Anda di halaman 1dari 24

Referat

DERMATITIS ATOPIK

Disusun Oleh:
Azalia Talitha Zahra, S.Ked
04084821820062

Pembimbing:
dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat
Dermatitis Atopik

Oleh :
Azalia Talitha Zahra, S.Ked 04084821820062

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP
Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 17 September – 21 Oktober 2018.

Palembang, Oktober 2018

dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Dermatitis Atopik” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sarah Diba,
Sp.KK, FINSDV. selaku pembimbing yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan dokter muda dan semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak terdapat kesalahan
dan kekurangan. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami
harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Oktober 2018

Penulis
Dermatitis Atopik
Azalia Talitha Zahra, S.Ked.
Pembimbing: dr. Sarah Diba, Sp.KK, FINSDV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi FK Unsri
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN

Dermatitis atopik (DA) adalah penyakit kulit kronis berulang yang umum muncul saat
usia bayi dan anak. Dermatitis atopik sering berhubungan dengan abnormalitas dari fungsi
sawar kulit, sensitisasi alergen, dan infeksi kulit berulang.1 Sebagian besar kelainan genetik
merupakan faktor predisposisi dermatitis atopik, asma, rhinokonjungtivitis alergi dan penyakit
atopik lain.2

Dermatitis atopik merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia, dengan


prevalensi pada anak kisaran 10-20% di Amerika Serikat, Eropa Barat, Afrika, Jepang,
Australia dan negara maju industri lain sedangkan pada dewasa kisaran 1-3%. Perempuan
lebih banyak menderita DA dibanding laki-laki dengan rasio sebesar 1,3:1.0.1,3 Di Indonesia,
berdasarkan rekapitulasi yang dilakukan Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) dari
lima kota besar dengan 10 rumah sakit besar di Indonesia pada tahun 2000, DA menempati
peringkat pertama kisaran 23,67% dari 10 besar penyakit kulit anak dan pada tahun 2010
insiden DA meningkat menjadi kisaran 36%.4

DA merupakan penyakit kulit kronis, dimana manifestasi klinis bervariasi berdasarkan


usia. Gambaran klinis DA dapat berupa eritem, edema, kulit kering (xerosis), erosi/ekskoriasi,
basah dan berkrusta, serta likenifikasi. Perjalanan penyakit DA sering mengalami
kekambuhan dan dapat menghabiskan biaya yang banyak serta berdampak besar bagi kualitas
hidup pasien maupun keluarganya.1

Kompetensi DA bagi dokter umum adalah 4A yaitu mampu membuat diagnosis klinik
dan melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas. Pada tinjauan pustaka ini, akan
dibahas mengenai etiopatogenesis, manifestasi klinis, diagnosis banding, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis DA yang bertujuan menambah pengetahuan mengenai
DA.

1
ETIOPATOGENESIS

Patogenesis DA merupakan interaksi kompleks antara kelainan genetik, gangguan sawar


kulit, serta gangguan imunologik yang dipengaruhi faktor lingkungan dan stress.

A. Gangguan Sawar Kulit

Dermatitis atopik berhubungan dengan penurunan fungsi sawar kulit akibat mutasi gen
cytoskeleton keratin (filaggrin dan lorikrin), penurunan kadar seramid, peningkatan enzim
proteolitik endogen, dan peningkatan transepidermal water loss (TEWL). Filaggrin (FLG)
merupakan gen rentan pada DA yang menyandi profilagrin, yaitu suatu protein penting untuk
pembentukan dan hidrasi sawar kulit serta berperan dalam mengikat air pada stratum
korneum. Seramid merupakan kandungan di dalam lipid yang bersifat hidrofobik dan
berfungsi menghambat penguapan air. Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari
dermis menuju epidermis melalui dua cara yaitu melalui stratum korneum dan ruang
interseluler, karena itu normalnya air akan keluar dari tubuh melalui epidermis, keadaan ini
dikenal dengan transepidermal water loss. Stratum korneum mempunyai kemampuan untuk
menahan air yang tergantung dari fenotip dan susunan korneosit, komposisi dan susunan lipid
ekstraseluler dan adanya materi yang bersifat higroskopis kuat pada korneosit. Susunan
stratum korneum dianalogikan dengan “batu bata dan semen” (Brick wall with mortar).
Korneosit mewakili batu bata dan matriks yang terdiri dari lipid dan korneodesmoson
mewakili semen (Gambar 1).

2
Gambar 1. Model Brick and Mortar Stratum Korneum11
Gangguan fungsi sawar kulit pada dermatitis atopik meningkatkan absorpsi antigen
yang mengakibatkan hiper-reaktivitas kulit yang merupakan gambaran khas dermatitis atopik.
Paparan sabun dan deterjen akan meningkatkan pH kulit sehingga aktivitas protease endogen
meningkat dan memperburuk kerusakan fungsi sawar epidermal.1 Paparan protease eksogen
dari Staphylococcus aureus juga dapat merusak sawar epidermal. Hal tersebut bertambah
buruk dengan berkurangnya protease inhibitor endogen pada kulit atopik. Pada penderita
dermatitis atopik rata-rata tingkat keasaman (pH) kulit sedikit lebih basa, dan jumlah
sphingomyeline stratum korneum mengalami penurunan baik pada kulit yang berlesi maupun
tidak berlesi. Sphingomyeline merupakan salah satu metabolit sphingolipid yang memiliki
potensi efek antimikrobial pada tingkat fisiologis, selain itu sphingomyeline memiliki peranan
penting dalam mekanisme pertahanan terhadap bakteri pada kulit orang normal. Hal ini akan
berkontribusi pada peningkatan kecenderungan pasien dermatitis atopik untuk mengalami
infeksi bakteri S. aureus. Perubahan pada epidermis secara akumulatif akan meningkatkan
absorbsi alergen dan kolonisasi mikroba pada kulit.

