid intra nasal pada penanganan rinopati non alergika


Dari semua sediaan kortikosteroid intra nasal yang tersedia di Amerika, hanya
flutikason propionat yang di indikasikan sebagai terapi kasus rinitis non alergi, tanpa melihat
ada atau tidaknya eosinofil pada nasal. Pada studi yang dilakukan pada pasien rinopati non
alergika musiman, pemberian flutikason propionat 200 mikrogram ( dua semprotan tiap
lubang hidung dalam sehari ) sama efektif nya dengan dosis 400 mikrogram sekali sehari jika
didasarkan pada pengurangan gejala. Pada studi yang lain, pasien dengan rinitis vasomotor,
pemberian flutikason propionat 200 mikrogram sehari sekali secara signifikan jauh lebih
superior dibanding plasebo dalam mengurangi gejala obstruksi nasal dan penurunan hipertrofi
turbinasi inferior jika dilakukan pengecekan menggunakan CT scan. Pada studi kecil yang
dilakukan pada pasien dengan rentang usia 20 sampai 68 tahun, budesonid semprot
( sekarang sudah tidak ada ) secara signifikan lebih efektif daripada plasebo dengan
memperhatikan gejala obstruksi nasal, drainase nasal, dan bersin dengan penggunaan dosis
harian 50, 200, dan 800 mikrogram.
Namun bukti manfaat kortikosteroid intra nasal pada rinopati non alergika tidak
konsisten, mungkin diakibatkan karena adanya heterogenitas pada kasus rinopati non
alergika. Studi pada pasien dengan rinopati non alergika menahun, terapi dengan mometason
200 mikrogram ( 2 semprotan tiap sisi dalam sehari ) selama 6 minggu tidak membawa
perbaikan signifikan dibandingkan dengan plasebo. Flutikason furoat, diberikan sebanyak
110 mikrogram ( 2 semoritan tiap sisi dalam sehari ) ke 699 subjek dengan rinitis vasomotor
yang dirangsang oleh cuaca / temperatur, tidak cukup superior dibanding plasebo dalam
mengurangi kongesti, rinore, dan / atau terkumpulnya sekret di posterior nasal dalam periode
4 minggu.
Walau hasil penelitian tidak selalu sama, studi yang ada menunjukan adanya efek
terapetik kortikosteroid intra nasal pada kasus rinopati non alergika dan dapat dianjukan
sebagai terapi lini pertama.

ANTI HISTAMIN H1
Peran Anti histamin H1 oral pada penanganan rinitis alergi
Walaupun terdapat banyak mediator kimia yang dapat menimbulkan satu atau lebih
gejala rinitis alergi, histamine masih menjadi mediator patokan pada penyakit alergi saluran
nafas atas, terutama saat respon awal fase alergi. Bekerja pada reseptor h1, histamin dapat
menimbulkan hampir semua gejala alergi ( bersin, gatal gatal di hidung, tenggorokan, dan
palatum, serta rinore ) dengan cara stimulasi nervus sensorik, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan peningkatan produksi mukus. Anti histamine h1 melawan efek dari reseptor h1
pada sel otot polos, ujung ujung saraf, dan sel kelenjar sehingga mengurangi gejala gejala
yang disebutkan di atas. Namun efek terhadap kongesti nasal hanya sedikit. Toleransi
terhadap efek menguntungkan dari anti histamin h1 sampai sekarang tidak ada.

Beberapa anti histamin h1 oral generasi pertama atau yang lebih tua dapat ditemukan
di took took ( difenhidramin,klemastin, tripelenamin, pirilinamin, bromferinamin,
triplopidin, klorfeniramin) atau sebagai obat yang harus dengan resep dokter ( hidroksizin,
prometazin, siproheptadin ). Preparat yang ada memiliki selektivitas yang rendah terhadap
reseptor h1 dan menghambat reseptor muskarinik, sehingga mungkin menghasilkan gejala
keringnya membran mukosa, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan takikardi.
Mengantuk merupakan efek samping utama dari anti histamin h1 yang lebih tua. Rasa kantuk
timbul karena obat menembus sawar darah otak dan berikatan dengan reseptor h1 di sistem
saraf pusat. Istilah sedasi digunakan untuk menggambarkan keadaan mengantuk dan
penurunan fungsi intelektual dan kemampuan motorik secara global. Anti histamine h1 yang
bersifat sedatif dihubungkan dengan kecelakaan udara dan industri, sehingga mempengaruhi
produktivitas di sekolah maupun tempat kerja yang sudah terganggu karena gejala gejala
dari rinitis. Dosis tunggal 50 mg difenhidramin dapat menurunkan kemampuan menyetir, jika
dinilai dengan simulator, lebih hebat daripada konsumsi etanol dengan estimasi kadar alkohol
dalam darah 0,1 %. Sama dengan efek akibat konsumsi etanol, terdapat ketidak cocokan
antara persepsi diri sendiri dalam keadaan sedatif dan penilaian objektif dari kesadaran dan
performa pasien.
Walau dosis dari anti histamin h1 generasi pertama seringkali dibagi menjadi
beberapa kali dalam sehari, eliminasi terminal dari anti histamin h1 generasi pertama
bervariasi antara 9,2 sampai 27,9 jam, sehingga dapat terjadi defisit dosis pada siang hari jika
diberikan hanya saat menjelang tidur. Sebuah studi mengemukakan bahwa dapat terjadi
toleransi terhadap efek sedatif yang disebabkan difenhidramin. Hal ini juga ditunjukan
dengan banyaknya pasien dengan urtikaria kronis dapat mengerjakan pekerjaan dengan
normal walau menggunakan dosis tinggi obat anti histamin yang diberikan sesuai dengan
dosis harian biasanya ( Kaplan, komunikasi personal, 2006 ). Studi lebih lanjut diperlukan
untuk melihat apakah toleransi pada efek sedatif benar benar timbul dan apakah hal ini
mungkin akibat dari jenis obat.
Generasi kedua anti histamin h1 oral yang ada di Amerika sekarang adalah yang
berupa obat bebas di toko toko seperti loratadin dan cetirizin serta obat yang perlu resep
dokter seperti desloratadin, feksofenadin, dan levocetirizin. Berbeda dengan anti histamin h1
generasi pertama yang hanya memiliki studi efikasi klinis yang terbatas, efektivitas dari
cetirizin, levocetirizin, desloratadin, feksofenadin, dan loratadin sudah terbukti lewat
serangkaian studi kontrol plasebo, dengan peneliti dan sukarelawan tidak tahu obat apa yang
didapat. Studi yang ada juga membantu memastikan onset kerja, efek puncak, dan durasi dari
efek obat.Informasi seperti ini kurang pada anti histamin h1 generasi pertama sehingga
anjuran dosis sekarang ini tergantung dari kemampuan anti histamin h1 terhadap seseorang
untuk menekan respon yang timbul setelah alergen atau setelah pengenalan histamin oleh
kulit.
Anti histamin h1 oral generasi kedua memiliki selektivitas reseptor yang lebih baik
dibanding generasi pertama, dan juga memiliki efek samping antikolinergik dan anti
serotonergik lebih ringan.Semua jenis, kecuali feksofenadin, mempunyai kemampuan untuk
menembus sawar darah otak dan berikatan dengan reseptor h1 sehingga menimbulkan rasa

kantuk. Proses ini dapat dilihat pada seseorang yang mendapatkan loratadin dan desloratadin
dengan dosis lebih tinggi dari yang direkomendasikan. Untuk jenis oral generasi kedua yang
beredar di Amerika, hanya cetirizin dan levocetirizin yang mungkin dapat menyebabkan efek
sedatif pada dosis yang direkomendasikan pada pasien usia 12 tahun keatas ( 14 % cetirizine
dengan 6 % plasebo dan 6 % levosetirizine dengan 2 % plasebo ).
Beberapa studi yang disponsori oleh industri obat membandingkan secara langsung
efek klinis antara obat anti histamin h1 generasi kedua. Walaupun seringkali hasl studi
menunjukan kesamaan terhadap berbagai macam anti histamin h1 generasi kedua pada
percobaan klinis, terkadang beberapa pasien meraskan adanya perbedaan efek antara jenis
obat yang satu dengan yang lain.
Anti histamin h1 generasi kedua sebaiknya menjadi pilihan lini pertama pda pasien
dengan rinitis alergi yang tidak memiliki masalah signifikan terhadap obstruksi atau kongesti
nasal dan memiliki gejala yang intermiten atau tingkat keparahan dari gejala bersifat ringan.
Peran anti histamin oral pada penangan rinopati non alergika
Walau tidak ada data yang jelas mengenai peran anti histamin pada penanganan
rinopati non alergika, pasien dengan gejala predominan berupa bersin bersin mungkin
bereaksi dengan baik saat menggunakan anti histamin oral.Studi tunggal dengan kontrol
plasebo juga menunjukan perbandingan flunisonid dengan kombinasi flunisonid dan loratadin
bahwa kombinasi kortikosteroid intra nasal dan anti histamin lebih baik jika dibandingkan
hanya menggunakan kortikosteroid intra nasal saja dalam mengurangi bersin dan rinore pada
kelompok pasien rinitis non alergi dengan sindrom eosinofilia. Walau tidak ada data klinis
yang menunjukan efektivitas pada rinopati non alergi, penggunaan anti histamin generasi
pertama mungkin akan membantu mengurangi rinore karena aktivitas antikolinergik obat.
Namun hal ini perlu dipertimbangkan dengan efek yang tidak diinginkan yang berhubungan
akibat reaksi sistemik antikolinergik.
Peran anti histamin intra nasal pada terapi rinitis alergi dan rinopati non alergika
Selain bersifat antagonis dari h1, beberapa anti histamin mungkin memiliki sifat anti
inflamasi berdasarkan penelitian di laboratorium. Hal ini berupa pencegahan degranulasi sel
mast dan basofil, perubahan regulasi dari adesi molekul dan kemokin, penurunan ekspresi
sitokin inflamatif, menekan perubahan neurogenik karena peradangan, dan adanya apoptosis
sel inflamasi. Namun pada dosis terapi seperti yang dikonsumsi biasanya, anti histamin oral
jarang mencapai konsentrasi yang cukup tinggi secara pada eksperimen ke makhluk hidup
untuk menghasilkan efek anti inflamasi. Hal ini berlainan jika pemberian menggunakan anti
histamin intra nasal, konsentrasi dalam darah dapat cukup tinggi untuk menimbulkan efek
anti inflamasi lokal.
Saat ini hanya azelastin 0,1 % intra nasal sebagai anti histamin satu satunya di
Amerika yang diindikasikan untuk rinitis alergi dan rinitis vasomotor. Azelastin dan
olopatadin diindikasikan hanya untuk rinitis alergi saja. Percobaan dengan olopatadin dan
azelastin 0,15 % menunjukan onset sekitar 30 menit dengan persistensi dari efikasi selama

