Anda di halaman 1dari 16

Modul Alergi Imunologi

Rinitis Alergi
.

BUKU ACUAN

MODUL ALERGI IMUNOLOGI


RINITIS ALERGI

EDISI I

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH
KEPALA DAN LEHER
2008
0

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Buku Acuan Modul THT-KL


HIDUNG
RINITIS ALERGI

TUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana penyakit Rinitis Alergi
tersebut diatas, yaitu :
1. Menguasai menjelaskan patogenesis timbulnya gejala dan tanda rinitis alergi .
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita
rhinitis alergi
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit.
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang
laboratorium yang diperlukan
dan
menginterpretasi hasil nya.
6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA dan kemampuan
ekonomi serta pekerjaan penderita .
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.
8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas tersedia
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi
obat , alergi makanan dan adanya riwayat keluarga alergi.
4. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
6. menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
7. Mampu memutuskan pengobatan yang sesuai .
8. Mampu memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA.
9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti OME, sinusitis dan polip hidung
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu :
1. Menjelaskan patogenesis gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Menetukan diagnosis klinik RA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik hidung.
3. Mengklasifikan RA yang dihadapi menurut klasifikasi WHO-ARIA.
4. Menjelaskan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita dan dapat memberikan
arahan sesuai dengan penyakit dan daya beli penderita.
5. Mengenali berbagai jenis antihistamin, dekongestan hidung dan steroid, efektifitas, dosis
dan efek samping dari obat-obat tersebut
6. Menentukan indikasi, kontra indikasi untuk dilakukan tes alergi
7. Mempersiapkan penderita untuk dilakukan tes alergi/ tes kulit
8. Melakukan tes kulit dan menginterpretasikan hasilnya
9. Mengenali dan mengatasi jika terjadi komplikasi reaksi sistemik/ anafilaksi selama tes kulit.
10. Menginterpretasi dan menjelaskan kepada penderita tentang hasil tes alergi
11. Menentukan indikasi dan kontra indikasi pemberian IT allergen spesifik pada pend RA
12. Memilih allergen dan melakukan IT allergen spesifik pada pend RA.
13. Menentukan dosis terapi dari IT allergen spesifik pada pend RA
14. Mengenali gejala dan tanda jika terjadi reaksi sistemik selama IT dan mengatasinya.
1

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis Rinitis alergi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta dapat melakukan / menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang. Dokter dapat
memutuskan terapi yang sesuai dengan guideline penyakit dan kemampuan / situasi penderita
dan dapat melakukan edukasi yang tepat kepada penderita
Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi dan menginterpretasi
hasilnya.
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi obat,
alergi makanan dari anamnesis/ pemeriksaan fisik.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan
dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan
5. Menetapkan diagnosis dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
6. Memutuskan dan memberikan pengobatan RA yang sesuai dengan guideline .
7. Mengevaluasi hasil pengobatan dan merencanakan tindakan selanjutnya sesuai guideline
8. Memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA untuk mengurangi paparan sehingga
mencegah kekambuhan
9. Mampu memutuskan kapan seorang penderita RA perlu mendapat
IT dan dapat
melakukannya jika terdapat fasilitas di tempat pelayanannya.
10. Mampu mengenali adanya komplikasi Rinitis alergi pada kasus yang datang seperti
sinusitis, OME dan polip nasi.
REFERENSI :
1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy
and Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters
Kluwer Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams &
Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia:
WB Saunders Co; 1991.
GAMBARAN UMUM
Rinitis alergi ( RA) merupakan manifestasi penyakit alergi yang banyak dijumpai di
klinik THT baik pada anak maupun dewasa. Pada survey anak sekolah usia 13 dan 14 tahun
didapatkan gejala RA sebanyak 18%. Penderita sering mengeluhkan penyakitnya sudah
berlangsung bertahun-tahun. Bagi dokter, gejala klinik RA cukup jelas sehingga mudah
dikenali, meskipun demikian untuk memastikan apakah betul suatu RA harus dilakukan
anamnesis , pemeriksaan fisik yang teliti dan jika memungkinkan dipastikan dengan
pemeriksaan alergi baik in vitro maupun in vivo. Masalahnya penderita sering merasa
terganggu dengan gejala RA, tetapi belum mengetahui faktor pencetusnya sehingga mereka
merasa tidak dapat menghindarinya. Penderita juga sering khawatir bila terus menerus harus
minum obat. Jika sudah diketahui pasti bahwa penyakitnya adalah RA maka dapat dilakukan
edukasi kepada penderita sehingga dapat mengurangi paparan terhadap alergen penyebab.
Dengan menguasai patofisologi RA dan mengetahui berbagai obat anti alergi maka sebagian
besar gejala RA dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat ( aman dan terjangkau). Jika
memungkinkan dapat diberikan terapi yang dapat merubah perjalanan penyakit RA seperti
pemberian imunoterapi alergen spesifik. Jika terdapat kasus yang sudah dengan komplikasi
seperti sinusitis dan polip hidung atau asma bronkhial maka pengobatan RA bersamaan
dengan pengobatan komplikasinya, dapat mengurangi kemungkinan
terulangnya terjadi
komplikasi tersebut.
2

