Anda di halaman 1dari 29

Modul Alergi Imunologi

Rinitis Alergi
.

BUKU MODUL UTAMA

MODUL ALERGI IMUNOLOGI


RINITIS ALERGI

EDISI I

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH
KEPALA DAN LEHER
2008
0

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

MODUL NO. 13.2


HIDUNG :
RINITIS ALERGI
WAKTU
Mengembangkan Kompetensi
Sesi di dalam kelas
Sesi dengan fasilitas pembimbing
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Hari :
Waktu :
2 X 60 menit
4 X 60 menit
10 minggu ( kegiatan 3 X/ minggu)

PERSIAPAN SESI

Materi presentasi:
LCD 1 : Definisi RA, klasifikasi RA
LCD 2 : Patogenesis reaksi alergi tipe I
LCD 3 : Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi
LCD 4 : Metoda diagnostik Rinitis Alergi
LCD 5. : Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO

Kasus : Rinitis alergi tanpa komplikasi

Sarana dan Alat Bantu Latih :


o Penuntun belajar (learning guide) terlampir
o Tempat belajar (training setting): bangsal THT, Poliklinik THT.
o Video
o Demo prosedur

REFERENSI :
1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy
and Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters
Kluwer Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams &
Wilkins A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia:
WB Saunders Co; 1991.

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

KOMPETENSI
Mampu membuat diagnosis Rinitis alergi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta dapat melakukan / menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang. Dokter dapat
memutuskan terapi yang sesuai dengan guideline penyakit dan kemampuan / situasi penderita
dan dapat melakukan edukasi yang tepat kepada penderita
Keterampilan:
Setelah mengikuti sesi ini, peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi dan menginterpretasi
hasilnya.
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi obat,
alergi makanan dari anamnesis/ pemeriksaan fisik.
4. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan
dan
menginterpretasi hasil pemeriksaan
5. Menetapkan diagnosis dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
6. Memutuskan dan memberikan pengobatan RA yang sesuai dengan guideline .
7. Mengevaluasi hasil pengobatan dan merencanakan tindakan selanjutnya sesuai guideline
8. Memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA untuk mengurangi paparan sehingga
mencegah kekambuhan
9. Mampu memutuskan kapan seorang penderita RA perlu mendapat
IT dan dapat
melakukannya jika terdapat fasilitas di tempat pelayanannya.
10. Mampu mengenali adanya komplikasi Rinitis alergi pada kasus yang datang seperti
sinusitis, OME dan polip nasi.
GAMBARAN UMUM
Rinitis alergi ( RA) merupakan manifestasi penyakit alergi yang banyak dijumpai di
klinik THT baik pada anak maupun dewasa. Pada survey anak sekolah usia 13 dan 14 tahun
didapatkan gejala RA sebanyak 18%. Penderita sering mengeluhkan penyakitnya sudah
berlangsung bertahun-tahun. Bagi dokter, gejala klinik RA cukup jelas sehingga mudah
dikenali, meskipun demikian untuk memastikan apakah betul suatu RA harus dilakukan
anamnesis , pemeriksaan fisik yang teliti dan jika memungkinkan dipastikan dengan
pemeriksaan alergi baik in vitro maupun in vivo. Masalahnya penderita sering merasa
terganggu dengan gejala RA, tetapi belum mengetahui faktor pencetusnya sehingga mereka
merasa tidak dapat menghindarinya. Penderita juga sering khawatir bila terus menerus harus
minum obat. Jika sudah diketahui pasti bahwa penyakitnya adalah RA maka dapat dilakukan
edukasi kepada penderita sehingga dapat mengurangi paparan terhadap alergen penyebab.
Dengan menguasai patofisologi RA dan mengetahui berbagai obat anti alergi maka sebagian
besar gejala RA dapat diatasi dengan pengobatan yang tepat ( aman dan terjangkau). Jika
memungkinkan dapat diberikan terapi yang dapat merubah perjalanan penyakit RA seperti
pemberian imunoterapi alergen spesifik. Jika terdapat kasus yang sudah dengan komplikasi
seperti sinusitis dan polip hidung atau asma bronkhial maka pengobatan RA bersamaan
dengan pengobatan komplikasinya, dapat mengurangi kemungkinan
terulangnya terjadi
komplikasi tersebut.
CONTOH KASUS
Tn M , umur 40 tahun datang ke klinik THT-KL dengan keluhan sering mengalami bersinbersin > 5 kali hampir setiap pagi selama kurang lebih 7 tahun. Selain bersin-bersin juga disertai
hidung gatal dan keluar ingus cair, jernih dan banyak dari kedua lubang hidung. Hidung
tersumbat pada malam hari, tetapi tidurnya tidak terganggu. Keluhan bertambah hebat jika
penderita terkena debu dan keluhan berkurang setelah minum obat flu yang dibeli sendiri.
Penderita belum pernah berobat ke dokter. Penderita masih dapat melakukan kegiatan seharihari, tetapi dirasakan terganggu dalam pekerjaanya. Tidak ada gangguan tidur, tidak demam
2

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

dan tidak batuk. Daya penciuman berkurang saat keluhan muncul dan membaik setelah minum
obat.
Riwayat alergi lain seperti asama pada penderita tidak ada. Anak ke dua penderita
menderita sakit yang sama. Riwayat alergi pada orang tua penderita tidak diketahui dan sudah
meninggal. Pada pemeriksaan fisik hidung didapatkan mukosa hidung pucat, konka edem dan
ingus cair. Septum nasi deviasi ringan ke kiri. Telinga dan tenggorok dalam batas normal. Tes
kulit cara prick hasilnya positif ( +++) terhadap alergen tungau debu rumah ( D farinei dan D
pterinosinus), human danders dan kecoa.
Jawaban :
Rinitis alergi dapat mengenai semua umur dan jenis kelamin. Keluhan / gejala klinik yang
berupa hidung gatal, rinore dan obstruksi hidung mungkin dapat dijumpai semua pada seorang
penderita dengan derajat gangguan yang bervariasi. Untuk mendapat riwayat manifestasi alergi
keluarga dapat ditanya dari orang tua, saudara kandung atau anak penderita.
Septum deviasi dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit RA, tetapi untuk melakukan
koreksi operatif harus dipertimbangkan kontribusinya terhadap gejala klinik / keluhan penderita
karena keluhan dari RA penderita tidak akan hilang setelah dilakukan operasi.
Selain pemeriksaan tersebut pemeriksaan naso endoskopi perlu dilakukan jika setelah
pengobatan RA tidak ada perbaikan yang nyata, untuk menilai derajat obstruksi dari septum
deviasinya atau kemungkinan kelainan anatomi lain.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan untuk alih
pengetahuan dan ketrampilan serta perilaku yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan
ketrampilan yang diperlukan dalam mengenali dan menatalaksana penyakit Rinitis Alergi
tersebut diatas, yaitu :
1. Menguasai menjelaskan patogenesis timbulnya gejala dan tanda rinitis alergi .
2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita
rhinitis alergi
3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit.
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang
laboratorium yang diperlukan
dan
menginterpretasi hasil nya.
6. Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA dan kemampuan
ekonomi serta pekerjaan penderita .
7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.
8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas tersedia
Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu untuk :
1. Mengenali gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik penderita rhinitis alergi
3. Mengenali adanya manifestasi penyakit alergi lain seperti asma bronkhial, urtika, alergi
obat , alergi makanan dan adanya riwayat keluarga alergi.
4. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang dihadapi
5. Memutuskan pemeriksaan penunjang /laboratorium yang diperlukan dan
6. menginterpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
7. Mampu memutuskan pengobatan yang sesuai .
8. Mampu memberikan penyuluhan / penjelasan tentang RA.
9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti OME, sinusitis dan polip hidung
Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti sesi ini setiap peserta didik diharapkan mampu :
1. Menjelaskan patogenesis gejala dan tanda rhinitis alergi
2. Menetukan diagnosis klinik RA berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik hidung.
3. Mengklasifikan RA yang dihadapi menurut klasifikasi WHO-ARIA.
3