B. Gangguan Imunologik
Salah satu fungsi utama kulit adalah perlindungan terhadap bahan patogen. Fungsi
tersebut dapat dicapai melalui dua mekanisme komplek yaitu mencegah masuknya patogen
dan pembentukan respons imun alami (innate) dan didapat (adaptive).5
Hipersensitivitas tipe 1 dan tipe IV/seluler berperan dalam patogenesis DA, antara lain
ketidakseimbangan Th-1 dan Th-2. Sel Th-2 berperan pada fase akut sedangkan sel Th-1
berperan pada fase kronik dan akan berkembang menjadi penyakit autoimun dengan adanya
3
reaksi IgE terhadap protein epidermal autolog disertai peran sel Th-17. Sel Th-2 mensekresi
IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, sedangkan sel Th-1 mensekresi IFN-γ, granulocyte macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) dan IL-12. 5
Jumlah sel Langerhans pada lesi DA kronik akan bertambah sehingga memicu
perubahan sel Th-1 menjadi sel Th-2. Pruritus pada DA merupakan pemicu pengeluaran
protein epidermal dari luka akibat garukan dan berperan sebagai self antigen. Self antigen
merupakan faktor pencetus terhadap terjadinya kronisitas penyakit.5
Sel Langerhans berperan dalam terjadinya respon imun alergik dan perubahan sel T naif
menjadi sel Th-2. Berbagai sel inflamasi dan tipe sel termasuk keratinosit dan sel endotel
vaskular berperan pada proses inflamasi. Keratinosit, eosinofil dan basophil memicu respon
sel Th-2. 5
Sistem pengenalan mikroba dan reaksi terhadap organisme melalui dua cara, yaitu
pengenalan patogen yang menginvasi dan membedakannya dengan mikroba non patogen, dan
bereaksi secara fisiologis untuk memusnahkan patogen tersebut. Patogen dikenali pathogen
associated molecular pattern (PAMPs) melalui pattern recognition receptors (PRRs) yang
terdapat intrasel pada membran sel di plasma dan jaringan. Toll like receptors (TLRs)
merupakan PRRs yang diekspresikan oleh keratinosit dan antigen presenting cells (APC).
Toll like receptors akan memicu ekspresi sitokin dan kemokin proinflamasi dan regulator
termasuk interleukin 1β (IL-1β), tumor necrosis factor (TNF-α), IL-6 dan IL-12. Setiap TLR
akan mengenali PRR tertentu. 5
Antimicrobial peptide (AMP) merupakan sistem yang digunakan kulit untuk bereaksi
dan mencegah perkembangan mikroba tidak terkontrol. Ekspresi dan fungsi AMP berupa
defensins, cathelicidins dan dermcidins pada pasien DA lebih sedikit dibandingkan kulit
orang normal. 5
Sel natural killer (NK) dapat melisiskan sel penjamu yang terinfeksi mikroba tanpa
memerlukan pengenalan terlebih dahulu. Sel NK menyebabkan pengeluaran berbagai macam
sitokin proinflamasi dan memicu sel imun alami lain. Pada pasien DA terdapat pengurangan
sel NK yang bersirkulasi dengan fungsi yang juga berkurang, ditandai dengan berkurangnya
sitokin T helper 1 (Th-1) berupa IFN-γ dan kadar normal sitokin Th-2 (IL-4), sedangkan
proses apoptosis berjalan normal. 5
Eosinofil dan makrofag akan memproduksi IL-12 untuk menginduksi diferensiasi sel
Th ke arah sel Th-1, yang berperan untuk menghentikan pembentukan sitokin sel Th-2 atau
Th-2/Th-17 pada fase akut ke fase kronik. Pada fase kronik peran sel Th-1 sangat dominan,

4
selain itu sel Th-1 juga mensekresi IL-2 dan IFN- ϒ. Kelangsungan hidup eosinofil dan
makrofag pada fase kronik ini akan dibantu oleh GM-CSF yang merupakan produksi dari
keratinosit. 5

GAMBARAN KLINIS

Dermatitis atopik dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan usia yaitu tipe infantil, yang terjadi
pada usia 2 bulan–2 tahun, tipe anak, terjadi pada usia 2-10 tahun dan tipe dewasa. Pruritus
merupakan ciri khas pada ketiga tipe DA tersebut. 2,6

A. Dermatitis Atopik Tipe Infantil

Dermatitis atopik tipe infantil terjadi pada usia 2 bulan-2 tahun, kisaran 50% terjadi
pada usia 1 tahun. Predileksi DA tipe infantil pada daerah kulit kepala, leher, dahi,
pergelangan tangan, dan ekstremitas bagian ekstensor. Daerah yang terkena berhubungan
dengan kemampuan infantil dalam menggaruk daerah lesi dan aktivitas infantil. Eksim pada
infantil dimulai dengan timbul eritema dan skuama pada daerah pipi (Gambar 2 dan Gambar
3).

