Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

KONSEP TEORI ISPA

A. DEFENISI
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran
pernafasan bagian atas dan saluran pernafasan bagian bawah. Inveksi ini disebabkan oleh
virus, jamur, dan bakteri. ISPA akan menyerang host, apabila ketahanan tubuh (immunologi)
menurun. Penyakit ISPA ini paling banyak di temukan pada anak di bawah lima tahun karena
pada kelompok usia ini adalah kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih
rentan terhadap berbagai penyakit. (Karundeng Y.M, et al. 2016)

B. ETIOLOGI
Etiologi ISPA lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan jamur. Bakteri penyebabnya antara
lain dari genus streptokokus, stafilokokus, pnemokokus, hemofilus, bordetella, dan
korinebacterium. Virus penyebabnya antara lain golongan mikovirus, adenovirus,
koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpesvirus.
Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA diantaranya bakteri
stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza yang di udara bebas akan masuk dan
menempel pada saluran pernafasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung.
Biasanya bakteri dan virus tersebut menyerang anak-anak usia dibawah 2 tahun yang
kekebalan tubuhnya lemah atau belum sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan
juga menimbulkan risiko serangan ISPA.
Beberapa faktor lain yang diperkirakan berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak
adalah rendahnya asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan.

C. PATOFISIOLOGI
Menurut (Amalia Nurin, dkk, 2014) Perjalanan alamiah penyakit ISPA dibagi 4 tahap yaitu :
1. Tahap prepatogenesis : penyuebab telah ada tetapi belum menunjukkan reaksi apa-apa.
2. Tahap inkubasi : virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh menjadi lemah
apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya rendah.
3. Tahap dini penyakit : dimulai dari munculnya gejala penyakit,timbul gejala demam dan
batuk.
4. Tahap lanjut penyaklit,dibagi menjadi empat yaitu dapat sembuh sempurna,sembuh
dengan atelektasis,menjadi kronos dan meninggal akibat pneumonia.

Saluran pernafasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk
mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien. Ketahanan
saluran pernafasan tehadap infeksi maupun partikel dan gas yang ada di udara amat
tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat yaitu keutuhan epitel
mukosa dan gerak mukosilia, makrofag alveoli, dan antibodi. Infeksi bakteri mudah terjadi
pada saluran nafas yang sel-sel epitel mukosanya telah rusak akibat infeksi yang terdahulu.
Selain hal itu, hal-hal yang dapat mengganggu keutuhan lapisan mukosa dan gerak silia
adalah asap rokok dan gas SO2 (polutan utama dalam pencemaran udara), sindroma imotil,
pengobatan dengan O2 konsentrasi tinggi (25 % atau lebih). Makrofag banyak terdapat di
alveoli dan akan dimobilisasi ke tempat lain bila terjadi infeksi. Asap rokok dapat
menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri, sedangkan alkohol akan menurunkan
mobilitas sel-sel ini. Antibodi setempat yang ada di saluran nafas ialah Ig A. Antibodi ini
banyak ditemukan di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya infeksi
saluran nafas, seperti yang terjadi pada anak. Penderita yang rentan (imunokompkromis)
mudah terkena infeksi ini seperti pada pasien keganasan yang mendapat terapi sitostatika
atau radiasi.Penyebaran infeksi pada ISPA dapat melalui jalan hematogen, limfogen,
perkontinuitatum dan udara nafas.

D. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis secara umum yang sering didapat adalah rinitis, nyeri tenggorokan,
batuk dengan dahak kuning/ putih kental, nyeri retrosternal dan konjungtivitis. Suhu badan
meningkat antara 4-7 hari disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah
dan insomnia. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya
penyulit.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut (Wuandari.D & Purnamasari. L, 2015) Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan:
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Analisa Gas darah (AGD)
3. Foto rontgen toraks
4. Kultur virus dilakukan untuk menemukan RSV

F. PENATALAKSANAAN
1. Keperawatan
Penatalaksanaan meliputi pencegahan, penatalaksanaan keperawatan meliputi:
a. Istrirahat Total
b. Peningkatan intake cairan
c. Memberikan penyuluhan sesuai penyakit
d. Memberikan kompres hangat bila demam
e. Pencegahan infeksi lebih lanjut
2. Medis
Penatalaksanaan medis meliputi :
a. Sistomatik
b. Obat kumur
c. Antihistamin
d. Vitamin C
e. Espektoran
f. Vaksinasi (Wuandari.D & Purnamasari. L, 2015)

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat timbul dari penyakit ini yaitu asma. Komplikasi lain yang dapat
timbul yaitu:
1. Otitis media
2. Croup
3. Gagal nafas
4. Sindrom kematian bayi mendadak dan kerusakan paru residu (Wuandari.D &
Purnamasari. L, 2015)

DAFTAR PUSTAKA

Amalia Nurin,dkk. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan ISPA. Poltekes
Kemenkes Riau : DIIIKeperawatan

Ayu, Komang Henny Achjar. 2010. Aplikasi Praktis Asuhan Keperawatan Keluarga.
Jakarta: Anggota IKAPI

Carpenito, L. J. 2009. Diagnosa Keperawatan. Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi: IX.
Dialihbahasakan: Kusrini Sumarwati Kadar. Jakarta: EGC.

