Anda di halaman 1dari 33

Referat

ANTI JAMUR SISTEMIK

Disusun Oleh:
Alma Pradifta, S.Ked
04084822225188

Pembimbing:
dr. Nina Melita, Sp.KK

KSM/BAGIAN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA RSUD SITI FATIMAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Anti Jamur Sistemik

Oleh:
Alma Pradifta, S. Ked
04084822225188

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di KSM/Bagian Dermatologi dan Venereologi RSUD Siti
Fatimah Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 12
September – 8 Oktober 2022.

Palembang, 19 September 2022

dr. Nina Melita, Sp.KK

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Anti Jamur Sistemik”
sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di KSM/Bagian
Dermatologi dan Venereologi RSUD Siti Fatimah Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 12 September 2020 – 8 Oktober 2022.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dr. Nina Melita,
Sp.KK selaku pembimbing yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan- rekan dokter muda dan
semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh sebab itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini,
semoga bermanfaat.

Palembang, September 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul........................................................................................................i
Halaman Pengesahan.............................................................................................ii
Kata Pengantar.....................................................................................................iii
Daftar Isi................................................................................................................iv
Daftar Bagan...........................................................................................................v
BAB I Pendahuluan...............................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka......................................................................................3
2.1 Infeksi Jamur.....................................................................................................3
2.2 Obat Anti Jamur Sistemik.................................................................................4
2.2.1 Golongan Alilamin...................................................................................5
2.2.2 Golongan Azol.......................................................................................11
2.2.3 Golongan Anti Jamur Lain.....................................................................21
BAB III Kesimpulan............................................................................................25
Daftar Pustaka......................................................................................................26

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Mekanisme kerja agen anti jamur sistemik........................................5

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Konsep farmakologi pada agen anti jamur sistemik...............................8


Tabel 2. Sediaan, indikasi dan dosis terbinafin....................................................10
Tabel 3. Sediaan, indikasi dan dosis flukonazol...................................................15
Tabel 4. Sediaan, indikasi dan dosis itrakonazol..................................................19
Lanjutan tabel 4. Sediaan, indikasi dan dosis itrakonazol..................................20
Tabel 5. Sediaan, indikasi dan dosis griseovulfin.................................................23
Lanjutan tabel 5. Sediaan, indikasi dan dosis griseovulfin.................................24

vi
Anti Jamur Sistemik
Alma Pradifta, S.Ked.
Pembimbing dr. Nina Melita, Sp.KK
Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi
FK UNSRI/RSUD Siti Fatimah Palembang
2022

BAB I
PENDAHULUAN
Jamur merupakan salah satu organisme yang tidak memiliki kelas tersendiri,
tidak dikelompokan sebagai kelas hewani maupun kelas tumbuhan. 1 Jamur sangat
berbeda dari bakteri dalam segi ukuran, struktur sel dan komposisi kimia.
Organisme ini dianggap "makhluk yang lebih tinggi" dibandingkan dengan
bakteri.2 Jamur mungkin mengandung satu nukleus atau beberapa nuklei yang
dikelilingi oleh dinding sel tertentu.1,2 Siklus hidup jamur bervariasi dari yang
sederhana hingga kompleks.1 Organisme jamur dianggap jauh lebih kompleks
daripada bakteri dikarenakan dapat bereproduksi dengan cara reproduksi aseksual
serta seksual.1,2
Fungi atau jamur sangat mudah beradaptasi dengan lingkungan beragam
meskipun organisme yang sederhana.1 Fungsi utama jamur adalah mendaur ulang
sampah organik sehigga jamur bisa hidup di atas kayu, tumbuh-tumbuhan, lemak,
minyak, aspal, lilin, tulang, dan sebagainya.2 Jamur mampu beradaptasi dan
berkembang biak di lingkungan abnormal seperti jaringan mamalia.1,2 Secara
khusus, yeast atau ragi mudah beradaptasi dengan lingkungan manusia dan
organisme lain seperti spesies Candida.1,2 Spesies Candida adalah penghuni
normal kulit, saluran pencernaan, saluran genital wanita dan urin.1
Kelainan pada kulit yang diakibatkan oleh jamur atau dermatomikosis
secara umum dikelompokan menjadi 2, yaitu mikosis superfisial dan mikosis
subkutan.3 Mikosis superfisial merupakan infeksi jamur yang mengenai jaringan
mati pada kuit, kuku dan rambut.4 Mikosis superfisial sering dijumpai di seluruh
dunia, terutama di daerah tropis seperti Indonesia. 5 Mikosis subkutan adalah
kelaianan akibat dari jamur yang melibatkan jaringan dibawah kulit.3,4 Kelainan
ini termasuk jarang ditemui bila dibandingkan dengan mikosis superfisial.3
Penyakit jamur pada kulit dapat berbentuk manifestasi diseminasi kulit dari

7
infeksi jamur sistemik atau infeksi jamur dalam (deep mycosis).3,5
Infeksi jamur muncul sebagai salah satu penyebab utama penyakit pada
manusia, terutama pada individu yang mengalami gangguan kekebalan. 4,5 Infeksi
jamur yang secara umum bersifat superfisial, dapat berubah menjadi infeksi,
sistemik saat insidensi penyakit berlanjut.6 Berbagai infeksi jamur yang
disebabkan oleh jamur oportunistik kebanyakan akibat kandidiasis. Infeksi yang
disebabkan oleh Candida merupakan yang paling mengancam karena tingkat
keparahan penyakit dan kejadian yang lebih tinggi di seluruh dunia.5,6
Terdapat bermacam-macam pengobatan topikal atau sistemik untuk
berbagai tipe penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dan diharapkan
prevalensi penyakit infeksi jamur dapat berkurang.7 Pemberian obat anti jamur
sistemik digunakan untuk pengobatan infeksi jamur superfisial dan sistemik (deep
mycosis).8 Secara umum, pendekatan strategi farmakologi anti jamur dapat berupa
terapi topikal atau sistemik (oral).4 Anti jamur topikal direkomendasikan untuk
tinea korporis dan tinea pedis lokal dan kasus onikomikosis ringan sampai sedang.
Anti jamur sistemik direkomendasikan untuk tinea kapitis dan untuk kasus serius
tinea korporis/tinea kruris, tinea pedis, dan onikomikosis, ketika infeksi meluas
atau penggunaan anti jamur topikal tidak memungkinkan. 5 Secara keseluruhan,
target utama kedua anti jamur sistemik dan topikal adalah ergosterol, golongan
sterol yang merupakan komponen penting dari membran sel jamur.4
Pentingnya pengetahuan tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,
farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat-obat anti jamur sangat
diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam pengobatan.7 Penting juga
mengetahui pengobatan anti jamur sistemik sebagai dokter umum dikarenakan
pada rata-rata penyakit yang diakibatkan oleh infeksi jamur berada pada tingkat
kemampuan 4 yaitu dapat mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara
mandiri dan tuntas.10 Sehingga, apabila penyakit akibat infeksi jamur perlu
menggunakan anti jamur sistemik, maka dokter umum harus bisa merencanakan
dan menggunakan obat anti jamur sistemik yang sesuai. Meskipun efek samping
paling umum yang berhubungan dengan pengobatan topikal adalah reaksi kulit
hipersensitivitas ringan, sementara, dan terlokalisasi, anti jamur sistemik
menunjukkan berbagai tingkat toksisitas organ dan kemungkinan interaksi obat
yang lebih serius.8,9

