Anda di halaman 1dari 35

● Perbaiki

● Rapikan

● Setelah itu, tolong dikirimkan BAB 1 dan BAB 2 beserta dengan

referensinya ke libturnitin5@ukrida.ac.id

● Hasil dari turnitin email/whatsapp ke saya

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dasar penyakit

Dalam bab II ini akan diuraikan secara teoritis mengenai konsep dasar medis dan

asuhan keperawatan pada klien dengan pneumonia. Konsep dasar medis yang

akan diuraikan terdiri dari definisi, etiologi dan penanganan secara medis. Asuhan

keperawatan yang akan diuraikan masalah-masalah yang muncul pada penyakit

pneumonia dengan melakukan asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian,

diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

2.1.1 Pengertian

Pneumonia merupakan suatu penyakit peradangan akut parenkim paru yang

biasanya terjadi dari suatu infeksi saluran nafas bawah akut atau yang biasa

disingkat dengan INSBA dan ditandai dengan beberapa gejala seperti batu yang
disertai sesak nafas yang disebabkan oleh agen infeksius seperti virus, bakteri,

dan substansi asing, berupa radang paru-paru yang disertai eksudasi dan

konsolidasi kemudian dapat dilihat dari gambaran radiologi (Nurarif, 2015).

Pneumonia proses inflamatori parenkim paru umumnya disebabkan oleh

agens infeksius. Pneumonia merupakan infeksi akut parenkim paru yang

menyebablan gangguan pertukaran gas (Robinson & Saputra, 2014).

Jadi pneumonia merupakan suatu infeksi saluran pernafasan akut yang

disebabkan oleh bermacam-maca tanda dan gejala seperti bakteri virus, fungi

dan jamur (Ningtyiah, 2015).

2.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi pneumonia berdasarkan anatomi (pola keterlibatan paru) (LeMone. et,

al, 2016) antara lain :

1. Pneumonia lobarlobal,

Pneumonia lobar biasanya mengenai seluruh lobus paru. Proses awalnya,

ketika respons imun minimal, bakteri menyebar sepanjang lobus yang

terkena dengan akumulasi cepat. Cairan edema karena terjadi respons imun

dan inflamasi, RBC dan neutrofil, merusak sel epitel, dan fibrin

berakumulasi dalam alveoli. Eksudat purulen mengandung neurofil dan

makrofag terbentuk. Karena alveoli dan bronkiolus pernapasan terisi

dengan eksudat, sel darah, fibrin, dan bakteri, konsolidasi (solidifikasi)


jaringan paru terjadi. Akhirnya, proses sembuh karena enzim

menghancurkan eksudat dan sisa debris direabsorpsi, di fagosit, atau

dibatukkan keluar.

2. Bronkopneumonia (pneumonia lobularis), Biasanya mengenai bagian jaringan

paru terkait, ditandai dengan konsolidasi bercak. Eksudat cenderung tetap

terutama di bronki dan bronkiolus, dengan sedikit edema dan kongesti

alveoli daripada pPneumonia lobar.

3. Pneumonia interstisial (Bronkiolitis), proses inflamasi terutama melibatkan

interstisium : dinding alveolar dan jaringan ikat yang menyokong pohon

bronchial. Keterlibatan dapat berupa bercak atau difus karena limfosit,

makrofag, dan sel plasma meng infiltrasi septa alveolar. Ketika alveoli

biasanya tidak mengandung eksudat yang banyak, membrane hialin yang

kaya protein dapat melapisi alveoli, mengandung pertukaran gas.

4. Pneumonia milier, pada pneumonia milier, sejumlah lesi inflamasi

memiliki ciri tersendiri terjadi sebagai akibat penyebaran patogen ke paru

melalui aliran darah. Pneumonia milier umumnya terlihat pada orang yang

mengalami luluh imun berat. Sebagai akibatnya, respons imun buruk dan

kerusakan jaringan pleura sangat signifikan.

Klasifikasi pneumonia berdasarkan inang dan lingkungan (LeMone. et, al,

2016):

1. Pneumonia Komunitas (Community-Acquired Pneumonia).


Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit infeksius yang

sering disebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus pneumonia. Bakteri

ini terletak di saluran napas atas pada hingga 70% orang dewasa.

Bakteri ini dapat menyebar secara langsung dari kontak orang ke orang

melalui droplet.

2. Penyakit Legionnaire.

Penyakit Legionnaire adalah bentuk bronkopneumonia yang disebabkan

oleh legionella pneumophilia, bakteri gram negatif yang secara luas

ditemukan dalam air, terutama air hangat. Perokok, lansia, dan orang

yang menderita penyakit kronik atau gangguan pertukaran imun

merupakan orang yang paling rentan terhadap penyakit

Legionnaire.

3. Pneumonia Atipikal Primer

Pneumonia disebabkan oleh Mycoplasma pneumonia umumnya

diklasifikasikan sebagai Pneumonia Atipikal Primer karena manifestasi

dan rangkaian penyakit sangat berbeda dengan Pneumonia bakteri

lainnya. Dewasa muda khususnya mahasiswa dan calon anggota

militer merupakan populasi yang umumnya terkena.