Friedman, Marilyn M dkk. 2010. Buku Ajar : Keperawatan Keluarga Riset, Teori & Praktik. Jakarta : EGC.

Kemenkes RI, 2012. Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Kucoro Fadli. 2013. Asuha Keperawatan Keluarga. Fak Ilmu Kesehatan UMP

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman
Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika

Riskesdas, 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI

Saputra R. 2013. Bersihan Jalan Nafas. Fakultas Ilmu Kesehatan UMP

Sofia, 2017. Faktor Risiko Lingkungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Journal Action, Aceh nutrition journal. Mei 2017;
2(1): 43-50

Susanti. 2017. Analisis Program Penaggulangan ISPA Pada Balita di Puskesmas Sungai Lansek
Tahun 2017. FKM : Universitas Andalas

Trimurti, 2016. Faktor Resiko Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Sukaharjo. Naskah Publikasi. Surakarta: FakIK Univ Muhammadiyah

Wulandari D & Purnamasari L. 2015. Kajian Asuhan Keperawatan Pada Anak


Dengan Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Indonesian Journal On Medican
KONSEP TEORI EPILEPSI

A. DEFENISI
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat lepasnya
muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007). Epilepsi adalah
gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan,
berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal selsel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak abad ke19 Epilepsi
merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu
mendadak dan sangat cepat (ginsberg, 2005) Dari defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
epilepsi merupakan penyakit serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan
listrik lokal pada substansia grisea otak dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.

B. ETIOLOGI
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik), sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alcohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia
5. Tumor otak
6. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah epilepsi
idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak
yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua
jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi
dan sindrom yang berbeda, masing-masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi neurologik dalam
kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai berikut: Apabila pada saat
lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan
mengalami bangkitan ulang, apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama
kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai
resiko 40% dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar kasus
menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.

Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada bulan pertama
dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi,
demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk
terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus)
mengakibatkan otak janin sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi
''embrio'' epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada
otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta
adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya
epilepsi.
Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi
Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatal

Cedera lahir intrakranial

Infeksi akut

Gangguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,

hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)

Malformasi kongenital

Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik

Infeksi akut

Trauma

Kejang demam
Remaja (12- 18 th) Idiopatik

Trauma

Gejala putus obat dan alcohol

Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma

Alkoholisme

Tumor otak
Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak

Penyakit serebrovaskular

Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik, dll )

Alkoholisme

C. PATOFISIOLOGI
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan pusat
pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas
neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang
lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA
(gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps.
Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron
di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami
muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula
setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik
dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan
impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadaran. Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas
membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya

influx ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau
dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian
bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak
umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut :

1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan apabila
terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi)
yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gamaaminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik
atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang,
kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat
meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan
glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam
glutamat mungkin mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh
terutama karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan)
selama aktivitas kejang.

D. MANIFESTASI KLINIS
1. Kehilangan kesadaran
2. Aktivitas motoric
a. Tonik klonik
b. Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
c. Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
d. Kedipan kelopak mataS
e. entakan wajah
f. Bibir mengecap – ecap
g. Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
3. Fungsi pernafasan

a. Takipnea
b. Apnea
c. Kesulitan bernafas
d. Jalan nafas tersumbat (Tucker, 1998 : 432 )

Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi yang dialami pada
penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan, penyandang epilepsi tidak
dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan tidak mampu bereaksi terhadap
rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik rangsang pendengaran, penglihatan,
maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang,
sementara tungkainya menendang-nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-
putar. Dari liang mulut keluar busa. Napasnya sesak dan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan
badannya berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut
dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar kehendak, tiba-
tiba melepaskan muatan listrik

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

1. Elektrolit (natrim dan kalium), ketidak seimbangan pada dan dapat berpengaruh
atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
2. Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang
3. Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas kejang atau
mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan pengobatan
4. Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat
5. Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik
6. Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan
7. Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur
8. DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik

( Dongoes, 2000 : 202 )