Pada umumnya lesi DA tipe infantil eksudatif, banyak eksudat, erosi, krusta, dan dapat
mengalami infeksi. Eksudat merupakan efek sekunder menggaruk dan infeksi yang
menimbulkan krusta, infiltrasi dan pustul. Plak yang terinfiltrasi akan menimbulkan gambaran
karakteristik likenifikasi. Pola DA infantil menghilang pada akhir usia 2 tahun. Imunisasi atau
infeksi virus dapat memperburuk DA pada infantil.2,7

Gambar 2. Predileksi dermatitis Gambar 3. Gambaran DA berupa


atopik pada wajah bayi2 papul eritema konfluens di regio
buccalis 1

5
B. Dermatitis Atopik Tipe Anak

Dermatitis atopik tipe anak merupakan lanjutan dari tipe infantil atau timbul sendiri.
Predileksi biasanya terdapat di daerah lipat siku, lipat lutut (Gambar 3), kelopak mata, wajah,
dan leher. Lesi lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi, dan
sedikit skuama. Likenifikasi dan plak jarang terjadi pada lesi. Lesi tersebut bercampur dengan
papul ukuran 2-4 mm yang mengalami ekskoriasi dan menyebar lebih luas pada daerah yang
terbuka.2,7

Sebagian besar perubahan kulit merupakan efek sekunder pruritus. Garukan dapat
menyebabkan likenifikasi dan infeksi sekunder (Gambar 4). Dermatitis atopik berat pada
daerah yang luas dapat dihubungkan dengan keterlambatan pertumbuhan. Pembatasan dalam
diet serta penggunaan steroid dapat memperburuk keterlambatan pertumbuhan. 2

Gambar 4. DA anak pada daerah Gambar 5. Likenifikasi dan ekskoriasi


lipatan2 di regio dorsalis manus pada anak
dengan DA1

C. Dermatitis Atopik Tipe Dewasa

Orang dewasa yang menderita DA sebagian besar memiliki riwayat pada masa anak-
anak. Kisaran 6-14% pasien onsetnya setelah 18 tahun. Perubahan iklim sering dihubungkan
dengan klinis DA. Pada tipe ini timbul eritematosa lokal, papul, bersisik, eksudatif atau plak
likenifikasi (Gambar 5). Lokasinya di lipat siku, lipat lutut, bagian depan atau samping leher,
dahi, dan sekitar mata. Sebagian besar berupa likenifikasi dan prurigo seperti papul (Gambar
6). Lesi kering, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak likenifikasi dengan sedikit
skuama. Akibat gatal sering terjadi ekskoriasi dan eksudasi, serta menjadi hiperpigmentasi.
Pada pasien yang berkulit gelap, area yang mengalami penyembuhan ekskoriasi sering terjadi
hipopigmentasi. 2

6
Gambar 6. Likenifikasi daerah Gambar 7. Papul seperti prurigo
lipatan pada dermatitis atopik dewasa2 pada dermatitis atopik dewasa2

Terdapat beberapa gambaran klinis dan stigmata yang terjadi pada DA secara umum, yaitu:
Kulit kering atau Xerosis
Xerosis atau kulit kering (dry skin) didefinisikan untuk menggambarkan hilangnya atau
berkurangnya kadar kelembaban stratum corneum (SC). Kulit tampak dan terasa sehat apabila
lapisan luarnya mengandung 10% air. Peningkatan transepidermal water loss (TEWL) pada
pasien DA menyebabkan kulit kering sehingga air menguap ke atmosfer.10

Kulit penderita DA umumnya kering, bersisik, pecah-pecah, dan berpapul folikular


hiperkeratotik yang disebut keratosis pilaris. Jumlah kelenjar sebasea berkurang sehingga
terjadi pengurangan pembentukan sebum, sel pengeluaran air dan xerosis, terutama pada
musim panas.12

Iktiosis

Iktiosis adalah suatu kelainan keratinisasi yang menyebabkan kulit sangat kering dan
berskuama. 9

White dermatographism

Goresan pada kulit penderita DA akan menyebabkan kemerahan dalam waktu 10-15
detik diikuti dengan vasokonstriksi yang menyebabkan garis berwarna putih dalam waktu 10-
15 menit berikutnya.12

Reaksi vaskular paradoksal

Merupakan adaptasi terhadap perubahan suhu pada penderita DA. Apabila ekstremitas
penderita DA mendapat pajanan hawa dingin, akan terjadi percepatan pendinginan dan
perlambatan pemanasan dibandingkan dengan orang normal.14 hal ini diduga karena adanya

7
pelebaran kapiler dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang mengakibatkan
terjadinya edema dan warna pucat dijaringan sekelilingnya.9
Hiperlinear Plantaris

Pada kondisi kronis terdapat pertambahan mencolok lipatan pada telapak tangan
meskipun hal tersebut bukan merupakan tanda khas untuk DA.12 Pada umumnya pasien DA
sejak lahir memiliki banyak garis palmar yang lebih dalam dan lebih nyata, menetap
9
sepanjang hidup.
Lipatan Dennie-Morgan
Kelainan ini berupa cekungan yang menyolok dan simetris, namun dapat ditemukan
satu atau dua cekungan dibawah kelopak mata bagian bawah.keadaan ini pada saat lahir atau
segera sesudah itu dan bertahan sepanjang hidup, Nampak seperti edema dari kelopak mata
bawah namun bukan merupakan atonogmomik DA.9

