Anda di halaman 1dari 37

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini, Tuberkulosis (TB) masih menjadi perhatian dunia. Angka
kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis masih tinggi.
Tahun 2009 terdapat 1,7 juta orang meninggal karena TB, dan sepertiga populasi
dunia sudah tertular TB di mana sebagian besar penderita TB adalah usia
produktif, 1555 tahun. Global Report 2009 (WHO) menunjukkan bahwa jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33 persen dari seluruh kasus TB
di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk, terdapat 182 kasus per 100.000
penduduk, jumlah kematian akibat TB di Asia Tenggara sebanyak 625. 000 orang
atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Pada tahun 2010,
Indonesia menduduki peringkat 5 penderita TB terbanyak di dunia setelah India,
China, Afrika Selatan dan Nigeria atau menurun dari peringkat ketiga setelah
India dan China pada tahun 2007.
Penyebab utama meningkatnya beban masalah tuberkulosis adalah
Kondisi sosial ekonomi yang menurun pada masyarakat di negara-negara
berkembang, kondisi lingkungan dalam dan luar rumah yang sangat mendukung
untuk terjadinya penyakit TB, perubahan demografi karena meningkatnya
penduduk dunia dan perubahan struktur umur kependudukan. Dampak pandemik
HIV/AIDS

dikarenakan

belum

optimalnya

program

tuberkulosis

yang

diselenggarakan, yaitu meliputi infrastuktur kesehatan yang buruk pada negaranegara yang mengalami krisis ekonomi, kurangnya terlaksana pelayanan
Tuberkulosis (kurang terakses masyarakat, tidak terjamin penyediaan OAT, tidak
melakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang tidak standar. DOTS
(Directly Observed Therapy) merupakan pengobatan yang langsung diamati /
terapi kursus singkat secara internasional. Pendekatan yang direkomendasikan
untuk mengendalikan TB adalah menyokong upaya untuk meningkatkan
pengendalian tuberkulosis di seluruh dunia dan mencapai target. Angka prevalensi
kasus penyakit tuberkulosis paru di Indonesia 130/100.000, setiap tahun terdapat
1

539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 orang pertahun, angka
insidensi kasus Tuberkulosis paru BTA (+) sekitar 110/100.000 penduduk (WHO,
2006). Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga, setelah penyakit
jantung dan penyakit saluran pernapasan.
Pemberantasan TB paru secara Nasional di Indonesia telah berlangsung
puluhan tahun sejak tahun 1969 namun penanggulangan dan pemberantasannya
sampai saat ini masih belum memuaskan. Angka drop out yang tinggi, pengobatan
yang tidak adekuat dan resistensi terhadap OAT merupakan kendala dalam
pengobatan TB paru. Selain itu, faktor yang berperan dalam mengatasi kasus TB
adalah pemahaman masyarakat mengenai TB serta cara mengobati dan
mencegahnya. Faktor ini tidak dapat dianggap remeh, mengingat pengobatan TB
yang memerlukan dukungan keluarga karena memerlukan disiplin dalam
mengkonsumsi obat secara terus menerus dan teratur.
Menurut Kementerian Kesehatan pada tahun 2011, Provinsi Jawa Timur
memiliki kasus TB terbanyak kedua setelah Provinsi Jawa Barat. Data Dinas
Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2011 menunjukkan kasus TB mencapai
41.404 kasus, sementara Jawa Barat mencapai 62.563 kasus. Kota Surabaya
memiliki kasus TB terbanyak di Provinsi Jawa Timur yaitu 3990 kasus, diikuti
Kabupaten Jember dengan 3334 kasus. Kematian TB di Kota Surabaya
diperkirakan mencapai 10.108 penderita BTA positif.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka penulis berkeinginan melakukan
penelitian mini mengenai pemahaman masyarakat terhadap pengobatan TB.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pasien TB paru yang berobat di Puskesmas Ambulu memahami
seluk-beluk mengenai pengobatan TB paru menggunakan strategi DOTS
yang dilakukan?
2. Apakah pasien TB paru puas terhadap pelayanan PPM di Puskesmas
Ambulu yang diberikan?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui pemahaman pasien TB paru yang berobat di Puskesmas
Ambulu

mengenai

seluk-beluk

mengenai

pengobatan

TB

paru

menggunakan strategi DOTS yang dilakukan.


2. Mengetahui kepuasan pasien terhadap pelayanan PPM di Puskesmas
Ambulu yang diberikan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Pengertian
Tuberkulosis

merupakan

penyakit

infeksi

yang

ditimbulkan

oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dulunya bernama Consumption atau


Pthisis dan semula dianggap sebagai penyakit turunan. Barulah Leannec (1819)
yang pertama-tama menyatakan bahwa penyakit ini suatu infeksi kronik, dan
3

Koch (1882) dapat mengidentifikasikan kuman penyebabnya. Penyakit ini


dinamakan tuberkulosis karena terbentuknya nodul yang khas yakni tubercle.
Hampir seluruh organ tubuh dapat terserang olehnya, tapi yang paling banyak
adalah paru-paru (1,2).
Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995
menunjukan angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi.
WHO memperkirakan (2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru
dan kematian mencapai 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000
penduduk Indonesia terdapat 130 penduduk baru dengan BTA positif. Kriteria
yang menyatakan bahwa di suatu negara tuberkulosis tidak lagi menjadi masalah
kesehatan masyarakat adalah bila hanya terdapat satu kasus BTA (+) per satu juta
penduduk. Sampai hari ini belum ada satu negarapun di dunia yang telah
memenuhi kriteria tersebut, artinya belum ada satu negarapun yang bebas
tuberkulosis. Bahkan untuk negara maju, yang pada mulanya angka tuberkulosis
telah menurun, tetapi belakangan ini naik lagi sehingga tuberkulosis disebut
sebagai salah satu reemerging diseases. Untuk Indonesia tuberkulosis bukanlah
reemerging diseases, penyakit ini belum pernah menurun jumlahnya di negara
kita, dan bukan tidak mungkin meningkat (2,3).
Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan Indonesia adalah
penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di dunia sesudah Cina
dan India

(2,3)

. Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei Departemen

Kesehatan tergolong empat besar

(1)

