Disadur Oleh:
Kartika Tya Rachmani
102011101059
Pembimbing:
dr. Maria Kwarditawati, Sp. THT
Abstrak
Refluks laringofaringeal merupakan manifestasi dari penyakit di luar esofagus pada
penyakit refluks gastroesofageal. Meningkatnya insiden kasus refluks gastroesofageal
membuat keadaan refluks laringofaringeal makin diakui secara luas. Namun
patofisiologi refluks laringofaringeal belum dapat dipahami secara komplit dan
kriteria diagnosis dari penyakit ini masih kontroversial. Sayangnya, tidak ada
pemeriksaan standar utama dalam melakukan diagnosis refluks laringitis. Saat ini,
terdapat penelitian eksperimental terhadap hewan yang digunakan untuk lebih
memahami patofisiologi dari refluks laringitis. Suatu percobaan empiris berupa
modifikasi gaya hidup dan penggunaan obat golongan penghambat pompa proton
dianggap merupakan pendekatan yang paling tepat untuk mengatasi gejala dari
refluks laringofaringeal. Alternatif yang dapat dilakukan jika terapi dengan
pengobatan secara agresif gagal masih terbatas dan impedansi intraluminal serta
evaluasi berkala pH merupakan cara alternatif yang dianggap terbaik saat ini untuk
mendeteksi refluks non asam. Diharapkan akan adanya tambahan riset prospektif dan
riset berdasarkan kasus.
Kata kunci Refluks laringitis, impedansi intraluminal dan evaluasi berkala pH,
manifestasi klinik diluar esofagus pada penyakit refluks gastroesofageal, refluks
laringofaringeal
Pendahuluan
Saat ini, angka kejadian penyakit refluks gastroesofageal dilaporkan meningkat di
Jepang sebagaimana halnya terjadi di negara negara barat. Jumlah pasien yang
merasakan sensasi yang tidak biasanya pada daerah laringofaring pada kasus penyakit
refluks gastroesofageal juga dikabarkan meningkat. Refluks laringofaringeal
didefinisikan sebagai varian dari penyakit refluks gastroesofageal. Pada suatu studi,
terdapat sekitar 10 % total pasien yang berkunjung ke klinik otolaringologi dan 50 %
pasien dengan keluhan utama yang berhubungan dengan suara didiagnosis terkena
refluks laringofaringeal. Refluks laringofaringeal dihubungkan dengan beberapa
penyakit, termasuk refluks laringitis dan batuk refluks. Gejala yang berhubungan
dengan refluks laringitis adalah suara serak, berdehem, sensasi tercekik, disfagi,
Patofisiologi
Hampir semua sumber mengusulkan mekanisme patofisiologi pada refluks
laringofaringeal dapat dijelaskan menggunakan teori refluks atau teori refleks. Teori
refluks merupakan mekanisme langsung yang melibatkan aspirasi yang memberi
stimulasi langsung pada faring atau laring. Gejala pada refluks laringofaringeal terjadi
akibat kontak langsung antara epitel laring dan faring dengan aliran balik dari isi
gaster. Dibandingkan dengan mukosa esofagus, epitel laring dan faring jauh lebih
mudah mengalami cedera, dan hanya perlu sedikit saja kontak langsung dengan
cairan gaster untuk menimbulkan cedera pada laringofaringeal. Walau seringkali
sfingter esofagus bagian bawah sering dibobol oleh isi lambung baik pada keadaan
fisiologis atau tidak, masih terdapat mekanisme yang mencegah refluks
gastroesofageal seperti sfingter esofagus bagian atas maupun bawah, fungsi motorik
esofagus dengan klirens asam, dan resistensi jaringan esofagus terhadap asam.
Sfingter esofagus bagian atas meningkat pada beberapa keadaan yaitu refluks
esofagus distal, refleks penutupan esofagus glotis, menelan,dan batuk yang
melindungi faring dan laring kontak dengan bahan refluks. Pepsin dianggap memiliki
peranan pada patogenesis dari refluks laringofaringeal. Pepsin akan aktif secara
maksimal pada pH 2, tapi sudah mampu merusak jaringan pada pH dibawah 6,5.
Penelitian oleh Johnson dan kawan kawan menunjukan bahwa pepsin ditemukan
pada epitel laring manusia yang dikumpulkan dari pasien dengan refluks
laringofaringeal. Namun kemudian studi yang lain menonjolkan terdapatnya peran
asam, pepsin, dan asam empedu.
Teori refleks termasuk refluks esofagus distal dapat menimbulkan gejala
refluks laringofaringeal. Terdapat 2 refleks potensial yang dianggap mempengaruhi
mekanisme refleks. Yang pertama adalah kemorefleks pada faring, yaitu refleks yang
jarasnya terdiri dari serabut aferen yang dibentuk oleh rangsangan pada saraf
laringeal superior dan serabut eferen yang dibentuk oleh nervus laringeal rekuren.
