Anda di halaman 1dari 38

PENDAHULUAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama morbiditas dan kecacatan di Amerika Serikat dan

Inggris yang akan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang.1 Penyakit ini dapat terjadi pada banyak orang selama bertahun-tahun dan merupakan penyebab utama kematian urutan keempat di dunia.2 Penyakit paru obstruktif kronik diperkirakan akan menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia pada tahun 2020.3 Definisi PPOK didasarkan pada patofisiologi dari hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan bersifat progresif. Obstruksi saluran napas berhubungan dengan respon inflamasi abnormal terhadap gas atau partikel berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan penyakit.4,5 Penyakit paru obstruktif kronik dipahami sebagai kelainan spesifik struktur saluran napas (bronkitis dan bronkiolitis) dan parenkim paru (emfisema).4 Kelainan struktural paru berkaitan dengan reaksi inflamasi saluran napas, alveoli, dan pembuluh darah paru.6 Derajat dan tingkat keparahan PPOK ditentukan dari tekanan ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan rasio VEP1 dengan kapasitas vital paksa/ KVP (VEP1%).7 Inflamasi saluran napas ini mempengaruhi struktur dan fungsi paruparu yang menyebabkan terjadinya obstruksi saluran napas.8 Dampak PPOK bermanifestasi sistemik yang berhubungan dengan penyakit ini.9 Tinjauan pustaka ini akan membahas immunopatogenesis efek sistemik PPOK terhadap beberapa organ tubuh yang sering mengenainya.

DEFINISI Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun/ berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.2,4 Asap rokok merupakan faktor resiko terbesar meskipun pada beberapa daerah polusi udara juga merupakan penyebab utama PPOK.2,4,7 PATOGENESIS Penyakit paru obstruktif kronik berhubungan dengan komponen inflamasi yang akhirnya mengarah pada kerusakan jaringan.10 Emfisema merupakan kontributor terbesar pada kejadian PPOK. Kelainan pada emfisema berbentuk pelebaran abnormal dan permanen ruang udara distal bronkiolus terminalis yang diakibatkan oleh destruksi difus dinding alveoli tanpa fibrosis yang nyata, bersifat kronik, progresif dan memberikan kecacatan menetap.11-13 Kerusakan serat elastin dinding saluran napas diakibatkan oleh ketidakseimbangan enzimatis antara elastase dan anti elastase. Elastin merupakan senyawa protein yang berfungsi mempertahankan elastisitas paru sedangkan elastase merusak jaringan elastin dinding saluran napas dan paru. Kerusakan jaringan elastin mempengaruhi jaringan ekstra seluler parenkim paru berupa peningkatan serat kolagen sebagai konsekuensi remodeling jaringan ikat paru dan sifat elastisitas paru menjadi hilang.11 Asap rokok merupakan salah satu penyebab penting dalam penyakit PPOK.2,4,12 Kebiasaan merokok mempengaruhi sistem pertahanan tubuh bawaan dengan peningkatan produksi mukus dan penurunan bersihan mukosilier, dimana membuat kerusakan pada pertahanan epitelial dan merangsang migrasi dari polymorphonuclear neutrophils (PMNs), monosit/ makrofag (M), cluster of

differentiation 4+ (CD4+), cluster of differentiation 8+ (CD8+), sel limfosit B, sel dendritik dan sel natural killer (NK), masuk ke dalam jaringan yang rusak.13 Gambar 1 menunjukkan faktor-faktor inflamasi yang berperan pada PPOK. Partikel asap rokok melewati sel epitel paru dan ditangkap oleh antigen presenting cell (APC). Makrofag alveolar mempengaruhi sel-sel inflamasi, dengan cara mengeluarkan kemokin. Limfosit T CD8 menyebabkan kerusakan parenkim paru, melalui perforin dan granzyme.12

Gambar 1. Sel inflamasi pada patogesesis PPOK. APC: antigen presenting cell, CXCL8 : C-X-C motif chemokine 8, CXCL10 : C-X-C motif chemokine 10, MMP's : matriks metaloproteinase, CD 4 : cluster of differentiation 4, CD 8 : cluster of differentiation 8, dikutip dari 12

Etiologi dari obstruksi jalan napas dan emfisema yang membuat keterbatasan jalan napas adalah kerusakan jaringan paru yang bersifat menetap dan disebabkan karena inhalasi kronis dari partikel dan gas beracun. Gambar 2 memperlihatkan hasil penelitian bronkitis kronis dan emfisema yang dilakukan oleh Fletcher dan rekan, dengan kategori derajat PPOK dari Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) yang ditunjukkan sebagai garis horisontal. 13

Gambar 2. Hubungan antara onset patologis PPOK dan tingkat keparahan PPOK dari GOLD dikutip dari (13) Sekitar 20% dari populasi perokok terdapat penurunan fungsi paru. Makrofag, netrofil, dan subtipe limfosit menginfiltrasi jaringan paru perifer perokok dengan fungsi paru normal (GOLD 1). Infiltrasi ini meningkat seiring dengan tingkat keparahan PPOK. Peningkatan proses remodelling (penebalan dari saluran napas kecil dan pengecilan diameter saluran napas oleh mukus yang

berisi eksudat inflamasi) dari tingkat sedang (GOLD 2) sampai tingkat sangat berat (GOLD 4). Peningkatan formasi dari folikel limfoid memperlihatkan respon imun adaptive naik pada level berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4). Penelitian oleh Fletcher dan rekan mengindikasikan bahwa ukuran dari hasil proses remodelling, berhubungan erat dengan kelainan saluran napas kecil dan VEP1 pasien PPOK, dibandingkan dengan luas dan beratnya infiltrasi sel radang yang menginfiltrasi jaringan paru.13 Seorang perokok menunjukkan penurunan VEP1 yang memicu pada tingkat keparahan berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4) dari PPOK. Proses inflamasi terjadi pada paru perokok, dan respon ini menjadi lebih berat (amplifikasi) pada 20% populasi perokok yang membuat tingkat penyakit PPOK menjadi lebih berat. Mekanisme amplifikasi ini masih belum dipahami, tetapi mungkin melibatkan kedua fitur dari genetik dan/atau epigenetik, serta perbedaan dalam dosis partikel dan gas terhirup.13,14 Sistem pertahanan alami dari paru, termasuk bersihan mukosilier, pertahanan epitel, faktor-faktor koagulasi (yang menghentikan perdarahan mikroskopis saat terjadi cedera jaringan), dan sel-sel inflamasi (yang mengeksudasi plasma dan migrasi sel-sel imun inflamasi ke dalam bagian yang rusak), memberikan respon awal yang cepat terhadap berbagai mekanisme patologis, tetapi tidak memiliki kekhususan (spesifitas), keanekaragaman yang terbatas, dan tidak mempunyai memori. 2,4,7,10-12 Kebiasaan merokok tembakau juga merangsang komponen humoral dan seluler dari respon imun adaptive untuk memberikan reaksi jauh lebih spesifik dan sangat beragam yang memiliki memori untuk paparan sebelumnya pada bahan asing yang masuk ke dalam paru.14Ciri histologis respon imun adaptif adalah terdapat folikel limfoid dengan pusat germinal yang biasa ditemukan pada kelenjar getah bening regional. Jaringan limfoid bronkus (bronchus associated