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

4. Menjelaskan pengobatan yang harus diberikan kepada penderita dan dapat memberikan
arahan sesuai dengan penyakit dan daya beli penderita.
5. Mengenali berbagai jenis antihistamin, dekongestan hidung dan steroid, efektifitas, dosis
dan efek samping dari obat-obat tersebut
6. Menentukan indikasi, kontra indikasi untuk dilakukan tes alergi
7. Mempersiapkan penderita untuk dilakukan tes alergi/ tes kulit
8. Melakukan tes kulit dan menginterpretasikan hasilnya
9. Mengenali dan mengatasi jika terjadi komplikasi reaksi sistemik/ anafilaksi selama tes kulit.
10. Menginterpretasi dan menjelaskan kepada penderita tentang hasil tes alergi
11. Menentukan indikasi dan kontra indikasi pemberian IT allergen spesifik pada pend RA
12. Memilih allergen dan melakukan IT allergen spesifik pada pend RA.
13. Menentukan dosis terapi dari IT allergen spesifik pada pend RA
14. Mengenali gejala dan tanda jika terjadi reaksi sistemik selama IT dan mengatasinya.
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan 1. Mampu menjelaskan patogenesis timbulnya gejala serta tanda rinitis alergi
Untuk mencapai tujuan ini dipilih metoda/proses pembelajaran dengan cara :
Interactive lecture
Small group discussion
Text book review
Peserta didik harus tahu :
1. Definisi RA
2. Fase-fase reaksi alergi tipe I ( sensitisasi, aktifasi dan elisistasi)
3. Berbagai mediator pada reaksi alergi tipe I yang berperan pada gejala RA
Tujuan 2. Trampil melakukan dan menginterpretasi hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik penderita rhinitis alergi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses /pembelajaran melalui :
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. RA merupakan penyakit yang diturunkan dan dapat mempunyai manifestasi
penyakit alergi yang berbeda-beda pada penderitanya maupun pada keluarganya.
2. Gejala serta tanda Rinitis alergi yang khas/ sering didapatkan
Tujuan 3. Mampu menetapkan diagnosis klinik RA dan mengklasifikasikan RA yang
dihadapi
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Gejala dan tanda Rinitis alergi
2 . Konsep tentang kualitas hidup
3. Klasifikasi RA menurut WHO-ARIA.
Tujuan 4. Mampu melakukan dan menginterpretasi pemeriksaan tes kulit
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. Imunoglobulin yang berperan pada penyakit alergi
4

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

2. Mekanisme imunologis tes alergi


3. Teknik pemeriksaan in vivo untuk diagnosis penyakit alergi
4. Macam-macam teknik pemeriksaan tes kulit, kelebihan dan kekurangan dari
masing-masing pemeriksaan
5. Persiapan, teknik yang dipilih dan interpretasi hasil tes kulit.
Tujuan 5. Memutuskan pemeriksaan penunjang laboratorium yang diperlukan dan
menginterpretasi hasil nya.
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1 Prinsip pemeriksaan in vitro dan metoda pemeriksaan in vitro untuk IgE.
2. Indikasi pemeriksaan in vitro dan nilai normalnya
3. Peran hasil pem in vitro dalam menegakan diagnosis RA.
Tujuan 6.

Mampu memberikan pengobatan yang sesuai dengan guideline RA


(ARIA -WHO) dan kemampuan ekonomi serta pekerjaan penderita .
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Guideline penatalaksanaan RA dari WHO-ARIA
2. Berbagai macam antihistamin yang ada : klasifikasi, prinsip kerja efektifitas,
dosis dan keamanan masing masing .
3. Kortikosteroid : indikasi, efektifitas, jenis sediaan, dosis , cara pakai dan
keamanan
4. Macam-macam dekongestan hidung: indikasi, dosis cara pakai dan keamanan
5. Indikasi untuk pemberian IT dan menjelaskan kepada penderita tentanmg teknik,
keterbatasan dan keuntungan IT
6. Menentukan indikasi terapi operatif pada RA

Tujuan 7. Mampu memberikan edukasi kepada penderita tentang RA.


Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. Cara menjelaskan terjadinya gejala rhinitis alergi kepada penderita
2. Berbagai jenis allergen yang sering berperan penting pada penyakit alegi hidung
3. Ekologi dermatophagoides ( dust mite) yang sangat berperan pada rhinitis
alergi di daerah tropis
4. Cara menjelaskan kepada penderita teknik mengurangi paparan alergen
5. Cara menjelaskan prognosis penyakit alergi dengan berbagai cara pengobatan
yang dipilih.

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Tujuan 8. Mampu menentukan indikasi IT dan melakukannya jika fasilitas tersedia.


Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
o Text book review
o Small group discussion
o Stase di klinik alergi
Peserta didik harus tahu :
1. Mekanisme kerja IT
2. Indikasi dan kontra indikasi pemberian IT
3. Macam teknik IT
4. Cara IT dengan suntikan konvensional
5. Efek samping dan cara mengatasi bila terjadi selama IT.
Tujuan 9. Mampu mengenali komplikasi RA seperti sinusitis, OME dan polip hidung
Untuk mencapai tujuan tersebut dipilih proses / pembelajaran melalui :
Text book review
Small group discussion
Stase di klinik alergi
Presentasi kasus
Peserta didik harus tahu :
1. Patogenesis sinusitis, OME dan polip hidung pada penderita RA .
2. Tanda dan gejala sinusitis, OME dan polip hidung
3. Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti sinusitis, polip hidung dan OME.
Rangkuman
Rinitis alergi adalah penyakit yang banyak ditemukan, dapat mengenai semua jenis
kelamin dan umur. Meskipun tidak fatal, RA menurunkan kualitas hidup serta produktifitas
penderitanya dan dapat komplikasi. Pengobatan dapat secara medika mentosa dan imunoterapi.
Hal penting yang harus diberikan kepada penderita selain pengobatan adalah edukasi.
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-test dalam bentuk tertulis ( essay) dan oral sesuai
dengan tingkat masa pendidikan yang bertujuan untuk menilai pengetahuan awal yang
dimiliki peserta didik dan peserta didik dapat mempunyai gambaran apa yang harus diketahui
dan dipelajari sehingga dapat diidentifikasi kekurangan yang ada .
Materi pre tes terdiri dari :
- Anatomi & fisiologi hidung
- Reaksi hipersensitifitas ( klasifikasi dari Gel & Combs)
- Patogenesis dan klasifikasi RA
- Diagnosis klinik dan terapi RA
- Indikasi dan kontra indikasi, persiapan dan teknik tes kulit serta interpretasinya
- Guideline penatalaksanaan RA dari WHO ARIA
- Konsep kualitas hidup
- Macam macam farmakoterapi untuk RA
- Indikasi, dosis, teknik IT alergen spesifik pada RA
- Tanda , gejala dan cara mengatasi jika terjadi reaksi sistemik/ anafilaksis pada tes kulit
dan IT.
- Cara penyuluhan/ penjelasan kepada penderita untuk menghindari allergen.
2. Dilakukan diskusi dengan instruktur/ pembimbing untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas hal-hal yang tercantum dalam penuntun belajar , kesempatan yang
akan diperoleh selama bedside teaching dan proses penilaiannya.
6

