Anda di halaman 1dari 19

Referat

DERMATITIS KONTAK

Oleh :

Rahma Adellia, S.Ked.

04084822124026

Pembimbing :

Prof. Dr. Theresia Lumban Toruan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Dermatitis Kontak

Oleh:
Rahma Adellia, S.Ked.

04084822124026

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 25 April – 21 Mei 2022

Palembang, April 2022

Pembimbing,

Prof. Dr. Theresia Lumban Toruan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan berkat-Nya referat yang berjudul “Dermatitis Kontak” ini dapat diselesaikan tepat
waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di
Bagian/ KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Theresia Lumban
Toruan, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV atas bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi
lebih baik. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam penulisan
referat ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, April 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halama
n HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii

DAFTAR ISI................................................................................................................iv

PENDAHULUAN.........................................................................................................7

DEFINISI.......................................................................................................................8

EPIDEMIOLOGI...........................................................................................................8

ETIOPATOGENESIS...................................................................................................8
MANIFESTASI KLINIS.............................................................................................11

DIAGNOSIS................................................................................................................13

PEMERIKSAAN PENUNJANG................................................................................14

DIAGNOSIS BANDING.............................................................................................15

TATALAKSANA.......................................................................................................16

KOMPLIKASI.............................................................................................................17

PROGNOSIS...............................................................................................................17

RINGKASAN..............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................19

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Patogenesis Dermatitis Kontak Alergi....................................................10

Gambar 2. Bentuk Lesi Dermatitis Kontak Alergi..................................................11

Gambar 3. Interpretasi Uji Tempel...........................................................................14

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tipe Dermatitis Kontak Iritan......................................................................12

Tabel 2. Riwayat Anamnesis Dermatitis...................................................................13

Tabel 3 . Diagnosis Banding Dermatitis Kontak.......................................................15

vi
DERMATITIS KONTAK
Rahma Adellia, S,Ked.
Pembimbing: Prof. Dr. Theresia Lumban Toruan, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Dermatitis kontak merupakan peradangan pada epidermis dan dermis kulit yang
disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel di kulit. 1 Dermatitis kontak
terbagi menjadi dua yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. 2
Dermatitis kontak iritan merupakan respon nonspesifik pada kulit terhadap kerusakan
akibat bahan kimia langsung tanpa menginduksi respon imun.1 Dermatitis kontak alergi
terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV yang melibatkan sistem imun dan
menimbulkan proses sensitisasi pada pajanan pertama kulit terhadap antigen asing
yang kemudian berkembang menjadi reaksi inflamasi lebih lanjut pada pajanan
berikutnya.1,2 Lesi pada kulit biasanya akan muncul setelah pajanan berulang
terhadap alergen.2
Dermatitis kontak dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita dermatitis kontak diperkirakan
cukup banyak terutama di negara industrial dan biasanya terkait pekerjaan. 1,3
Dermatitis kontak merupakan 70-90% dari semua penyakit kulit akibat kerja.4
Studi epidemiologi di Indonesia memperlihatkan bahwa 97% dari 389 kasus
adalah dermatitis kontak, 66,4% diantaranya adalah DKI dan 33,7% adalah
DKA.5,6
Derajat keparahan kulit yang terjadi akibat dermatitis kontak beragam
tergantung sifat iritan. Selain itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi yaitu
faktor individu dan faktor lingkungan.1 Dermatitis kontak yang tidak diatasi dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Selain itu pula, melihat tingginya
angka kejadian dermatitis kontak, baik dermatitis kontak iritan maupun dermatitis
kontak alergi maka penting bagi dokter umum untuk mengetahui perbedaan kedua
jenis dermatitis kontak tersebut sehingga dapat memberikan tatalaksana yang
tepat dan sesuai.