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Jamur

Infeksi jamur atau mikosis sudah menjadi penyakit yang umum.2


Mikosis terbagi dalam 3 bentuk: superfisial (stratum korneum, rambut, dan
kuku), subkutan (dermis dan/atau jaringan subkutan) dan dalam/sistemik
(penyebaran organisme secara hematogen termasuk patogen oportunistik
pada inang yang memiliki kelainan kekebalan).4,5
Mikosis superfisial merupakan masalah di seluruh dunia yang
mempengaruhi lebih dari 25% populasi.4 Beberapa spesies menunjukkan
distribusi di mana-mana, sedangkan yang lain hanya terbatas secara
geografis.4 Dermatofitosis adalah kemampuan dermatofit untuk melekat,
menyerang dan menggunakan keratin sebagai nutrisi yang mendasari
pathogenesis infeksi jamur superfisial pada kulit, rambut dan kuku.4
Dermatofit terdiri sekitar 40 spesies, dibagi menjadi 3 genus Trichophyton,
Microsporum, dan Epidermophyton yang semua termasuk dalam keluarga
Arthrodermataceae.2,4 Candida albicans adalah spesies Candida yang paling
sering terlibat dalam kandidiasis mukokutaneus lokal, tetapi semakin
banyak spesies lain yang terlibat dalam penyakit mukokutan.11 Jamur
Candida dapat ditemukan di seluruh lingkungan dan merupakan komensal
umum pada kulit manusia, orofaringeal, saluran pernapasan, saluran
pencernaan, serta mukosa genital.11 Kolonisasi kandida telah dilaporkan di
mukosa oral lebih dari 40% orang dewasa yang sehat, dengan tingkat yang
lebih tinggi pada wanita dan perokok.11 Kurang lebih 15 dari lebih dari 200
spesies Candida berhubungan dengan penyakit pada manusia.11
Mikosis dalam terdiri dari 2 kelompok kondisi yang berbeda: mikosis
subkutan dan mikosis sistemik.12 Tidak ada yang umum diantara kedua
mikosis tersebut.12 Pada mikosis subkutan dengan beberapa pengecualian
sebagian besar terbatas pada daerah tropis dan subtropis.2,12 Mikosis
subkutan atau mikosis implantasi adalah infeksi yang terjadi secara sporadis
disebabkan oleh jamur di lingkungan alami atau floral normal.2,12 Infeksi

9
terjadi secara langsung diinokulasi ke dalam dermis atau jaringan subkutan
melalui cedera penetrasi.2,12 Infeksi yang paling umum adalah
sporotrichosis, mycetoma dan chromoblastomycosis.2,12 Infeksi yang lebih
jarang adalah phaeohy-phomycosis, lobomycosis, rhinosporidiosis dan
mikosis subkutan yang disebabkan oleh Conidiobolus atau Basidobolus.2,12
Mikosis sistemik adalah infeksi jamur yang melibatkan struktur dalam
dan yang memiliki kecenderungan untuk menyebar, biasanya melalui aliran
darah, dari fokus asli infeksi.2 Beberapa tahun terakhir, mikosis sistemik
telah menjadi komplikasi infeksi oportunistik yang berarti pada pasien yang
mengalami gangguan kekebalan, termasuk penderita AIDS (acquired
immune deficiency syndrome) dan pasien yang menerima pengobatan untuk
keganasan.2,12 Perawatan pada kondisi ini tetap sulit dalam banyak kasus,
walaupun sekarang sudah ada berbagai macam obat anti jamur dengan cara
kerja yang berbeda.12
Ketika diperlukan penggunaan pengobatan anti jamur oral, terdapat
faktor yang perlu ditimbangkan seperti faktor-faktor jenis infeksi,
organisme, spektrum, profil farmakokinetik, keamanan, kepatuhan, usia, dan
biaya.5 Mengingat terbatasnya ketersediaan anti jamur yang digunakan dan
munculnya MDR (multiple drug resistance) pada infeksi jamur, terdapat
kebutuhan terus menerus untuk pengembangan obat anti jamur spektrum
luas baru dengan efikasi yang lebih baik.6

2.2. Anti Jamur Sistemik


Anti jamur oral memberikan efek dengan mengganggu enzim yang
terlibat dalam pembuatan ergosterol (komponen penting dari membran sel
jamur).9 Defisiensi ergosterol mengganggu fungsi membran yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel sehingga memungkin efek
fungisida dan fungistatik (Gambar 1).9 Belum jelas apakah fungisidal in
vitro atau fungistatik in vitro dari kategori obat ini diterjemahkan ke dalam
sifat yang serupa pada in vivo.9

10
Gambar 1. Mekanisme kerja agen anti jamur sistemik9
* Menunjukkan dua prekursor paling penting (skualen, lanosterol) yang mengarah ke
pembentukan ergosterol, komponen penting dari semua membran sel jamur.
A Skualen epoksidase mengubah skualen menjadi prekursor lanosterol.
B Baik golongan anti jamur alilamin (terbinafin, naftifin) dan benzilamin (butenafin)
menghambat enzim skualen epoksidase, yang mengarah pada akumulasi metabolit
skualen (fungicidal in vitro).
C 14α-demethylase mengubah lanosterol menjadi 14α-demethyl lanosterol.
D Golongan anti jamur triazol (itrakonazol, flukonazol) dan imidazol (ketokonazole, dan
lain-lain) menghambat 14α-demethylase, sehingga menyebabkan ⭡ lanosterol dan 🢙
sintesis ergosterol (fungistatic in vitro).
E Enzim 14α-demethylase bergantung pada sitokrom P-450, setidaknya sebagian
menjelaskan peran triazol dan imidazol sebagai "inhibitor enzim" dalam sistem
metabolisme obat fase I.

2.2.1. Golongan Alilamin


Dua obat mewakili golongan ini adalah terbinafin dan nafitin.8
Terbinafin tersedia dalam bentuk topikal dan oral.8
Alilamin menunjukkan efek anti jamur yang berbeda terhadap spesies
Candida (fungistatik), dan dermatofit (fungisida).8 Alilamin bekerja melalui
penekanan sintesis ergosterol dengan menghambat kerja enzim skualen
epoksidase yaitu enzim yang mengkatalisis konversi prekursor skualen
menjadi ergosterol (Gambar 1).8,9 Kekurangan ergosterol yang dihasilkan

11
berperan sebagai efek fungistatik, sedangkan penumpukan skualen berperan
sebagai efek fungisida.8,9

Terbinafin
Terbinafin adalah alilamin yang dikembangkan pada tahun 1974.9
Terbinafin oral pertama kali disetujui untuk digunakan di Inggris (1991), di
Kanada (1993), dan di Amerika Serikat (1996).9 Alilamin pertama yang
disetujui untuk digunakan pada manusia adalah naftifin. 9 Namun, naftifin
hanya tersedia sebagai pengobatan topikal.8,9
Terbinafin dan alilamin lain menghambat skualen epoksidase, yang
menyebabkan akumulasi skualen serta kemudian defisiensi ergosterol
(Gambar 1).9 Kekurangan ergosterol ini mengarah pada tindakan
fungistatik yang terkait dengan penggunaan terbinafin.8 Akumulasi skualen
dikaitkan dengan kerja fungisida dari terbinafin yang tercatat secara in vitro,
hal ini kemungkinan akibat deposisi dalam vesikel lipid yang menyebabkan
gangguan membran sel.8,9
Penyerapan oral obat ini tidak dipengaruhi oleh asupan makanan, dan
karena sifat lipofilik, maka akan cenderung cepat menyebar dan menumpuk
di folikel rambut, kuku, dan kulit dengan konsentrasi minimal dalam
plasma. Terbinafin memiliki bioavailabilitas sekitar 40%.8,9 Obat ini
memiliki waktu paruh yang panjang yaitu 17 jam (Tabel 1).9
Biotransformasi oksidatif obat terjadi di hati dengan bantuan enzim
CYP2D6.8 Sebagian besar obat dieliminasi dalam urin. Pada pasien yang
memiliki sirosis hepatis, klirens terbinafin berkurang sekitar 50% (Tabel
1).9 Pemantauan yang cermat disarankan pada pasien ini. Pada pasien
dengan insufisiensi ginjal (kreatinin serum> 3,4 mg/dL, atau klirens
kreatinin <50 mL/menit), klirens terbinafin menurun sekitar 50%.
Penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal atau hati
lanjut.8,9
Terbinafin ditransfer ke stratum korneum melalui difusi
dermoepidermal pasif, melalui sebum dan melalui penggabungan obat dari
keratinosit basal yang bermigrasi.9 Konsentrasi obat yang tinggi (jauh di atas