1. Pneumonia Virus.

Pneumonia virus umumnya merupakan penyakit ringan yang

sering kali mengenai lansia dan orang yang mengalami


kondisi kronik. Sekitar 10% pneumonia ini terjadi pada orang

dewasa.

2. Pneumonia Pneumosis

Orang yang mengalami luluh imun yang parah berisiko

terjadinya pneumonia oportunistik yang disebabkan oleh

Pneumocystis jiroveci, parasit yang lazim ditemukan di seluruh

dunia. Infeksi oportunistik dapat terjadi pada orang yang

ditangani dengan imunosupresif atau obat sitotoksik untuk

kanker atau transplantasi organ.

3. Pneumonia Aspirasi.

Pneumonia aspirasi merupakan aspirasi isi lambung ke paru-paru

yang menyebabkan pneumonia kimia dan bakteri.

2.1.3 Etiologi

Penyebab pneumonia antara lain adalah pada orang dewasa dan usia

lanjut pada umumnya yaitu bakteri. Pneumonia yang disebabkan oleh virus

pada umumnya adalah Respiratory Syncytial Virus, rhinovirus, Herpes

Simplex Virus, dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) (Nursalam,

2016).

a. Bakteri

Pneumonia bakterial dibagi menjadi dua bakteri penyebab yaitu,

1. Typical organisme
Pneumonia bakterial dari gram positif berupa:

a) Streptococcus pneumonia

Merupakan bakteri anaerob fakultatif. Bakteri patogen ini

ditemukan pneumonia komunitas rawat inap di luar ICU

sebanyak 20-60%, sedangkan pada pneumonia komunitas

rawat inap di ICU sebanyak 33%.

b) Staphylococcus aureus

Bakteri anaerob fakultatif. Pada pasien yang diberikan obat

secara intravena memungkinkan infeksi kuman ini

mungkin menyebar secara hematogen dari kontaminasi

injeksi awal menuju ke dalam paru- paru. Apabila suatu

organ telah terinfeksi kuman ini akan timbul tanda khas,

yaitu peradangan, nekrosis dan

c) Enterococcus

2. Atipikal organisme

Bakteri yang termasuk atipikal adalah Mycoplasma sp,

chlamydia sp, dan legionella sp.

b. Virus

(Subjeknya mana?) Disebabkan oleh virus influenza yang

menyebar melalui droplet, biasanya menyerang pada pasien


dengan imunodefisiensi. Kira-kira virus penyebabnya yaitu

cytomegail virus, herpes simplex, dan varicella zoster virus.

c. Fungi

Infeksi pneumonia pada jamur biasanya disebabkan oleh jamur

oportunistik, dimana spora jamur masuk kedalam tubuh pada saat

menghirup udara. Organisme yang menyerang adalah Candida sp,

Aspergillus sp. Cryptococcus neoformans.

d. Lingkungan

Pada faktor lingkungan ini faktor yang sangat mempengaruhi pada

terjadinya pneumonia, salah satunya yaitu pencemaran udara.

Pencemaran udara dalam rumah dipengaruhi berbagai faktor

seperti bahan bangunan (misal asbes), struktur bangunan seperti

ventilasi, kepadatan penduduk, hunian, kualitas udara diluar

rumah, radiasi debu dan juga kelembaban yang berlebihan. Selain

faktor diatas kualitas udara juga dipengaruhi oleh kegiatan dalam

rumah seperti penggunaan energi yang tidak ramah lingkungan.,

penggunaan sumber energi yang relatif murah seperti batubara dan

biomassa (kotoran kering dari hewan ternak, kayu dan residu

pertanian), kebiasaan merokok didalam rumah, penggunaan bahan

kimia pembersih, dan polusi yang dapat bertahan dalam rumah

untuk jangka waktu yang cukup lama (Kemenkes RI, 2011).


Penyebab pneumonia pada orang dewasa dan usia lanjut pada

umumnya yaitu bakteri. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada

umumnya adalah Respiratory Syncytial Virus, rhinovirus, Herpes Simplex

Virus, dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) (Nursalam, 2016).

2.1.4 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk

(baik non produktif, produktif ataupun menghasilkan sputum berlendir, atau

bercak darah), sakit di dada karena pleuritis dan sesak. Gejala umum lainnya

yaitu pasien lebih suka berbaring pada sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri

pada dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau penarikan dinding dada

bagian bawah saat bernafas, takipneu, kenaikan atau penurunan taktil

fremitus, perkusi redup sampai pekak menggambarkan konsolidasi atau

terdapat cairan pleura, dan ronki (Nursalam, 2016). Sedangkan menurut

(Nursalam, 2016) pneumonia menunjukan gejala klinis sebagai berikut:

1. Batuk

2. Sputum produktif

3. Sesak nafas

4. Ronki
5. Demam tidak stabil

6. Leukositosis

2.1.5 Komplikasi

Menurut Muttaqin, Arif (2014), kKomplikasi yang dapat terjadi pada pneumonia

yaitu:

1. Pleuritis yaitu : pPeradangan yang terjadi pada selaput pembungkus paru-

paru atau pleura

2. Atelektasis: Keadaan dimana paru-paru tidak dapat mengembang dengan

sempurna yang mengakibatkan kurangnya mobilisasi atau reflek batuk

hilang.