. Menurut prediksi WHO pada saat sekarang

ini Indonesia menduduki peringkat pertama, sehingga WHO telah menyarankan


untuk diterapkannya program DOTS di negara kita. WHO menyatakan bahwa
kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis adalah menerapkan strategi
DOTS, yang telah teruji ampuh di berbagai negara. Karena itu, pemahaman
tentang DOTS merupakan hal yang amat penting agar tuberkulosis dapat
ditanggulangi dengan baik(3).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
penyakit parenkim paru (Brunner & Suddarth, 2002). Tuberkulosis adalah suatu
4

penyakit infeksius yang menyerang paru-paru yang secara khas ditandai oleh
pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan. Penyakit ini bersifat
menahun dan dapat menular dari penderita kepada orang lain (Santa, dkk, 2009).
Menurut Depkes (2007) Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
2.1.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru. kuman ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang memiliki
konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai
sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan, oleh karena itu disebut
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang gelap
dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur lama) selama
beberapa tahun (Depkes RI, 2002; Aditama, 2002).
2.1.3. Diagnostik TB Paru
Gejala utama penderita TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang
yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang
tersangka (suspek) penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) (Depkes, 2007).
5

2.1.4. Cara Penularan dan Resiko Penularan TB Paru


Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak
(droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam
waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar
matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama
beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.Daya penularan seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.
Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut. Faktor yang kemungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Penderita TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar dari penderita TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap
tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu
proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar
1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan
perubahan reaksi tuberkulin negative menjadi positif (Depkes, 2007).
2.1.5. Penemuan penderita TB Paru
Kegiatan penemuan penderita terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita. Penemuan penderita merupakan
langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan
penyembuhan penderita TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan

kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus


merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.
Penjaringan tersangka penderita dilakukan di unit pelayanan kesehatan didukung
dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita TB. Pemeriksaan
terhadap kontak penderita TB, terutama mereka yang BTA positif dan pada
keluarga anak yang menderita TB yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa
dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif
(Depkes,2007).
2.1.6. Pengobatan TB Paru
Tujuan Pengobatan TB paru yaitu untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Obat Anti Tuberkulosis).
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan, Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat
obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat, bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu,
sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama, tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
2.1.6.1.Panduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
7

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)


Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan penderita. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
penderita. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita
yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.

Tabel 2.1. Paduan OAT


Katagori Rumus

Indikasi

Tahap

Tahap

intensif

lanjutan

2HRZE/ Penderita baru TB


4H3R3 paru BTA positif.
Penderita TB paru
BTA negatif foto
toraks positif
Penderita TB ekstra
paru

Selama 2
Selama 4
bulan,
bulan,
frekuensi 1 frekuensi 3
kali sehari kali
menelan
seminggu,
obat, jumlah jumlah 54
60 kali
kali menelan
menelan obatobat.

II

2HRZES/ Penderita kambuh


HRZE/ (relaps)

Selama 2
bulan
8

Selama 5
bulan, 3kali

Anak

5H3R3E3 Penderita gagal


Penderita dengan
pengobatan setelah
putus berobat
(default)

pertama
seminggu,
frekuensi 1 jumlah total
kali sehari, 66 kali
jumlah 60 menelan
kali menelan obat.
obat.
Satu bulan
berikutnya
selama 1
bulan, 1 kali
sehari,
jumlah 30
kali menelan
obat.

2RHZ/
4RH

Selama 2
Selama 4
bulan setiap bulan setiap
hari
hari

Prinsip dasar
pengobatan TB adalah
minimal 3 macam
obat dan diberikan
dalam waktu 6 bulan.
Dosis obat harus
disesuaikan dengan
berat
badan anak.

Paduan OAT Sisipan (HRZE), Bila pada akhir tahap intensif pengobatan
penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif
pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif,
diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (Depkes, 2007).
2.1.6.2.Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan: sembuh,
pengobatan lengkap, meninggal, pindah (Transfer Out), default (lalai)/ Drop Out
dan gagal. Sembuh yaitu penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada akhir
pengobatan dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Pengobatan
Lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal. Meninggal adalah
penderita yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun. Pindah
9

adalah penderita yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan
hasil pengobatannya tidak diketahui. Default (Putus berobat) adalah penderita
yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya
selesai. Gagal adalah penderita yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2.2 Program Penanggulangan TB Paru di Puskesmas


Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas
menjalankan

beberapa

program

pokok

salah

satunya

adalah

program

pemberantasan penyakit menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru


yang dilakukan dengan strategi DOTS. Pada tahun 1995, program nasional
penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di
Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara
Nasional di seluruh UPK (Unit Pelayanan Kesehatan) terutama Puskesmas yang
di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Muninjaya, 2004; Depkes,
2007).
2.2.1 Definisi DOTS
DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course) adalah pengawasan
langsung pengobatan jangka pendek, yang kalau kita jabarkan pengertian DOTS
dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program tuberkulosis untuk
direct attention dalam usaha menemukan penderita dengan kata lain mendeteksi
kasus dengan pemeriksaan mikroskop. Kemudian setiap penderita harus di
observed dalam memakan obatnya, setiap obat yang ditelan penderita harus di
depan seorang pengawas. Selain itu tentunya penderita harus menerima treatment
yang tertata dalam sistem pengelolaan, distribusi dengan penyediaan obat yang
cukup. Kemudian, setiap penderita harus mendapat obat yang baik, artinya
pengobatan short course standard yang telah terbukti ampuh secara klinis.
Akhirnya, harus ada dukungan dari pemerintah yang membuat program
10

penanggulangan tuberkulosis mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan


kesehatan (3).
Tujuan dari pelaksanaan DOTS adalah menjamin kesembuhan bagi
penderita, mencegah penularan, mencegah resistensi obat, mencegah putus
berobat dan segera mengatasi efek samping obat jika timbul, yang pada akhirnya
dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat tuberkulosis di dunia (4,5).