12
minimum inhibitory concetration [MIC]) dicapai dalam stratum korneum
dalam beberapa jam setelah mulai pengobatan.9 Dalam 2 hari beruturut
pemberian terbinafin 250 mg, obat akan mencapai kadar yang tinggi dalam
sebum.9 Terbinafin belum terdeteksi pada kelenjar keringat ekrin. 9 Waktu
paruh eliminasi terbinafin dari stratum korneum dan sebum adalah 3 sampai
5 hari.9 Setelah pemberian terbinafin 250 mg kontinu selama 12 hari,
konsentrasi obat di atas MIC untuk sebagian besar dermatofit bisa ada
selama 2 hingga 3 minggu setelah pengobatan oral dihentikan.9
Pada pasien yang diberi terbinafin 250 mg kontinu, obat dapat
dideteksi pada kuku distal pada sebagian besar pasien dalam waktu 1
minggu setelah mulai pengobatan.9 Pada potongan kuku bagian perifer,
kadar terbinafin adalah 0,43 μg/g setelah 7 hari pengobatan, atau 10 hingga
100 kali MIC untuk sebagian besar dermatofit.9 Data menunjukkan bahwa
terbinafin berdifusi ke dalam lempeng kuku melalui matriks kuku dan alas
kuku.9 Ketika terbinafin 250 mg kontinu diberikan selama 6 atau 12 minggu
untuk mengobati onikomikosis, kadar maksimum pada kuku masing-masing
0,52 dan 1,01 μg/g masing-masing terdeteksi setelah 18 minggu dari
pengobatan.9 Setelah selesai 6 dan 12 minggu pengobatan, terbinafin
terdeteksi pada kuku masing-masing selama 30 dan 36 minggu.9
Terbinafin terdeteksi di rambut dalam 1 minggu setelah memulai
pengobatan.9 Terdeteksi dini pada rambut mungkin karena transfer obat ke
rambut melalui sebum.9 Obat dapat masuk ke dalam rambut oleh karena sel-
sel matriks rambut.9 Ketika terbinafin 250 mg kontinu diberikan selama 14
hari, obat terdeteksi pada rambut selama setidaknya 50 hari setelah dimulai
pengobatan dengan dosis tersebut.9 Perlu dicatat bahwa terbinafin mungkin
lebih efektif terhadap tinea capitis yang disebabkan oleh organisme endotrik
(misal Trichophyton tonsurans) daripada melawan infeksi ektotrik (misal
Microsporum canis), karena obat menumpuk secara signifikan pada batang
rambut.9
Pada pengobatan semua mikosis superfisial termasuk tinea versicolor
apabila dikontraindikasikan menggunakan terbinafin topikal maka terbinafin

13
oral merupakan lini pertama pengobatan dermatofitosis karena efek
fungisida, efikasi tinggi, tolerabilitas, dosis harian, dosis farmakokinetik
yang lebih baik, dan afinitas tinggi pada stratum korneum.8 Terbinafin oral
menunjukkan efek fungisida yang kuat, lebih unggul daripada griseofulvin
dan itrakonazol untuk melawan Trichophyton rubrum dan T.
mentagrophytes.8 Terbinafin dianggap sebagai pilihan pengobatan pertama
pada onikomikosis dermatofit, namun terbinafin tidak menunjukkan efikasi
terhadap onikomikosis nondermatofit dan Candida.8

Tabel 1. Konsep farmakologi pada agen anti jamur sistemik9


Terbinafin Itrakonazol Flukonazol Griseofulvin
Alilamin Triazol Triazol Spiro-
Struktur
benzo[b]furan
Tablet, oral Kapsul, Tablet, Tablet,
Sediaan granules suspense oral, suspense oral, suspense oral
intravena, tablet intravena
Kadar 2 jam 3-5 jam 1-2 jam 2-16 jam
puncak
setelah
pemberian
36 jam (27-30 21 jam (37-40 30 jam 9-21 jam
Waktu paruh jam granul  larutan)
Presentasi 40%a tablet 55% >90% 25-70%
bio- 36-64%
availabilitas granul
Ikatan >99% 99,8% 11-12%b 84%
protein
Metabolisme Metabolisme Metabolisme Di hepar,
first-past di yang luas di first-pass di hati metabolit utama
hati yang hati oleh sedikit, adalah 6-
bermakna; CYP3A4; sebagian besar demethylgriseo-
isozim mayor metabolit aktif: dosis fulvin dan
Metabolisme
CYP2C9, hidroksil- diekskresikan konjugat
1A2, 3A4, itrakonazol sebagai obat glukuronida
2C8, 2C19 induk yang
; tidak ada tidak berubah
metabolit aktif
Ginjal 70%; 40% metabolit Ginjal 80% Ginjal 50%, 1%
klirens ginjal tidak sebagai obat diekskresikan
berkurang aktif, tinja 3% - induk, 11% tidak berubah
Ekskresi 50% pada 18% sebagai metabolit, 2% dalam urin;
gangguan obat induk tinja 36% dalam tinja
ginjal atau
sirosis hati
a
PK nonlinear: terminal t1/2 tergantung dosis dan akumulasi atau eliminasi tidak dapat
diprediksi.
b
Flukonazol jauh lebih sedikit dari lipofilik, sehingga lebih hidrofilik daripada azol lain
termasuk itrakonazol; ini menyebabkan ikatan protein rendah

14
Terbinafin dan griseofulvin adalah satu-satunya obat yang disetujui
FDA (Food and Drug Administration) untuk pengobatan tinea kapitis pada
anak-anak.8 Terbinafin diindikasikan oleh FDA untuk pengobatan
onikomikosis dermatofit pada kuku jari kaki dan/atau kuku jari tangan pada
orang dewasa (Tabel 2).8 Namun, terbinafin kurang efektif daripada
griseofulvin dalam memberantas organisme ektotrik seperti tinea capitis
pada populasi anak, khususnya yang disebabkan oleh Microsporum canis
dan Trichophyton tonsurans karena kecenderungan yang tinggi untuk
berakumulasi dalam sebum.8 Kelenjar sebasea pra-remaja imatur
menghasilkan menghasilkan lebih sedikit sebum sehingga menyebabkan
konsentrasi obat yang lebih rendah.8 Sediaan granul dari terbinafin juga
disetujui untuk tinea kapitis pada pasien 4 tahun ke atas (Tabel 2).8 Banyak
studi klinis telah menunjukkan efikasi terbinafin dalam pengobatan
sporotrichosis kulit dan limfokutan dengan dosis 500 mg dua kali sehari
selama 2 hingga 4 minggu di luar resolusi klinis.8 Terbinafin juga
menunjukkan efikasi dalam pengobatan phaeohyphomycosis,
chromoblastomycosis, mucormycosis, dan maduromycosis.9
Sediaan terbinafin oral termasuk tablet 250 mg dan oral granules
(Tabel 2).8 Terbinafin dapat bertahan dalam jaringan keratin hingga 6 bulan
setelah dosis terakhir, maka dosis pulse dapat menjadi strategi pengobatan
alternatif untuk onikomikosis.8 Dosis harian 250 mg selama 1 minggu setiap
bulan dilanjutkan selama 1 tahun telah menunjukkan tingkat kesembuhan
mikologis 90% dibandingkan dengan 75% yang dicapai dengan dosis pulse
itrakonazol.8 Terbinafin dengan dosis harian 250 mg untuk jangka waktu
mulai 2 hingga 4 minggu efektif dalam pengelolaan tinea barbae, tinea
korporis, tinea cruris, tinea faciei, dan tinea pedis jenis moccasin.8
Secara umum, rute oral ditoleransi dengan baik, yaitu lebih sedikit
kejadian efek samping yang dilaporkan dengan dosis pulse dibandingkan
dengan dosis kontinu.8 Gangguan saluran pencernaan minimal (misal sakit
perut, mual, muntah, diare), perubahan nafsu makan dan kenaikan berat
badan adalah efek samping terbinafin yang paling umum.8 Efek samping
yang unik