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

MATERI BAKU
Rinitis Alergi
Pendahuluan
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari penderita
maupun petugas kesehatan. Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia.
Angka yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey yang
tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA
sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja WHO.
Konsep semacam
guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.
Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi
1. Definisi
Rinitis alergi : kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung
yang dimediasi oleh hipersensitifitas / alergi tipe I, dengan gejala karakteristik berupa hidung
gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
2. Klasifikasi
Klasifiksi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen menjadi RA
musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap tidak memuaskan.
Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
- simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
- kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena itu
simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
- pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
- banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
- karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan dengan
musim
Oleh karena itu pembagian RA selain berdasarkan atas seasonal dan perennial diusulkan suatu
perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam dokumen ARIA yang tampaknya memang
lebih praktis dan mudah sbb.:
Berdasarkan terdapatnya simptom :
1. RA Intermiten, bila simptom terdapat :
kurang dari 4 hari/ minggu, atau bila kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila simptom terdapat :
lebih dari 4 hari/minggu, dan bila lebih dari 4 minggu

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Berdasarkan beratnya gejala :


1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu.
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu
3. Diagnosis dan identifikasi alergi
3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat
tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau
telinga.
- Kadangf disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, Hiposmia / anosmia, Post nasal drip
atau batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur
dan aktifitas sehari-hari.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis
asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah satu
penyakit alergi tersebut diatas.
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara kegemaran
atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
Diterimanya dan Compliance/ kepatuhan berobat
3. 2. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya pembengkakan / edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat dan edem. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi.
Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan
kompleks ostiomeatal.
-

3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak.anak. Mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi
terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 150 IU/ml
IgE serum spesifik ( mahal )
Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
4

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi


c. Melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan laboratorium.
Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan dan
kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil
tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasional
- Untuk penelitian.
Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti sinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai efek antialergi.
- antihsitamin minimal 3 kali periode washout ( 72 jam)
- steroid sistemik 2 minggu
3. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu
terjadi reaksi sistemik
4. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma bronkhial ).
5. Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul
6. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai
yg berat selama tes alergi
7. Tanda tangan informed consent..
8. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bag volar lengan bawah)
Prosedur tes kulit
1. Teteskan lar kontrol positif ( HISTAMIN) dan bufer fosfat atau kontrol negatif.
2. Biasakan untuk histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak minimal 2
jari.
3. Tusuk dengan jarum disposibel steril ( no 26G) / lanset sedalam lapisan epikutan, dicukit
tepat ditempat tetesan , jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 5-10 menit.
Jika sudah terbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada tempat histamin dan
tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol 1mm maka dilanjutkan dengan
penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan selalu mulai dari proksimal sisi radial ke
distal dengan jarak kurang-lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit
dibaca 10-15 menit .
4. Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita.
Positip ( +++ ) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi
histamin
Positip (++) : lebih kecil dari histamin
Positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm
Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama
dengan bentol dari reaksi histamin.
Jika gejala sangat mendukung tetapi tes kulit hasil lebih kecil dari histamin
atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan dengan tes kulit
intra kutan atau pemeriksaan penunjang lain.seperti pemeriksaan IgE dan
eosinofil sekret hidung.
5. Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita
tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta segera
lapor.
5

