Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

PNEUMOTHORAK

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior

Pada Bagian/SMF Pulmonologi FK Unsyiah

RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh :

Yulia Dasmayant

1407101030084

BAGIAN/SMF ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSU Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2015

1
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam

rongga pleura, yaitu di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paru-

paru.Hasilnya adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena.Udara bisa

masuk ruang intrapleural melalui dinding dada (yaitu, trauma) atau melalui

parenkim paru-paru di pleura viceralis.

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan dan

traumatik.Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi

puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).Insidensinya sama antara

pneumotoraks primer dan sekunder, namun pria lebih banyak terkena dibanding

wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan

meningkat pada perokok berat dibanding non perokok.


Pneumotoraks spontan primer biasanya terjadi pada anak laki-laki yang

tinggi, kurus dan usia 10-30 tahun.Insidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per

100.000 orang per tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun

pada perempuan. Pneumotoraks spontan sekunder puncak kejadian di usia 60-65

tahun insidensi 6,3 kasus per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per

100.000 orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit

paru obstruktif kronik per tahun.(1)


Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma

langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi

iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe

2
pneumotoraks yang sangat sering terjadi . Dengan inseidensi usia biasanya terjadi

pada orang yang ber usia 20-40 tahun, lebih sering pada pria dibandingkan

wanita.(2)
Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan

Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan seperti

pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan berdasarkan

jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien.

Terapi konservatif dari pneumotoraks dan dalam beberapa kasus

kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan pada rongga pleura, jarang dilakukan

drainage). Pada 47 penderita yang berkaitan dengan trauma yang dengan forced

position (posisi setengah duduk), bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura

dengan menggunakan stiletto trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat.

Indikasi untuk torakotomi dibatasi pada pasien dengan trauma dada yang

berhubungan dengan shock dan kehilangan darah akut.(3)

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas pasien

Nama : Tn.FR

Umur : 40 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Suku : Aceh

Agama : Islam

Alamat : Lambada Pekan

No CM : 1-04-76-76

Tanggal Masuk :13April2015

Tanggal Pemeriksaan : 29April2015

2.2 Anamnesa

Keluhan Utama :Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien dating dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan sejak kurang

lebih 1 hari sebelum masuk rumah sakit.Sesak dirasakan muncul secara tiba-

tiba. Sebelumnya pasien tidak pernah mengeluhkan sesak, sesak tidak

dipengaruhi aktifitas , Batuk (+) sejak kurang lebih 3 minggu sebelum masuk

rumah sakit, batuk di sertai dahak. Penurunan berat badan (+), riwayat

merokok (+) sejak umur 18 tahun, Riwayat penggunaan OAT disangkal,

riwayat trauma disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu : (-)


Riwayat Penyakit Keluarga : Disangkal
Riwayat pemakaian obat : Disangkal

4
2.3 Pemeriksaan Fisik

2.3.1 Status Present

Keadaan Umum : Sakit Sedang


Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 128x / menit
Pernapasan : 34x / menit
Suhu : 36.5˚C
2.3.2 Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Kembali cepat
Ikterik : (-)
Pucat : (-)
Kepala
Rambut : Hitam
Mata : Konjungtiva pucat (- /-), sklera ikterik (-/-),

matacekung(-/-)pupilisokor, reflek cahaya (+/+)


Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Sekret (-/-), NCH (-/-)

Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Lidah : Lidah kotor (-)
Leher
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Inspeksi :Simetris, retraksi (-), bentuk dada normal,

pernafasanthorakoabdominal.