lymfoid tissue/ BALT), jarang ditemukan di paru yang sehat, tampak pada 5% dari perokok dengan fungsi paru normal (GOLD 1), yang naik secara tajam pada penderita PPOK tingkat berat (GOLD 3) dan sangat berat (GOLD 4). Keadaan ini mungkin disebabkan adanya peningkatan dari respon kekebalan adaptive terhadap kolonisasi dan infeksi pada saluran napas bawah yang sering didapat pada tingkat PPOK yang berat.13,15 Secara umum, empat mekanisme utama yang bertanggung jawab untuk perubahan terlihat pada PPOK: stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan protease-antiprotease, dan apoptosis.16 Infeksi dan asap rokok menyebabkan gangguan keseimbangan oksidan dan antioksidan, menimbulkan stress oksidatif, dan selanjutnya menyebabkan cedera langsung ke komponen paru, yang memicu/memperburuk mekanisme pathogenik lainnya. Proses ini ditunjukkan pada gambar 3 dibawah .17

Gambar 3. Stres oksidatif pada PPOK. Dikutip dari (17)

Oklusi lumen dan penebalan dinding jalan napas lebih mempengaruhi penurunan VEP1 dibanding luas (jumlah) saluran udara yang terlibat atau keparahan (volume akumulasi) dari sel-sel inflamasi dalam saluran udara.13,16Sumber utama oksidan pada saluran napas adalah makrofag alveolar, sel epitel, sel endotel dan sel-sel inflamasi melibatkan seperti neutrofil, eosinofil, monosit dan limfosit. Aktivasi sel-sel menghasilkan pembentukan ion negatif oksigen (O2-), yang dengan cepat diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2) oleh enzim superoxide dismutase (SOD).16 Asap rokok mengaktifkan sel-sel epitel dan makrofag melepaskan beberapa faktor kemotaktik yang menarik sel-sel inflamasi ke paru, termasuk ligan CC kemokin 2 (CCL2). Faktor kemotaktik CCL2 bekerja pada reseptor CC kemokin 2 (CCR2), (untuk menarik monosit), CXC kemokin ligan 1 (CXCL1) dan CXC-kemokin ligan 8 (CXCL8), yang bekerja pada reseptor kemokin CXC2 (CXCR2) untuk menarik neutrofil juga monosit, dan CXC-kemokin ligan 9, 10, dan 11 (CXCL9, CXCL 10, dan CXCL 11) bekerja pada reseptor kemokin CXC 3 (CXCR3) untuk menarik sel T helper 1 (Th1) dan sel tipe 1 T sitotoksik (Tc-1). Sel T helper 1 (Th1) dan sel tipe 1 T sitotoksik (Tc-1) melepaskan interferon (IFN-). Sel inflamasi ini bersama dengan makrofag dan sel-sel epitel, melepaskan protease, seperti matriks metalloproteinase 9 (MMP9) yang menyebabkan degradasi elastin dan menyebabkan emfisema.17 Netrofil elastase juga menyebabkan hipersekresi lendir. Sel epitel dan makrofag melepaskan transforming growth factor (TGF-) dan fibroblast growth factor (FGFs), (merangsang proliferasi fibroblas) mengakibatkan fibrosis pada saluran udara kecil. Sitokin proinflamasi tumors necrotic faktor , interleukin 1, dan interleukin 6 dapat memperkuat efek peradangan. Hipersekresi lendir disebabkan oleh epidermal growth factor (EGF) transforming growth factor (TGF-).17 dan

Gambar 4. Jaringan sitokin pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). CCR3 : reseptor C-C kemokin tipe 3; CTGF : connective tissue growth factor); CCL5 : Kemokin (C-C motif) ligan 5; IL-4 : interleukin 4; IL5 : interleukin 5; TGF- : tranforming growth factor ; FGF : fibroblast growth factor; IFN- : interferon ; CXCR3 : reseptor kemokin CXC 3; Th1: sel T helper 1; Tc1 : sel tipe 1 T sitotoksik; Th17 : sel T helper 17; CXCL9, CXCL 10, dan CXCL 11 : CXCkemokin ligan 9, 10, dan 11; IL-23 : interleukin 23; TNF- : tumors necrotic faktor ; IL-1 : interleukin 1; IL6 : interleukin 6; CXCL1 : CXC kemokin ligan 1; CXCL8 : CXC-kemokin ligan 8; CXCL1 : CXC-kemokin ligan 1; CXCL5 : CXC-kemokin ligan 5; CXCR2 : reseptor kemokin CXC-2; CCL2 : kemokine (C-C motif) ligan 2; CCR2 : CCR2 : reseptor CC kemokin 2; MMP-9 : matrix metaloproteinase 9; MMP-12 : matrix metaloproteinase 12; EGF : epidermal growth factor; TGF- : transforming growth factor (dikutip dari (17)

PPOK DAN INFLAMASI SISTEMIK Pasien PPOK pada saat eksaserbasi dan perburukan penyakit, timbul inflamasi sistemik, yang dapat dilihat dengan peningkatan sitokin, kemokin dan protein fase akut, juga terdapat abnormalitas pada sirkulasi sel. Asap rokok dapat menimbulkan inflamasi sistemik dan peningkatan jumlah total lekosit pada orang normal, tetapi pada pasien PPOK tingkat inflamasi sistemik yang timbul lebih besar lagi.18 Faktor inflamasi sistemik yang keluar dari perifer paru, masih belum dapat dipastikan, apakah kelainan paralel, ataukah terdapat hubungan dengan beberapa penyakit komorbid yang lalu menimbulkan efek pada paru. Komponen inflamasi sistemik ini merupakan manifestasi sistemik PPOK dan dapat memperburuk penyakit komorbid pada penderita PPOK.6,8,9,18 Tabel 1 menunjukkan beberapa efek sistemik PPOK. Mekanisme yang mendasari efek-efek sistemik masih belum jelas, diperkirakan terdapat hubungan antara peradangan sistemik, hipoksia jaringan, stres oksidatif, dan sedentarism.8,18

Dikutip dari (18)

Pasien tanpa PPOK, merokok adalah salah satu faktor risiko penting penyakit kardiovaskular (keberadaan PPOK pada perokok, secara signifikan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular). Asap rokok menginduksi inflamasi dan menstimuli disfungsi endotel, juga pada perokok pasif. 3,8 Penelitian Vernooy dan rekan menunjukkan bekas perokok juga terjadi peradangan sistemik, hal ini menunjukkan bahwa merokok bukan satu-satunya faktor menginduksi inflamasi sistemik pada PPOK. Peradangan yang terjadi setelah berhenti merokok juga terjadi di paru pasien dengan PPOK yang menimbulkan pemikiran kemungkinan bahwa patogenesis PPOK dapat termasuk komponen autoimun. Temuan ini juga dapat berkontribusi untuk menjelaskan inflamasi sistemik pada pasien ini.6,18