15
adalah perubahan rasa, yang dapat bertahan hingga 6 minggu dengan atau
tanpa kehilangan penciuman dan perubahan warna lidah.8

Tabel 2. Sediaan, indikasi dan dosis terbinafin8


Dosis
Golongan Sediaan Indikasi
Alilamin
Terbinafin  Tablet Tinea unguiuma Kontinu: Kontinu:
250 mg >20 kg >20 kg
 Oral 250 mg/hari 62,5 mg/hari
granule  Jari tangan
selama 6 20-40 kg
minggu 125 mg/hari
 Jari kaki selama untuk durasi
9-12 minggu yang sama

Pulse:
500 mg/hari
selama 1 minggu
setiap bulan
untuk durasi
yang sama
dengan diatas
T. capitisa 250 mg/hari 5 mg/kg/haric
selama 2-8 untuk 2-4
minggu minggu
T. capitisb 250 mg/hari
selama 2-4
minggu
T. pedis, cruris, 250 mg/hari
corporisb selama 4-6
minggu
Dermatitis 250 mg/hari
seboroikb
a
Indikasi disetujui oleh FDA
b
IndikasiOff-label
c
Indikasi untuk anak >4 tahun

Efek samping berat tetapi jarang adalah hepatotoksisitas yang


mengarah pada kemungkinan kegagalan organ dan gangguan hematologi
termasuk pansitopenia.8 Biasanya reversibel setelah penghentian obat.
Erupsi kulit hipersensitif seperti sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis
epidermal toksik telah dilaporkan, terutama dalam 4 hingga 5 minggu
pengobatan.8 Penghentian obat dapat menyebabkan efek samping pada
saluran pencernaan dan kulit, dan sakit kepala, vertigo, dan neuropati optik
sementara.8

16
Terbinafin menunjukkan efek penghambatan kuat pada CYP2D6 oleh
karena itu meningkatkan potensi toksisitas obat yang dimetabolisme oleh
enzim ini, termasuk nortriptilin, amitriptilin, venlafaxine dan desipramin.
Selain itu, terbinafin mengurangi eliminasi kafein dan siklosporin.8
Pemberian terbinafin bersamaan dengan rifampisin atau simetidin juga harus
dihindari, karena kedua obat tersebut diketahui meningkatkan toksisitas dan
menurunkan efikasi.8

2.2.2. Golongan Azol (Triazol)


Azol adalah kelompok anti jamur yang ditandai oleh 1 atau lebih
cincin azol. Azol dapat lebih lanjut diklasifikasikan ke dalam imidazol
(meliputi ketokonazol, butokonazol, clotrimazol, ekonazol, lulikonazol,
mikonazol, dan sertakonazol) dan triazol (meliputi flukonazol, itrakonazol,
efinakonazol, dan isavukonazol).8 Triazol dan imidazol memiliki cincin
heterosiklik beranggota 5.8 Imidazol memiliki atom nitrogen 2-cincin,
sedangkan triazol mengandung 3 dan kurang rentan terhadap degradasi
metabolisme.8
Azol bekerja melalui penghambatan enzim lanosterol demethylase
(14α-demethylase), sebuah enzim sitokrom jamur P450 (CYP)-dependen
yang mengkatalisis proses konversi lanosterol menjadi ergosterol, sehingga
menghalangi biosintesis ergosterol.5,8,9 Mekanisme penghambatan ini
menjadikan obat-obatan azol berhubungan dengan efek fungistatik.8,9
Selanjutnya, penurunan tingkat ergosterol mengganggu permeabilitas
membran.8,9 Selain itu, penumpukan prekursor sterol 14α-methylase akan
mengganggu pertumbuhan sel, yang akan menyebabkan kematian sel
(Gambar 1).8,9 Azol dalam konsentrasi normal merupakan agen fungistatik,
namun konsentrasi azol yang tinggi dapat menjadi fungisida.8 Heme-
containing pocket adalah tempat pengikatan azol pada enzim lanosterol
demetilase dan variasi konformasi, bersama dengan variasi dalam struktur
obat adalah penentu dari afinitas pengikatan azol dan resistensi silang.8
Organisme yang resisten terhadap azol telah dilaporkan pada beberapa kasus
yang jarang terjadi setelah digunakan sebagai profilaksis atau pengobatan

17
jangka panjang dan mungkin terdapat beberapa potensi resistensi silang
antara golongan azol yang belum dikarakterisasi secara adekuat.9

Flukonazol
Flukonazol adalah bis-triazol yang larut dalam air yang disetujui FDA
pada sekitar awal tahun 1990-an.8 Flukonazol adalah triazol generasi
pertama pada awal disetujui untuk digunakan pada manusia di Perancis dan
Inggris (1988) dan di Amerika Serikat (1990). 9 Finlandia dan Cina (1993)
adalah negara pertama yang mendapat persetujuan untuk perawatan
onikomikosis dengan pengobatan flukonazol.9 Di Amerika Serikat,
flukonazol tidak disetujui untuk pengobatan onikomikosis atau
dermatomikosis lain.9
Flukonazol menghambat lanosterol 14α-demethylase dan mencegah
konversi lanosterol menjadi ergosterol.8 Flukonazol memiliki
bioavailabilitas oral yang sangat baik, mencapai hampir 90% sebanding
dengan yang dicapai dengan rute intravena (Tabel 1).7,8,9 Farmakokinetik
linier, dapat diprediksi dan tidak bergantung pada keasaman lambung,
asupan makanan, atau aktivitas penyakit.8,9 Tidak seperti kebanyakan obat
anti jamur lain, hanya sebagian kecil flukonazol yang terikat dengan protein
plasma, menghasilkan lebih banyak obat bebas untuk efek terapeutik (Tabel
1).8,9 Obat ini juga ditandai dengan waktu paruh yang panjang yaitu 25
hingga 30 jam (tabel 1).8 Selain itu, distribusi luas di berbagai jaringan
termasuk kulit, kuku, ruang vitreous mata, dan cairan tulang belakang otak
(CSF), bersamaan dengan keamanan yang baik terutama pada pasien dengan
gangguan kekebalan, telah memenuhi syarat penggunaan flukonazol untuk
pengobatan infeksi jamur invasif selama hampir 3 dekade.7,8,9
Obat ini kurang dimetabolisme oleh hati, dan ginjal adalah rute utama
eliminasi obat (Tabel 1).8,9 Flukonazol mencapai konsentrasi urin yang
tinggi karena dibersihkan secara bersih sekitar 66% hingga 76% dikeluarkan
ke dalam urin dalam bentuk flukonazol yang tidak berubah (Tabel 1).7,9
Oleh karena itu, penyesuaian dosis diperlukan dengan insufisiensi ginjal.7,8,9
Flukonazol dapat hilang dengan hemodialisis dan harus diberikan setelah