Paru – Paru

Tabel 2.1 Pemeriksaan fisik paru


Depan Kanan Kiri
Palpasi Fremitus (Menurun) Fremitus (N)
Perkusi Hiperonor Sonor
Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Auskultasi Rhonchi (+) Rhonchi (+)
Wheezing (-) Wheezing (-)
Belakang Kanan Kiri
Palpasi Fremitus (Menurun) Fremitus (N)
Perkusi Hiperonor Sonor

5
Vesikuler (+) Vesikuler (+)
Auskultasi Rhonchi (-) Rhonchi (-)
Wheezing (-) Wheezing (-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat


Palpasi :Iktus kordis teraba di ICS IV,4 cm linea

midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas – batas jantung
Atas : ICS II
Kiri : 4 cm linea midclavicula sinistra
Kanan : Linea parasternalis dekstra

Auskultasi : BJ I > BJ II, Reguler, Bising (-).

Abdomen

Inspeksi : Simetris, Distensi (-)


- Lien : Tidak teraba
- Hepar : Tidak teraba
- Ren : Tidak teraba
Auskultasi : Peristaltik (+)
Genetalia : Dalam batas normal
Anus : Dalam batas Normal
Ekstremitas :
Tabel 2.2 Pemeriksaan ekstremitas

Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis (-) (-) (-) (-)


Edema (-) (-) (-) (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium

Hasil laboratorium (tanggal 16 April 2015)

 Hb : 12,5 gr/dl
 Hematokrit : 39 %
 Eritrosit : 5,3 106/mm 3
 Trombosit : 266 103mm/3

6
 Leukosit : 13,3 103/mm3
 Difftel : 2/0/73/16/9 %
 CT/BT : 5/2 menit
 Natrium : 136 mmol/L
 Kalium : 4,9 mmol/L
 Clorida : 90 mmol/L

2.4.2 Imaging
Hasil pemeriksaan imaging

Gambar 2.1 Foto Torax AP I (13 April 2015)


Ekpertise:

Cor : ukuran membesar ke kiri

Pulmo : Tampak collaps di paru kanan, fibroinfilrat di paru kiri

Tampak area lucent tanpa jaringan paru di hemithorax kanan

Sinus phrenicocostalis kanan terpotong dan kiri tajam

Terpasang WSD di hemi thorax dextra

Kesimpulan : Collaps paru kanan, TB paru, Pneumothorax kanan, cardiomegali

7
Gambar 2.2 Foto Torax AP II (13 April 2015)
Ekpertise:

Cor : ukuran membesar ke kiri

Pulmo : Tampak collaps di paru kanan, fibroinfilrat di paru kiri

Tampak area lucent tanpa jaringan paru di hemithorax kanan

Sinus phrenicocostalis kanan terpotong dan kiri tajam

Terpasang WSD di hemi thorax dextra

Kesimpulan : Collaps paru kanan, TB paru, Pneumothorax kanan, cardiomegali

8
Gambar 2.3 Foto Torax AP III (13 April 2015)
Ekpertise:

Cor : ukuran membesar ke kiri

Pulmo : Tampak collaps di paru kanan, fibroinfilrat di paru kiri

Tampak area lucent tanpa jaringan paru di hemithorax kanan

Sinus phrenicocostalis kanan terpotong dan kiri tajam

Terpasang WSD di hemi thorax dextra

Kesimpulan : Collaps paru kanan, TB paru, Pneumothorax kanan, cardiomegali

9
Gambar 2.4 Foto Torax AP IV (20 April 2015)
Ekpertise:

a. Cor/Aorta : CTR 50%


b. Lung sinistra : Normal
Lung dextra : Collaps paru dextra
dikelilingi oleh ruangan lucent avascular
Terpasang WSD setinggi ICS 3-4 dextra
c. Soft tissue & skeletal : Normal
d. Sinus costophrenicus sinistra et dextra : Normal
e. Hemitorax dextra dengan avascular sinistra

Conclusion: 1. Collaps lung dextra

2. Pneumothorax dextra

10
Gambar 2.5 Foto Torax AP (27 April 2015)
Ekpertise:

Cor: bentuk dan ukuran normal

Pulmo: paru kanan kolaps dengan WSD didalam area hyperlusen avascular.

Sinus costophrenicus tajam

Kesimpulan: Pneumothorax dextra dengan WSD

11
Gambar 2.6 Foto Torax AP (5 Mei 2015)
Ekpertise:

Jantung kesan membesar.

Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.

Trakea di tengah.Kedua hillus tidak menebal.

Tampak area lusensi avascular di hemithoraks kanan disertai kolaps paru kanan

dan gambaran air fluid level.

Tampak penebalan pleura apical kiri dan sinus kostoprenikus kiri tumpul.

Jaringan lunak dinding dada terlihat baik.

Tampak terpasang WSD dengan tip setinggi costa 5 posterior kanan.

KESAN:

Kardiomegali.

Hydropneumothorax kanan.

Efusi pleura kiri minimal.

Tidak tampak emfisema subkutis

12
13
14
Gambar 2.7 CT Scan Tanpa Kontras (5 Mei 2015)
Ekpertise:

MSCT Scan Thorax dengan potongan axial dan rekonstruksi coronal serta sagital:

- Tak tampak SOL a/r Lobus paru dextra dan sinistra


- Paru dextra dengan partial collaps
- Paru sinistra intak, relative lebih kecil
- Tampak hiperaerasi – pneumothorax a/r lung dextra
- Tampak air fluid level a/r basal lung dextra
- Jantung dan pembuluh darah besar normal
- Pleura kanan bawah tampak menebal, tampak free fluid
- Dinding thorax / skeletal tampak normal
- Aorta normal
- Esophagus normal
- Trachea di tengah dengan diameter normal
- Main bronkus sinistra normal
- Main carina trachealis sinistra normal
- Main and second carina dextra et sinistra normal
- Vertebra dan coste normal
- Tak tampak pembesaran kelenjar getah bening hillus dan mediastinum

Kesimpulan:

- Collaps lung dextra


- Hidropneumothorax dextra

15
Gambar 2.8 CT Scan Dengan Kontras (5 Mei 2015)
Ekpertise:

MSCT Scan Thorax dengan potongan axial dan rekonstruksi coronal serta sagital:

- Tak tampak SOL a/r Lobus paru dextra dan sinistra


- Paru dextra dengan partial collaps
- Paru sinistra intak, relative lebih kecil
- Tampak hiperaerasi – pneumothorax a/r lung dextra
- Tampak air fluid level a/r basal lung dextra
- Jantung dan pembuluh darah besar normal
- Pleura kanan bawah tampak menebal, tampak free fluid
- Dinding thorax / skeletal tampak normal
- Aorta normal
- Esophagus normal
- Trachea di tengah dengan diameter normal
- Main bronkus sinistra normal
- Main carina trachealis sinistra normal
- Main and second carina dextra et sinistra normal
- Vertebra dan coste normal
- Tak tampak pembesaran kelenjar getah bening hillus dan mediastinum
- Pada post contras tak tampak enhancement patologis

Kesimpulan:

16
- Collaps lung dextra
- Hidropneumothorax dextra

2.5 Differential Diagnosa

1. Pneumothorax Dextra

2. Emfisema Bullae

3. PPOK

4. Atelektasis

2.6 Terapi

 O2 3-4L/i via nasal kanul

 IVFDAminofluid Asering 20 gtt/i

 IV Ceftriaxone 1 gr/12 jam

 Tramadol 3x1 Tab

 Codein 3x1 Tab

2.7 Prognosa
Qou ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad bonam

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar


paru yang menyebabkan paru kolaps.

Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada

kavum pleura.Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga

paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum

pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal

dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini

disebut sebagai pneumotoraks tertutup. Apabila kebocoran pleura

viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi

tidakakan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi.

Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak sehingga mendorong

mediastinum kearah kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension

pneumotoraks.

2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga

terdapathubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila

18
lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara

cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus

respiratorius yang seharusnya.Pada saat inspirasi, tekanan dalam rongga

dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum pleura lewat

lubang tersebutdan menyebabkan kolaps pada paru ipsilateral.Saat

ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum

pleura keluar melalui lubang tersebut.Kondisi ini disebut sebagai

pneumotoraks terbuka.(2)

3.2 Epidemiologi
Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks

spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks

yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang

mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks

primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun

sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).


Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder,

namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan

6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok

berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada

usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40

tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh

trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan

19
diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks

iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat sering terjadi.(2)


 Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
 Seks : Lebih sering pada pria
 Pneumotoraks spontan primer
 Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia

10-30 tahun
 Insiden pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per

tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada

perempuan
 Pneumotoraks spontan sekunder
 Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus

per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000

orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan

penyakit paru obstruktif kronik per tahun.(1)


 Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk

pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000

orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.
 Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder

pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam

waktu 3 tahun.(4)

3.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian

3.3.1 Pneumotoraks spontan


Pneumotoraks spontan adalah setiap pneumotoraks yang terjadi tiba-tiba
tanpa adanya suatu penyebab (trauma ataupun iatrogenik), ada 2 jenis yaitu:

3.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer

Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru

yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian

20
pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan

1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya,

kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40

tahun.Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb

subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara yang

terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai kelainan

klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai PSP

mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian

serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini.


(5)

Faktor yang saat ini diduga berperan dalammekanisme PSP adalah

terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan

porositas menyebabkan kebocoran udara viseraldengan atau tanpa perubahan

emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko

terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke

apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru orang bertubuh tinggi rentan

terhadap meningkatnya tekanan yang dapat mendahului proses pembentukan kista

subpleura.(6)

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena

tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins,

2004).Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara

spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura

sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen

21
sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali

lipat.(6) Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara lain

observasi, drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted

thoracoscopic surgery (VATS).(7)

Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society

(BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP).Terdapat perbedaan

untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik

dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya.(6) Berikut adalah ringkasan

gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP.(7)

a. Clinically stable small pneumotoraks


Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan

pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala

minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan.

Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6

jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap,

dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.


b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS

merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama

pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil

simtomatis. CXR dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan

apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada perbaikan atau pasien

masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal kurang dari 2,5 liter

aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila aspirasi pertama sudah

22
lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan tidak berhasil maka

pemasangan drain interkostal harus dilakukan.


c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan

pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus

dapat mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR

dilakukan setiap 24 jam.


d. Surgical intervention

Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat

kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-

ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi

terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua, pneumotoraks

kontralateral yang pertama, dan adanya resiko pekerjaan seperti

penyelam atau pilot.Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya

menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan

yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc

pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy.(7)

Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak

mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi

antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien

dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila

terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara

(menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat

dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko

terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter ahli

23
paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan

tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali

diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain dapat

berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka keberhasilan

atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila terdapat

kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan tension

pneumotoraks.

3.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder

PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan

penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD,

fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga

dapat terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis,

lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous

sclerosis.Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli

yang melebar atau rusak.Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat

adanya kondisi komorbid.

Penyebab terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-

berat. Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang

progresif muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik.PSS merupakan

penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD.Setiap kejadian pneumotoraks

meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50%

pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan.(5)

24
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest

tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna

mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi

dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru

yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase melalui

chest tube.Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi paru dan

resolusi kebocoran udara.Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir dan

dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan mengalami

pneumotoraks rekuren.(3)

3.3.2 Pneumotoraks Traumatik


Pneumotoraks traumatik adalah pneumotoraks yang terjadi akibat suatu

trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan yang menyebabkan robeknya pleura,

dinding dada maupun paru. Pneumotoraks traumatik diperkirakan 40% dari semua

kasus pneumotoraks. Pneumotoraks traumatik tidak harus disertai dengan fraktur

iga maupun luka penetrasi yang terbuka. Trauma tumpul atau kontusio pada

dinding dada juga dapat menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab trauma

penetrasi pada dinding dada adalah luka tusuk, luka tembak, akibat tusukan jarum

maupun pada saat dilakukan kanulasi vena sentral. Berdasarkan kejadiannya

pneumotoraks traumatik dibagi menjadi 2 jenis yaitu:(8)