Gambar 5. Efek sistemik dan komorbid pada PPOK. IL-6 : interleukin 6; IL-1 : interleukin 1; TNF- : tumors necrotic faktor . dikutip dari (18) Sitokin-sitokin dikeluarkan dari jaringan perifer paru seperti interlukin 6 (IL-6), interleukin 1 (IL-1) dan tumors necrotic faktor (TNF-) ke dalam sirkulasi sistemik yang meningkatkan fase akut protein seperti C-reactive protein

10

(CRP). Inflamasi sistemik dapat menimbulkan atrofi otot skeletal dan cachexia, selain itu juga memperburuk penyakit komorbid yang ada. Inflamasi sistemik mempercepat pertumbuhan kanker paru.18 Tabel 2. Mediator inflamasi sistemik yang meningkat pada PPOK. C-reactive peptide Copeptin IL-8 IL-6 Tumor necrosis factor- Leptin Eosinophillic cationic protein Myeloperoxidase 1-Antitripsin Leukotrin E4 and B4 Fibrinogen Myeloid progenitor inhibitory factor-1 (MPIF-1) Pulmonary and activationregulated chemokine (PARC) Soluble intercellular adhesion molecule-1 (sICAM-1) Adiponectin (ACRP-30) Dikutip dari (5) Asap rokok atau penyebab iritasi saluran napas lainnya dapat menginduksi makrofag alveolar, sel epitel alveolar, atau sel dendritik untuk mensekresi faktor kemotaksis sel-sel inflamasi.13 Tabel 2 menunjukkan terjadinya peningkatan regulasi pada beberapa mediator inflamasi saat eksaserbasi PPOK. Faktor-faktor tersebut pada darah meningkat dibandingkan dengan orang normal yaitu CRP, IL-8, TNF- , leptin, endotelin-1, eosinofil protein myeloperoxidase, kationik, fibrinogen, IL-6, 1-antitripsin, dan leukotrin E4 dan leukotrin B4.5,13,18 Interleukin 6 dan C-reactive protein meningkat terutama saat terjadi infeksi oleh bakteri patogen.5 Kemokin (CXC motif) ligan 1 (CXCL-1) dan kemokin (CXC motif) ligan 8 (CXCL-8), ligan untuk reseptor kemokin CXC 1 (CXCR-1) dan reseptor kemokin CXC 2 (CXCR-2), yang meningkat pada

11

induksi dahak dan cairan bilasan bronkus dari pasien dengan PPOK. Kemokin CXC menarik berbagai jenis leukosit.13 1. DISFUNGSI OTOT DAN MALNUTRISI PADA PPOK Kelemahan otot rangka adalah salah satu efek sistemik utama PPOK dan sering disertai dengan kehilangan massa bebas lemak/ free fatty mass (FFM).2,3,69,14,18,19,21

Kelemahan otot dapat mendahului keadaan kakeksia. Otot skeletal

sekitar 40%-50% dari jumlah total massa berat tubuh. Perubahan protein otot rangka adalah suatu proses keseimbangan antara sintesis dan pembongkaran protein. Pasien dalam keadaan akut, seperti trauma dan sepsis, pembongkaran protein otot terjadi dengan cepat dan luas. Pasien dengan keadaan kronis, berkurangnya massa otot terjadi dalam waktu yang lambat.1,18 Disfungsi otot ditandai oleh dua fenomena yang terkait: a) gangguan fungsi otot, dan, b) banyaknya hilangnya massa otot, yang terjadi pada pasien PPOK. Sarkopenia adalah pengurangan massa otot dalam jangka waktu sangat lama, yang disebabkan faktor usia.19 Data dari penelitian menunjukkan fungsi dan struktur otot rangka berhubungan dengan PPOK, terutama tipe otot IIa/IIx yang mengalami atropi pada pasien PPOK.18,19 Fungsi otot dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menghasilkan kekuatan otot, dan mempertahankan kontraksi otot. Disfungsi otot perifer, sebagian besar terjadi pada pasien PPOK. Pasien PPOK terjadi gangguan kekuatan, daya tahan, dan kelelahan otot perifer ditunjukkan pada gambar 6.19 Disfungsi otot perifer merupakan hal yang sering diteliti pada efek sistemik PPOK, namun mekanismenya masih belum diketahui, tetapi berkurangnya aktifitas pada pasien PPOK merupakan faktor yang penting. Degradasi protein otot rangka terjadi melalui sistem proteolitik, termasuk jalur lisosomal, kalsium protease, calpain dan jalur 26s proteasome ubiquitin.18

12

Gambar 6. Disfungsi otot perifer pada PPOK. Dikutip dari (19) Inflamasi sistemik adalah faktor penting dalam patogenesis berkurangnya berat badan dan hilangnya massa otot.19 Nuclear factor kappa (NF-B) yang teraktifasi pada otot rangka pasien PPOK dapat menginduksi atrofi otot rangka. Penghambatan NF-B mengembalikan massa otot di sejumlah percobaan. Penurunan aktivitas fisik dapat mendorong inflamasi sistemik yang dimediasi oleh penurunan fungsi dari faktor transkripsi peroxisome proliferator-activated receptor gamma coactivator 1-alpha (PPAR/PGC-1), pada otot rangka pasien PPOK regulator ini berkurang jumlahnya.18,19 Hipertrofi dan atrofi otot dipengaruhi beberapa faktor. (Gambar 7) Protein kinase serin/ treonin intraseluler (Akt) merupakan pengatur sentral jalur sinyal yang terlibat dalam regulasi hipertrofi dan atrofi otot. Insulin like growth factor-1 (IGF-1) mengaktifkan Akt melalui fosforilasi Akt-P oleh phosphoinositide 3-kinase (PI3K), dan pe-nonaktifasi-an dari faktor transkripsi

13

forkhead box O (FOXO), mampu memblok kerusakan protein otot yang disebabkan pemecahan muscle-specific E3-ligases atrogin-1 dan protein musclespecific RING finger 1 (MuRF1). Jalur hipertrofik otot dirangsang oleh Akt yang terfosforilasi (Akt-P) juga merangsang berbagai mammalian target of rapamycin (mTOR) dan glikogen sintase kinase-3 (GSK3). Mammalian target of rapamycin (mTOR) dapat mempromosikan sintesis protein melalui aktivasi 70kD ribosomal S6 protein kinase (p70S6K) dan penghambatan eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein-1 (BP1-4E).19 Degradasi ubiquitin memiliki peran dalam pemecahan protein otot rangka pada pasien PPOK. Pasien PPOK dengan atrofi otot menunjukkan peningkatan ekspresi p70S6K, GSK3, dan 4EBP1.19 Gangguan fungsional otot rangka dan hubungannya dengan perubahan patofisiologi dan mekanisme patogenik menyebabkan penurunan fungsi otot pada pasien PPOK.19 Gangguan fungsi otot rangka pada PPOK berkaitan dengan peningkatan produksi reactive oxygene species (ROS) dan/ atau menurunkan kapasitas antioksidan. Otot rangka pasien PPOK saat istirahat, beraktifitas dan eksaserbasi, terjadi peningkatan produksi peroksidase (O2 ).19 Proteolisis dan peningkatan apoptosis sel otot rangka dapat disebabkan ROS. Biopsi otot pasien PPOK didapatkan peningkatan karbonilasi protein yang menunjukkan adanya peningkatan stres oksidatif. Peningkatan ekspresi dari inducible nitric oxide synthase (iNOS) dan formasi nitrotirosin (stres nitrosative) akan menimbulkan degradasi protein sel otot rangka. Stres oksidatif pada pasien PPOK ditunjukkan dengan adanya jumlah antioksidan yang meningkat.18-20
-