interval 12 jam. Azelastin dan olopatadin memiliki efikasi pada kasus rinitis musiman.
Penemuan saat ini dari studi yang disponsori oleh industri obat menunjukan bahwa anti
histamin intra nasal mungkin lebih superior daripada cetirizin ( azelastin ), desloratadin
( azelastin ), dan fesofenadin ( azelastin dan olopatadin ) dalam kemampuan untuk
mengurangi gejala gejala nasal ternasuk kongesti nasal. Namun pada studi yang sudah lebih
dulu dilakukan, tidak ditemukan jika azelastin lebih superior dibanding cetirizin dalam kasus
rinitis alergi musiman. Efek samping tersering azelastin pada dosis rekomendasi yaitu sebesar
2 semprotan tiap sisi tiap hari adalah rasanya yang pahit dan sedatif ( 11,5 % dibanding
plasebo 5,4 % pada studi azelastin 0,1 % dan < 1 % pada studi azelastin 0,15 % ). Olopatadin
biasanya ditoleransi lebih baik dibanding azelastin 0,1 %
Pembahasan mengenai perbandingan antara kortikosteroid intra nasal dan anti
histamin intra nasal jarang. Walau 1 studi menemukan bahwa budesonid intra nasal 256
mikrogram ( 4 semprotan tiap sisi 1 kali sehari ) lebih superior dibanding azelastin 280
mikrogram (satu semprotan tiap sisi 2 kali sehari) untuk mengurangi gejala rinitis alergi,
suatu percobaan terkini menyimpulkan bahwa olopatadin memiliki efikasi yang mirip jika
dibandingkan dengan flutikason propionat 200 mikrogram per hari (2 semprotan tiap sisi
sekali sehari) dalam 2 minggu. Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, tambahan anti
histamin intra nasal pada pasien yang sudah menggunakan kortikosteroid intra nasal mungkin
dapat digunakan karena mungkin dapat menimbulkan keuntungan tambahan dibanding hanya
menggunakan kortikosteroid intra nasal saja. Namun masih belum meyakinkan apakah
keuntungan ini akan bertahan dalam studi yang dilakukan dengan periode 2 minggu. Pada 2
studi yang membahas peran azelastin pada penanganan rinitis kronik non eosinofilia non
alergi, semua gejala gangguan nasal termasuk kongesti nasal dapat berkurang lebih baik
dibandingkan dengan plasebo.Studi terkini menyatakan mungkin olopatadin dapat berguna
dalam penanganan rinopati non alergi.Sebagai tambahan, untuk mengurangi gejala pada
pasien dengan gejala sedang atau berat, olopatadin mengurangi obstruksi nasal jika diberikan
30 menit sebelum diberi mannitol intra nasal.Diduga akibat blok kanal capsaisin. Studi yang
ada menyebutkan anti histamin intranasal mungkin memiliki arti terapetik dalam penanganan
rinopati non alergi dan sebaiknya digunakan sebagai terapi lini pertama pada rinopati non
alergi seperti halnya pada rinitis alergi.
Peran dekongestan pada penanganan rinitis alergi dan rinopati non alergika
Vasokonstriktor memiliki sediaan baik oral maupun intra nasal.Jenis yang memiliki
sediaan berupa vasokonstriktor topikal yang bersifat simpatomimetik yaitu golongan
katekolamin (misal fenilefrin) atau golongan imidazolin (misal oksimetazolin), sedangkan
jenis dengan sediaan oral kebanyakan merupakan golongan katekolamin (pseudoefedrin dan
fenilefrin).Obat obat ini bekerja lewat adrenoreseptor 1 dan 2 yang berada di pembuluh
darah hidung yang berhubungan dengan bengkaknya mukosa dan kongesti
nasal.Berkurangnya aliran darah ke daerah nasal meningkatkan patensi dari hidung.Efek
timbul 5 sampai 10 menit jika menggunakan topikal dan 30 menit jika per oral. Dekongestan
nasal dapat bertahan 8 sampai 12 jam pada sediaan intra nasal dan dapat bertahan 24 jam
pada sediaan oral lepas lambat. Walau pseudoefedrin dianggap hanya mengurangi gejala
kongesti nasal, suatu studi yang membandingkan pseudoefedrin yang dikonsumsi sekali

sehari dengan montelukas menunjukan terdapat penurunan gejala rinitis dibandingkan dengan
obat untuk kongesti nasal yang lain di kedua grup.
Efek samping dekongestan nasal topikal adalah rasa terbakar pada hidung,
menyengat, rasa kering, dan yang lebih jarang, ulserasi mukosa.Toleransi dan terjadinya
kongesti berulang dapat terjadi jika obat ini digunakan lebih lama dari 1 minggu dan dapat
menimbulkan rinitis medikamentosa.Data yang ada sekarang menunjukan bahwa efek negatif
obat ini dapat dicegah dengan penggunaan bersama kortikosteroid intra nasal. Efek samping
dari dekongestan oral berupa stimulasi sistem saraf, seperti insomnia, rasa tegang, cemas,
tremor, takikardi, palpitasi, dan peningkatan tekanan darah.
Secara keseluruhan, terapi tunggal menggunakan vasokonstriktor memiliki peran
yang terbatas dalam penanganan rinitis alergi, walaupun pada kasus dimana kongesti nasal
menjadi gejala yang paling mengganggu.Namun jika dekongestan oral dikombinasikan
dengan anti histamin, semua gejala dari rinitis alergi dapat berkurang.
Dekongestan mungkin dapat digunakan untuk kasus rinopati non alergi untuk
mengurangi gejala.Jika diberikan secara topikal, diperlukan dosis intermiten.Walau
sebenarnya masuk akal, tidak ada studi yang menunjukan apakah penggunaan
vasokonstriktor topikal yang merangsang timbulnya rinitis medikamentosa dapat dicegah
menggunakan kortikosteroid intra nasal pada pasien dengan rinopati non alergi.
Peran Sodium Kromolin dan Sodium Nedokromil pada penanganan rinitis alergi dan
rinopati non alergi
Kromolin menghambat degranulasi dari sel mast yang tersensitisasi, dan menahan
dilepaskannya mediator inflamasi.Kromolin tidak menghambat pengikatan IgE dengan
reseptor nya atau pengikatan alergen dengan IgE spesifik.Studi pada orang dengan rinitis
alergi yang dipaparkan terhadap alergen menunjukan bahwa sodium kromolin terbukti efektif
mengurangi reaksi alergi baik pada fase awal maupun fase akhir.Kromolin diindikasikan
untuk rinitis alergi baik yang musiman atau yang sepanjang tahun. Onset berkurangnya gejala
timbul dalam minggu pertama terapi dan gejala juga membaik selama pengobatan dilanjutkan
dalam beberapa minggu. Sediaan intranasal 4 % direkomendasikan untuk pasien dewasa dan
anak anak dengan usia diatas 2 tahun dengan dosis 4 kali sehari. Namun jika gejala sudah
dapat diatasi, dosis yang lebih rendah dirasa cukup untuk mengkontrol gejala.Jarang
ditemukan efek samping kromolin topikal. Kromolin juga tidak diserap dengan baik secara
sistemik dan memiliki rekor keamanan yang baik. Tidak ada deskripsi mengenai toleransi
dalam penggunaan kromolin.
Hasil penelitian mengenai efek kromolin pada terapi rinopati non alergi tidak
meyakinkan.Terbatasnya peran histamin pada pasien dengan rinopati non alergi, efek
kromolin diperkirakan kurang berefek maksimal.Suatu studi menunjukan tidak adanya
perbaikan gejala pada pasien dengan rinitis non alergi dengan sindrom eosinofil yang diterapi
dengan sodium kromolin 4 % selama 2 bulan. Namun secara berlawanan, studi lain
menemukan bahwa disodium kromoglikat 2 % memiliki efek yang lebih baik dari plasebo
pada kebanyakan pasien yang mengalami rinitis vasomotor.

Peran anti leukotrien pada penanganan rinitis alergi


Sisteinil leukotrien merupakan mediator lipid poten yang memiliki reaksi enzimatik
di membran fosfolipid di nukleus. Studi yang mempelajari inflamasi saluran nafas bawah
pada asma mengemukakan molekul ini juga timbul pada saluran nafas bagian atas dengan
dibuktikan melalui adanya konsentrasi LTC4 di sekret nasal seseorang dengan atopi setelah
dipaparkan alegen.Selain itu, tes paparan terhadap hidung dengan LTD4 di orang normal
dapat meningkatkan aliran darah mukosa hidung dan resistensi saluran nafas hidung.
Leukotrien tampaknya tidak menstimulasi nervus sensoris pada mukosa nasal dan mungkin
tidak berkontribusi dalam penanganan rasa gatal di hidung dan bersin bersin. Walau
blokade jalur leukotrien dapat terjadi dengan cara menghambat sintesis lewat inhibitor 5
lipoksigenase menggunakan zileuton atau dengan melakukan blokade reseptor pada sisteinil
leukotrien reseptor dengan antagonis reseptor leukotrien misalkan zafirlukast dan
montelukast, hanya montelukast yang disetujui sebagai terapi pada rinitis alergi, dan
menunjukan efikasi klinis pada rinitis alergi baik tipe musiman atau tahunan. Montelukast
hanya menghasilkan sedikit efek samping, digolongkan obat B untuk kehamilan, dan dapat
digunakan pada anak usia 6 bulan. Walau tidak ada data bukti yang jelas, montelukast sering
dihubungkan dengan kejadian perubahan neuropsikiatri pasien seperti keinginan untuk bunuh
diri.
Walau pada tahun 2006 dipupblikasikan meta analisis mengenai montelukas bahwa
obat ini dapat menjadi lini kedua penanganan rinitis alergi, suatu badan perkumpulan yang
dibentuk di Amerika menyimpulkan bahwa montelukast mungkin sama efektif nya dengan
anti histamin oral (yang biasa digunakan perbandingan adalah loratadin). Sebagai tambahan,
dari studi yang dipublikasikan, juga direkomendasikan adanya kemungkinan efek aditif pada
penggunaan anti histamin oral dan montelukast walaupun efeknya masih lebih minimal
dibanding kortikosteroid intra nasal.
Pada saat ini, tidak ada studi terpublikasi yang menunjukan peran modifikator
leukotrien dalam terapi rinopati non alergi.
Peran ipatropium bromida dalam penanganan rinitis alergi dan rinopati non alergi
Ipatropium bromida, tersedia dalam preparat intra nasal, merupakan obat anti
muskarinik yang menghambat kerja parasimpatik pada mukosa nasal, sehingga dapat
mengkontrol sekret serous dan seromukus dari kelenjar.Karena hanya diserap sedikit secara
sistemik, obat ini relatif bebas efek samping yang biasanya timbul pada penggunaan obat
antikolinergik oral, kecuali pada dosis yang lebih tinggi dari yang direkomendasikan.Onset
ipatropium 15 sampai 30 menit. Berdasar profil farmakokinetiknya, disarankan dosis dalam
sehari berkisar antara 120 sampai 320 mikrogram dibagi dalam 3 sampai 6 kali pemberian.
Tidak ada deskripsi mengenai toleransi dalam penggunaan ipatropium.Efek samping biasanya
terbatas berupa iritasi lokal, rasa kering di hidung, epistaksis, yang terjadi tergantung dari
jumlah dosis yang digunakan.
Ipatropium menunjukan memiliki efikasi pada penanganan rinitis alergi menahun dan
bentukan variatif dari rinitis non alergi, termasuk infeksi, gustatorik , dan rinitis vasomotor

baik pada anak maupun dewasa.Obat ini efektif dalam mengkontrol produksi sekret pada
nasal anterior, dan mungkin memiliki peran penting dalam menangani sekret yang terkumpul
di posterior nasal.
Ipatropium sebaiknya digunakan sebagai yang utama dalam penanganan kasus rinore
anterior tunggal tanpa gejala lain. Obat ini dapat juga diresepkan sebagai terapi pada kasus
rinore yang tidak dapat dikontrol secara penuh oleh obat jenis lainnya.
Peran capsaisin pada penanganan rinitis alergi dan rinopati non alergika
Pemberian capsaisin, suatu zat yang terdapat pada lombok merah pedas, secara lokal
dapat merangsang rasa terbakar di hidung, rinore, dan kongesti nasal lewat stimulasi serat
saraf hidung tipe C. Pemberian berulang dapat menyebabkan penekanan neuropeptida pada
serat saraf C sehingga mengurangi keadaan hiper reaktif pada hidung.
Beberapa studi menunjukan terdapat perbaikan gejala pada pasien dengan rinopati
non alergika yang diterapi dengan capsaisin.Suatu publikasi mengenai pendekatan terapetik
menganjurkan induksi lokal anestesi yang diikuti oleh pemberian capsaisin selama 5 jam.
Cara terapi ini memiliki efek yang sama dengan terapi intermiten selama 2 minggu. Walau
beberapa investigasi memperkirakan bahwa perbaikan setelah diberikan terapi pertama dapat
bertahan hingga lebih dari 1 tahun, diperlukan riset lebih lanjut untuk memastikan peran dan
efek jangka panjang capsaisin pada penanganan rinopati non alergi.
Yang menarik, data mengenai efek capsaisin pada rinitis alergi juga minim. Suatu
analisis dari Cochrane mengemukakan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup untuk menilai
efek capsaisin pada kasus rinitis alergi.Capsaisin tidak tersedia dan dijual di pasaran Amerika
dalam bentuk preparat intra nasal.
Peran Omalizumab (Anti IgE) pada Penaganan Rinitis Alergi
Omalizumab merupakan satu satunya produk golongan antibodi monoklonal yang
memodulasi inflamasi pada alergi yang tersedia di pasaran. Walau sebenarnya secara primer
digunakan untuk mengatasi asma yang sulit terkontrol, obat ini juga dapat digunakan untuk
mengatasi gangguan atopi yang lain seperti misalnya rinitis alergi.
Omalizumab merupakan antibodi monoklonal manusia yang terikat secara konstan
pada molekul IgE di reseptor IgE, sehingga secara efektif menghindari interaksi IgE dengan
reseptor IgE afinitas tinggi pada sel mast, basofil, serta sel dendritik. Anti IgE terikatt pada
IgE di sirkulasi tapi tidak pada IgE di sel, dan membentuk kompleks IgE anti IgE yang
stabil dan bertahan lama.Setelah dosis awal yang adekuat, konsentrasi IgE bebas berkurang
secara cepat sekitar 97 99 % tergantung dari dosis yang diberikan.Omalizumab terbukti
efektif pada rinitis alergi baik pada studi paparan alergen dan percobaan klinis. Studi
terkontrol dengan plasebo dengan metode acak dan peneliti serta objek penelitian sama
sama tidak tahu obat apa yang didapatkan oleh objek, menunjukan omalizumab memiliki
efikasi pada rinitis alergi musiman maupun menahun. Yang masih perlu diperhatikan adalah
bagaimana perbandingan penggunaan omalizumab dibanding golongan obat yang lain.
Karena harga yang mahal, juga terdapat laporan mengenai kejadian anafilaksis, serta

