Anda di halaman 1dari 25

TUGAS

TERSTRUKTUR
FARMASI RUMAH SAKIT
Karakteristik Pneumonia dan Standar Penggunaan Obat

KELAS

:B

NO. ABSEN

: 26

NAMA

: MICHIKO TANADI

NPM

: 2014001246

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA
2015
A. DEFINISI / PENGERTIAN
Pneumonia merupakan infeksi di ujung bronkhiol dan alveoli yang dapat
disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri, jamur, virus dan parasit. (1)
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus
respiratorius dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat
mengganggu pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru. (2)
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract
(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi bermacam-macam dan diketahui
ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur,
berbagai senyawa kimia maupun partikel. (3). Penyakit ini dapat terjadi pada
semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua
dan penderita penyakit kronis.

Gambar 1 Keadaan pneumonia pada pasien (13)

B. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


1. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu
bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti
yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram
positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri
Gram negatif sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri
anaerob (1,4).

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme


yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 1 memuat daftar
mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia (3).
Tabel 1- Mikroba penyebab pneumonia (3)

2. Patofisiologi (1,3,4)
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru.
Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Masuknya
mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui berbagai cara:
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
4. Penyebaran secara hematogen
Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme
dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru
sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5
-2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah

dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi


dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 108-10/ml,
sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan
reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel
PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum
terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli
dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik
mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi
peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah
parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel
darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif
dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri
yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan
perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolidasi yang luas.
C. KLASIFIKASI (1,3,4)
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar


lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah
dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah
sakit selama > 14 hari
b. Pneumonia nosokomial (hospital-acqiured pneumonia/ nosocomial
pneumonia)
Pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk
rumah sakit. Jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit.
Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan
pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan
penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita
pneumonia.
c. Pneumonia aspirasi
Infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi
orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada
pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan
refleks menelan.
d. Pneumonia pada penderita Immunocompromised
pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi,
HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri,
selain organisme bakteria lain.
e. Pneumonia rekuren
Disebabkan organisme aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis
kistik dan bronkietaksis.
Pembagian ini penting untuk memudahkan penatalaksanaan.

2. Berdasarkan bakteri penyebab


a. Pneumonia bakterial / tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai tendensi
menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella pada penderita
alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
5

a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumania bakterial, jarang pada bayi


dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen
kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi bronkus misalnya :
pada aspirasi benda asing atau proses keganasan
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
c. Pneumonia interstisial
D. FAKTOR RESIKO (3,5,6,7)
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia
antara lain:
1. Usia > 65 tahun dan usia < 5 tahun
Resiko terjadinya infeksi dengan Drug Resistant Streptococcus Pneumoniae
(DRSP) juga meningkat pada usia < 5 tahun dan >65 tahun.
2. Penyakit komorbid
Insidensi meningkat pada orang dengan penyakit komorbid. Penyakitpenyakit tersebut diantaranya Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD), diabetes mellitus, insufisiensi renal, Congestive Heart Failure
(CHF), penyakit jantung koroner, keganasan, penyakit neurologik kronik,
penyakit hati kronik. Pada penyakit kardiopulmoner beresiko terjadinya
infeksi oleh bakteri gram negatif. Pseudomonas aeruginosa berisiko terjadi
pada penyakit-penyakit paru strukutral seperti bronkiektasis.
3. Imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV)
Adanya penyakit, obat-obatan dan makanan yang bersifat imunosupresi
(menekan sistem imun) menyebabkan tubuh seseorang semakin rentan
terinfeksi oleh mikroba penyebab pneumonia.
4. Ketergantungan alkohol
Efek samping alkohol berpengaruh pada beberapa system pertahanan dalam
saluran pernafasan. Alkohol menyebabkan kolonisasi bakteri gram negatif
pada orofaring, mengganggu refleks batuk, merubah gerak menelan, dan
transport mukosiliar. Alkohol juga mengganggu fungsi limfosit, neutrofil,
monosit, dan makrofag alveolar. Faktor-faktor tersebut menyebabkan
penurunan bersihan bakteri dari jalan nafas pasien. Legionella pneumophila
lebih sering terjadi pada pemabuk berat.

5. Penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza)


6. Malnutrisi
Kerentanan terhadap infeksi meningkat dengan adanya fenomena akibat
malnutrisi seperti penurunan kadar sekresi IgA, suatu kegagalan pengerahan
makrofag, dan perubahan pada imunitas seluler. Sehingga frekuensi
kolonisasi saluran nafas oleh bakteri gram negatif meningkat pada pasien
dengan malnutrisi, dan kejadian pneumonia berat meningkat.
7. Pascaoperasi / lama tinggal di rumah sakit
8. Adanya penyakit paru yang menyertai
9. Lingkungan (merokok, pekerjaan dan gaya hidup)
Merokok mempengaruhi transport mukosilier, pertahanan humoral dan
seluler, dan fungsi sel epitel dan meningkatkan perlekatan Streptococcus
pneumoniae dan Haemophylus influenzae kepada epitel orofaring. Lebih dari
itu merokok merupakan predisposisi terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae, Haemophylus influenzae, dan Legionella
pneumophilla.
E. GEJALA KLINIS
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung mikroba pneyebab, usia
pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa
berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada
neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum
infeksi (non spesifik), gejala pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non
spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah.
Gejala khas adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk (baik non produktif
atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir, purulen, atau bercak darah),
sakit dada karena pleuritis dan sesak. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan
batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat
batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak
produktif, tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan
mucus purulen kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau
busuk. Gejala umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri dada. Pada pasien muda atau tua dan

pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya


konfusi, ruam, diare) dapat menonjol. (3)
F. DIAGNOSIS (1,3)
Pneumonia didiagnosis berdasarkan tanda klinik dan gejala, hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologis, evaluasi foto x-ray dada. Gambaran adanya
infiltrate dari foto x-ray merupakan standar yang memastikan diagnosis. Hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis dengan shift to the
left.
Sedangkan evaluasi mikrobiologis dilaksanakan dengan memeriksa kultur
sputum (ada kemungkinan terkontaminasi dengan koloni saluran pernapasan
bagian atas). Pemeriksaan mikrobiologis lainnya yang lazim dipakai adalah
kultur darah, khususnya pada pasien dengan pneumonia yang fulminan, serta
pemeriksaan Gas Darah Arteri (Blood Gas Arterial) yang akan menentukan
keparahan dari pneumonia dan apakah perlu-tidaknya dirawat di ICU.
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 40C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar
pada stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan
penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis
etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh
Steptococcus

pneumoniae,

Pseudomonas

aeruginosa

sering

memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia


sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.

Gambar 2 Perbandingan foto radiologi paru normal (kiri) dan paru terinfeksi
pneumonia (kanan) (13)

b. Pemeriksaan labolatorium Pada pemeriksaan labolatorium terdapat


peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/l kadangkadang mencapai 30.000/l, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat
pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan
diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan
serologi. Kultur darah dapat positif pada 20- 25% penderita yang tidak
diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada
stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
G. KOMPLIKASI (3)
Komplikasi yang dihasilkan dari pneumonia antara lain:
1. Pneumonia ekstrapulmoner, pneumonia pneumokokus dengan bakteriemia.
2. Pneumonia ekstrapulmoner non infeksius gagal ginjal, gagal jantung, emboli
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

paru dan infark miokard akut.


ARDS ( Acute Respiratory Distress Syndrom)
Komplikasi lanjut berupa pneumonia nosokomial
Sepsis
Gagal pernafasan, syok, gagal multiorgan
Penjalaran infeksi (abses otak, endokarditis)
Abses paru
Efusi pleura

H. PENATALAKSANAAN (1,4,7)
1. Pengobatan
Pengobatan terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif. Pemberian
antibiotik

pada

penderita

pneumonia

sebaiknya

berdasarkan

data

mikroorganisme dan hasil uji kepekaannya, akan tetapi karena beberapa


alasan yaitu:
a. Penyakit yang berat dapat mengancam jiwa
b. Bakteri patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia.
c. Hasil pembiakan bakteri memerlukan waktu, maka pada penderita
pneumonia dapat diberikan terapi secara empiris
1) Terapi antibiotika awal
Terapi ini menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada klasifikasi
pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil mikrobiologis
tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada hasil dan
sensitivitas antibiotika.
2) Tindakan suportif
Meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO 2 > 8 kPa (SaO2<90%)
dan