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Jika terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi dan
nadi .
Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/ intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika belum ada perbaikan dapat ulangi
epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang infus.
Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. NARES
6. Rinitis karena iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik
4. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
(> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian dibawah sinar
matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.
4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)
Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/ keluarga.Yang bersifat
alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea yang membentuk
partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu usaha pencegahan sulit. Cara
yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut
dan bila pernah, membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang-ulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita seringkali
penderita sensitif terhadap beberapa allergen, sukaar dicaapai hasil yang maksimal.
Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan memicu timbulnya
gejala, maka penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana
menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

5. Farmakoterapi
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu
oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada
timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang
tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase
lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap
berhari-hari.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut :
5.1. Antihistamin
Histamin (H1) merupakan mediator utama penyebab timbulnya gejala rinitis alergi, oleh
karena itu sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efek mediator histamin pada tingkat
reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung gatal, bersin
dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.
Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar dibedakan atas
antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh :
Diphenhydramin, Prometazin, Tripolidin, Chlorpheniramine, Incidal, Avil,
Polaramine, Tavegyl, Incitin
Selain mempunyai efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikholinergik, dapat
menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer karena
dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Diantara antihistamin klasik
tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena bekerja
lama ( 24 jam) dan tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru dapat digolongkan menjadi dua generasi yaitu antihistamin generasi II
dan generasi III. Antihistamin generasi II merupakan antihistamin dengan selektifitas terhadap
reseptor H1 yang lebih baik dibandingkan generasi I, dan bersifat non sedasi bila diberikan sesuai
dosis rekomendasi. Namun seringkali dibutuhkan dosis yang lebih besar daripada dosis yang
direkomendasikan, sehingga efek sedasinya menjadi meningkat pula. Antihistamin generasi II
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe3A4 yang juga dipakai untuk
metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan makrolida. Oleh
karena itu pemakaian antihistamin generasi II bersamaan dengan obat-obatan tersebut harus
dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin generasi II ternyata dapat menyebabkan gangguan
jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga memperpanjang interval QT
yang dapat menimbulkan torsades de point yang berakibat kematian.
Contoh antihistamin generasi II :
Terfenadine, Astemizole, Oxatomide, Loratadin, Fexofenadin dan cetirizin.
Antihistamin generasi III merupakan metabolit aktif dari antihistamin generasi II dan
mempunyai selektifitas yang sangat tinggi terhadap reseptor H1 sehingga mempunyai sifat non
sedatif sejati (non dose dependent) dan tidak memiliki sifat antikolinergik. Karena merupakan
metabolit aktif, antihistamin generasi III tidak dimetabolisme di hati sehingga kemungkinan
interaksi obat kecil sehingga relatif lebih aman untuk digunakan pada penderita penyakit hati,
ginjal serta pasien usia lanjut. Saat ini antihistamin generasi III yang tersedia dipasaran adalah :
Fexofenadine
7

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Desloratadine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin baru
dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat variasi
individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu antihistamin mungkin
kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain mungkin lebih responsif. Demikian
pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual terhadap efek sedasi antihistamin
baik yang golongan sedasi maupun non sedasi.
Keamanan antihistamin:
1. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik/ generasi pertama adalah adanya efek sedasi,
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas
sehari-harinya.. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena pada beberapa kasus
pemakaian yang lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu
penglihatan serta gangguan jantung.
2. Hampir semua antihistamin di metabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk metabolit
aktif ( fexofenadine & cetirizine ). Oleh karena itu pemakaiannya harus diperhatikan pada
penderita yang mempunyai kelemahan fungsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
ekskresi antihistamin generasi II sebagian besar melalui ginjal (urine) sehingga pemakaiannya
harus hati-hati pada penderita kerusakan ginjal. Pemilihan antihistamin untuk penderita
penyakit ginjal sebaiknya mengutamakan antihistamin yang sebagian besar ekskresinya
melalui faeces (mis : Fexofenadine).
3. Belakangan ini dilaporkan adanya efek antihistamin klasik dan generasi II ke jantung karena
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takhikardi
ventrikuler. Efek ini dose dependent terutama jika diberikan bersamaan dengan obat
makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan dengan
kejadian torsades de pointes. Contoh antihistamin generasi II tersebut adalah terfenadin
dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati terutama bila ada kecurigaan
kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan ketokonazol pada penderita
tsb pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara obat tersebut sudah ditarik dari peredaran
Dewasa ini dipasarkan pula antihistamin pemakaian topikal sebagai obat semprot hidung
yaitu azelastin dan levocobastin. Obat ini bekerja sangat efektif dan bekerjanya sangat
spesifik pada reseptor H1 perifer. Pemakaian topikal memungkinkan konsentrasi obat yang
lebih tinggi di target organ sementara efek samping sistemik minimal.
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara dibanding
antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru, khususnya generasi II dan III
harus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika
antihistamin baru sukar/ tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila
terpaksa menggunakan antihistamin klasik dan generasi II maka penderita harus diberi
penjelasan yang cukup tentang efek samping obat tersebut.
Antihistamin H1 topikal harus diberikan 2 4 kali sehari untuk mendapatkan
efektifitas yang cukup dan pemakaiannya dianjurkan untuk kasus-kasus yang ringan.
Tabel Antihistamin Baru
Nama
Dosis
Lama Kerja
Cetirizine
Fexofenadin
Loratadin
Terfenadin