2.2.2 Strategi DOTS


Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB
tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian
menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan
dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
1. Komitmen pemerintah untuk mendukung pengawasan tuberkulosis.
2. Penemuan kasus dengan pemeriksaan mikroskopik sputum, utamanya
dilakukan pada mereka yang datang ke pasilitas kesehatan karena keluhan
paru dan pernapasan.
3. Cara pengobatan standard selama 6 8 bulan untuk semua kasus dengan
pemeriksaan sputum positif, dengan pengawasan pengobatan secara
langsung, untuk sekurang-kurangnya dua bulan pertama.
4. Penyediaan semua obat anti tuberkulosis secara teratur, menyeluruh dan
tepat waktu.
5. Pencatatan dan pelaporan yang baik sehingga memungkinkan penilaian
terhadap hasil pengobatan untuk tiap pasien dan penilaian terhadap
program pelaksanaan pengawasan tuberkulosis secara keseluruhan (3,4,6).
11

2.2.2.1 Komitmen Politik Pemerintah


Komponen pertama yaitu komitmen politik dari para pengambil keputusan
termasuk dukungan dana. Komitmen ini dimulai dengan keputusan pemerintah
untuk menjadikan tuberkulosis sebagai prioritas utama dalam program kesehatan
dan adanya dukungan dana dari jajaran pemerintahan atau pengambil keputusan
terhadap penanggulangan TB Paru atau dukungan dana operasional. Satu hal
penting lain adalah penempatan program penanggulangan TB Paru dalam
reformasi sektor kesehatan secara umum, setidaknya meliputi dua hal penting,
yaitu memperkuat dan memberdayakan kegiatan dan kemampuan pengambilan
keputusan di tingkat kabupaten serta peningkatan cost effectiveness dan efisiensi
dalam pemberian pelayanan kesehatan. Program penanggulangan TB Paru harus
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari reformasi sektor kesehatan.
Komitmen politik pemerintah dalam mendukung pengawasan tuberkulosis
adalah penting terhadap keempat unsur lainnya untuk dijalankan dengan baik.
Komitmen ini seyogyanya dimulai dengan keputusan pemerintah untuk
menjadikan tuberkulosis sebagai perioritas penting/utama dalam program
kesehatan. Untuk mendapatkan dampak yang memadai maka harus dibuat
program nasional yang menyeluruh yang diikuti dengan pembuatan buku petunjuk
(guideline) yang menjelaskan bagaimana DOTS dapat diimplementasikan dalam
program/sistem kesehatan umum yang ada. Begitu dasar-dasar ini telah diletakan
maka diperlukan dukungan pendanaan serta tenaga pelaksana yang terlatih untuk
dapat mewujudkan program menjadi kegiatan nyata di masyarakat (3,4,6).
2.2.2.2 Penemuan Kasus dan Diagnosa
Pemeriksaan mikroskopis sputum adalah metode yang paling efektif untuk
penyaringan terhadap tersangka tuberkulosis paru. WHO merekomendasikan
strategi pengawasan tuberkulosis, dilengkapi dengan laboratorium yang berfungsi
baik untuk mendeteksi dari mulai awal, tindak lanjutan dan menetapkan
pengobatannya

(7)

. Secara umum pemeriksaan mikroskop merupakan cara yang

paling cost effective dalam menemukan kasus tuberkulosis. Dalam hal ini, pada
12

keadaan tertentu dapat dilakukan pemeriksaan foto toraks, dengan kriteria-kriteria


yang jelas yang dapat diterapkan di masyarakat (3).
2.2.2.3 Pengawasan Pengobatan Standard
Pemberian obat yang diawasi secara langsung, atau dikenal dengan istilah
DOT (Directly Observed Therapy), pasien diawasi secara langsung ketika
menelan obatnya, dimana obat yang diberikan harus sesuai standard

(3)

. Dalam

aturan pengobatan tuberkulosis jangka pendek yang berlangsung selama 6 8


bulan dengan menggunakan kombinasi obat anti TB yang adekuat. Pemberian
obat harus berdasarkan apakah pasien diklasifikasikan sebagai kasus baru atau
kasus lanjutan/kambuh, dan seyogyanya diberikan secara gratis kepada seluruh
pasien tuberkulosis.
Pengawasan pengobatan secara langsung adalah penting setidaknya selama
tahap pengobatan intensif (2 bulan pertama) untuk meyakinkan bahwa obat
dimakan dengan kombinasi yang benar dan jangka waktu yang tepat. Dengan
pengawasan pengobatan secara langsung, pasien tidak memikul sendiri tanggung
jawab akan kepatuhan penggunaan obat. Para petugas pelayanan kesehatan,
petugas kesehatan masyarakat, pemerintah dan masyarakat semua harus berbagi
tanggung jawab dan memberi banyak dukungan kepada pasien untuk melanjutkan
dan menyelesaikan pengobatannya. Pengawas pengobatan bisa jadi siapa saja
yang berkeinginan, terlatih, bertanggung jawab, dapat diterima oleh pasien dan
bertanggung jawab terhadap pelayanan pengawasan pengobatan tuberkulosis (6).
2.2.2.4 Penyediaan obat
Jaminan tersedianya obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu,
sangat diperlukan guna keteraturan pengobatan. Masalah utama dalam hal ini
adalah perencanaan dan pemeliharaan stok obat pada berbagai tingkat daerah.
Untuk ini diperlukan pencatatan dan pelaporan penggunaan obat yang baik,
seperti misalnya jumlah kasus pada setiap kategori pengobatan, kasus yang
ditangani pada waktu lalu (untuk memperkirakan kebutuhan), data akurat stok
masing-masing gudang yang ada, dan lain-lain (3).
13

2.2.2.5 Pencatatan dan Pelaporan


Sistem pencatatan dan pelaporan digunakan untuk sistematika evaluasi
kemajuan pasien dan hasil pengobatan. Sistem ini terdiri dari daftar laboratorium
yang berisi catatan dari semua pasien yang diperiksa sputumnya, kartu pengobatan
pasien yang merinci penggunaan obat dan pemeriksaan sputum lanjutan (6).
Setiap pasien tuberkulosis yang diobati harus mempunyai kartu identitas
penderita yang telah tercatat di catatan tuberkulosis yang ada di kabupaten.
Kemanapun pasien ini pergi, dia harus menggunakan kartu yang sama sehingga
dapat melanjutkan pemgobatannya dan tidak sampai tercatat dua kali (3).
Di luar lima komponen penting ini, tentu juga ada beberapa kegiatan lain
yang penting, seperti pelatihan, supervisi, jaringan laboratorium, proses jaga
mutu (quality control), dll (3).
2.2.3 Pengawas Minum Obat (PMO)
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung oleh PMO. Untuk menjamin kesembuhan
dan keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.
Bila penderita dirawat jalan, pengawasan dilakukan:
1. Langsung di depan dokter
2. Petugas kesehatan
3. Pemuka masyarakat atau orang yang disegani
4. Suami/istri/keluarga/orang serumah
Bila penderita dirawat di RS, yang bertindak sebagai PMO adalah petugas
RS. Sebagai perawatan pengobatan lanjutan, lihat cara berobat jalan diatas.
Ketentuan diatas pun harus disesuaikan dengan sumber daya manusia,
dana serta lingkungan geografis masyarakatnya.
Sebelum pelaksanaan DOTS dimulai harus dilakukan langkah sebagai
berikut. Penderita diberitahukan tentang cara pengobatan serta menetapkan
terlebih dahulu seorang PMO. Kemudian PMO itu harus dihadirkan di
poliklinik/tempat pelayanan kesehatan untuk diberi pelatihan mengenai DOTS.
14

Syarat dan tugas menjadi PMO adalah:

Seorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui oleh petugas kesehatan


maupun pederita.