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

3. Setelah mempelajari penuntun belajar, peserta didik diwajibkan untuk melihat dan
memperhatikan aplikasi langkah langkah yang tertera dalam penuntun belajar yang
dilakukan oleh kakak kelasnya pada Standardized Patient (SP) yang sedang bekerja pada
penderita/ kasus RA. Pada saat tersebut peserta didik belum diperkenankan untuk
mengerjakan sendiri, tetapi boleh membawa penuntun belajar sambil memperhatikan yang
dikerjakan oleh peserta didik yang lebih senior. Setelah melihat, dilakukan diskusi dengan
pembimbing untuk membicarakan hal-hal yang belum jelas dari penuntun belajar. Baru
kemudian peserta didik diberi kesempatan untuk mengaplikasikan penuntun belajar
dibawah pengawasan pembimbing / kakak seniornya dengan pedoman penuntun belajar.
Setelah dianggap cukup, peserta didik diberi kesempatan untuk melakukan pada berbagai
kasus yang datang di klinik alergi dan diharuskan membicarakan / mendiskusikan rencana
pengelolaan pasien yang di hadapinya dengan pembimbing.
Pada saat pelaksanaan , evaluator/ senior melakukan pengawasan langsung dan mengisi
formulir penilaian yang isinya sebagai berikut :
Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau sebagian langkahnya tidak dilaksanakan
Cukup : pelaksanaan sudah benar tapi tidak efisisen, misalnya memerlukan waktu lama
atau
membuat pasien tidak nyaman.
Baik : pelaksanaan sudah benar dan efisien.
4. Setelah selesai bedsideteaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan penjelasan
dari berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien dan memberikan
masukan untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan menggunakan penuntun belajar
6. Pendidik/ fasilitator
Pengamatan langsung dengan menggunakan evaluation chek list form ( teralampir)
Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi
Kriteria penilaian keseluruhan : Cakap, Tidak cakap, Lalai
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang
dapat memperbaiki kinerja ( task-based medical education).
8. Pencapaian pembelajaran
Ujian akhir stase oleh unit kerja oleh masing-masing sentra pendidikan
Ujian akhir kognitif dilakukan di akhir tahap oleh masing-masing sentra dilanjutkan
Ujian kognitif dilakukan dengan ujian tulis dan OSCA oleh Kolegium IK THT KL,

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI KOGNITIF


A. Kuesioner sebelum pembelajaran ( Pre tes )
1. Rinitis alergi merupakan manifestasi reaksi hipersensitifitas type I yang gejalanya terdiri
atas gejala reaksi fase segera dan reaksi fase lambat . B / S
2. Mediator kimia yang berperan pada timbulnya semua gejala rinitis alergi adalah
histamin. S / B
3. Penilaian pada hasil tes kulit / tes alergi adalah berdasarkan adanya bentol dan flare
yang merupakan efek histamin. B /S.
Jawaban :
1. B 2. S 3. B
B. Kuesioner tengah pembelajaran
1. Yang menyebabkan kegagalan tes kulit adalah :
A. Minum obat yang mengandung anti histamin
B. Penderita sedang mengalami serangan alergi berat
C. Penderita yang takut suntik
D. Penderita yang tidak alergi
2. Jika terjadi tanda-tanda reaksi sistemik selama tes alergi atau sesudah IT, maka yang
harus dilakukan pertama kali adalah :
A. Berikan oksigen
B. Ukur tensi dan nadi
C. Berikan adrenalin sub kutan/im
D. Berikan antihistamin
E. Berikan kortikosteroid
Jawaban :
1. A 2. B

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

INSTRUMEN PENILAIAN KOMPETENSI PSIKOMOTOR


PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR TES ALERGI
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1

Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)

Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal

Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien

T/D

Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

Nama Peserta ...........................


KEGIATAN

Tanggal : ..........................
KASUS

Nama
Diagnosis
Informed Choice & Informed Consent
Rencana Tindakan
Persiapan Sebelum Tindakan

II. PERSIAPAN PROSEDUR TES ALERGI

Pastikan kelengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan


esensial untuk prosedur TES ALERGI yang telah tersedia
dan lengkap, yaitu :
1. Emergensi kit ( epineprin, seteroid, antihistamin, spuit
disposibel 1cc tuberkulin), tensimeter, stetoskup,
Oksigen.
2. Ekstrak alergen dan jarum disposibel ( no 26 ) atau lanset
darah disposibel.
3. Formulir hasil tes kulit dan inform consent.
4. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat anti alergi
atau obat yang menekan reaksi histamin selama 3 hari
sebelumnya
5. Pastikan penderita tidak mengalami serangan aleregi berat
pada malam hari atau sehari sebelumnya.

III. PROSEDUR TES ALERGI


1. Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika perlu cuci dulu
dengan sabun ( jika sebelumnya pasien mengenakan body
lotion)
2. Teteskan larutan kontrol positif ( histamin) dan kontrol negatif
( phenol/ bufer fosfat, saline) dari KIT tes alergi yang
tersedia pada bagian proksimal lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm. Biasakan daerah ulnar kontrol (+) histamin
dan daerah radial kontrol (-) larutan saline. Tusuk dengan
jarum disposibel ukuran 26 G atau lanset darah atau alat tes
kulit yang lain intra kutan/ dengan tusukan superfisial tanpa
mengeluarkan darah.
9

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

3. Tunggu kurang lebih 5-10 menit, dan baca hasilnya. Beri


tanda dan ukur bentol pada histamin dan pada kontrol.
4. Jika terdapat bentol diameter minimal 3 mm pada histamin
dan negatif pada saline, lanjutkan dengan teteskan jenis
alergen yang tersedia dengan jarak tetesan minimal 2 cm
dan lakukan tusukan yang sama. Hasilnya ditunggu paling
lama 15 menit.
5. Ukur bentol yang terjadi pada masing-masing jenis alergen
dan bandingkan dengan besar bentol dari kontrol histamin.
Jika sama atau lebih besar dari kontrol histamin dinilai
positip ( +++).
6. Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien dan tanyakan
jika terdapat keluhan, ngantuk, lemes atau terasa mual
karena keadaan tersebut dapat merupakan petanda reaksi
sistemik. Jika terdapat gejala tersebut, segera pasien
dibaringkan tanpa bantal, ukur tensi dan nadi. Meskipun
belum selesai penilaian, bila ada ancaman reaksi sistemik
berupa shock segera berikan adrenalin sub kutan dan tes
alergi dihentikan dan dapat diulang lain kali dengan persiapan
pengobatan sebelumnya .

10

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR TES ALERGI
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh peserta pada
saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan prosedur atau
panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh peserta
selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________

TANGGAL :______________

KEGIATAN

NILAI

I. PERSIAPAN TES KULIT TUSUK


1. Menyiapkan alat dan ekstrak alergen untuk tes alergi
2. Periksa obat emergensi untuk mengatasi jika terjadi reaksi sistemik/
anafilaksi
3. Menyiapkan posisi pasien
4. Melakukan tindakan desinfeksi pada lokasi tes alergi
5. Menyiapkan formulir hasil dan inform consent
II. PROSEDUR TES KULIT TUSUK
1. Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika perlu cuci dulu dengan
sabun ( jika sebelumnya pasien mengenakan body lotion)
2. Teteskan larutan kontrol positif ( histamin) dan kontrol negatif ( phenol/
bufer fosfat, saline pada bagian proksimal lengan bawah dengan jarak
minimal 2 cm.
3. Daerah ulnar kontrol (+) histamin dan daerah radial kontrol (-) larutan
saline.
4. Tusuk dengan jarum disposibel ukuran 26 G atau lanset darah atau alat
tes kulit yang lain intra kutan/ dengan tusukan superfisial tanpa
mengeluarkan darah.
5. Tunggu kurang lebih 5-10 menit, dan baca hasilnya. Beri tanda dan
ukur bentol pada histamin dan pada kontrol.
6. Jika terdapat bentol diameter minimal 3 mm pada histamin dan negatif
pada saline, lanjutkan dengan teteskan jenis alergen yang tersedia
dengan jarak tetesan minimal 2 cm dan lakukan tusukan yang sama.
Hasilnya ditunggu paling lama 15 menit.
7. Ukur bentol yang terjadi pada masing-masing jenis alergen dan
bandingkan dengan besar bentol dari kontrol histamin. Jika sama atau
lebih besar dari kontrol histamin dinilai positip ( +++).
8. Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien dan tanyakan jika
terdapat keluhan, ngantuk, lemes atau terasa mual karena keadaan
tersebut dapat merupakan petanda reaksi sistemik.
9. Jika terdapat gejala reaksi sistemik, segera pasien dibaringkan tanpa
bantal, ukur tensi dan nadi.
10. Meskipun belum selesai penilaian, bila ada ancaman reaksi sistemik
berupa shock segera berikan adrenalin sub kutan dan tes alergi
dihentikan dan dapat diulang lain kali dengan persiapan pengobatan
sebelumnya

11

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

MATERI PRESENTASI
LCD 1 : Definisi dan klasifikasi Rinitis Alergi
Rinitis alergi : kelainan hidung karena proses inflamasi mukosa hidung yang dimediasi
oleh hipersensitifitas tipe I, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung
tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun dengan pengobatan.