10mg OD
120mg OD
10mg OD
120mg OD
60 mg BID

24 jam
24 jam
24 jam
24 jam

Metabolisme di hati
tidak
tidak
ya
ya

Efek ke jantung

tidak
tidak
tidak
bila diberikan
bersama dengan
makrolide & ketokonazole
8

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Astemizol
10mg OD
5.2.Dekongestan hidung

beberapa hari

ya

--

Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptor


alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat dipakai secara
oral maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif
untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung kurang
lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Pemakaian oral seperti : ephedrin, phenyleprin, phenylpropanol amin dan
pseudoephedrin.
Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau 8-24 jam yang
berbentuk sustained release. Efektifitasnya lebih lemah dibanding pemakaian topikal, tetapi
pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound vasodilatasi.
Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar, kering atau
ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari dapat menyebabkan
takhyphilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce rhinitis ( rinitis medika
mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel, pusing, sakit kepala, tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil, hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloucoma, hipertrofi prostat dan ibu hamil
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan dengan
obat lain.
- Pemakaian pada anak-anak < 1th harus sangat hati-hati karena batas yang sempit antara dosis
terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan resep pada penderita :
- Penderita umur > 60 th, Wanita hamil, Hipertensi, Hipertrofi prostat
- Gloucoma , Kelainan jiwa dan pemakai beta blokers
5.2.

Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang
menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian
antihistamin saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak berkurang
karena stimulasi vasokonstriktor.
5. 3. Glukokortikosteroid
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung cara ini relatif sedikit dan tidak ada penelitian
komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose response.

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Efektifitas dan keamanan :


Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan efektif untuk
hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung dan tidak dapat membau. Tidak ada
laporan keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah, dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian depo
akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan menekan HPA- axis
dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada konka yang
bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping yang serius
( kebutaan ).
Kontra indikasi :
Kontra indikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma, herpes keratitis, DM, instabilitas psikologis, osteporosis
- hipertensi berat, TBC atau infeksi kronik spesifik.
Sebaiknya dihindari pemakaiannya pada : Anak- anak dan wanita hamil.
Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal yang
mempunyai eefek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya
serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan rinitis alergi karena dapat
dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa hidung dengan resiko efek sistemik
yang minimal.
Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :
- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek anti-inflamasi intranasal karena glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase proses
inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi, misalnya :
- APC ( sel Langhans): sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.
- Jumlah sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid topical.
- Eosinofil ( terutama intra epithelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.
- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang
- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai efek
samping pada respon imun dan infeksi bakteri.
- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator: histamin, prostanoids,
leukotrien yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek yang
dilaporkan :
- rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan ( transien), perforasi septum pernah
dilaporkan, efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal, pernah
dilaporkan menghambat pertumbuhan anak ( beclometason) , pernah dilaporkan adanya
sentral retinopti, pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada
pemakaian topikal untuk asma.
Dari meta-analisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin untuk
pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus
dipertimbangkan :
- kesukaan penderita , ketaatan penderita , kemudahan mendapatkan obat
- keterjangkauan obat
10