Sedangkan mekanisme refleks yang kedua yaitu refleks yang dimediasi oleh sistem
vagal. Bauman dan kawan kawan menunjukan bahwa stimulasi sensor pada
esofagus distal ditambah dengan tidak adanya stimulasi laring dapat menyebabkan
spasme laring lewat serabut aferen dari nervus vagus. Pasien dapat merasakan gejala
refluks laringofaringeal lewat mekanisme refleks tersebut.
Diagnosis
Laringoskopi
Laringoskopi merupakan alat penyaring yang penting dalam diagnosis dari
refluks laringitis. Namun, hasil laringoskopi seringkali sangat subjektif dan mungkin
gambaran refluks laringofaringitis ada pada orang normal tanpa penykait
gastroesofageal refluks. Belafsky dan kawan kawan membuat sistem skoring
refluks, yang terdiri dari sistem penilaian yang terstandar yang berisi 8 hal yang
menjadi patokan nilai keparahan berdasarkan pemeriksaan laringoskopi. 8 komponen
tersebut adalah edema subglotis, obliterasi ventrikuler, eritema, edema plika vokalis,
edema laring difus, hipertrofi komisura posterior, granulooma, dan mukus endolaring
yang berlebihan. Hasil skala skor dari 0 26. Berdasarkan analisis mereka, pasien
dengan skor minimal 7 memiliki kemungkinan terkena refluks laringofaringeal
sebesar 95 %. Walaupun skor refluks makin luas digunakan untuk membantu proses
diagnosis refluks laringofaringeal, beberapa menilai tentang subjektifitas dari skor
tersebut. Namun, penemuan laringoskopi seringkali berhubungan erat dengan refluks
laringofaringeal. Salah satu penemuan pada laringoskopi adalah pseudosulkus vocalis
yang terjadi karena edema infraglotis yang melewati bagian posterior menuju
prosesus vokalis dari kartilago aritenoid. Gambaran pseudosulkus pada pemeriksaan
laringoskopi memiliki hubungan yang erat dengan kejadian refluks laringofaringeal.
Setelah melihat hasil dari gambaran endoskopi faring dan laring baik yang sebelum
maupun sesudah mendapat terapi penghambat pompa proton, Oridate dan kawan
kawan mengusulkan bahwa penemuan mukus endolaring berguna untuk diagnosis
dari refluks laringofaring.
Terapi
Modifikasi gaya hidup
Medikamentosa
Pembedahan
Pengawasan pH 24 jam
Standar emas untuk mendiagnosis penyakit refluks gastroesofageal adalah
menggunakan evaluasi pH dalam 24 jam. Ajuk dapat meraskan fluktuasi pH antara 2
sampai 7. Selama tes, pasien menggunakan alat perekam data yang dihubungkan
dengan ajuk dan mencatat kejadian tiap saatnya. Pada akhir studi, catatan pH
dibandingkan dengan catatan untuk membandingkan korelasi dengan gejala yang
dialami. Namun, pengaruh monitoring pH dalam menegakan hubungan antara
penyakit refluks gastroesofageal dengan sindroma refluks laringitis masih tidak jelas.
Awalnya terpikir bahwa pasien dengan gejala laringitis karena refluks memiliki
kejadian mengalami refluks pada regio esofagus bagian atas dan hipofaring. Namun
penelitian Joniau dan kawan kawan melaporkan bahwa terdapat 43 % pasien
normal memiliki catatan monitor pH yang abnormal tapi tidak ada gejala refluks
laringofaring, dan secara statistik tidak ada perbedaan prevalensi refluks faringeal
antara pasien dengan gejala refluks maupun pada individu yang normal. Studi lain
juga menunjukan bahwa hanya 54 % pasien yang dicurigai refluks laringofaringeal
memiliki gambaran abnormal pada esofagus karena paparan asam. Walaupun masuk
akal jika menghubungkan pH faring dengan aspirasi, tapi terdapat keterbatasan dalam
melakukan pengecekan pH di faring. Tidak ada patokan yang diterima secara
universal seperti batasan pH normal, jumlah kejadian, serta peletakan ajuk dalam
melakukan monitoring pH hipofaring. Selain itu, kejadian refluks bisa tidak terdeteksi
pada faring yang besar dan terisi udara, serta bisa timbul dilusi dan penyangga dari
refluks, sehingga pH bisa lebih dari 4. Selain itu juga sering ditemukan bayangan
karena sensor yang kering dan akumulasi mukus atau makanan yang menempel di
sensor.