3.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik

Pneumotoraks iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat

pembukaan rongga paru secara paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif

dilakukan . Pneumotoraks jenis ini masih dibedakan menjadi 2 yaitu:

25
● Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental, terjadi akibattindakan

seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena sentral, biopsi

paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, dan ventilasi tekanan

positif dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di

rumah sakit.(9)

● Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial, terjadi akibat tindakan seperti

aspirasi jarum halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting

adalah ukuran dan kedalaman lesi.Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko

pneumotoraks meningkat. Tindakan pemasangan kateter vena sentral. Penyebab

lainnya antara lain akupunktur transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan

penyalahgunaan obat melalui vena leher.(10)

3.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik

Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang

merusak pleura viseralis atau parietalis.Pada trauma tajam, luka menyebabkan

udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau menuju

pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial.Luka tusuk atau luka

tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya

hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda tajam.
(8)

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis

terobek oleh fraktur atau dislokasi costa.Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan

peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur

26
alveoli.Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intertisial dan terjadi diseksi

menuju pleura viseralis atau mediastinum.Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur

pada pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga

pleura.Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di

mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks

persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik.(7)

Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat

barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan

tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara

yang saturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian

permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang terjebak dalam

bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks.Hal ini biasanya

terjadi pada kru pesawat terbang.Sedangkan pada penyelam, udara yang

terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan sewaktu naik ke

permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan tekanan secara

cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat menyebabkan

pneumotoraks.(8)

3.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya


3.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di

dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah

menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada

27
kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih ada

rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif.Pada

waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap

negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru atau jalan

nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena tekanan vakum

pleura negatif .(11)


3.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan

antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia

luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan

intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka

tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan

perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat

inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi

positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal,

tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada

yang terluka (sucking wound).(11)

3.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)


Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang

positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura

viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui

trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura

melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura

tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama

makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang terkumpul dalam

28
rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal

napas.

3.5 Patofisiologi Pneumotoraks

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,

iatrogenik.Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan

primer dan sekunder.Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ

paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi

diagnostik ataupun terapeutik.

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru

yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula

subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan

tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus

pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok

yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian

dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan

bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan

perokok.

Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun

sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi

oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses

ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem oksidan-

antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses

inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran

29
udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura

parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.

Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi

oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai

tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut

ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya

pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat

berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan

dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus

pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:

sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru

yang sudah ada sebelumnya.Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan

tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan

berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.

Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke

rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya

pneumotoraks spontan sekunder adalah:

 Penyakit saluran napas

o PPOK

o Kistik fibrosis

30
o Asma bronchial

 Penyakit infeksi paru

o Pneumocystic carinii pneumonia

o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram

negatif atau staphylokokus)

 Penyakit paru interstitial

o Sarkoidosis

o Fibrosis paru idiopatik

o Granulomatosis sel langerhans

o Limfangioleimiomatous

o Sklerosis tuberus

 Penyakit jaringan penyambung

o Artritis rheumatoid

o Spondilitis ankilosing

o Polimiositis dan dermatomiosis

o Sleroderma

o Sindrom Marfan

o Sindrom Ethers-Danlos

 Kanker

o Sarkoma

o Kanker paru

 Endometriosis toraksis

31
Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi

maupun non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat

menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes

karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan dinding dada

pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang baik atau

bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang normalnya

negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi pada bagian

yang mengalami pneumotoraks.

Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis

atau bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik

(transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi

mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation).Angka

kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak

berpengalaman.

Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada

parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini

mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya

aliran balik dari udara tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan

intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi

mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik.

Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga

pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah

kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya

32
hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,

sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang

kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah

jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika

tidak ditangani secara tepat.

3.6 Diagnosis Pneumotoraks


3.6.1 Keluhan
a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya

padasaat bernafas dalam yang dirasakan 75-100 % pasien.


b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila

sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali


c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen

(cyanosis).
e) Batuk- batuk yang didapatkan pada 25-35% pasien.

3.6.2 Pemeriksaan Fisik


a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan

nafas, tertinggal pada sisi yang sakit.


b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,

iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara

melemah atau menghilang.


c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi timpani dan tidak bergetar,

batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya

tinggi.
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat

amforik apabila ada fistel yang cukup besar.


3.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general

33
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi

avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya

kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru

yang terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan

tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial.
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada

jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita

kenal sebagai tension pneumothorax


6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang

berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien
c) Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan

invasive, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat

yaitu:
Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang mendekati

normal (40%)
Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotorak

(12%)
Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla< 2cm

(31%)
Derajat IV : pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter>

2cm (17%). (Aru W, 2009)

3.7 Penatalaksanaan Pneumotoraks


3.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan

stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan

cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat

34
kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC

(airway, breathing, circulation).(12)


Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw

thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head

tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab

mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada

pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah

jatuh dan menutup jalan nafas.(12)


Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan

dilakukan secara bersamaan.Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan

dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP meningkat, suara

nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor.Bila

didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan tindakan needle

thoracostomy.(12)
Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan

memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila

terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan

kristaloid (12)
3.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Kebanyakan simple pneumothorax akan membutuhkan pemasangan

intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumotoraks kecil, khususnya yang

hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data diobservasi

berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan berikutnya.

Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple injury, pasien

yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang akan ditransfer

35
dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension pneumothorax

mungkin sulit atau tertunda.(13)

3.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask.Intubasi harus

dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat.Intubasi tidak boleh

menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka.Manajemen definitif pada

open pneumothorax adalah menutup luka dan segera memasang intercostal chest

drain.(7,13)

Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa

melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada

tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk

memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak

masuk selama inspirasi.Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas

dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan

luka ditutup.(5,8)

3.8 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax

3.8.1 Needle Thoracostomy

Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada

emergensi dengan needle toracostomy.Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada

Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL).Jarum dipertahankan

hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.Jarum

ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara.Udara yang keluar dengan cepat dari

36
dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini mengubah tension

pnemothorax menjadi simple pneumothorax.(2,10)

3.8.2 Pemasangan Chest Tube

Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension

pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan

pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik

untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan

hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk

melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),

tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa

terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual

dengan tekanan positif.(15)

3.9 Komplikasi Pneumotoraks

Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah

pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi

melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin.Urutan kejadiannya

adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung

bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai

mediastinum.Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang

signifikan.Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat

menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan

langsung terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi

37
penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi

emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak

dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung.(3,16)

Gambar 3.1 Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks tampak


sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.

Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal,

dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral. (17) Emfisema subkutis

terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai

pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran

radiologis untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi

terkait.Komplikasi ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks

akibat kompresi jalan napas.Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila

38
terjadi distres adalah insisi kulit dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami

pembengkakan.(18)

BAB 4
MODALITAS RADIOLOGI

4.1 Foto Thoraks

39
Gambar 4.1 Pneumothoraks akan terlihat sebagai garis putih tipis yang
terbentuk dari pleura visceral.

Gambar 4.2 Tampak simple pneumothorax pada paru kiri. Tidak ada
pergeseran jantung atau trakea

Gambar 4.3 Tampak Complete-pneumothorax pada paru kanan, dengan


penekanan ke arah mediastinum yang disertai pergeseran jantung dan
trakea ke arah kiri

40
Gambar 4.4 Tension Pneumothorax, jantung tergeser ke arah kanan oleh
penekanan dari pneumothorax di paru kiri

Gambar 4.5 Gambaran simple pneumothorax, tampak adanya garis putih


dari pleura visceral

41
Gambar 4.6 Tampak gambaran tension pneumothorax dengan jantung dan
mediastinum yang terdorong ke arah kanan.

Gambar 4.7 Tampak gambaran tension pneumothorax dengan jantung,


trakea dan mediastinum yang terdorong ke arah kanan.