Gambar 7. Lipatan infraorbita Dennie-morgan. 12


Sindrom buffed-nail
Kuku terlihat mengkilat karena sering menggaruk akibat rasa sangat gatal.12
Hiperpimentasi orbita
Sering dijumpai pada penderita penyakit alergi karena gosokan dan garukan berulang
jaringan di bawah mata dengan akibat perangsangan melanosit dan peningkatan timbunan
melanin.12
Hiperpigmentasi
Terdapat daerah hiperpigmentasi pada penderita DA akibat garukan terus menerus.9
Delayed blanch
Penyuntikan asetilkolin pada kulit normal menghasilkan keluarnya keringat dan
eritema. Pada penderita atopi akan terjadi eritema ringan dengan delayed blanch. Hal ini
disebabkan oleh vasokonstriksi atau peningkatan permeabilitas kapiler.12
Hertoge’s Sign
Didefinisikan sebagai penipisan atau hilangnya bagian lateral alis mata. 9

8
Dalam menilai keparahan penyakit (disease severity), The European Task Force on
Atopic Dermatitis pada tahun 1993 (Gambar 8) membuat suatu sistem yang disebut
SCORAD Index. Sistem ini menilai keparahan penyakit dermatitis atopik dinilai berdasar 3
parameter yaitu luas penyakit (A), intensitas (B) dan gejala subjektif (C). Masing-masing
diberi skor dan akhirnya ditotal dengan rumus SCORAD.13

Gambar 8. SCORAD Index13


Keterangan : Derajat penyakit berdasar SCORAD index Skor = < 30 : DA derajat ringan (R) 30-40 :
DA derajat sedang (S) dan > 40 : DA derajat berat (B). 13

DIAGNOSIS

Penegakkan diagnosis DA dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan penunjang dan memenuhi kriteria Hannifin dan Rajka (Tabel 1) Diagnosis DA
ditegakkan jika didapatkan minimal tiga kriteria mayor ditambah tiga kriteria minor.2

9
Tabel 1. Kriteria Hannifin dan Rajka dermatitis atopik 2

Kriteria Mayor Kriteria minor


1. Pruritus 1. Xerosis
2. Distribusi dan morfologi yang khas: 2. Ichthyosis
 Dewasa & anak-anak: likenifikasi daerah fleksor 3. hiperlinear plantaris
 Infantil: daerah wajah dan ekstensor. 4. keratosis linear
3. Dermatitis relaps dan kronik 5. Peningkatan serum IgE
4. Riwayat pasien atau keluarga yang memiliki penyakit 6. Awitan pada usia dini
atopik (asma, rhinitis alergi, DA) 7. Infeksi kutaneus
8. Dermatitis non spesifik pada kaki/tangan
9. Eksim pada papilla mamae
10. Cheilitis
11. Konjungtivitis rekurens
12. Lipatan infra orbital Dennie-Morgan
13. Keratokonus
14. Katarak subkapsular anterior
15. Orbital darkening
16. Eritema wajah
17. Pityriasis alba
18. Gatal ketika berkeringat
19. Intoleransi terhadap wool dan pelarut lipid
20. Aksentuasi perifolikular
21. Hipersensitivitas terhadap makanan
22. Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan
atau faktor emosional
23. White dermatographism atau delayed blanch

Kriteria diagnostik dermatitis atopik yang lain adalah kriteria diagnostik menurut
Svensson, 1985, yang membagi kriteria menjadi 3 kelompok (Tabel 2) . Dalam menegakkan
diagnosis dermatitis atopik berdasarkan kriteria Svennson, pasien harus memiliki dermatitis di
daerah fleksural kronik yang hilang timbul ditambah dengan memiliki 15 nilai dari sistem
skor Svennson.10

1
Tabel 2. Kriteria Svennson dermatitis atopik 10

Kelompok kesatu, bernilai 3


Perjalanan penyakitnya dipengaruhi musim
Xerosis
Diperburuk dengan faktor stress
Kulit kering secara berlebihan atau terus menerus
Gatal pada kulit yang sehat apabila berkeringat
Serum IgE 80 IU/ml
Menderita rinitis alergika
Riwayat rinitis alergika pada keluarga
Iritasi dengan tekstil
Hand eczema pada waktu anak-anak
Riwayat dermatitis atopik pada keluarga
Kelompok kedua, bernilai 2
Kulit muka yang pucat/kemerahan
Knucle dermatitis (dermatitis dengan ikenifikasi pada jari-jari)
Penderita menderita asma
Keratosis pilaris
Alergi terhadap makanan
Dermatitis numularis
Nipple eczema
Kelompok ketiga, bernilai 1
Pomfolik
Ikhtiosis
Dennie-Morgan fold

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding terdiri atas beberapa penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi,


penyakit genetik, penyakit infeksi dan infestasi penyakit lain. Penyakit tersebut mempunyai
gejala dan tanda yang sama dengan DA, sehingga harus disingkirkan sebelum diagnosis
ditegakkan. Diagnosis banding DA yaitu dermatitis seboroik, dermatitis kontak (alergi dan
iritan), skabies, psoriasis, iktiosis vulgaris, dermatofitosis, eksim asteatotik, liken simplek
kronik, dan dermatitis numularis.2,8

Dermatitis seboroik infantil

Penyakit ini dibedakan dari DA dengan: (1) pruritus lebih ringan, (2) onset invariabel
pada daerah pantat halus, tidak bersisik, batas jelas, merah terang, dan (3) sisik kuning gelap
pada pipi, badan dan lengan. Dermatitis seboroik infantil sering berhubungan dengan
dermatitis atopik. Pada suatu penelitian, 37% bayi dengan dermatitis seboroik akan menjadi
DA 5-13 tahun kemudian. 13