Bersedia dengan sukarela membantu penderit tuberkulosis sampai sembuh


selama 6 bulan.

Bersedia dilatih.

Mau merujuk kalau ada gejala efek samping obat.

Bersedia antar jemput OAT sekeli seminggu atau dua kali seminggu jika
penderita tidak bisa datang ke RS.

Bersedia antar jemput pemeriksaan ulang sputum bulan ke-2, 5 dan 6


pengobatan.

Mengawasi penderit tuberkulosis agar menelan obat secara teratur sampai


selesai pengobataan.

Memberi dorongan kepada penderita agar mau minum obat secara teratur.

Memberi penyuluhan kepada anggota keluarga penderita tuberkulosis yang


mempunyai

gajala-gejala

tersangka

tuberkulosis

untuk

segara

memeriksakan diri ke pusat kesehatan (4,5).


Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa,
Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada
petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan,
guru, anggota PPTI (Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia), PKK, atau
tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.
Seorang PMO mempunyai tugas untuk mengawasi penderita TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang
dahak pada waktu yang telah ditentukan, memberi penyuluhan pada anggota
keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk
segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan, dan tugas seorang PMO
bukanlah untuk mengganti kewajiban penderita mengambil obat dari unit
pelayanan kesehatan.

15

Petugas kesehatan harus memberikan informasi penting yang perlu


dipahami PMO untuk disampaikan kepada penderita dan keluarganya bahwa TB
disebabkan kuman bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat
disembuhkan dengan berobat teratur, cara penularan TB, gejala-gejala yang
mencurigakan dan cara pencegahannya, cara pemberian pengobatan penderita
(tahap intensif dan lanjutan), pentingnya pengawasan supaya penderita berobat
secara teratur, kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera
meminta pertolongan ke UPK (Depkes, 2007).
2.2.4 DOTS di Beberapa Negara yang Telah Menerapkannya
Pada tahun 1992 1993 Global Tuberculosis Program (GTB) WHO
menetapkan tuberkulosis sebagai global emergency, kemudian GTB mulai
memperkenalkan strategi yang dipakai Dr. Karel Styblo dari InternationalUnion
Against Tuberculosis & Lung Diseases (IUATLD) dalam suatu paket manajemen
dan teknik yang kemudian dikenal dengan nama DOTS. Dibuat pula berbagai
perangkat manajemen yang diperlukan, seperti buku pedoman teknik, bahan
pelatihan dan modul-modul untuk memesyarakatkan dan mengimplementasikan
DOTS. Dan GTB WHO juga memberikan bantuan teknik pada lebih dari 60
negara di tahun 1990 dan menjadi 102 negara ditahun 1997. Persentase pasien
tuberkulosis yang tercakup dalam DOTS juga meningkat yang mana kurang dari
1% di tahun 1990 menjadi 16 % ditahun 1997 (4).
Di Nepal, sebuah kerajaan di Himalaya, DOTS diperkenalkan tahun 1996
dengan bantuan JICA Project yang pada saat itu dipimpin oleh Dr. Katsurani
Osuga, seorang kebangsaan Jepang. Setelah berjalan 3 tahun 8 bulan, mencapai
angka kesembuhan rata-rata 85%. Kesulitan yang dialami oleh Dr Otsuga adalah
bagaimana memberikan pelayanan kesehatan yang cukup bagi penduduk yang
tinggal di wilayah pegunungan dan perbukitan dimana fasilitas kesehatan terdekat
berkilo-kilo meter jauhnya. Namun dengan bantuan sukarelawan yang berasal dari
masyarakat, sebagai pengawas pengobatan DOTS akhirnya pada bulan Juli 2000,
penduduk yang tercakup oleh DOTS mejadi 70% di Nepal (7).

16

Di Philipina, menurut laporan Dr Maxxilanda Z. Paulin yang menjabat


sebagai Direktur Regional I di Mindanao yang membawahi 2 Rumah Sakit Paru
dan 6 pusat laboratorium yang menerapkan DOTS telah mencapai 85% rata-rata
penyembuan pada tahun 2000.
Untuk mengefektifkan penerapan DOTS, beliau membentuk 4 tim
monitor, yaitu (8):
1. Tim montior fungsi

Kunjungan dilakukan tiap minggu pada fase intensif

bulan

pertama dan dua kali pada bulan kedua.

Memonitor pasien akan efek samping obat.

Mengunjung

sukarelawan

untuk

memonitor

masalah

yang

pasien

dan

dihadapi.

Memberikan

pendidikan

kesehatan

kepada

keluarganya.

Memberikan penyuluhan tuberkulosis.

2. Memberikan pelatihan pekerja tuberkulosis.


3. Membentuk komite diagnostik tuberkulosis untuk membantu petugas
kesehatan propinsi.
4. Mewawancarai pasien dan dokter.
Di Rusia program DOTS tidak begitu dapat diterima, karena negara
tersebut telah mempunyai sistem pemberantasan tuberkulosis tersendiri yang
ditemukan oleh Prof. Alexander Rabhun, seorang ilmuwan, guru besar, dan
kepala Departemen Penanggulangan TB di Rusia, yang menerapkan:

Setiap pasien dengan tuberkulosis aktif harus dirawat di RS dalam wakktu


6-8 bulan.

Diterapi dengan obat-obat yang telah ada .

Dilakukan pengawasan menelan (termasuk injeksi streptomisin) yang


dilakukan oleh perawat.

Memasukkan seluruh catatan pengobatan pasien ke dalam rekam medik.


Selain itu departemennya melakukan pelatihan-pelatihan tuberkulosis bagi

dokter-dokter di seluruh penjuru negeri dan mewajibkan bagi selurruh fakultas

17

kedokteran untuk memasukkan materi kuliah tenteng tuberkulosis sebanyak 85


95 jam tatap muka dan 10 20 jam di laboratorium. Sistem tersebut sebenarnya
tidak berbeda dengan DOTS yang direkomendasikan WHO.
Yang menjadi pertentangan sebagai mana yang dikutip dari makalah
Tuberkulosis di Rusia oleh M.I Peleman adalah:

Bagaimanapun, mustahil bagi Rusia untuk menerima secara keseluruhan


cara pengobatan rawat inap menjadi rawat jalan bagi seluruh pasien.