14

Gambar 7. Jalur sinyal yang mengatur hipertrofi dan atrofi otot. IGF-1 : insulin like growth factor-1, IGF 1-Rc : insulin like growth factor-1receptor, Akt : protein kinase B, Akt-P : Akt yang terfosforilasi, PI3K : phosphoinositide 3-kinase, FOXO-1,3 : forkhead box O, FOXO-1,3-P : forkhead box O yang terfosforilasi, NF-B : Nuclear factor kappa , MuRF1 : muscle-specific RING finger 1, GSK3 : glikogen sintase kinase-3, 4E- BP1 : eukaryotic translation initiation factor 4E binding protein-1, mTOR : mammalian target of rapamycin, p70S6K : 70-kD ribosomal S6 protein kinase. Dikutip dari (19) Gambar 8 menunjukkan mekanisme hubungan iNOS dengan penyusutan otot pada PPOK. Penyusutan massa otot diinduksi oleh TNF- yang terikat pada reseptor di sel otot dan mengaktifkan jalur sinyal NF-. Transkripsi iNOS pada tingkat mRNA (messenger ribonucleic acid) akan naik melalui jalur sinyal

15

tersebut dan berikatan dengan human antigen R (HuR) pada adenylate uridine rich element (ARE) di 3'-UTR (3-untranslated region). L-arginin akan diubah oleh iNOS menjadi citrulline yang melepaskan NO dalam prosesnya. Beberapa jalur NO-dependen menginduksi penyusutan otot.20 Nitric oxide (NO) berdifusi keluar dari sel dan bergabung dengan superoksida (O2 ) untuk membentuk peroksinitrit (ONOO-). Peroxynitrite berdifusi kembali ke dalam sel, dan secara selektif menghambat MyoD (myoblast determination protein 1), faktor transkripsi myogenic pada tingkat pasca-transkripsi. Hilangnya MyoD mengarah ke pengurangan dalam ekspresi MyHC (myosin heavy chain), dan mengganggu integritas dari kompleks protein myofibrillar.20 Produksi NO mengoksidasi Jun-D yang bersama dengan myogenin, meregulasi protein spesifik otot rangka, seperti CKM (creatine kinase muscle). Produksi NO dapat menghambat sintesis protein dengan menginhibisi sinyal mammalian target of rapamycin (mTOR) dan peningkatan fosforilasi eIF2 (alpha subunit of eukaryotic initiation factor 2) dan eEF2 (eukaryotic translation elongation factor 2), meskipun mekanisme yang terjadi masih belum diketahui.20 Rehabilitasi paru memperbaiki disfungsi otot rangka pasien PPOK yang didukung oleh peningkatan dalam kapasitas latihan dan peningkatan kandungan enzim oksidatif pada mitokondria seperti yang terdapat pada biopsi dari otot vastus lateralis. Fungsi otot tidak dapat kembali normal bahkan setelah transplantasi paru-paru. Terapi di masa mendatang diharapkan dapat membantu mengurangi stres oksidatif atau mengubah mekanisme patofisiologi dasar untuk disfungsi otot perifer sehingga memulihkan fungsi otot secara penuh.18
-

16

Gambar 8. Mekanisme induksi iNOS-penyusutan otot. TNF- : tumors necrotic faktor , NF-B : Nuclear factor kappa , iNOS : inducible nitric oxide synthase, ARE : adenylate uridine rich element, HuR : Human antigen R, Jun-D : faktor transkripsi pada gen jund, Ub : ubiquitin, MyoD : myoblast determination protein 1, NO : nitric oxyde. dikutip dari (20) 2. PENYAKIT KARDIOVASKULAR Paru dan jantung berhubungan secara anatomis dan fungsional yang saling mempengaruhi. Interaksi ini penting pada pasien PPOK dan terdapat dua jenis asosiasi. Pertama, berkaitan dengan kelainan dari faktor resiko yang sama, contohnya asap rokok dan coronary arterial disease (CAD), atau gagal jantung kongestif dan PPOK. Kedua, disfungsi jantung akibat dari penyakit paru primer, seperti hipertensi pulmonal dan gangguan ventrikel.18,21

17

Penelitian Sin dan rekan menyatakan 1237% pasien PPOK meninggal akibat penyakit kardiovaskular. Penyakit kardiovaskuler pada pasien PPOK meliputi infark myocard akut, aritmia, gagal jantung kronik, penyakit pembuluh darah perifer dan stroke. Pasien PPOK mempubyai resiko tinggi terhadap penyakit kardiovaskular.21 2.1. PENYAKIT JANTUNG KORONER DAN ATEROSKLEROSIS Paparan asap rokok, usia tua dan sedentarism merupakan faktor resiko PPOK dan penyakit jantung koroner (PJK). Pasien dengan keterbatasan aliran udara memiliki risiko tinggi kematian karena infark miokard. Pasien PPOK ringan dapat menderita penyakit kardiovaskular yang lebih berat dibandingkan penyakit pernapasannya. Secara klinik terdapat hubungan kuat antara penurunan VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama), angka kesakitan, dan angka kematian dari penyakit kardiovaskular.2,3,8,9,18 Faktor inflamasi menjadi pendorong kedua patologi pada ateroskelosis dan PPOK. Plak aterosklerotik dapat disebabkan inflamasi dengan peningkatan jumlah makrofag dan limfosit Th1 (sel limfosit T helper 1) mensekresi IFN- (interferon ).22,23 Ateroma secara dominan dibentuk dan dikembangkan oleh Th1. Makrofag, sel foam, dan sel T mensekresi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-8, IL15, TNF-, IFN-, dan IL-18). Sitokin proinflamasi menyebabkan ekspresi LAM (leukocyte adhesion molecules), kemotaksis monosit, dan sitokin spesifik yang mempunyai efek pada matrix metalloproteinase (MMPs), sintesis kolagen 1, angiogenesis, apoptosis, tissue factor (TF), dan ekspresi platelet-derived growth factor (PDGF). Sitokin Th2 menghambat efek pada jalur-jalur inflamasi, sehingga mendorong stabilitas plak. (gambar 9) 22