18
hemodialisis.8 Tidak seperti obat triazol lain, flukonazol tidak
dimetabolisme secara luas di hati sehingga penyesuaian dosis tidak
diperlukan untuk pasien dengan gangguan hati.7,9
Ketika dua dosis flukonazol (150 mg seminggu sekali) diberikan, obat
terakumulasi dalam stratum korneum melalui keringat dan melalui difusi
langsung ke dermis dan epidermis.9 Ekskresi dalam sebum mungkin lebih
terbatas.9 Setelah penghentian pengobatan, mungkin ada redifusi flukonazol
dari kulit ke dalam sirkulasi sistemik tetapi pada tingkat yang lebih rendah
daripada eliminasi dari plasma.9 Pada subyek sehat yang diberi dosis
flukonazol tunggal 200 mg, konsentrasi dalam plasma dan stratum korneum
masing-masing adalah 3 μg/mL dan 98 μg/g 7 jam setelah pemberian.9
Selama 5 hari pengobatan flukonazol (200 mg kontinu), eliminasi
flukonazol dari stratum korneum terjadi dengan waktu paruh sekitar 60
hingga 90 jam, hal ini merupakan 2 sampai 3 kali lebih lambat daripada
eliminasi dari plasma.9 Data farmakokinetik menunjukkan bahwa flukonazol
150 mg yang diberikan sekali seminggu seharusnya efektif dalam
pengobatan infeksi jamur kulit.9
Flukonazol menunjukkan penyerapan cepat ke kuku dan dapat
dideteksi pada ujung distal lempeng kuku dalam 1 hari setelah memulai
pengobatan dengan 50 mg.9 Ini menunjukkan bahwa difusi flukonazol dari
dasar kuku ke lempeng kuku adalah rute penting pemberian obat.9 Ketika
150 mg flukonazol diberikan sekali seminggu selama 12 bulan, ini dapat
dideteksi dalam lempeng kuku selama kurang lebih 6 bulan setelah
penghentian pengobatan pada kuku yang sehat dan yang sakit.9 Setelah 1
dan 6 bulan pengobatan, konsentrasi rata-rata flukonazol dalam kuku yang
sehat masing- masing adalah 3,09 dan 8,54 μg/g.9 Konsentrasi flukonazol
pada kuku kaki yang sehat dan sakit masing-masing adalah 1,4 dan 1,9
μg/g 6 bulan setelah penghentian obat.9 Data ini menunjukkan bahwa ada
potensi untuk perbaikan onikomikosis berkelanjutan meskipun setelah
penghentian pengobatan obat.9 Hanya sedikit yang telah mempublikasikan
tentang farmakokinetik flukonazol pada rambut.9 Ketika flukonazol 100 mg
diberikan kontinu kepada

19
subjek sehat selama 5 hari, flukonazol terdeteksi pada rambut kepala 4
sampai 5 bulan setelah selesai pengobatan.9
Flukonazol adalah salah satu anti jamur yang paling umum digunakan
dalam pengobatan kandidiasis esofagus, vagina, dan orofaringeal, serta
meningitis kriptokokus.7,8,9 Obat ini berkhasiat melawan semua Candida
kecuali C. krusei.7 Sehubungan dengan profilaksis, flukonazol juga
diindikasikan untuk digunakan dalam mengurangi insidensi kandidiasis
pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang, yang menerima
kemopengobatan atau pengobatan radiasi sitotoksik.7 Selain itu, flukonazol
digunakan sebagai pengobatan off-label untuk onikomikosis, infeksi tinea,
pityriasis versicolor, dan kandidiasis mukokutan kronis ketika itrakonazol
dan terbinafin dikontraindikasikan.7,8,9
Flukonazol tersedia dalam sedian berikut: 150 mg kapsul, tablet,
cairan, dan larutan untuk infus intravena.8 Flukonazol digunakan dalam
pengobatan onikomikosis pada orang dewasa dengan dosis mingguan 150
hingga 450 mg untuk 3 dan 6 bulan masing-masing untuk onikomikosis jari
dan kuku.8 Pada anak-anak, dosis dihitung berdasarkan berat badan, 3-6
mg/kgBB/minggu selama 6 hingga 12 minggu dalam kasus onikomikosis
jari diperpanjang hingga 9 hingga 15 minggu dalam kasus keterlibatan kuku
jari kaki.8 Dosis yang dianjurkan dalam kasus dermatofitosis adalah 150 mg
seminggu sekali selama 2 hingga 4 minggu pada kasus tinea barbae, tinea
pedis, dan tinea korporis, dan 4 hingga 6 minggu pada tinea kruris dan tinea
kapitis.8 Flukonazol efektif dalam pengobatan kandidiasis dan pityriasis
versicolor mukokutaneus kulit atau kronis dengan dosis 300 mg/minggu
selama 2 minggu dan sekali setiap bulan untuk profilaksis (Tabel 3).8
Secara umum, flukonazol memiliki efek samping lebih sedikit
dibandingkan anti jamur lain.8 Efek samping obat yang paling sering adalah
sakit kepala, mialgia, pusing, mual, dispepsia, diare, dan sakit perut.8 Selain
itu, kelainan jantung seperti interval QT yang memanjangan dan torsade de
pointes jarang dilaporkan dengan flukonazol.8 Reaksi kulit eksfoliatif
termasuk sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik jarang

20
terjadi.8 Efek samping lain termasuk reaksi anafilaksis, angioedema, erupsi
bentuk jerawat, pendarahan mata, dan neutropenia.8

Tabel 3. Sediaan, indikasi dan dosis flukonazol8

Dewasa Dosis Anak


Golongan Sediaan Indikasi
Azol
Flukonazol  Kapsul Kandidiasis 150 mg/ hari 6 mg/kg/hari
150 mg Esofagusa selama 2-3 minggu sampai perbaikan
 Tablet setelah perbaikan klinis, kemudian
150 mg klinis 3 mg/kg/ hari
 Larutan selama 2 minggu
untuk Kandidiasis 150 mg untuk 1 kali
infus IV Vaginaa
Rekuren
150 mg/minggu
selama 6 bulan
Kandidiasis 300 mg/minggu
kutan dan selama 2 minggu
mukokutana
T. capitisb 6 mg/kg/hari
 Trichophyton
tonsurans selama
20 hari
 Microsporum
canis selama 2
minggu
Onikomikosisb 150-300 3-6 mg/kg/hari
mg/minggu  Jari tangan
 Jari tangan selama selama 12-16
6-9 minggu minggu
 Jari kaki selama 9-  Jari kaki selama
15 minggu 18-26 minggu

T. pedis, cruris, 150 mg/minggu


corporis, barbaeb selama 2-6 minggu
Tinea versikolorb 300 mg/minggu
selama 2 minggu
IV: intravena
a
Indikasi disetujui oleh FDA
b
Indikasi Off-label
c
Indikasi untuk anak >4 tahun

Flukonazol adalah substrat isoenzim hati CYP3A.8 Selain itu,


flukonazol memiliki efek penekan moderat pada CYP3A dan CYP2C9 serta
efek penghambatan yang lemah pada CYP2C19, oleh karena itu pemberian
bersamaan dengan obat yang dimetabolisme oleh salah satu enzim ini dapat
mengakibatkan interaksi obat yang merusak.8 Contoh adalah aritmia yang

21
fatal dengan pemberian astemizol, cisaprid, pimozid dan terfenadin secara
bersamaan.8