administrasi lewat oral atau inhalan yang mini, peran dalam penangan rinitis alergi masih
bersifat terbatas.
Tidak ada studi terpublikasi yang menggambarkan peran omalizumab pada
penanganna rinopati non alergi. Namun, berdasarkan pemahaman dari cara kerja nya,
kemungkinan tidak akan menimbulkan efek pada kondisi rinopati non alergi.
Peran Irigasi Nasal dengan Salin pada Penanganan Rinitis Alergi dan Rinopati non
Alergi
Selama bertahun tahun, irigasi nasal dengan salin digunakan sebagai terapi
tambahan pada berbagai bentuk sinutisis atau rinitis, sekalipun tidak ada data klinis yang
terpublikasi. Pada saat disemprotkan, sejumlah cairan sekitar beberapa ons, dapat berupa
salin isotonis atau hipertonis dimasukan kedalam hidung, nasofaring, dan jika memungkinkan
ke rongga sinus dengan tujuan menghilangkan mukus, memperbaiki klirens silia,
memperbaiki patensi dari ostium, dan mungkin dapat menghilangkan material iritan dan
alergen. Alat yang digunakan yaitu panci / tempat air, botol plastik yang dapat ditekan dengan
adaptor hidung, atau irigator berpulsasi yang dikombinasikan dengan adaptor hidung. Data
yang terbatas menunjukan walaupun cairan salin hipertonik secara umum lebih mengiritasi,
tapi memiliki efek dekongestan karena merangsang transpor oleh silia lebih baik daripada
cairan isotonik.Hal ini dibuktikan dengan kemampuan meningkatkan waktu berhenti dari
sakarin.
Sebuah studi kecil pada anak dengan rinokonjungtivitis alergi musiman, melakukan
irigasi dengan cairan hipertonik 3 kali sehari selama 7 minggu saat musim serbuk sari
berterbangan menunjukan adanya penurunan skor rinokonjungtivitis, walaupun perubahan
signifikan baru terlihat selama minggu 6 dan minggu 7. Sebagai tambahan, tindakan
membersihkan ini secara jelas menurunkan kebutuhan penggunaan anti histamin oral selama
5 sampai 7 minggu. Studi lain menunjukan efek dari pembersihan hidung pada wanita hamil
dengan rinitis alergi musiman selama 6 minggu saat musim serbuk sari. Pada studi ini,
penggunaan irigasi hipertonik 3 kali sehari membuat terjadinya pengurangan gejala
gangguan nasal, pengurangan penggunaan obat, dan perbaikan patensi nasal lewat penilaian
secara objektif.
Pada studi prospektif yang terpisah pada 211 orang dengan penyakit sinus nasal,
termasuk rinitis alergi, rinitis karena penuaan, rinitis atropi, dan rinosinusitis kronik,
melakukan irigasi salin hipertonik membuat terjadinya perbaikan signifikan secara statistik
pada 23 dari 30 gejala lewat kuesioner mengenai gejala gejala spesifik.
IMUNOTERAPI PADA PENANGANAN RINITIS ALERGI
Imunoterapi merupakan satu satunya terapi yang dapat mengubah perjalanan
penyakit rinitis alergi dan memperlambat perkembangan alergi pada pasien dengan atopik.
Kemampuan imunoterapi subkutan untuk mengurangi resiko asma yang selanjutnya
didemonstrasikan pada penelitian kohort ke anak usia 6 sampai `14 tahun dengan gejala
rinitis minimal tingkat keparahan sedang dan gejala pada mata, tapi tidak memiliki asma, tapi

memiliki alergi. Pada studi ini, 205 anak anak secara acak menerima imunoterapi spesifik
selama 3 tahun atau dalam pada grup kontrol terbuka.Anak yang diterapi setelah 3 tahun
secara aktif memiliki gejala asma lebih ringan secara signifikan. Setelah ditambahkan waktu
7 tahun, 147 dari 205 anak anak, yang sekarang berusia 16 25 tahun, kembali di evaluasi.
Tidak hanya terjadi perbaikan secara signifikan dari rinokonjungtivitis, tapi juga secara
signifikan, subjek yang mendapat imunoterapi berkembang menjadi asma lebih sedikit
daripada yang tidak mendapat imunoterapi lewat evaluasi dari gejala klinis Saat terjadi
perbaikan untuk hiper responsif dari bronkial dan status asma berdasarkan patokan standar,
termasuk observasi menyeluruh selama masa tindak lanjut dalam 10 tahun (anak dengan atau
tanpa asma pada patokan standar, n = 189; 511 observasi), rasio tanpa asma adalah 4,6, pada
anak yang mendapatkan imunoterapi subkutan.Remisi klinis yang memanjang diakibatkan
karena penggunaan imunoterapi subkutan 3 sampai 5 tahun dan berhubungan dengan
perubahan secara persisten reaktivitas imunologis.
Sampai sekarang, imunoterapi hanya dapat diberikan secara subkutan. Namun
terdapat bukti yang mendukung efikasi penggunaan sublingual.Penggunaan sublingual belum
mendapat persetujuan administrasi obat dan pangan Amerika, tapi sudah tersebar luas di
Eropa.Penggunaan sublingual terlihat lebih aman daripada subkutan, dan efek samping
biasanya terbatas hanya pada saluran nafas atas dan traktus gastrointestinal.Jarang dilaporkan
adanya kasus anafilaktik.Sama dengan penggunaan subkutan, penggunaan sublingual
mungkin dapat mengubah perjalanan alami penyakit atopi berdasarkan efek menurunkan
progresifitas dari asma.Terdapat beberapa hal yang belum terjawab, termasuk menemukan
dosis optimal, menentukan lama terapi yang tepat, dan menentukan bagaimana penggunaan
pada terapi yang tersensitisasi pada banyak alergen.
Imunoterapi subkutan sebaiknya digunakan secara hati hati, hanya pada pasien
tertentu yang tetap menimbulkan gejala walau sudah mendapat terapi farmakologis yang
tepat atau pasien yang tidak bisa atau tidak mau mendapat terapi farmakologis dalam periode
jangka panjang. Penggunaan khusus pada kasus pediatrik yang mungkin mengalami
penurunan resiko terjadinya asma dengan imunoterapi subkutan

KESIMPULAN
Rinitis alergi dan rinopati non alergika merupakan keadaan yang umum terjadi yang
menjangkiti jutaan orang pada negara industri.Tidak seperti rinitis alergi, patofisiologi yang
mendasari rinopati non alergika tidak dapat dipahami secara sepenuhnya, yang mungkin
terjadi karena kondisi yang heterogen pada kategori ini.Walaupun terdapat sejumlah golongan
obat yang menunjukan efek klinis dan aman sebagai terapi rinitis alergi, tetapi hanya sedikit
pilihan yang benar benar efektif bagi para klinisi untuk menangani rinopati non alergika.
Pemahaman proses patologis yang lebih baik mengenai rinopati non alergika, akan
meningkatkan jumlah terapi yang berpotensi memperbaiki keadaan pada kasus ini.

REFERENSI
1. Baraniuk JN. Pathogenic mechanisms of idiopathic nonallergic rhinitis. World Allergy
Organiz J 2009;2:106114.
2. Wallace DV, Dykewicz MS, Bernstein DI, Blessing-Moore J, Cox L,Khan DA, Lang DM,
Nicklas RA, Oppenheimer J, Portnoy JM,et al. The diagnosis and management of rhinitis: an
updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2008;122:S1S84.
3. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A,Zuberbier T, BaenaCagnani CE, Canonica GW, van Weel C, et al.Allergic Rhinitis And its Impact on Asthma
(ARIA) 2008 update (in collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and
AllerGen). Allergy 2008;63:8160.
4. Allergies in America survey. [Accessed April 2, 2010.] Available from
http://www.myallergiesinamerica.com
5. Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD, Halonen M, Morgan W, Taussig LM. Epidemiology
of physician diagnosed allergic rhinitis in childhood. Pediatrics 1994;94:895901.
6. Settipane RA. Epidemiology of vasomotor rhinitis. World Allergy Organiz J 2009;2:115
118.
7. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol
2001;86:494507.
8. Nathan RA, Dalal AA, Stanford RH, Meltzer EO, Schatz M, Derebery J, Mintz M,
Thompson M, DiBenedetti DB. Qualitative development of the rhinitis control assessment
test (RCAT), an instrument for evaluating rhinitis control. Patient 2010;3:9199.
9. Lindberg S, Malam L. Comparison of allergic rhinitis and vasomotor rhinitis patients on
the basis of a computer questionnaire. Allergy 1993;48:602607.
10. Togias A. Age relationships and clinical features of nonallergic rhinitis [abstract]. J
Allergy Clin Immunol 1990;85:182.
11. Meltzer EO. The pharmacological basis for the treatment of perennial allergic rhinitis and
non-allergic rhinitis with topical corticosteroids. Allergy 1997;52:3340.
12. Corren J. Intranasal corticosteroids for allergic rhinitis: how do different agents compare?
J Allergy Clin Immunol 1999;104:S144S149.
13. Welsh PW, Stricker WE, Chu CP, Naessens JM, Reese ME, Reed CE, Marcoux JP.
Efficacy of beclomethasone nasal solution, flunisolide, and cromolyn in relieving symptoms
of ragweed allergy. Mayo Clin Proc 1987;62:125134.
14. Holm AF, Fokkens WJ, Godthelp T, Mulder PG, Vroom TM, Rijntjes E. A 1-yr placebocontrolled study of intranasal fluticasone propionate aqueous nasal spray in patients with
perennial allergic rhinitis: a safety and biopsy study. Clin Otolaryngol 1998;23:6973.
15. Minshall E, Ghaffar O, Cameron L, OBrien F, Quinn H, Rowe-Jones J, Davies RJ, Prior
A, Lund VJ, Mackay IS, et al. Assessment by nasal biopsy of long-term use of mometasone
furoate nasal spray (Nasonex) in the treatment of perennial rhinitis. Otolaryngol Head
Neck Surg 1998;118:648654.
16. Wilson AM, McFarlane LC, Lipworth BJ. Effect of repeated once daily dosing of three
intranasal corticosteroids on basal and dynamic measurements of hypothalamic-pituitaryadrenal axis activity. J Allergy Clin Immunol 1998;101:470474.
17. Wilson AM, Sims EJ, McFarlane LC, Lipworth BJ. Effects of intranasal corticosteroids
on adrenal, bone, and blood markers of systemic activity in allergic rhinitis. J Allergy Clin
Immunol 1998;102: 598604.
18. Suissa S, Baltzan M, Kremer R, Ernst P. Inhaled and nasal corticosteroid use and the risk
of fracture. Am J Respir Crit Care Med 2004; 169:8388.
19. Skoner DP, Rachelefsky GS, Meltzer EO, Chervinsky P, Morris RM, Seltzer JM, Storms
WW, Wood RA. Detection of growth suppression in children during treatment with intranasal
beclomethasone dipropionate. Pediatrics 2000;105:E23.