42
Gambar 4.8 Tampak gambaran hidropneumothorax pada paru kanan.

Gambar 4.9 Tension pneumothorax pada paru kiri (panah biru) menggeser
jantung dan mediastinum ke kanan (panah merah) gambar ini juga
menunjukkan adanya gambaran “deep sulcus sign” pada paru kiri (panah
kuning)

43
Gambar 4.10 Iatrogenik Pneumothorax. Foto ini menunjukkan gambaran
radioopaq di daerah kanan bawah paru yang menunjukkan adanya efusi
pleura dan pneumothorax.

Gambar 4.11 X-ray thoraks AP mengungkapkan tidak ada bukti adanya


pneumothorax. CT pada dada dilakukan segera setelah x-ray menunjukkan
pneumothorax pada sisi kanan.

44
Gambar 4.12 X-ray thoraks AP dengan pasien diintubasi, menggambarkan
ruang udara berdifusi opasitas pada paru kiri bawah. Kesan pneumothoraks
karena garis pleura terlihat di apeks paru-paru dan terlihat sulkus
Kardiphrenik. CT-Scan menggambarkan pneumothoraks sisi kiri dengan
kolaps paru.

45
Gambar 4.13 gambaran CT-scan ini menunjukkan emfisema bullosa berat
bilateral. Terdapat pneumothoraks bilateral dengan drainase pada paru kiri.

Gambar 4.14 CT scan dapat menunjukkan pneumothoraks minimal yang


sulit dinilai pada foto x-ray thorax. Gambaran udara pada pneumothorax
menunjukkan densitas yang sama dengan udara di luar dinding dada.

4.2 Diagnosa Banding

46
Gambar 4.15 Emfisema

Gambar 4.16 Atelektasis

47
Gambar 4.17 COPD

BAB 5

48
PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum

pleura akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan pleura

parietalis
2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni

spontan dan primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks, dan

lokalisasinya
3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik,

serta ditunjang oleh pemeriksaan radiologis


4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan

Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan

seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan

berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien


5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain

emfisema subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi

saluran napas gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian

DAFTAR PUSTAKA

1. Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:

Airlangga University Press

49
2. Arief N, Syahruddin E. 2008. Pneumotoraks. http://www.pulmo-

ui.com/tesis/PratamaAD.pdf. Diakses tanggal 23 September 2011 jam

21.00
3. Bascom R. 2006. Pneumothorax.

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm.
4. Bascom, R. 2011. Peumothorax.

http://emedicine.medscape.com/article/424547.
5. Berck, M. 2010. Pneumothorax.

http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/.
6. Boowan JG. 2006 Pneumotoraks, Tension and Traumatic.

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM. Diakses tanggal 23

September 2011 jam 20.00


7. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Open.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html.
8. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Simple.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html.
9. Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Tension.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html.
10. Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference. Emedicine.

http://www.medscape.com/article/1003409.
11. Chang AK. 2007. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and

Pneumomediastinum. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM.
12. Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous

Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.


13. Korom S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011.

Pneumothorax.http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm.
14. Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why

all the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of

Physicians of Edinburgh; 37:335-338

50
15. McCool FD, Rochester DF, et al. 2008. Pneumothorax.

http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons

%20Practice/141278/all/Pneumothorax.
16. Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains:

Subcutaneous Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium.

Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University

Press
17. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342:

868-74
18. Yılmaz, A, Bayramgürler, B, Yazıcıoğlu, O, Ünver, M, Ertuğrul, M, Güngör,

N, Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of

the Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2

51

Anda mungkin juga menyukai