3. Empiema: Adanya pus pada rongga pleura

4. Abses paru: Penyakit yang menyerang organ paru-paru karena adanya infeksi

bakteri yang menyebabkan jaringan paru-paru menjadi bernanah

5. Edema pulmonary: Suatu keadaan yang dimana cairan merembes keluar dari

pembuluh darah kecil paru ke dalam kantong udara dan daerah sekitarnya

6. Infeksi super perikarditis: Peradangan yang terjadi pada selaput pembungkus

jantung atau disebut juga perikardium

7. Meningitis: Suatu infeksi yang menyerang selaput otak

8. Arthritis: Salah satu penyakit yang mengalami peradangan pada persendian

yang biasa terjadi pada kaki dan tangan.


2.2 Anatomi dan Fisiologi

Struktur tubuh yang berperan dalam sistem pernafasan yaitu:

a) Nares Anterior

Merupakan saluran-saluran pada lubang hidung. Sluran-saluran itu

berada pada bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga) hidung.

Vastibulum ini dilapisi oleh epitelium bergaris yang bersambung pada

kulit. Lapisan neres anterior memuat sejumlah kelenjar sebaseus yang

ditutupi oleh bulu kasar. Kelenjar-kelenjar itu sendiri bermuara ke

dalam rongga hidung. (Syaifuddin,2016).

b) Rongga Hidung

Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang dipenuhi oleh pembuluh

darah, bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir semua

sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Daerah

pernafasan dilapisi epitelium silinder dan sel epitel berambut yang

mengandung sel cangkir atau sel lendir. Sekresi sel itu membuat

permukaan nares basah dan berlendir. Di atas septum nasalis dan

konka, selaput lendir ini paling tebal, yang diuraikan di bawah. Tiga

tulang kerang (konka) yang diselaputi epitelium pernafasan, yang

menjorok dari dinding lateral hidung ke dalam rongga, sangat

memperbesar permukaan selaput lendir tersebut. Sewaktu udara

melalui hidung, udara disaring oleh bulu-bulu yang terdapat di dalam


vestibulum. Karena kontak dengan permukaan lendir yang

dilewatinya, udara menjadi hangat, dan karena penguapan air dari

permukaan selaput lendir, udara menjadi lembab (Syaifuddin, 2016).

Gambar 2.1 Anatomi Saluran Pernapasan

Sumber: Anatomi sistem pernapasan www.google.com

c) Faring

Faring merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak

hingga persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang

rawan kirkoid. Maka letaknya di belakang hidung (nasofaring), di

belakang mulut (orofaring) dan di belakang laring (faring-laringeal)

(Syaifuddin, 2016).

d) Laring

Terletak pada depan bagian terendah faring yang memisahkannya dari

kolumna vertebra, berjalan dari faring hingga ketinggian vertebra


servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring terdiri atas

kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligmen dan membran.

Yang terbesar diantaramya yaitu tulang rawan tiroid, dan disebelah

depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun,

yaitu sebelah depan leher. Laring ini terdiri atas dua lempengan atau

laminan yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat

lekukan berupa V. pada tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid,

bentuknya seperti cincin mohor di sebelah belakang. Tulang rawan

lainnya adalah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang di

sebelah belakang krikoid, kanan dan juga kiri tulang rawan kuneifrom

komikulata yang sangat kecil (Syaifuddin, 2016).

e) Trakea

Trakea atau batang tenggorok kira-kira sembilan sentimeter

panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian

vertebra torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua

bronkus (bronki). Trakea tersusun atas enam belas sampai dua puluh

lingkaran tak lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama

oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah

belakang trakea, selain itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea

dilapisi selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel

cangkir. Silia ini bergerak menuju ke atas ke arah laring, maka dengan
gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang larut masuk

bersama dengan pernafasan dapat dikeluarkan.

f) Bronkus

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat

pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V mempunyai struktur

serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-

bronkus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampak paru-

paru. Bronkus kanan lebih pendek dan lebih besar daripada bronkus

kiri, terdiri dari 6-8 cincin, mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri lebih

panjang dan lebih ramping dari yang kanan, terdiri dari 9-12 cincin

dan mempunyai 2 cabang. Bronkus bercabang-cabang, cabang yang

paling kecil disebut bronkiolus (bronkioli). Pada bronkioli terdapat

gelembung paru/gelembung hawa atau alveoli (Syaifuddin, 2016).

g) Paru-paru

Paru-paru itu ada dua dan merupakan alat utama untuk bernapas. Paru-

paru mengisi rongga dada. Paru-paru mengisi rongga dada yang

terletak di sisi kiri dan kanan di tengah terpisah oleh jantung, terdapat

pembuluh darah besar dan struktur lain di mediastinum di tengah.