Para ahli barat kelihatannya tidak menyadari bahwa pasien-pasien dalam


kondisi eksaserbasi tidak cocok untuk dirawat di rumah termasuk
penderita tuberkulosis kronik dan atau resisten obat.

Bagian lain yang menimbulkan kekurang setujuan adalah dalam hal cara
mendiagnosa tuberkulosis dengan pemeriksaan laboratorium. Rusia
menganggap foto toraks lebih sensitif dibanding pemeriksaan sputum (8).
Pada bulan Mei 2000 di RIT dilakukan pertemuan yang diikuti oleh Korea,

Jepang, Taiwan, Hongkong, Singapura, Macau, Malaisya dan Brunai dengan tamu
dari WHO dan IUATLD untuk membicarakan analisa dan strategi dari
pengurangan

insiden

tuberkulosis

di

tahun-tahun

belakangan

ini

dan

mendiskusikan penerapan DOTS dan pembangunan sistem informasi tuberkulosis


di Asia seperti yang ada di Eropa (10).
Di Indonesia DOTS belum dilaksanakan secara menyeluruh. Berdasar
hasil pengalaman penanganan tuberkulosis dengan strategi DOTS yang dilakukan
oleh dr. Sri Ani pada Puskesmas Sibela Kotamadya Surakarta sejak bulan Januari
2000 didapatkan angka konversi 100% dan drop out 0% (4).
2.2.5 DOTS Plus
DOTS Plus merupakan sistem strategi penanggulangan tuberculosis yang
resisten terhadap berbagai macam obat/MDR (Multi Drug Resistant). Mengapa
tuberkulosis yang sebelumnya dapat diobati menjadi tuberkulosis yang resisten
terhadap pengobatan? Resistensi terhadap pengobatan muncul sebagai akibat
penggunaan antibiotika yang tidak tepat, termasuk di dalamnya pengaturan

18

pemberian obat yang kurang baik oleh petugas kesehatan dan lemahnya sistem
kontrol terhadap penderita.
Di daerah yang memiliki resistensi yang minimal atau tidak ada resistensi,
DOTS memiliki tingkat keberhasilan penyembuhan lebih dari 95%; merupakan
tingkat keberhasilan yang cukup mengagumkan dalam mengurangi permasalahan
tuberkulosis disamping mencegah resistensi tuberkulosis terhadap pengobatan
(11).
Menurut data yang dikumpulkan WHO dari 28 negara menunjukan angka
MDR di berbagai negara tersebut berkisar 0 22,1% dengan median 2,2%. Di
Indonesia sendiri, pada beberapa kota berdasarkan data PDPI tahun 1998 berkisar
0 8% untuk tuberkulosis primer dan 42% untuk tuberkulosis sekunder

(3)

Adanya resistensi ini dapat membuat hasil pengobatan DOTS tidak berhasil
maksimal. Karena itu ada ide untuk melaksanakan apa yang kemudian dikenal
dengan DOTS Plus.
Pada tahun 1998, WHO dan beberapa organisasi lain di seluruh dunia
meluncurkan DOTS Plus, suatu strategi yang terus dikembangkan dan diuji dalam
menangani MDR-TB.
Pada strategi DOTS Plus upaya pengobatan untuk menyembuhkan
tuberkulosis dengan resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (MDR-TB) adalah
dengan menggunakan anti tuberkulosis second-line

(11)

. Namun beberapa pakar di

beberapa negara berpendapat bahwa DOTS Plus masih perlu ditelaah terlebih
dulu, baik dari sudut epidemiologi maupun segi ekonomis.
Dari sudut epidemiologis perlu dipertimbangkan angka keberhasilan yang
dicapai regimen pengobatan jangka pendek terhadap mereka yang sensitif dan
mereka yang resisten terhadap OAT. Sebab berdasarkan laporan dari beberapa
negara dengan menggunakan pengobatan jangka pendek saja angka keberhasilan
pengobatan terhadap mereka yang sensitif tidaklah terlalu berbeda dengan mereka
yang resisten terhadap satu OAT.
Dari

sudut

ekonomis,

mereka

masih

mempersoalkan

tentang

diperlukannya pemeriksaan resistensi pada semua penderita tuberkulosis untuk


mengetahui ada tidaknya resisten ganda/MDR bila DOTS Plus ini akan
19

diberlakukan. Untuk ini tentu diperlukan managemen yang cukup rumit dan juga
biaya yang tinggi untuk pelaksanaannya (3)

BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian non-eksperimental
deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian berupa sampling survey dan
tidak membutuhkan kelompok kontrol yang spesifik. Hasil penelitian hanya
disajikan sesuai data yang diperoleh tanpa dilakukan analisis yang mendalam.
3.2 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan adalah pengumpulan data menggunakan
angket. Penilitian data menggunakan teknik angket ialah pertanyaan yang
diajukan secara tertulis dan jawaban diisi oleh responden sesuai dengan daftar
isian. Data dari penelitian akan diorganisasikan sedemikian rupa agar udah
disajikan. Penglahan data dapat dilakukan menggunakan program komputer atau
secara manual. Cara mana yang digunakan tergantung ketersediaan alat dan
sumber daya manusia.

3.3 Besar Sampel


Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien rawat jalan balai
pengobatan Puskesmas Ambulu yang menderita penyakit TBC Paru. Metode
sampling

yang

digunakan

adalah

pengambilan

sampling

acak

dengan

pertimbangan. Pertimbangan dalam penelitian ini adalah pasien Puskesmas


Ambulu yang menderita TBC Paru yang tergabung dalam BPJS dan rajin
20

memeriksakan diri, sehingga meiliki tingkat kewakilan tinggi. Namun karena


jumlah sampel yang sedikit, maka penelitian ini memiliki bias yang tinggi.