7
DEFINISI
Dermatitis menurut Dorland adalah peradangan pada kulit dan kontak menurut
KBBI adalah hubungan satu dengan yang lain. Dermatitis kontak adalah
peradangan kulit akibat pajanan lokal kulit dengan bahan dari luar. Dermatitis
kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-imunologi yang
menyebabkan kerusakan kulit terjadi secara langsung tanpa didahului proses
sensitisasi atau pengenalan.1 Dermatitis kontak alergi merupakan reaksi
peradangan kulit, dimediasi cell-mediated immune respons atau reaksi
hipersensitivitas tipe IV yang disebabkan oleh kontak kulit dengan alergen.3,8

EPIDEMIOLOGI
Dermatitis kontak merupakan 70-90% dari semua penyakit kulit akibat kerja.
Dermatitis kontak diderita 20% populasi dewasa dan menyebabkan >8.000.000
kunjungan rawat jalan ke dokter kulit per tahun di Amerika.4,6
Kejadian DKI paling sering diakibatkan oleh pajanan di tempat kerja.
Individu yang bekerja dalam pertambangan/manufaktur, penataan rambut,
pertanian, pekerjaan medis, dan keperawatan memiliki frekuensi tertinggi
dermatitis. Diperkirakaan bahwa insidensi DKI akibat kerja adalah sebanyak 80%
dan DKA sebanyak 20%. Wanita lebih sering terkena DKI dibandingkan pria.1,4

ETIOPATOGENESIS
Bahan iritan kuat seperti larutan asam sulfat, asam hidroklorid, natrium dan kalium
hidroksida biasanya hanya memerlukan satu kali kontak untuk menimbulkan gejala
DKI.1,3 Selain bahan iritan, lesi kulit yang terjadi juga ditentukan oleh ukuran
molekul, daya larut, konsentrasi bahan, vehikulum, suhu, kelembaban lingkungan,
dan lama kontak. Logam, kosmetik, produk perawatan kulit, pakaian, sepatu, obat,
dan tumbuh-tumbuhan merupakan penyebab tersering DKA.1,3,4

Dermatitis Kontak Iritan


Zat Iritan penyebab DKI adalah zat yang bersifat alkali (sabun, detergen, pemutih
pakaian, preparat amonia, zat pembersih pipa, zat pembersih oven), asam (asam
nitrat, asam oksalat), bahan fiberglass, metal (kalsium sianida, merkuri, nikel,
tembaga, iodin), pelarut industri (turpentine, acetone, carbon dioxide), dan tumbuh-
tumbuhan (capsaicin).9

8
Mekanisme terjadinya DKI yaitu dimulai dengan pajanan dari bahan
iritan ke sawar kulit dan menyebabkan hilangnya lipid permukaan kulit yang
kemudian mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga terjadi denaturasi
keratin epidermal dan efek sitotoksik langsung. Kerusakan sawar kulit
menyebabkan pengeluran sitokin seperti IL 1-α, IL-1-β dan tumor necrosis factor-
α (TNF-α). Sitokin yang berperan penting dalam kejadian DKI adalah TNF-α yang
menyebabkan peningkatan kompleks mayor histokompabilitas kelas II dan molekul
adhesi intra seluler-1 pada keratinosit.3,4,7 Proses tersebut menimbulkan gejala
peradangan klasik di kulit tempat terjadinya kontak dengan zat iritan yaitu berupa
eritema, edema, panas, dan nyeri.1,3,4,9
Terdapat beberapa perbedaan dari patogenesis DKI akut dan kronik. Reaksi
menyebabkan kerusakan sitotoksik langsung pada keratinosit, sedangkan DKI
kronik terjadi setelah pajanan berulang dan menyebabkan kerusakan lambat
membran sel, merusak sawar kulit, serta zat yang menahan air sehingga terjadi
denaturasi protein dan toksisitas seluler.3
Hampir seluruh sawar epidermal berada pada stratum korneum yang
normalnya akan diperbaharui setiap 17-27 hari. Kerusakan stratum korneum akan
diikuti oleh peningkatan absorbsi perkutaneus dan kehilangan cairan trans-
epidermal yang menyebabkan ketebalan stratum korneum berkurang.10