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

5.4. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium nedocromil.
Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/ pelepasan mediator. Efeknya
terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya karena sangat aman.
6. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan serangan/
gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan alergen
penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih
banyak diteliti dan mulai bayak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksi sistemik
pada suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita asma. Meskipun
demikian resiko terjadinya reaksi anafilaksi sitemik mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini.
Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih
dan menyadari kemungkinan terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya
bila sewaaktu-waktu terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end
point titration ( SET).
Pemberian imunoterapi cara klasik dilakukan dengan memberikan suntikan allergen dari
konsentrasi rendah, dosis rendah secara perlahan, bertahap sampai dicapai dosis maksimal/
optimal. Kerugian cara ini, mungkin makan waktu yang lebih lama untuk mencapai dosis
maintenance, atau justru mulai dengan dosis yang terlalu tinggi bagi penderita tersebut sehingga
ada resiko reaksi sistemik. Keuntungan dapat dilakukan dimana saja asal tersedia alergennya,
mengetahui tehnik dan menyadari resiko dan tahu bagaimana mengatasinya.
Imunoterapi alergen spesifik
Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit positip dan alergen
yang positip secara klinis ada hubungannya dengan timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak puas/ berhasil
dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).
Prosedur Pemberian IT.
1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik 0,1cc, sampai
dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/ house dust mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis maintenance 1
minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau 10 X. Dilanjutakan dengan
2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total
waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti waktu tes kulit.
Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika terjadi reaksi diatasi seperti
pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan
ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik sehingga
penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu dihindari
adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

11

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja) perhatikan
fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend asaa harus ada monitoring
fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan pend.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8.
Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita

12

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

ALGORITMA
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya

Tidak

Rhinitis lain,
Sinusitis?
Polip?
Kelainan
anatomi?

Periksa eosinofil sekret hidung */**


Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x
Negatif

Positif
Tes alergi/tes kulit */**/***
Negatif

Positif
RHINITIS ALERGI
Ada ko-morbid?
Tidak

Test intrakutan **/***


Positif

Negatif
NARES
Kontrol Ko-morbid
terkontrol

Ya
RHINITIS ALERGI
Tanpa comorbid

INTERMITTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi + avoidance*
Antihistamin
oral/antihistamin + dekongest
oral
Tidak
terkontrol
t Steroid topikal*/**
Tidak
terkontrol
t
Keterangan:
*
RS.Kabupaten
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional

Comorbid terkontrol

PERSISTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi+avoidance*

Edukasi+avoidance*

Antihistamin oral*/AH
+ dekongestan* oral
Steroid topical*

Steroid topical*

Tidak
terkontrol
t
IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak
terkontrol
t

Tidak terkontrol
t
EVALUASI ULANG
**/***
Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

13

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.


Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya

Tidak

Rhinitis lain,
Sinusitis?
Polip?
Kelainan
anatomi?

Periksa eosinofil sekret hidung */**


Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x
Negatif

Positif
Tes alergi/tes kulit */**/***
Negatif

Positif
RHINITIS ALERGI
Ada ko-morbid?
Tidak

Test intrakutan **/***


Positif

Negatif
NARES
Kontrol Ko-morbid
terkontrol

Ya
RHINITIS ALERGI
Tanpa comorbid

INTERMITTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi + avoidance*
Antihistamin
oral/antihistamin + dekongest
oral
Tidak
terkontrol
t Steroid topikal*/**
Tidak
terkontrol
t
Keterangan:
*
RS.Kabupaten
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional

Comorbid terkontrol

PERSISTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi+avoidance*

Edukasi+avoidance*

Antihistamin oral*/AH
+ dekongestan* oral
Steroid topical*

Steroid topical*

Tidak
terkontrol
t
IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak
terkontrol
t

Tidak terkontrol
t
EVALUASI ULANG
**/***
Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

14

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU


1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy and
Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer
Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams & Wilkins
A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second edition 1978.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham SR, at al.
Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis Allergy 2000 ; 55:
116-134.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma J
Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997; 99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia: WB
Saunders Co; 1991.
8. Lund VJ. Definition and classification of Rhinitis Allergy 1994; Suppl 19 : 5- 34.
9. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll
BP, editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second edit Philadelphia : LippincotRaven 1998: 101-116.

15

Anda mungkin juga menyukai