21

3.4 Tempat dan Waktu


Penelitian dilakukan di Balai Pengobatan dan Ruang PPM Puskesmas Ambulu
pada tanggal 11 dan 18 Agustus 2015 pukul 08.00 s/d 11.30.
3.5 Instrumen dan Bahan
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kursi
Meja
Bolpoin
Sound sistem
Michrophone
LCD Proyektor
Angket

Angket yang digunakan dibuat untuk mengukur pemahaman masyarakat


umum dan pasien TB di Puskesmas Ambulu. Angket digunakan adalah angket
non-test, digunakan untuk menilai minat peserta dengan skala yang digunakan
adalah Skala Likert.
3.6 Prosedur Penelitian
3.6.1 Pendataan dan Pengumpulan Pasien
Pendataan pasien mengacu pada catatan rekam medik puskesmas. Pasien
yang diambil adalah pasien rawat jalan balai pengobatan Puskesmas Ambulu yang
menderita penyakit tuberkulosis maupun tidak. Didapatkan 25 pasien untuk
diundang
3.6.2

Pembuatan Angket
Angket yang dibuat berdasarkan Panduan Strategi DOTS TB. Pertanyaan

pada angket yang dibuat sesuai dengan tujuan penelitian. Angket dibuat
menggunakan Skala Likert untuk mengetahui rentang minat pasien.
3.6.3

Pengisian Angket

22

Angket diisi di sebuah meja dengan peneliti sebagai pembimbing


pengisian guna menjelaskan beberapa pertanyaan yang bias. Angket dikumpulkan
oleh peneliti dan disimpan untuk pengolahan data.
3.6.4

Pengolahan Data

Data yang terkumpul diolah secara deskriptif. Data disajikan ke dalam tabel dan
grafik sesuai dengan tujuan penelitian.

23

Diagram Alur Penelitian


Pendataan pasien

Pengumpulan Data

Pengolahan Data

Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian

BAB IV. PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Pendataan dan Pengumpulan Pasien

24

Pendataan pasien mengacu pada catatan rekam medik puskesmas. Pasien


yang diambil adalah pasien rawat jalan balai pengobatan Puskesmas Ambulu yang
menderita penyakit TBC yang terdaftar di rekam medik rawat jalan. Pasien dipilih
secara acak sesuai dengan siapa yang datang ke puskesmas Ambulu saat hari
dilakukan survei. Didapatkan 25 pasien yang dapat dilakukan survei.
Survei dilakukan dengan cara memberikan selebaran kuesioner pada
pasien yang datang untuk kontrol. Selebaran nanti diberikan pada petugas
kesehatan di poli penanggulangan penyakit menular saat pasien akan mengambil
obat.
4.1.2

Poli Penanggulangan Penyakit Menular


Poli Penanggulangan Penyakit Menular (PPM) buka setiap hari jam 07.00

14.00 WIB. Poli PPM melakukan pemeriksaan dahak untuk pasien suspect TBC
pada hari Selasa saja. Sedangkan untuk kontrol dapat dilakukan setiap hari Senin
Sabtu saat jam dinas.
4.1.3

Pengisian Angket Survei


Angket survei diisi oleh Pasien saat menunggu giliran untuk kontrol di

poli PPM. Jika pasien tidak atau kurang paham dengan pertanyaan pada angket
survei, angket diisi dengan peneliti sebagai pembimbing pengisian saat pasien
masuk ke poli PPM. Angket dikumpulkan oleh peneliti dan disimpan untuk
pengolahan data.
4.1.4

Pengolahan Data

Data yang terkumpul diolah secara deskriptif. Data disajikan ke dalam tabel dan
grafik sesuai dengan tujuan penelitian.

25

4.2 Pengolahan data


Angket yang disebarkan pada pasien TBC yang kontrol ke puskesmas Ambulu
dikumpulkan dan disimpan untuk kepentingan pengolahan data. Dari 25 peserta,
didapatkan hasil survey sebagai berikut:

No
1.
2.
3.

4.
5.
6.
7.
8.
9.

Pertanyaan
Apakah anda memahami penyakit kronis
yang anda derita secara umum? (Baik
penyebab dan gejala)
Apakah anda mencari tahu tentang
penyakit anda selain dari Puskesmas?
Apakah anda senang dengan diadakannya
Program Penanggulangan Penyakit Menular
(PPM) sebagai solusi penatalaksanaan
penyakit menular di Puskesmas Ambulu?
Apakah anda mengetahui bahwa
pemerintah menaruh perhatian khusus
terhadap penyakit TBC di Indonesia?
Apakah anda mengetahui cara mendeteksi
penyakit TBC dengan mengecek dahak?
Apakah anda mengetahui tata cara
pengobatan TBC dan lamanya?
Apakah selama ini obat TBC yang anda
butuhkan selalu tersedia?
Apakah anda memahami bahwa kepatuhan
meminum obat selalu dicatat sebagai
laporan untuk penanganan TBC?
Apakah anda berkenan bila diadakan
program kunjungan rumah untuk
memonitor penyakit dan kepatuhan
26

2
3

Jumlah Jawaban
1
0
-1
5
10
3

-2
4

16

10

16

10
.

meminum obat anda?


Perlukah Program Penanggulangan
Penyakit Menular (PPM) ini dipertahankan di
FASKES anda biasa berobat?

14

Tabel 4.1 Data Jawaban Angket Survei TBC

27

11

Pertanyaan nomor satu bertujuan untuk mengetahui pemahaman pasien


terhadap penyakit TBC yang diderita pasien. Pemahaman ini baik dari penyebab,
gejala, dan tatalaksana. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan nomor satu
adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Satu
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
3
5
10
3
4

Presentase
12%
20%
40%
12%
16%

Pertanyaan nomor 2 bertujuan untuk mengetahui rasa ingin tahu pasien saat di
diagnosis penyakit TB serta apakah pasien mendapat informasi yang cukup di poli
PPM. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan nomor dua adalah sebagai
berikut:
Tabel 4.3 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Dua
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
9
7
6
1
2

Presentase
36%
28%
24%
4%
8%

Pertanyaan nomor tiga bertujuan untuk mengetahui respon pasien terhadap


fasilitas pelayanan TB yang dilaksanakan oleh puskesmas Ambulu. Fasilitas yang
dimaksud adalah adanya poli PPM yang dapat melayani penanganan TB dengan
program DOTS. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan nomor tiga adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.4 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Tiga
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
16
9
0
0
0

28

Presentase
64%
36%
0%
0%
0%

Pertanyaan nomor 4 untuk mengetahui apakah pasien tahu terdapat program


DOTS untuk penanganan TBC. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan
nomor empat adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Jawaban dari pertanyaan nomor empat
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
6
7
7
3
2

Presentase
24%
28%
28%
12%
8%

Pertanyaan nomor lima bertujuan untuk pemahaman pasien mengenai


diagnosis penyakit TB yang memerlukan pemeriksaan dahak. Total jawaban yang
didapat untuk pertanyaan nomor lima adalah sebagai berikut:
Tabel 4.6 Jawaban dari Pertanyaan Nomor lima
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
6
10
1
5
3