Dermatitis Kontak Alergi


Dermatitis kontak alergi terjadi dalam bentuk reaksi hipersensitivitas tipe IV atau
tipe lambat yang ditimbulkan oleh zat imunogenik (alergen). Patogenesis DKA
ditandai oleh dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Pada kedua fase ini
mediator-mediator inflamasi (IL-2, TNFα, leukotrien, dan IFNγ) akan dilepaskan
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit. Dermatitis kontak alergi
akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa waktu yang lama. 8
a. Fase Sensitisasi (Fase Induksi/ Fase Afferent)
Kebanyakan alergen yang berada di lingkungan berukuran kecil dan bersifat
lipofilik dengan berat molekul rendah (<500 dalton). Alergen yang tidak diproses
disebut sebagai hapten. Hapten yang menembus kulit akan ditangkap oleh sel
Langerhans dengan cara pinositosis, kemudian diproses secara kimiawi oleh enzim
lisozom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul HLA-DR menjadi antigen
lengkap. Keratinosit yang terpajan oleh hapten akan melepaskan sitokin (IL-1) akan
9
merangsang sel untuk menstimulasi sel-T. Pelepasan sitokin pro-inflamasi lainnya
oleh keratinosit adalah TNF-α yang dapat mengaktivasi sel T, granulosit, dan
makrofag.1,8 Sel Langerhans akan bermigrasi melalui saluran limfe menuju kelenjar
getah bening dan kemudian mempresentasikan kompleks antigen HLA-DR kepada
sel T penolong spesifik yang mengenali antigen.1
Sitokin pro-inflamasi yang disekresi oleh sel Langerhans menstimulasi
proses diferensiasi dan proliferasi sel T spesifik yang kemudian akan membentuk
ingatan (sel T memori) yang dapat melakukan ekspansi klonal, memperoleh skin-
specific homing antigen, dan bermigrasi dari kelenjar getah bening ke dalam
sirkulasi. Fase sensitisasi berlangsung 10-15 hari dan tidak menunjukkan gejala.
Pajanan antigen berikutnya atau rechallenge, menyebabkan fase elisitasi. Proses ini
dapat terjadi melalui beberapa rute, termasuk trans-epidermal, subkutan, intravena,
intramuskular, inhalasi, dan konsumsi oral.1,4,8
b. Fase Elisitasi (Fase Efferent)
Selama fase elisitasi ini, baik APC maupun keratinosit dapat mempresentasikan
antigen dan menyebabkan pengambilan sel T spesifik-hapten. Sel T akan
melepaskan sitokin IFN-ɤ dan TNF-α yang kemudian menarik sel inflamasi lain
serta menstimulasi makrofag dan keratin untuk melepaskan lebih banyak sitokin.
Keadaan inflamasi lokal tersebut akan menimbulkan gambaran klinis klasik
inflamasi spongiotik berupa kemerahan (eritem), edema, papul, dan vesikel yang
hangat.1,3,8

Gambar 1. Patogenesis dermatitis kontak alergi.10

10
MANIFESTASI KLINIS
Dermatitis Kontak Alergi
Gejala utama DKA adalah keluhan gatal yang lebih dominan daripada keluhan rasa
terbakar. Tingkat keparahan dan lokasi dermatitis mempengaruhi kelainan kulit
yang terjadi. Variasi bentuk atau morfologi lesi pada DKA sangat penting untuk
diketahui karena menggambarkan stadium penyakit.1 Lesi berupa eritem, edema,
dan papulovesikel menandakan DKA pada stadium akut dan tanda infeksi kulit
lokal. Gejala DKA sub-akut adalah plak eritem ringan dengan skuama kering dan
kadang disertai papul merah kecil berbentuk bulat. Pada DKA kronis akan terlihat
kulit yang kering disertai skuama, papul, likenifikasi dengan batas yang tidak jelas.
Gejala sistemik berupa eritroderma dapat terjadi pada DKA kronik.1,3,8
Lesi yang timbul akibat DKA tidak selalu terjadi bilateral meskipun
pajanan antigen terjadi bilateral (misalnya alergi sepatu dan sarung tangan). Selain
gejala eksematosa, terdapat varian klinis DKA non-eksematosa yang sering
dijumpai, yaitu DKA purpura (sering dijumpai pada ekstremitas bawah biasanya
disebabkan oleh tekstil), DKA likenoid (jarang, gejala klinis menyerupai liken
planus dan berhubungan dengan alergi akibat tato atau baan metal), DKA
pigmented (biasa ditemukan pada populasi dari etnis Asia), dan DKA limfomatoid
(diketahui berdasarkan hasil histopatologi).3,9 Beberapa bentuk lesi yang timbul
pada dermatitis kontak alergi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. A. Eritem disertai skuama dan beberapa fissura pada tangan B. Papul eritem yang
menyebar di lengan bawah. Tipikal alergi produk perawatan kulit8

