Anda di halaman 1dari 10

1

2.4 Faktor Risiko dan Faktor Predisposisi

Berikut merupakan faktor resiko yang menyebabkan seseorang mudah terkena


1, 3
pneumonia:

a. Usia (usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun)


Anak-anak dengan usia 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakitpneumonia
dibandinkan ank dengan usia di atas 2 tahun, karena imunitas yangbelum sempurna
dan lubang pernafasan yang masih relatif sempit. Sedangkanpada usia> 65 tahun,
tubuh manusia sudah mengalami penurunan sistem imunsehingga menyebabkan
seseorang mudah terkena infeksi.

b. Malnutrisi
Status gizi sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh. Balita denganstatus
gizi yang kurang akan menyebabkan terjadinya penurunan daya tahantubuh. Anak
dengan gizi kurang lebih berisiko terkena penyakit pneumonia.

c. Jenis kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan jenis kelamin laki-lakimempunyai
resiko lebih tinggi terkena infeksi dibandingkan perempuan.

d. Riwayat BBLR
Bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram lebih berisiko
terhadapkematian karena zat anti kekebalan di dalam tubuh belum sempurna dan
lebihbesar resikonya untuk menderita pneumonia.

e. Riwayat pemberian ASI


ASI sebagai sumber gizi dan berkomposisi seimbang dan mengandungsumber
kekebalan tubuh bayi ketika tubuh bayi belum mampu memproduksi
zatkekebalannya sendiri. Pemberian ASI dapat menurunkan risiko pneumonia
padabayi dan balita sebesar 4,59 kali. Bayi yang diberi ASI eksklusif akan
2

lebihsehat dan jarang sakit di bandingkan dengan bayi yang tidak mendapat
ASIekslusif.

f. Status imunisasi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian imunisasi campak
danpertusis (DPT) dapat mencegah terjadinya pneumoni.Pemberian imunisasi
campak dapat mencegah kematian pneumonia sekitar 11%, imunisasi
DPTdapatmencegah kematian pneumonia sekitar 6%.

g. Defisiensi vitamin A
Pada kasus kekurangan vitamin A, fungsi kekebalan tubuh menurunsehingga
mudah terserang infeksi. Lapisan sel yang menutupi trakea dan parumengalami
keratinisasi sehingga mudah dimasuki oleh kumandan virus yangmenyebabkan
infeksi saluran nafas terutamapneumonia. Pemberian vitamin Aberguna dalam
mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinyakematian akibat pneumonia.
h. Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir rendah menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisikdan
mental pada masa Balita. Bayi dengan BBLR mempunyai risiko kematianyang
lebih besar dibandingkan dengan bayi dengan berat lahir normal terutamapada
bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat kekebalan kurangsempurna
sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi terutama pneumonia
dan infeksi saluran pernafasan lainnya.

Selain faktor resiko, juga terdapat faktor predisposisi seseorang rentan terkena
pneumonia, yaitu:2
a. Kelainan anatomi kongenital (fistula trakeoesofagus, penyakit jantung bawaan)
b. Gangguan fungsi imun (penggunaan obat sitostatika, steroid jangka panjang,
atau akibat penyakit tertentu misalnya HIV)
c. Gangguan neuromuskular
d. Kontaminasi perinatal
e. Gangguan klirens mukus/sekresi, misalnya kasus aspirasi
3

f. Peny. Kronik (ginjal, paru, diabetes mellitus, dan lain-lain)

2.5 Patogenesis
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu kelemahan daya
tahan tubuh inang, mikroorganisme yang menyerang pasien dan paparan jumlah
mikroorganisme yang banyak. Pneumonia biasanya terjadi karena mikroaspirasi
patogen yang berada pada saluran nafas atas ke saluran nafas bawah yang
steril.14Patogenesis pneumoniamencakup interaksi antaramikroorganisme
penyebab yang masuk melalui berbagai jalan, dengan daya tahan tubuhpasien.2
Sebagian besar pneumonia timbul akibat kuman mencapai alveoli
melaluiinhalasi,aspirasi kuman orofaring, dan hanya sebagian kecil merupakan
akibat penyebaranhematogen dari fokus infeksi lainatau penyebaran langsung dari
lokasi infeksi.1,2