Klasifikasi RA :
Berdasarkan terdapatnya simptom :
1. RA Intermiten,
kurang dari 4 hari/ minggu ,
atau bila kurang dari 4 minggu
Berdasarkan beratnya gejala :
1. Ringan,
jika tidak terdapat salah satu
dari hal-hal sebagai berikut :

2. RA Persisten
lebih dari 4hari/ minggu
sudah lebih dari 4 minggu
2. Sedang sampai berat
Jika didapatkan satu atau lebih hal
hal sebagai berikut

gangguan tidur
gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga
gangguan pekerjaan atau sekolah
simptom dirasakan mengganggu.

12

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

LCD 2 : Patogenesis rekasi alergi tipe I


Skema patogenesis rekasi alergi tipe I
Alergen
Sel APC
(mukosa)

alergen dipecah
peptida ( 7-14 aa.)
+ MHC klas II

kel limfe + Lien

sel Th0 ( TCR + mol CD4)

orang atopy

MHC klas II + ligand pd APC


(+)

Th1

Th2

( IL-2 , IFN- )

IL-3, IL-4, IL-5, IL-9


sel B

sel eosinofil

IgE
Sirkulasi
sel basofil

jaringan
sel mast

IgE pd sel mast dan basofil


( penderita sudah sensitif/
tersensitisasi )
Paparan alergen
ulang yang sama
Degranulasi sel mast dan basofil
Mediator penyebab gejala RA

13

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

LCD 3 : Patofisiologi reaksi alergi pada Rinitis Alergi


Skema patogenesis reaksi alergi pada Rinitis Alergi
Sel mast/ basofil degranulasi
Mediator

Preformed mediators

Newly mediators

Histamin
Heparin
Triptase
Kininogenase

Prostaglandin
Leukotrien C4, D4, E4
Leukotrien B

Efek mediator kimia pada rinitis alergi


Saraf

Kelenjar

Pembuluh darah

Gatal
Refleks
Bersin
malaise

mukus
eksositosis
rinore

vasodelatasi
penebalan mukosa
permaibilitas meningkat

LCD 4 : Metoda diagnostik Rinitis Alergi


ANAMNESIS
Anamnesis dimulai dengan pertanyaan yang meliputi gejala di hidung
Gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan)
- Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat ( menetap/ berganti-ganti)
- Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga
Selain itu perlu ditanyakan :
- Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten. .
- Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan timbulnya rinitis
- Riwayat atopi di keluarga
- Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Pemeriksaan penunjang :
- Tes alergi
- Naso endoskopi
- Pemeriksaan IgE spesifik

14

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

LCD 5. Guideline Penatalaksanaan Rinitis Alergi dari ARIA WHO


Diagram panajemen Rinitis Alergi

RINITIS ALERGI

Dengan co morbid

Tanpa co morbid
RA tdk terkontrol
Co morbid terkontrol

intermitent

ringan

persistent

Sedang- berat

Edukasi + avoidance
*
Antihistamin oral/
*Topical
Kromolin sodium

ringan

Edukasi +
avoidance *
Antihistamin oral *
Nasal dekongestan

Sedang- berat

Edukasi + avoidance
*
Antihistamin oral *
Steroid topical **
Decongestan *

Tak terkontrol ?

Tak terkontrol ?
Steroid topical
**

Asma br kontrol
Kel anatomi operasi
Infeksi AB
Polip operasi
Sinusitis kronik
operasi

IMUNOTERAPI SPESIFIK * / ** / ***

Tak terkontrol ?
Tak terkontrol ?
Keterangan :
* Rumah sakit Kabupaten
** RS Provinsi/ RS Pendidikan Sp THT
atau bila tersedia di aapotik
*** RS rujukan Nas/ RS pendidikan Sp THT

Obstuksi

Operatif

Rinore >>

antikholinergik

15

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

MATERI BAKU
Rinitis Alergi
Pendahuluan
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang banyak dijumpai, tetapi karena tidak
bersifat fatal maka sementara ini belum mendapat perhatian yang serius baik dari penderita
maupun petugas kesehatan. Data epidemiologik secara nasional belum didapatkan di Indonesia.
Angka yang ada biasanya di dasarkan pada kejadian di Rumah sakit atau dari survey yang
tidak cukup menggambarkan kejadian di seluruh masyarakat. Pedoman ini penatalaksanaan RA
sebagian besar didasarkan pada konsep dokumen ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) yang disusun berdasarkan atas inisiatif kelompok kerja WHO.
Konsep semacam
guidelines untuk penatalaksanaan rinitis alergi ini disesuaikan dengan kemungkinan fasilitas yang
ada di berbagai RS di Indonesia.
Untuk penatalaksanaan rinitis alergi ( RA) secara garis besar dibuat tahapan sebagai berikut :
1. Definisi
2. Klasifikasi
3. Diagnosis & identifikasi alergen
4. Eliminasi alergen
5. Farmakoterapi
6. Imunoterapi
1. Definisi
Rinitis alergi : kelainan hidung yang disebabkan oleh proses inflamasi mukosa hidung
yang dimediasi oleh hipersensitifitas / alergi tipe I, dengan gejala karakteristik berupa hidung
gatal, bersin-bersin, rinore dan hidung tersumbat yang bersifat reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
2. Klasifikasi
Klasifiksi rinitis alergi yang didasarkan atas waktu paparan dan jenis alergen menjadi RA
musiman/ seasonal dan RA sepanjang tahun/ perennial sekarang dianggap tidak memuaskan.
Hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut :
- ada beberapa daerah dimana pollen dan mould terdapat sepanjang tahun
- simptom RA perenial tidak terjadi sepanjang tahun
- kebanyakan penderita tersensitisasi terhadap banyak alergen yang berbeda, oleh karena itu
simptomnya dapat terjadi sepanjang tahun.
- pada sebagian kasus rinitis perenial mengalami eksaserbasi ketika terpapar pollen
- banyak penderita alergi terhadap pollen juga alergi terhadap mite
- karena efek priming pada mukosa hidung oleh pollen konsentrasi rendah dan inflamasi
minimal persisten pada penderita rinitis, simptom tidak secara strick berhubungan dengan
musim
Oleh karena itu pembagian RA selain berdasarkan atas seasonal dan perennial diusulkan suatu
perubahan dalam klasifikasi RA seperti termuat dalam dokumen ARIA yang tampaknya memang
lebih praktis dan mudah sbb.:
Berdasarkan terdapatnya simptom :
1. RA Intermiten, bila simptom terdapat :
kurang dari 4 hari/ minggu, atau bila kurang dari 4 minggu
2. RA Persisten, bila simptom terdapat :
lebih dari 4 hari/minggu, dan bila lebih dari 4 minggu

16

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Berdasarkan beratnya gejala :


1. Ringan, berarti tidak terdapat salah satu dari hal-hal sebagai berikut :
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu.
2. Sedang-berat, berarti didapatkan satu atau lebih hal-hal sebagai berikut:
gangguan tidur, gangguan aktifitas sehari-hari/ malas/ olah raga, gangguan pekerjaan atau
sekolah, simptom dirasakan mengganggu
3. Diagnosis dan identifikasi alergi
3.1. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai tempat
tinggal / kerja dan pekerjaan penderita.
Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu ditanyakan adalah :
- Bersin-bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan), Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti), Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau
telinga.
- Kadangf disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, Hiposmia / anosmia, Post nasal drip
atau batuk kronik
Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit, intermiten atau persisten.
- Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah, tidur
dan aktifitas sehari-hari.
Manifestasi penyakit alergi lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis
asma bronkhial, dermatitis atopik, urtikaria, alergi makanan
Riwayat atopi di keluarga
Apakah ada anggota keluarga, dari ayah atau dari ibu yang pernah menderita salah satu
penyakit alergi tersebut diatas.
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi
Lingkungan di rumah, tempat kerja, sekolah, apakah ada hubungan antara kegemaran
atau hobi penderita yang dapat memprovokasi timbulnya gejala.
Penderita rinitis alergi dapat berkembang menjadi keadaan hiperreaktifitas hidung
terhadap iritan non spesifik seperti asap rokok, bau merangsang, udara dingin, polutan,
bau parfum, bau deodoran dsb.
Riwayat pengobatan dan hasilnya
Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan macam pengobatan yang sudah
Diterimanya dan Compliance/ kepatuhan berobat
3. 2. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung
Perhatikan adanya pembengkakan / edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret
encer bening, mukosa pucat dan edem. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi.
Perhatikan pula kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia)
Adakah gambaran konka bulosa atau polip nasi kecil di meatus medius dan keadaan
kompleks ostiomeatal.
-

3. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
Uji kulit (Uji tusuk / Prick test ) paling sesuai karena mudah dilakukan, dapat ditoleransi oleh
sebagian penderita termasuk anak.anak. Mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi
terhadap hasil pemeriksaan IgE spesifik.
Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 150 IU/ml
IgE serum spesifik ( mahal )
Pemeriksaan sitologis / histologis, bila diperlukan untuk :
a. Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
17

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

b. Menindak lanjuti respons terhadap terapi


c. Melihat perubahan morfologik dari mukosa hidung
Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian karena memerlukan
ketrampilan laboratorium.
Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada keraguan dan
kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis alergi positif, tetapi hasil
tes alergi selalu negatif.
Pemeriksaan ini bermanfaat untuk hal-hal sebagai berikut :
- Untuk mendiagnosis rinitis okupasional
- Untuk penelitian.
Foto polos sinus paranasal : bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
CT Scan / MRI sinus paranasal : atas indikasi, dilakukan bila :
a. Untuk menentukan adakah komplikasi seperti sinusitis
b. Tidak ada respons terhadap terapi
c. Direncanakan tindakan operatif

Teknik melakukan tes alergi/ tes kulit.


Persiapan tes kulit :
1. Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2. Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat/ makanan yang mempunyai efek antialergi.
- antihsitamin minimal 3 kali periode washout ( 72 jam)
- steroid sistemik 2 minggu
3. Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu
terjadi reaksi sistemik
4. Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma bronkhial ).
5. Sediakan semprit 1 cc dan epineprin ampul
6. Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai
yg berat selama tes alergi
7. Tanda tangan informed consent..
8. Desinfeksi daerah lokasi tes kulit ( bag volar lengan bawah)
Prosedur tes kulit
1. Teteskan lar kontrol positif ( HISTAMIN) dan bufer fosfat atau kontrol negatif.
2. Biasakan untuk histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar dengan jarak minimal 2
jari.
3. Tusuk dengan jarum disposibel steril ( no 26G) / lanset sedalam lapisan epikutan, dicukit
tepat ditempat tetesan , jangan sampai berdarah. Reaksi ditunggu selama 5-10 menit.
Jika sudah terbentuk bentol merah minimal diameter 3 mm pada tempat histamin dan
tidak terbentuk pada bufer atau maksimal diameter bentol 1mm maka dilanjutkan dengan
penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan selalu mulai dari proksimal sisi radial ke
distal dengan jarak kurang-lebih 1 jari, kemudian naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit
dibaca 10-15 menit .
4. Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing penderita.
Positip ( +++ ) : jika bentol diameternya minimal 3 mm atau sama dengan reaksi
histamin
Positip (++) : lebih kecil dari histamin
Positip (+) : diameter bentol kurang lebih 1 mm
Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen sedikitnya sama
dengan bentol dari reaksi histamin.
Jika gejala sangat mendukung tetapi tes kulit hasil lebih kecil dari histamin
atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan dengan tes kulit
intra kutan atau pemeriksaan penunjang lain.seperti pemeriksaan IgE dan
eosinofil sekret hidung.
5. Perhatikan selama tes kulit : kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik.
Gejala : pasien mendadak mengeluh lemes, mual, seperti mau pingsan, penderita
tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita diminta segera
lapor.
18

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Jika terdapat gejala tersebut : segera tidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi dan
nadi .
Bila ada gejala shock : suntikan epineprin 0.2 cc subkutan/ intramuskular.
Amati nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika belum ada perbaikan dapat ulangi
epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian steroid im, pasang infus.
Diferensial diagnosis
Penyakit yang perlu dibedakan dengan rinitis alergi adalah :
1. Rinitis infeksi ( virus , bakteri atau penyebab lain.)
2. Rinitis karena okupasi / pekerjaan
3. Drug-induced rhinitis
4. Rinitis Hormonal
5. NARES
6. Rinitis karena iritan
7. Rinitis vasomotor
8. Rinitis atropi
9. Rinitis idiopatik
4. Eliminasi Alergen
4.1. Yang sangat berperan pada rinitis alergi di negara tropis seperti Indonesia adalah
house dust mite (tungau debu rumah), pet dander dan alergen kecoa.
Cara menghindari :
Esensial :
- Membungkus kasur dan bantal dengan bahan khusus ( yang tidak tembus mite), tetapi
mahal sehingga tidak dapat diterapkan pada semua kasus.
- Mencuci alas tidur, sarung bantal dan selimut seminggu sekali, bila mungkin dengan air panas
(> 55oC). Hasil yang sama mungkin dapat dicapai dengan menjemur cucian dibawah sinar
matahari langsung.
Optimal :
a. Menggunakan lantai rumah dengan bahan yang dapat dibersihkan seperti :
- dari keramik, bahan plastik, dari kayu
b. Sedikit mungkin menggunakan furniture dari kain/ kain berbulu
c. Menggunakan penghisap debu integral dg filter HEPA dan kantong yang
bahannya tebal
d.Gunakan korden yang dapat dicuci
e. Mainan dari kain/ berbulu yang dapat dicuci.
4.2. Binatang piaraan ( kucing dan anjing)
Anjing dan kucing merupakan masalah alergi di beberapa daerah/ keluarga.Yang bersifat
alergenik tidak hanya dander nya saja, tetapi juga saliva, sekresi sebasea yang membentuk
partikel di udara dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu usaha pencegahan sulit. Cara
yang paling sederhana tetapi kadang sangat sulit yaitu dengan tidak memelihara binatang tersebut
dan bila pernah, membersihkan karpet, kasur dan kursi dengan penghisap debu berulang-ulang.
Pada dasarnya menghindari alergen tampaknya efektif , hanya saja penderita seringkali
penderita sensitif terhadap beberapa allergen, sukaar dicaapai hasil yang maksimal.
Bagaimanapun sulitnya, karena pada penderita alergi paparan alergen akan memicu timbulnya
gejala, maka penjelasan dengan edukasi tentang alergen apa yang harus dihindari dan bagaimana
menghindarinya harus dijelaskan kepada penderita rinitis alergi.