2
Dermatitis kontak

Pada penderita DA terdapat pruritus, riwayat atopi pada penderita atau keluarga dan
biasanya sering terjadi pada bayi dan anak-anak, sedangkan dermatitis kontak gejala yang
ditunjukkan tergantung dari jenis kontak yang terjadi, pada penderita dermatitis kontak
sebelumnya telah ada riwayat kontak alergi.13
Skabies
Pada bayi gejala klinis DA terutama mulai dari pipi dan tidak mengenai telapak tangan
serta kaki. Tanda skabies pada bayi ditandai dengan papula yang relatif besar (biasanya pada
ssela jari), vesikel pada telapak tangan dan kaki, dan pruritus dominan pada malam hari.
Tungau dan telur dapat dengan mudah ditemukan dari scraping vesicle. Skabies memberi
respons yang baik terhadap pengobatan dengan γ-benzen heksaklorida. 9

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis pasti DA sampai sekarang belum dapat ditentukan, pemeriksaan laboratorik


tidak diperlukan dalam evaluasi dan pengobatan DA tanpa komplikasi. Peningkatan kadar
serum IgE ditemukan kisaran 70-80% pada pasien DA, Hal ini berkaitan dengan sensitisasi
terhadap inhalan dan alergen makanan. Kisaran 20-30% pasien DA memiliki kadar serum IgE
normal dan tidak menunjukkan sensitisasi terhadap alergen makanan maupun inhalan. 1

Pemeriksaan laboratorium sebetulnya tidak diperlukan dalam evaluasi dan pengobatan


dermatitis atopik tanpa komplikasi. Peningkatan kadar serum IgE ditemukan kisaran 70-80%
pada pasien dermatitis atopik, berkaitan dengan sensitisasi terhadap inhalan dan alergen
makanan dan biasanya berhubungan dengan penyerta rhinitis alergika dan asma. Kisaran 20-
30% pasien dermatitis atopik memiliki kadar serum IgE normal dan tidak menunjukkan
sensitisasi terhadap alergen makanan maupun inhalan. Beberapa pasien masih mempunyai
sensitisasi IgE terhadap antigen mikrobial seperti toksin Staphylococcus aureus, Candida
albicans atau Sympodialis malassezia. Uji tempel menunjukkan reaksi positif meskipun tes
kulit langsung menunjukan hasil negatif. Pasien dermatitis atopik mayoritas mengalami
eosinofilia pada pemeriksaan darah perifer.13

3
TATALAKSANA

Terdapat lima pilar manajemen dermatitis atopik, terdiri dari: 1) Edukasi pasien dan
pengetehuan pasien serta orang yang merawat pasien DA; 2) Mencegah dan memodifikasi
faktor pencetus yang berasal dari lingkungan serta memodifikasi gaya hidup pasien; 3)
Meningkatkan dan menstabilkan fungsi sawar yang optimal; 4) Menyembuhkan kelainan kulit
yang mengalami inflamasi; 5) Mengendalikan dan mengeliminasi siklus garuk-gatal. 9Alur
penatalaksanaan DA secara ringkas ditunjukkan pada Gambar 7.

Edukasi

Edukasi pasien memberikan efektivitas manajemen DA. Edukasi pasien meliputi dosis
pengobatan yang diberikan, frekuensi pengobatan, cara menaikkan dan menurunkan dosis
pengobatan, serta manajemen eksim yang mengalami infeksi. Informasi yang diberikan
disesuaikan dengan setiap individu berdasarkan kultural. Pasien dan pengasuh yang merawat
harus diinformasikan bahwa pasien DA dengan warna kulit yang lebih gelap, dapat
menyebabkan kulit sementara menjadi lebih terang atau lebih gelap. 9

Pencegahan dan Modifikasi Faktor Pencetus

Pasien DA memiliki ambang batas yang rendah terhadap bahan iritan, hindari bahan
iritan yang umum ditemukan antara lain sabun, deterjen, debu, asam dan alkali. Pakaian yang
terlalu tertutup sebaiknya dihindari untuk mencegah keringat, bahan pakaian yang sebaiknya
digunakan lembut, halus dan tidak kasar serta dapat bernapas. Pajanan sinar matahari dapat
menyebabkan pasien merasa kepanasan sehingga terjadi penguapan kulit dan keringat
berlebih, hal ini juga mempermudah terjadinya reaksi iritasi kulit. Sinar ultraviolet (UV)
memiliki efek yang menguntungkan pada DA, namun sinar UV dapat menyebabkan
kerusakan kronik berupa photo damage dan efek akut berupa sunburn. 9

Basic Skin Care

Perawatan dasar kulit, yaitu mandi berendam dengan air hangat selama 10-20 menit,
dengan ph netral, menggunakan sabun moisturizer, dan mengoleskan pelembab diseluruh
permukaan kulit segera setelah mandi (dalam waktu 3 menit setelah mandi). 9

4
Hidrasi Kulit

Pasien DA memiliki penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis sehingga menimbulkan
kerusakan kulit mikro yang menjadi tempat masuk patogen, iritan dan alergen, salah satu cara
mengatasinya dengan menggunakan pelembab. Pelembab adalah sediaan yang berfungsi
untuk mencegah penguapan air pada kulit (stratum korneum). Terdapat 3 jenis mekanisme
9
pelembab, yaitu oklusif, humektan, dan emolien.