Dermatitis Kontak Iritan


Keluhan DKI berupa gejala subjektif seperti rasa terbakar dan tersengat atau
muncul sensasi nyeri beberapa menit setelah terpajan bahan iritan, misalnya asam,
kloroform, atau metanol. Rasa tersengat akan timbul agak lambat yaitu 1-2 menit,
11
dengan puncaknya dalam waktu 5-10 menit dan berkurang dalam 30 menit,
biasanya disebabkan oleh aluminium klorid, fenol, dan propilen glikol. Spektrum
klinis pada DKI dapat dibagi menjadi beberapa kategori tergantung iritan dan pola
pajanan. Beberapa tipe dari dermatitis kontak iritan dapat dilihat di Tabel 1.3
Tabel 1. Tipe Dermatitis Kontak Iritan3

Tipe DKI Predileksi Manifestasi Klinik Jenis Pajanan


Iritan
DKI subjektif/ Wajah, Gatal, panas, rasa terbakar dan Kosmetik, tabir
simptomatik leher, kepala tajam setelah beberapa menit surya, asam laktat,
kontak dengan bahan iritan, tidak propilen glikol, dan
terlihat kelainan kulit pakaian dari wol
Reaksi iritan Dorsum Reaksi akut yaitu skuamasi, eritem Wet work, air,
manus dan ringan, vesikel, erosi. Bila progresif deterjen, sabun
jari tangan menjadi DKI kronik kumulatif
DKI Tangan Reaksi iritasi tidak terlalu jelas, Surfaktan
suberitematosa/ biasanya gatal, panas atau
non-eritematosa tersengat tetapi pemeriksaan
histopatologis mendukung
dermatitis.
DKI akut Semua area Lesi eritem, eksudasi dengan Bahan iritan sifat
tubuh vesikel hingga bula, hingga asam/alkalis kuat
tergantung nekrosis jaringan
pajanan
DKI delayed- Semua area Proses akut, tetapi tidak ada tanda Tretinoin, gel
acute tubuh peradangan hingga 8-24 jam diklofenak,
bergantung setelah kontak. Klinis dan kalsipotriol,
pola pajanan. perjalanan penyakit sama dengan benzoyl peroxide,
DKI akut propilen
glikol, podofilin
DKI kronik Tangan, Eritem, kering, kasar, Iritan lemah dengan
(kumulatif) wajah, likenifiksasi, dan/atau fisura. Lesi pajanan sering
tungkai timbul beberapa hari hingga tahun berulang, misalnya
setelah pajanan. Sering sulit sabun, deterjen,
dibedakan dengan DKA. Gatal surfaktan, minyak,
dan nyeri kosmetik
Dermatitis Puting Iritasi mekanik terjadi akibat Duri tanaman,
friksional payudara, mikrotaruma dan friksi berulang, plester adesif, kaca,
tungkai, kulit kering, erosi serat wol yang kasar
tangan
Reaksi Tangan Akibat trauma kulit, misalnya Benda tajam,
traumatik lukabakar dan laserasi. Tampak tumpul, panas.
eritem,papul, vesikel, bersisik.
Menetap 6 pekan atau lebih.
Reaksi Wajah Lesi transien berupa pustul steril Minyak, tar, logam
pustular setelah pajanan beberapa hari. berat, halogen, dan
atau Sering menyertai pasien beberapa jenis
acneiform dermatitisatopik atau dermatitis kosmetik
seboroik

DIAGNOSIS
Diagnosis dermatitis kontak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis bertujuan untuk mengindentifikasi alergen

