Faktor Resiko
Patogen
Staphylococcus aureus Koma, cedera kepala, influeza, pemakaian
obat IV, DM, gagal ginjal
Methicilin resisten Pernah dapat antibiotik, ventilator> 2 hari
Staphylococcus aureus lama dieawat di ICU , terapi
steroid/antibiotik
Pseudomonas aeruginosa Kelainan struktur paru (bronkietaksis,kistik
fibrosis), malnutrisi
Anaerob Aspirasi, selesai operasi abdomen
Achinobachter Antibiotik sebelum onset pneumonia dan
Faktor risiko
Faktor resiko terjadinya CAP adalah sebagai berikut :
1. Usia
Setiap tahun di atas usia 65 tahun meningkat resiko terjadinya CAP. Rata–rata
terjadinya CAP pada usia lanjut diperkirakan 25 - 44 orang tiap 1000 penduduk, lebih
tinggi dibandingkan angka kejadian pada populasi umum yaitu 4,7 – 11,6 tiap 1000
orang. Frekuensi perawatan rumah sakit akibat CAP berat juga meningkat nyata sesuai
dengan usia. Resiko terjadinya infeksi dengan Drug Resistant Streptococcus
Pneumoniae (DRSP) juga meningkat pada usia <2 tahun atau > 65 tahun.
2. Jenis Kelamin
Pada penelitian oleh Jalil (2015), diketahui bahwa jumlah jenis kelamin pada penderita
pnumonia komunitas dibawah usia 60 tahun di dominasi oleh pasien perempuan
sebanyak 51,5% dan laki-laki sebanyak 48,5% (rasio 1:1,1). Hal ini serupa dengan
penelitian Viegi (2006) yang membahas epidemiologi pneumonia komunitas pada
dewasa di Italia, mendapatkan bahwa perempuan lebih banyak sebesar 53,3%
dibandingkan laki-laki yang berjumlah 46,7%. Namun pada penelitian lain oleh Malik
(2012) di Pakistan, mendapatkan bahwa laki-laki memiliki jumlah yang lebih banyak
yaitu 55% dibanding perempuan 45%. Serupa pula pada penelitian Nolt (2007) di
Amerika Serikat dengan penderita pneumonia pada laki-laki sebanyak 68%. Penelitian
di Eropa oleh Torres (2013) mendapatkan bahwa pneumonia komunitas lebih banyak
pada laki-laki ketimbang perempuan. Hal tersebut berkaitan dengan kerentanan laki-
laki lebih besar terhadap pejanan merokok dan alkohol yang merupakan salah satu
faktor resiko pneumonia komunitas. Akan tetapi dari data penelitian Malik (2012)
bahwa walaupun ada perbedaan dalam frekuensi jenis kelamin, tidak ada perbedaan
yang signifikan antara pasien pneumonia komunitas terhadap jenis kelamin
3. Alkoholisme
Efek samping alkohol berpengaruh pada beberapa system pertahanan dalam saluran
pernafasan. Alkohol menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif pada orofaring,
mengganggu refleks batuk, merubah gerak menelan, dan transport mukosiliar. Alkohol
juga mengganggu fungsi limfosit, neutrofil, monosit, dan makrofag alveolar. Faktor-
faktor tersebut menyebabkan penurunan bersihan bakteri dari jalan nafas pasien.
Legionella pneumophila lebih sering terjadi pada pemabuk berat
4. Nutrisi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya fenomena akibat malnutrisi
seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan makrofag, dan
perubahan pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi kolonisasi saluran nafas oleh
bakteri gram negatif meningkat pada pasien dengan malnutrisi, dan kejadian
pneumonia berat meningkat.19
5. Merokok
Merokok mempengaruhi transport mukosilier, pertahanan humoral dan seluler, dan
fungsi sel epitel dan meningkatkan perlekatan Streptococcus pneumoniae dan
Haemophylus influenzae kepada epitel orofaring. Lebih dari itu merokok merupakan
predisposisi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae,
Haemophylus influenzae, dan Legionella pneumophilla
6. Penyakit komorbid
Insidensi CAP meningkat pada orang dengan penyakit komorbid. Penyakit-penyakit
tersebut diantaranya Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), diabetes
mellitus, insufisiensi renal, Congestive Heart Failure (CHF), penyakit jantung koroner,
keganasan, penyakit neurologik kronik, penyakit hati kronik. Pada penyakit
kardiopulmoner beresiko terjadinya infeksi oleh bakteri gram negatif. Pseudomonas
aeruginosa berisiko terjadi pada penyakit-penyakit paru strukutral seperti
bronkiektasis.