F. PENATALAKSANAAN
1. Atasi penyebab dari kejang
2. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang didalam seseorang Anti
konvulson, Sedatif, Barbirorat ( Elizabeth, 2001 : 174 )
3. Obat yang dapat mencegah serangan epilepsy
a. fenitoin (difenilhidantoin)
b. karbamazepin
c. fenobarbital dan asam valproik

Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran pengobatan yang dicapai,
yakni:

a. Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.


b. Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan syaraf pusat yang normal.
c. Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
4. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang
5. Menaggulangi kejang epilepsy
a. Selama kejang
1) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu
2) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan
3) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar keras, tajam atau
panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
4) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping untuk mencegah
lidahnya menutupi jalan pernapasan.
5) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras diantara giginya, karena
dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk mencegah gigi klien melukai lidah, dapat
diselipkan kain lunak disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
6) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi atau yg biasa
disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi aneh seperti perasaan bingung,
melayang2, tidak fokus pada aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang
melengking di telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya berhenti
melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan untuk langsung beristirahat atau
tidur.
7) Bila serangan berulang-ulang dalam waktu singkat atau penyandang terluka berat, bawa
ia ke dokter atau rumah sakit terdekat.
b. Setelah kejang
1) Penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang terjadi.
2) Pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi. Yakinkan bahwa jalan
napas paten.
3) Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal
4) Periode apnea pendek dapat terjadi selama atau secara tiba- tiba setelah kejang
5) Pasien pada saaat bangun, harus diorientasikan terhadap lingkungan
6) Beri penderita minum untuk mengembalikan energi yg hilang selama kejang dan biarkan
penderita beristirahat.
7) Jika pasien mengalami serangan berat setelah kejang (postiktal), coba untuk menangani
situasi dengan pendekatan yang lembut dan member restrein yang lembut
8) Laporkan adanya serangan pada kerabat terdekatnya. Ini penting untuk pemberian
pengobatan oleh dokter.

G. PENCEGAHAN
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk pencegahan
epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat antikonvulsi (konvulsi:
spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu banyak disebabkan oleh proses pada
sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada bagian tubuh) yang digunakan
sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program
yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat
hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang
mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna
obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena
lesi pada otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama
kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini, dan program
pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara bijaksana dan
memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Asuhan Keperawatan Epilepsi, 2008. www.google.com


Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC

Aninemous. Epidemiologi Dan Diagnostik Epilepsi. 2009. Diakses dari


http://www.kesimpulan.com/2009/04/epidemiologi-dan-diagnosis-epilepsi.html, diakses tanggal
20 April 2013.

Husni Muhammad. Asuhan Keperawatan Epilepsi. Diakses dari


http://rumahterapialfina.blogspot.com/2012/05/asuhan-keperawatan-
askepepilepsi.html. diakses tanggal 20 April 2013
LAPORAN PENYULUHAN

PERAWATAN PAYUDARA (BREAST CARE) PADA IBU NIFAS

DI RUANG PNC KAMAR 02 G.C Lt. 2 RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR

DISUSUN OLEH : KELOMPOK III

KARTINI, S. Kep
NORMAWATI, S. Kep

YULIA FARAKNIMELA, S. Kep

YOHANA LOLOLUAN, S. Kep

ERNA SARTIKA METALOBY, S. Kep

YENNY ANGEL SAINJAKIT, S. Kep

MARLIN HEMRI RANGLALIN, S. Kep

CI INTITUSI CI LAHAN

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

T.A 2021/2022
LAPORAN PENYULUHAN

PHBS ( PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT )

DI RUANG KLINIK ANAK GEDUNG B Lt. 2 RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR

DISUSUN OLEH : KELOMPOK III


KARTINI, S. Kep

NORMAWATI, S. Kep

YULIA FARAKNIMELA, S. Kep

YOHANA LOLOLUAN, S. Kep

ERNA SARTIKA METALOBY, S. Kep

YENNY ANGEL SAINJAKIT, S. Kep

MARLIN HEMRI RANGLALIN, S. KEP

CI INTITUSI CI LAHAN

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

T.A 2021/2022
RESUME KASUS ASUHAN KEPERAWATAN An. A

DENGAN DIAGNOSA MEDIS ISPA

DI RUANG POLIK ANAK G.B Lt. 2 RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR


KARTINI, S. KEP

(7117601615)

CI INTITUSI CI LAHAN

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

T.A 2021/2022

RESUME KASUS ASUHAN KEPERAWATAN An. M

DENGAN DIAGNOSA DEMAM TIFOID

DI RUANG POLIK ANAK G.B Lt. 2 RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR


KARTINI, S. KEP

(7117601615)

CI INTITUSI CI LAHAN

PROGRAM PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN FAMIKA MAKASSAR

T.A 2021/2022

Anda mungkin juga menyukai