12
dan iritan potensial serta menyingkirkan diagnosis banding. Gejala klinis pada
DKI akut (ICD 10-L24) lebih mudah dikenali karena muncul lebih cepat sehingga
penderita masih ingat zat pencetus, sedangkan DKI kronis timbul lebih lambat
serta mempunyai gambaran klinis yang luas sehingga kadang sulit dibedakan
dengan DKA (ICD 10-L25).1,7,9
Anamnesis harus dimulai dengan menanyakan tentang penyakit saat ini
yang berfokus pada lokasi timbulnya lesi. Pada DKA, penderita umumnya
mengeluh gatal, sedangkan pada DKI penderita akan mengeluhkan rasa sakit, rasa
terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman akibat pruritus. Anamnesis untuk
riwayat pada pasien dermatitis kontak didasarkan pada beberapa data seperti yang
tercantum dalam Tabel 2.1,4
Tabel 2. Riwayat anamnesis dermatitis kontak1,3,9
Faktor yang Keterangan
mempengaruhi

Demografi Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status pernikahan


dan pekerjaan,deskripsi dari pekerjaan, hobi, pajanan zat iritan,
riwayat pekerjaan pajanan berulang dari alergen yang didapat saat kerja, tempat
bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit Faktor predisposisi genetic


keluarga
Riwayat Penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-obat yang
sebelumnya digunakan,tindakan bedah

Riwayat dermatitis Onset, lokasi, pengobatan


yang spesifik

Pada pasien DKI akut harus ditanyakan onset gejala apakah terjadi selama
beberapa menit atau jam karena pada pasien DKI akut tipe lambat reaksi
inflamasi terjadi 8-24 jam setelah pajanan. 1 Onset gejala dan lesi yang
didapatkan hingga lebih dari satu pekan termasuk ke dalam DKI kumulatif atau
DKI kronis. Pada DKI kumulatif terjadi pajanan berulang bahan iritan yang
merusak kulit. Riwayat penggunaan agen topikal, riwayat penyakit kulit
sebelumnya seperti atopi, dan kesehatan pasien secara umum harus ditanyakan
secara rinci.1,3
Pemeriksaan fisik sangat penting karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit sehingga dapat diketahui kemungkinan penyebab penyakit.
Pemeriksaan pada seluruh kulit hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang
untuk melihat kemungkinan kelainan kulit lain yang disebabkan faktor
13
endogen.1,2,3

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Uji Tempel
Uji tempel merupakan gold standard untuk diagnosis DKA dan penting untuk
menyingkirkan DKI sebagai diagnosis banding DKA. Uji tempel dilakukan
untuk mengetahui alergen penyebab dermatitis dan diindikasikan pada individu
dengan dermatitis persisten maupun berulang yang dicurigai dermatitis kontak
alergi. 1,3,8,11
Uji tempel dilakukan dengan cara menempelkan wadah-wadah yang telah
berisi berbagai macam alergen pada area kulit terutama dipunggung belakang
atau area lengan atas. Bahan ditempelkan pada kulit dengan jarak cukup satu
sama lain sehingga bila ada reaksi tidak saling mengganggu. Pembacaan
dilakukan pada hari ke-2 (48 jam). Pembacaan hari ke-2 penting untuk
membedakan antara respon alergi atau iritan. 1,8,11

Gambar 3. a) +1 reaksi terhadap nikel; b) +1 reaksi terhadap para phenylenediamine (PPDA);


c) +2 reaksi terhadap PPDA; d) +3 reaksi terhadap PPDA.

DIAGNOSIS BANDING
Gambaran morfologi kelainan kulit pada kasus dermatitis kontak alergi maupun
iritan sering kali tidak menunjukkan gambaran morfologi yang khas. Gambaran
klinis dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis seboroik, dermatitis
numularis, atau psoriasis. Diagnosis banding utama pada dermatitis kontak iritan
adalah dermatitis kontak alergi, begitupun sebaliknya. Maka dari itu, pemeriksaan
uji tempel perlu dipertimbangkan dalam melakukan penegakan diagnosis. 1,8
Diagnosis banding dermatitis kontak ditampilkan pada Tabel 3.