Presentase
24%
40%
4%
20%
12%

Pertanyaan nomor enam bertujuan untuk mengetahui pemahaman pasien


mengenai cara pengobatan TB. Pemahaman pasien akan mempengaruhi tingkat
kepatuhan minum obat pasien TB. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan
nomor enam adalah sebagai berikut:
Tabel 4.7 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Enam
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
5
7
5
6
2

29

Presentase
20%
28%
20%
24%
8%

Pertanyaan nomor tujuh bertujuan untuk mengetahui apakah stok obat untuk
penanganan TB di puskesmas Ambulu selalu tersedia atau tidak. Jawaban dari
pasien akan menunjukan bagaimana kesiapan puskesmas Ambulu dalam
penanganan TB dari segi ketersediaan obat. Total jawaban yang didapat untuk
pertanyaan nomor tujuh adalah sebagai berikut:
Tabel 4.8 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Tujuh
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
16
9
0
0
0

Presentase
64%
36%
0%
0%
0%

Pertanyaan nomor delapan bertujuan untuk mengetahui pemahaman pasien


dalam pencatatan pengobatan TB. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan
nomor delapan adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Delapan
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
3
5
5
7
5

Presentase
12%
20%
20%
28%
20%

Pertanyaan nomor sembilan bertujuan untuk mengetahui apakah pasien


bersedia jika terdapat usaha kegiatan promosi kesehatan dengan cara kunjungan
ke rumah pasien. Kunjungan sendiri dimaksudkan agar menjamin keteraturan
minum obat. Total jawaban yang didapat untuk pertanyaan nomor sembilan adalah
sebagai berikut:
Tabel 4.10 Jawaban dari Pertanyaan Nomor Sembilan
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
3
5
2
7
8

30

Presentase
12%
20%
8%
28%
32%

Pertanyaan nomor sepuluh ditujukan untuk mengetahui pendapat masyarakat


mengenai keberadaan poli PPM di puskesmas Ambulu. Total jawaban yang
didapat untuk pertanyaan nomor sepuluh adalah sebagai berikut:
Tabel 4.11 Jawaban dari Pertanyaan Sepuluh
Pilihan
2
1
0
-1
-2

Jumlah
14
11
0
0
0

31

Presentase
56%
44%
0%
0%
0%

4.3 Pembahasan
Penelitian ini dilakukan mengetahui bagaimana pengetahuan dan respon
masyarakat mengenai penyakit TB serta antisipasi yang dilakukan pemerintah
dalam menanganinya di daerah yang termasuk regio Puskesmas Ambulu. Program
TB DOTS yang dijalankan di Poli PPM Puskesmas Ambulu merupakan tindakan
pemerintah dalam menangani penyakit TB yang memerlukan peran aktif juga dari
masyarakat untuk memberantas penyakit TB. Penelitian ini menggunakan angket
dengan Skala Likert untuk mengetahui pemahaman pasien mengenai Strategi
DOTS TB. Skala Likert dipakai karena menurut Susanto, 2014, Skala Likert
memiliki angka realibilitas lebih tinggi dibanding yes or no question.
4.3.1

Pemahaman Pasien Terhadap Penyakit yang Diderita


Pertanyaan nomor satu bertujuan untuk mengetahui pemahaman pasien

terhadap penyakit TBC yang diderita pasien. Pemahaman ini baik dari penyebab,
gejala, dan tatalaksana. Berdasarkan hasil survei ternyata masih banyak pasien
yang merasa tidak memahami secara menyeluruh tentang penyakit TB dari
penyebab, gejala, maupun tatalaksana. Berdasar statistik, pasien yang merasa
benar benar paham hanya 12%. Sedangkan yang paham tapi tidak mendalam
sebanyak 20%. Pasien yang pemahaman tentang TB masih setengah setengah
sebanyak 40%. Pasien yang tidak terlalu paham sebanyak 12% dan pasien yang
benar benar tidak paham sebanyak 16%. Pemahaman pasien sangat
berhubungan dengan tingkat pendidikan pasien serta hasrat untuk sembuh yang
dimiliki pasien.
4.3.2

Sumber informasi pasien mengenai TB


Dari pertanyaan nomor dua, didapatkan 36% pasien mengaku mendapat

informasi yang sangat banyak justru dari luar puskesmas dan 28% pasien
mengaku mendapat informasi yang cukup dari puskesmas, tapi masih mencari lagi
informasi lain di luar puskesmas. 24% pasien mengaku tidak tahu manakah yang
lebih banyak dia dapat, apakah informasi TB dari puskesmas atau diluar
puskesmas. Sedangkan 4% pasien hanya mencari sedikit informasi diluar
32

puskesmas, dan 8% pasien mendapat informasi tentang TB seluruhnya dari


puskesmas. Dapat ditarik kesimpulan bahwa lebih banyak pasien yang masih
mencari informasi lebih lanjut mengenai

TB diluar puskesmas. Hal ini

berhubungan dengan rasa ingin tahu pasien yang akan berdampak pada
keberhasilan terapi.
4.3.3

Respon Pasien Terhadap Kegiatan PPM


Pertanyaan nomor tiga bertujuan untuk mengetahui respon pasien terhadap

usaha puskesmas Ambulu dalam mem fasilitasi penanganan penyakit TB. 64%
pasien menyatakan sangat senang dan 36% pasien menyatakan senang dengan
adanya fasilitas yang diberikan Puskesmas Ambulu untuk penanganan penyakit
TB. Hal ini dikarenakan karena pasien menjadi mendapatkan akses yang lebih
mudah untuk berobat. Kemudahan yang dirasakan pasien adalah mereka dapat
memeriksakan dahak serta mendapatkan terapi dari satu tempat, tidak perlu pergi
ke pusat kesehatan yang lain.
4.3.4

Pengetahuan pasien terhadap program TB DOTS


Pertanyaan nomor empat ditujukan untuk mengetahui apakah pasien tahu

bahwa pemerintah memiliki program khusus dalam penanganan penyakit TB.