Oklusif adalah mekanisme pelembab yang bekerja dengan membentuk lapisan film di
permukaan kulit dengan tujuan mencegah hilangnya air dari stratum corneum. Pada umumnya
yang tergolong oklusif adalah lemak dan minyak lemak. Humektan adalah mekanisme
pelembab dengan cara menarik atau menyerap air. Humektan dapat membantu menjerat air
dari udara yang kemudian dapat berpenetrasi kedalam kulit, bila kelembaban relatif rendah.
Humektan juga dapat menarik air dair bagian epidermis dan dermis yang dapat menyebabkan
kulit bertambah kering, oleh karena itu pengguanaan humektan sebaiknya dikombinasikan
dengan bahan oklusif.17 Emolien bekerja dengan mengisi ruang antara desquamating
keratinosit untuk membentuk permkaan yang halus. Emolien dapat meningkatkan kohesi dari
sel-sel keratinosit sehingga ujung-ujung sel tidak menggulung. 18

Penggunaan pelembab setiap hari selama 28 hari efektif mengurangi gejala klinis
terhadap pasien anak dengan DA ringan, yang ditandai dengan penurunan SCORAD, xerosis
dan pruritus. Penggunaan pelembab sebanyak dua kali sehari pada anak-anak dengan DA
ringan juga dinyatakan mampu mampu melindungi kulit dari proliferasi S. Aureus tanpa
mempengaruhi biodiversitas mikroflora.19

Bleach Bath

Kolonisasi Staphylococcus aureus (SA) dijumpai hampir pada semua kasus


eksaserbasi DA dan berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit, menunjukkan adanya
infeksi hingga peradangan. Pelaksanaan mandi natrium hipoklorit (pemutih) dan salep
mupirocin intranasal dikaitkan dengan penurunan keparahan DA, dan mengurangi kasus
infeksi kulit tahunan sebanyak sepuluh kali lipat. Dalam ulasan oleh Cochrane tentang
berbagai intervensi untuk mengurangi kolonisasi SA, dibandingkan dengan antibiotik oral,
steroid topikal dan salep antibiotik, hanya bleach bath yang menunjukkan penurunan pada
tingkat keparahan DA yang signifikan.16

5
Medika Mentosa

Pengobatan Topikal

Kortikosteroid

Rekomendasi penggunaan kortikosteroid topikal (KST) yaitu sebaiknya dilakukan


sampai lesi terkontrol (14 hari atau lebih). Kortikosteroid topikal dapat diberikan pada lesi
yang terdapat luka terbuka (lesi bekas garukan, eksim iflamasi akut dgn lesi yang basah, atau
eksim kronik yang disertai fisura), pada lesi berat di wajah dan fleksura, diberikan KST
potensi sedang (betamethasone valerat) selama 5-7 hari, lalu diganti KST potensi rendah
(hidrokortison) atau inhibitor kalsineurin topikal. Pemilihan potensi, frekuensi, dan lama
penggunaan KST sebaiknya berdasarkan penilaian klinik, lokasi lesi, keparahan dan kronisitas
eksim, serta usia pasien. 9
Steroid topikal memiliki efek samping potensial, sehingga penggunaannya hanya untuk
mengontrol DA eksaserbasi akut. KST poten seperti mometasone tidak boleh digunakan pada
wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid mid-poten seperti bethametason dan
triamcinolone dapat diberikan pada badan dan ekstremitas. Steroid super poten seperti
clobetasol dan fluocinonide hanya boleh diberikan jangka pendek dan pada area likenifikasi
kecuali wajah atau lipatan. Efek samping kortikosteroid lokal berupa striae, atrofi kulit,
dermatitis perioral dan akne rosasea.1,6

Kortikosteroid topikal yang diaplikasikan diukur dengan finger tip unit (FTU). FTU
adalah jumlah salep yang dikeluarkan dari tube dengan lubang berdiameter 5 mm, diukur
sepanjang ruas jari distal jari tengah kanan. Satu FTU = 0,5 g dan dapat menutupi 2
permukaan telapak tangan dewasa. 9

Ter
Ter batubara 1-5% dalam petrolatum putih atau krim hidrofilik, krim USP, atau
detergen cairan karbonis 5-10% dalam krim hidrofilik dapat membantu mencegah kejadian
refrakter pada dermatitis atopik karena memiliki efek antipruritus dan anti-inflamasi pada
kulit walaupun tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter tidak dapat diberikan pada lesi kulit
radang akut karena dapat terjadi iritasi pada kulit.

6
Pengobatan Sistemik

Kortikosteroid Sistemik

Kortikosteroid sistemik oral jangka pendek (< 3 minggu) digunakan untuk dermatitis
atopik eksaserbasi akut. Jika diberikan, perlu dilakukan tapering off dosis dan mulai
perawatan kulit secara intensif, terutama dengan kortikosteroid topikal dan dilanjutkan dengan
pemberian emolien.9
Anti Histamin

Anti histamin adalah berbagai zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan cara menghambat reseptor histamin melalui mekanisme
inhibitor competitor. Histamin merupakan konstituen tubuh alami yang disintesis secara
oklusif dari histidin oleh enzim L-hostidin dekarbosilase, enzim tersebut ada diseluruh tubuh,
termasuk neuron sistem saraf pusat, mukosa sel parietal lambung. 9