14
Tabel 3. Diagnosis banding dermatitis kontak13
Penyakit Gejala
Dermatitis Atopi Serupa dermatitis kontak, namun perjalanan penyakit dimulai
(L20. 9) dari usia muda dan predileksi muncul sesuai usia. Pasien dengan
riwayat atopi lebih berisiko untuk terkena dermatitis kontak.
Dermatitis Statis Lesi plak papuloskuamosa dengan diskromia berlokasi pada
permukaan medial tungkai bawah dengan concomitant
varicosities.

Dermatitis Numularis Lesi plak berbatas tegas dengan ukuran koin pada kaki, dorsum tangan
(L30.0) serta bagian ekstensor

Dermatitis Seboroik Lesi plak papuloskuamosa, skuama dan krusta lebih berminyak
(L21.9) (oleosa), skuama menebal dan membentuk gambaran seperti topi
(cradle cap). Predileksi di wajah (terutama alis dan lipatan
nasolabialis), skalp, retroaurikular, interskapular, umbilikus, dan
genitalia.
Psoriasis (L40.0) Lesi plak eritematosa diliputi skuama putih disertai titik
perdarahan bila skuama dilepas, berukuran seujung jarum hingga
plakat. Umunya simetris dan predileksi pada area yang sering
mengalami trauma.
Dermatofitosis (B59.9) Lesi skuamasi, erosi, eritema, lesi berbatas tegas, polisiklik, tepi
aktif, dan tidak terdapat vesikel. Gejala subjektif yang menonjol
adalah gatal terutama saat berkeringat. Pemeriksaan penunjang
kerokan kulit dengan larutan KOH dijumpai elemen jamur.

TATALAKSANA
Tatalaksana umum (non-medikamentosa) yang penting untuk diberikan adalah
mengedukasi pasien bahwa penyakit ini disebabkan oleh bahan iritan (DKI) atau
bahan alergen (DKA). Dalam mengatasi DKI dan DKA penting untuk
mengidentifikasi iritan atau alergen penyebab dan menghindari pajanan terhadap
bahan tersebut. Apabila tidak dapat menghindari bahan tersebut maka perlu
melakukan proteksi. Penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti sarung tangan,
apron, dan sepatu bot saat bekerja menjadi faktor penting dalam pencegahan. 3
Terapi khusus (medikamentosa) pada DKA terbagi menjadi terapi sistemik
dan topikal, yang diberikan sesuai dengan gambaran klinis. Terapi sistemik pada
DKA diberikan jika derajat sakit berat yaitu kortikosteroid oral setara dengan
prednison 30mg/hari dalam jangka pendek (3 hari). Pemberian obat secara topikal
biasanya berupa pelembab yang kaya akan kandungan lipid misalnya vaselin
(petrolatum). Jika lesi basah (madidans) dapat diberi kompres terbuka (2 sampai
lapis kain kasa) dengan larutan NaCl 0.9%, dapat pula dilakukan kompres dengan
larutan asam salisilat 1:1000, dan pemberian kortikosteroid atau makrolaktam
(pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal.1,7,9,13
15
Terapi DKI yang paling utama adalah menghindari pajanan bahan iritan
yang menjadi penyebab. Pemberian kortikosteroid topikal pada DKI masih
kontroversial, namun dianggap dapat mengatasi efek inflamasi yang terjadi. Terapi
topikal DKI biasanya berupa pelembap yang kaya kandungan lipid seperti
petrolatum. Krim yang mengandung ceramides (misalnya Impruv, Cerave,
Cetaphil Restoraderm) dapat membantu memulihkan barrier epidermal penderita
DKI. Pada kasus yang berat dapat diberikan inhibitor kalsineurin atau fototerapi
BB/NB UVB, atau obat imunosupresif sistemik seperti azatioprin atau
siklosporin.1,9,13,14

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri terutama
Staphylococcus aureus, jamur, atau virus misalnya herpes simpleks. Rasa gatal
berkepanjangan serta perilaku menggaruk dapat menyebabkan lesi kulit lembab
sehingga menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu,
dapat menyebabkan eritema multiform atau lecet dan menyebabkan kulit berubah
warna (hipopigmentasi maupun hiperpigmentasi pasca-inflamasi), tebal, dan kasar
atau biasa disebut neurodermatitis (liken simpleks kronik).7,8