18

Gambar 9. Sitokin Th1/Th2 dalam meregulasi aterosklerosis. LAM : leukocyte adhesion molecules, IFN- : interferon , TNF- : tumors necrotic faktor , IL-1 : interleukin 1, IL-1 : interleukin 1, IL-18 : interleukin 18, IL-1 : interleukin 1, Th1: sel T helper 1, Th2 : sel T helper 2, IL-10 : interleukin 10, VSMC : vascular smooth muscle cell, EC : endothelial cell, MMPs : matrix metalloproteinase, TF : tissue factor, PDGF : platelet-derived growth factor, ROS : reactive oxygene species. Dikutip dari (22) 2.2. GAGAL JANTUNG Inflamasi yang terjadi pada pasien PPOK dapat menurunkan fungsi ventrikel kiri. Diagnosis gagal jantung pada PPOK sulit dikenali karena gejalanya yang hampir sama. Pengukuran B-type natriuretic peptide atau Nterminal prohormone brain natriuretic peptide (NT-proBNP) merupakan cara

19

untuk membedakan gagal jantung pada pasien PPOK dan dapat membedakan PPOK eksaserbasi akut dari gagal jantung dekompensasi.18 Kadar NT-proBNP yang meningkat pada pasien PPOK (kurangnya aktivitas fisik) menunjukkan kerusakan fungsi ventrikel kiri. Penilaian fungsi paru merupakan prediktor mortalitas yang baik dibandingkan faktor risiko jantung (seperti kolesterol serum) pada pasien PPOK.18 2.3. HIPERTENSI PULMONAL Hipertensi pulmonal (pulmonary arterial hipertension/ PAH) pada pasien PPOK dapat terjadi melalui beberapa faktor.(gambar 10) Oklusi unilateral arteri meningkatkan PAP (pulmonary arterial pressure) diatas normal (nilai normal 20 mmHg). Obstruksi akut pada vaskularisasi pulmonal berhubungan langsung dengan peningkatan PAP (PAP 40 mmHg menunjukkan obstruksi sekitar 80%).23 Sekitar 1-3% pasien PAH didapatkan obstruksi saluran napas yang tidak sebanding dengan tingkat PAH-nya. Pasien PPOK yang menjalani LVRS (lung volume reduction surgery) atau transplantasi paru, 50% menderita PAH derajat sedang sampai berat. PPOK derajat ringan sampai sedang arteri paru memiliki pembesaran lapisan intima karena terjadi gangguan proliferasi dan diferensiasi dari sel otot polos, deposisi kolagen dan serat elastis dengan pengurangan diameter lumen juga muskularisasi arteriol. Penyakit paru obstruktitif kronik fase awal terjadi disfungsi endotel (perubahan ekspresi dari endothelial nitric oxide synthase, prostacyclin synthase dan pelepasan mediator vasoaktif) yang akan menimbulkan PAH. Pasien PPOK derajat berat terjadi deposisi fibrosis, elastosis, dan otot-otot intima arteri pulmonaris.18,23

20

Gambar 10. Patogenesis hipertensi pulmonal dan cor pulmonale. Dikutip dari (23) Hasil akhir akan membentuk remodelling dari vaskular paru. Pemberian vasodilator tidak memberikan hasil yang baik karena gangguan utama pada pertukaran gas. Terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK dengan PAH, merupakan pilihan utama karena dapat memperlambat proses perburukan dari PAH. Peradangan di pembuluh darah paru pasien PPOK sama seperti yang terlihat pada saluran napas perifer dan parenkim, yaitu makrofag, limfosit T CD8 + dan neutrofil, juga terlihat pada pasien PPOK derajat ringan.18 2.4. KEKAKUAN PEMBULUH DARAH ARTERI DAN

GANGGUAN FUNGSI ENDOTEL Kekakuan arteri akibat penyakit vaskular adalah prediktor yang baik dari gangguan kardiovaskular dan dapat dinilai dengan aortic pulse wave velocity atau dengan tonometry arteri radialis. Kekakuan arteri pada pasien PPOK

21

mencerminkan mekanisme patologis pada jaringan ikat dan/ atau respon inflamasi sistemik PPOK.18 Gangguan atau kerusakan endotel merupakan awal terjadinya aterosklerosis. Sitokin proinflamasi dapat menginduksi gangguan endotel.22 Pasien PPOK dengan emfisema menunjukkan gangguan aliran akibat vasodilatasi yang mencerminkan penurunan fungsi endotel, sebagai respon peradangan sistemik. Penurunan fungsi endotel disebabkan gangguan sel progenitor endotel yang memperbaiki cedera pada endotel paru.18 3. ANEMIA NORMOSITIK Anemia tipe normokromik normositik, yang resisten terhadap eritropoetin, didapatkan pada 15-30% pasien PPOK tingkat berat. Pemberian suplemen besi tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan stres oksidatif sistemik. Terapi yang dianjurkan adalah dengan pemberian transfusi darah.18 Interleukin-1 (IL-1) dan interferon- (IFN- ) menghambat mobilisasi besi dengan peningkatan regulasi mRNA feritin. Eritropoesis juga dihambat oleh penurunan regulasi dan internalisasi dari reseptor transferin. Sitokin TNF (tumors necrotic factor) dan IL-1 juga terlibat dalam penghambatan pemakaian besi melalui mekanisme yang belum diketahui.24,25 Gangguan respon eritropoesis pada sumsum tulang disebabkan aktifitas IL-1, TNF- dan transforming growth factor- (TGF-) yang menghambat produksi eritropoetin (EPO) pada ginjal. IL-1, TNF- dan IFN- juga menghambat respon erythroid progenitor untuk EPO, dan INF-c menyebabkan apoptosis erythroid (dimediasi oleh ceramide dan nitrat oksida). Pada tingkat protein dan mRNA, INF- juga menurunkan ekspresi reseptor EPO. 24,25

22

Gambar 11. Patogenesis anemia dan faktor inflamasi Dikutip dari (25) 4. OSTEOPOROSIS Pasien PPOK tingkat ringan menunjukkan prevalensi osteoporosis dan menurunnya densitas mineral tulang (bone mineral density/ BMD. Pasien PPOK tingkat 4 dari GOLD, didapatkan osteoporosis sekitar 75%,. Keadaan tersebut berhubungan dengan berkurangnya free fatty mass (FFM).18 Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama juga berhubungan dengan osteoporosis pasien PPOK. Faktor sistemik ikut memegang peranan dalam keadaaan ini karena pada pasien PPOK yang tidak menerima kortikosteroid juga didapatkan osteoporosis.9 Pasien PPOK memiliki beberapa faktor risiko untuk osteoporosis, termasuk usia lanjut, kurangnya mobilitas, merokok, gizi buruk, body mass index

23

(BMI) yang rendah dan dosis tinggi kortikosteroid inhalasi serta pemakaian steroid oral. Penurunan BMD berhubungan dengan rendahya FFM pasien PPOK.18