Pada bagian saluran nafas bawah,kuman menghadapi daya tahan tubuh berupa
sistem pertahanan mukosilier, dayatahan selular makrofag alveolar, limfosit
bronkial dan neutrofil.6Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme
termasuk barieranatomi dan barier mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal
maupun sistemik. Barieranatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di
hidung, pencegahan aspirasidengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing elalui
refleks batuk, pembersihan ke arahkranial oleh lapisan mukosilier.Sitem pertahanan
tubuh yang terlibat baik sekresi lokalimmunoglobulin A maupun respon inflamasi
oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,imunoglobulin, alveolar makrofag dan
cell mediated immunity.1,2
Pneumoni yang terjadi akibat inokulasi patogen yang berbeda juga
akanmenimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda
pula.11Pneumoni bacterial terjadi karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang-
kadang terjadi melalui penyebaranhematogen. Ketika bakteri mencapai alveoli,
maka bakteri akan ditangkap oleh lapisancairan epitelial yang mengandug opsonin
dan tergantung pada respon immunologispenjamu, akan terbentuk antibodi IgG
spesifik. Dari proses ini, maka terjadi fagositosisoleh makrofag alveolar (sel
4

alveolar tipe II), sebagian kuman akan dilisis melaluiperantaraan komplemen.


Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalamalveolar, leukosit PMN
dengan aktifitas fagositosis akan direkrut dengan perantaraansitokin sehingga
terjadi respon inflamasi, yang mengakibatkan terjadinya kongestivaskular dan
edema yang luas. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasaldari
alveolus ke dalam alveolus melalui pori Kohn. Fase ini secara histopatologi
disebutsebagai red hepatization. Tahap berikutnya adalah grey hepatization yang
ditandai denganfagositosis aktif oleh leukosit PMN. Pelepasan komponen dinding
bakteri melaluidegradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek
sitotoksik teradap selparu.7Pneumoni viral, biasanya melibatkan invasi virus ke
saluran nafas kecil dan alveoli,umumnya bersifat patchy dan mengenai banyak
lobus. Pada infeksi virus ditandai denganadanya lesi awal berupa kerusakan silia
epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen.Respon inflamasi awal adalah
infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa danperivaskular. Bila proses ini
meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-selinflamasi yang
meningkat, maka akan terjadi obstruksi baik parsial maupun total.Respon inflamasi
yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan
terbentuk eksudat hemoragik. Pneumonia viral merupakan predisposisiterjadinya
pneumoni bakterial karena rusaknya barier mukosa.1,2
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi
ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang
biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada
kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas.4
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:4
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
5

Dari keempat cara tersebut di atas yang terbanyak adalah secara kolonisasi.
Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 μ melalui udara dapat
mencapai bronkus terminal atau alveolus dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila
terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi
aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini
merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari
sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga
pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug
abuse).
Sekret orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer
inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia
mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya
mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian atas sama dengan di saluran
napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis
mikroorganisme yang sama.

2.6 Patofisiologi
Mikroorganisme dapat mencapai saluran pernafasan bagian bawah melalui
berbagai jalur. Yang paling sering adalah akibat aspirasi melalui orofaring. Aspirasi
dengan jumlah kecil sering terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran dan
sebagai akibatnya banyak patogen yang terinhalasi dalam bentuk droplet yang
terkontaminasi.4,5
Proses peradangan akan menyebabkan jaringan paru yang berupa alveoli
(kantung udara) dapat dipenuhi cairan ataupun nanah. Hal ini menyebabkan rasio
ventilasi perfusi menurun, saturasi oksigen menurun. Akibatnya kemampuan paru
sebagai tempat pertukaran gas terutama oksigen (O2) akan terganggu.11Kekurangan
oksigen (O2) dalam sel-sel tubuh akan menganggu proses metabolisme tubuh.
Terhadap gangguan ventlilasi akibat gangguan volume ini tubuh akan berusaha
mengkompensasi dengan cara meningkatkan volume tidal dan frekuensi nafas,
6