PROGNOSIS
Pada kasus dermatitis kontak, prognosis sangat bergantung dengan kemampuan
menghindari bahan iritan dan alergen penyebab. Prognosis DKA kurang baik dan
menjadi kronis bila terjadi bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen
seperti dermatitis atopik, numularis, ataupun psoriasis. 1 Pada DKI, apabila bahan
iritan penyebab tidak dapat disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya
kurang baik. Pada dermatitis kontak yang berat akibat pekerjaan, keluhan dapat
bertahan hingga 2 tahun walaupun sudah berganti pekerjaan.1,13

RINGKASAN
Dermatitis kontak adalah peradangan di epidermis dan dermis kulit yang
disebabkan oleh bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Terdapat
dua tipe dermatitis yaitu dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak
alergi (DKA). Insidensi kejadian DKI cukup banyak terutama yang berhubungan
dengan pekerjaan yaitu sebanyak 80% dan DKA sebanyak 20%.
16
Patogenesis kerusakan kulit pada dermatitis kontak iritan tanpa
menginduksi respon imun sedangkan dermatitis kontak alergi melibatkan reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Prinsip penatalaksanaan dermatitis kontak adalah
dengan menghindari pajanan bahan iritan/alergen yang menjadi penyebab.
Penggunaan terapi topikal berupa pelembab dan kortikosteroid dapat digunakan
apabila diperlukan. Prognosis baik tergantung pada etiologi dan kemampuan
menghindari bahan iritan atau alergen penyebab.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, SA. dan RW Soebaryo. Dermatitis Kontak. Dalam: Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin Ed. 7. Jakarta: FK UI. 2021. Hal. 156-165
2. Chern, A., Chern, C. N., and Lushniak, B. Occupational Skin Diseases. In:
Lowell AG, Stephen IK, editors Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
9th Ed. New York: Mc Graw Hill Book; 2019. p. 438-456
3. Kartowigno, S. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Ed. 2. Unsri Press.
2012. Hal.9-24
4. Fonacier L, Noor I. Contact dermatitis and patch testing for the allergist. Ann
Allergy Asthma Immunol; 2018:592–8.
5. Zania E, Junaid, Ainurafiq. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Dermatitis Kontak pada Nelayan di Kelurahan Induha Kecamatan Latambaga
Kabupaten Kolaka Tahun 2017. Jurnah Ilmiah Kesehatan Masyarakat.
2018;3(3):1–8.
6. Rashid RS, Shim TM. Contact dermatitis. The BMJ; 2017:1-12.
7. James, WD. Contact Dermatitis and Drug Eruptions. In: Andrew’s Diseases of
The Skin Clinical Dermatology 13th Ed. Philadelphia: Elsevier Inc. 2020. p. 92-
112
8. Turretine, J. E., Sheehan, M. P., Cruz, P. D. Allergic Contact Dermatitis. In:
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 9th Ed. New York: Mc Graw
Hill Book; 2019. p. 395-413
9. Nedorost, S. Irritant Contact Dermatitis. In: Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine 9th Ed. New York: Mc Graw Hill Book; 2019. p. 414-427
10. Ghaffar, A. 2016. Hypersensitivity Reactions in Microbiology and
Immunology 7th Chapt. University of South Carolina School of Medicine;
Chicago
11. Fonacier, L., Noor I. Contact Dermatitis and Patch Testing For The Allergist.
Ann Allergy Asthma Immunol 2018(6):592-8
12. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). 2017.
Panduan Praktik Klinis; Bagi Dokter Spesialis Kilit dan Kelamin Indonesia. Hal
202-212

18
13. Kostner L, Anzengruber F, Guillod C, Recher M, Schmid-Grendelmeier P,
Navarini AA. Allergic Contact Dermatitis. Immunol Allergy Clin North Am.
2017;37(1):141–52.
14. Brar, Kanwaljit K. A Review of Contact Dermatitis. American College of
Allergy, Asthma & Immunology. 2021: 32-39.

19

Anda mungkin juga menyukai