Gambar 12. Hubungan inflamasi dan osteoporosis. IL-6 : interleukin 6, IL-1 : interleukin 1, IL-10 : interleukin 10, IL-12 : interleukin 12, IFN- : interferon , LDL : low density lipoprotein, TNF- : tumors necrotic faktor , BMPs : bone morphogenic proteins, M-CSF : macrophage colony stimulating factor, OPG : osteoprotegerin, PLTs : platelets, RANKL : receptor activator of nuclear factor B ligand, GFs : growth factors. Dikutip dari (27) Osteoporosis pada inflamasi kronik dipengaruhi oleh sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-1, IL-6 atau IFN-. Erosi tulang terutama oleh TNF dengan mempengaruhi osteoklas dan fungsi osteoblas.25 Mediator-mediator inflamasi (TNF-, IL-1b dan IL-6) bertindak sebagai stimulan dari osteoklas, menyebabkan penyerapan tulang. Osteoklas diregulasi oleh reseptor aktivator

24

NF-B (RANK) dan TNF-like ligan RANK, selanjutnya berikatan dengan TNF, dan dihambat pembentukannya oleh osteoprotogerin, suatu sitokin TNF yang diatur oleh TGF-.26,27 Lesi aterosklerotik terdiri dari makrofag yang mati. Antibodi yang dimediasi pertahanan imunologi, merespon inflamasi dengan mengeluarkan sitokin (IL-6, IL-1, TNF-, dan interferon) yang kemudian terjadi reaksi inflamasi sistemik. Skema dari proses aterosklerotik, berhubungan dengan sel tulang dan biomarker dari aterosklerotik dapat dilihat pada gambar 12. 27 Pasien PPOK dengan osteoporosis dapat diberikan bifosfonat. Pemberian alendronate pada pasien dengan PPOK menunjukkan beberapa perbaikan BMD di tulang belakang bagian lumbal, tetapi tidak memperbaiki osteoporosis pada tulang bagian pinggul, dengan pemberian obat selama 1 tahun.18 5. DEPRESI Gangguan fisik pasien PPOK membuat penurunan dalam aktifitas fisik dan keterbatasan dalam kegiatan sosial. Sekitar 10-80% penderita PPOK mengalami kecemasan dan depresi yang tampaknya lebih menonjol dibandingkan penyakit kronis lainnya.18 Mekanisme depresi pasien PPOK masih belum banyak diketahui, tetapi diperkirakan multifaktor yang mempengaruhinya. Efek penuaan, merokok dan hipoksemia pada fungsi otak cenderung untuk memberikan kontribusi penting. Peradangan sistemik dapat menimbulkan depresi, IL-6 tampak memainkan peran penting pada manusia dan pada hewan percobaan.18

25

Gambar 13. Proses inflamasi yang mempengaruhi oleh stres dan depresi. BDNF : brain-derived neurotrophic factor, CRH : corticotrophin releasing hormones, 5-HT : serotonin/ 5-hydroxytryptamine, NE : norepinefrin, DA : dopamin, TNF : tumors necrotic faktor, IL-6 : interleukin 6, IL-1 : interleukin 1, ACTH : adenocorticotropin hormone. dikutip dari (28) Sitokin proinflamasi mengurangi fungsi neurotropik dan neurotransmisi monoamin yang dapat menyebabkan apoptosis neuron dan kerusakan glia. Stres menyebabkan pelepasan hormon glukokortikoid, hormon kortikotropin dan sitokin proinflamasi (TNF, IL-1, IL-6). Saat depresi terjadi kegagalan fungsi transmisi serotonin/ 5-hydroxytryptamine (5-HT), norepinefrin (NE) dan dopamin (DA) umpan balik regulasi yang menumpulkan respon stres. Peningkatan aktifitas simpatik dapat melepaskan sitokin inflamasi. Sitokin inflamasi mengganggu sinyal monoaminergik, neurotropik dan mengurangi

26

sensitifitas reseptor pusat kortikosteroid, yang akan menyebabkan gangguan kontrol umpan balik dari respon stres. (Gambar 13) 28 Pemberian anti depresi tidak dianjurkan, sebaliknya rehabilitasi paru dapat mengurangi depresi pasien PPOK tidak memperbaiki gejala sesaknya. Keadaan depresi pasien PPOK harus menjadi sasaran terapi tersendiri. Psikoterapi pada rehabilitasi pasien PPOK dapat mengurangi depresi. Terapi lainnya, seperti terapi kognitif perilaku, juga dapat mengatasi keadaan depresi pada PPOK.18 Pedoman terapi secara neurobiologis, dengan remisi dan pemulihan pasien sebagai tujuan, menekankan pentingnya terapi depresi tidak hanya dalam intervensi dini dan komprehensif, tetapi juga perhatian kuat untuk gejala sisa dari depresi pasien.28 6. KANKER PARU Pasien PPOK tingkat berat, mempunyai 3-4 kali lebih besar untuk terjadi kanker paru. Wanita dengan PPOK, memiliki risiko yang lebih besar kanker paru, mungkin disebabkan stimulasi hormon akibat metabolisme karsinogen dari asap tembakau.18 Peningkatan prevalensi kanker paru pada pasien PPOK berhubungan dengan peningkatan peradangan dan stres oksidatif melalui aktivasi NF-. Sitokin proinflamasi dapat mempromosikan angiogenesis tumor yang mempercepat pertumbuhan sel dan metastasis. Faktor transkripsi nuclear factor erythroid 2-related factor 2 (Nrf2) yang mengatur beberapa antioksidan dan gen detoksifikasi terganggu secara fungsional. Epidermal growth factor receptors/ EGFR yang mempromosikan proliferasi epitel menunjukkan peningkatan ekspresi pada pasien PPOK.18,29

27

Gambar 14. Peningkatan resiko kanker paru pada PPOK. Inflamasi dan stres oksidatif yang meningkat. EGFR : epidermal growth factor receptors. Dikutip dari (18) Peningkatan resiko kanker paru pada PPOK dapat mencerminkan suatu peradangan pada paru maka pemberian anti inflamasi dan/ atau terapi antioksidan secara teoritis dapat menurunkan resiko kanker paru. Kortikosteroid inhalasi tampaknya tidak mengurangi angka kematian kanker paru, karena kortikosteroid inhalasi tidak menekan peradangan sistemik pasien PPOK. Pasien dengan kanker paru jenis non small cell dan adenokarsinoma, (terjadi mutasi EGFR), dapat dapat diberikan terapi tirosin kinase inhibitor EGFR, seperti erlotinib atau gefitinib yang juga bermanfaat untuk mengurangi hipersekresi lendir.18,25

28

Gambar 14. Interaksi Nrf2 - NF-1 dalam peradangan dan karsinogenesis. I: inhibitor protein of NF-B, NF-B: Nuclear factor kappa , NF-B: Nuclear factor kappa reticulum endoplasmic, BHA: butylated hydroxyanisole, Nrf2: nuclear factor erythroid 2-related factor 2, Keap1: Kelch-like ECH-associated protein 1. MAP3K: MitogenActivated Protein 3 Kinase, ARE: adenylate uridine rich element. Dikutip dari (29) Sinyal kimia yang dihasilkan oleh zat toksik dan faktor inflamasi dapat menyebabkan Nrf2 bertranslokasi nuklear yang menggerakkan koaktifator dan korepressor membentuk kompleks dengan Nrf2 multimolekular sebagai respon transkripsi modulasi melalui elemen respon antioksidan ARE. Inflamasi