Paru-paru merupakan organ berbentuk kerucut dengan bagian atas.

Dibagian atas dan tampak sedikit lebih tinggi dari pada klavikula di

dalam dasar leher. Pangkal paru-paru duduk di atas landai rongga

toraks, diatas diafragma. Paru-paru mempunyai permukaan luar yang


menyentuh iga-iga, permukaan dalam yang memuat tampuk paru-paru,

sisi belakang yang menyentuh tulang belakang, dan sisi depan yang

menutupi sebagian sisi depan jantung.

Fisiologi

Menurut (Pearce, 2011) fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida, pada pernafasan pada paru-paru atau pernafasan eksterna,

oksigen dipungut melalui hidung dan mulut pada waktu bernafas, oksigen

masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan

erat dengan darah didalam kapiler pulmonalis. Hanya satu lapisan membran,

yaitu membran alveoli-kapiler, yang memisahkan oksigen dari darah. Oksigen

menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan

di bawa ke jantung. Dari sini dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh.

Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada

tingkat ini hemoglobin 95% jenuh oksigen. Di dalam paru-paru, CO2, salah

satu hasil buangan metabolisme, menembus membran alveolar kapiler dari

kapiler-kapiler darah ke alveoli, dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea,

dilepaskan keluar melalui hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan

dengan pernafasan pulmoner atau pernapasan eksterna :

1. Ventilasi Pulmonar, atau gerak pernafasan yang menukar udara

dalam alveoli dengan udara luar

2. Arus darah melalui paru-paru


3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam

jumlah tepat dapat mencapai semua bagian tubuh

4. Difusi gas yang menembus membran pemisah alveoli dan kapiler.

CO2 lebih mudah berdifusi dari O2.

Proses ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga darah yang meninggalkan-

paru-paru menerima jumlah CO2 dan O2. Pada gerak badan, lebih banyak

darah datang ke dalam paru-paru membawa terlalu banyak CO2 dan lebih

sedikit O2, jumlah CO2 ini tidak dapat dikeluarkan, maka dari itu konsistensi

dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernafasan dalam

otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernafasan. Penambahan

ventilasi ini mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2 (Pearce,

2011).

2.3 Patofisiologi & patoflow diagram

Pada umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke dalam paru bagian

perifer melalui saluran respiratori. Pertama terjadinya edema akibat reaksi

pada jaringan yang mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke

jaringan sekitarnya. Pada bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi,

yaitu terjadinya fibrin, eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman pada

alveoli. Pada stadium ini disebut stadium hepatisasi merah. Selanjutnya,

deposisi fibrin semakin meningkat, terdapat fibrin dan leukosit di alveoli dan

terjadinya sebuah proses fagositosis yang cepat. Stadium ini disebut stadium
hepatisasi kelabu. Kemudian, makrofag meningkat pada alveoli, sel akan

mengalami penurunan, fibrin menipis, kuman dan debris menghilang. Pada

stadium ini disebut stadium resokusi. Pada sistem bronkopulmoner jaringan

paru yang tidak terkena akan tetap normal (Nursalam, 2016).

Seandainya kuman patogen mencapai bronkioli terminalis, cairan edema

kemudian masuk ke dalam alveoli, setelah itu diikuti oleh leukosit dalam

jumlah banyak, kemudian makrofag akan membersihkan debris sel dan

bakteri. Pada proses ini bisa meluas lebih jauh lagi ke lobus yang sama atau

bisa jadi ke bagian yang lain dari paru-paru melalui cairan bronkal yang sudah

terinfeksi. Melalui saluran limfe paru, bakteri dapat mencapai pada aliran

darah dan pleura viscelaris. Karena jaringan paru mengalami penggabungan,

maka dari itu kapasitas vital dan compliancecomaliance paru menurun, serta

aliran darah yang mengalami penggabungan mengalami pirau kanan ke kiri

dengan ventilasi perfusi yang mismatch, sehingga berakibat terjadinya

hipoksia. Kerja jantung mungkin saja meningkat oleh sebab itu, saturasi

oksigen yang menurun dan hipertakpinea. Pada situasi yang berat bisa terjadi

gagal nafas (Nursalam, 2016).


PATHWAY (Gambar. 1. Patoflow diagram, Tim Pokja SDKI DPP, PPNI,2017).