20. Murphy K, Uryniak T, Simpson B, ODowd L. Growth velocity in children with perennial
allergic rhinitis treated with budesonide aqueous nasal spray. Ann Allergy Asthma Immunol
2006;96:723730.
21. Schenkel EJ, Skoner DP, Bronsky EA, Miller SD, Pearlman DS, Rooklin A, Rosen JP,
Ruff ME, Vandewalker ML, Wanderer A, et al. Absence of growth retardation in children
with perennial allergic rhinitis after one year of treatment with mometasone furoate aqueous
nasal spray. Pediatrics 2000;105:E22.
22. Allen DB, Meltzer EO, Lemanske RF Jr, Philpot EE, Faris MA, Kral KM, Prillaman BA,
Rickard KA. No growth suppression in children treated with the maximum recommended
dose of fluticasone propionate aqueous nasal spray for one year. Allergy Asthma Proc 2002;
23:407413.
23. Skoner DP, Gentile DA, Doyle WJ. Effect on growth of long-term treatment with
intranasal triamcinolone acetonide aqueous in children with allergic rhinitis. Ann Allergy
Asthma Immunol 2008;101: 431436.
24. Weiner JM, Abramson MJ, Puy RM. Intranasal corticosteroids versus oral H1 receptor
antagonists in allergic rhinitis: systematic review of randomized controlled trials. BMJ
1998;317:16241629.
25. Rinne J, Simola M, Malmberg H, Haahtela T. Early treatment of perennial rhinitis with
budesonide or cetirizine and it effects on longterm outcome. J Allergy Clin Immunol
2002;109:426432.
26. Nathan RA, Yancey SW, Waitkus-Edwards K, Prillaman BA, Stauffer JL, Philpot E,
Dorinsky PM, Nelson HS. Fluticasone propionate nasal spray is superior to montelukast for
allergic rhinitis while neither affects overall asthma control. Chest 2005;128:19101920.
27. Ratner PH, Howland WC III, Arastu R, Philpot EE, Klein KC, Baidoo CA, Farris MA,
Rickard KA. Fluticasone propionate aqueous nasal spray provided significantly greater
improvement in daytime and nighttime nasal symptoms of seasonal allergic rhinitis compared
with montelukast. Ann Allergy Asthma Immunol 2003;90:536542.
28. Wilson AM, Orr LC, Sims EJ, Lipworth BJ. Effects of monotherapy with intra-nasal
corticosteroids or combined oral histamine and leukotriene receptor antagonists in seasonal
allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2001;31:6168.
29. Di Lorenzo G, Pacor ML, Pellitteri ME, Morici G, Di Gregoli A, Lo Bianco C, Ditta V,
Martinelli N, Candore G, Mansueto G, et al. Randomized placebo-controlled trial comparing
fluticasone aqueous nasal spray in mono-therapy, fluticasone plus cetirizine, fluticasone
plus montelukast and cetirizine plus montelukast for seasonal allergic rhinitis. Clin Exp
Allergy 2004;34:259267.
30. Pullerits T, Praks L, Ristioja V, Lo tvall J. Comparison of a nasal glucocorticoid,
antileukotriene, and a combination of antileukotriene and antihistamine in the treatment of
seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2002;109:949955.
31. Kaliner MA, Storms W, Tilles S, Spector S, Tan R, LaForce C, Lanier BQ, Chipps B.
Comparison of olopatadine 0.6% nasal spray versus fluticasone propionate 50 microg in the
treatment of seasonal allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc 2009;30:255262.
32. Barnes ML, Ward JH, Fardon TC, Lipworth BJ. Effects of levocetirizine as add-on
therapy to fluticasone in seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2006;36:676684.
33. Ratner PH, van Bavel JH, Martin BG, Hampel FC Jr, Howland WC III, Rogenes PR,
Westlund RE, Bowers BW, Cook CK. A comparison of the efficacy of fluticasone propionate
aqueous nasal spray and loratadine, alone and in combination, for the treatment of seasonal
allergic rhinitis. J Fam Pract 1998;47:118125.
34. Ratner PH, Hampel F, VanBavel J, Amar NJ, Daftary P, Wheeler W, Sacks H.
Combination therapy with azelastine hydrochloride nasal spray in the treatment of patients
with seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2008;100:7481.

35. Flonase [prescribing information]. Research Triangle Park, North Carolina:


GlaxoSmithKline; 2004 [accessed April 2, 2010]. Available at http://www.flonase.com.
36. Webb DR, Meltzer EO, Finn AF Jr, Rickard KA, Pepsin PJ, Westlund R, Cook CK.
Intranasal fluticasone propionate is effective for perennial nonallergic rhinitis with or without
eosinophilia. Ann Allergy Asthma Immunol 2002;88:385390.
37. Arikan OK, Koc C, Kendi T, Muluk NB, Ekici A. CT assessment of the effect of
fluticasone propionate aqueous nasal spray treatment on lower turbinate hypertrophy due to
vasomotor rhinitis. Acta Otolaryngol 2006;126:3742.
38. Malm L, Wihl JA, Lamm CJ, Lindqvist N. Reduction of metacholine induced nasal
secretion by treatment with a new topical steroids in perennial non-allergic rhinitis. Allergy
1981;36:209214.
39. Lundblad L, Sipila P, Farstad T, Drozdziewicz D. Mometasone furoate nasal spray in the
treatment of perennial non-allergic rhinitis: a nordic, multicenter, randomized, double-blind,
placebo-controlled study. Acta Otolaryngol 2001;121:505509.
40. Jacobs R, Lieberman P, Kent E, Silvey M, Locantore N, Philpot EE.
Weather/temperature-sensitive vasomotor rhinitis may be refractory to intranasal
corticosteroid treatment. Allergy Asthma Proc 2009;30: 120127.
41. Meltzer EO. The treatment of vasomotor rhinitis with intranasal corticosteroids. World
Allergy Organiz J 2009;2:166179.
42. Van Cauwenberge P, Juniper EF. Comparison of the efficacy, safety and quality of life
provided by fexofenadine hydrochloride 120 mg, loratadine 10 mg and placebo administered
once daily for the treatment of seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2000;30:
891899.
43. Simons FER, Simons KJ. Clinical pharmacology of H1-antihistamines. In: Simons FER,
editor. Histamine and H1-anti histamines in allergic disease, 2nd ed. New York: Marcel
Dekker; 2002. p. 14178.
44. Passalacqua G, Scordamaglia A, Ruffoni S, Parodi MN, Canonica GW. Sedation from H1
antagonists: evaluation methods and experimental results. Allergol Immunopathol (Madr)
1993;21:7983.
45. Soper JW, Chaturvedi AK, Canfield DV. Prevalence of chlorpheniramine in aviation
accident pilot fatalities, 19911996. Aviat Space Environ Med 2000;71:12061209.
46. Gilmore TM, Alexander BH, Mueller BA, Rivara FP. Occupational injuries and
medication use. Am J Ind Med 1996;30:234239.
47. Cockburn IM, Bailit HL, Berndt ER, Finkelstein SN. Loss of work productivity due to
illness and medical treatment. J Occup Environ Med 1999;41:948953.
48. Weiler JM, Bloomfield JR, Woodworth GG, Grant AR, Layton TA, Brown TL, McKenzie
DR, Baker TW, Watson GS. Effects of fexofenadine, diphenhydramine, and alcohol on
driving performance: a randomized, placebo-controlled trial in the Iowa Driving
Simulator. Ann Intern Med 2000;132:354363.
49. Goetz DW, Jacobson JM, Murnane JE, Reid MJ, Repperger DW, Goodyear C, Martin
ME. Prolongation of simple and choice reaction times in a double-blinded comparison of
twice-daily hydroxyzine versus terfenadine. J Allergy Clin Immunol 1989;84:316322.
50. Simons FER. H1-antihistamines. In: Adkinson NF Jr, Yunginger JW, Busse WW, Bochner
BS, Holgate ST, Simons FER, editors. Middletons allergy: principles and practice, 6th ed.
Philadelphia: Mosby; 2003. pp. 83469.
51. Richardson GS, Roehrs TA, Rosenthal L, Koshorek G, Roth T. Tolerance to daytime
sedative effects of H1 antihistamines. J Clin Psychopharmacol 2002;22:511515.
52. Druce HM, Thoden WR, Mure P, Furey SA, Lockhart EA, Xie T, Galant S, Prenner BM,
Weinstein S, Ziering R, et al. Brompheniramine, loratadine and placebo in allergic rhinitis: a
placebo-controlled comparative clinical trial. J Clin Pharmacol 1998;38:382389.

53. Simons FER. Advances in H1-antihistamines. N Engl J Med 2004;351: 22032217.


54. Shamsi Z, Hindmarch I. Sedation and antihistamines: a review of interdrug differences
using proportional impairment ratios. Hum Psychopharmacol 2000;15:S3S30.
55. Hindmarch I, Shamsi Z. Antihistamines: models to assess sedative properties, assessment
of sedation, safety and other side-effects. Clin Exp Allergy 1999;29:133142.
56. Zyrtec [prescribing information]. New York: Pfizer Laboratories; updated 2004 [accessed
February 12, 2010]. Available at http://www.zyrtec.com
57. Xyxal [prescribing information]. UCB, Inc. and Sanofi-Aventis US; update 2010
[accessed February 12, 2010]. Available at http://www.xyzal.com
58. Purello-DAmbrosio F, Isola S, Ricciardi L, Gangemi S, Barresi L, Bagnato GF. A
controlled study on the effectiveness of loratadine in combination with flunisolide in the
treatment of nonallergic rhinitis with eosinophilia (NARES). Clin Exp Allergy
1999;29:11431147.
59. Lieberman P. The role of antihistamines in the treatment of vasomotor rhinitis. World
Allergy Organiz J 2009;2:156161.
60. Shah S, Berger W, Lumry W, La Force C, Wheeler W, Sacks H. Efficacy and safety of
azelastine 0.15% nasal spray and azelastine 0.10% nasal spray in patients with seasonal
allergic rhinitis. Allergy Asthma Proc 2009;30:628633.
61. Patel D, Garadi R, Brubaker M, Conroy JP, Kaji Y, Crenshaw K, Whitling A, Wall GM.
Onset and duration of action of nasal sprays in seasonal allergic rhinitis patients: olopatadine
hydrochloride versus mometasone furoate monohydrate. Allergy Asthma Proc
2007;28:592599. Greiner and Meltzer: Treatment of Allergic Rhinitis and Nonallergic
Rhinopathy 129
62. Ratner PH, Findlay SR, Hampel F Jr, van Bavel J, Widlitz MD, Freitag JJ. A doubleblind, controlled trial to assess the safety and efficacy of azelastine nasal spray in seasonal
allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1994;94:818825.
63. Meltzer EO, Weiler JM, Dockhorn RJ, Widlitz MD, Freitag JJ. Azelastine nasal spray in
the management of seasonal allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 1994;72:354
359.
64. Ratner PH, Hampel FC, Amar NJ, van Bavel JH, Mohar D, Marple BF, Roland PS, Wall
GM, Brubaker MJ, Drake M, et al. Safety and efficacy of olopatadine hydrochloride nasal
spray for the treatment of seasonal allergic rhinitis to mountain cedar. Ann Allergy Asthma
Immunol 2005;95:474477.
65. Shah SR, Nayak A, Ratner P, Roland P, Michael Wall G. Effects of olopatadine
hydrochloride nasal spray 0.6% in the treatment of seasonal allergic rhinitis: a phase III,
multicenter, randomized, double-blind, active- and placebo-controlled study in adolescents
and adults. Clin Ther 2009;31:99107.
66. Corren J, Storms W, Bernstein J, Berger W, Nayak A, Sacks H; Azelastine Cetirizine Trial
No. 1 (ACT 1) Study Group. Effectiveness of azelastine nasal spray compared with oral
cetirizine in patients with seasonal allergic rhinitis. Clin Ther 2005;27:543553.
67. Horak F, Zieglmayer UP, Zieglmayer R, Kavina A, Marschall K,Munzel U, Petzold U.
Azelastine nasal spray and desloratadine tablets in pollen-induced seasonal allergic rhinitis: a
pharmacodynamic study of onset of action and efficacy. Curr Med Res Opin 2006;22:151
157.
68. Laforce CF, Corren J, Wheeler WJ, Berger WE; Rhinitis Study Group. Efficacy of
azelastine nasal spray in seasonal allergic rhinitis patients who remain symptomatic after
treatment with fexofenadine. Ann Allergy Asthma Immunol 2004;93:154159.
69. Enomoto T, Lu HQ, Yin M, Sakoda T, Dake Y, Enomoto K, Ide T, Cheng L. Evaluation of
the efficacy and safety of olopatadine and fexofenadine compared with placebo in Japanese
cedar pollinosis using an environmental exposure unit. J Investig Allergol Clin

Immunol 2009;19:299305.
70. Charpin D, Godard P, Garay RP, Baehre M, Herman D, Michel FB. A multicenter clinical
study of the efficacy and tolerability of azelastine nasal spray in the treatment of seasonal
allergic rhinitis: a comparison with oral cetirizine. Eur Arch Otorhinolaryngol 1995;
252:455458.
71. Meltzer EO, Garadi R, LaForce C, Chadwick SJ, Berger WE, Gross G, Edwards MR,
Censhaw K, Wall GM. Comparative study of sensory attributes of two antihistamine nasal
sprays: olopatadine 0.6% and azelastine 0.1%. Allergy Asthma Proc 2008;29:659668.
72. Stern MA, Wade AG, Ridout SM, Cambell LM. Nasal budesonide offers superior
symptom relief in perennial allergic rhinitis in comparison to nasal azelastine. Ann Allergy
Asthma Immunol 1998;81:354358.
73. Banov CH, Lieberman P; Vasomotor Rhinitis Study Groups. Efficacy of azelastine nasal
spray in the treatment of vasomotor (perennial nonallergic) rhinitis. Ann Allergy Asthma
Immunol 2001;86:2835.
74. Smith PK. Olopatadine 0.6% nasal spray reduces symptoms in patients with severe
vasomotor rhinitis and protects from hyperosmolar challenge [abstract]. J Allergy Clin
Immunol 2010;2:AB176.
75. Malm L, McCaffrey TV, Kern EB. Alpha-adrenoceptor-mediated secretion from the
anterior nasal glands of the dog. Acta Otolaryngol 1983;96:149155.
76. Mucha SM, deTineo M, Naclerio RM, Baroody FM. Comparison of montelukast and
pseudoephedrine in the treatment of allergic rhinitis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg
2006;132:164172.
77. Malm L, Anggard A. Vasoconstrictors. In: Mygind N, Naclerio RM, editors. Allergic and
non-allergic rhinitis: clinical aspects. Copenhagen: Munsgaard; 1993. pp. 95100.
78. Lanier BQ, Meltzer EO, Gates D, Shekar T, Teper A. Onset and duration of action of
concomitant administration of mometasone furoate nasal spray with oxymetazoline nasal
spray versus either drug alone and placebo in subjects with seasonal allergic rhinitis
[abstract]. J Allergy Clin Immunol 2010;2:AB173.
79. Rael EL, Ramey JT, Lockey RF. Oxymetazoline (OXY) hydrochloride combined with
mometasone nasal spray (MNS) for persistent nasal congestion (NC) [abstract]. J Allergy
Clin Immunol 2010;2:AB173.
80. Nayak AS, Prenner B, Gates D, Shekar T, Teper A. Tolerability of concomitant
administration of mometasone furoate and oxymetazoline nasal sprays administered once
daily vs oxymetazoline twice daily, mometasone furoate once daily, and placebo in the
treatment of subjects with seasonal allergic rhinitis [abstract]. J Allergy Clin Immunol
2010;2:AB175.
81. Cos JS. Disodium cromoglycate (FPL 670 Intal): a specific inhibitor of reaginic
antigen-antibody mechanisms. Nature 1967;216:1328 1329.
82. Orie NGM, Booij-Nord H, Pelikan Z. Protective effect of disodium cromoglycate on
nasal and bronchial reactions after allergen challenge. In: Pepys J, Frankland AW, editors.
Disodium cromoglycate in allergic airway disease. London: Butterworth; 1970. pp. 3341.
83. Meltzer EO. NasalCrom Study Group. Efficacy and patient satisfaction with cromolyn
sodium nasal solution in the treatment of seasonal allergic rhinitis: a placebo-controlled study.
Clin Ther 2002;24:942952.
84. Cohan RH, Bloom FL, Rhoades RB, Wittig HJ, Haugh LD. Treatment of perennial
allergic rhinitis with cromolyn sodium. Double-blind study on 34 adult patients. J Allergy
Clin Immunol 1976;58:121128.
85. Nelson BL, Jacobs RL. Response of nonallergic rhinitis with eosinophilia (NARES)
syndrome to 4% cromolyn sodium nasal solution. J Allergy Clin Immunol 1982;70:125128.

86. Lofkvist T, Rundcrantz H, Svensson G. Treatment of vasomotor rhinitis with intranasal


disodium cromoglycate (SCG). Results from a double-blind cross-over study. Acta Allergol
1977;32:3543.
87. Wang D, Clement P, Smitz J, Derde M-P. Concentrations of chemical mediators in nasal
secretions after nasal allergen challenges in atopic patients. Eur Arch Otorhinolaryngol
1995;252:S40S43.
88. Bisgaard H, Olsson P, Bende M. Effect of leukotriene D4 on nasal mucosal blood flow,
nasal airway resistance and nasal secretions in humans. Clin Allergy 1986;16:289297.
89. Fujita M, Yonetomi Y, Shimouchi K, Takeda H, Aze Y, Kawabata K, Ohno H.
Involvement of cysteinyl leukotrienes in biphasic increase of nasal airway resistance of
antigen-induced rhinitis in guinea pigs. Eur J Pharmacol 1999;369:349356.
90. van Adelsberg J, Philip G, Pedinoff AJ, Meltzer EO, Ratner PH, Menten J, Reiss TF;
Montelukast Fall Rhinitis Study Group. Montelukast improves symptoms of seasonal allergic
rhinitis over a 4-week treatment period. Allergy 2003;58:12681276.
91. Chervinsky P, Philip G, Malice MP, Bardelas J, Nayak A, Marchal JL, van Adelsberg J,
Bousquet J, Tozzi CA, Reiss TF. Montelukast for treating fall allergic rhinitis: effect of pollen
exposure in 3 studies. Ann Allergy Asthma Immunol 2004;92:367373.
92. Chen ST, Lu KH, Sun HL, Chang WT, Lue KH, Chou MC. Randomized placebocontrolled trial comparing montelukast and cetirizine for treating perennial allergic rhinitis in
children aged 26 yr. Pediatr Allergy Immunol 2006;17:4954.
93. Patel P, Philip G, Yang W, Call R, Horak F, LaForce C, Gilles L, Garrett GC, Dass SB,
Knorr BA, et al. Randomized, double-blind, placebo-controlled study of montelukast for
treating perennial allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2005;95:551557.
94. Singulair [prescribing information]. New Jersey: Merck & Co. [Accessed March 26,
2010.] Available at http://www.singulair.com
95. Grainger J, Drake-Lee A. Montelukast in allergic rhinitis: a systematic review and metaanalysis. Clin Otolaryngol 2006;31:360367.
96. Martin BG, Andrews CP, van Bavel JH, Hampel FC, Klein KC, Prillaman BA, Faris MA,
Philpot EE. Comparison of fluticasone propionate aqueous nasal spray and oral montelukast
for the treatment of seasonal allergic rhinitis symptoms. Ann Allergy Asthma Immunol
2006;96:851857.
97. Wood CC, Fireman P, Grossman J, Wecker M, MacGregor T. Product characteristics and
pharmacokinetics of intranasal ipratropium bromide. J Allergy Clin Immunol 1995;95:1111
1116.
98. Kirkegaard J, Mygind N, Molgaard F, Grahne B, Holopainen E, Malmberg H, Brondbo
K, Rjne T. Ordinary and high-dose ipratropium in perennial nonallergic rhinitis. J Allergy
Clin Immunol 1987;79:585590.
99. Kim KT, Kerwin E, Landwehr L, Bernstein JA, Bruner D, Harris D, Drda K, Wanger J,
Wood CC; Pediatric Atrovent Nasal Spray Study Group. Use of 0.06% ipratropium bromide
nasal spray in children aged 2 to 5 years with rhinorrhea due to a common cold or allergies.
Ann Allergy Asthma Immunol 2005;94:7379.
100. Meltzer EO, Orgel HA, Biondi R, Georgitis J, Milgrom H, Munk Z, Van Bavel J, Wood
CC, Drda K. Ipratropium nasal spray in children with perennial rhinitis. Ann Allergy Asthma
Immunol 1997;78: 485491.
101. Bronsky EA, Druce H, Findlay SR, Hampel FC, Kaiser H, Ratner P, Valentine MD,
Wood CC. A clinical trial of ipratropium bromide nasal spray in patients with perennial
nonallergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 1995;95:11171122.
102. Grossman J, Banov C, Boggs P, Bronsky EA, Dockhorn RJ, Druce H, Findlay SR,
Georgitis JW, Hampel FC, Kaiser H, et al. Use of ipratropium bromide nasal spray in chronic

treatment of nonallergic perennial rhinitis, alone and in combination with other perennial
rhinitis medications. J Allergy Clin Immunol 1995;95:11231127.
103. Blom HM, Van Rijswijk JB, Garrelds IM, Mulder PG, Timmermans T, Gerth van Wijk
R. Intranasal capsaicin is efficacious in non-allergic, non-infectious perennial rhinitis. A
placebo-controlled study. Clin Exp Allergy 1997;27:796801.
104. Ciabatti PG, DAscanio L. Intranasal Capsicum spray in idiopathic rhinitis: a
randomized prospective application regimen trial. Acta Otolaryngol 2009;129:367371.
105. Van Rijswijk JB, Boeke EL, Keizer JM, Mulder PG, Blom HM, Fokkens WJ. Intranasal
capsaicin reduces nasal hyperreactivity in idiopathic rhinitis: a double-blind randomized
application regimen study. Allergy 2003;58:754761.
106. van Rijswijk JB, Blom HM, Fokkens WJ. Idiopathic rhinitis, the ongoing quest. Allergy
2005;60:14711481.
107. Cheng J, Yang XN, Liu X, Zhang SP. Capsaicin for allergic rhinitis in adults. Cochrane
Database Syst Rev 2006;19:CD004460.
108. Casale TB, Condemi J, LaForce C, Nayak A, Rowe M, Watrous M, McAlary M, FowlerTaylor A, Racine A, Gupta N, et al. Effect of omalizumab on symptoms of seasonal allergic
rhinitis: a randomized controlled trial. JAMA 2001;286:29562967.
109. Adelroth E, Rak S, Huahtela T, Aasand G, Rosenhall L, Zetterstrom L, Byrne A,
Champain K, Thirlwell J, Cioppa GD, et al. Recombinant humanized mAb-E25, an anti IgE
mAb, in birch pollen-induced seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol
2000;106:253259.
110. Chervinsky P, Casale T, Townley R, Tripathy I, Hedgecock S, Fowler-Taylor A, Shen H,
Fox H. Omalizumab, an anti-IgE antibody, in the treatment of adults and adolescents with
perennial allergic rhinitis. Ann Allergy Asthma Immunol 2003;91:160167.
111. Vignola AM, HumbertM, Bousquet J, Boulet LP, Hedgecock S, BloggM, Fox H, Surrey
K. Efficacy and tolerability of anti-immunoglobulin E therapy with omalizumab in patients
with concomitant allergic asthma and persistent allergic rhinitis: SOLAR. Allergy
2004;59:709717.
112. Cox L, Platts-Mills TA, Finegold I, Schwartz LB, Simons FE, Wallace DV. American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology; American College of Allergy, Asthma and
Immunology. American Academy of Allergy, Asthma & Immunology/American College of
Allergy, Asthma and Immunology Joint Task Force Report on omalizumab-associated
anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 2007; 120:13731377.
113. Talbot AR, Herr TM, Parsons DS. Mucociliary clearance and buffered hypertonic saline
solution. Laryngoscope 1997;107:500503.
114. Garavello W, Di Beradio F, Romagnoli M, Sambataro G, Gaini RM. Nasal rinsing with
hypertonic solution: an adjunctive treatment for pediatric seasonal allergic
rhinoconjunctivitis. Int Arch Allergy Immunol 2005;137:310314.
115. Garavello W, Somigliana E, Acaia B, Gaini L, Pignataro L, Gaini RM. Nasal lavage in
pregnant women with seasonal allergic rhinitis: a randomized study. Int Arch Allergy
Immunol 2010;15:137141.
116. Tomooka LT, Murphy C, Davidson TM. Clinical study and literature review of nasal
irrigation. Laryngoscope 2000;110:11891193.
117. Mo ller C, Dreborg S, Ferdousi HA, Halken S, Host A, Jacobsen L, Koivikko A, Koller
DY, Niggemann B, Norberg LA, et al. Pollen immunotherapy reduces the development of
asthma in children with seasonal rhinoconjunctivitis. J Allergy Clin Immunol 2002;109:
251256.
118. Jacobsen L, Niggemann B, Dreborg S, Ferdousi HA, Halken S, Hst A, Koivikko A,
Norberg LA, Valovirta E, Wahn U, et al. Specific immunotherapy has long-term preventive
effect of seasonal and perennial asthma: 10-year follow-up on the PAT study. Allergy 2007;

62:943948.
119. James LK, Durham SR. Update on mechanisms of allergen injection immunotherapy.
Clin Exp Allergy 2008;38:10741088.
120. Windom HH, Lockey RF. An update on the safety of specific immunotherapy. Curr Opin
Allergy Clin Immunol 2008;8:571576.
121. Novembre E, Galli E, Landi F, Caffarelli C, Pifferi M, De Marco E, Burastero SE, Calori
G, Benetti L, Bonazza P, et al. Coseasonal sublingual immunotherapy reduces the
development of asthma in children with allergic rhinoconjunctivitis. J Allergy Clin Immunol
2004;114:851857.
122. Calderon MA, Alves B, Jacobson M, Hurwitz B, Sheikh A, Durham S. Allergen
injection immunotherapy for season allergic rhinitis.

RINITIS ALERGI

Peter Small, Harold Kim


Ashtma & Clinical Immunology 2011, 7(Suppl 1):53
Abstrak
Rinitis alergi adalah suatu keadaan yang sering terjadi dan erat hubungannya dengan asma
serta konjungtivitis. Biasanya rinitis alergi merupakan kondisi yang terjadi dalam waktu lama
dan seringkali tidak terdeteksi pada pelayanan kesehatan tingkat primer.Gejala klasik dari
gangguan ini adalah kongesti nasal, rasa gatal pada hidung, rinore, dan bersin
bersin.Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan alergen pada kulit merupakan hal
yang penting untuk menegakan diagnosis dari rinitis alergi. Imunoterapi alergen merupakan
terapi yang efektif sebagai imunomodulator yang sebaiknya digunakan jika terapi
farmakologi tidak efektif. Artikel ini menyediakan tinjauan patofisiologi, diagnosis, dan
penanganan yang tepat terhadap masalah ini.

Pendahuluan
Rinitis secara luas didefinisikan sebagi adanya inflamasi pada mukosa hidung.
Penyakit ini sering terjadi, menjangkiti sekitar 40 % populasi. Rinitis alergi merupakan tipe
rinitis kronik tersering, mengenai 10 20 % populasi, dan terdapat bukti bahwa angka
kejadian penyakit ini meningkat. Rinitis alergi parah seringkali dihubungkan dengan
perubahan signifikan dari kualitas hidup, tidur, dan pekerjaan seseorang.
Di masa lampau, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan yang terlokalisir pada
hidung serta jalan nafas. Tapi bukti yang ada sekarang ini menunjukan bahwa terdapat
gangguan sistemik jalan nafas yang meliputi semua jalur respirasi. Terdapat beberapa
hubungan fisiologis, fungsional, dan imunologis antara saluran nafas atas (hidung, rongga
hidung, sinus paranasalis, faring, dan laring) serta bawah (trakea, bronkus, bronkiolus, dan
paru). Sebagai contoh, saluran nafas bagian atas dan bawah memiliki epitel bersilia yang
mengandung sel goblet yang akan menghasilkan mukus, yang berfungsi untuk menyaring
udara yang masuk dan melindungi struktur dalam jalan nafas. Lebih lanjut, mukosa pada
saluran nafas bagian atas maupun bawah sama sama memiliki kelenjar mukus, rangkaian
pembuluh darah, sel pendukung, saraf, serta sel sel radang. Bukti yang ada menunjukan
bahwa rangsangan alergen pada saluran nafas bagian atas tidak hanya merangsang inflamasi
secara lokal, tapi juga merangsang inflamasi pada saluran nafas bagian bawah. Hal ini
mendukung fakta bahwa rinitis seringkali bersamaan dengan asma. Oleh karena itu, rinitis
alergi dan asma seringkali muncul sebagai penyakit peradangan saluran nafas, dan hal ini
penting untuk dipahami agar dapat memberikan penilaian dan terapi yang optimal pada
pasien dengan rinitis alergi.

Pedoman komprehensif dan dapat diterima sebagai patokan dignosis dan terapi rinitis
alergi dipublikasikan pada tahun 2007. Artikel ini menyediakan tinjauan mengenai
rekomendasi yang tersedia pada pedoman dan literatur literatur yang berhubungan dengan
patofisiologi, diagnosis, dan terapi yang tepat untuk rinitis alergi.

Patofisiologi
Pada rinitis alergi, beberapa sel inflamasi, seperti sel mast, sel T positif CD 4,
makrofag, dan eosinofil, melakukan infiltrasi ke lapisan nasal saat terjadi paparan terhadap
alergan (paling sering partikel yang berterbangan lewat udara seperti debu, residu kecoak,
jamur, binatang, dan serbuk sari). Sel T melakukan infiltrasi pada mukosa hidung dengan
dominan sel T 2 akan melepaskan sitokin (misal interleukin 3, 4, 5, 13) dan meningkatkan
imunoglobulin E. Produksi IgE memicu terlepasnya mediator seperti histamin dan leukotrien.
Mediator ini berfungsi mendilatasikan arteri, meningkatkan permeabilitas vaskular, gatal
gatal, rinore, sekresi mukus, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin yang dilepaskan
dalam fase awal respon imun karena rangsangan alergen, akan merangsang respon inflamasi
seluler dalam 4 sampai 8 jam (respon inflamasi fase lambat) sehingga menghasilkan gejala
yang berkurang.
Klasifikasi
Rinitis diklasifikasikan berdasarkan dari etiologi : di mediasi IgE (alergi), otonomik,
infeksi, dan idiopatik. Walaupun fokus pada artikel ini adalah rinitis alergi, deskripsi bentuk
rinitis lain terdapat pada tabel 1.
Secara tradisional, rinitis alergi dikategorikan sebagai musiman (hanya terjadi pada
musim tertentu) atau tahunan (terjadi sepanjang tahun). Namun tidak semua pasien yang
mengalami kasus rinitis alergi dapat di klasifikasikan menggunakan skema ini. Misalkan,
beberapa pencetus alergi, misalkan serbuk sari, dapat menimbulkan rinitis alergi pada iklim
yang dingin. Tapi pasien dengan rinitis alergi tahunan saat iklim hangat, dan pasien dengan
alergi musiman yang alergi dengan banyak alergen mungkin mengalami gejala sepanjang
tahun. Oleh karena itu rinitis alergi sekarang digolongan berdasarkan durasi gejala (persisten
atau intermiten) dan keparahan (ringan, sedang, berat). Rinitis dikatakan sebagai rinitis
intermiten jika total durasi inflamasi kurang dari 6 minggu, sedangkan persisten jika gejala
berlangsung sepanjang tahun. Rinitis alergi dikatakan ringan jika pasien dengan rinitis alergi
dapat tidur dengan normal dan tidak ada gangguan aktivitas. Rinitis alergi ringan biasanya
bersifat intermiten. Rinitis alergi dikatakan gejala sedang / berat jika secara signifikan
mempengaruhi aktivitas sehari hari dan tidur pasien. Penting untuk menggolongkan
berdasarkan durasi dan keparahan gejala sehingga dapat menjadi patokan dalam pendekatan
terapi tiap tiap individu.
Diagnosis dan Investigasi
Rinitis alergi biasanya merupakan keadaan kronis yang seringkali tidak terdeteksi
pada pelayanan primer. Pasien yang mengalami rinitis alergi seringkali gagal memahami

gangguan yang dialami terhadap kualitas hidup mereka, sehingga jarang memeriksakan diri.
Selain itu, dokter seringkali tidak menanyakan pertanyaan reguler ke pasien tentang penyakit
rinitis alergi. Oleh karena itu dianjurkan rinitis alergi , terutama pada pasien asma sejak studi
menunjukan bahwa 95 % kasus asma disertai dengan rinitis alergi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan kunci dalam menegakan diagnosis dari
rinitis alergi (lihat Tabel 2). Tes alergi juga penting untuk mengkonfirmasi apakah alergi yang
mendasari rinitis. Jika diagnosis rinitis alergi masih belum dapat ditegakan, disarankan
dirujuk ke ahli alergi.
Tabel 1. Etiologi klasifikasi rhinitis [1]
Deskripsi
Dimediasi IgE - Inflamasi yang dimediasi IgE pada mukosa hidup, menghasilkan
(alergi)
infiltrasi eusinofil dan sel Th2
- Lebih jauh diklasifikasikan sebagai intermiten/persisten
Otonom
- Karena obat (rhinitis medikamentosa)
- Hipotiroid
- Hormon
- Rhinitis non alergi dengan sindrom eusinofilia
Infeksi
Diinduksi oleh virus (paling banyak), bakteri, atau jamur
Idiopatik
Etiologi tidak jelas
Intermiten

- Gejala > 6 minggu

Persisten

- Gejala berlanjut hingga

Ringan
- Tidur normal
- Tak ada pengaruh terhadap
kegiatan sehari-hari, olahraga,
pendidikan
- Pekerjaan/sekolah normal

Tak ada gejala yang mengganggu

Sedang-berat
- Tidur abnormal, atau

- Terdapat pengaruh terhadap


kegiatan sehari-hari, olahraga,
pendidikan
- Masalah pada pekerjaan/sekolah
- Terdapat gejala yang mengganggu

Gambar 1. Klasifikasi rinitis alergi tergantung pada durasi dan parahnya gejala

Riwayat
Personal
- Gatal pada hidung
- Rhinore
- Bersin
- Keterlibatan mata

Pemeriksaan fisik
Tanda yang tampak
- Bernafas melalui mulut
- Menggosok hidung
- Sering bersin dan/berdehem
- Mata bengkak karena alergi (garis

- Musiman
- Pencetus
Keluarga
- Alergi
- Asma
Lingkungan
- Serbuk
- Hewan
- Perabot rumah
- Jamur
- Kelembaban
- Paparan rokok
Obat
- Beta-blocker
- Asam salisilat
- NSAID
- ACE inhibitor
- Terapi hormon
- Kokain
Kualitas hidup
- Kuesioner rhinitis spesifik
Komorbiditas
- Asma
- Bernafas melalui mulut
- Mendengkur
- Keterlibatan sinus
- Otitis media
- Polip hidung
- Konjungtivitis
Respon terhadap pengobatan sebelumnya
- Antihistamin oral generasi kedua
- Kortikosteroid intranasal

hitam di bawah mata)


Hidung
- Pembengkakan, perdarahan mukosa
- Sekret bening
- Polip/struktur abnormal
Telinga
- Umumnya normal
- Otoskop pneumatik untuk menilai
disfungsi tuba Eustachius
- Manuver valsava untuk menilai cairan
di belakang membran timpani
Sinus
- Palpasi sinus untuk tanda nyeri tekan
- Sensitivitas gigi maxilla
Orofaring posterior
- Postnasal drip
- Hiperplasia limfoid
- Hipertrofi tonsiler
Dada dan kulit
- Penyakit atopi
- wheezing

Riwayat Pasien
Dalam anamnesis, pasien akan sering mengeluhkan gejala klasik rinitis alergi yaitu
kongesti nasal, gatal pada hidung, rinore, dan bersin bersin. Konjungtivitis alergi
(peradangan pada membran yang menutupi mata) seringkali dihubungkan dengan rinitis
alergi. Gejala penyakit ini adalah kemerahan pada mata, rasa gatal, dan keluar air mata.

Evaluasi lingkungan pasien baik di rumah maupun di sekolah / di tempat kerja


direkomendasikan untuk melihat apakah ada hal hal yang memicu terjadinya rinitis alergi.
Riwayat mengenai lingkungan harus berfokus pada hal hal yang sering dan berpotensi
misalkan bulu hewan, serbuk sari, pelapis tekstil, asap rokok, tingkat kelembapan rumah, dan
zat zat lain yang berpotensi dan pasien memiliki kemungkinan untuk terpapar zat itu di
rumah atau di tempat kerja. Penggunaan obat obatan (misal penghambat beta, asam asetil
salisilat, anti inflamasi non steroid, penghambat enzim pengubah angiotensin, dan terapi
hormonal) seperti halnya penggunaan kokain dapat membuat timbulnya gejala rinitis. Oleh
karena itu perlu ditanyakan adakah obat obatan yang dikonsumsi oleh pasien.
Perlu juga ditanyakan bagaimana riwayat keluarga terhadap masalah atopi, pengaruh
gejala yang dirasakan terhadap kualitas hidup, dan komorbiditas penyerta seperti asma,
bernafas lewat mulut, mendengkur, apnea saat tidur, masalah pada sinus, otitis media, atau
polip hidung. Pasien mungkin juga merasakan gejala yang persisten seperti pilek terus
menerus, sehingga perlu ditanyakan bagaimana durasi dan seberapa sering pilek.
Sebelum pergi ke dokter, pasien seringkali sudah membeli obat untuk mengatasi
gangguan yang mereka alami. Menilai bagaimana respon pasien setelah konsumsi obat
tersebut dapat membantu menegakan diagnosis dan melakukan terapi pada rinitis alergi.
Sebagai contoh, perbaikan gejala setelah konsumsi anti histamin generasi 2 (misal
desloratadin, feksofenadin, loratadin) memperjelas diagnosis ke arah alergi. Namun perlu
dipahami bahwa jika pasien berespon setelah konsumsi anti histamin generasi 1 (misal
bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat, klemastin) tidak mempertegas diagnosis ke arah
alergi karena efek anti kolinergik dan sedatif dapat mengurangi rinore dan mungkin
memperbaiki kualitas tidur pasien walau tidak mempengaruhi inflamasi karena alergi. Respon
dalam penggunaan kortikosteroid intranasal juga dapat mengarahkan ke arah rinitis alergi,
dan mungkin saja terapi menggunakan kortikosteroid dapat dilanjutkan karena bermanfaat.
Hal hal penting yang perlu ditanyakan pada riwayat pasien dengan kecurigaan rinitis
alergi terdapat pada Tabel 2.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien yang dicurigai rinitis alergi harus meliputi pemeriksaan
diluar dari tanda, hidung, telinga, sinus, orofaring posterior, dada, dan kulit. Tanda tanda
diluar keluhan yang mengarah ke rinitis alergi antara lain : nafas lewat mulut, menggosok
gosok hidung atau ada tanda garis transversal di daerah hidung, sering menghirup sekret atau
menelannya, dan tanda lingkaran hitam di bawah mata karena kongesti nasal. Pemeriksaan
hidung menunjukan gambaran bengkak dan pucat pada mukosa nasal, serta sekret yang cair.
Pemeriksaan endoskopik internal pada hidung dapat juga dilakukan untuk menilai
abnormalitas struktur dan adakah polip hidung.
Secara umum, keadaan telinga pada pasien rinitis alergi dalam keadaan normal.
Namun pemeriksaan disfungsi tuba eustasius menggunakan otoskop udara sebaiknya
dilakukan. Manuver valsava (meningkatkan tekanan pada rongga hidung dengan cara meniup