sehingga secara klinis terlihat takipnea dan dyspnea dengan tanda-tanda inspiratory
effort. Bila pneumonia tidak ditangani dengan baik, proses peradangan akan terus
berlanjut dan menimbulkan berbagai komplikasi seperti, selaput paru terisi cairan
atau nanah (efusi pleuraatau empiema), jaringan paru bernanah (abses paru),
jaringan paru kempis (pneumothoraks). Bahkan bila terus berlanjut dapat terjadi
penyebaran infeksi melalui darah (sepsis) ke seluruh tubuh.5Akibat penurunan
ventilasi maka rasio optimal antara ventilasi perfusi tidak tercapai (V/Q < 4/5) yang
disebut dengan ventilation perfusion mismatch. Dengan berkurangnya volume paru
secara fungsional karena proses inflamasi maka akan mengganggu proses difusi dan
menyebabkan gangguan pertuaran gas yang berakibat terjadinya hipoksia dan pada
keadaan yang berat bisa terjadi gagal nafas.4,5
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN
dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis sitoplasmik mengelilingi
bakteri tersebut kemudian dimakan. 4,5
Proses radang selalu dimulai dari hilus paru yang menjalar secara progresif
ke perifer sampai seluruh lobus terkena. Proses radang ini dapat kita bagi atas 4
tingkatan:4,5

1. Tingkatan kongestif
Lobus paru yang meradang tampak berwarna kemerah-merahan, membengkak
pada perabaan mengandung banyak cairan dan pada iritan keluar cairan
kemerah-merahan. Pada tingkat ini kapiler melebihi dan kongestif, alveolus
terisi oleh netrofil dan makrofag.

2. Tingkat hepatisasi merah


Pada tingkat jumlah, netrofil bertambah, tampak pula sel-sel darah merah dalam
alveolus, eksudat berubah menjadi fibrinosa pada makroskopis paru-paru
sehingga perabaannya menyerupai hati.
7

3. Tingkatan hepatisasi kelabu


Pada perabaan paru masih tetap kenyal seperti hepar, hanya warna kemerah-
merahan merubah menjadi kelabu. Eksudat masih tetap terlihat bahkan dapat
berubah menjadi nanah dan masuk ke pleura, pada mikroskopis sel-sel tampak
amorf, dan makrofag lebih berperan dalam proses penyembuhan.

4. Tingkat resolusi atau penyembuhan total


Disini paru-paru menjadi lunak dimana eksudat yang melunak sebagian
dibatukkan keluar dan sebagian lagi mengalami resorbsi. Pada saat ini seluruh
bagian paru kembali kepada keadaan normal.

Gambar 2.1 Patogenesis pneumonia5


8

Gambar 2.2 Patofisiologi pneumonia5


9

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepandi, P.Z. 2014, ‘Pneumonia Komunitas: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia Edisi 2.’, Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. pp. 5-21.
2. Richard, G.W., dan Grant, W.W. 2014.’ Community-Acquired Pneumonia’,
New England Journal of Medicine. vol. 370, pp. 543-551.
3. Rahmawati, F.A. 2014. Angka Kejadian Pneumonia pada Pasien Sepsis di
ICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diponegoro University Institutional
Repository.
4. Soeroso, L. 2017, ‘Buku Ajar Respirasi’, Departemen Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
USU Press. pp. 120-138.
5. VanMeter, K.C. 2017, ‘Gould’s Pathophysiology for the health profession
11th edition’, Elsevier. pp. 275-324.
10

Anda mungkin juga menyukai