Pneumonia

Bakteri, jamur, dan virus


Intoleransi Aktivitas

Terhirup

Suplai O2
Masuk ke alveoli

Proses peradangan
Compliance paru

Suhu tubuh Infeksi Cairan Eksudat


Pola Nafas
masuk kedalam Disfusi
Tidak Efektif
alveoli

Kerja sel goblet


Hipertermi Gangguan
a Berkeringat, nafsu Produksi sputum Sputum Tertelan
Pertukaran gas Cairan menekan
makan dan minum ke lambung
syaraf frenikus

Kondisi cairan Kondisi cairan


Resiko sputum di jalan sputum di
Hipovolemia nafas lambung Nyeri akut

Bersihan Jalan Nafas Mual dan Defisit


Tidak Efektif Asam lambung muntah Nutrisi
2.4 Pemeriksaan Penunjang

(kata pengantar)

1) Gambaran radiologi

Gambaran radiologi mempunyai bentuk difus bilateral dengan

peningkatan corakan bronkovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang tersebar

di pinggir lapang paru. Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus bawah

(Bennete, 2013).

2) Pemeriksaan laboratorium.

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit.

Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakteri.

Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/ ) dengan

neutrofil yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke

kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan

hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Isolasi

mikroorganisme dari paru, cairan pleura atau darah bersifat invasif sehingga

tidak rutin dilakukan (Bennete, 2013).

Menurut Amin dan Hardhi (2015), pemeriksaan penunjang pneumonia

adalah:

1. Sinar X : mengidentifikasikan distribusi struktural (misal: lobar, bronchial

dapat juga menyatakan abses)

2. Biopsi paru : untuk menetapkan diagnosa


3. Pemeriksaan kultur, sputum, dan darah : untuk dapat mengidentifikasi

semua organisme yang ada

4. Pemeriksaan serologi : membantu dalam membedakan diagnosa

organisme khusus

5. Pemeriksaan fungsi paru : untuk mengetahui paru-paru, menetapkan luas

berat penyakit dan membantu diagnosis keadaan

6. Spiometrik static : untuk mengkaji jumlah udara yang aspirasi

7. Bronkoskopi : untuk menetapkan diagnosis dan mengangkat benda asing.

2.5 Penatalaksanaan

Medis:

Konsolidasi atau area yang menebal dalam paru-paru yang akan tampak pada

rontgen dada mencakup area berbercak atau keseluruhan lobus (pneumonia

lobaris). Pada pemeriksaan fisik, temuan tersebut dapat mencakup bunyi

napas bronkovesikular atau bronchial, krekles, peningkatan fremitus, egofani,

dan pekak pada perkusi. Pengobatan pneumonia termasuk pemberian

antibiotik yang sesuai seperti yang ditetapkan oleh hasil pewarnaan gram.

Selain itu untuk pengobatan pneumonia yaitu eritromisin, derivat tetrasiklin,

amantadine, rimantadine, trimetoprim-sulfametoxazol, dapsone, pentamidine,

ketokonazol.

Untuk kasus pneumonia community base :


1. Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian.

2. Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian.

Untuk kasus pneumonia hospital base :

1. Sefatoksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian.

1) Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian. (Nurarif &

Kusuma, 2015).

Keperawatan:

Kepada penderita yang penyakitnya tidak berat, bisa diberikan antibiotik

per-oral, dan tetap tinggal di rumah. Penderita yang lebih tua dan penderita

dengan sesak nafas atau dengan penyakit jantung atau paru lainnya, harus

dirawat dan antibiotik diberikan melalui infus. Mungkin perlu diberikan

oksigen tambahan, cairan intravena dan alat bantu nafas mekanik.

Kebanyakan penderita akan memberikan respon terhadap pengobatan dan

keadaannya membaik dalam waktu 2 minggu. Penatalaksanaan umum

yang dapat diberikan antara lain :

1. Oksigen 1-2 L/menit.

2. IVFD dextrose 10 % , NaCl 0,9% = 3 : 1, + KCl 10 mEq/500 ml

cairan.

3. Jumlah cairan sesuai berat badan, kenaikan suhu, dan status hidrasi.

4. Jika sesak tidak terlalu berat, dapat dimulai makanan netral bertahap

melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.


5. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin

normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.

6. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Nurarif &

Kusuma, 2015).

2.6 Konsep Asuhan Keperawatan

2.6.1 Pengkajian

Menurut Muttaqin (2016), data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan

dengan pneumonia adalah sebagai berikut:

1. 1. Anamnesis:

a. Identitas kKlien

Meliputi: Nama, Jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku, bangsa,

pendidikan, pekerjaan, tanggal, mrs, diagnosa medis, dan registrasi.

b. Keluhan utama:

- Riwayat penyakit saat ini: yang terjadi pada pasien yaitu tanda

dan gejala umum sistem pernafasan, seperti batuk, batuk

berdahak, produksi sputum berlebih, sesak nafas, dan nyeri

dada. Keluhan yang utama pada bersihan jalan nafas tidak

efektif adalah batuk tidak efektif, mengi, produksi sputum


berlebih dan terdapat suara nafas tambahan seperti wheezing

atau ronkhi. (LeMone, et all, 2016).