19

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

5. Farmakoterapi
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia yang dilepaskan oleh sel mast yang dipicu
oleh adanya ikatan alergen dengan IgE spesifik yang melekat pada reseptornya di
permukaan sel tersebut. Histamin merupakan mediator yang berperan besar pada
timbulnya gejala rinitis alergi pada reaksi fase cepat, sedangkan mediator lain yang
tergolong newly formed mediator dan mediator dari sel eosinofil berperan pada reaksi fase
lambat yang menyebabkan inflamasi dan hiperreaktifitas non spesifik yang dapat menetap
berhari-hari.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah :
1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan terhadap
penyakitnya
5. Merubah jalannya penyakit/ pengobatan kausal
Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat ditempuh langkah-langkah berikut :
5.1. Antihistamin
Histamin (H1) merupakan mediator utama penyebab timbulnya gejala rinitis alergi, oleh
karena itu sampai saat ini antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis
alergi. Antihistamin bekerja dengan cara menghambat efek mediator histamin pada tingkat
reseptor histamin. Obat ini sangat efektif untuk mengurangi gejala rinitis (hidung gatal, bersin
dan rinore), meskipun kurang efektif untuk gejala hidung tersumbat.
Sekarang didapatkan banyak macam antihistamin, tetapi secara garis besar dibedakan atas
antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1 generasi baru.
Antihistamin klasik yang disebut juga antihistamin generasi I pemakaiannya terbatas
karena bersifat sedatif.
Contoh :
Diphenhydramin, Prometazin, Tripolidin, Chlorpheniramine, Incidal, Avil,
Polaramine, Tavegyl, Incitin
Selain mempunyai efek antihistamin, anti-H1 klasik juga mempunyai efek antikholinergik, dapat
menyebabkan gangguan pada jantung dan tidak selektif pada reseptor histamin H1 perifer karena
dapat menembus sawar darah otak sehingga bersifat sedatif. Diantara antihistamin klasik
tersebut, chlorpheniramine mempunyai sifat sedatif yang paling ringan.
Antihistamin generasi baru yang disebut juga long acting antihistamine karena bekerja
lama ( 24 jam) dan tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak bersifat sedatif.
Antihistamin generasi baru dapat digolongkan menjadi dua generasi yaitu antihistamin generasi II
dan generasi III. Antihistamin generasi II merupakan antihistamin dengan selektifitas terhadap
reseptor H1 yang lebih baik dibandingkan generasi I, dan bersifat non sedasi bila diberikan sesuai
dosis rekomendasi. Namun seringkali dibutuhkan dosis yang lebih besar daripada dosis yang
direkomendasikan, sehingga efek sedasinya menjadi meningkat pula. Antihistamin generasi II
dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 subtipe3A4 yang juga dipakai untuk
metabolisme obat lain seperti golongan azol (ketoconazole) dan golongan makrolida. Oleh
karena itu pemakaian antihistamin generasi II bersamaan dengan obat-obatan tersebut harus
dihindari. Pemakaian beberapa antihistamin generasi II ternyata dapat menyebabkan gangguan
jantung akibat blokade pada potassium channel jantung sehingga memperpanjang interval QT
yang dapat menimbulkan torsades de point yang berakibat kematian.
Contoh antihistamin generasi II :
Terfenadine, Astemizole, Oxatomide, Loratadin, Fexofenadin dan cetirizin.
Antihistamin generasi III merupakan metabolit aktif dari antihistamin generasi II dan
mempunyai selektifitas yang sangat tinggi terhadap reseptor H1 sehingga mempunyai sifat non
sedatif sejati (non dose dependent) dan tidak memiliki sifat antikolinergik. Karena merupakan
metabolit aktif, antihistamin generasi III tidak dimetabolisme di hati sehingga kemungkinan
interaksi obat kecil sehingga relatif lebih aman untuk digunakan pada penderita penyakit hati,
ginjal serta pasien usia lanjut. Saat ini antihistamin generasi III yang tersedia dipasaran adalah :
Fexofenadine
20

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Desloratadine.
Selain karakteristik non sedatif dan mempunyai efek anti H1 spesifik, antihistamin baru
dilaporkan mempunyai efek anti alergi yang lebih luas karena :
- dapat mengurangi penglepasan PGD2 dan kinin ( fexofenadine, loratadin, terfenadin)
- menekan kemotaksis eosinofil ( fexofenadine , cetirizine )
- mengurangi ekspresi ICAM-1 ( fexofenadine, terfenadin, loratadin , cetirizine)
- menekan penglepasan berbagai macam sitokin (IL-4, IL-5, IL-1) dan leukotrien
(fexofenadine)
Pada dasarnya antihistamin mempunyai efektifitas yang sama, meskipun terdapat variasi
individual antar penderita. Karenanya ada kemungkinan bahwa suatu antihistamin mungkin
kurang responsif pada seseorang, sementara antihistamin lain mungkin lebih responsif. Demikian
pula efek sedasi suatu antihistamin. Terdapat variasi individual terhadap efek sedasi antihistamin
baik yang golongan sedasi maupun non sedasi.
Keamanan antihistamin:
1. Salah satu keterbatasan antihistamin klasik/ generasi pertama adalah adanya efek sedasi,
sehingga tidak dianjurkan bagi penderita yang memerlukan konsentrasi tinggi dalam aktifitas
sehari-harinya.. Efek antikolinergik juga harus diwaspadai karena pada beberapa kasus
pemakaian yang lama dapat mengganggu aktifitas saluran kencing dan dapat mengganggu
penglihatan serta gangguan jantung.
2. Hampir semua antihistamin di metabolisme di hati kecuali yang merupakan bentuk metabolit
aktif ( fexofenadine & cetirizine ). Oleh karena itu pemakaiannya harus diperhatikan pada
penderita yang mempunyai kelemahan fungsi hati. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
ekskresi antihistamin generasi II sebagian besar melalui ginjal (urine) sehingga pemakaiannya
harus hati-hati pada penderita kerusakan ginjal. Pemilihan antihistamin untuk penderita
penyakit ginjal sebaiknya mengutamakan antihistamin yang sebagian besar ekskresinya
melalui faeces (mis : Fexofenadine).
3. Belakangan ini dilaporkan adanya efek antihistamin klasik dan generasi II ke jantung karena
dapat menyebabkan perpanjangan interval QT yang dapat berakibat terjadinya takhikardi
ventrikuler. Efek ini dose dependent terutama jika diberikan bersamaan dengan obat
makrolide dan golongan ketokonazole. Perpanjangan interval QT dihubungkan dengan
kejadian torsades de pointes. Contoh antihistamin generasi II tersebut adalah terfenadin
dan astemizol, sehingga pemakaiannya harus sangat hati-hati terutama bila ada kecurigaan
kelainan jantung atau diperlukan obat makrolide dan golongan ketokonazol pada penderita
tsb pada saat yang bersamaan. Di beberapa negara obat tersebut sudah ditarik dari peredaran
Dewasa ini dipasarkan pula antihistamin pemakaian topikal sebagai obat semprot hidung
yaitu azelastin dan levocobastin. Obat ini bekerja sangat efektif dan bekerjanya sangat
spesifik pada reseptor H1 perifer. Pemakaian topikal memungkinkan konsentrasi obat yang
lebih tinggi di target organ sementara efek samping sistemik minimal.
Antihistamin klasik mungkin mempunyai efektifitas klinik yang setara dibanding
antihistamin yang baru, tetapi antihistamin generasi baru, khususnya generasi II dan III
harus dipertimbangkan sebagai pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi, kecuali jika
antihistamin baru sukar/ tidak dapat diperoleh atau tidak terjangkau oleh penderita. Bila
terpaksa menggunakan antihistamin klasik dan generasi II maka penderita harus diberi
penjelasan yang cukup tentang efek samping obat tersebut.
Antihistamin H1 topikal harus diberikan 2 4 kali sehari untuk mendapatkan
efektifitas yang cukup dan pemakaiannya dianjurkan untuk kasus-kasus yang ringan.
Tabel Antihistamin Baru
Nama
Dosis
Lama Kerja
Cetirizine
Fexofenadin
Loratadin
Terfenadin

10mg OD
120mg OD
10mg OD
120mg OD
60 mg BID

24 jam
24 jam
24 jam
24 jam

Metabolisme di hati
tidak
tidak
ya
ya

Efek ke jantung

tidak
tidak
tidak
bila diberikan
bersama dengan
makrolide & ketokonazole
21

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Astemizol
10mg OD
5.2.Dekongestan hidung