Itrakonazol
Itrakonazol adalah triazol fungistatik spektrum luas yang secara
sintetik berasal dari ketokonazol melalui perpanjangan rantai samping
hidrofobik berperan dalam pengikatan obat ke apoprotein dari enzim 14α-
demetilase.8 Itrakonazol adalah triazol generasi pertama yang disintesis pada
tahun 1980.9 Itrakonazol pertama kali disetujui pada tahun 1987.9
Itrakonazol disetujui di Amerika Serikat untuk pengobatan mikosis sistemik
(1992) dan sebagai pengobatan kontinu untuk onikomikosis kuku jari tangan
serta kuku jari kaki (1995).9 Pengobatan dosis pulse itrakonazole telah
disetujui di Amerika Serikat untuk perawatan onikomikosis kuku (1997).9
Seperti azoles lain (Gambar 1), itrakonazol bekerja melalui
penghambatan 14α-demethylase dan menekan konversi lanosterol menjadi
ergosterol.8 Itrakonazol adalah agen yang sangat lipofilik.8 Sediaan kapsul
memerlukan keasaman lambung untuk penyerapan optimal yaitu dengan
cara menunda pengosongan lambung dan meningkatkan peleburan obat,
oleh karena itu sebaiknya diberikan setelah makan. 8,9 Sebaliknya, larutan
oral siklodekstrin dari itrakonazol tidak dipengaruhi oleh keasaman lambung
dan paling baik diserap ketika dikonsumsi dengan perut kosong.8,9
Itrakonazol ditransfer ke kulit terutama sebagai hasil difusi pasif dari plasma
ke keratinosit, dengan ikatan obat yang kuat terhadap keratin.9 Itrakonazol
dapat terdeteksi dalam keringat dalam waktu 24 jam setelah asupan awal
obat.9 Walaupun terdeteksi dini dalam keringat, ekskresi itrakonazol pada
rute ini minimal, berbeda dengan griseofulvin, ketokonazol, dan
flukonazol.9 Terdapat ekskresi itrakonazol yang luas ke dalam sebum.9
Sejumlah itrakonazol yang dapat diabaikan terdistribusi kembali dari kulit
dan menjadi tambahan ke plasma.9 Itrakonazol dieliminasi ketika stratum
korneum memperbarui diri dan ketika rambut dan kuku tumbuh. 9
Itrakonazol dapat bertahan dalam stratum korneum selama 3 hingga 4
minggu setelah

22
penghentian pengobatan.9 Dalam model ex vivo, efek terapeutik itrakonazol
dalam stratum korneum tetap ada selama 2 sampai 3 minggu setelah
menghentikan pengobatan.9 Seperti terbinafin, itrakonazol memiliki afinitas
yang tinggi terhadap kuku dan dapat terakumulasi di sana, membentuk
reservoir obat selama 6 hingga 9 bulan setelah penghentian obat.7,8,9
Itrakonazol memiliki bioavailabilitas sekitar 55% (Tabel 1).7,8,9 Waktu
paruh itrakonazol rata-rata 21 jam dan telah dipostulatkan bahwa efikasi
sebagai agen profilaksis berbanding lurus dengan tingkat plasma tetapi tidak
boleh melebihi 17 μg/mL dengan pengukuran bioassay untuk menghindari
toksisitas obat.8 Penjadualan dosis dua kali sehari diperlukan pada anak-
anak karena konsentrasi obat di plasma lebih rendah dibandingkan dengan
orang dewasa.8 Itrakonazol mengalami metabolisme di hati yang luas oleh
enzim sitokrom CYP3A4.8,9 Pada pasien dengan sirosis hepatis, waktu paruh
eliminasi itrakonazol meningkat 2 kali lipat.7,9 Penyesuaian dosis diperlukan
pada pasien dengan penyakit hati progresif.9 Insufisiensi ginjal dan dialisis
ginjal tidak memiliki pengaruh terhadap konsentrasi plasma obat, namun
bioavailabilitas itrakonazol sedikit berkurang pada pasien dengan
insufisiensi ginja kecuali pada sediaan intravena, yang harus dihindari ketika
klirens kreatinin kurang dari 30 mL/menit.7,8,9 Pada pasien dengan usia
lanjut dengan kerusakan ginjal terkait umur perlu penyesuaian dosis.8
Itrakonazol telah terdeteksi di ujung distal kuku jari tangan dan kuku
kaki masing-masing dalam waktu 1 dan 2 minggu setelah pengobatan
dimulai.9 Hal ini konsisten dengan itrakonazol yang mencapai ujung bebas
dari lempeng kuku melalui matriks kuku dan alas kuku.9 Selanjutnya,
setelah menerima itrakonazol 200 mg kontinu selama 10 hari, konsentrasi
itrakonazol dalam material kuku subungual lebih dari 2 kali lipat tingkat
yang sesuai dalam guntingan kuku distal dan hampir mencapai sekitar 20
kali lipat konsentrasi daripada di plasma.7,9 Pada pasien yang diobati dengan
pengobatan pulse, 200 mg dua kali sehari selama 1 minggu, kadar obat yang
dicapai di kuku jari tangan melebihi MIC.9 Setelah pengobatan intermiten
itrakonazol selama 2 dosis pulse (200 mg dua kali sehari selama 1 minggu

23
dan 3 minggu tidak minum obat) obat menjadi tidak terdeteksi di kuku jari
tangan selama 9 bulan setelah dimulai pengobatan. 9 Ketika onikomikosis
kuku jari kaki diobati dengan dosis 3 pulse itrakonazol, kadar obat terdeteksi
dalam kuku selama 11 bulan9. Klirens obat yang lebih cepat dari kuku jari
tangan daripada kuku jari kaki mungkin karena pertumbuhan yang lebih
cepat dari yang sebelumnya.9 Sebaliknya, kadar plasma menurun ke level
yang sangat rendah atau dapat diabaikan dalam 7 hingga 14 hari setelah
menghentikan pengobatan itrakonazol.9
Itrakonazol dapat ditransfer ke rambut terutama melalui dua rute:
melalui sebum, dan melalui penggabungan ke folikel rambut.9 Pengujian
pendahuluan terhadap dosis kontinu dan pulse itrakonazol menemukan
bahwa itrakonazol dapat dideteksi pada rambut setelah 1 minggu
pengobatan.7 Ketika dosis pulse digunakan untuk granuloma Majocchi,
konsentrasi itrakonazol pada rambut masing-masing adalah 2,6 dan 3,4 kali
lipat lebih tinggi setelah pulse kedua dan ketiga, dibandingkan pada akhir
pulse pertama.9 Setelah penghentian pengobatan pulse, obat terdeteksi pada
rambut hingga 9 bulan, menunjukkan bahwa dosis pulse dengan itrakonazol
dapat menjadi pilihan untuk pengobatan tinea kapitis. 9 Meskipun metabolit
dapat ditemukan dalam urin dan feses, metabolit urin tidak aktif dan
itrakonazol tidak berguna untuk pengobatan infeksi yang melibatkan saluran
kemih bagian bawah (Tabel 1).7,9
Itrakonazol dianggap sebagai pilihan terbaik dalam pengobatan
Candida dan onikomikosis nondermatofit dikarenakan membutuhkan waktu
perawatan yang singkat dan tolerabilitas yang baik menjadikan pilihan
perawatan yang sangat baik untuk anak-anak.8 Itrakonazol diindikasikan
oleh FDA untuk pengobatan onikomikosis dermatofit pada kuku jari kaki
dan/atau kuku jari tangan pada orang dewasa yang tidak ada gangguan
kekebalan (Tabel 4).8 Hal ini juga berlaku pada pasien dengan gangguan
kekebalan dan tanpa gangguan kekebalan untuk penyakit mikosis sistemik,
seperti blastomikosis, histoplasmosis, dan aspergillosis pada pasien yang
tidak toleran atau refrakter terhadap amfoterisin B. Itrakonazol juga
digunakan

24
sebagai pengobatan off-label untuk banyak dermatofitosis, termasuk tinea
korporis, tinea kapitis, tinea pedis, tinea cruris, tinea manuum, dan pityriasis
versikolor.8,9 Penggunaan itrakonazol untuk pengobatan infeksi yang
melibatkan sistem saraf pusat atau mata tidak dianjurkan.7

Tabel 4. Sediaan, indikasi dan dosis itrakonazol8

Dewasa Dosis Anak


Golongan Sediaan Indikasi
Azol
Itrakonazol  Kapsul 100 Onikomikosisa Kontinu: Pulse:
mg 200 mg/ hari 5 mg/kg/hari
 Larutan  Jari tangan selama selama 1 minggu
siklodekstrin 6 minggu setiap bulan
oral  Jari kaki selama 12  Jari tangan 2
minggu pulse
 Jari kaki 3 pulse
Pulse:
400 mg/hari selama
1 minggu setiap
bulan
 Jari tangan 2 pulse
 Jari kaki 3 pulse
Kandidiasisi Larutan oral >15 kg
Esofagusa 100-200 mg/hari 100 mg/hari
selama 1-2 minggu
setelah perbaikan 15-30 kg
klinis 100 mg/hari
berselingan 200
mg/hari