- Riwayat penyakit dahulu yaitu: pPenyakit yang pernah diderita

pada masa-masa dahulu seperti adanya riwayat diabetes alergi,

frekuensi ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas), Tb paru,

penggunaan obat-obatan, imunisasi, influenza yang sering

terjadi dalam rentan waktu 3-14 hari sebelum diketahui adanya

penyakit pneumonia (Wahid, 2013).

- Riwayat penyakit keluarga yaitu: riwayat kesehatan keluarga

dihubungkan dengan kemungkinan adanya penyakit keturunan,

penyakit yang menular akibat kontak langsung antara anggota

keluarga (Wahid, 2013).

- Riwayat alergi adalah: ada atau tidaknya riwayat alergi

terhadap obat, makanan, udara dan debu ( Muttaqin, 2016).

c. Pemeriksaan fisik:

a) Keadaan umum: tampak lemas, sesak nafas

b) Kesadaran: tergantung tingkat keparahan penyakit, bisa somnolen 13

c) Tanda-tanda vital: - TD: biasanya normal - Nadi: takikardi - RR:

takipneu, dipsneu, napas dangkal - Suhu: hipertermi

d) Kepala: tidak ada kelainan Mata: konjungtiva nisa anemis


e) Hidung: jika sesak, ada pernafasan cuping hidung Paru: - Inspeksi:

pengembangan paru berat dan tidak simetris, ada penggunaan otot

bantu napas - Palpasi: adanya nyeri tekan, peningkatan vocal fremitus

pada daerah yang terkena. - Perkusi: pekak bila ada cairan, normalnya

timpani - Auskultasi: bisa terdengar ronchi.

f) Jantung: jika tidak ada kelainan, maka tidak ada gangguan

g) Ekstremitas: sianosis, turgor berkurang jika dehidrasi, kelemahan

(Nursalam, 2016).

2.6.2 Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respon

pada pasien terhadap masalah kesehatan atau suatu proses kehidupan yang

dialaminya baik yang berlangsung cara aktual maupun potensial. Diagnosis

keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respon individu pasien, keluarga dan

komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SIKI PPNI,

2018).

Diagnosa keperawatan pada kasus pneumonia berdasarkan pathway, yang mungkin

muncul yaitu:

a) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang

tertahan

b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane

alveolus-kapiler
c) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas

d) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis

e) Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan

f) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit

g) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak simbangan antara suplai

dan kebutuhan oksigen

h) Risiko hipovolemia ditandai dengan kehilangan cairan aktif.

(Tim Pokja SDKI, 2017).

2.6.3 Intervensi keperawatan

Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat

yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai suatu

outcome yang diharapkan (PPNI,2018).

Tabel 2.1 Intervensi keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan

1 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan Observasi:


nafas tidak keperawatan …x 24 jam
efektif diharapkan bersihan jalan 1. Identifikasi kemampuan
berhubungan nafas meningkat dengan batuk
dengan sekresi kriteria hasil : 2. Monitor adanya retensi
tertahan sputum
1. Batuk efektif meningkat 3. Monitor tanda dan gejala
2. Produksi sputum menurun infeksi saluran nafas
3. Mengi menurun 4. Monitor input dan output
4. Wheezing menurun cairan (mis. jumlah dan
5. Dispnea menurun karakteristik).
6. Sianosis menurun
Terapeutik:
7. Frekuensi nafas membaik
8. Pola nafas membaik. 1. Atur posisi semi-fowler
atau fowler
2. Pasang perlak dan
bengkok dipangkuan
pasien
3. Buang sekret pada
tempat sputum

Edukasi:

1. Jelaskan dan prosedur


batuk efektif
2. Anjurkan tarik nafas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik,
kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik
3. Anjurkan tarik nafas
dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah
tarik nafas dalam yang
ke-3.

Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian
mukolitik dan
ekspektora, jika perlu.

2 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Observasi:


pertukaran gas keperawatan … x 24 jam
berhubungan diharapkan pertukaran gas 1. Monitor frekuensi, irama,
dengan meningkat dengan kriteria kedalam dan upaya nafas
perubahan hasil: 2. Monitor pola nafas (seperti
membarne bradipnea, takipnea,
alveolus-kapiler 1. Dispnea menurun hiperventilasi)
2. Bunyi nafas tambahan 3. Monitor kemampuan batuk
menurun efektif
3. Pusing menurun 4. Monitor adanya produksi
4. Penglihatan kabur sputum
menurun 5. Monitor adanya sumbatan
5. Nafas cuping hidung jalan nafas
menurun 6. Palpasi kesimetrisan
6. PCO2 dan PO2 membaik ekspansi paru.
7. Takikardi membaik 7. Auskultasi bunyi nafas
8. Sianosis membaik 8. Monitor saturasi oksigen
9. Pola nafas membaik. 9. Monitor AGD
10.Monitor hasil x-ray toraks

Terapeutik:

1. Atur interval pemantauan


respirasi sesuai kondisi
pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan.

Edukasi:

1. Jelaskan tujuan dan


prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.

