Anda di halaman 1dari 62

`LAPORAN DISKUSI KELOMPOK PEMICU 1

MODUL RESPIRASI

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 3

1. Ulfa Tunisak (I1011151068)


2. Sonia Elshaddayana Sitompul (I1011171006)
3. Navisa Annisa Firdaus (I1011171023)
4. Ryan Pratama Safitra (I1011171027)
5. Ridha Hasanah (I1011171042)
6. Afifah Nurkarnia (I1011171044)
7. Leonardo Dwiko Yurianto (I1011171045)
8. Gusti Muhammad Dwi Andrean (I1011171059)
9. Pebrianto Nugroho (I1011171071)
10. Anisa Faradiba Ratrin (I1011171075)
11. Raine Ardhita Anggraeny (I1011171081)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Dino dan Aldi mahasiswa Kedokteran Untan yang tinggal di Rusunawa
yang berjarak lebih kurang 1 kilometer dari kampus. Suatu hari mereka
bangun terlambat dan harus berjalan tergesa-gesa dengan setengah berlari
menuju kampus agar tidak terlambat mengikuti perkuliahan yang akan dimulai
pukul 07.30 pagi. Sesampai dikampus, Dino yang berposturgemuk terlihat
“ngos-ngosan” . Dino kembali bernapas seperti biasa setelah istirahat beberapa
saat. Sedangkan aldi yang berpostur atletis dan merupakanseorang atlet basket,
tidak terlihat “ngos-ngosan” dan bernapas biasa saja setelah berjalan bersama
Dino.
1.2. Klarifikasi dan Definisi
-

1.3. Kata Kunci


a. Berjalan tergesa-gesa sejauh 1 km
b. Dino gemuk
c. Aldi kurus
d. Dini terlihat “Ngos-ngosan”
e. Aldi bernafas biasa
f. Aldi atlet basket

1.4. Rumusan Masalah


Dino yang berpostur gemuk terlihat ngos-ngosan setelah berjalan tergesa-
gesa sejauh 1 km, sedangkan Aldi yang berpostur atletis biasa saja.

1.5. Analisis Masalah

Berjalan tergesa-gesa

Aldi Dino

Peningkatan ventilasi Normal ventilasi


Faktor yang VO2 maksimal
mempengaruhi Supply O2 menurun meningkat
pernapasan
Kapasitas paru
Istirahat meningkat

Normal ventilasi

Keseimbangan antara O2 dan CO2


1.6. Hipotesis
Adanya perbedaan adaptasi sistem respirasi antara Dino dan Aldi

1.7. Pertanyaan Diskusi


1. Sistem Respirasi
a. Anatomi
b. Histologi
c. Biokimia
d. Sistem imun
2. Fisiologi sistem kardiovaskuler

a. Mekanisme ventilasi
b. Volume dan kapasitas paru
c. Pertukaran transport gas
3. Mekanisme peningkatan kecepatan pernafasan
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pernafasan
5. Mekanisme sistem adaptasi respirasi pada atlet
6. Faktor yang mempengaruhi pernafasan pada obesitas
7. Hubungan antara peningkatan ventilasi dan kegemukan
8. Surfaktan
9. Resistensi paru dan jalan nafas
10. Uji faal paru
11. Hubungan respirasi dengan aktivitas
12. Perbedaan respirasi pada tekanan udara di dataran tinggi dan rendah
13. Gagal nafas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Respirasi
a. Anatomi
1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga
terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung
terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae.
Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput
lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga
hidung.1

Gambar 1. Anatomi Rongga Hidung1

2. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian
depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada
bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat
terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan
sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran
pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka.
Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan,
bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan
gangguan kesehatan. Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran
bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan
minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi)
untuk suara percakapan.1

3. Batang Tenggorokan (Trakea)


Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak
sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding
tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan pada
bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring benda-
benda asing yang masuk ke saluran pernapasan. Batang tenggorok
(trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam rongga dada,
batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang tenggorok (bronkus). Di
dalam paru-paru, cabang tenggorok bercabang-cabang lagi menjadi
saluran yang sangat kecil disebut bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa
gelembung kecil yang disebut gelembung paru-paru (alveolus).1

Gambar 2. Anatomi Trakea1

4. Pangkal Tenggorokan (laring)


Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang
rawan. Laring berada diantara orofaring dan trakea, didepan lariofaring.
Salah satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis. Epiglotis terletak di
ujung bagian pangkal laring. Laring diselaputi oleh membrane mukosa
yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang cukup tebal sehingga kuat untuk
menahan getaran-getaran suara pada laring. Fungsi utama laring adalah
menghasilkan suara dan juga sebagai tempat keluar masuknya udara.
Pangkal tenggorok disusun oleh beberapa tulang rawan yang membentuk
jakun. Pangkal tenggorok dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok
(epiglotis). Pada waktu menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal
tenggorok dan pada waktu bernapas katu membuka. Pada pangkal
tenggorok terdapat selaput suara yang akan bergetar bila ada udara dari
paru-paru, misalnya pada waktu kita bicara.

Gambar 3. Anatomi Sistem Respirasi1

5. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)


Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu bronkus
kanan dan bronkus kiri. Struktur lapisan mukosa bronkus sama dengan
trakea, hanya tulang rawan bronkus bentuknya tidak teratur dan pada
bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang rawannya melingkari lumen
dengan sempurna. Bronkus bercabangcabang lagi menjadi bronkiolus.
Batang tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus
sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus
bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan(bronkus
primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder),
sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus.
Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-paru
atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah, melalui
kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke
dalam darah. Fungsi utama bronkus adalah menyediakan jalan bagi udara
yang masuk dan keluar paru-paru.1

Gambar 4. Alveolus1

6. Paru-paru
Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m 2
untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung
sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding
dada, basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal
yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya.2
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga
tidak ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang
ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual
merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar
dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang
longgar.2
Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang
membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan
luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik
dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat
cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura.
Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di
dalam rongga.2
b. Histologi
Sistem pernapasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang
yang menghubungkan termpat pertukaran gas dengan lingkungan luar. Sistem
pernapasan biasanya dibagi menjadi struktur saluran napas atas dan bawah.
Secara fungsional, struktur-struktur tersebut membentuk bagian konduksi
sistem, yang terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronki,
bronkiolus, dan bronkiolus terminalis; dan bagian respiratorik (tempat
berlangsungnya pertukaran gas), yang terdiri atas bronkiolus respiratorius,
ductus alveolaris, dan alveoli.3

1. Epitel Respiratorik

Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel bertingkat silindris


bersilia yang dikenal sebagai epitel respiratorik. Epitel ini sedikitnya memiliki
lima jenis sel, yang semuanya menyentuh membran basal yang tebal yaitu sel
silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat, sel granul kecil, dan sel basal.3

Gambar 5. Epitel Respiratorik Rongga Hidung3

Rongga kiri dan kanan terdiri atas dua struktur vestibulum di luar dan
rongga hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling
anterior dan paling lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki
nares (cuping hidung) yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisa (bulu hidung) yang menyaring
partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya
tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum
memasuko fossa nasalis.3

Rongga hidung berada di dalam tengkorak berupa dua bilik kavernosa


yang dipisahkan oleh septum nasi oseosa. Dari setiap dinding lateral, terdapat
tiga tonjolan bertulang mirip rak yang dikenal sebagai conchae. Concha media
dan inferior dilapisi oleh epitel respiratorik; concha superior ditutupi epitel
penghidung khusus.3

Didalam lamina propria concha terdapat pleksus vena besar yang


dikenal sebagai badan pengembang (swell bodies). Setiap 20-30 menit, badan
pengembang pada satu sisi akan penuh terisi darah sehingga mukosa concha
membengkak dan mengurangi aliran udara. Selama masa tersebut, sebagian
besar udara diarahkan melalui fossa nasalis lain sehingga epitel respiratorik
dapat pulih dari dehidrasi.3

Kemoreseptor olfaktorius terletak di epitel olfaktorius, yaitu regio


khusus membran mukosa concha superior yang terletak di atap rongga hidung.
Lamina propria di epitel olfaktorius memiliki kelenjar serosa besar (kelenjar
bowman), yang menghasilkan suatu cairan di sekitar silia penghidu dan
memudahkan akses zat pembau yang baru.3

2. Sinus dan Nasofaring

Sinus paranasalis adalah rongga bilateral di tulang frontal, maksila,


ethmoid, dan sfenoid tengkorak. Sinus-sinus ini dilapisi oleh epitel
respiratorik yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet. Lamina proprianya
mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di
bawahnya. Sinus paranasalis berhubungan langsung dengan rongga hidung
melalui lubang-lubang kecil dan mukus yang dihasilkan dalam sinus ini
terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.3
Nasofaring dilapisi oleh epitel respiratorik dan memiliki tonsila
pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga
tengah.3

3. Laring

Laring adalah saluran kaku yang pendek (4 cm x 4 cm) untuk udara


antara faring dengan trakea. Dindingnya diperkuat oleh kartilago hialin (di
tiroid, krikoid, dan cartilago arytenoid inferior) dan kartilago elastis yang lebih
kecil (di epiglotis, cuneiformis, cornikulatum, dan cartilago arytenoid
superior), yang kesemuanya dihubungkan oleh ligamen.3

Epiglotis yang terjulur keluar dari tepian laring, meluas ke dalam faring
dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Seluruh permukaan lingual dan
bagian apikal permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. Pada
beberapa titik permukaan laringeal di epiglotis, epitelnya beralih menjadi
epitel bertingkat silindris bersilia. Dibawah epiglotis, mukosa laring
menjulurkan 2 pasang lipatan ke dalam lumen laring yaitu plica vestibularis
(pita suara palsu) dan pita suara sejati (plica vocalis).3

4. Trakea

Trakea adalah saluran dengan panjang 12-14 cm dan dilapisi


mukosa respiratorik khas. Di lamina propria, terdapat sejumlah besar kelenjar
seromukosa menghasilkan mukus encer dan di submukosa, 16-20 cincin
kartilago hialin berbentuk C menjaga agar lumen trakea tetap terbuka. Ujung
terbuka dari cincin kartilago ini terdapat dipermukaan posterior trakea,
menghadap esofagus dan dihubungkan oleh suatu berkas polos (m.trachealis)
dan suatu lembar jaringan fibroelastis yang melekat pada perikondrium.
Keseluruhan organ dikelilingi oleh lapisan adventisia.3

Gambar 6. Trakea Bronkus3


Setiap bronkus primer bercabang-cabang dengan setiap cabang yang
mengecil sehingga tercapai diameter sekitar 5 mm. Mukosa bronkus besar
secara struktural mirip dengan mukosa trakea, kecuali pada susunan kartilago
dan otot polosnya. Di bronkus primer, kebanyakan cincin kartilago
sepenuhnya mengelilingi lumen bronkus, tetapi seiring dengan mengecilnya
diameter bronkus, cincin kartilago secara perlahan digantikan lempeng
kartilago hialin. Di lamina propria bronkus terdapat berkas menyilang otot
polos yang tersusun spiral yang menjadi lebih jelas terlihat pada cabang
bronkus yang lebih kecil.3

Gambar 7. Dinding Bronkus3


5. Bronkiolus

Pada bronkiolus yang lebih besar, epitelnya masil epitel bertingkat


silindris bersilia, tetapi semakin memendek dan sederhana sampai menjadi
epitel selapis silindris bersilia atau selapis kuboid di bronkiolus terminalis
yang lebih kecil. Sel goblet menghilang selama peralihan ini, tetapi epitel
bronkiolus terminalis juga mengandug sejumlah besar sel kolumnar lain: sel
bronkiolar eksokrin, yang lazin disebut sel Clara. Sel yang aktif bermitosis ini
menyekresi komponen surfaktan dan memiliki berbagai fungsi pertahanan
yang penting.
Gambar 8. Bronkiolus3

6. Bronkiolus Respiratorius

Mukosa bronchiolus respiratorius secara struktural identik dengan


mukosa bronchiolus terminalis kecuali dindingnya yang diselingi oleh banyak
alveolus tempat terjadinya pertukaran gas. Bagian bronchiolus respiratorius
dilapisi oleh epitel kuboid bersilisa dan sel Clara, tetapi pada tepi muara
alveolus, epitel bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng.3

7. Ductus Alveolaris

Bronchiolus respiratorius bercabang menjadi saluran yang disebut


ductus alveolus yang sepenuhnya dilapisi oleh muara alveoli. Ductus
alveolaris dan alveolus dilapisi oleh sel alveolus gepeng yang sangat halus. Di
lamina propria yang mengelilingi tepian alveolus terdapat anyaman sel otot
polos, yang menyilang di ujung distal ductus alveolaris. Sejumlah besar
matriks serat elastin dan kolagen memberikan sokongan pada duktus dan
alveolusnya. Ductus alveolaris bermuara ke dalam atrium di dia saccus atau
lebih. Serat elastin dan retikular membentuk jalinan rumit yang mengelilingi
muara atrium, saccus alveolaris, dan alveoli. Serat-serat elastin
memungkinkan alveolus mengembang sewaktu inspirasi dan berkontraksi
secara pasif selama ekspirasi. Serat-serat retikular berfungsi sebagai
penunjang yang mencegah pengembangan berlebih dan kerusakan kapiler
halus dan septa alveolar yang tipis.3

Gambar 9. Bronchiolus terminalis, bronchiolus respiratorius dan


alveoli3

8. Alveolus

Alveolus merupakan evaginasi mirip kantong di bronkiolus


respiratorius, ductus alveolaris, dan saccus alveolaris. sel alveolus tipe I
merupakan sel yang sangat tipis yang melapisi permukaan alveolus. Sel tipe I
ini menempati 97% dari permukaan alveolus. Fungsi utama dari sel ini adalah
membentuk sawar dengan ketebalan minimal yang dapat dilalui gas dengan
mudah. Sel alveolus tipe II tersebar di antara sel-sel alveolus tipe I dengan taut
kedap dan desmosom yang menghubungkan dengan sel tersebut. sel tipe II
berbentuk bundar yang biasanya berkelompok dengan dua atau tiga di
sepanjang permukaan alveolus di tempat pertemuan dinding alveolus. Sel ini
berfungsi sebagai penghasil surfaktan, yang berfungsi menurunkan tegangan
permukaan.3
Gambar 10. Dinding Alveolus Pleura3

Permukaan luar paru dan dinding internal rongga toraks dilapisi


oleh suatu membran serosa yang disebut pleura. Membran yang melekat pada
jaringan paru disebut pleura viseralis dan membran yang melapisi dinding
toraks adalah pleura parietalis. Kedua membran tersebut menyatu dihilum dan
keduanya terdiri atas sel-sel mesotel skuamosa selapis yang berada pada
lapisan jaringan ikat tipis yang mengandung serat kolagen dan elastin. Serat-
serat elastin pleura viseral menyatu dengan serat elastin parenkim paru.3

c. Biokimia
Gambar 11. Metode Transfer dalam Darah4
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya
harus diangkut terutama melalui mekanisme di luar pelarutan fisik biasa.
Hanya 1,5% O2 yang secara fisik larut dalam darah, dengan 98,5% lainnya
berikatan secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb).4
Gambar 12. Kurva Disosiasi O2Hb.4
Faktor utama yang menentukan seberapa banyak Hb berikatan
dengan O2 (% saturasi Hb) adalah Po2 darah, digambarkan oleh kurva
berbentuk S yang dikenal sebagai kurva disosiasi O2 Hb. Pada kisaran Po2
kapiler paru (bagian datar pada kurva), Hb tetap hampir jenuh meskipun
Po2 darah turun hingga 40%. Hal ini menghasilkan batas keamanan
dengan memastikan penyaluran O2 mendekati normal ke jaringan
meskipun terjadi penurunan substansial Po2 arteri. Pada kisaran Po2 di
kapiler sistemik (bagiancuram kurva), pembebasan O2 oleh Hb meningkat
pesat sebagai respons terhadap penurunan lokal kecil Po2 darah yang
berkaitan dengan peningkatan metabolisme sel. Dengan cara ini, lebih
banyak O2 yang disalurkan untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang
meningkat.4
Gambar 13. Pengaruh Saturasi Hb Terhadap Suhu dan keasaman4

Peningkatan PCO2, peningkatan asam, dan peningkatan suhu di


tingkat jaringan menggeser kurva O2-Hb ke kanan, mempermudah
pembebasan O2 dari Hb untuk digunakan oleh jaringan. Peningkatan Po2,
keasaman, dan suhu, seperti ditemukan di tingkat jaringan, menggeser
kurva O2-Hb ke kanan. Akibatnya, lebih sedikit O2 yang berikatan dengan
Hb di Poe tertentu sehingga lebih banyak O2 yang dibebaskan dari Hb
untuk digunakan oleh jaringan. Demikian juga, 2,3-bifosfogliserat, yang
produksinya meningkat di sel darah merah ketika HbO2 arteri di bawah
normal dalam jangka waktu lama, menggeser kurva Hb-O2 ke kanan,
membuat lebih banyak O2 terbatas yang tersedia di tingkat jaringan.4
Gambar 14.
Hemoglobin memfasilitasi transfer neto sejumlah besar O2 antara
alveolus dan darah dan antara darah dan sel jaringan dengan berperan
sebagai depot penyimpanan untuk menjaga Po2 (yaitu konsentrasi O2
terlarut) agar tetap rendah, meskipun terdapat peningkatam kandungan O2
total darah. Hemoglobin mempermudah pemindahan neto O2 dalam
jumlah besar dengan bekerja sebagai depo penyimpanan agar P02 tetap
rendah. (a) Dalam suatu situasi hipotetis ketika tidak ada hemoglobin
dalam darah, Po2 alveolus dan Po2 darah kapiler paru berada dalam
keseimbangan. (b) Hemoglobin ditambahkan ke darah kapiler paru. Begitu
mulai berikatan dengan O2, Hb mengeluarkan O2 dari larutan. Karena
hanya O2 larut yang membentuk P02 darah, Po2 darah turun di bawah
Po2 alveolus, meskipun jumlah molekul O2 yang terdapat dalam darah
sama seperti di (a). Dengan "menyerap" sebagian dari O2 yang larut, Hb
mendorong difusi neto lebih banyak O2 menuruni gradien tekanan
parsialnya dari alveolus ke darah. (c) Hemoglobin mengalami saturasi
lengkap oleh O2 dan Po2 alveolus dan darah kembali berada dalam
keseimbangan. Po2 darah yang dibentuk oleh O2 yang larut sama dengan
Po2 alveolus meskipun kandungan O2 total dalam darah jauh lebih besar
daripada di bagian (a) ketika Po2 darah sama dengan Po2 alveolus tanpa
adanya Hb.4
Gambar 15.
Karbon dioksida yang diambil di kapiler sistemik diangkut dalam
darah melalui tiga cara: (1) 10% larut secara fisik, (2) 30% berikatan
dengan Hb, dan (3) 60% mengambil bentuk bikarbonat (HCO3-). Enzim
eritrosit karbonat anhidrase mengatalisis konversi CO2 menjadi HCO3-
sesuai reaksi CO2 + H2O —> + HCO3-. Reaksi-reaksi ini semua berbalik
di paru sewaktu CO2 dieliminasi ke alveolus. Karbon dioksida yang
diambil di jaringan diangkut dalam darah ke paru melalui tiga cara: (1)
larut secara fisik, (2) berikatan dengan hemoglobin (Hb), dan (3) sebagai
ion bikarbonat (HCO3). Hemoglobin hanya terdapat di dalam sel darah
merah, demikian juga karbonat anhidrase, enzim yang mengatalisis
pembentukan HCO3. H4 yang dihasilkan selama pembentukan HCO3-
juga berikatan dengan Hb. Ion bikarbonat berpindah melalui difusi
terfasilitasi menuruni gradien konsentrasinya keluar sel darah merah
menuju plasma, dan klorida (Cl-) berpindah melalui pembawa pasif yang
sama ke dalam sel darah merah menuruni gradien listrik yang tercipta oleh
difusi keluar HCO3-. Di paru, reaksi-reaksi yang terjadi di tingkat jaringan
berbalik arah, tempat CO2 berdifusi keluar darah dan masuk ke alveolus.4
Dinamika reaksi pengikatan O2 oleh hemoglobin menjadikannya
sebagai pembawa O2 yang sangat serasi. Hemoglobin adalah protein yang
dibentuk dari empat sub unit, masing-masing mengandung gugus heme
yang melekat pada sebuah rantai 13 polipeptida. Pada seorang dewasa
normal, sebagian besar hemoglobin mengandung dua rantai α dan dua
rantai β. Heme adalah kompleks yang dibentuk dari suatu porfirin dan satu
atom besi fero. Masing-masing dari keempat atom besi dapat mengikat
satu molekul O2 secara reversibel. Atom besi tetap berada dalam bentuk
fero, sehingga reaksi pengikatan O2 merupakan suatu reaksi oksigenasi,
bukan reaksi oksidasi. Reaksi pengikatan hemoglobin dengan O2 lazim
ditulis sebagai Hb + O2 ↔ HbO2. Karena setiap molekul hemoglobin
mengandung empat unit Hb, maka dapat dinyatakan sebagai Hb4, dan
pada kenyataannya bereaksi dengan empat molekul O2 membentuk
Hb4O8.5
Hb4 + O2 ↔ Hb4O2
Hb4O2 + O2 ↔ Hb4O4
Hb4O4 + O2 ↔ Hb4O6
Hb4O6 + O2 ↔ Hb4O8
Reaksi ini berlangsung cepat, membutuhkan waktu kurang dari
0,01 detik. Deoksigenasi (reduksi) Hb4O8 juga berlangsung sangat cepat.1

d. Sistem Imun
Beberapa mekanisme pertahanan saluran nafas adalah karena bentuk
anatomis saluran nafas itu sendiri.6,7

1. Rongga Hidung

Rongga hidung yang kecil, yang luasnya hanya 0,3 cm2 setiap
sisinya memberi sumbangan yang besar untuk pertahanan saluran nafas.
Mukosa hidung memiliki 8 kelenjar serosa per mm2 permukaan saluran
nafas dibanding satu atau kurang di trakea dan saluran nafas bagian bawah.
Rongga hidung kaya akan anastomosis arteri dan vena, sehingga dapat
meningkatkan suhu udara inspirasi sebanyak 25ºC, antara hidung luar
dengan nasopharing. Juga melindungi saluran nafas bagian bawah dari
partikel-partikel dan gas berbahaya seperti ozone, sulfur dioksida dan
formaldehyde. Rongga hidung terdiri dari 2 struktur yang berbeda, yaitu
vestibulum dan fossa nasalis.6

2. Vestibulum

Vestibulum merupakan bagian rongga hidung paling depan yang


melebar. Permukaan dalam vestibulum mengandung kelenjar sebasea,
kelenjar keringat dan vibrissae, yaitu rambut-rambut pendek dan tebal. Hal
ini mengakibatkan penyaringan udara inspirasi dari partikel-partikel besar,
bahkan serangga.8

3. Fossa Nasalis

Fossa Nasalis merupakan rongga hidung bagian belakang. Fossa


nasalis terdiri dari 2 ruang cavernosa yang dipisahkan oleh tulang septum
nasalis. Dinding lateral fossa nasalis ada yang menonjol ke dalam
berbentuk seperti papan yang disebut concha. Ada 3 buah concha, yaitu
concha nasalis superior, media dan inferior. Concha nasalis superior
diliputi oleh epitel olfactory khusus. Concha nasalis media dan inferior
diliputi oleh epitel respirasi.8

Celah antara concha mengakibatkan penambahan luas permukaan


yang mengandung epitel respirasi dan menimbulkan aliran udara yang
turbulen. Hal ini menyebabkan bertambahnya kontak antara arus udara dan
lapisan mukosa/epitel respirasi Sedangkan di dalam lamina propria concha
terdapat banyak plexus venosus. Hal ini mengakibatkan udara inspirasi
dihangatkan oleh plexus venosus, dilembabkan oleh lapisan mukosa dan
disaring oleh aliran turbulen sebelum masuk ke saluran nafas bagian
bawah.7,8

Aliran turbulen dapat menyaring udara inspirasi, karena udara yang


mengalir melalui saluran hidung membentur banyak dinding penghalang,
yaitu concha nasalis, septum, dan dinding pharing. Setiap kali udara
membentur salah satu penghalang ini, maka udara harus merubah arah
alirannya. Partikel yang tersuspensi di dalam udara, karena mempunyai
massa dan momentum jauh lebih besar dari udara, tidak dapat mengubah
arah perjalanannya secepat udara. Oleh karena itu partikel terus maju ke
depan, sehingga membentur permukaan-permukaan penghalang ini 2 .
Melalui mekanisme ini, hampir tidak ada partikel yang berdiameter lebih
besar dari 2-3 mikron memasuki paru-paru melalui hidung.9

Plexus venosus tampak seperti badanbadan bergelembung (corpus


cavernous). Setiap 20–30 menit, corpus cavernous pada salah satu fossa
nasalis penuh dengan darah, yang mengakibatkan peregangan mukosa
concha, dan hal ini menyebabkan sedikit penyumbatan/penurunan aliran
udara di sisi tersebut. Selama waktu ini, sebahagian besar udara berjalan
melalui fossa nasalis sisi lainnya. Oklusi yang terjadi secara periodik ini
mengurangi aliran udara, sehinga epitel respirasi dapat memperbaiki diri
dari keausan. Reaksi-reaksi alergi dapat menyebabkan pembesaran
abnormal pada korpus kavernosum pada kedua fossa nasalis sampai
mencapai 5 mm dan mengakibatkan gangguan aliran udara yang berat.8

Manfaat pernafasan hidung begitu banyak, oleh karena itu, sangat


dianjurkan bernafas melalui hidung. Hindarilah bernafas melalui mulut,
karena dapat mengakibatkan berbagai macam penyakit.

4. Sel Epitel Saluran nafas

Sel epitel saluran nafas/sel epitel respirasi terdiri dari beberapa


jenis sel. Jenis yang terbanyak adalah sel epitel bersilia. Tiap-tiap sel ini,
memiliki 250 silia pada permukaan apikalnya. Sedangkan di bawah silia,
selain badan basal, terdapat banyak mitokondria. Mitokondria ini akan
menyediakan adenosin trifosfat (ATP) yang diperlukan untuk penggetaran
silia. Sel selanjutnya yang paling banyak adalah sel goblet, yang
menghasilkan tetesan mukus yang kaya akan polisakarida. Sel goblet dapat
berproliferasi dan berubah menjadi sel bersilia. Sel lain adalah ‘brush cell’.
Jumlah sel ini lebih 10% dari sel epitel yang ada. Sel ini memiliki banyak
mikrovili yang terdapat pada permukaan apikalnya, tapi fungsinya belum
diketahui. Sel basal mampu berkembang menjadi sel di atasnya.10

5. Lapisan mukus dan kerja mukosiliaris


Semua permukaan saluran nafas dilapisi oleh lapisan tipis mukus
yang disekresikan oleh membran mukosa sel goblet. Lapisan mukus pada
saluran nafas mengandung faktorfaktor yang efektif sebagai pertahanan,
yaitu immunoglobulin terutama IgA, PMNs, interferon dan antibodi
spesifik. Gerakan silia menyapu/saluran nafas. Silia dan mukus menjebak
debu dan kuman, kemudian memindahkannya ke pharing, karena silia
bergetar ke arah pharing. Partikel asing dan mukus digerakkan dengan
kecepatan 1 cm/menit sepanjang permukaan trakea ke pharing. Begitu juga
benda asing di saluran hidung, dimobilisasi dengan cara yang sama ke
pharing. Aktivitas silia bisa dihambat oleh berbagai zat yang berbahaya.
Sebagai contoh, merokok sebatang sigaret dapat menghentikan gerakan
silia untuk beberapa jam. Hal ini mengakibatkan perokok harus
membatukkan mukus yang normalnya dibersihkan oleh silia.11

6. Refleks Menelan

Tujuan refleks menelan adalah mencegah masuknya makanan atau


cairan ke dalam trakea. Impuls motoris dari pusat menelan yang menuju ke
faring dan bagian atas esophagus diantar oleh saraf kranial V, IX, X dan
XII dan beberapa melalui saraf cervical. Menelan memiliki beberapa
stadium, yaitu stadium volunter, faringeal dan oesofageal.7

Pada stadium volunter, benda ditekan atau didorong ke bagian


belakang mulut oleh tekanan lidah ke atas dan belakang terhadap palatum,
sehingga lidah memaksa benda ke pharing.7

Pada stadium faringeal, palatum mole didorong ke atas untuk


menutup nares posterior, sehingga mencegah makanan balik ke rongga
hidung. Lipatan palatofaringeal saling mendorong ke arah tengah,
kemudian pita suara laring berdekatan dan epiglottis mengayun ke
belakang, sehingga mencegah makanan masuk ke trakea. Laring didorong
ke atas dan depan oleh otot-otot yang melekat pada os hyoid. Gerak ini
meregangkan/ melemaskan pintu oesofagus, maka masuklah makanan ke
sphincter faringoesofageal, kemudian otot konstriktor pharing superior
berkontraksi menimbulkan gelombang peristaltik oesophagus.7,11
Stadium faringeal terjadi terjadi kurang dari 1 atau 2 detik,
sehingga menghentikan nafas selama waktu ini, karena pusat menelan
menghambat pusat pernafasan dalam medulla oblongata.7

Pada stadium oesofageal, gelombang peristaltik berjalan dalam


waktu 5–10 detik. Tetapi pada orang yang berada dalam posisi berdiri,
waktunya akan lebih cepat, yaitu 4–8 detik, karena pengaruh gravitasi.7

7. Refleks Muntah

Tujuan refleks muntah adalah mencegah masuknya makanan atau cairan


ke dalam trakea. Muntah dapat disebabkan oleh rangsangan pada saluran
cerna. Impuls motorik diantar oleh nervus V, VII, X, dan XII ke saluran
cerna bagian atas dan melalui saraf spinal ke diafragma dan otot abdomen.
Muntah terjadi karena perangsangan pada pusat muntah, sehingga terjadi
efek: bernafas dalam, mengangkat os hiod dan laring untuk mendorong
sfingter krikooesofageal terbuka, menutup glottis dan mengangkat palatum
mole untuk menutup nares posterior. Berikutnya timbul kontraksi kuat
yang menuju ke bawah, ke semua otot abdomen sehingga memeras
lambung, dan mengakibatkan tekanan intragastrik yang tinggi. Akhirnya
sfingter gastrooesofageal relaksasi, memungkinkan pengeluaran isi
lambung ke atas melalui oesofagus.7

8. Refleks batuk

Merupakan mekanisme lain yang lebih kuat untuk mendorong


sekresi ke atas sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan.

Bronkus dan trakea sangat peka dengan benda asing ataupun iritasi
lain, sehingga bisa menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina sangat
peka. Bronkiolus terminalis dan alveolus terutama peka terhadap rangsang
kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor. Impuls aferen dari
saluran pernafasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla
oblongata. Di sana suatu rangkaian otomatis digerakkan oleh sirkuit
neuron medulla oblongata, sehingga menyebabkan efek-efek sebagai
berikut:
 Mula-mula 2,5 liter udara dihirup.

 Kemudian epiglottis menutup, dan pita suara menutup dengan erat-


erat untuk menjerat udara di dalam paru-paru.

 Otot perut berkontraksi dengan kuat, yang mendorong diafragma,


begitu juga otot ekspirasi berkontraksi kuat, sehingga tekanan di
dalam paru-paru meningkat menjadi setinggi 100 mm Hg atau lebih.

 Pita suara dan epiglottis tiba-tiba terbuka lebar sehingga udara


bertekanan tinggi di dalam paru-paru ‘meletus’ ke luar. Kecepatan
udara ini bisa 75–100 mil/jam. Udara yang mengalir cepat ini akan
membawa serta benda asing apapun yang ada di dalam bronkus dan
trakea.7

Pada umumnya manusia tidak menyukai batuk, karena batuk


merupakan suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Hal ini tidak
selamanya benar, karena batuk adalah suatu mekanisme pertahanan
alamiah untuk melindungi saluran pernafasan, bahkan dapat menjadi alat
terapeutik untuk melayani suatu tujuan yang pasti. Bagi orang yang
membutuhkannya, batuk bukanlah suatu gangguan, bahkan suatu
mekanisme yang sangat penting untuk membersihkan jalan nafas, contoh
pada penyakit kistik fibrotik. Batuk yang efektif dapat membantu
membersihkan jalan nafas pasien, mempertahankan fungsi paru, dan
memberi kualitas hidup yang lebih baik.12

9. Refleks Bersin

Refleks bersin memiliki kemiripan dengan refleks batuk, hanya


refleks bersin tejadi di saluran hidung, bukan pada saluran nafas bagian
bawah. Rangsang yang memulai refleks bersin adalah iritasi pada saluran
hidung, impuls aferennya berjalan di dalam saraf maksilaris ke medulla
oblongata dimana refleks ini digerakkan. Terjadi serangkaian reaksi yang
mirip dengan yang terjadi pada refleks batuk, di sini uvula tertekan
sehingga sejumlah besar udara mengalir dengan cepat melalui hidung dan
mulut, sehingga membersihkan saluran hidung dari benda asing.7
10. Makrofag alveolar

Merupakan pertahanan yang paling akhir dan paling penting


terhadap invasi benda asing ke dalam paru-paru. Partikel-partikel kecil
yang berdiameter kurang 0,5 mikron bisa masuk ke alveolus contoh asap
rokok yang berdiameter kira-kira 0,3 mikron. Walaupun biasanya 2/3
dikeluarkan kembali bersamasama udara ekspirasi. Tetapi sisanya akan
dikeluarkan oleh makrofag alveolar2 . Makrofag alveolar merupakan sel
fagositik dengan ciri-ciri khas dapat bermigrasi dan mempunyai sifat
enzimatik. Sel ini bergerak bebas pada permukaan alveolus dan bisa
meliputi serta menelan benda asing/ mikroba. Setelah meliputi partikel
mikroba, maka enzim litik yang terdapat dalam makrofag akan membunuh
dan mencernakan mikroorganisme tersebut tanpa menimbulkan reaksi
peradangan yang nyata. Partikel benda asing ini pun kemudian ditranspor
oleh makrofag ke pembuluh lymfe atau ke bronkiolus, dimana mereka
dibuang oleh kerja mucus dan silia.7

2.2 Fisiologi Sistem Respirasi


a. Mekanisme ventilasi

Sebelum inspirasi dimulai, otot-otot pernapasan berada dalam keadaan


lemas, tidak ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus setara
dengan tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama-otot yang berkontraksi untuk
melakukan inspirasi sewaktu bernapas tenang-adalah diafragma dan otot
interkostal ekternal. Diafragma dalam keadaan melemas berbentuk kubah
yang menonjol ke atas ke dalam rongga thoraks. Ketika berkontraksi (pada
stimulasi oleh saraf frenikus), diafragma turun dan memperbesar volume
rongga thoraks dengan meningkatkan ukuran vertikal (atas ke bawah).
Kontraksi otot interkostal elsternal, yang serar-seratnya berjalan ke bawah dan
depan antara dua iga yang berdekatan, memperbesar rongga toraks dalam
dimensi lateral (sisi ke sisi) dan anteroposterior (depan ke belakang). Ketika
berkontraksi, otot interkostal eksternal mengangkat iga dan selanjutnya
sternum ke atas dan ke depan Sebelum inspirasi, pada akhir ekspirasi
sebelumnya, tekanan intraalveolus sama dengan tekanan atmosfer, se hingga
tidak ada udara mengalir masuk atau keluar paru. Sewaktu rongga thoraks
membesar, paru juga dipaksa mengembang untuk mengisi rongga thoraks
yang lebih besar. Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus turun karena
jumlah molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang lebih
besar.13

Pada gerakan inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus turun 1 mm Hg


menjadi 759 mm Hg. Karena tekanan intra-alveolus sekarang lebih rendah
daripada tekanan atmosfer maka udara mengalir ke dalam paru mengikuti
penurunan gradien tekanan dari tekanan tinggi ke rendah. Pada akhir inspirasi,
otot inspirasi melemas. Diafragma mengambil posisi aslinya yang seperti
kubah ketika melemas. Ketika otot interkostal eksternal melemas, sangkar iga
yang sebelumnya terangkat turun karena gravitasi. Tanpa gaya-gaya yang
menyebabkan ekspansi dinding dada (dan karenanya, ekspansi paru) maka
dinding dada dan paru yang semula teregang mengalami recoil ke ukuran
prainspirasinya karena sifat-sifat elastiknya, seperti balon teregang yang
dikempiskan. Sewaktu paru kembali mengecil, tekanan intra-alveoius
meningkat, karena jumlah molekul udara yang lebih banyak yang semula
terkandung di dalam volume paru yang besar pada akhir inspirasi kini
termampatkan ke dalam volume yang lebih kecil. Pada ekspirasi biasa,
tekanan intra-alveolus meningkat sekitar I mm Hg di atas tekanan atmosfer
menjadi 767 mm Hg. Udara kini meninggalkan paru menuruni gradien
tekanannya dari tekanan intra-alveolus yang lebih tinggi ke tekanan atmosfer
yang lebih rendah. Aliran keluar udara berhenti ketika tekanan intra-alveolus
menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan gradien tekanan tidak ada lagi.13

Pertukaran gas di tingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung


secara difusi pasif sederhana O, dan CO, menuruni gradien tekanan parsial.
Tidak terdapat mekanisme transpor aktif untuk gas-gas ini. Perbedaan tekanan
parsial antara darah kapiler dan struktur sekitar dikenal sebagai gradien
tekanan parsial. Terdapat gradien tekanan parsiai antara udara alveolus dan
darah kapiler paru. Demikian juga, terdapat gradien tekanan parsial antara
darah kapiler sistemik dan jaringan sekitar. Suatu gas selalu berdifusi
menuruni gradien tekanan parsialnya dari daerah dengan tekanan parsial tinggi
ke daerah dengan tekanan parsial yang lebih rendah, serupa dengan difusi
menuruni gradien konsentrasi.13

Oksigen yang diserap oleh darah di paru harus diangkut ke jaringan


untuk digunakan oleh sel. Sebaliknya, CO, yang diproduksi di tingkat sel
harus diangkut ke paru untuk dikeluarkan. Oksigen terdapat dalam darah
dalam dua bentuk: larut secara fisik dan secara kimiawi berikatan dengan
hemoglobin Sangat sedikit O, yang larut secara fisik dalam cairan plasma,
karena O, kurang larut dalam cairan tubuh. Jumlah yang larut berbanding
lurus dengan PO2 darah: semakin tinggi PO2 semakin banyak O2 yang larut.
Hemoglobin, suatu molekul protein yang mengandung besi dan terdapat di
dalam sel darah merah, dapat membentuk ikatan yang longgar dan reversibel
dengan O2.13

Pengaturan ventilasi (peningkatan atau penagaturan ventilasi) untuk


memenuhi kebutuhan metabolik dilakukan dengan mengupayakan
keseimbangan antara volume tidal dan frekuensi peernapasan. Pengaturan ini
dilakukan melalui tiga komponen sistem pengontrol pernapasan, yaitu :13
1) Pusat kontrol respirasi (respiratory control centers)
Terletak berpencar di berberapa level, yaitu di batang otak (pons dan
medulla oblongata) serta korteks. Sentrum pernapasan di korteks berperan
untuk pernapasan yang disadari (voluntary) pusat pernapasan yang
disadari ini penting untuk mengatur pernapasan selagi bicara, ,menyanyi
dan mengedan. Sentrum pernapasan di batang otakmerupakan kelompok
neuron luas terletak bilateral di medulla di substansia retikuler
medullaoblongata dan ponsyang berperan dalam pernapasan spontan
(involuntary). Daerah ini dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama
yaitu kelompok pernapasan dorsal yang menyebabkan inspirasi,
kelompok pernasapan ventral yang menyebabkan ekspirasi dan pusat
pneumotaksik yang mengatur kecepatan dan kedalaman napas.
Area inspiratorik pada kelompok pernapasan dorsal memegang
peranan paling mendasar dalam mengatur pernapasan dimana sebagian
besa neuronnya terletak di dalam nucleus traktus solitaries. Nukleus
inimerupakan akhir sensoris dari nervus vagus (N. X) dan nervus
glossofaringeus (N. IX) yang mentransmisikan sinyal sensoris ke dalam
pusat pernapasan dari kemoreseptor perifer, baroreseptor dan berbagai
macar reseptor dalam paru.
Pusat pneumotaksik mentransmisikan sinyal ke area inspiratorik
untuk mengatur titik ”penghentian” inspirasi landai dengan demikian
mengatur lamanya fase pengisian pada siklus paru. Fungsi pusat
pneumotaksik yang utama adalah membatasi inspirasi dan memiliki efek
sekunder terhadap peningkatan kecepatan pernapasan, karena pembatasan
inspirasi juga memperpendek inspirasi dan seluruh periode pernapasan.
Area ekspiratotik pada kelompok pernapasan ventral hampir
seluruhnya tetap inaktif selama pernpasan tenang yang normal.Bila
rangsang pernapasan guna meningkatkan ventilasi paru menjadi lebih
besar dari normal, sinyal respirasi yang dari area inspiratorik (dorsal) akan
akan tercurah ke area ekspiratorik (ventral) sehingga area ekspiratorik
akan turut membantu merangsang pernapsan ekstra. Neuron -neuron pada
area pernapasan ventral tersebut akan menghasilkan sinyal ekspirasi yang
kuat ke otot -otot abdomen selama ekspirasi yang sangat sulit. Dengan
demikian area ini lebih berperan sebagai suatu mekanisme pendorong bila
dibutuhkan ventilasi paru yang besar, khususnya selama latihan fisik yang
berat.
2) Efektor pernapasan (respiratory effectors)
Transmisi impuls dari pusat napas ke otot pernapasan
berjalan melalui Nervusfrenikusyang menuju diafragma, yang berasal dari
radixsaraf C3-C5. Blokade atau paralisisnervusfrenikus unilateral hanya
sedikit mengurangi fungsi pulmoner (sekitar 25%) pada orangnormal.
Walaupun paralisis pada nervus frenikus bilateral menyebabkan gangguan
yang lebih berat, aktivitas otot penyokong pernapasan mempertahankan
ventilasi yang adekuat pada sebagian pasien. Otot-otot intercostaldisarafi
oleh radix saraf thoraks masing-masing. Cedera kordaservikal di atas C5
tidak sesuai dengan ventilasi spontan karena baik nervusfrenikus maupun
interkostalis sama-sama dikenai. Nervus aksesorius menuju ke muskulus
sternokledomastoideus serta nervus servikalis inferior ke muskulus
skalenus.
Nervus vagus memberikan inervasisensorik pada
percabangan tracheobronchial. Terdapatinervasiautonomik simpatik
maupunparasimpatik pada otot polos bronchial dan kelenjar sekretorik.
Aktivitas vagal memediasi bronkokonstriksi dan meningkatkan sekresi
bronchial melalui reseptor muskarinik. Aktivitas simpatik (T1-T4)
memediasi bronkodilasi dan juga menurunkan sekresi melalui reseptor β2
adrenergik. Reseptor α- dan β-adrenergik terdapat pada vaskular paru,
terapi sistem simpatik normalnya memiliki efek yang kecil pada tonus
vaskuler paru. Aktivitas α1-menyebabkan vasokonstriksi; aktivitas β2
memediasi vasodilatasi. Aktivitas vasodilatasiparasimpatik tampak
dimediasi melalui pelepasan nitricoxide.
3) Sensor pernapasan (respiratory sensors)
Sensor pernapasan terdiri dari kemoreseptor sentral,
kemoreseptor perifer, reseptor sensoris di dinding dada, serta reseptor
sensoris didalam paru. Kemoreseptor sentral terletak pada area
kemosensitif yang terletak sepersekian millimeter dibawah permukaan
ventral medulla oblongata. Area ini merespons dengan cepatsetiap
peningkatan konsentrasi CO2 ataupun peningkatan konsentrasi ion H+
dengan menambah ventilasi. Hipoksia tidak berperan sebagai stimulant
terhadap kemoreseptor sentral, melainkan menekan kemoreseptor ini.
Sebaliknya kemoreseptor perifer yang terletak di bifurkasio arteri karotis
dan sepanjang arkus aorta diaktifkan oleh hipoksia dan oleh CO 2 dan ion
H+. Pada suasana normal, reseptor ini sangat peka dan menjaga Pa CO2 tetap
konstan walaupun ada peubahan produksi CO2. Sensor pernapasan juga
peka terhadap penurunan tekanan darah seperti yang didapatkan pada
shockyang mengakibatkan terjadinya hiperventilasi. Kemoreseptor sentral
hanya berperan linier terhadap PaO2, sedangkan kemoreseptor perifer
hanyamenyebabkan kenaikan ventilasi bila terjadi hipoksemia yang
signifikan (PaO2<60 mmHg). Mekanoreseptor pada dinding dada bereaksi
terhadap penegangan otot dinding interkostal yang secara reflex mengatur
irama pernapasan dan dalamnya tarikan napas.

b. Volume dan kapasitas paru14

Paru dapat diisi sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau
dikosongkan sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru
bervariasi dari sekitar 2 sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata
sebesar 500 ml keluar masuk paru tiap kali seseorang bernapas. Volume dan
kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan.
Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui
besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.

a. Volume tidal

Merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru setiap kali


inspirasi atau ekspirasi pada setiap pernapasan normal. Nilai rerata pada
orang sehat kondisi istirahat adalah 500 ml.

b. Volume cadangan inspirasi

Merupakan volume udara tambahan pada inspirasi maksimal


melebihi volume tidal, digunakan pada saat aktivitas fisik. Volume
cadangan inspirasi dihasilkan oleh adanya kontraksi maksimal diafragma,
musculus intercostalis eksternus dan otot inspirasi tambahan. Nilai ratarata
pada orang sehat sekitar 3.000 ml.

c. Volume cadangan ekspirasi

Merupakan volume udara tambahan yang dapat secara aktif


dikeluarkan dari dalam paru melalui kontraksi otot ekspirasi secara
maksimal setelah ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar
1.000 ml.

d. Volume residual
Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru
setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200
ml.

e. Kapasitas vital

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dikeluarkan selama


satu kali bernapas setelah inspirasi maksimal, bermanfaat untuk menilai
kapasitas fungsional paru. Subyek mula-mula melakukan inspirasi
maksimum, kemudian melakukan ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata
pada orang sehat sekitar 4.500 ml.

f. Kapasitas inspirasi

Merupakan volume udara maksimal yang dapat dihirup pada akhir


ekspirasi biasa. Nilai rata-rata pada orang yang sehat adalah sekitar 3.500
ml.

g. Kapasitas residual fungsional

Merupakan volume udara dalam paru pada akhir ekspirasi pasif


normal. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 2.200 ml.

h. Kapasitas total paru

Merupakan volume udara dalam paru sesudah inspirasi maksimal.


Kapasitas total paru merupakan penjumlahan dari keempat volume paru 15
atau penjumlahan dari kapasitas vital dengan volume residual Nilai rata-
rata pada orang sehat sekitar 5.700 ml.
Gambar 16. Spirogram Normal pada Dewasa Muda (Diagram yang
memperlihatkan peristiwa pernapasan selama bernapas normal, inspirasi
maksimal dan ekspirasi maksimal)14
c. Pertukaran tranpor gas13

Tujuan bernapas adalah secara terus menerus memasok O2 segar untuk


diserap oleh darah dan secara konstan mengeluarkan CO2 dari darah. Darah
bekerja sebagai sistem transport untuk O2 dan CO2 antara paru dan jaringan,
dengan sel jaringan mengekstraksi oksigen dari darah dan mengeliminasi
karbon dioksida ke dalamnya.

1. Gas mengalir menuruni gradient tekanan parsial

Pertukaran gas pada kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara
difusi pasif sederhana O2 dan CO2 menuruni gradient tekanan parsial.
Tekanan yang ditimbulkan oleh tiap gas dalam suatu campuran gas dikenal
sebagai tekanan parsial yang dilambangkan dengan Pgas. Karena itu, tekanan
parsial O2 dalam udara atmosfer, PO2, normalnya adalah 160 mm Hg.
Tekanan parsial CO2 atmosfer, PCO2, hamper dapat diabaikan (0,23 mm Hg).
Gas-gas yang dimaksud larut dalam cairan misalnya darah ataupun cairan
tubuh lainnya hal tersebut juga menimbulkan tekanan parsial. Semakin besar
tekanan parsial suatu gas dalam suatu cairan, maka semakin banyaklah gas
tersebut larut.

Perbedaan dalam tekanan parsial antara darah kapiler dan struktur sekitar
dikenal sebagai gradient tekanan parsial. Terdapat gradient tekanan parsial
antara udara alveolus dan darah kapiler paru. Demikian juga, terdapat gradient
tekanan parsial antara darah kapiler sistemik dan jaringan sekitar. Sutu gas
selalu berdifusi menuruni gradient tekanan parsialnya dari daerah dengan
tekanan parsial tinggi ke daerah tekanan parsial yang lebih rendah, serupa
dengan difusi menuruni gradient konsentrasi.

Perbedaan dalam ventilasi, perfusi, dan rasio ventilsi-perfusi di bagian atas


dan bawah paru yang disebabkan oleh efek gravitasi. Dikatan bahwa paru paru
bagian atas menerima lebih sedikit udara dan darah daripada paru paru bagian
bawah, tetapi paru-paru bagian atas secara relative menerima lebih banyak
udara daripada darah dan paru-paru bagian bawah secara relative menerim
lebih sedikit udara daripada darah.

2. Faktor-faktor diluar gradient tekanan parsial memengaruhi kecepatan


pemindahan gas

Pertama di pengaruhi oleh efek luas permuakaan pada pertukaran gas. Laju
pertukaran gas berbanding lurus dengan luas permukaan tempat terjadinya
pertukaran gas tersebut. Pada pendderita emfiema, luas Bronkitis adalah salah
satu kondisi teratas yang pasien mencari perawatan medis.Hal ini ditandai
dengan peradangan Berdasarkan saluran bronkial (atau bronkus), saluran
udara yang membentang dari trakea ke dalam saluran udara kecil dan
alveoli.Bronkitis ada 2 macam menurut terminologi lamanya penyakit
berdiam didalam tubuh penderita yaitu bronkitis akut dan bronkitis
kronik.Penelitian yang sering dilakukan juga banyak mengacu ke pembagian
bronkitis tersebut. permukaan berkurang karena banyak dinding alveolus yang
lenyap sehingga ruang-ruang udara menjadi lebih besar tetapi pemindahan
gasnya terjadi lebih sedikit. Yang kedua efek ketebalan pada pertukaran gas
dan yang ketiga efek konstanta difusi pada pertukaran gas.
Tujuan utama bernapas adalah memasok O2 segar secara kontiyu untuk
diserap oleh darah dan mengeluarkan CO2 dari darah. Darah bekerja sebagai
sistem transpor untuk O2 dan CO2 antara paru dan jaringan , dengan sel
jaringan mengekstraksi dan mengeliminasi CO2 kedalamnya . Pertukaran gas
ditingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlansung secara difusi pasif
sederhana O2 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial.Tekanan parsial
adalah tekanan yang ditimbulkan secara independen oleh masing-masing gas
dalam suatu campuran gas, gas-gas yang larut dalam cairan tubuh lain juga
menimbulkan tekanan parsial, semakin besar tekanan parsial suatu gas dalam
cairan, semakin banyak gas terlatutnya.Perbedaan tekanan parsial antar kapiler
darah dan struktur sekitar dikenal sebagai gradien tekanan parsial.Suatu gas
selalu beerdifusi menuruni gradien tekanan parsialnya dari daerah dengan
tekanna parsial tinggi ke daerah dengan tekanan parsial yang rendah.

2.3 Mekanisme peningkatan kecepatan pernafasan15

Kita telah membahas difusi O. dan CO, antara alveolus dan darah seolah-
olah hanya gradien tekanan parsial gas yang menentukan kecepatan difusinya.
Menurut hukum difusi Fick, kecepatan difusi suatu gas melalui suatu lembaran
jaringan bergantung pada luas permukaan dan ketebalan membran yang harus
dilewati oleh gas yang berdifusi serta koefisien difusi gas tersebut . Perubahan
pada kecepatan pertukaran gas dalam keadaan normal ditentukan terutama oleh
perubahan gradien tekanan parsial antara darah dan alveolus, karena faktor-faktor
lain relatif konstan dalam keadaan istirahat. Namun, pada keadaan di mana faktor-
faktor lain ini mengalami perubahan, perubahan tersebut mengubah kecepatan
rransfer gas di paru.

2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pernafasan


1. Umur
Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur.
Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi
penurunan fungsi paru. Kebutuhan zat tenaga terus meningkat sampai
akhirnya menurun setelah usia 40 tahun berkurangnya kebutuhan tenaga
tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik.16
Dalam keadaan normal, usia juga mempengaruhi frekuensi pernapasan
dan kapasitas paru. Frekuensi pernafasan pada orang dewasa antara 16 kali
permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan pada bayi sekitar
30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa pernapasan frekuensi
pernafasan lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak dan bayi, akan tetapi
KVP pada orang dewasa lebih besar dibanding anak- anak dan bayi. Dalam
kondisi tertentu hal tersebut akan berubah misalnya akibat dari suatu penyakit,
pernafasan bisa bertambah cepat dan sebaliknya.17
2. Jenis Kelamin
Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25%
lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang
bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis. Kapasitas paru
pada pria lebih besar yaitu 4,8 L dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L. 18
3. Riwayat Penyakit Paru
Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang.
Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit. 18
4. Status Gizi
Gizi kerja merupakan nutrisi yang diperlukan oleh para pekerja untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Segala sesuatu aspek dari
ilmu gizi pada umumnya, maka gizi kerja ditujukan untuk kesehatan dan daya
kerja tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Kesehatan dan aktifitas sehari-hari
sangat erat hubungannya dengan tingkat gizi seseorang. Tanpa makan dan
minum yang cukup kebutuhan energi untuk beraktifitas akan diambil dari
cadangan yang terdapat dalam cadangan sel tubuh. Kekurangan makanan yang
terus-menerus akan menyebabkan susunan fisiologi terganggu.18
5. Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernafasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar , sel mukosa
membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran
pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat
bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi
peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan
anatomi saluran nafas, pada perokok timbul perubahan fungsi paru dan segala
macam perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama terjadinya penyakit
obstruksi menahun. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal
paru. Penurunan volume ekspirasi paksa pertahun adalah 28,7 mL untuk non
perokok, 38,4 mL untuk bekas perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif.19

Inhalasi asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan


penyakit saluran pernafasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi paru-
paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan kapasitas
vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja.16

Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi pernafasan, diantaraya :20

a. Suplai oksigen yang adekuat, apabila suplai oksigen terganggu disebabkan


tercampurnya udara yang dihirup dengan gas-gas inert, asap, keracunan CO2
menyebabkan nyeri kepala, sesak nafas, lemah, mual, berkeringat, penglihatan
kabur, pendengaran berkurang dan mengantuk.

b. Saluran udara yang utuh dimana tidak ada hambatan saluran udara yang
mengalirkan O2 melalui trakheobronkhial menuju membran alveolus kapiler.

c. Fungsi pergerakan dinding dada dan diafragma yang normal. Jika fungsi
dinding dada lemah akan mempengaruhi pernafasan. Penyebabnya trauma
pada dinding dada yang mengakibatkan fraktur iga.

d. Adanya alveoli dan kapiler yang bersama-sama berfungsi membentuk unit


pernafasan terminal dalam jumlah yang cukup.

e. Jumlah haemoglobin yang adekuat untuk membawa O2pada sel-sel tubuh.

f. Suatu sistem sirkulasi yang utuh dan pompa jantung yang efektif.

g. Berfungsinya pusat pernafasan

2.5 Mekanisme sistem adaptasi pada atlet


Latihan/olahraga yang dilakukan dengan level yang tinggi dapat
mengakibatkan stress yang ekstrim pada tubuh. Perbandingannya sebagai berikut
seseorang yang sakit demam akan mengalami peningkatan metabolisme 100% di
atas normal, tetapi seorang atlet marathon metabolisme di dalam tubuhnya akan
meningkat 2000% di atas normal. ventilasi paru-paru umumnya diketahui
mempunyai hubungan linear dengan konsumsi oksigen pada tingkat latihan yang
berbeda. Pada saat latihan yang intensif konsumsi oksigen akan meningkat.
Seorang atlet yang latihan teratur mempunyai kapasitas paru yang lebih besar
dibandingkan dengan individu yang tidak pernah berlatih. Nilai ventilasi paru
pada saat istirahat, latihan sedang dan berat dilihat pada tabel berikut :21

Gambar 17. Nilai ventilasi paru pada saat istirahat, latihan sedang dan berat.21

Pada kondisi normal laju respirasi selama istirahat dalam lingkungan


termonetral yaitu 12 kali/menit, dan tidal volume 500 ml. Dengan demikian
volume udara pernapasan dalam satu menit (minute ventilation) sama dengan 6
liter. Namun pada saat latihan yang intesif laju respirasi meningkat 35-45
kali/menit. Pada seorang atlet yang terlatih laju respirasi dapat mencapai 60-70
kali/menit selama latihan maksimal. Tidal volume juga meningkat 2 liter atau
lebih selama latihan. Pada atlet pria, ventilasi paru dapat meningkat 160
liter/menit selama latihan maksimal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
volume ventilasi paru dalam satu menit dapat mencapai 200 liter, bahkan pada
atlet football profesional dapat mencapai 208 liter 22

Terdapat hubungan yang kecil antara volume dan kapasitas paru dengan
bermacam-macam jenis olah raga. Seperti pada pelari maraton dibandingkan
dengan yang bukan pelari dengan ukuran tubuh yang sama, tidak ada perbedaan
yang nyata untuk nilai fungsi paru (seperti dilihat pada tabel di bawah). Lebih
besarnya volume paru dan kemampuan respirasi pada seorang atlet dimungkinkan
karena faktor genetik. Beberapa peningkatan fungsi paru merupakan refleks
kekuatan otot paru-paru terhadap latihan yang spesifik.

Gambar 18. Hasil pengukuran anthropometrik tubuh, fungsi paru, dan ventilasi
paru dalam satu menit.22

Volume paru berhubungan dengan ukuran badan, dimana seorang yang


tubuhnya besar mempunyai paru yang besar. Volume paru ditentukan juga oleh
luas permukaan tubuh untuk pertukaran gas. Salah satu kemungkinannya adalah
volume paru dan luas permukaan yang besar dapat memberikan keuntungan untuk
pertukaran gas pada saat latihan aerobic. Namun hal tersebut tidak terlihat pada
kasus tertentu, seperti pelari marathon mempunyai volume paru yang tidak
berbeda dengan seorang yang bukan pelari dengan ukuran tubuh yang sama. Luas
permukaan paru yang besar ditemukan pada seorang yang memerlukan pertukaran
gas lebih banyak, seperti pada atlet perenang mempunyai volume paru yang besar
dibandingkan dengan bukan perenang. Volume paru yang besar pada seorang
perenang mungkin karena perubahan adaptif pada saat respirasi 23

2.6 Faktor yang mempengaruhi pernafasan pada obesitas24

1. Perubahan mekanika respirasi/kemampuan regangan paru

Obesitas, khususnya pada penderita obesity hiperventilation syndrome


(ORS), menyebabkan penurunan kemampuan regangan (compliance) paru,
dinding thorax, dan system pernafasan secara keseluruhan. Penurunan
compliance ini disebabkan oleh bertambahnya volume darah pulmoner dan
kolapsnya saluran napas terminal. Kelebihan berat badan memberikan beban
tambahan pada thorax dan abdomen dengan akibat peregangan yang
berlebihan pada dinding thorax. Selain itu, otot-otot pernapasan harus bekerja
lebih keras untuk menghasilkan tekanan negatif yang lebih tinggi pada rongga
pleura untuk memungkinkan aliran udara masuk saat inspirasi. Pada penderita
obesitas sederhana (simple obesity, tanpa ORS) compliance paru mungkin
normal atau mendekati normal. Dengan demikian diduga ada mekanisme lain
yang menyebabkan timbulnya perubahan compliance pada penderita ORS.

2. Peningkatan tahanan sistem pernapasan

Tahanan sistem pernapasan secara keseluruhan mengalami peningkatan


pada penderita obesitas. Pada penderita obesitas sederhana peningkatan terjadi
sekitar 30%, sedangkan pada penderita ORS dapat mencapai 100%.
Peningkatan ini kemungkinan besar berkaitan dengan peningkatan tahanan
pada saluran napas kecil (bukan saluran napas besar) karena ternyata volume
paru berkurang. Dengan demikian rasio FEV/FVC akan tetap normal (selama
tidak dijumpai penyakit paru obstruksif). Tahanan 20 ini makin meningkat bila
penderita berbaring terlentang karena beban masa yang ditimbulkan oleh
lemak di daerah supra-Iaring pada saluran napas, dan peningkatan aliran darah
pulmoner, yang pada akhirnya mengakibatkan saluran napas makin
menyempit. Pada posisi terlentang juga terjadi penurunan kapasitas residual
fungsional (functional recidual capasity (FRC)) yang akan menambah tahanan
saluran napas.

3. Perubahan pola pernapasan/respiratory drive

Sebagian besar penderita obesitas adalah eukapnik. Namun sebagian kecil


di antaranya (terutama penderita ORS) mengalami peningkatan PaCO2 secara
kronis. Baik kelompok penderita obesitas sederhana maupun ORS mengalami
perubahan pola pernapasan, namun masing-masing memiliki pola yang
berbeda. Sebagai usaha untuk mengompensasi peningkatan beban pada otot
pernapasan, penderita obese mengalami peningkatan respiratory drive yang
mengakibatkan peningkatan ventilasi semenit (minute ventilation (Ve).
Penderita obese eukapnik mengalami peningkatan frekuensi napas sekitar
25%-40% dibandingkan orang normal, sedangkan volume tidalnya (Vt) tetap
normal baik pada saat istirahat maupun saat aktivitas fisik. Eukapnia juga
tetap dipertahankan akibat terjadi peningkatan rangsangan saraf pada otot
pernapasan, dan peningkatan respons pernapasan terhadap hipoksia. Penderita
obese eukapnik juga mengalami perubahan central breath timing (penurunan
waktu ekspirasi) sebagai akibat perubahan compliance sistem pernapasan.
Penderita obesitas sederhana menunjukkan penurunan respon pernapasan
terhadap CO2 dibandingkan penderita non-obese. Dibandingkan penderita 21
obesitas sederhana, penderita ORS mengalami peningkatan frekuensi napas
sebesar 25% dan penurunan Vt sebesar 25%. Penurunan Vt menyebabkan
gangguan ventilasi alveolar. Perubahan mekanika dinding thorax atau
gangguan fungsi otot pernapasan menyebabkan berkurangnya kemampuan
penderita untuk mengoreksi PaCO2 selama manuver hiperventilasi volunter.
Selain itu, didapatkan pula penurunan respon tekanan oklusi rongga mulut
terhadap perubahan CO2. Keduanya mengindikasikan bahwa pada penderita
ORS terjadi perubahan pola pernapasan akibat abnormalitas respiratory drive.
Secara umum, penderita ORS memiliki gangguan respon pernafasan terhadap
perubahan CO2 dan hipoksia yang lebih berat dibandingkan penderita obesitas
sederhana.

4. Kekuatan dan ketahanan otot pernapasan


Kekuatan otot-otot inspirasi dan ekspirasi mungkin sedikit terganggu pada
penderita ORS. Penyebabnya belum diketahui dengan pasti, namun diduga
berkaitan dengan infiltrasi lemak pada otot-otot dan peregangan berlebihan
pada otot diafragma. Ketahanan otot-otot pernapasan yang diukur dengan
manuver ventilasi volunter maksimal (maximal voluntary ventilation (MVV))
juga menurun.

5. Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas pada obesitas tergantung pada derajat keparahan


obesitas, apakah penderita termasuk obesitas sederhana atau OHS. Penderita
obesitas ring an hingga sedang memiliki PaCO2 yang normal. 22 Penderita
dengan obesitas sederhana mengalami penurunan PaCO2 dan perbedaan
tekanan oksigen alveolar dan arteri yang makin lebar. Abnormalitas tersebut
makin parah pada penderita OHS. Penderita OHS mengalami hipoksemia,
baik pada siang maupun malam hari. Hipoksemia ini disebabkan oleh
ketidaksetaraan ventilasi/perfusi (V/Q) dan shunting pada bagian paru
(khususnya bagian basal) yang mengalami atelektasis dan oklusi saluran napas
tetapi masih tetap mendapatkan perfusi yang normal. Dibandingkan penderita
obesitas sederhana, pada penderita OHS didapatkan fraksi shunting yang lebih
besar (±40% curah jantung) dan rasio V/Q yang lebih rendah.
Hipoventilasi ikut berperan pada terjadinya hipoksemia pada penderita
OHS. Hipoksemia ini makin berat bila penderita berbaring terlentang, karena
FRC (Forced Residual Capasity) akan makin berkurang.Pada penderita OHS
PaCO2 meningkat. Hal ini mungkin disebabkan oleh abnormalitas respiratory
drive dan peningkatan beban kerja pernapasan. Pada kondisi dimana terjadi
peningkatan baban kerja pernapasan yang berlebihan maka hipoventilasi dan
toleransi terhadap PaCO2 yang lebih tinggi merupakan mekanisme
kompensasi untuk mencapai efisiensi energi. Kemoreseptor pada susunan
saraf pusat kemudian menyesuaikan diri terhadap peningkatan PaCO2 yang
menyebabkan berkurangnya respiratory drive. Beberapa faktor yang lain,
termasuk OSAS, diameter saluran napas bagian atas yang kecil, dan obesitas
sendiri ikut berperan pada patogenesis OHS.
6. Peningkatan beban kerja pernapasan

Beban kerja pernapasan adalah banyaknya energi yang dibutuhkan dalam


proses pernapasan. Untuk mengukur banyaknya energi yang dibutuhkan
tersebut digunakan ukuran antara berupa banyaknya oksigen yang dikonsumsi
oleh otot-otot pernapasan untuk tiap liter ventilasi (oxygen cost). Pada
penderita obesitas berat oxygen cost meningkat beberapa kali lipat. Secara
keseluruhan terjadi peningkatan beban kerja pernapasan pada penderita
obesitas karena peningkatan oxygen cost, penurunan kemampuan regangan
jaringan paru (compliance), peningkatan tahanan sistem pernapasan,
peningkatan nilai ambang beban inspirasi akibat massa jaringan lemak yang
berlebihan. Penderita OSAS (obesity sleep apneu syndrome) juga mengalami
peningkatan tahanan saluran napas di daerah faring dan nasofaring yang
berkorelasi dengan indeks masa tubuh (IMT) dan semakin meningkatkan
beban kerja pernapasan. Penderita obesitas sederhana mengalami peningkatan
beban kerja pernapasan sebesar 60% dibandingkan orang normal, sedangkan
penderita OHS mengalami peningkatan sebesar 250% .

7. Berkurangnya toleransi aktivitas fisik

Kebanyakan penderita obesitas mengalami hambatan untuk melakukan


aktivitas fisik. Beberapa mekanisme berperan pada berkurangnya toleransi
aktivitas fisik tersebut. Sebagian besar penelitian tentang aktivitas fisik dan
obesitas dilaksanakan pada penderita obesitas sederhana. Laju metabolisme
tubuh pada saat istirahat mengalami peningkatan. Penderita obese
mengonsumsi oksigen 25% lebih banyak 24 dibandingkan non-obese. Hal ini
makin bertambah saat penderita melakukan aktivitas fisik. Banyaknya energi
yang dibutuhkan untuk menggerakkan massa tubuh merupakan salah satu
penyebab meningkatnya beban metabolisme untuk menghasilkan kerja ringan
hingga sedang. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen ikut
berperan pada peningkatan beban kerja ventilasi. Hal ini akan memicu
semakin meningkatnya denyut jantung dan frekuensi pernapasan pada saat
puncak aktivitas fisik, walaupun aktivitas fisik yang dikerjakannya hanya
submaksimal. Dengan demikian penderita obese akan mengalami penurunan
kemampuan melakukan aktivitas fisik walaupun kondisi kardiovaskulernya
cukup sehat. Konsumsi oksigen maksimal (VO2 max) yang dinyatakan dalam
ml/kg berat badan/menit adalah rendah dan berbanding terbalik dengan
persentase lemak tubuh. Perbandingan nilai ambang anaerobik terhadap berat
badan juga menurun. Semua perubahan tersebut menimbulkan sensasi sesak
napas dan mengakibatkan penderita obese cenderung mengurangi tingkat
aktivitas fisiknya (deconditioning). Faktor kardiovaskuler juga ikut berperan.
Penderita hipoksemia kronik denganltanpa gangguan pernapasan saat tidur
akan mengalami hipertensi pulmoner. Akibatnya akan timbul gangguan fungsi
ventrikel kanan dan kiri pada saat aktivitas.
Disfungsi diastolik juga dapat terjadi bila terdapat hipertensi, iskemia
miokard, penyakit mikrovaskuler (biasanya terkait dengan diabetes) seringkali
dijumpai pada penderita obesitas. Gangguan muskuloskeletal (misalnya
kesulitan berjalan dan rasa nyeri akibat artritis) akan makin membatasi
aktivitas penderita. Semua faktor tersebut 25 menyebabkan menurunnya
kapasitas fungsional penderita obesitas berat akan makin sulit melaksanakan
aktivitas sehari-hari. Mekanisme penurunan toleransi aktivitas fisik pada
obesitas, yaitu:
a. Peningkatan laju metabolisme saat istirahat dan saat aktivitas
b. Beban metabolisme yang tinggi untuk menggerakkan massa tubuh
c. Perubahan mekanika dinding thorax dan abdomen
d. Rendahnya cadangan ventilasi dan kardiovaskuler
e. Rendahnya nilai ambang anaerobic
f. Sesak napas
g. Hipertensi pulmoner
h. Disfungsi diastolic
i. Iskemia miokard
j. Penyakit pembuluh darah tepi / mikrovaskuler
k. Abnormalitas musculoskeletal
l. Kecemasan

2.7 Hubungan antara peningkatan ventilasi dengan kegemukan

Dalam beberapa penelitian diketahui juga bahwa obesitas berhubungan


dengan berbagai gangguan pernapasan antara lain tahanan aliran udara, pola
pernapasan, pertukaran gas, mekanika pernapasan dan akhirnya akan
mengakibatkan keabnormalitasan dalam tes fungsi paru.25 Perubahan karakteristik
pada obesitas yang dapat dicatat pada sistem mekanik pernafasan yaitu adanya
jaringan adiposa di sekitar tulang rusuk, abdomen, dan rongga viseral yang
mengisi dinding dada mengakibatkan tekanan intraabdominal meningkat,
menurunkan volume paru akhir ekspirasi, compliance dinding dada menurun,
kerja pernafasan meningkat yang pada dasarnnya disebabkan adanya penurunan
pada volume residu ekspirasi, kapasitas vital dan kapasitas total paru.26,27

Terdapat teori dimana peningkatan IMT (kegemukan) akan memberikan


beban tambahan pada thoraks dan abdomen berupa peregangan berlebih, sehingga
otot-otot pernapasan bekerja lebih keras. Beban kerja pernapasan merupakan
jumlah energi yang dibutuhkan dalam proses pernapasan. Jumlah energi diukur
dengan banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh otot-otot pernapasan untuk tiap
ventilasi. Semakin besar nilai indek massa tubuh, semakin tinggi beban kerja
pernapasan. Beban kerja pernapasan pada obesitas meningkat 60%, obesitas berat
sebesar 250% .[8] IMT juga memberikan dampak terhadap kapasitas vital (KV),
volume cadangan inspirasi (VCI), kapasitas inspirasi (KI) dan kapasitas vital
paksa (KVP). Semakin tinggi indeks massa tubuh semakin rendah kapasitas paru
tersebut sehingga jumlah energi pada obesitas berbanding terbalik dengan jumlah
oksigen yang masuk ke dalam tubuh.28
Pada klasifikasi berat badan, BMI, indeks berat badan terhadap tinggi
badan (kg/m2), umumnya diakui sebagai indikator kesehatan yang paling berguna
risiko di kalangan orang-orang yang memiliki kelebihan berat badan atau dengan
berat badan yang rendah. Hal ini juga diketahui bahwa BMI sendiri tidak
memberikan informasi tentang distribusi lemak dalam tubuh. Risiko terhadap
kesehatan terkait obesitas, termasuk pengaruhnya terhadap fungsi respirasi,
hubungan ini tidak hanya dengan seberapa besar obesitas yang terjadi tetapi juga
adanya lemak yang tertimbun di daerah abdominal. Ukuran perut, lingkar
pinggang sangat berhubungan dengan jaringan lemak viseral, dan dengan
demikian dapat digunakan pada kombinasi dengan BMI sehingga pada
kelanjutannya dapat menilai risiko penyakit kardiovaskuler yang berkaitan dengan
obesitas.29
Akumulasi jaringan lemak dapat mengganggu fungsi ventilasi pada orang
dewasa dan anak-anak.30 Peningkatan BMI biasanya berhubungan dengan
penurunan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1), kapasitas vital paksa
(FVC), kapasitas total paru, Kapasitas residu fungsional dan volume cadangan
ekspirasi. Restriksi rongga torak terkait dengan obesitas biasanya ringan dan
dikaitkan dengan efek mekanik lemak pada diafragma dan dinding dada, ekskursi
diafragma terhalang dan compliance rongga dada menurun. Secara klinis terjadi
pola restriksi (kapasitas total paru < 85% prediksi) biasanya ditemukan pada
obesitas besar, pada rasio berat terhadap tinggi badan adalah 0,9–1,0 kg/m atau
lebih besar. Namun, kelainan restriksi masih mungkin ditemukan pada obesitas
dengan rasio berat badan terhadap tinggi kurang dari 0,9 kg/cm. ini biasanya
terjadi dengan adanya penumpukan lemak sentral, yang ditandai dengan rasio
pinggang-pinggul 0,95 atau lebih. Ketika obesitas yang terjadi kurang dari ukuran
masif, kelainan restriksi tidak berhubungan dengan penumpukan lemak sampai
penyebab lain dari restriksi diketahui, seperti penyakit paru interstitial atau
penyakit neuromuscular, telah dieksklusi.31
Penurunan rasio FEV1/FVC (< 70%) pada pemeriksaan spirometri,
menandakan sudah terjadi obstruksi aliran udara, bukan merupakan gambaran dari
gangguan respirasi terkait dengan obesitas, meskipun ada beberapa studi yang
mengatakan adanya keterlibatan saluran napas kecil berkaitan dengan obesitas.
Kapasitas difusi ditemukan meningkat pada obesitas, tapi ini bukanlah temuan
yang sering didapatkan. Kekuatan otot pernapasan dapat mengalami kelemahan
pada obesitas, dimana terdapat penurunan tekanan inspirasi maksimal pada
subyek yang obesitas dibandingkan dengan subyek kontrol terhadap berat badan
tubuh normal. Kelemahan otot pernafasan pada obesitas telah dikaitkan dengan
kelemahan otot, akibatnya menurunnya compliance dinding dada atau volume
paru berkurang atau dapat terjadi keduanya. Tidak mengherankan, kapasitas
latihan sering terganggu pada pasien obesitas. Meskipun latihan kardiorespirasi
dinilai dengan kemampuan konsumsi oksigen maksimal adalah umumnya
megalami penurunan pada pasien obesitas, status fungsional selama latihan seperti
berjalan mengalami penurunan karena meningkatnya metabolik membawa tubuh
dengan berat badan ekstra.32
Ada hubungan yang jelas antara dispneu dan obesitas. Obesitas
meningkatkan kerja pernapasan (work of breathing) karena penurunan compliance
dinding dada dan penurunan kekuatan otot pernapasan ini menimbulkan
ketidakseimbangan antara kebutuhan terhadap kerja otot pernapasan dan kapasitas
menghasilkan tegangan, sehingga menimbulkan sebuah persepsi peningkatan
usaha untuk bernapas. Selanjutnya, dispneu pada pasien obesitas bisa menyingkap
tabir kondisi lain yang terkait, seperti pernafasan dan penyakit jantung. Diantara
penyakitpenyakit tersebut, asma patut diperhatikan secara khusus. Pasien dengan
obesitas sering mengalami dispneu dan mengi dan karena itu sering diberikan
terapi untuk asma tanpa konfirmasi diagnostik dengan melakukan pemeriksaan
fungsi paru. Diagnosis yang akurat penting ditegakkan karena dispneu terkait
dengan mekanisme atau penyakit lain memerlukan strategi terapi yang berbeda.33
Obesitas, dengan distribusi lemak sentral yang luas, bertindak sebagai
beban pada sistem pernapasan, yang berarti bahwa berat badan ditempatkan pada
aparat pernapasan juga dapat meningkatkan inersia kerja otot pernapasan. Telah
ditemukan bukti bahwa distribusi lemak dengan pola sentral dapat dijadikan
sebagai prediksi dari gangguan fungsi paru yang lebih baik dari BMI. Hal ini
menyebabkan penurunan yang signifikan pada kapasitas total paru, kapasitas vital,
kapasitas residu fungsional, dan meningkatkan volume residual. Bernapas dengan
volume paru rendah mengubah keseimbangan elastisitas antara dinding dada dan
paru dan berhubungan dengan peningkatan resistensi paru dan kekuatan otot
inspirasi. Compliance sistem pernapasan menunjukkan penuruan sekitar lebih
sedikit dari 20% pada subyek obesitas eukapneu dibandingkan dengan individu
dengan berat badan normal, dan hampir 60% lebih sedikit pada pasien dengan
OHS. Bernapas pada volume ekspirasi rendah menandakan seperti bernapas
dengan close volume, dan penutupannya kebanyakan bergantung pada jalan napas
sehingga akan ada banyak udara yang terjebak mengakibatkan terbatasnya aliran
ekspirasi, mikroatelektasis dan timbulnya suatu tekanan intrinsik positif akhir
ekspirasi (PEEPi). Deposit lemak di dinding dada dapat memodifikasi mekanisme
pernapasan dan mempengaruhi pertukaran gas, memburuknya ventilasi-perfusi
terutama dalam posisi terlentang. Volume pernapasan yang rendah tidak hanya
menimbulkan bernapas dengan kemampuan compliance yang minimal pada kurva
volume terhadap tekanan dengan peningkatan usaha untuk mengatasi atau
mengendalikan elastisitas sistem respirasi, tetapi juga terjadi keterbatasan pada
volume tidal dan meningkatnya frekuensi bernapas dibandingkan dengan non-
obesitas. Strategi ini diperkirakan dapat mengoptimalkan penggunaan oksigen,
tetapi juga meningkatkan dead space.34
Subyek obesitas mengalami peningkatan jumlah konsumsi oksigen (VO2)
dan produksi karbon dioksida (VCO2), bahkan pada saat beristirahat. Dengan
demikian, orang-orang yang obesitas harus meningkatkan ventilasi semenit untuk
memenuhi kebutuhan oksigen yang meningkat dan mempertahankan ventilasi
alveolar agar tetap adekuat.34

2.8 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan
alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan
selaput fosfolipid cair, yang menurunkn tegangan permukaan antara air-udara
dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka
selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir
ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran
cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan
menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan
dalam meningkatkan klierns mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate paru.
Surfaktan diproduksi oleh Sel Alveoli Tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi
tahap Sakular (22-24 minggu) dan mulai aktif pada 24-26 minggu, serta mulai
berfungsi pada gestasi 32-36 minggu.11
Tersusunatas fosfolipoprotein “Fosfolipid” (DPPC
(Dipalmitoilpospatidilkolin) atau Lesitin) dan Protein (SP-A, SP-B, SP-C, SP-D
(Surfaktan Protein A). Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kartisol
(reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveoli tipe II). Namun produksinya akan
meningkat saat ibu strees atau dapat ditambahkan dengan pengobatan
deksametason pada ibu hamil yang di diagnosis anaknya mengalami defisiensi
surfaktan. Fungsi surfaktan sendiri adalah untuk untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara. Biasanya surfaktan ini didapatkan pda
paru-paru yang matur (sempurna/dewasa). Fungsi surfaktan ini melawan tegangan
permukaan sehingga alveoli tidak mengempis/kollaps.11
2.9 Resistensi paru dan jalan nafas

Gambar 19.
Sistem respirasi bertanggung jawab mengantarkan oksigen (O2) sebagai salah
satu bahan penting yang diperlukan untuk metabolisme sel dan mengeluarkan
karbondioksida (CO2) sebagai hasil metabolisme sel. Proses respirasi terbagi dua
yaitu respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna meliputi ventilasi
paru (proses mekanik yang mengatur keluar masuknya udara dari udara luar
sampai ke alveoli) dan difusi paru (proses pertukaran gas antara ruang alveoli
dengan kapiler darah menembus dinding alveoli, jaringan interstisial dan endotel
kapiler paru). Sedangkan respirasi interna meliputi utilisasi O2 (pemakaian O2
pada proses pelepasan energi dalam sel) dan difusi sel (pertukaran gas antara
darah kapiler sengan sel menembus dinding kapiler dan dinding sel).35
Gangguan pada sistem respirasi, baik respirasi interna maupun respirasi
eksterna, akan menyebabkan hipoksemia (kadar oksigen dalam darah di bawah
normal) dan atau hiperkapnia (kadar karbondioksida dalam darah di atas normal).
Kedua kondisi tersebut apabila berlanjut semakin berat akan berbahaya bagi
tubuh.35
Kemampuan ventilasi paru dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu
resistensi saluran napas (airway resistance) dan komplain paru (lung compliance).

Besarnya resistensi saluran napas pada keadaan normal berkisar antara 0,6 sampai
2,4 cmH2O/liter/detik, yang mampu mengalirkan udara sebanyak 0,5 liter/detik
atau 30 liter/menit. Resistensi saluran napas akan meningkat bila diameter saluran
napas mengecil dan/atau panjang saluran napas meningkat. Beberapa faktor yang
bisa meningkatkan resistensi saluran napas:35
1. Diameter saluran napas mengecil
2. Diameter saluran napas normal, namun ada obstruksi di
a. dalam lumen saluran napas: retensi sputum, aspirasi benda asing, dll
b. dinding saluran napas: tumor endobronkial, pasca intubasi, dll
c. luar saluran napas: tumor yang menekan saluran napas
Bila terjadi faktor-faktor tersebut maka diameter efektif saluran napas akan
berkurang sehingga resistensi saluran napas meningkat. Sebagai contoh bila
terjadi penurunan diameter saluran napas setengah dari nilai normal, maka
tekanan yang diperlukan untuk memasukkan aliran udara yang sama seperti waktu
normal akan meningkat 16 kali.35
Resistensi saluran napas akan meningkat pada pasien yang terintubasi,
semakin kecil diameter ETT semakin tinggi resistensi. Karena itu ukuran ETT
yang terbaik adalah ETT yang terbesar yang sesuai dengan trakea pasien. Selain
itu mukus plak dalam ETT sangat berperan dalam meningkatkan resistensi saluran
napas. Faktor lain yang mempengaruhi resistensi saluran napas adalah sirkuit
ventilator dan air kondensasi ventilator. Semakin panjang sirkuit dan jumlah air
yang berlebihan akan meningkatkan resistensi saluran napas.35

2.10 Uji faal paru


Uji faal paru bertujuan untuk mengetahui apakah fungsi paru seseorang
individu dalam keadaan normal atau abnormal. Pemeriksaan faal paru biasanya
dikerjakan berdasarkan indikasi atau keperluan tertentu, misalnya untuk
menegakkan diagnosis penyakit paru tertentu, evaluasi pengobatan asma, evaluasi
rehabilitasi penyakit paru, evaluasi fungsi paru bagi seseorang yang akan
mengalami pembedahan toraks atau abdomen bagian atas, penderita penyakit paru
obstruktif menahun, akan mengalami anestasi umum sedangkan yang
bersangkutan menderita penyakit paru atau jantung dan keperluan lainnya.36

Secara lengkap uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi,
difusi gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran
darah. Fungsi pam disebut normal apabila PaO2 lebih dari 50mmHg dan PaCO2
kurang dari 50mmHg dan disebut gagal napas apabila PaCO2 kurang dari
50mmHg dan PaCO2 lebih dari 50mmHg. Apabila PaO2 lebih dari 50mmHg dan
PaCO2 kurang dari 50mmHg, dikatakan bahwa fungsi difusi gas berlangsung
normal. Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya penilian faal paru
seseorang cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru. Apabila fungsi
ventilasi nilainya baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan biasanya
fungsi-fungsi paru lainnya juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat
dengan penilaian mekanika pernapasan. Untuk menilai fungsi ventilasi digunakan
spirometer untuk mencatat grafik pernapasan berdasarkan jumlah dan kecepatan
udara yang keluar atau masuk ke dalam spirometer.36

2.11 Hubungan bernafas dengan aktivitas


Kapasitas vital paru pada kelompok atlet perempuan lebih besar 7%
dibandingkan dengan kelompok non atlet perempuan, sedangkan pada atlet laki-
laki lebih besar 4% dibandingkan dengan kelompok non atlet yang berjenis
kelamin sama. Hal tersebut menandakan adanya pengaruh positif dari olahraga
terhadap kapasitas vital paru.37
Orang yang terlatih dengan latihan fisik, saat melakukan kegiatan
mempunyai kemampuan untuk mengisap udara lebih banyak dan dalam periode
waktu yang lebih lama juga mampu menghembuskan sisa-sisa pembakaran lebih
banyak sebab otot-otot di sekeliling paru-parunya telah terlatih untuk melakukan
kerja lebih banyak.37
2.12 Perbedaan respirasi pada tekanan udara di dataran tinggi dan rendah
Tekanan atmosfer secara progresif berkurang seiring dengan
berbahanya ketinggian. Pada 18.000 kaki di atas permukaan laut, tekanan
atmosfer hanya 380 mm Hg--separuh dari nilainya dipermukaan laut. Karena
proporsi O2 dan N2 di udara tetap sama; Po2 udara inspirasi di ketinggian ini
adalah 21% dari 380 mm Hg atau 80 rnm Hg, dengan Po2 alveolus menjadi
lebih redah pada 45 mm Hg. Pada setiap ketinggian di atas 10.000 kaki, Po2
arteri turun ke bagian curam dari kurva O2-Hb, bawah kisaran aman regio datar.
Akibatnya, % saturasi Hb dalam darah arteri berkurang tajam dengan
bertambahnya ketinggian.4
Orang yang naik cepat ke ketinggian 10.000 kaki atau lebih mengalami
gejala acute mountain sickness yang berkaitan dengan hipoksia hipoksik dan
alkalosis akibat hipokapnia yang ditirnbulkannya. Peningkatan dorongan bernapas
untuk memperoleh lebih banyak O2 menyebabkan alkalosis respiratorik karena
CO2 pembentuk asam dikeluarkan lebih cepat daripada yang dihasilkan. Gejala
mountain sickness mencakup lesu, mual, hilangnya nafsu makan, bernapas
terengah, kecepatan jantung tinggi (dipicu oleh hipoksia sebagai tin- dakan
kompensasi untuk meningkatkan penyaluran O2 yang ada melalui sirkulasi ke
jaringan), dan disfungsi saraf yang ditandai oleh gangguan penilaian, pusing
bergoyang, dan inkoordinasi.4

Meskipun terdapat respons akut terhadap dap ketinggian, jutaan orang


tinggal di tempat yang letaknya 10.000 kaki di atas permukaan laut, dengan
beberapa desa bahkan terletak di Andes dengan ketinggian lebih dari 16.000 kaki.
Mereka melakukannya melalui proses aklimatisasi. Ketika seorang tinggal di
tempat yang tinggi, respons-respons kompensasi akut berupa peningkatan
ventilasi dan peningkatan curah jantung secara bertahap diganti dalam waktu
beberapa hari oleh tindakan-tindakan kompensasi yang muncul lebih lambat yang
memungkinkan oksigenisasi adekuat ke jaringan dan pemulihan keseimbangan
asam-basa normal. Pembentukan sel darah merah (SDM) meningkat di
rangsangan oleh eritropoietin sebagai respon terhadap berkurangnya penyaluran
O2 ke ginjal. Peningkatan jumlah SDM meningkatkan kemapuan darah
mengangkut O2. Hipokapsia juga mendorong sintesis BPG di dalam SDM
sehingga O2 lebih mudah dibebaskan dari Hb ke jaringan. Jumlah kapiler di
dalam jaringan meningkat, mengurangi jarak yang harus ditempuh O2 ketika
berdifusi dari darah untuk mencapai sel. Selain itu, ketinggian juga memengaruhi
sel endotel untuk melepaskan nitrat oksida (NO) 10 kali lebih banyak
dibandingkan dengan yang dilepaskan di dekat ketinggian permukaan laut.
Tambahan NO ini mengaliri darah dua kali lebih banyak pada individu yang
berada di ketinggian.4

Selain itu, sel yang telah mengalami aklimatisasi mampu menggunakan O2


dengan lebih efisien melalui peningkatan jumlah mitokondria, yaitu organel
energi. Ginjal memulihkan pH arteri mendekati normal dengan menahan asam
yang normalnya dibuang melalui urine.4

Tindakan-tindakan kompensatorik ini bukannya tanpa akibat yang


merugikan. Sebagai contoh, peningkatan jumlah SDM meningkatkan viskositas
(membuat darah menjadi lebih "kental") darah sehingga resistensi terhadap aliran
darah meningkat. Akibatnya, jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah
melewati pembuluh.4

Ketika seorang penyelam laut-dalam, dengan bantuan perangkat bernapas


di bawah air (scuba), turun ke bawah air, tubuhnya terpajan ke tekanan yang
melebihi tekanan atmosfer . Tekanan cepat meningkat sering dengan kedalaman
laut akibat berat air. Tekanan, hampir menjadi dua kali lipat pada kedalaman
sekitar 30 kaki di bawah permukaan laut. Udara yang terdapat di dalam alat scuba
disalurkan ke paru pada tekanan yang tinggi ini. Ingat kembali bahwa (1) jumlah
gas dalam larutan berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut dan (2)
udara terdiri dari 79% N2. Nitrogen adalah bahan yang kurang larut dalam
jaringan tubuh, tetapi PN2 yang tinggi yang terjadi selama penyelaman laut-dalam
menyebabkan lebih banyak dari gas ini yang larut ke dalam jaringan tubuh.
Jumlah N2 yang kecil yang larut di jaringan pada ketinggian permukaan laut tidak
menimbulkan efek tetapi dengan semakin banyaknya N2 yang larut ketika
seseorang berada di kedalaman, timbul narkosis nitrogen, atau "rapture of of the
deep" Narkosis nitrogen dipercayai terjadi ka- rena berkurangnya eksitabilitas
neuron-neuron akibat N2 (yang sangat mudah larut dalam lemak) yang larut di
membran lemak me- reka. Pada 150 kaki di bawah permukaan laut, penyelam
mengalami suatu perasaan euforia dan menjadi me- ngantuk, serupa dengan
efek minum beberapa gelas koktail. Di tem- pat yang lebih dalam, penyelam
menjadi lemah dan ceroboh dan pada 350 hingga 400 kaki mereka,
kehilangan kesadaran. Toksisitas oksigen akibat tingginya Po2 adalah efek buruk
lain yang juga dapat terjadi jika kita berada jauh di bawah air. Masalah lain yang
berkaitan dengan menyelam laut dalam terjadi sewaktu naik. Jika penyelam yang
telah cukup lama berada di bawah air sehingga cukup banyak N2 yang sudah
larut dalam jaringannya naik secara tiba-tiba ke permukaan,
penurunan cepat PN2 menyebabkan N2 cepat keluar dari larutan dan membentuk
gelembung-gelembung gas N2 didalam tubuh, seperti gelembung gas CO2 yang
terbentuk di dalam bontol sampanye ketika gabus botol dibuka. Akibat yang
ditimbulkannya bergantung pada jumlah dan lokasi pembentukan gelembung N2
di dalam tubuh. Keadaan ini disebut penyakit dekompresi atau "the bends" karena
korban sering bergelung akibat nyeri yang ditimbulkan. Penyakit dekompresi
dapat dicegah dengan naik ke permukaan secara perlahan atau dengan secara
bertahap mendekompresi tubuh dalam wadah dekompresi sehingga kelebihan N2
dapat secara perlahan keluar melalui paru tanpa membentuk gelembung.4

2.13 Gagal nafas


Gagal nafas adalah ketidakmampuan alat pernafasan untuk mempertahankan
oksigenasi didalam darah dengan atau tanpa penumpukan CO2. Terdapat 6 sistem
kegawatan salah satunya adalah gagal nafas yang menempati urutan pertama. Hal
ini dapat dimengerti karena apabila terjadi gagal nafas waktu yang tersedia
terbatas sehingga memerlukan ketepatan dan kecepatan dalam bertindak. Untuk
itu harus dapat mengenal tanda-tanda dan gejala gagal nafas dan menanganinya
dengan cepat walaupun tanpa menggunakan alat yang canggih.38
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut
adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki struktural dan
fungsional paru yang normal sebelum awitan penyakit muncul. Sedangkan gagal
nafas kronis adalah gagal nafas yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru
kronis seperti bronchitis kronis,emfisema. Pasien mengalami toleransi terhadap
hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap.38,39
Gagal nafas dapat diakibatkan oleh kelainan pada paru, jantung, dinding dada,
otot pernafasan dan mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula
oblongata. Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal nafas,
disfungsi dari jantung, sirkulasi paru, sirkulasi sistemik, transport oksigen
hemoglobin dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peran penting pada gagal
nafas. Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat
dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang mengendalikan
pernafasan terletak di bawah batang otak(pons dan medulla).40
Insiden di Amerika Serikat sekitar 360.000 kasus per tahun, 36%
meninggalselama perawatan. Morbiditas dan mortalitas meningkat seiring dengan
meningkatnya usia dan adanya komorbiditas.41
Gagal nafas merupakan diagnosa klinis, namun dengan adanya analisa gas
darah(AGD), gagal nafas dipertimbangkan sebagai kegagalan fungsi pertukaran
gas yang nyata dalam bentuk kegagalan oksigenasi( hipoksemia) atau kegagalan
dalam pengeluaran CO2 (hiperkapnia, kegagalan ventilasi) atau merupakan
kegagalan kedua fungsi tersebut.39
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Adanya perbedaan adaptasi sistem respirasi antara Dino dan Aldi
DAFTAR PUSTAKA

1. Patwa, A. and Shah, A. Anatomy and physiology of respiratory system


relevant to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 2015. 59(9), p.533.
2. Faiz O, Moffat D. At a Glance Anatomi. Jakarta: Erlangga. 2002.

3. Mescher, AL. Histologi dasar Junqueira. Edisi 12. Jakarta: EGC; 2011.

4. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Ed Ke8. Jakarta: EGC;


2013.

5. Majumder, N. (2015). Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and


Physical Education, 2(3), pp.16-17.

6. Godfrey Richard. The nose and the lower airways, Lancet. 1994 Apr 23;343
(8904):991-2.

7. Guyton Arthur C dan Hall John E. Textbook of medical physiology, W B


Saunders Co, Eleventh edition, 2006:478- 80.

8. Werner Kahle dkk. Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia; Alat-alat
Dalam, Jilid 2, Hipokrates, 1998:107-15.

9. Nicod, Laurent P. Pulmonary defense mechanisms, Respiration, 1999:66:2-11

10. Hasleton P.S. & Curry A. Anatomy of the lung. In: Spencer's Pathology of the
Lung, 5th edn, New York.: McGraw-Hill, 1996: 1–40 (ed. P.S. Hasleton).

11. Ganong William F. Review of Medical Physiology, Twenty first edition,


McGraw-Hill, 2003: 468-80

12. Des Jardins Terry R, Cardiopulmonary Anatomy & Physiology: Essentials For
Respiratory Care, Fourth edition, 2001:7- 34, Delmar Publisher

13. Lauralee, Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2011.
14. Guyton A.C, Hall J.E. Fisiologi Jantung, dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC, pp. 262-3. 2008.

15. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
16. Guyton, Hall. Text Book of Medical Physiology. New York : W B Saunders.
1996

17. Tambayong, Jan. Anatomi Fisiologi. Jakarta: Rineka Cipta. 2001

18. Depkes RI.Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta. Depkes
RI. 2008.

19. Pasien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Merdeka;


2008.
20. Sudiana, I Ketut. Dampak Adaptasi Lingkungan Terhadap Perubahan
Fisiologis. Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA III Tahun 2013.

21. Suleman A. Exercise Physiology. 2006. http://www.emedicine.com/sport/topic


145.html

22. Wilmore and Haskel. Body composition and endurance capacity of profesional
football player. J. Appl Physiol. 1972; 33:564.

23. Brian JE. Breathing, Aerobic Conditioning and Gas Consumption. 2007.
http://www.gue.com/Research/Exercise/q2_3g.html

24. Salome CM, King GG, Berend N. Physiology of Obesity and Effect on Lung
Function. J Appl Physiol. 2010;108:206-11.

25. Salome CM, King GG, Berend N. Physiology of Obesity and Effect on Lung
Function. J Appl Physiol. 2010;108:206-11.

26. Pedoto A. Lung Physiology and Obesity: Anesthetic Implications for Thoracic
Procedures. Anesthesiology. 2012:1-2.

27. Zammit et al. Obesity and Respiratory Diseases. International Journal of


General Medicine. 2010;3:335–43.
28. Ristianingrum I, Rahmawati I, Rujito L. Hubungan Indeks Massa Tubuh
Dengan Tes Fungsi Paru. Mandala of Health. 2010; 4(2):105-111

29. Clinical guidelines on the identification, evaluation, and treatment of


overweight and obesity in adults — The Evidence Report. National Institutes
of Healt. Obes Res; 6 (Suppl 2): 51S–209S 1998.

30. Arter JL, Chi DS, Girish M, Fitzgerald SM, Guha B, Krishnaswamy G:
Obstructive sleep apnea, inflamation and cardiopulmonary disease. Frontiers
in Bioscience; 9: 2892–900. 2004.

31. Canoy D, Luben R, Welch A, et al: Abdominal obesity and respiratory


function in men and women in the EPIC-Norfolk Study, United Kingdom. Am
J Epidemiol;159:1140–9.2004.

32. Bambang Supriyatno, Rusmala Deviani: Obstructive sleep apnea syndrome


pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 7, No. 2: 77 – 84. September 2005.

33. International obesity taskforce (IOTF). Available: www.iotf.org/ indes.asp


(accessed 15 November 2014.

34. J Verbraecken, Mc Nicholas T Walter: Respiratory mechanics and ventilatory


control in overlap syndrome and obesity hypoventilation. Respiratory
Research; 14: 132. 2013.

35. Ward, J. P. Sistem Respirasi dalam At a Glance Fisiologi. Erlangga, Jakarta.


2009: 50-55.
36. Alsagaff. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press,
Surabaya; 2005.

37. Siswanto A. Hubungan antara Latihan Fisik dan Kapasitas Vital Paru pada
Siswa Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate di Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2014.
38. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5):
360-6
39. Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA
and Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore,
Pp. 13-24.
40. Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care
Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
41. Behrendt C.F. (2000). Acute Respiratory Failure in the United States:
Incidence and 31-day survival. Chest, Volume 118, Number 4, p 1100-1105.

Anda mungkin juga menyukai