29

menyebabkan pelepasan NF- dari IB masuk inti sel untuk memodulasi respon transkripsi melalui elemen respon NF-, NF--RE (NF- reticulum endoplasmic), bersama dengan kofaktor dari NF-. Beberapa anggota mitogenactivated protein kinase (MAPK, MAP2K, MAP3K) berikatan dengan Nrf2 dan NF-1 yang berinteraksi secara kompleks menimbulkan proses kemoprefentif dan farmakotoksikologik pada peradangan dan karsinogenesis. (Gambar 14) 29 7. DIABETES Hotamisligil dan Karasik menunjukkan sitokin proinflamasi TNF- dapat menginduksi resistensi insulin. Lemak tubuh melalui TNF- memproduksi sitokin dan substansi bioaktif lainnya termasuk leptin, IL-6, resistin, monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1), angiotensinogen, visfatin, retinol-binding protein-4, serum amyloid A (SAA). Sitokin dan kemokin akan mempromosikan jalur intraseluler yang menimbulkan resistensi insulin dan diabetes tipe 2.30 Peningkatan c-reactive protein/ CRP plasma, TNF- dan IL-6 tampak pada sindrom metabolik (resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler). Sindrom metabolik juga tampak pada pasien PPOK menunjukkan hubungan diabetes, penyakit kardiovaskular dan obstruksi jalan napas.18 Aktifitas fisik yang menurun akan meningkatkan jumlah malonyl CoA di hepar dimana secara de novo akan mempromosikan sintesa asam lemak dan menghambat aktifitas carnitine-palmitoyltransferase-1 (CPT1). Long chain acyl CoA esters (LC-CoAs) akan menjauh dari proses oksidasi mitokondria (siklus tricarboxylic acid/ TCA dan electron transport chain/ ETC) melalui enzim glycerol phosphate acyl transferase (GPAT-1), diacylglycerol acyl transferase-1 (DGAT-1) dan serine palmitoyltransferase-1 (SPT1) yang memproduksi trigliserida dan memberikan sinyal antara diacylglycerols (DAG) dan ceramide. Nutrisi berlebih juga menghambat proses anabolik pada retikulum endoplasma menyebabkan gagalnya pembentukan protein dan mengaktifasi inositol-requiring

30

kinase1 (IRE1). Stress pada Ser kinases akan timbul dimana fungsinya menghambat insulin-mediated glukoneogenesis, dan menimbulkan terjadinya sintesis lipid dan membatasi oksidasi . (Gambar 15) 31

Gambar 15. Proses resistensi insulin di hepar. AKT-2 : dikenal sebagai protein kinase B/ PKB, PGC-1 : PPAR- coactivator 1-alpha , PPAR : peroxisome proliferator-activated receptor-, IL-6 : interleukin 6, TNF : tumour necrosis factor , LC-CoAs : long chain acyl CoA esters, TF : transferrin, ACC : acetyl-CoA carboxylase, FAS : fatty acid synthase, CPT-1 : carnitine-palmitoyltransferase-1, TCA : tricarboxylic acid, ETC : electron transport chain, GPAT-1: glycerol phosphate acyl transferase, DGAT-1: diacylglycerol acyl transferase-1, SPT-1: serine palmitoyltransferase-1, DAG: diacylglycerols, TGs : trigliserides, IRE-1: inositol-requiring kinase1, PEPCK: phosphoenolpyruvate carboxykinase Dikutip dari (31)

31

8. OBSTRUCTIVE SLEEP APNOEA (OSA) DAN SINDROMA METABOLIK Penelitian Fletcher dan rekan menunjukkan sekitar 20% pasien OSA menderita PPOK, 10% dari pasien PPOK segala tingkat ditemukan OSA. Pasien OSA memiliki beberapa komorbiditas dari PPOK, seperti disfungsi endotel, gagal jantung, diabetes dan sindrom metabolik. Pasien OSA mengalami peradangan lokal saluran napas bagian atas, peradangan sistemik dan peningkatan reactive oxygen species (ROS)/ stres oksidatif. Sitokin interleukin-6 (IL-6) dan C-reactive protein (CRP) meningkat pada PPOK dan OSA18,32 Komponen selular akan rusak karena peningkatan stres oksidatif yang berkontribusi pada gangguan fungsi endotel pembuluh darah.32 Pasien PPOK sering ditemukan hipertensi, diabetes dan dislipidemia.32 Sindrom metabolik menggambarkan suatu sekelompok faktor risiko (obesitas perut, dislipidemia aterogenik, hipertensi, dan resistensi insulin) yang mempengaruhi pasien dengan peradangan sistemik, penyakit jantung, dan kurangnya aktivitas fisik.32-34

32

SIMPULAN 1. Penyakit paru obstruktif kronis akan terus meningkat selama beberapa dekade mendatang merupakan penyebab utama morbiditas dan kecacatan. 2. Empat mekanisme utama yang bertanggung jawab untuk perubahan terlihat pada PPOK: stres oksidatif, inflamasi, ketidakseimbangan proteaseantiprotease dan apoptosis 3. Dampak PPOK mempunyai efek sistemik berdasarkan faktor-faktor inflamasi yang keluar dari paru PPOK terutama CRP, IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF-. 4. Manifestasi sistemik PPOK adalah kakeksia, gangguan fungsi otot, gangguan jantung dan pembuluh darah, osteoporosis, anemia, depresi, OSA, diabetes. 5. Penatalaksanaan PPOK harus memperhatikan faktor komorbid dan efek samping sistemik yang timbul pada PPOK. 6. Pada masa mendatang diperlukan penelitian untuk sasaran terapi dan penatalaksanan PPOK terkait dengan efek sistemik dan komorbidnya.