Agen imunosupresif
Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama terhadap sel T
dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen pengikat sitopilin, dan kompleks ini
seterusnya menekan kalsineurin (protein yang diperlukan memulai transkripsi gen
sitokin).2Pasien dermatitis atopik dewasa dan anak yang refrakter terhadap terapi konvesional,
dapat berhasil dengan siklosporin jangka pendek. Dosis 3-5mg/kg umumnya berhasil dalam
pemakaian jangka pendek dan panjang (1 tahun), sedangkan beberapa peneliti lain memakai
dosis tanpa memperhitungkan berat badan, dosis rendah 150 mg dan dosis tinggi 300 mg per
24 jam memakai siklosporin mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai dengan menurunnya
penyakit kulit dan perbaikan kualitas hidup. Penghentian terapi dapat menghasilkan
kekambuhan (beberapa pasien tetap remisi lama). Meningkatnya kreatinin serum atau lebih
nyata gangguan ginjal dan hipertensi adalah efek samping spesifik yang perlu diperhatikan
pada terapi siklosporin. Agen imunosupresif lainnya yang diduga memiliki efek terapi pada
dermatitis atopik, yaitu azathioprine, mycophenolate mofetil, methotrexate, intravenous
immunoglobulin, IFN-γ, dan omalizumab.20

7
Pasien dengan riwayat gatal dermatitis

Kriteria Hannifin dan Rajka untuk diagnosis AD terpenuhi

+ -

Langkah-langkah perawatan kulit umum: Evaluasi untuk kondisi lain

 Edukasi
 Hidrasi kulit dan pemberian emolien
 Identifikasi dan eliminasi faktor pencetus
 Terapi anti inflamasi (steroid topikal, inhibitor kalsineurin topikal)
 Intervensi antipruritik (antihistamin, modifikasi perilaku)
 Identifikasi dan terapi infeksi sekunder bakteri, virus, atau jamur.
 Terapi untuk aspek psikososial dari penyakit

Pengobatan berhasil?

+ -

Titrasi terapi topikal, penggunaan emolien, steroid topikal atau


inhibitor kalsineurin topikal secara berkala

 Menilai kembali diagnosis dermatitis atopik


 Pertimbangkan infeksi yang sumbernya tidak dikenali, allergen, dll.
+  Pertimbangkan ketidakpatuhan dalam terapi

Pengobatan berhasil?

 Konsultasi dengan spesialis DA


 Pertimbangkan biopsi kulit
 Pertimbangkan rawat inap
 Pertimbangkan siklosporin, terapi ultraviolet, dll.

Gambar 7. Algoritma tatalaksana dermatitis atopik1

KOMPLIKASI

Dermatitis atopik juga dapat menimbulkan komplikasi seperti penyakit lain. Komplikasi
dapat berupa gangguan pada mata, infeksi, dermatitis pada tangan dan dermatitis eksfoliatif.
Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai komplikasi pada dermatitis atopik.

8
Gangguan pada Mata

Komplikasi mata yang terjadi pada pasien DA berat menyebabkan morbiditas yang signifikan.
Dermatitis pada kelopak mata dan blepharitis kronis berkaitan dengan DA dan dapat mengakibatkan
gangguan penglihatan akibat jaringan parut pada kornea. Keratoconus adalah kelainan kornea
berbentuk kerucut yang merupakan hasil gesekan mata kronis pada pasien DA dan alergi
konjungtivitis. Katarak terjadi pada kisaran 21% pasien DA berat, namun tidak ada penjelasan apakah
termasuk manifestasi utama dari dermatitis atopik atau akibat penggunaan glukokortikoid sistemik dan
topikal yang intensif sekitar mata.1,2,6

Infeksi

Dermatitis atopik dapat menjadi berat akibat infeksi virus berulang di kulit yang dapat
mencerminkan kelainan lokal fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simplek yang
dapat menyerang pasien dari semua usia, mengakibatkan erupsi varicelliform kaposi atau eksim
herpetikum. Infeksi jamur superfisial sering terjadi pada pasien atopik dan dapat menimbulkan
eksaserbasi DA. Pasien DA memiliki prevalensi lebih tinggi terjadi infeksi Trichophyton rubrum
dibandingkan dengan non atopik. 1

Dermatitis Eksfoliatif

Pasien dengan keterlibatan lesi yang luas dapat berkembang menjadi dermatitis eksfoliatif.
Meskipun komplikasi ini jarang terjadi, namun berpotensi mengancam jiwa. Dermatitis eksfoliatif
biasanya disebabkan oleh superinfeksi misalnya toksin yang diproduksi S. aureus atau infeksi herpes
simplek, iritasi kulit yang terus menerus dan kesalahan dalam terapi. Dalam beberapa kasus,
penghentian penggunaan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol dermatitis atopik berat menjadi
salah satu faktor pencetus terjadinya eritrodema eksfoliatif.1,2

PROGNOSIS

Penyakit DA cenderung lebih berat dan persisten pada anak. Periode remisi lebih sering
terjadi seiring dengan pertambahan usia. Perubahan DA terjadi setelah usia 5 tahun pada 40-
60% pasien yang terkena pada masa bayi, terutama jika ringan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan kisaran 84% anak akan menderita DA sampai dewasa, namun penelitian terbaru
menunjukkan kisaran 20% anak pasien DA bisa sembuh dan 65% anak mengalami penurunan
tingkat keparahan DA. Faktor yang menyebabkan prognosis buruk DA adalah luas lesi masa
anak-anak disertai rhinitis alergi dan asma, riwayat DA pada keluarga atau saudara kandung,
onset dini, anak tunggal dan kadar serum IgE yang tinggi.1