7. Genetik
Rangsangan inflamasi dan koagulasi dapat berasal dari invasi mikroba (trauma
eksogen) atau kerusakan jaringan secara langsung (trauma endogen). Reseptor-reseptor
seluler yang mengenal bahaya tersebut disebut Pattern Recognition Receptors (PRRs).
PRRs mengenal Patogen- Associated Microbial Pattern (PAMPs) yang merupakan
hasil produk dari fisiologi mikroba.
Kebanyakan pneumonia terjadi karena adanya self-infection dengan satu atau lebih
mikroba yang berada di hidung dan mulut. Pada orang sehat, pada umumnya bakteri flora
normal saluran nafas atas seperti S. pneumoniae (pneumococcus) dan H. influenzae adalah
bakteri yang paling sering menyebabkan CAP. Pada orang-orang dengan gangguan sistem
imun yang serius, dapat terjadi pneumonia oleh mikroba opportunistik, seperti beberapa jenis
fungi, virus, dan mycobacteria yang pada individu normal tidak menyebabkan penyakit.
Pada situasi di mana barier telah ditembus, makrofag alveolar menginisiasi respon
inflamasi untuk meningkatkan pertahanan traktus respiratorius bawah. Respon inflamasi host
inilah yang lebih bermakna dalam memicu gejala klinis dari pneumonia daripada proliferasi
mikroorganisme patogen. Dilepasnya mediator inflamasi menyebabkan demam dan
menstimulasi pelepasan neutrofil untuk menuju ke paru, sehingga terjadi leukositosis perifer
dan sekresi purulen.5 Neutrofil ini bermigrasi ke luar dari kapiler menuju lumen alveolus,
menumpuk di sana dan siap untuk merespon ketika dibutuhkan. Neutrofil-neutrofil ini
memfagosit mikroba dan membunuh mereka dengan reactive oxygen species, protein
antimikroba, dan enzim degradatif. Dibentuk juga suatu jaringan chromatin yang mengandung
protein antimikroba yang akan menjebak dan membunuh bakteria ekstrasel.
Hal ini menyebabkan bahkan eritrosit dapat menembus membran kapiler alveoli, yang
menimbulkan hemoptysis/batuk darah. Kebocoran kapiler menimbulkan infiltrat radiografik
dan rales yang dapat dideteksi dengan auskultasi, dan hipoksemia yang terjadi dari alveolus
yang terisi hasil inflamasi. Ditambah lagi, beberapa patogen bakterial dapat mengganggu
vasokonstriksi hipoksik yang normalnya terjadi dengan adanya alveoli yang terisi cairan. Hal
ini dapat menyebabkan hipoksemia yang parah, hingga kemudian terjadi dyspnea. Jika dyspnea
cukup parah, perubahan pada mekansme paru yang karena penurunan volume dan komplians
paru serta pemintasan (shunting) darah intrapulmoner dapat menyebabkan kematian pasien.
Setelah terjadi proses inflamasi, maka akan tampak 4 zona pada daerah yang terinfeksi
tersebut, yaitu:
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi: terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah
merah.
3. Zona konsolidasi yang luas: daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan
jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi: daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati,
leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan, sedangkan gray
hepatization ialah konsolodasi yang luas
Kerangka Konsep
Faktor Intrinsik
Usia
Jenis Kelamin
Genetik
Nutrisi
Kejadian
Pneumonia
Faktor Ekstrinsik
Alkoholisme
Merokok
Penyakit
Komorbid