33

DAFTAR PUSTAKA 1. Paul D. Scanlon, Stefan Andreas, Stefan D. Anker, Virend K. Somers. Neurohumoral Activation as a Link to Systemic Manifestations of Chronic Lung Disease. CHEST 2005; 128:36183624. 2. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. Pathology, Pathogenesis, and Pathophysiology. 2009. p. 24-28. 3. Angshu Bhowmik, Gavin C. Donaldson, Irem S. Patel, Jadwiga A. Wedzicha, John R. Hurst, Peter K. MacCallum, Terence A. R. Seemungal, Tom M. A. Wilkinson. Airway and Systemic Inflammation and Decline in Lung Function in Patients With COPD. CHEST 2005; 128:19952004. 4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Penyakit Paru Obstruktif Kronik Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Edisi revisi pertama. Jakarta : PDPI; 2011. p. 1-4, 11-18. 5. Emiel F. M. Wouters, Juanita H. J. Vernooy, Karin H. Groenewegen, Mieke A. Dentener. Systemic Inflammation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 4. p. 626634; 2007. 6. Alvar Agusti. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. What We Know and What We Dont Know (but Should). Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 4. p. 522525; 2007. 7. Jordan P. Metcalf, Kellie R. Jones. The Macrophage and Its Role in The Pathogenesis of COPD. In : Bartolome Celli, Klaus Rabe, Robert A. Stockley, Stephen I. Rennard, editors. Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Victoria : Blackwell; 2007. p. 219-28. 8. Alvar G. N. Agusti. Systemic Effects of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 2. p 367370, 2005 9. Clifford Smith. COPD is a systemic disease the extrapulmonary manifestations. Continuing Medical Education Vol.27 No.4. p.159-161; April 2009

34

10. Christopher B. Cooper, Leonard Fromer. A Review of the GOLD Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Patients With COPD. Continuing Medical Education. p.1219-1236; 2008. 11. H. Suradi, Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Tinjauan Patogenesis, Klinis Dan Sosial. (cited on 27 Oct 2012). Available from : http://www.uns.ac.id/penelitian.php?act=det&idA=26. 12. Jonathan Corne, Lucy Fairclough, Nina Lane, R. Adrian Robins. Regulation in chronic obstructive pulmonary disease: the role of regulatory T-cells and Th17 cells. Clinical Science 119. p.75-86; 2010. 13. Christine M. Freeman, James C. Hogg, Jeffrey L. Curtis. The Immunopathogenesis of Chronic Obstructive Pulmonary Disease - Insights from Recent Research. Proceedings Of The American Thoracic Society Vol 4. p 512 521; 2007. 14. William Macnee. Chronic Bronchitis And Emphysema. In : Anthony Seaton, Douglas Seaton, A. Gordon Leitch, editors. Crofton And Douglass Respiratory Diseases, 5th ed. vol. 1. Victoria : Blackwell; 2007. p. 616-57. 15. Faisal Yunus , Heidy Agustin. Proses Metabolisme Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Jurnal Respirasi Indonesia Vol.28 No.3. p.155-164; Juli 2008. 16. Antonio George de Matos Cavalcante, Pedro Felipe Carvalhedo de Bruin. The role of oxidative stress in COPD: current concepts and perspectives. Brazillian Journal of Pulmonology 35(12). p.1227-1237; 2009. 17. Peter J. Barnes. The Cytokine Network in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal Of Respiratory Cell and Molecular Biology Vol 41. p.631-638; 2009. 18. B.R. Celli, P.J. Barnes. Systemic Manifestations and Commorbidities of COPD. European Respirology Journal 33. p.1165-1185; 2009.

35

19. Jordi Vilar, Roberto A Rabinovich. Structural and Functional Changes of Peripheral Muscles in Copd Patients.Current Opinion Pulmonary Medicine Vol.16 (2). p.123-133; Maret 2010. 20. Derek T. Hall, Jennifer F. , Imed-Eddine Gallouzi, Sergio Di Marco. Inducible nitric oxide synthase (iNOS) in muscle wasting syndrome, sarcopenia, and cachexia. Aging Vol.3 No.8. p.1-14; Agustus 2010. 21. Thierry Trooster. Cardiovascular Disease. In : Linda Nici, Richard Zu Walack editors. Chronic Obstructive Pulmonary Disease Co-Morbidities and Systemic Consequences. London : Humana Press. 2012. p.47-60. 22. Jeffrey R. Bender, Vinod S, Vishal C. Mehra. Ramgolam. Cytokines and cardiovascular disease. Journal of Leukocyte Biology Vol.78. p.805-818; Oktober 2005. 23. R. Rodriguez-Roisin, W. MacNee. Pathophysiology of chronic obstructive pulmonary disease. European Respirology Journal 38. p.177-200; 2006. 24. A. Agusti, B. Schonhofer, T. Similowski, W. MacNee. The potential impact of anaemia of chronic Disease in COPD. . European Respirology Journal 27. p. 390396; 2006. 25. Dr. J. Badenhorst, Anemia of Inflammation (Chronic Disease). The New England Journal of Medicine 352. p.1011-23; 2005. 26. Fayez K. Ghishan, Pawel M. Majewski, Pawel R. Kiela, Rajalakshmy Ramalingam, Robert D. Thurston. Cooperative Role of NF-B and Poly(ADPribose) Polymerase 1(PARP-1) in the TNF-induced Inhibition of PHEX Expression in Osteoblasts. The Journal Of Biological Chemistry Vol. 285 No. 45, p. 3482838; November 5, 2010.

36

27. Mohammad Abdollahi, Pooneh Salari. A Comprehensive Review of The Shared Roles of Inflammatory Cytokines in Osteoporosis and Cardiovaskular Disease as Two Common Old People Problem; Action Toward Development of New Drugs. International Journal of Pharmacology Vol.7 No.5. p.552-567; 2011. 28. J. Russell, M. Robinson, S. G. Ball, S. Iyengar, T. Oakes, V. Maletic. Molecular Processes Mediating Neurobiological Changes. (cited on 27 Nov 2011). Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/567400_7 29. A.N. Kong, J Y Chan, L Cai, S Nair, S T Doh. Regulatory potential for concerted modulation of Nrf2- and Nfkb1-mediated gene expression in inflammation and carcinogenesis. British Journal of Cancer Vol.99. p. 207082; 2008. 30. Allison B. Goldfine, Jongsoon Lee and Steven E. Shoelson. Inflammation and insulin resistance. The Journal of Clinical Investigation Vol.116 No.7. p.17931801; Juli 2006. 31. Christopher B. Newgard, Deborah M. Muoio. Molecular and metabolic mechanisms of insulin resistance and -cell failure in type 2 diabetes. Molecular Cell Biology Journal Vol.9. p.193-205; Maret 2008. 32. Ruth Lee, Walter T. McNicholas. Obstructive Sleep Apnea in COPD Patients: Cardiovascular Disease in Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Obstructive Sleep Apnea Syndrome and Overlap Syndrome. (cited on : 17 Aug 2011), Available from : http://www.medscape.com/viewarticle/738111_7 33. Anne Kirsten, Benjamin Waschki, Gunther Kretschmar, Helgo Magnussen, Henrik Watz, Kai-Christian Mller, Olaf Holz. Thorsten Meyer. The Metabolic Syndrome in Patients With Chronic Bronchitis and COPD Frequency and Associated Consequences for Systemic Inflammation and Physical Inactivity. Chest Vol.136. p.1039-1046; June 19, 2009.

37

34. Atul Malhotra, David Kristo, Edward M. Weaver, Kannan Ramar, Lawrence J. Epstein, Michael d. Weinstein, Norman Friedman, Patrick J. Strollo, Jr., Richard J. Schwab, Robert Rogers, Susheel P. Patil. Clinical Guideline, for the Evaluation, Management and Long-term Care of Obstructive Sleep Apnea in Adults. Journal of Clinical Sleep Medicine Vol.5 No.3. p.263-276; 2009.

38

Anda mungkin juga menyukai