24% menyatakan sangat tahu, 28% menyatakan tahu, 28% merasa tahu tapi tidak
banyak, 12% menyatakan tahu tapi tidak paham, sedangkan 8% menyatakan tidak
tahu. Hal ini menunjukan bahwa pemahaman pasien masih beragam mengenai
usaha pemerintah dalam menangani kasus TB.
4.3.5

Pengetahuan pasien tentang pemeriksaan dahak


Pertanyaan nomor lima ditujukan untuk mengetahui apakah pasien tahu

bahwa diagnosis TB memerlukan pemeriksaan dahak. 24% menyatakan sangat


tahu, 40% menyatakan tahu, 4% merasa tahu tapi tidak banyak, 20% menyatakan
tahu tapi tidak paham, sedangkan 12% menyatakan tidak tahu. Hal ini
menunjukan bahwa pemahaman pasien masih beragam mengenai usaha
pemerintah dalam menangani kasus TB. Beberapa pasien menganggap foto ronsen

33

dada lebih penting dilakukan daripada pemeriksaan dahak untuk menegakan


penyakit TB.
4.3.6

Pengetahuan asien tentang tata cara pengobatan TB


Pertanyaan nomor enam untuk mengetahui apakah pasien memahami

bahwa pengobatan TB memiliki tata cara yang berbeda dibanding penyakit


lainnya. 20% pasien menyatakan sangat paham, 28% menyatakan paham, 20%
menyatakan sedikit paham, 24% menyatakan tidak paham, 8% menyatakan sangat
tidak paham. Pemahaman pasien yang cenderung beragam dapat dilihat dari latar
belakang pendidikan dan berapa lama sudah konsumsi obat TB. Pasien dengan
pendidikan yang cukup, misal SMA atau perguruan tinggi dapat memahami
dengan baik. Sedangkan pasien dengan pendidikan yang kurang, misal SMP,
dapat memahami walau tidak cukup baik karena sudah berkali kali kontrol
sehingga paham sedikit demi sedikit mengenai tata cara pengobatan TB.
Sedangkan yang tidak paham biasanya dari pendidikan yang rendah dan juga baru
sekali atau dua kali mengunjungi poli PPM.
4.3.7

Pemahaman Pasien tentang ketersediaan obat


Pertanyaan nomor tujuh untuk mengetahui pemahaman pasien mengenai

ketersediaan obat TB di puskesmas Ambulu. 64% pasien menyatakan bahwa obat


selalu tersedia. Sedangkan 36% menyatakan bahwa obat hampir selalu tersedia,
tapi terkadang tidak ada. Setelah ditelusuri, ternyata yang dimaksud pasien dengan
kadan tidak ada adalah saat pasien disuruh menunggu lebih lama dari biasanya
untuk mendapatkan obat TB misalkan karena petugas poli PPM masih harus
mengurus hal hal lain sehingga pasien dibuat menunggu.
4.3.8

Pemahaman Pasien tentang pencatatan pada pengobatan TB


Pertanyaan nomor delapan diajukan untuk mengetahui pemahaman pasien

mengenai pencatatan dan pelaporan obat di puskesmas Ambulu. 12% pasien


menyatakan sangat paham, 20% pasien menyatakan paham, 20% menyatakan
agak paham, 28% pasien menyatakan tidak paham, dan 20% lainnya menyatakan
34

bahwa sangat tidak paham. Terdapat banyak pasien yang tidak paham mengenai
pencatatan dan pelaporan mengenai TB.
4.3.9

Ketersediaan pasien mengenai kunjungan rumah untuk promosi kesehatan


Pertanyaan nomor sembilan ditujukan untuk mengetahui ketersediaan

pasien jika rumah mereka dikunjungi. Hanya 12% yang sangat bersedia. 20%
bersedia, 8% bingung untuk menentukan bersedia atau tidak, 28% menyatakan
tidak bersedia, dan 32% menyatakan sangat tidak bersedia. Hal ini dikarenakan
kesalahpahaman pasien bahwa mereka nanti akan mendapat perlakuan yang tidak
nyaman atau seperti diisolasi. Beberapa juga berpendapat kunjungan ke rumah
menimbulkan rasa takut apabila ternyata ditemukan anggota keluarga lain yang
menderita penyakit yang sama seperti mereka.
4.3.10 Pendapat pasien mengenai PPM di puskesmas Ambulu
Pertanyaan nomor sepuluh ditujukan untuk mengetahui apakah keberadaan
poli PPM disukai oleh masyarakat. 56% pasien sangat setuju dan 44% pasien
setuju. Tidak ada yang tidak setuju terhadap keberadaan poli PPM. Hal ini
menunjukan bahwa poli PPM mendatangkan pengaruh positif kepada masyarakat
dalam penanganan penyakit menular termasuk TB.
4.3.11 Kekurangan dan Kelebihan Penelitian
Peneliti mengakui banyaknya kekurangan dalam penelitian ini. Beberapa
kekurangan pada penelitian ini menyebabkan bias yang bermakna pada hasilnya.
Kurangnya jumlah sample menjadi penyebab utama munculnya bias pada
penelitian ini. Angket yang tidak diujicobakan terlebih dahulu dapat menyebabkan
bias pula. Kekurangan ini terjadi karena keterbatasan peneliti. Keterbatasan baik
dalam waktu penelitian yang terlalu singkat, biaya yang terbatas, tenaga yang
terbatas, kuesioner yang memuat pertanyaan yang tertutup sehingga kurang
menampung pendapat pasien, dan lain-lain.

35

BAB V

5.1 Kesimpulan
Dari Penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
a.

Pasien TB paru yang berobat di poli PPM Puskesmas Ambulu memiliki


pemahaman yang beragam mengenai seluk beluk penanganan TB paru
menggunakan strategi DOTS.

b.

Pasien TB paru yang berobat di poli PPM Puskesmas Ambulu puas dengan
pelayanan yang diberikan.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti dari penelitian yang dilakukan, adalah
sebagai berikut:
a.

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana program TB


DOTS berjalan di masyarakat.

b.

Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dengan pertanyaan


pertanyaan yang lebih baik dan dengan jawaban terbuka agar data yang
didapat lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA

36

1. Bahar A. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
1990; 715.
2. Suradi. Diagnosis dan Pengobatan TBC Paru. Temu Ilmiah Respirologi.
Surakarta. 2001.
3. Aditama TY. DOTS & DOTS Plus. Temu Ilmiah Respirologi. Surakarta.
2001.
4. Ami Sari. Pengalaman Pelaksanaan DOTS di Puskesmas. Temu Ilmiah
Respirologi. Surakarta. 2001.
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Penatalaksanaan TBC
Paru. 1998.
6. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.htm.
7. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.tb. Otsuga Katsunori. JICA Project.
8. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.tb. Paulin MZ. Report from Piliphina.
9. www.who.int/gtb/policyrd/rusia. Perelman MI. Tuberculosis in Rusia.
10. www.who.int/gtb/policyrd/DOTS.htm. Mori T. The meaning of a sin of
ommission in TB control today.
11. www.who.int/gtb/policyrd/DOTSplus.htm.

37

Anda mungkin juga menyukai