30-45 kg
200 mg/hari
durasi sama
dengan dewasa
T. capitisb 200 mg/hari 5 mg/kg/hari
Selama 2-8 minggu  Trichophyton
tonsurans
selama 2-4
minggu
 Microsporum
canis selama 4-
8 minggu
T. pedis, 200 mg/hari selama
cruris, 1 minggu
corporis,
barbaeb

(Lanjutan tabel 4. Sediaan, indikasi dan dosis itrakonazol)8


Pityriasis Terapi:
versikolorb

25
200 mg/hari selama
1 minggu

Profilaksis:
400 mg sekali
setiap bulan
a
Indikasi disetujui oleh FDA
b
IndikasiOff-label
c
Indikasi untuk anak >4 tahun

Itrakonazol telah terbukti efektif untuk pengobatan kandidiasis


orofaringeal, esofagus, dan vagina, tetapi saat ini tidak direkomendasikan
sebagai pengobatan lini pertama untuk infeksi ini. Hal ini dikarenakan tidak
menunjukan manfaat yang jelas dibandingkan pengobatan dengan
flukonazol untuk kandidiasis mukosa dan dikaitkan dengan lebih banyak
efek samping, variabel penyerapan lambung, dan tingkat obat yang kurang
dapat diprediksi. Itrakonazol tetap menjadi pilihan pengobatan untuk pasien
dengan infeksi seperti ini yang tidak teratasi dengan flukonazol. Itrakonazol
tidak disetujui untuk pengobatan kandidemia atau kandidiasis invasif.7
Itrakonazol secara efektif mencegah infeksi jamur invasif pada pasien
dengan keganasan hematologis atau transplantasi sumsum tulang autologus.
Namun, tidak ditoleransi dengan baik seperti flukonazol, dikarenakan sering
menyebabkan penghentian akibat efek samping gastrointestinal dan tidak
umum digunakan untuk indikasi ini.
Dosis yang dianjurkan untuk infeksi tinea dan pityriasis versicolor
adalah 100 mg dua kali sehari selama 5 hari. Untuk pengobatan
onikomikosis, itrakonazol diresepkan sebagai dosis kontinu (dosis harian
200 mg selama 6 minggu) atau dosis pulse setiap bulan (400 mg/hari selama
1 minggu). Dosis obat pada anak-anak dihitung berdasarkan berat badan (5
mg/kgBB/hari) dan kedua dosis kontinu atau pulse dapat diikuti.8
Efek samping itrakonazol yang paling sering adalah gangguan saluran
cerna, terutama rasa tidak enak yang khas yang terkait dengan transport
hidroksipropil-β-siklodekstrin, yang dapat menyebabkan ketidakpatuhan
pasien. Pasien lanjut usia yang menggunakan itrakonazol sering mengalami
trias dari edema, hipertensi, dan hiperkalemia. Selain itu, itrakonazol

26
memiliki efek inotropik negatif yang dapat menjadi predisposisi gagal
jantung. Itrakonazol harus dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit
jantung. Efek samping seperti hepatitis, penyakit kuning, sindrom Stevens-
Johnson, neuropati perifer, dan supresi adrenal jarang dilaporkan.8,9
Itrakonazol adalah substrat dan inhibitor enzim CYP3A4 hati, dan
dengan demikian dapat mempengaruhi tingkat serum, efikasi, dan toksisitas
obat yang dimetabolisme oleh enzim yang sama.7,8 Demikian pula,
penginduksi enzim CYP3A4 dan inhibitor lain dapat meningkatkan atau
menurunkan metabolisme obat dan pertimbangan khusus harus diambil
ketika menggabungkan itrakonazol dengan satu atau lebih obat jenis ini.7,8
Mengingat perlu keasaman lambung untuk penyerapan itrakonazol yang
optimal, obat-obatan seperti penghambat H2 reseptor dan penghambat
pompa proton akan mengurangi penyerapan obat dan juga efek terapeutik
obat.7,8

2.2.3. Golongan Anti Jamur


Lain Griseofulvin
Griseofulvin diisolasi dari cetakan Penicillium griseofulvum Dierckx
oleh Oxford (1939).9 Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, griseofulvin
ditemukan efektif dalam pengobatan infeksi jamur superfisial pada manusia.
Griseofulvin adalah agen anti jamur oral pertama yang signifikan yang
tersedia untuk pengelolaan dermatomikosis.9 Penggunaan griseofulvin telah
menurun selama bertahun-tahun, tetapi masih digunakan secara luas untuk
pengobatan tinea kapitis pada anak-anak.9
Griseofulvin adalah obat fungistatik yang menghalangi pertumbuhan
dan proliferasi sel jamur.8 Griseofulvin mengikat MAP (microtubule-
associated proteins) sepanjang polimerisasi mikrotubulus serta menekan
pembentukan spindle mitosis pada fase G2/M dari siklus sel.8 Aktivitas ini
menghambat pembelahan sel dan memaksa sel untuk melakukan apoptosis.8
Griseofulvin adalah obat yang tidak larut dalam air dam dikenal karena
bioavailabilitas yang rendah (Tabel 1).8,9 Sebagian besar penyerapan obat
terjadi dalam duodenum, dan penyerapan griseofulvin yang lebih baik dapat

27
terjadi baik ketika dilapisi dengan polietilen glikol atau pada pemberian
bersama dengan makanan berlemak.8 Griseofulvin ditandai dengan
akumulasi dalam jaringan penghasil keratin, di mana ia melekat secara baik
pada keratin yang baru terbentuk, membuat tahan terhadap penetrasi jamur. 8
Enzim 6-desmethyl berperan untuk metabolisme griseofulvin di hati (Tabel
1).8,9 Eliminasi obat di kulit lebih lambat daripada eliminasi di plasma,
memungkinkan untuk memperpanjang efek obat bahkan setelah
penghentian.8 Griseofulvin dieliminasi dari tubuh terutama melalui ginjal
dalam bentuk metabolit (Tabel 1).8,9
Griseofulvin diindikasikan untuk pengobatan infeksi dermatofit pada
kulit, kulit kepala, dan kuku.8,9 Seperti obat anti jamur oral lain, penggunaan
griseofulvin tidak dibenarkan untuk pengobatan infeksi tinea yang
diharapkan akan memiliki respon yang memuaskan apabila dibandingkan
anti jamur topikal.8 Griseofulvin tetap menjadi pengobatan lini pertama
untuk tinea kapitis yang disebabkan oleh spesies Microsporum karena
efikasiya yang lebih tinggi dibandingkan dengan terbinafin dan efisiensi
serupa namun lebih murah dibandingkan dengan itrakonazol atau
flukonazol.8 Griseofulvin tidak efektif dalam pengobatan pityriasis (tinea)
versicolor, infeksi bakteri, kandidiasis (moniliasis), atau infeksi mikotik
yang dalam.8 Obat ini juga satu- satunya pengobatan yang disetujui FDA
untuk onikomikosis anak, walaupun efikasi terbatas pada dermatofit saja.8,9
Meskipun griseofulvin disetujui untuk infeksi tinea pada kuku, afinitas
obat untuk keratin rendah dan diperlukan pengobatan jangka panjang,
kurang lebih 9-12 bulan.9 Efikasi pengobatan juga rendah, dan golongan
azol baru dan golongan alilamin sebagian besar telah menggantikan
griseofulvin untuk indikasi ini.9
Griseofulvin tersedia dalam sediaan berikut: mikrosize 250 mg dan
500 mg dan tablet ultramikrosize 125 mg, 165 mg, dan 250 mg, dan
suspensi oral 125 mg/5 ml. 8
Griseofulvin direkomendasikan dengan dosis
harian microsize 1 g, atau ultramikrosize 660 mg hingga 750 mg selama 4
hingga 8 minggu pada pengobatan tinea pedis dan setengah dari dosis ini
untuk pengobatan