3 Pola nafas tidak Setelah dilakukan … x 24 jam Observasi:


efektif diharapkan pola nafas
berhubungan membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor pola nafas
dengan (frekuensi, kedalaman, usaha
hambatan upaya 1. Kapasitas vital meningkat nafas)
nafas 2. Tekanan ekspirasi 2. Monitor bunyi nafas
meningkat tambahan (misalnya
3. Tekanan inspirasi gurgling, mengi, wheezing,
meningkat ronki)
4. Dispnea menurun 3. Monitor sputum (jumlah,
5. Penggunaan otot bantu warna, aroma).
nafas menurun
6. Pernafasan cuping hidung Terapeutik:
menurun 1. Posisikan Semi-fowler atau
7. Frekuensi nafas membaik fowler
8. Kedalaman nafas 2. Berikan minum hangat
membaik 3. Lakukan fisioterapi dada,
9. Ekskursi dada membaik. jika perlu
4. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
5. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi :

1. Anjurkan asupan cairan 2000


ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik. Jika perlu.

4 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan … Observasi:


berhubungan x 24 jam diharapkan tingkat
dengan agen nyeri menurun, dengan kriteria 1. Identifikasi lokasi,
pencedera hasil: karakteristik, durasi,
fisiologis frekuensi, kualitas,
1. Kemampuan intensitas nyeri.
menuntaskan aktivitas 2. Identifikasi skala nyeri
meningkat 3. Identifikasi respon nyeri
2. Keluhan nyeri menurun non-verbal
3. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor yang
4. Sikap protektif memperberat dan
menurun memperingan nyeri
5. Kesulitan tidur 5. Identifikasi pengetahuan
menurun dan keyakinan tentang
6. Frekuensi nadi nyeri
membaik 6. Identifikasi pengaruh
7. Pola nafas membaik budaya terhadap respon
8. Tekanan darah nyeri
membaik 7. Monitor keberhasilan terapi
9. Nafsu makan membaik komplementer yang sudah
10. Pola tidur membaik. diberikan
8. Monitor efek samping
penggunaan analgetik.

Terapeutik:

1. Berikan teknik non


farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang
dapat memperberat rasa
nyeri (misalkan suhu
ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri

Edukasi:

1. Jelaskan penyebab, periode


dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
4. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
5. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa

Kolaborasi:

1. Kolaborasikan dalam
pemberian analgetik

e Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan Observasi:


berhubungan keperawatan diharapkan status
dengan nutrisi membaik, dengan 1. Identifikasi status nutrisi
ketidakmampua kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dari
n menelan intoleransi makanan
makanan 1. Porsi makan yang 3. Identifikasi makanan yang
dihabiskan meningkat disukai
2. Perasaan cepat kenyang 4. Identifikasi kebutuhan
menurun kalori dan jenis nutrient
3. Frekuensi makan membaik 5. Identifikasi perlunya
4. Nafsu makan membaik penggunaan selang
5. Membran mukosa nasogastik
membaik. 6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium.

Terapeutik:

1. Melakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu
2. Fasilitasi menentukan
pedoman diet
3. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan
tinggi kalori dan
tinggi protein
6. Berikan suplemen
makanan, jika perlu.

Edukasi:

1. Anjurkan posisi duduk,


jika perlu
2. Anjurkan diet yang
diprogramkan.

Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan (misalkan pereda
nyeri, antlemetik), jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang
dibutuhkan, jika perlu

6 Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Observasi:


berhubungan keperawatan … x 24 jam
dengan proses diharapkan termoregulasi 1. Identifikasi penyebab
penyakit membaik, dengan kriteria hipertermi
hasil: 2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar elektrolit
1. Menggigil menurun 4. Monitor haluaran urine
2. Kulit merah menurun 5. Monitor komplikasi
3. Suhu tubuh membaik akibat hipertermia.
4. Tekanan darah
membaik Terapeutik:

1. Sediakan lingkungan
yang dingin
2. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
6. Lakukan pendinginan
eksternal (mis. kompres
dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, dan
aksila)
7. Berikan oksigen, jika
perlu.

Edukasi:

1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi:

1. Kolaborasikan
pemberian cairan dan
elektrolit intervena, jika
perlu.

7 Intoleransi Setelah dilakukan tindakan Observasi:


aktivitas keperawatan selama … x 24
berhubungan jam diharapkan intoleransi 1. Identifikasi gangguan
dengan ketidak aktivitas meningkat dengan fungsi tubuh yang
seimbangan kriteria hasil: mengakibatkan
antara suplai dan kelelahan
kebutuhan 1. Saturasi oksigen 2. Monitor kelelahan fisik
oksigen meningkat dan emosional
2. Kemudahan dalam 3. Monitor pola dan jam
melakukan aktivitas tidur
sehari-hari meningkat 4. Monitor lokasi dan
3. Keluhan lelah ketidaknyamanan
menurun selama aktivitas.
4. Dispnea saat aktivitas
menurun Terapeutik:
5. Dispnea setelah
1. Sediakan lingkungan
aktivitas menurun
nyaman dan rendah
6. Sianosis menurun stimulus (mis. cahaya,
7. Tekanan darah suara, kunjungan)
membaik 2. Lakukan latihan rentang
8. Frekuensi nafas gerak pasif dan / atau
membaik aktif
3. Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasi duduk disisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan.