resusitasi

cairan

intravena

untuk

memastikan

stabilitas

hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya


tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway
pressure), atau ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas.
Fisioterapi dan bronkoskopi membantu bersihan sputum.
2. Pencegahan
Pemberian imuniasasi sejak masih dini memberikan arti yang sangat penting
dalam pencegahan pneumonia. Pencegahan lain dapat dilakukan dengan
menghindari faktor paparan aspa rokok dan polusi udara, membatasi
penularan terutama di rumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci
tangan dan penggunaan sarung tanagn dan masker, isolasi penderita,
menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum dan kontak
dengan penderita ISPA.

I. STANDAR PENGGUNAAN OBAT PADA PNEUMONIA KOMUNITAS /


COMMUNITY ACQUIRED PNEUMONIA (CAP)

10

Penatalaksanaan pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sama seperti infeksi


pada umumnya yaitu dengan pemberian antibiotika yang dimulai secara empiris
dengan antibiotika spektrum luas sambil menunggu hasil kultur. Setelah bakteri
pathogen diketahui, antibiotika diubah menjadi antibiotika yang berspektrum
sempit sesuai patogen (1).
Terapi CAP dapat dilaksanakan secara rawat jalan. Namun pada kasus yang
berat pasien dirawat di rumah sakit dan mendapat antibiotika parenteral. Dalam
hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah (7).
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini (4) :
Batuk-batuk bertambah
Perubahan karakteristik dahak / purulen
Suhu tubuh > 38C (aksila) / riwayat demam
Pemeriksaan fisis : ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas

bronkial dan ronki


Leukosit > 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat kerahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan


dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2 Tabel Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT (4)

11

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih'
kriteria di bawah ini:
1. Kriteria minor:
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral
Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus
Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
2. Kriteria mayor adalah sebagai berikut :
Membutuhkan ventilasi mekanik
Infiltrat bertambah > 50%
Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok)
Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada
penderita

riwayat

penyakit

ginjal

atau

gagal

ginjal

yang

membutuhkan dialisis
Berdasar kesepakatan PDPI, kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap
pneumonia komuniti adalah :
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini.
Frekuensi napas > 30/menit
Pa02/FiO2 kurang dari 250 mmHg
Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral

12

Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus


Tekanan sistolik < 90 mmHg
Tekanan diastolik < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA
Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah
penderita yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu
(membutuhkan ventalasi mekanik dan membutuhkan vasopressor > 4 jam [syok
septik]) atau 2 dari 3 gejala minor tertentu (Pa0 2/FiO2 kurang dari 250 mmHg,
foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90
mmHg).
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan
Pengobatan suportif / simptomatik
Istirahat di tempat tidur
Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
Pengobatan suportif / simptomatik
Pemberian terapi oksigen
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
Pengobatan suportif / simptomatik
Pemberian terapi oksigen
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit

Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik


Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik

13

Gambar 3 Alur tatalaksana pneumonia komuniti (4)

Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien, cara


berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara
pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan faktor
sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan faktor
biaya pengobatan (10).
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti perlu
dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji
kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum
pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam
keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai
dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien.

14

Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan pada


setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab dan pola
kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji kepekaan
ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas membaik
dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut. Dalam hal
hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih efektif, sedangkan
dengan antibiotika semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikanperbaikan yang meyakinkan, antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan.
Tetapi bila hasil perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan
semula dapat diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas
(10).

Tabel 4 Terapi empirik pada CAP (4)

15

Bila dengan pengobatan secara empiris tidak ada perbaikan / memburuk selama
24 - 72 jam maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji
sensitivitas serta harus meninjau kernbali diagnosis, faktor-faktor penderita,
obat-obat yang telah diberikan dan bakteri penyebabnya, seperti dapat dilihat
pada gambar.

Gambar 4 Evaluasi pengobatan empirik pada pasien pneumonia (4)

16

Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika sementara


sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini harus
didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan perkiraan
etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi tersebut.
Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya, tidak
dibenarkan karenahasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan
antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi
dengan antibiotika berspektrum luas (10).

Tabel 5 Tabel penatalaksanaan antibiotik pasca uji jenis (1)

17

Pilihan antibiotika yang disarankan pada pasien dewasa adalah golongan


makrolida atau doksisiklin atau fluoroquinolon terbaru (8,9). Namun untuk
dewasa muda

yang berusia antara 17-40 tahun pilihan doksisiklin lebih

dianjurkan karena mencakup mikroorganisme atypical

yang mungkin

menginfeksi. Untuk bakteri Streptococcus pneumoniae yang resisten terhadap


penicillin direkomendasikan

untuk terapi beralih ke derivat fluoroquinolon

terbaru. Sedangkan untuk CAP yang disebabkan oleh aspirasi cairan lambung
pilihan jatuh pada amoksisilin-klavulanat. Golongan makrolida yang

18

dapat

dipilih mulai

dari eritromisin, claritromisin serta azitromisin. Eritromisin

merupakan agen yang paling ekonomis, namun harus diberikan 4 kali sehari.
Azitromisin ditoleransi dengan baik, efektif

dan hanya diminum satu kali

sehari selama 5 hari, memberikan keuntungan bagi pasien. Sedangkan


klaritromisin merupakan alternatif lain bila pasien tidak dapat menggunakan
eritromisin, namun harus diberikan dua kali sehari selama 10-14 hari.
Untuk terapi yang gagal dan tidak disebabkan oleh masalah kepatuhan pasien,
maka disarankan untuk memilih antibiotika dengan spektrum yang lebih luas.
Kegagalan terapi dimungkinkan oleh bakteri yang resisten khususnya terhadap
derivat penicillin, atau gagal mengidentifikasi bakteri penyebab pneumonia.
1. TINJAUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK
a. Golongan Betalaktam
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin
dan sefalosporin.
3) Kelompok Penisilin
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat
sintesis dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang
dapat menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis
dapat menjadi fatal (5).
4) Kelompok Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan struktur,
khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan
keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih
luas tetapi tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob
serta resisten terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap
Staphylococcus yang resisten terhadap metisilin (5,12).
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin

dibedakan

menjadi dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat


diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna.
Sefalosporin lainnya hanya dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan
sefapirin umumnya diberikan secara i.v. karena menimbulkan iritas
pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya
mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan seftriakson mencapai kadar
19

tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk


pengobatan meningitis purulenta. Kebanyakan sefalosporin dieskresi
dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar
dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus disesuaikan
pada pasien gangguan fungsi ginjal (5). Reaksi alergi merupakan efek
samping yang paling sering terjadi. Reaksi anafiilaksis dengan
spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi silang biasanya
terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan pada
alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil.
Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang
toksis dibandingkan dengan aminoglikosida.

Tabel 6 Penggunaan Sefalosporin pada terapi antibiotik (1)

20

b. Golongan Makrolid
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua
makrolida diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif
sitokrom-P450 menjadi metabolit inaktif. Efek samping yang terpenting
adalah pengaruhnya bagi lambung-usus berupa diare, nyeri perut, nausea,
dan kadang-kadang muntah, yang terutama terlihat pada eritromisin
akibat penguraiannya oleh asam lambung. Eritromisin pada dosis tinggi
dapat menimbulkan ketulian yang reversibel. Semua makrolida dapat
mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai-nilai
enzim tertentu dalam serum (5,12).
c. Golongan aminoglikosida

21

Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya untuk menembus


dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses
translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis proteinnya
dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri gram
positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
streptomisin,

gentamisin,

amikasin,

kanamisin,

neomisin,

dan

paramomisin (11).
d. Golongan Quinolon
Golongan quinolon merupakan antimikrobial oral memberikan pengaruh
yang dramatis dalam terapi infeksi. Dari prototipe awal yaitu asam
nalidiksat
berkembang menjadi asam pipemidat, asam oksolinat, cinoksacin,
norfloksacin. Generasi awal mempunyai peran dalam terapi gram-negatif
infeksi saluran kencing. Generasi berikutnya yaitu generasi kedua terdiri
dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin, lomefloksasin,
fleroksasin dengan spektrum aktivitas yang lebih luas untuk terapi infeksi
community-acquired maupun infeksi nosokomial. Mekanisme kerja
golongan quinolon secara umum adalah dengan menghambat DNAgyrase. Aktivitas antimikroba secara umum meliputi, Enterobacteriaceae,
P. aeruginosa, srtaphylococci, enterococci, streptococci. Aktivitas
terhadap bakteri anaerob pada generasi kedua tidak dimiliki. Demikian
pula dengan generasi ketiga quinolon seperti levofloksasin,gatifloksasin,
moksifloksasin. Aktivitas terhadap anaerob seperti B. fragilis, anaerob
lain dan Gram-positif baru muncul pada generasi keempat. (1)
e. Golongan Florokuinolon
1) Kloramfenikol
Berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua kuman gram-positif
dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap

Chlamydia

trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S.


pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan
perintangan sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat
dan lengkap dengan bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein
plasma lebih kurang 50% , t nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat

22

ini dirombak menjadi glukuronida inaktif. Eksresinya melaui ginjal,


terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih kurang 10% secara utuh.
Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neuropati optis
dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat
berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (5,11).
2) Vankomisin
Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob
termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap metisilin. Daya
kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan.
Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah jika
antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila
terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus
sehat sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin
mempunyai t nya 5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui
kemih. Efek sampingnya berupa gangguan fungsi ginjal, terutama
pada penggunaan lama dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi
alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida
meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis untuk infeksi parah
i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%)
setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (5).
3) Doksisiklin
Derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik terhadap kuman
yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya dari usus
hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan
atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan
logam berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai
t yang panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai,
dengan loading dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan
borok kerongkongan bila ditelan dalam keadaan berbaring atau
dengan terlampau sedikit air( 5,11).
2. TINJAUAN TERAPI SUPORTIF

23

a. Analgesik Antipiretik
Obat ini seringkali digunakan untuk mengurangi gejala letargi, malaise,
demam terkait infeksi pernapasan. (1)
b. Mukolitik
Mukolitik merupakan obat yang dipakai untuk mengencerkan mukus
yang kental, sehingga mudah dieskpektorasi. Perannya sebagai terapi
tambahan pada pneumonia. Pada bronchitis kronik terapi dengan
mukolitik hanya berdampak kecil terhadap reduksi dari eksaserbasi akut,
namun berdampak reduksi yang signifikan terhadap jumlah hari sakit
pasien.
Agen yang banyak dipakai adalah Acetylcystein yang dapat diberikan
melalui nebulisasi maupun oral. Mekanisme kerja adalah dengan cara
membuka ikatan gugus sulfidril pada mucoprotein sehingga menurunkan
viskositas mukus. (1)

DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik DirJen BINFAR.
Pharmaceutical Care pada Penyakit infeksi Pernapasan. 2005. Jakarta:
DepKes RI
2. Dahlan Zul. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi II, Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2000
3. Jeremy P. 2007. At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga
Medical Series. Hal. 76-77.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia Komuniti Pedoam
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia . 2013. Jakarta.
5. Sukandar EY. 2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan

24

6. Hartati S. 2011. Analisis Faktor resiko yang Berhubungan dengan


Kejadian Pneumonia pada Anak Balita di RSUD Pasar Rebo Jakarta.
Fakultas Ilmu Keperawatan UI: Jakarta.
7. Misnadirly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak
Balita, Orang Dewasa, Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Popular Obor. Hal. 5558.
8. Abramowicz Mark.Handbook of Antimicrobial Therapy.16th ed. The
Medical Letter.New York.2002: 34-35.
9. Douglas JG et al. Respiratory Disease. Averys Drug Treatment. 4th ed.
Auckland;1997:1039.
10. Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Nafrialdi. dan Elysabeth., Farmakologi dan
Terapi Edisi V. 2007. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
11. Tjay, T.H. & Rahardja, K. Obat- Obat Penting. 2007. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo
12. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
community-acquired
pneumonia. Diagnosis, assessment of severity,
antimicrobial therapy, and prevention. Am J Respir Crit.Care Med 2012;
163: 1730-54.
13. www.google.co.id , dikases pada 31 Mei 2015.
14. WHO 2010 Pneumonia, Sumber : http://www.who.int/mediacentre/,
diakses tanggal 31 Mei 2015 .

25

Anda mungkin juga menyukai