beberapa hari

ya

--

Obat-obat dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptor


alfa-adrenergik. Ada beberapa sediaan yang dipakai dalam klinik yang dapat dipakai secara
oral maupun topikal:
- agonis alfa-1 adrenergik ( phenyleprin )
- agonis alfa2 adrenergik ( efedrin, pseudoefedrin, amfetamin)
- obat-obat mencegah re-uptake nor-adrenalin ( cocain, phenylpropanolamin )
Pemakaian topikal sangat efektif untuk menghilangkan sumbatan hidung, tetapi tidak efektif
untuk keluhan bersin & rinore. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung kurang
lebih 1 jam untuk epineprin dan 8-12 jam untuk oxymetazolin.
Pemakaian oral seperti : ephedrin, phenyleprin, phenylpropanol amin dan
pseudoephedrin.
Efek dekongestan mulai terjadi dalam 30 menit, berlangsung sampai 6 jam atau 8-24 jam yang
berbentuk sustained release. Efektifitasnya lebih lemah dibanding pemakaian topikal, tetapi
pemakaian lama tidak menyebabkan efek rebound vasodilatasi.
Keamanan :
Pemakaian vasokonstriktor topikal dapat menimbulkan rasa hidung terbakar, kering atau
ulserasi mukosa dan bahkan perforasi septum. Pemakaian lebih dari 10 hari dapat menyebabkan
takhyphilaksis, pembengkakan mukosa dan mengakibatkan drug induce rhinitis ( rinitis medika
mentosa ).
Pemakaian sistemik ( dose dependent ) dapat menimbulkan efek samping :
- iritabel, pusing, sakit kepala, tremor dan insomnia.
- takhikardi dapat terjadi pada wanita hamil, hipertensi dan
- kadang-kadang halusinasi.
Pemakaian harus ekstra hati-hati pada :
- penyakit kardiovaskuler ( hipertensi, miokard infark)
- gloucoma, hipertrofi prostat dan ibu hamil
- Karena resiko terjadinya rinitis medikamentosa, pemakaian topikal terbatas < 10 hari
- Pemakaian topikal harus untuk mengatasi obstruksi hidung yang hebat bersamaan dengan
obat lain.
- Pemakaian pada anak-anak < 1th harus sangat hati-hati karena batas yang sempit antara dosis
terapi dan dosis toksik
- Secara umum tidak dianjurkan memberikan resep pada penderita :
- Penderita umur > 60 th, Wanita hamil, Hipertensi, Hipertrofi prostat
- Gloucoma , Kelainan jiwa dan pemakai beta blokers
5.2.

Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral


Kombinasi kedua obat ini dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang tidak
dipengaruhi oleh antihistamin.
Tetapi harus diingat bahwa :
- Farmakokinetik kedua obat ini tidak sama dan biasanya diberikan BID.
- Sedikit trial klinik yang
menunjukan kelebihannya dibanding dengan pemakaian
antihistamin saja.
- Kombinasi antihistamin sedatif dengan dekongestan oral, efek sedasinya tidak berkurang
karena stimulasi vasokonstriktor.
5. 3. Glukokortikosteroid
Pemberian sistemik
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo steroid
intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung cara ini relatif sedikit dan tidak ada penelitian
komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya dengan dose response.

22

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Efektifitas dan keamanan :


Glukokortikoid sistemik mempunyai kerja anti-inflamasi yang luas dan efektif untuk
hampir semua gejala rinitis, terutama sumbatan hidung dan tidak dapat membau. Tidak ada
laporan keamanan untuk pemberian depo glukokortikoid ulangan. Pemberian oral lebih dipilih
karena lebih murah, dan dosisnya lebih dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pemberian depo
akan mengakibatkan penglepasan yang terus menerus sepanjang hari dan menekan HPA- axis
dan juga dapat berakibat atrofi jaringan lokal. Pemberian depo intranasal pada konka yang
bengkak dan polip harus dihindari, karena dapat menyebabkan efek samping yang serius
( kebutaan ).
Kontra indikasi :
Kontra indikasi untuk glukokortikoid sistemik adalah :
- Glaukoma, herpes keratitis, DM, instabilitas psikologis, osteporosis
- hipertensi berat, TBC atau infeksi kronik spesifik.
Sebaiknya dihindari pemakaiannya pada : Anak- anak dan wanita hamil.
Glukokortikoid topikal
Pemakaian topical glukokortikoid berhasil setelah ditemukan sediaan topikal yang
mempunyai eefek anti-inflamasi yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya
serta bila mencapai hati akan di-deaktifasi dengan cepat sehingga tidak mencapai sirkulasi
sistemik. Dengan demikian sediaan topikal ini tepat untuk pengobatan rinitis alergi karena dapat
dicapai konsentrasi yang tinggi pada reseptornya di mukosa hidung dengan resiko efek sistemik
yang minimal.
Beberapa sediaan glukokortikoid topikal :
- Beclometason propionat
- Budesonide
- Flunisolide
- Triamcinolone acetonide
- Fluticasone propionat
- Mometasone fuorate
Efek anti-inflamasi intranasal karena glukokortikoid pada sel dapat menekan banyak fase proses
inflamasi. Banyak sel yang berperan pada inflamasi alergi di hidung dipengaruhi, misalnya :
- APC ( sel Langhans): sangat sensitif, dipengaruhi up-take dan prosesnya.
- Jumlah sel APC berkurang secara bermakna setelah pemberian kortikosteroid topical.
- Eosinofil ( terutama intra epithelial) dan produknya juga berkurang secara bermakna.
- Influk basofil dan sel mast di lapisan epitel juga berkurang
- Beberapa sel seperti makrofag dan neutrofil tidak terpengaruh tidak mempunyai efek
samping pada respon imun dan infeksi bakteri.
- Glukokortikoid mengurangi penglepasan pembentukan mediator: histamin, prostanoids,
leukotrien yang mungkin karena berkurangnya sel dalam mukosa.
Efek samping :
Preparat glukokortikoid topikal dapat dipakai dalam waktu lama tanpa atrofi mukosa. Efek yang
dilaporkan :
- rasa kering, terbentuk krusta, epistaksis ringan ( transien), perforasi septum pernah
dilaporkan, efek menekan HPA axis, dilaporkan pada Dexametason topikal, pernah
dilaporkan menghambat pertumbuhan anak ( beclometason) , pernah dilaporkan adanya
sentral retinopti, pada wanita hamil tidak dilaporkan meningkatnya efek teratogenik pada
pemakaian topikal untuk asma.
Dari meta-analisis, pemakaian glukokortikoid lebih efektif dibanding antihistamin untuk
pengobatan rinitis alergi sedang dan berat. Meskipun demikian dalam klinik harus
dipertimbangkan :
- kesukaan penderita , ketaatan penderita , kemudahan mendapatkan obat
- keterjangkauan obat
23