Edukasi:

1. Anjurkan tirah baring


2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
4. Anjurkan koping untuk
mengurangi kelelahan.

Kolaborasi:

1. Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan.

8 Resiko Setelah dilakukan tindakan Observasi:


hipovolemia keperawatan selama … x 24
berhubungan jam diharapkan status cairan 1. Periksa tanda dan gejala
dengan membaik, dengan kriteria hipovolemia (misalnya
kehilangan hasil: nadi teraba lemah,
cairan secara tekanan darah menurun,
aktif 1. Turgor kulit meningkat turgor kulit menurun,
2. Dispnea menurun membrane mukosa
3. Frekuensi nadi kering, dan lemah)
membaik 2. Monitor intake dan
4. Tekanan darah output cairan.
membaik
5. Tekanan nadi membaik Terpeutik:
6. Membrane mukosa 1. Hitung kebutuhan cairan
membaik 2. Berikan asupan secara
7. Suhu tubuh membaik oral.
Edukasi:

1. Anjurkan memberikan
asupan cairan oral.

Kolaborasi:

1. Kolaborasi pemberian
cairan IV isotonis (mis.
NaCl, RL)
2. Kolaborasi pemberian
cairan IV hipotonis (mis.
glukosa 2,5%, NaCl
0,4%)
3. Kolaborasi pemberian
cairan koloid (mis.
albumin, plasmanate).

(PPNI SIKI, 2017).

2.6.4 Implementasi keperawatan

Implementasi merupakan tahap keempat dalam proses keperawatan dimana

rencana keperawatan dilaksanakan melaksanakan intervensi/ aktivitas yang telah

ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan aktivitas

yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi dan

perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus

mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah

dilaksanakan, memantau dan mencatat respon pasien terhadap setiap perencanaan dan

mengkomunikasikan setiap informasi kepada penyedia perawatan kesehatan lainnya.


Selain itu, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi rencana-

rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan selanjutnya (Wilkinson. M. J,

2012).

2.6.5 Evaluasi

Menurut setiadi (2012) dalam buku konsep dan penulisan asuhan


keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi yaitu dengan perbandingan yang
sistematis dan terencana mengenai kesehatan klien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi pada dasarnya adalah
membandingkan status kesehatan pasien dengan tujuan atau kriteria hasil yang
telah ditetapkan (Tarwoto & Wartonah, 2015). Yang dimana evaluasi
keperawatan ini dicatat dan disesuaikan dengan setiap diagnosa keperawatan.
Evaluasi untuk setiap diagnosa keperawatan meliputi data subjektif (S) dan
objektif (O), Analisa permasalahan (A) klien berdasarkan S dan O, serta
perencanaan ulang (P) berdasarkan hasil Analisa data diatas.
References

Amin, & Hardi. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa medis &
Nanda nic, noc. Yogyakarta: Medi Actuion.
Bennete M.J. (2013). Pediatric pneumonia.
https://emedicine.medscape.com/article/967822-overiview. Diakses pada
tanggal 20 mei 2021.
Kemenkes RI. (2011). Universitatis acta agriculturae et silviculturae mendelianae
brunensis (vol. 16, issue 2). https://doi.org/10.1377/hlthaff.2013.0625.
Muttaqin, Arif. (2014). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Ningtiyah. (2015). Perawatan anak sakit ed 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
(EGC).
Nugroho T. (2011). Asuhan keperawatan maternitas, anak bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Nurarif AH & Kisuma AH. (2015). Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
diagnosa medis, Yogyakarta: Penerbit Medication.
Nursalam. (2016). Metodelogi penelitian ilmu keperawatan edisi 3. Jakarta: Salemba
Medika.
Pearce. C. Evelyn. (2011). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT.
Gramedia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan (Edisi 1). Jakarta: DPP PPNI
PPNI, T. Pokja S.D.K.I (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Indikasi
dan indikator Diagnostik (Cetakan II). Jakarta
Robinson & Saputra. (2014). Buku ajar visual nursing (medical-bedah). Jilid 1.
Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
Setiadi. (2012). Konsep dan penulisan dokumentasi asuhan keperawatan teori dan
praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syaifudin. (2016). Ilmu Biomedik Dasar. Jakarta : Salemba Medika.
Tarwoto, Wartonah. (2015). Kebutuhan dasar manusia dan proses keperawatan edisi
5. Jakarta Selatan: Penerbit Salemba Medika.
Wahid. A. Imran. (2013). Keperawatan medikal bedah. Asuhan keperawatan pada
gangguan sistem respirasi. Jakarta: Trans Info Media.
M.J. Wilkinson. (2014). Buku saku diagnosa keperawatan, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai