MODUL RESPIRASI
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Dino dan Aldi mahasiswa Kedokteran Untan yang tinggal di Rusunawa
yang berjarak lebih kurang 1 kilometer dari kampus. Suatu hari mereka
bangun terlambat dan harus berjalan tergesa-gesa dengan setengah berlari
menuju kampus agar tidak terlambat mengikuti perkuliahan yang akan dimulai
pukul 07.30 pagi. Sesampai dikampus, Dino yang berposturgemuk terlihat
“ngos-ngosan” . Dino kembali bernapas seperti biasa setelah istirahat beberapa
saat. Sedangkan aldi yang berpostur atletis dan merupakanseorang atlet basket,
tidak terlihat “ngos-ngosan” dan bernapas biasa saja setelah berjalan bersama
Dino.
1.2. Klarifikasi dan Definisi
-
Berjalan tergesa-gesa
Aldi Dino
Normal ventilasi
a. Mekanisme ventilasi
b. Volume dan kapasitas paru
c. Pertukaran transport gas
3. Mekanisme peningkatan kecepatan pernafasan
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pernafasan
5. Mekanisme sistem adaptasi respirasi pada atlet
6. Faktor yang mempengaruhi pernafasan pada obesitas
7. Hubungan antara peningkatan ventilasi dan kegemukan
8. Surfaktan
9. Resistensi paru dan jalan nafas
10. Uji faal paru
11. Hubungan respirasi dengan aktivitas
12. Perbedaan respirasi pada tekanan udara di dataran tinggi dan rendah
13. Gagal nafas
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Respirasi
a. Anatomi
1. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum nasalis).
Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat kelenjar
minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar sudorifera).
Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang masuk lewat
saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut pendek dan tebal yang
berfungsi menyaring partikel kotoran yang masuk bersama udara. Juga
terdapat konka yang mempunyai banyak kapiler darah yang berfungsi
menghangatkan udara yang masuk. Di sebelah belakang rongga hidung
terhubung dengan nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae.
Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus dan selaput
lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk ke dalam rongga
hidung.1
2. Faring (Tenggorokan)
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada bagian
depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian belakang. Pada
bagian belakang faring (posterior) terdapat laring (tekak) tempat
terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara melalui faring akan
menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar sebagai suara. Makan
sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran
pernapasan karena saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka.
Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur agar peristiwa menelan,
bernapas, dan berbicara tidak terjadi bersamaan sehingga mengakibatkan
gangguan kesehatan. Fungsi utama faring adalah menyediakan saluran
bagi udara yang keluar masuk dan juga sebagi jalan makanan dan
minuman yang ditelan, faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi)
untuk suara percakapan.1
Gambar 4. Alveolus1
6. Paru-paru
Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m 2
untuk pertukaran udara. Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung
sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding
dada, basis yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal
yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di sebelahnya.2
Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura
obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga
tidak ada lobus tengah. Segmen lingular merupakan sisi kiri yang
ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun, secara anatomis lingual
merupakan bagian dari lobus atas kiri. Struktur yang masuk dan keluar
dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang
longgar.2
Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang
membrannya melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan
luar paru. Setiap pleura mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik
dan mengandung banyak kapiler. Diantara lapisan pleura tersebut terdapat
cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL yang disebut cairan pleura.
Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk gerakan paru di
dalam rongga.2
b. Histologi
Sistem pernapasan mencakup paru-paru dan sistem saluran bercabang
yang menghubungkan termpat pertukaran gas dengan lingkungan luar. Sistem
pernapasan biasanya dibagi menjadi struktur saluran napas atas dan bawah.
Secara fungsional, struktur-struktur tersebut membentuk bagian konduksi
sistem, yang terdiri atas rongga hidung, nasofaring, laring, trakea, bronki,
bronkiolus, dan bronkiolus terminalis; dan bagian respiratorik (tempat
berlangsungnya pertukaran gas), yang terdiri atas bronkiolus respiratorius,
ductus alveolaris, dan alveoli.3
1. Epitel Respiratorik
Rongga kiri dan kanan terdiri atas dua struktur vestibulum di luar dan
rongga hidung (atau fossa nasalis) di dalam. Vestibulum adalah bagian paling
anterior dan paling lebar di setiap rongga hidung. Kulit hidung memasuki
nares (cuping hidung) yang berlanjut ke dalam vestibulum dan memiliki
kelenjar keringat, kelenjar sebasea, dan vibrisa (bulu hidung) yang menyaring
partikel-partikel besar dari udara inspirasi. Di dalam vestibulum, epitelnya
tidak berlapis tanduk lagi dan beralih menjadi epitel respiratorik sebelum
memasuko fossa nasalis.3
3. Laring
Epiglotis yang terjulur keluar dari tepian laring, meluas ke dalam faring
dan memiliki permukaan lingual dan laringeal. Seluruh permukaan lingual dan
bagian apikal permukaan laringeal ditutupi oleh epitel berlapis gepeng. Pada
beberapa titik permukaan laringeal di epiglotis, epitelnya beralih menjadi
epitel bertingkat silindris bersilia. Dibawah epiglotis, mukosa laring
menjulurkan 2 pasang lipatan ke dalam lumen laring yaitu plica vestibularis
(pita suara palsu) dan pita suara sejati (plica vocalis).3
4. Trakea
6. Bronkiolus Respiratorius
7. Ductus Alveolaris
8. Alveolus
c. Biokimia
Gambar 11. Metode Transfer dalam Darah4
Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya
harus diangkut terutama melalui mekanisme di luar pelarutan fisik biasa.
Hanya 1,5% O2 yang secara fisik larut dalam darah, dengan 98,5% lainnya
berikatan secara kimiawi dengan hemoglobin (Hb).4
Gambar 12. Kurva Disosiasi O2Hb.4
Faktor utama yang menentukan seberapa banyak Hb berikatan
dengan O2 (% saturasi Hb) adalah Po2 darah, digambarkan oleh kurva
berbentuk S yang dikenal sebagai kurva disosiasi O2 Hb. Pada kisaran Po2
kapiler paru (bagian datar pada kurva), Hb tetap hampir jenuh meskipun
Po2 darah turun hingga 40%. Hal ini menghasilkan batas keamanan
dengan memastikan penyaluran O2 mendekati normal ke jaringan
meskipun terjadi penurunan substansial Po2 arteri. Pada kisaran Po2 di
kapiler sistemik (bagiancuram kurva), pembebasan O2 oleh Hb meningkat
pesat sebagai respons terhadap penurunan lokal kecil Po2 darah yang
berkaitan dengan peningkatan metabolisme sel. Dengan cara ini, lebih
banyak O2 yang disalurkan untuk memenuhi kebutuhan jaringan yang
meningkat.4
Gambar 13. Pengaruh Saturasi Hb Terhadap Suhu dan keasaman4
d. Sistem Imun
Beberapa mekanisme pertahanan saluran nafas adalah karena bentuk
anatomis saluran nafas itu sendiri.6,7
1. Rongga Hidung
Rongga hidung yang kecil, yang luasnya hanya 0,3 cm2 setiap
sisinya memberi sumbangan yang besar untuk pertahanan saluran nafas.
Mukosa hidung memiliki 8 kelenjar serosa per mm2 permukaan saluran
nafas dibanding satu atau kurang di trakea dan saluran nafas bagian bawah.
Rongga hidung kaya akan anastomosis arteri dan vena, sehingga dapat
meningkatkan suhu udara inspirasi sebanyak 25ºC, antara hidung luar
dengan nasopharing. Juga melindungi saluran nafas bagian bawah dari
partikel-partikel dan gas berbahaya seperti ozone, sulfur dioksida dan
formaldehyde. Rongga hidung terdiri dari 2 struktur yang berbeda, yaitu
vestibulum dan fossa nasalis.6
2. Vestibulum
3. Fossa Nasalis
6. Refleks Menelan
7. Refleks Muntah
8. Refleks batuk
Bronkus dan trakea sangat peka dengan benda asing ataupun iritasi
lain, sehingga bisa menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina sangat
peka. Bronkiolus terminalis dan alveolus terutama peka terhadap rangsang
kimia korosif seperti gas sulfur dioksida dan klor. Impuls aferen dari
saluran pernafasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medulla
oblongata. Di sana suatu rangkaian otomatis digerakkan oleh sirkuit
neuron medulla oblongata, sehingga menyebabkan efek-efek sebagai
berikut:
Mula-mula 2,5 liter udara dihirup.
9. Refleks Bersin
Paru dapat diisi sampai > 5,5 liter dengan usaha inspirasi maksimum atau
dikosongkan sampai sekitar 1 liter dengan ekspirasi maksimum. Volume paru
bervariasi dari sekitar 2 sampai 2,5 liter karena volume udara tidal rata-rata
sebesar 500 ml keluar masuk paru tiap kali seseorang bernapas. Volume dan
kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan.
Dengan mengetahui besarnya volume dan kapasitas paru dapat diketahui
besarnya kapasitas ventilasi maupun ada tidaknya kelainan fungsi paru.
a. Volume tidal
d. Volume residual
Merupakan volume udara minimal yang tersisa di dalam paru
setelah ekspirasi maksimum. Nilai rata-rata pada orang sehat sekitar 1.200
ml.
e. Kapasitas vital
f. Kapasitas inspirasi
Pertukaran gas pada kapiler paru dan kapiler jaringan berlangsung secara
difusi pasif sederhana O2 dan CO2 menuruni gradient tekanan parsial.
Tekanan yang ditimbulkan oleh tiap gas dalam suatu campuran gas dikenal
sebagai tekanan parsial yang dilambangkan dengan Pgas. Karena itu, tekanan
parsial O2 dalam udara atmosfer, PO2, normalnya adalah 160 mm Hg.
Tekanan parsial CO2 atmosfer, PCO2, hamper dapat diabaikan (0,23 mm Hg).
Gas-gas yang dimaksud larut dalam cairan misalnya darah ataupun cairan
tubuh lainnya hal tersebut juga menimbulkan tekanan parsial. Semakin besar
tekanan parsial suatu gas dalam suatu cairan, maka semakin banyaklah gas
tersebut larut.
Perbedaan dalam tekanan parsial antara darah kapiler dan struktur sekitar
dikenal sebagai gradient tekanan parsial. Terdapat gradient tekanan parsial
antara udara alveolus dan darah kapiler paru. Demikian juga, terdapat gradient
tekanan parsial antara darah kapiler sistemik dan jaringan sekitar. Sutu gas
selalu berdifusi menuruni gradient tekanan parsialnya dari daerah dengan
tekanan parsial tinggi ke daerah tekanan parsial yang lebih rendah, serupa
dengan difusi menuruni gradient konsentrasi.
Pertama di pengaruhi oleh efek luas permuakaan pada pertukaran gas. Laju
pertukaran gas berbanding lurus dengan luas permukaan tempat terjadinya
pertukaran gas tersebut. Pada pendderita emfiema, luas Bronkitis adalah salah
satu kondisi teratas yang pasien mencari perawatan medis.Hal ini ditandai
dengan peradangan Berdasarkan saluran bronkial (atau bronkus), saluran
udara yang membentang dari trakea ke dalam saluran udara kecil dan
alveoli.Bronkitis ada 2 macam menurut terminologi lamanya penyakit
berdiam didalam tubuh penderita yaitu bronkitis akut dan bronkitis
kronik.Penelitian yang sering dilakukan juga banyak mengacu ke pembagian
bronkitis tersebut. permukaan berkurang karena banyak dinding alveolus yang
lenyap sehingga ruang-ruang udara menjadi lebih besar tetapi pemindahan
gasnya terjadi lebih sedikit. Yang kedua efek ketebalan pada pertukaran gas
dan yang ketiga efek konstanta difusi pada pertukaran gas.
Tujuan utama bernapas adalah memasok O2 segar secara kontiyu untuk
diserap oleh darah dan mengeluarkan CO2 dari darah. Darah bekerja sebagai
sistem transpor untuk O2 dan CO2 antara paru dan jaringan , dengan sel
jaringan mengekstraksi dan mengeliminasi CO2 kedalamnya . Pertukaran gas
ditingkat kapiler paru dan kapiler jaringan berlansung secara difusi pasif
sederhana O2 dan CO2 menuruni gradien tekanan parsial.Tekanan parsial
adalah tekanan yang ditimbulkan secara independen oleh masing-masing gas
dalam suatu campuran gas, gas-gas yang larut dalam cairan tubuh lain juga
menimbulkan tekanan parsial, semakin besar tekanan parsial suatu gas dalam
cairan, semakin banyak gas terlatutnya.Perbedaan tekanan parsial antar kapiler
darah dan struktur sekitar dikenal sebagai gradien tekanan parsial.Suatu gas
selalu beerdifusi menuruni gradien tekanan parsialnya dari daerah dengan
tekanna parsial tinggi ke daerah dengan tekanan parsial yang rendah.
Kita telah membahas difusi O. dan CO, antara alveolus dan darah seolah-
olah hanya gradien tekanan parsial gas yang menentukan kecepatan difusinya.
Menurut hukum difusi Fick, kecepatan difusi suatu gas melalui suatu lembaran
jaringan bergantung pada luas permukaan dan ketebalan membran yang harus
dilewati oleh gas yang berdifusi serta koefisien difusi gas tersebut . Perubahan
pada kecepatan pertukaran gas dalam keadaan normal ditentukan terutama oleh
perubahan gradien tekanan parsial antara darah dan alveolus, karena faktor-faktor
lain relatif konstan dalam keadaan istirahat. Namun, pada keadaan di mana faktor-
faktor lain ini mengalami perubahan, perubahan tersebut mengubah kecepatan
rransfer gas di paru.
b. Saluran udara yang utuh dimana tidak ada hambatan saluran udara yang
mengalirkan O2 melalui trakheobronkhial menuju membran alveolus kapiler.
c. Fungsi pergerakan dinding dada dan diafragma yang normal. Jika fungsi
dinding dada lemah akan mempengaruhi pernafasan. Penyebabnya trauma
pada dinding dada yang mengakibatkan fraktur iga.
f. Suatu sistem sirkulasi yang utuh dan pompa jantung yang efektif.
Gambar 17. Nilai ventilasi paru pada saat istirahat, latihan sedang dan berat.21
Terdapat hubungan yang kecil antara volume dan kapasitas paru dengan
bermacam-macam jenis olah raga. Seperti pada pelari maraton dibandingkan
dengan yang bukan pelari dengan ukuran tubuh yang sama, tidak ada perbedaan
yang nyata untuk nilai fungsi paru (seperti dilihat pada tabel di bawah). Lebih
besarnya volume paru dan kemampuan respirasi pada seorang atlet dimungkinkan
karena faktor genetik. Beberapa peningkatan fungsi paru merupakan refleks
kekuatan otot paru-paru terhadap latihan yang spesifik.
Gambar 18. Hasil pengukuran anthropometrik tubuh, fungsi paru, dan ventilasi
paru dalam satu menit.22
2.8 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan
alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan
selaput fosfolipid cair, yang menurunkn tegangan permukaan antara air-udara
dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka
selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir
ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran
cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan
menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan
dalam meningkatkan klierns mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate paru.
Surfaktan diproduksi oleh Sel Alveoli Tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi
tahap Sakular (22-24 minggu) dan mulai aktif pada 24-26 minggu, serta mulai
berfungsi pada gestasi 32-36 minggu.11
Tersusunatas fosfolipoprotein “Fosfolipid” (DPPC
(Dipalmitoilpospatidilkolin) atau Lesitin) dan Protein (SP-A, SP-B, SP-C, SP-D
(Surfaktan Protein A). Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kartisol
(reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveoli tipe II). Namun produksinya akan
meningkat saat ibu strees atau dapat ditambahkan dengan pengobatan
deksametason pada ibu hamil yang di diagnosis anaknya mengalami defisiensi
surfaktan. Fungsi surfaktan sendiri adalah untuk untuk menjaga agar kantong
alveoli tetap berkembang dan berisi udara. Biasanya surfaktan ini didapatkan pda
paru-paru yang matur (sempurna/dewasa). Fungsi surfaktan ini melawan tegangan
permukaan sehingga alveoli tidak mengempis/kollaps.11
2.9 Resistensi paru dan jalan nafas
Gambar 19.
Sistem respirasi bertanggung jawab mengantarkan oksigen (O2) sebagai salah
satu bahan penting yang diperlukan untuk metabolisme sel dan mengeluarkan
karbondioksida (CO2) sebagai hasil metabolisme sel. Proses respirasi terbagi dua
yaitu respirasi eksterna dan respirasi interna. Respirasi eksterna meliputi ventilasi
paru (proses mekanik yang mengatur keluar masuknya udara dari udara luar
sampai ke alveoli) dan difusi paru (proses pertukaran gas antara ruang alveoli
dengan kapiler darah menembus dinding alveoli, jaringan interstisial dan endotel
kapiler paru). Sedangkan respirasi interna meliputi utilisasi O2 (pemakaian O2
pada proses pelepasan energi dalam sel) dan difusi sel (pertukaran gas antara
darah kapiler sengan sel menembus dinding kapiler dan dinding sel).35
Gangguan pada sistem respirasi, baik respirasi interna maupun respirasi
eksterna, akan menyebabkan hipoksemia (kadar oksigen dalam darah di bawah
normal) dan atau hiperkapnia (kadar karbondioksida dalam darah di atas normal).
Kedua kondisi tersebut apabila berlanjut semakin berat akan berbahaya bagi
tubuh.35
Kemampuan ventilasi paru dipengaruhi oleh dua komponen utama yaitu
resistensi saluran napas (airway resistance) dan komplain paru (lung compliance).
Besarnya resistensi saluran napas pada keadaan normal berkisar antara 0,6 sampai
2,4 cmH2O/liter/detik, yang mampu mengalirkan udara sebanyak 0,5 liter/detik
atau 30 liter/menit. Resistensi saluran napas akan meningkat bila diameter saluran
napas mengecil dan/atau panjang saluran napas meningkat. Beberapa faktor yang
bisa meningkatkan resistensi saluran napas:35
1. Diameter saluran napas mengecil
2. Diameter saluran napas normal, namun ada obstruksi di
a. dalam lumen saluran napas: retensi sputum, aspirasi benda asing, dll
b. dinding saluran napas: tumor endobronkial, pasca intubasi, dll
c. luar saluran napas: tumor yang menekan saluran napas
Bila terjadi faktor-faktor tersebut maka diameter efektif saluran napas akan
berkurang sehingga resistensi saluran napas meningkat. Sebagai contoh bila
terjadi penurunan diameter saluran napas setengah dari nilai normal, maka
tekanan yang diperlukan untuk memasukkan aliran udara yang sama seperti waktu
normal akan meningkat 16 kali.35
Resistensi saluran napas akan meningkat pada pasien yang terintubasi,
semakin kecil diameter ETT semakin tinggi resistensi. Karena itu ukuran ETT
yang terbaik adalah ETT yang terbesar yang sesuai dengan trakea pasien. Selain
itu mukus plak dalam ETT sangat berperan dalam meningkatkan resistensi saluran
napas. Faktor lain yang mempengaruhi resistensi saluran napas adalah sirkuit
ventilator dan air kondensasi ventilator. Semakin panjang sirkuit dan jumlah air
yang berlebihan akan meningkatkan resistensi saluran napas.35
Secara lengkap uji faal paru dilakukan dengan menilai fungsi ventilasi,
difusi gas, perfusi darah paru dan transport gas O2 dan CO2 dalam peredaran
darah. Fungsi pam disebut normal apabila PaO2 lebih dari 50mmHg dan PaCO2
kurang dari 50mmHg dan disebut gagal napas apabila PaCO2 kurang dari
50mmHg dan PaCO2 lebih dari 50mmHg. Apabila PaO2 lebih dari 50mmHg dan
PaCO2 kurang dari 50mmHg, dikatakan bahwa fungsi difusi gas berlangsung
normal. Untuk keperluan praktis dan uji skrining, biasanya penilian faal paru
seseorang cukup dengan melakukan uji fungsi ventilasi paru. Apabila fungsi
ventilasi nilainya baik, dapat mewakili keseluruhan fungsi paru dan biasanya
fungsi-fungsi paru lainnya juga baik. Penilaian fungsi ventilasi berkaitan erat
dengan penilaian mekanika pernapasan. Untuk menilai fungsi ventilasi digunakan
spirometer untuk mencatat grafik pernapasan berdasarkan jumlah dan kecepatan
udara yang keluar atau masuk ke dalam spirometer.36
3. Mescher, AL. Histologi dasar Junqueira. Edisi 12. Jakarta: EGC; 2011.
6. Godfrey Richard. The nose and the lower airways, Lancet. 1994 Apr 23;343
(8904):991-2.
8. Werner Kahle dkk. Atlas Berwarna dan Teks Anatomi Manusia; Alat-alat
Dalam, Jilid 2, Hipokrates, 1998:107-15.
10. Hasleton P.S. & Curry A. Anatomy of the lung. In: Spencer's Pathology of the
Lung, 5th edn, New York.: McGraw-Hill, 1996: 1–40 (ed. P.S. Hasleton).
12. Des Jardins Terry R, Cardiopulmonary Anatomy & Physiology: Essentials For
Respiratory Care, Fourth edition, 2001:7- 34, Delmar Publisher
13. Lauralee, Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta:
EGC; 2011.
14. Guyton A.C, Hall J.E. Fisiologi Jantung, dalam : Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC, pp. 262-3. 2008.
15. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 6th ed. Jakarta: EGC; 2012.
16. Guyton, Hall. Text Book of Medical Physiology. New York : W B Saunders.
1996
18. Depkes RI.Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta. Depkes
RI. 2008.
22. Wilmore and Haskel. Body composition and endurance capacity of profesional
football player. J. Appl Physiol. 1972; 33:564.
23. Brian JE. Breathing, Aerobic Conditioning and Gas Consumption. 2007.
http://www.gue.com/Research/Exercise/q2_3g.html
24. Salome CM, King GG, Berend N. Physiology of Obesity and Effect on Lung
Function. J Appl Physiol. 2010;108:206-11.
25. Salome CM, King GG, Berend N. Physiology of Obesity and Effect on Lung
Function. J Appl Physiol. 2010;108:206-11.
26. Pedoto A. Lung Physiology and Obesity: Anesthetic Implications for Thoracic
Procedures. Anesthesiology. 2012:1-2.
30. Arter JL, Chi DS, Girish M, Fitzgerald SM, Guha B, Krishnaswamy G:
Obstructive sleep apnea, inflamation and cardiopulmonary disease. Frontiers
in Bioscience; 9: 2892–900. 2004.
37. Siswanto A. Hubungan antara Latihan Fisik dan Kapasitas Vital Paru pada
Siswa Pencak Silat Persaudaraan Setia Hati Terate di Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta; 2014.
38. Nemaa PK. 2003. Respiratory Failure. Indian Journal of Anaesthesia, 47(5):
360-6
39. Shapiro BA and Peruzzi WT. 1994. Physiology of respiration. In Shapiro BA
and Peruzzi WT (Ed) Clinical Application of Blood Gases. Mosby, Baltimore,
Pp. 13-24.
40. Sue DY and Bongard FS.2003. Respiratory Failure. In Current Critical Care
Diagnosis and Treatment, 2nd Ed, Lange-McGrawHill, California, Pp. 269-89
41. Behrendt C.F. (2000). Acute Respiratory Failure in the United States:
Incidence and 31-day survival. Chest, Volume 118, Number 4, p 1100-1105.