Pengawasan pH Orofaring
Ajuk dari (korporasi teknologi respirasi di San Diego USA; The Restech pH)
merupakan alat pengawasan pH orofaring yang tidak terlalu invasif. Alat ini dapat
mendeteksi pH baik yang berbentuk cairan atau aerosol. Diameter dari ajuk sekitar 1
mm, dan penempatan alat ini tidak memerlukan endoskopi. Alat ini memiliki
kecepatan deteksi lebih cepat dibanding kateter pH tradisional. Studi terbaru
menunjukan bahwa pengawasan pH orofaring lebih sensitif dibanding pengawasan
pH secara tradisional pada pasien dengan refluks ekstra esofageal. Ayazi dan kawan
kawan mempelajari alat baru ini pada sukarelawan yang tidak mengeluhkan gejala,
dan mengatakan perbedaan pH dan nilai normalnya menunjukkan pasien dengan
lingkungan pH yang abnormal. Namun, diperlukan studi kontrol yang lebih
mendalam untuk menilai peran alat ini pada pasien dengan refluks laringofaring.
Deteksi Pepsin
Pepsin, yang aktif dalam suasana asam, penting untuk mendiagnosis dari
refluks laringofaringeal. Pepsin adalah enzim proteolitik yang merupakan bentuk
aktif dari pepsinogen yang dihasilkan dari sel gaster. Pepsinogen diaktifkan oleh asam
hidroklorit di perut. Tes cepat pepsin digunakan sebagai alat diagnosis non invasif
untuk mendiagnosa refluks laringitis. Saritas dan kawan kawan mengusulkan bahwa
alat untuk mengecek pepsin dapat menjadi patokan pada pasien dengan penyakit
refluks gastroesofageal. Namun diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai alat ini.
Terapi
Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan hal yang krusial dalam penanganan refluks
laringitis. Pasien yang dicurigai refluks laringofaringeal dianjurkan untuk
menghindari hal hal yang merangsang refluks asam, seperti minum alkohol,
merokok, makanan berlemak, cokelat, makanan asam, makanan pedas, dan kafein.
Suatu percobaan acak menunjukan bahwa modifikasi gaya hidup selama 2 bulan
memperbaiki gejala refluks laringofaringeal secara signifikan, baik dengan atau tanpa
penghambat pompa proton. Koufman dan kawan kawan menganjurkan diet rendah
asam mungkin memiliki efek menguntungkan dengan mengurangi gejala yang timbul
pada refluks laringofaringeal yang membandel. Modifikasi gaya hidup dengan cara
meletakkan posisi kepala lebih tinggi dari badan saat tidur dan menghindari makan
dalam waktu 3 jam sebelum tidur.
Terapi Medikamentosa
Terapi penghambat pompa proton merupakan penanganan standart pada kasus
penyakit refluks ekstra esofageal, seperti sindroma refluks laringitis. Studi acak
kontrol plasebo menunjukan bahwa terapi rabeprazole selama 12 minggu
memperbaiki gejala refluks secara signifikan pada pasien dengan refluks
laringofaringeal. Namun studi meta analisis terbaru pada pasien refluks
laringofaringeal menunjukan bahwa terapi obat penghambat pompa proton mungkin
menawarkan keuntungan, tapi tidak signifikan dibandingkan dengan plasebo pada
kasus yang dicurigai laringitis kronik terkait penyakit refluks gastroesofageal. Pada
pasien yang tidak berespon dengan pemberian obat 2 kali sehari, perlu dicari
penyebab lain dari laringitis.
Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan terapi pada pasien dengan refluks
laringofaringeal yang gagal dengan pengobatan medikamentosa. Pembedahan anti
refluks membuat mekanisme katup baru di perbatasan gaster esofagus untuk
mencegah refluks. Metode tersering adalah metode Nissen. Pada metode ini, fundus
gaster dimobilisasikan dan aspek posterior dari fundus dilewatkan ke belakang dari
esofagus. Deveney dan kawan kawan menunjukan bahwa 73 % pasien dengan lesi
inflamasi pada laring karena refluks dan gangguan bersuara mengalami perbaikan
setelah dilakukan pembedahan. Namun Swoger dan kawan kawan menganjurkan
bahwa terapi operasi tidak memperbaiki keluhan laring pada pasien yang tidak
memberikan respon walau sudah di terapi dengan penghambat pompa proton secara
agresif.
Kesimpulan
Refluks laringitis merupakan keadaan penting dari gejala ekstra esofagus dari
penyakit refluks laringofaringeal. Patofisiologi dari refluks laringofaringeal masih
belum jelas dan kriteria diagnostik penyakit ini masih kontroversial. Peralatan
diagnostik seperti endoskopi gastrointestinal bagian atas dan pengawasan pH
merupakan penanda yang buruk untuk diagnosis pasien dengan refluks laringitis.
Sebuah percobaan empiris meunjukan bahwa modifikasi gaya hidup dan terapi
penghambat pompa proton merupakan pendekatan terapi yang dapat diterima pada
pasien dengan gejala refluks laringofaringeal. Kasus yang tidak membaik setelah
diterapi secara agresif memerluka penilaian definitif. Walau terdapat keterbatasan,
pengawasan pH dan impedansi intraluminal merupakan cara alternatif terbaik untuk
mendeteksi refluks non asam. Diperlukan riset riset tambahan berdasarkan bukti.
REFERENSI