hidung tapi hidung dan mulut dalam keadaan ditutup) dapat juga dilakukan untuk menilai
adanya cairan di daerah belakang gendang telinga.
Pemeriksaan sinus yaitu melakukan palpasi sinus untuk mencari apakah ada nyeri
tekan atau melakukan penekanan pada gigi di maksila dengan spatula lidah untuk mengecek
adakah sensitivitas. Orofaring posterior juga sebaiknya diperiksa untuk mengecek apakah ada
banyak akumulasi mukus di posterior dari hidung dan tenggorokan. Kulit dan dada juga harus
diperiksa secara seksama untuk melihat apakah ada tanda tanda asma (misalnya wheezing)
atau dermatitis.
Tes Diagnostik
Walau melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditegakan diagnosis klinik dari
rinitis alergi, pemeriksaan diagnostik lebih lanjut biasanya diperlukan untuk mengecek alergi
yang mendasari penyakit. Test cukit kulit dianjurkan menjadi metode primer untuk
identifikasi penyebab spesifik dari rinitis. Tes cukit kulit ini yaitu meletakkan ekstrak dari
alergen tertentu ke dalam kulit di bagian punggung atau lengan. Kulit sedikit dicungkit lalu
ekstrak diletakan disana agar berhubungan dengan epidermis. Dalam waktu 15 20 menit,
jika positif akan timbul respon kemerahan. Tes biasanya menggunakan alergen yang ditemui
pada lingkungan apsien sehari hari (misalkan serbuk sari, kutu rumah, jamur). Alternatif
lain yang mungkin selain tes kulit ini adalah pemeriksaan menggunakan tes IgE spesifik
alergen yang akan memberikan data kadar IgE spesifik pasien terhadap alergen tertentu.
Namun tes kulit secara umum digunakan karena lebih sensitif dan lebih hemat biaya
dibanding tes IgE spesifik alergen, dan juga hasil dapat segera dilihat oleh dokter.

Terapi
Target terapi dari rinitis alergi adalah menghilangkan gejala. Pilihan terapi yang
tersedia adalah anti histamin oral, kortikosteroid intranasal, antagonis reseptor leukotrien, dan
imunoterapi. Terapi lain yang dapat berguna adalah dekongestan dan kortikosteroid oral. Jika
gejala pasien tetap timbul walau sudah diberikan terapi yang sesuai, dianjurkan merujuk ke
ahli alergi. Seperti yang sudah dikatakan diatas, rinitis alergi dan asma seringkali timbul
sebagai penyakit kombinasi peradangan saluran nafas atas, sehingga terapi asma juga penting
untuk diperhatikan saat melakukan terapi pada pasien rinitis alergi.
Menghindari alergen
Terapi pertama untuk mengatasi rinitis alergi adalah menghindari alergen (misal kutu
rumah, jamur, binatang peliharaan, serbuk sari) dan iritan (misalkan asap rokok). Pasien yang
alergi tungau dianjurkan untuk menggunakan sprei yang tidak tembus alergen dan
mempertahankan kelembapan dibawah 50 %. Paparan serbuk sari dapat dikurangi dengan
membuat jendela tetap tertutup, menggunakan pendingin ruangan, serta membatasi aktivitas
di luar rumah saat musim serbuk sari. Untuk pasien yang alergi hewan, meletakan hewan di
luar rumah akan memberikan dampak signifikan dalam 4 6 bulan. Namun rekomendasi ini
jarang dipenuhi, karena itu penggunaan filter udara dan membatasi binatang berada di tempat

tidur atau keluar rumah mungkin dapat digunakan untuk menurunkan jumlah alergen.
Mengurangi alergen berupa jamur dapat dilakukan dengan cara menggunakan fungisida,
menurunkan kelembapan hingga dibawah 50 %, dan menggunakan penyaring udara. Strategi
strategi penghindaran ini efektif mengurangi gejala rinitis alergi dan pasien
direkomendasikan untuk melakukan kombinasi dari cara cara di atas agar hasil nya optimal.

Penghindaran alergen
Antihistamin oral
Kortikosteroid intranasal
Antagonis reseptor leukotrien
Imunoterapi alergen
Gambar 2. Tahap pengobatan rhinitis alergi. Catatan: pengobatan dapat digunakan secara
individual atau kombinasi.

Anti histamin
Terapi farmakologi lini pertama yang direkomendasikan pada orang rinitis alergi
adalah anti histamin oral generasi kedua yang tidak menimbulkan efek sedatif (lihat tabel 3
untuk melihat daftar anti histamin generasi kedua dan rekomendasi dosisnya). Obat ini
terbukti secara efektif mengurangi bersin, rasa gatal di hidung, dan rinore jika digunakan
secara rutin saat gejala muncul atau sebelum terpapar alergen. Walau generasi pertama (misal
difenhidramin, klorfeniramin) juga efektif menghilangkan gejala, tapi generasi pertama
memiliki efek negatif dalam fungsi kognisi, oleh karena itu tidak direkomendasikan secara
rutin untuk terapi rinitis alergi.
Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal juga merupakan pilihan terapi lini pertama pada pasien
dengan gejala persisten maupun dengan tingkat keparahan sedang atau berat. Obat ini dapat
digunakan sebagai monoterapi atau bersamaan dengan anti histamin. Jika digunakan secara
tepat dan teratur, obat ini secara efektif mengurangi peradangan pada mukosa nasal dan
memperbaiki keadaan patologis pada mukosa. Studi dan meta analisis menunjukan bahwa
kortikosteroid intra nasal lebih superior daripada anti histamin dan antagonis reseptor

leukotrien dalam mengkontrol gejala rinitis alergi, termasuk kongesti nasal dan rinore. Obat
ini juga memperbaiki gangguan apada mata dan mengurangi gejala pada saluran nafas bagian
bawah pada pasien dengan rinitis alergi disertai asma.
Kortikosteroid intranasal yang tersedia di Kanada terlampir pada tabel 3, yaitu
flutikason furoat, beklometason, flutikason propionat, trimasinolon asetonid, mometason
furoat, siklesonid, dan budesonid. Karena pemberian optimal memerlukan penggunaan
semprotan hidung dengan tepat, pasien perlu di edukasi bagaimana menggunakan alat
tersebut. Idealnya, kortikosteroid intranasal paling baik diberikan sebelum terkena paparan
alergen dan digunakan secara reguler karena efek puncak yang diperlukan baru akan tercapai
dalam beberapa hari.
Efek samping tersering dari kortikosteroid intranasal adalah iritasi dan rasa
menyengat pada hidung. Namun efek samping ini dapat dicegah dengan mengarahkan
semprotan hidung menjauhi septum nasi. Bukti menunjukan bahwa beklometason intranasal
(tapi tidak pada jenis steroid yang lain) memperlambat pertumbuhan anak anak jika
dibandingkan dengan plasebo. Namun hanya ada sedikit studi jangka panjang bagaimana
beklometason intranasal mempengaruhi pertumbuhan anak anak.
Penting untuk dicatat bahwa pasien yang datang ke layanan kesehatan primer datang
dengan rinitis alergi dengan keparahan sedang sampai berat, dan akan memerlukan
kortikosteroid intranasal. Bousquet dan kawan kawan mencatat perbaikan pada pasien
dengan gejala tingkat menengah sampai berat yang mendapat terapi obat ini.
Tabel 3. Pilihan pengobatan farmakologi untuk rhinitis alergi
Dosis dewasa

Dosis anak-anak

Antihistamin
oral
(generasi kedua)
Cetrizin
1-2 tablet (5 mg) sekali 5-10 ml (1-2 sendok teh) sekali
sehari
sehari
1 tablet (10 mg) sekali sehari
Desloratadin
1 tablet (5 mg) sekali sehari
2,5-5 ml (0,5-1 sendok teh) sekali
sehari
Fexofenadin
1 tablet (60 mg) setiap 12 Tidak diindikasikan untuk pasien
jam
di bawah 12 tahun
1 tablet (120 mg) sekali
sehari
Loratadin
1 tablet (10 mg) sekali sehari 5-10 ml (1-2 sendok teh) sekali
sehari
Kortikosteroid
intranasal
Beclometason
1-2
semprot
(42 1
semprot
(42
mikrogram/semprot)
per mikrogram/semprot) per lubang
lubang hidung dua kali sehari hidung dua kali sehari
Budesonid
2
semprot
(64 2
semprot
(64

Ciclesonid

Fluticason furoat

Fluticason propionat

Mometason furoat

Triamcinolon acetonid

mikrogram/semprot)
per
lubang hidung sekali sehari
atau 1 semprot dua kali
sehari
2
semprot
(50
mikrogram/semprot)
per
lubang hidung dua kali sehari
2
semprot
(275
mikrogram/semprot)
per
lubang hidung sekali sehari
2
semprot
(50
mikrogram/semprot)
per
lubang hidung sekali sehari,
atau setiap 12 jam
2
semprot
(50
mikrogram/semprot)
per
lubang hidung sekali sehari
2
semprot
(55
mikrogram/semprot)
per
lubang hidung sekali sehari

Antagonis reseptor
leukotrien
Montelukast
1 tablet (10 mg) sekali sehari

mikrogram/semprot) per lubang


hidung sekali sehari atau 1
semprot dua kali sehari (jangan
melebihi 256 mikrogram)
Tidak diindikasikan pada pasien
di bawah 12 tahun
1
semprot
(275
mikrogram/semprot) per lubang
hidung sekali sehari
1-2
semprot
(50
mikrogram/semprot) per lubang
hidung sekali sehari
1
semprot
(50
mikrogram/semprot) per lubang
hidung sekali sehari
1
semprot
(55
mikrogram/semprot) per lubang
hidung sekali sehari

Tidak digunakan pada pasien di


bawah 15 tahun

Antagonis Reseptor Leukotrien


Antagonis reseptor leukotrien, misal montelukast dan zafirlukast, juga efektif sebagai
terapi pada rinitis alergi, namun tidak se efektif dari kortikosteroid intranasal. Walau studi
jangka pendek menemukan bahwa kombinasi obat ini dengan antihistamin sama efektifnya
dengan kortikosteroid intranasal, studi jangka panjang menunjukan bahwa kortikosteroid
intranasal lebih unggul dibandingkan kombinasi kedua obat dalam menurunkan gejala nasal
dan keluhan pada malam hari. Penting untuk dipahami bahwa di Kanada, hanya montelukast
yang diindikasikan pada pasien dewasa dengan rinitis alergi.
Antagonis reseptor leukotrien direkomendasikan jika anti histamin oral dan/atau
kortikosteroid intranasal tidak efektif dalam mengkontrol gejala dari rinitis alergi. Jika
kombinasi ketiga obat ini masih tidak efektif, maka dianjurkan menggunakan terapi
imunoterapi alergen.
Imunoterapi alergen
Imunoterapi alergen diberikan dengan cara subkutan lalu dosis ditingkatkan perlahan
sesuai alergen pada pasien sampai dosis yang diperlukan tercapai sehingga merangsang
toleransi imunologis terhadap alergen. Imunoterapi ini terlihat efektif pada terapi rinitis alergi

karena serbuk sari dan tungau, tapi kurang berguna jika alergen nya berupa jamur dan
binatang.
Imunoterapi alergen diberikan tiap minggu dengan dosis yang terus meningkat dalam
6 8 bulan lalu dilanjutkan dengan injeksi dosis toleransi maksimum pasien untuk dosis
rumatan tiap 3 4 minggu selama 3 5 tahun. Setelah diberi terapi, banyak pasien merasakan
efek proteksi, sehingga terapi dapat dihentikan. Preparat musiman juga tersedia. Preparat
sublingual juga diharapkan akan disetujui penggunaannya di Kanada di masa depan. Hal ini
akan memberikan pasien pilihan terapi yang efektif. Walau pasien akan bisa menggunakan
obat secara mandiri jika terdapat preparat sublingual, tapi tetap perlu dilakukan pengawasan
ketat oleh dokter.
Imunoterapi diberikan kepada pasien yang gejalanya tidak terkontrol walau sudah
menghindari alergen secara optimal dan mendapatkan terapi farmakologi. Sebaiknya hanya
dokter yang terlatih memberikan terapi pada kasus alergi dan dapat mengatasi kemungkinan
kegawatdaruratan akibat syok anafilaktik yang memberikan terapi imunoterapi, karena efek
samping syok anafilaktik yang dapat membahayakan nyawa.
Algoritma yang dipermudah dan sudah dipertimbangkan dengan baik untuk terapi
pada rinitis alergi terdapat pada gambar 2. Perlu diperhatikan bahwa rinitis alergi intermiten
atau dengan gejala ringan dapat ditangani dengan efektif menggunakan anti histamin oral dan
menghindari alergen. Namun, seperti sudah dibahas sebelumnya, kebanyakan pasien dengan
rinitis alergi memiliki gejala sedang sampai berat sehingga membutuhkan percobaan terapi
menggunakan kortikosteroid intranasal.
Pilihan terapi yang lain
Dekongestan oral atau intra nasal (misal pseudoefedrin, fenilefrin) berguna untuk
mengatasi kongesti nasal pada pasien rinitis alergi. Namun efek samping akibat konsumsi
dekongenstan oral (misal agitasi, insomnia, palpitasi, sakit kepala) mungkin menghambat
penggunaan dalam jangka panjang. Obat ini juga tidak dibenarkan digunakan pada pasien
dengan hipertensi tidak terkontrol atau memiliki penyakit arteri koroner berat. Penggunaan
dekongestan oral jangka panjang memiliki resiko terjadinya rinitis medikamentosa (kongesti
nasal berulang) sehingga obat ini tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lebih dari 5
sampai 10 hari. Kortikosteroid oral juga terbukti pada pasien dengan rinitis alergi berat yang
refrakter dengan terapi anti histamin oral dan kortikosteroid intranasal.
Walau tidak se efektif kortikosteroid intranasal, sodium kromoglikat (kromolin) dapat
mengurangi bersin bersin, rinore, dan rasa gatal di hidung, sehingga menjadi pilihan terapi
untuk beberapa pasien. Antibodi anti IgE yaitu omalizumab juga digambarkan efektif pada
rinitis alergi musiman dan asma.
Terapi pembedahan mungkin membantu pada pasien dengan rinitis, poliposis, atau
penyakit sinus kronis yang refrakter menggunakan terapi medikamentosa. Hampir semua
intervensi pembedahan dapat dilakukan menggunakan anestesi lokal.