28
tinea cruris dan korporis (Tabel 5).8 Dosis griseofulvin harian yang
direkomendasikan untuk pengobatan tinea capitis pada anak-anak
tergantung pada berat badan dan dosis sebagai berikut: ultramikrosize 10 mg
hingga 15 mg/kgBB, suspensi oral 15 mg hingga 25 mg/kgBB, microsize 20
mg hingga 25 mg/kgBB, kontinu selama 1 hingga 2 bulan (Tabel 5).8
Efek samping utama yang terkait dengan griseofulvin terkait dengan
hipersensitivitas, yang berkisar dari urtikaria ringan, serum sickness,
pustulosis eksantematosa generalisata akut, lupus eritematosa kutaneus
subakut, sindrom Stevens-Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.8
Fotosensitifitas, termasuk reaksi foto toksik dan foto alergik telah sering
dilaporkan sebagai efek samping dari griseofulvin.8 Efek samping berupa
erupsi kulit lain termasuk erupsi lichenoid, porfiria, dan pityriasis rosea juga
dapat terjadi.8 Efek samping yang jarang tetapi serius termasuk
hepatotoksisitas, leukopenia, trombositopenia, dan anemia.8 Masalah
neurologis seperti neuritis perifer, kehilangan memori, kebingungan dan
insomnia tidak biasa dilaporkan pada beberapa pasien.8
Griseofulvin tidak boleh diresepkan bersamaan dengan fenobarbital
karena itu mengurangi penyerapan dan meningkatkan metabolisme
griseofulvin.8 Interaksi dengan alkohol, siklosporin, kontrasepsi oral,
aspirin, dan warfarin juga telah dilaporkan memiliki hubungan.8
Tabel 5. Sediaan, indikasi dan dosis griseofulvin8

Dewasa Dosis Anak


Golongan Sediaan Indikasi
Lain
Griseofulvin  Tablet microsize Tinea capitisa Microsize 500 Microsize 15-20
250 dan 500 mg; mg/hari atau mg/kg/hari atau
Ultramicrosize ultramicrosize ultramicrosize
125, 165 dan 300-375 5-10 mg/kg/hari
250 mg mg/hari selama selama 6-12
 Suspensi oral 4-8 minggu minggu
125 mg/5 ml T. cruris,a Microsize 500 Microsize 15-20
korporis mg/hari atau mg/kg/hari atau
ultramicrosize ultramicrosize
300-375 mg/hari 5-10 mg/kg/hari
selama 2-4 selama 2-4
minggu minggu

(Lanjutan tabel 5. Sediaan, indikasi dan dosis griseofulvin)8

29
T. pedisa Microsize Microsize 15-20
750-1000 mg/kg/hari atau
mg/hari atau ultramicrosize
ultramicrosize 10-20
660-750 mg/hari mg/kg/hari
selama 4-8 selama 4-8
minggu minggu
a
Indikasi disetujui oleh FDA
b
IndikasiOff-label
c
Indikasi untuk anak >4 tahun

30
BAB III

KESIMPULAN

Infeksi jamur atau mikosis sudah menjadi penyakit umum. Kemudahan


bepergian ke seluruh dunia, mikosis yang sebelumnya dianggap terbatas secara
geografis sekarang dapat dilihat di bagian mana pun di dunia. Selain itu, dalam
beberapa tahun terakhir jumlah jamur yang diakui sebagai patogen manusia telah
meningkat, sebagian disebabkan oleh peningkatan populasi pasien dengan
gangguan kekebalan dan kemajuan dalam diagnosis molekuler. Jamur yang
sebelumnya dianggap non-patogen kini dipertimbakan sebagai patogen
oportunistik. Identifikasi rutin sebagian besar jamur patogen masih sangat
bergantung pada pengamatan langsung morfologi dan ini membutuhkan
pengetahuan tentang beberapa fitur dasar klasifikasi dan struktur jamur.
Ketersediaan agen anti jamur modern telah sangat meningkatkan
pengobatan pada berbagai dermatomikosis superfisial maupun sistemik. Agen anti
jamur sistemik sudah sangat membantu dalam meningkatkan efikasi pengobatan
onikomikosis dan tinea kapitis. Empat agen sistemik utama untuk indikasi
dermatologis superfisial tersedia: (1) terbinafin, (2) flukonazol, (3) itrakonazol
dan
(4) griseofulvin.
Agen anti jamur oral sistemik telah banyak digunakan dalam dermatologi.
Dosis dan efikasi bervariasi dengan indikasi spesifik. Penggunaan klinis telah
menunjukkan keamanan umum penggunaan anti jamur oral. Namun, risiko yang
mungkin ada untuk masing-masing golongan dan pemantauan pasien harus
dilakukan dengan hati-hati terlepas dari golongan yang digunakan.

31
DAFTAR PUSTAKA
1. Hospenthal DR, Rinaldi MG. Diagnosis and Treatment of Fungal Infections.
Cham: Springer International Publishing. 2015. hal. 3–7
2. Ashbee HR, Hay RJ. Part 3: Fungal infections. In: Chalmers R, Barker J,
Griffiths C, Bleiker T, Creamer D, editor. Rook’s Textbook of Dermatology. 9 th
ed. John Wiley & Sons. 2016. p. 1–110.
3. Bramono K, Buimulja U. Dermatomikosis: Dermatofitosis dan Non
Dermatofitosis. In: Menaldi SLSM, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2016. p.
103– 116.
4. Craddock LN, Schieke SM. Part 24: Fungal Disease: Superficial Fungal
Infection. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ,
McMichael AJ, et al., editor. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 th ed. New York: Mc
Graw Hill Education. 2019. p. 2925–2951.
5. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM. Diseases
Resulting From Fungi and Yeasts. In: Kryhl L, Cook L, Riley A, Salisbury B,
Teresa M, Milano M, editor. Andrew’s Diseases of The Skin: Clincal
Dermatology. 13th ed. New York: Elsevier. 2020. p. 291–323.
6. Prasad R, Shah AH, Rawal MKR. Antifungals: Mechanism of Action and Drug
Resistance. In: Ramos J, Sychrová H, Kschischo M, editor. Advances in
Experimental Medicine and Biology: Yeast Membrane Transport. Cham:
Springer International Publishing; 2016. p. 327–349.
7. Nett JE, Andes DR. Antifungal Agents: Spectrum of Activity, Pharmacology,
and Clinical Indications. Infectious Disease Clincs of North America.
2015;30(1):51–83.
8. Ghannoum M, Salem I, Christensen L. Part 28: Topical and Systemic
Treatments: Antifungal. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk AH,
Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editor. Fitzpatrick’s Dermatology. 9 th ed.
New York: Mc Graw Hill Education; 2019. p. 3436–3450.
9. Gupta AK, Foley KA. Systemic Antifungal Agents. In: Wolverton SE, Wu JJ,
Kryhl C, Duffy N, Robertson RL, Unni D, et al., editor. Comprehensive
Dermatology Drug Therapy. 4th ed. Philadelphia: Elsevier. 2020. p. 99–113.
10. Ahronowitx I, Leslie K. Part 24: Fungal Disease: Yeast Infections. In: Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editor.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill Education. 2019.
p. 2952–64.
11. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Nasional Pendidikan Profesi Dokter
Indonesia. 2019. p. 164–5.
12. Hay RJ. Part 24: Fungal Disease: Deep Fungal Infections. In: Kang S, Amagai
M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editor.

32
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: Mc Graw Hill Education. 2019. p.
2965–2987

33

Anda mungkin juga menyukai