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

5.4. Golongan kromolin


Yang dipakai pada rinitis alergi adalah disodium kromoglikat dan sodium nedocromil.
Efeknya adalah menstabilkan sel mast dari proses degranulasi/ pelepasan mediator. Efeknya
terhadap gejala bersin, rinore lebih baik dari pada terhadap hidung tersumbat.
- Meskipun efektif kromolin pada rinitis alergi kurang dibanding anti H1.
- Pada anak dan wanita hamil, kromolin dapat dianjurkan pemakaiannya karena sangat aman.
6. Imunoterapi
Imunoterapi spesifik adalah memberikan allergen yang sesuai dengan hasil tes kulit,
dosisnya secara bertahap dinaikan sampai dosis maksimal yang tidak menimbulkan serangan/
gejala alergi. Tujuannya supaya penderita berkurang simptomnya pada paparan alergen
penyebab. Secara klinik imunoterapi pada rinitis alergi terbukti efektif.
Terdapat beberapa cara imunoterapi : injeksi sub kutan, pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Injeksi sub kutan lebih banyak dipraktekan. Imunoterapi sublingual/ peroral masih
banyak diteliti dan mulai bayak dipakai. Kemungkinan terjadi efek samping anafilaksi sistemik
pada suntikan imunoterapi pada rinitis alergi lebih kecil daripada penderita asma. Meskipun
demikian resiko terjadinya reaksi anafilaksi sitemik mengakibatkan keterbatasan pengobatan ini.
Pemberian imunoterapi spesifik harus diberikan oleh spesialis yang berpengalaman atau terlatih
dan menyadari kemungkinan terjadinya efek samping sistemik dan mampu untuk mengatasinya
bila sewaaktu-waktu terjadi. Pemberian imunoterapi yang ideal dengan menggunakan cara end
point titration ( SET).
Pemberian imunoterapi cara klasik dilakukan dengan memberikan suntikan allergen dari
konsentrasi rendah, dosis rendah secara perlahan, bertahap sampai dicapai dosis maksimal/
optimal. Kerugian cara ini, mungkin makan waktu yang lebih lama untuk mencapai dosis
maintenance, atau justru mulai dengan dosis yang terlalu tinggi bagi penderita tersebut sehingga
ada resiko reaksi sistemik. Keuntungan dapat dilakukan dimana saja asal tersedia alergennya,
mengetahui tehnik dan menyadari resiko dan tahu bagaimana mengatasinya.
Imunoterapi alergen spesifik
Indikasi :
1. IT hanya diberikan kepada penderita RA yang mempunyai hasil tes kulit positip dan alergen
yang positip secara klinis ada hubungannya dengan timbulnya gejala RA.
2. IT diberikan pada penderita RA persisten sedang sampai berat yang tidak puas/ berhasil
dengan pengobatan medika mentosa.
3. IT diberikan pada penderita yang bersedia berobat dengan teratur dan waktu lama.
4. Penderita yang setuju dengan IT ( informed consent).
Prosedur Pemberian IT.
1. Metoda suntikan (sub kutan)
2. Dosis dinaikan bertahap setiap minggu / 2X seminggu yang tiap kali naik 0,1cc, sampai
dosis maksimal bisa diterima (1 cc), atau dosis maksimal yang dapat diterima
3. Extrak yang dipilih sesuai hasil tes kulit ( yang hasil baik terhadap mite/ house dust mite).
4. Jika sudah tercapai dosis optimum/ maksimum dilajutkan dengan dosis maintenance 1
minggu sekali sampai gejala klinis membaik dan stabil atau 10 X. Dilanjutakan dengan
2minggu sekali . Jika tetap stabil sampai 5X dilanjutkan dengan 1 bulan sekali sampai total
waktu pengobatan 2- 3 tahun .
5. Perhatikan waktu suntikan : kemungkinan terjadi reaksi sistemik saperti waktu tes kulit.
Kemungkinan lebih besar terutama saat menaikan dosis. Jika terjadi reaksi diatasi seperti
pada tes kulit. Jika terjadi reaksi sistemik maka dosis suntikan selanjutnya diturunkan dan
ditetapkan sebagai dosis maksimal.
6. Reaksi sistemik yang paling sering terjadi antara 10-20 menit setelah suntik sehingga
penderita tidak diperkenankan langsun g pulang setelah IT.
7. Selama IT diperbolehkan memberikan obat simptomatik jika perlu. Yang perlu dihindari
adalah steroid sistyemik yang lama (lebih dari 1 minggu).

24

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Imunoterapi hanya boleh dilakukan jika :


1. Jelas disebabkan oleh adanya IgE ( tes kulit atau IgE spesifik)
2. Bila jelas ada hubungan klinis antara hasil tes kulit dan timbulnya gejala
3. Oleh/ atas tanggungjawab dokter karena adanya resiko reaksi anafilaksi.
4. Berat dan lamanya keluhan ( ukuran obyektif seperti gangguan sekolah/ kerja) perhatikan
fungsi paru: penderita asma berat tidak dianjurkan. Untuk pend asaa harus ada monitoring
fungsi paru.
5. Bila respon terhadap pengobatan lain ( farmakoterapi) tidak memuaskan pend.
6. Tersedia vaksin/allergen yang terstandarisasi dan berkualitas.
7. Kontraindikasi relatif : menggunakan beta bloker, terdapat penyakit imunologis,
penderita yang tidak dapat taat berobat
8.
Faktor sosial : beaya, pekerjaan penderita

25

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

ALGORITMA
Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.
Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya

Tidak

Rhinitis lain,
Sinusitis?
Polip?
Kelainan
anatomi?

Periksa eosinofil sekret hidung */**


Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x
Negatif

Positif
Tes alergi/tes kulit */**/***
Negatif

Positif
RHINITIS ALERGI
Ada ko-morbid?
Tidak

Test intrakutan **/***


Positif

Negatif
NARES
Kontrol Ko-morbid
terkontrol

Ya
RHINITIS ALERGI
Tanpa comorbid

INTERMITTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi + avoidance*
Antihistamin
oral/antihistamin + dekongest
oral
Tidak
terkontrol
t Steroid topikal*/**
Tidak
terkontrol
t
Keterangan:
*
RS.Kabupaten
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional

Comorbid terkontrol

PERSISTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi+avoidance*

Edukasi+avoidance*

Antihistamin oral*/AH
+ dekongestan* oral
Steroid topical*

Steroid topical*

Tidak
terkontrol
t
IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak
terkontrol
t

Tidak terkontrol
t
EVALUASI ULANG
**/***
Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

26

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

Pilek tidak sembuh-sembuh 4 minggu / lebih.


Hidung gatal, bersin-bersin, ingus encer, hidung tersumbat (bergantian/ hilang timbul)
Riwayat penyakit alergi di bagian tubuh lain, Riwayat alergi keluarga (+)

Rhinoskopi anterior* dan Naso-endoskopi**


Mukosa hidung pucat, sekret cair/tidak ada sekret
Udem / hipertrofi
Ya

Tidak

Rhinitis lain,
Sinusitis?
Polip?
Kelainan
anatomi?

Periksa eosinofil sekret hidung */**


Bila negatif dan ada gejala, diulang sp.3 x
Negatif

Positif
Tes alergi/tes kulit */**/***
Negatif

Positif
RHINITIS ALERGI
Ada ko-morbid?
Tidak

Test intrakutan **/***


Positif

Negatif
NARES
Kontrol Ko-morbid
terkontrol

Ya
RHINITIS ALERGI
Tanpa comorbid

INTERMITTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi + avoidance*
Antihistamin
oral/antihistamin + dekongest
oral
Tidak
terkontrol
t Steroid topikal*/**
Tidak
terkontrol
t
Keterangan:
*
RS.Kabupaten
** RS Provinsi/
RS Pendidikan Sp.THT
atau bila tersedia di apotik
*** RS rujukan Nasional

Comorbid terkontrol

PERSISTENT
Ringan

Sedang-Berat

Edukasi+avoidance*

Edukasi+avoidance*

Antihistamin oral*/AH
+ dekongestan* oral
Steroid topical*

Steroid topical*

Tidak
terkontrol
t
IMUNOTERAPI SPESIFIK*/**/***
Dengan/tanpa farmakoterapi

Tidak
terkontrol
t

Tidak terkontrol
t
EVALUASI ULANG
**/***
Dikutip dari Guideline Penyakit THT di Indonesia, PIT Perhati-KL,2001 dan
dimodifikasi lay-outnya tanpa mengubah substansi dan alurnya (Purnaman
S.Pandi dan Damayanti Soetjipto)

27

Modul Alergi Imunologi


Rinitis Alergi
.

KEPUSTAKAAN MATERI BAKU


1. John H Krause, Stephen J Chadwick, Bruce R Gordon, M Jennifer Derebery . Allergy and
Immunology An Otolaringic approach, Lippincott Williams & Wilkins A Walters Kluwer
Co, Philadelphia. Baltimore. New York. London 2002 part I, II, III and V.
2. Byron J Bailey . Head and Neck Surgery Otolaryngology , Lippicontt Williams & Wilkins
A Wolter Kluwer Co. Philadhelpia 2001 p 274-290.
3. Niels Mygind . NASAL ALLERGY Blackwell Scientific Publications,Second edition 1978.
4. Couwenberge P, Bachert C, Passalacqua G, Bousquet J, Canonica GW, Durham SR, at al.
Position paper : Consensus statement on the treatment of allergic rhinitis Allergy 2000 ; 55:
116-134.
5. Bosquet J, van Cauwenberge P, Khaltaev N. Allergic rhinitis and its impact on asthma J
Allergy Clin Immunol 2001; 108 : S 147-334.
6. Baraniuk JN. Pathogenesis of Allergic rhinitis J Allergy Clin Immunol 1997; 99: S763-72.
7. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Celluler and Moleculer Immunology Philadelphia: WB
Saunders Co; 1991.
8. Lund VJ. Definition and classification of Rhinitis Allergy 1994; Suppl 19 : 5- 34.
9. Nalbone VP, Naclerio RM. Allergy and Immunology In Bailey BJ, Pillsbury III HC, Driscoll
BP, editors, Head and Neck Surgery Otolaryngology. Second edit Philadelphia : LippincotRaven 1998: 101-116.

28

Anda mungkin juga menyukai