Penting untuk dipahami bahwa rinitis alergi dapat memburuk pada ibu hamil,
sehingga diperlukan terapi medikamentosa. Perbandingan antara untung dan rugi dari obat
obatan untuk rinitis alergi perlu diperhitungkan sebelum diberikan pada ibu hamil. Sodium
kromoglikat intranasal dapat digunakan sebagai terapi lini pertama untuk pasien rinitis alergi
pada ibu hamil karena tidak ditemukan adanya efek teratogenik baik pada hewan maupun
manusia. Anti histamin generasi 1 juga dapat digunakan pada ibu hamil dengan rinitis alergi,
dan jika diperlukan, klorfeniramin maleat dan difenhidramin dapat diberikan karena
keamanaan dalam penggunaan jangka panjang. Namun perlu dipahami efek sedatif dari obat
ini. Jika perlu kortikosteroid intranasal diperlukan, terapi menggunakan beklometason atau
budesonid karena efek keamanannya. Penggunaan imunoterapi alergen pada ibu hamil tidak
direkomendasikan karena resiko anafilaksis pada janin. Namun dosis rumatan aman dan
efektif pada ibu hamil.
Kesimpulan
Rinitis alergi merupakan keadaan yang sering terjadi dan dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien secara signifikan. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis yang
komprehensif dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lebih lanjut menggunakan tes cukit kulit
atau tes IgE spesifik alergen biasanya digunakan untuk mengkonfirmasi alergen penyebab
dari rinitis alergi. Terdapat beberapa pilihan terapi untuk rinitis alergi yang efektif, aman, dan
dapat ditoleransi dengan baik. Anti histamin generasi kedua oral dan kortikosteroid intranasal
merupakan terapi utama dari penyakit ini. Imunoterapi alergen, seperti halnya penggunaan
dekongestan dan kortikosteroid oral dapat berguna pada kasus kasus tertentu.
Pesan kunci

Rinitis alergi berhubungan erat dengan asma dan konjungtivitis.


Tes kulit untuk cek alergen merupakan cara diagnosis terbaik untuk mengkonfirmasi
rinitis alergi.
Kortikosteroid intranasal merupakan terapi utama untuk hampir kebanytakan pasien
yang datang ke dokter dengan keluhan rinitis alergi.
Imunoterapi alergen merupakan terapi modulator imun yang efektif jika terapi
farmakologis untuk rinitis alergi tidak efektif atau tidak dapat ditoleransi.

REFERENSI
1. Small P, Frenkiel S, Becker A, Boisvert P, Bouchard J MD, Carr S, Cockcroft D, Denburg
J, Desrosiers M, Gall R, Hamid Q, Hbert J, Javer A, Keith P, Kim H, Lavigne F, Lemir C,
Massoud E, Payton K, Schellenberg B, Sussman G, Tannenbaum D, Watson W, Witterick I,
Wright E, The Canadian Rhinitis Working Group: Rhinitis: A practical and comprehensive
approach to assessment and therapy. J Otolaryngol 2007, 36(Suppl 1):S5-S27.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL: Rhinitis and sinusitis. J Allergy Clin Immunol 2010,
125:S103-115.
3. Bourdin A, Gras D, Vachier I, Chanez P: Upper airway 1: Allergic rhinitis and asthma:
united disease through epithelial cells. Thorax 2009, 64:999-1004.
4. Lee P, Mace S: An approach to allergic rhinitis. Allergy Rounds 2009, 1.
5. Bousquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, Zuberbier T, BaenaCagnani CE, Canonica GW, van Weel C, Agache I, At- Khaled N, Bachert C, Blaiss MS,
Bonini S, Boulet LP, Bousquet PJ, Camargos P, Carlsen KH, Chen Y, Custovic A, Dahl R,
Demoly P, Douagui H, Durham SR, van Wijk RG, Kalayci O, Kaliner MA, Kim YY,
Kowalski ML, Kuna P, Le LT, Lemiere C, Li J, Lockey RF, Mavale-Manuel S, Meltzer EO,
Mohammad Y, Mullol J, Naclerio R, OHehir RE, Ohta K, Ouedraogo S, Palkonen S,
Papadopoulos N, Passalacqua G, Pawankar R, Popov TA, Rabe KF, Rosado-Pinto J, Scadding
GK, Simons FE, Toskala E, Valovirta E, van Cauwenberge P, Wang DY, Wickman M, Yawn
BP, Yorgancioglu A, Yusuf OM, Zar H, Annesi-Maesano I, Bateman ED, Ben Kheder A,
Boakye DA, Bouchard J, Burney P, Busse WW, Chan-Yeung M, Chavannes NH,
Chuchalin A, Dolen WK, Emuzyte R, Grouse L, Humbert M, Jackson C, Johnston SL, Keith
PK, Kemp JP, Klossek JM, Larenas-Linnemann D, Lipworth B, Malo JL, Marshall GD,
Naspitz C, Nekam K, Niggemann B, Nizankowska-Mogilnicka E, Okamoto Y, Orru MP,
Potter P, Price D, Stoloff SW, Vandenplas O, Viegi G, Williams D, World Health
Organization GA(2)LEN AllerGen: Allergic rhinitis and its impact on asthma (ARIA) 2008
update (in collaboration with the World Health Organization, GA(2)LEN and AllerGen).
Allergy 2008, 63(Suppl 86):8-160.
6. Kim H, Kaplan A: Treatment and management of allergic rhinitis [feature]. Clinical Focus
2008, 1-4.
7. Guerra S, Sherrill D, Martinez F, Barbee RA: Rhinitis as an independent risk factor for
adult-onset asthma. J Allergy Clin Immunol 2002, 109:419-425.
8. Horowitz E, Diemer FB, Poyser J, Rice V, Jean LG, Britt V: Asthma and rhinosinusitis
prevalence in a Baltimore city public housing complex [abstract]. J Allergy Clin Immunol
2001, 107:S280.
9. Kapsali T, Horowitz E, Togias A: Rhinitis is ubiquitous in allergic asthmatics [abstract]. J
Allergy Clin Immunol 1997, 99:S138.
10. Leynaert B, Bousquet J, Neukirch C, Liard R, Neukirch F: Perennial rhinitis: an
independent risk factor for asthma in nonatopic subjects: results from the European
Community Respiratory Health Survey. J Allergy Clin Immunol 1999, 104(2 Pt 1):301-304.

11. Yanez A, Rodrigo GJ: Intranasal corticosteroids versus topical H1 receptor antagonists for
the treatment of allergic rhinitis: a systematic review with meta-analysis. Ann Allergy Asthma
Immunol 2002, 89:479-484.
12. Pullerits T, Praks L, Ristioja V, Ltvall J: Comparison of a nasal glucocorticoid,
antileukotriene, and a combination of antileukotriene and antihistamine in the treatment of
seasonal allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 2002, 109:949-955.
13. Wilson AM, OByrne PM, Parameswaran K: Leukotriene receptor antagonists for allergic
rhinitis: a systematic review and meta-analysis. Am J Med 2004, 116:338-344.
14. Weiner JM, Abramson MJ, Puy RM: Intranasal corticosteroids versus oral H1 receptor
antagonists in allergic rhinitis: systematic review of randomised controlled trials. BMJ 1998,
317:1624-1629.
15. DeWester J, Philpot EE, Westlund RE, Cook CK, Rickard KA: The efficacy of intranasal
fluticasone propionate in the relief of ocular symptoms associated with seasonal allergic
rhinitis. Allergy Asthma Proc 2003, 24:331-337.
16. Bernstein DI, Levy AL, Hampel FC, Baidoo CA, Cook CK, Philpot EE, Rickard KA:
Treatment with intranasal fluticasone propionate significantly improves ocular symptoms in
patients with seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2004, 34:952-957.
17. Watson WT, Becker AB, Simons FER: Treatment of allergic rhinitis with intranasal
corticosteroids in patients with mild asthma: effect on lower airway hyperresponsiveness. J
Allergy Clin Immunol 1993, 91(1 Pt 1):97-101.
18. Skoner DP, Rachelefsky GS, Meltzer EO, Chervinsky P, Morris RM, Seltzer JM, Storms
WW, Wood RA: Detection of growth suppression in children during treatment with intranasal
beclomethasone dipropionate. Pediatrics 2000, 105:E23.
19. Allen DB, Meltzer EO, Lemanske RF Jr, Philpot EE, Faris MA, Kral KM, Prillaman BA,
Rickard KA: No growth suppression in children treated with the maximum recommended
dose of fluticasone propionate aqueous nasal spray for one year. Allergy Asthma Proc 2002,
23:407-413.
20. Agertoft L, Pedersen S: Effect of long-term treatment with inhaled budesonide on adult
height in children with asthma. N Engl J Med 2000, 343:1064-1069.
21. Schenkel EJ, Skoner DP, Bronsky EA, Miller SD, Pearlman DS, Rooklin A, Rosen JP,
Ruff ME, Vandewalker ML, Wanderer A, Damaraju CV, Nolop KB, Mesarina-Wicki B:
Absence of growth retardation in children with perennial allergic rhinitis after one year of
treatment with mometasone furoate aqueous nasal spray. Pediatrics 2000, 105:E22.
22. Bousquet J, Lund VJ, van Cauwenberge P, Bremard-Oury C, Mounedji N, Stevens MT,
El-Akkad T: Implementation of guidelines for seasonal allergic rhinitis: a randomized
controlled trial. Allergy 2003, 58:733-741.
23. Pullerits T, Praks L, Skoogh BE, Ani R, Ltvall J: Randomized placebocontrolled study
comparing a leukotriene receptor antagonist and a nasal glucocorticoid in seasonal allergic
rhinitis. Am J Respir Crit Care Med 1999, 159:1814-1818.
24. Ratner PH, Howland WC 3rd, Arastu R, Philpot EE, Klein KC, Baidoo CA, Faris MA,
Rickard KA: Fluticasone propionate aqueous nasal spray provided significantly greater
improvement in daytime and nighttime nasal symptoms of seasonal allergic rhinitis compared
with montelukast. Ann Allergy Asthma Immunol 2003, 90:536-542.
25. Wilson AM, Dempsey OJ, Sims EJ, Lipworth BJ: A comparison of topical budesonide
and oral montelukast in seasonal allergic rhinitis and asthma. Clin Exp Allergy 2001, 31:616624.
26. Wilson AM, Orr LC, Sims EJ, Lipworth BJ: Effects of monotherapy with intra-nasal
corticosteroid or combined oral histamine and leukotriene receptor antagonists in seasonal
allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2001, 31:61-68.

27. Di Lorenzo G, Pacor ML, Pellitteri ME, Morici G, Di Gregoli A, Lo Bianco C, Ditta V,
Martinelli N, Candore G, Mansueto P, Rini GB, Corrocher R, Caruso C: Randomized
placebo-controlled trial comparing fluticasone aqueous nasal spray in mono-therapy,
fluticasone plus cetirizine, fluticasone plus montelukast and cetirizine plus montelukast for
seasonal allergic rhinitis. Clin Exp Allergy 2004, 34:259-267.

Anda mungkin juga menyukai