9
KESIMPULAN

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis berulang yang umum muncul saat usia
bayi dan anak. Penyakit ini berkaitan dengan abnormalitas dari fungsi sawar kulit, sensitisasi
alergen, dan infeksi kulit berulang. Dermatitis atopik berdasarkan manifestasi klinisnya dibagi
menjadi 3 tipe yaitu tipe infantil, tipe anak, dan tipe dewasa. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan adalah pemeriksaan kadar serum IgE dalam tubuh. Diagnosis DA dapat
ditegakkan menggunakan kriteria Haniffin dan Rajka, dimana harus memenuhi minimal tiga
kriteria mayor dan tiga kriteria minor. Penatalaksanaan pasien DA yang utama yaitu
menggunakan pelembab secara teratur. Penggunaan steroid topikal dalam jangka panjang
harus diberikan dengan pengawasan yang ketat karena dapat menimbulkan keterlambatan
pertumbuhan pada anak-anak.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DY, Eichenfield LF, Boguniewicz M. Atopic dermatitis. In: Goldsmith LA, Katz Stephen I,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012, p.165-182.
2. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical Dermatology, 11 th
ed. California: Saunder Elseiver 2011. Chapter 5, p. 62-70.
3. Sehgal VN, Khurana A. Atopic dermatitis: etiopatogenesis, overview. Indian J of Dermatol p.327-
331.
4. Ludfi, Syaeful A, Agustina L, Fetrayani D. Baskoro A. Gatos S. Asosiasi penyakit alergi atopi
anak dengan atopi orang tua dan faktor lingkungan. J Elect Airlangga Univ 2012, p.92-98.
5. Soebaryo RW. Patogenesis dan gangguan imunologis pada dermatitis atopik. In: Diana IA, et.al.
Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. Jakarta: FKUI Press 2014, p.1-7.
6. Kang K, Polster AM, Nedorost ST, Stevens SR, Cooper KD. Atopic dermatitis. In: Bolognia JL,
Jorizzo JL, Rapini RP, eds. Dermatology, vol.1 2nd ed. New York: Mosby 2004, Chapter 13, p.
181-195.
7. Friedmann PS, Jones MR, Holden CA. Atopic dermatitis. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffith
C, eds. In: Rook’s textbook of Dermatology. 8th ed. Chichester: Blackwell 2010, Vol 1, p. 24.1-
24.33.
8. Simon Francis Thomsen, “Atopic Dermatitis: Natural History, Diagnosis, and
Treatment,” ISRN Allergy, vol. 2014, DOI: 10.1155/2014/354250
9. Zulkarnain I, Citrashanty I. Konsesus pedoman penatalaksanaan dermatitis atopik: perspektif Asia
Pasifik. In: Diana IA, et.al. Dermatitis atopik: diagnosis dan tatalaksana terkini. Jakarta: FKUI
Press 2014, p. 65-81.
10. Kariosentono H. Dermatitis atopik (eksema). Cetakan 1. Surakarta: LPP UNS dan UNS
2006
11. Nutten S. Atopic dermatitis: global epidemiology and risk factors. Ann Nutr Metab. 2015
p. 8-16.
12. Soebaryo R.W., 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi
W., Devita M., Dermatitis Atopik. Prihanti S, editors. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. p.39-
51.
13. Thijs JL, Strickland I, Bruijnzeel-Koomen CA, Nierkens S, Giovannone B, Csomor E,
Sellman BR, Mustelin T, Sleeman MA, de Bruin-Weller MS, Herath A. Moving towards

11
endotypes in atopic dermatitis: identification of patient clusters based on serum
biomarker analysis. J Allergy and Clin Immun. 2017 p. 812-186.DOI: 2017.03.023
14. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan Y, Siswati AS, et al. Panduan Praktik Klinis
Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI;2017. p.114-
119.
15. Liang Y, Chang C, Lu Q. The genetics and epigenetics of atopic dermatitis—filaggrin
and other polymorphisms. Clin Rev Allerg Immu. 2016 p. 315-328.
16. Asch S, Vork DL, Joseph J, Major‐Elechi B, Tollefson MM. Comparison of bleach, acetic acid,
and other topical anti‐infective treatments in pediatric atopic dermatitis: A retrospective cohort
study on antibiotic exposure. Pediatr Dermatol. 2018p.1–6. DOI: 10.111.13663

17. Sirikudta W, Khultanan K, Varothai S, Nuchkull P. Moisturizer for Patients With Atopic
Dermatitis: An Overview. J. Allergy. Ther. 2013, p. 1-6.
18. Proksch E. The Role of Emollients in the Management of Diseases with Chronic Dry
Skin. Skin Pharmacol Physiol. 2008, p.75-80.
19. Bianchi P, Theunis J, Casas C, et.all. Effects of a New Emollient-Based Treatment on
Skin Microflora Balance and Barrier Function in Children with Mild Atopic Dermatitis.
Pediatric Dermatology. 2016, p. 165-171.
20. Ardern-Jones MR, Flohr C, Reynolds NJ, Holden CA. Atopic Eczema. Dalam Griffiths C,
Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology.
9th Eds. 2016. London: Blackwell Publishing. p. 1257-6.

12

Anda mungkin juga menyukai