Disusun Oleh:
A. Achmad Fariz Andrian M. C014232127
Mohammad Reyza Junus Alkatiri C014232103
Annisa Nurul Alifiah N C014232104
Alfira Syifa Azzahra C014232064
Aliyya Nabilah C014232061
Andi Nurhalizah Aprilia Idris C014232089
Residen Pembimbing:
dr. Mohammad Syafri
Dosen Pembimbing:
dr. Sri Rimayani Malik, Sp.D.V.E, M. Tr. Adm. Kes, FINSDV, FAADV
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2024
LEMBAR PENGESAHAN
2
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Referat berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana Awal Dermatitis Kontak Alergi” ini
merupakan salah satu persyaratan akademik guna menyelesaikan stase Ilmu
Dermatologi dan Venereologi di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada dr. Sri Rimayani Malik, Sp.D.V.E, M. Tr.
Adm. Kes, FINSDV, FAADV selaku dosen pembimbing dan dr. Mohammad Syafri
sebagai residen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
dalam memberikan arahan, dorongan, serta semangat selama proses penyusunan
referat ini berlangsung.
Penulis menyadari tugas referat ini masih terdapat banyak kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun
demi menyempurnakan tugas ini agar tujuan dan manfaat tersebut dapat dicapai di
kemudian hari.
Penulis
3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................2
KATA PENGANTAR...................................................................................................3
DAFTAR ISI.................................................................................................................4
BAB I............................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................7
2.1 Definisi......................................................................................................................7
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................7
2.3 Etiologi......................................................................................................................9
2.4 Patogenesis.............................................................................................................10
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................................11
2.6 Diagnosis.................................................................................................................13
2.7 Diagnosis Banding.................................................................................................17
2.8 Tatalaksana............................................................................................................21
2.9 Komplikasi.............................................................................................................22
2.10 Prognosis................................................................................................................23
BAB III.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25
4
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak.
Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis
kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi
hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik,
maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak
pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan
kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area
yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh. Dalam praktek
klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan.
Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA adalah
salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan
menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja
(Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data
terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa persentase dermatitis
kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih tinggi, berkisar antara 50 dan 60
persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja DKA.(1)
Pengobatan dermatitis kontak alergi bertujuan untuk menurunkan keparahan
penyakit sehingga pasien dapat beraktivitas dengan kualitas hidup yang baik.
Pemilihan pengobatan dipengaruhi oleh lokasi dan jenis lesi, umur, aktivitas, waktu,
dan kesehatan pasien secara umum. Saat ini tersedia beberapa pilihan terapi yang
diberikan sesuai algoritma penatalaksanaan dermatitis kontak alergi, seperti
pengobatan topikal, fototerapi, pengobatan sistemik, dan agen biologi. Referat ini
bertujuan memperdalam pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai
5
dermatitis kontak alergi. Hal ini sangat penting untuk diagnosis dan memberikan
tatalaksana awal yang sesuai dengan kondisi pasien.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu terjadi bersamaan, bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya hanya
berupa papula (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Salah satu jenis dari dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak
adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada
kulit.(2)
Dermatitis kontak terbagi menjadi dua, yaitu Dermatitis Kontak Iritan
(DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi. Dermatitis Kontak Alergi (DKA), sesuai
dengan namanya, adalah reaksi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
kontak dengan alergen eksogen tertentu yang sebelumnya telah membuat
seseorang peka terhadap alergen ini. Lebih dari 3700 bahan kimia terlibat
sebagai agen penyebab DKA pada manusia. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel limfosit T dan termasuk kedalam tipe
IV (delayed reaction).(3)
2.2 Epidemiologi
7
masyarakat sangat sedikit, sehingga angka yang mendekati kebenaran belum
didapat.(2)
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80%
dan DKA 20%, tetapi data baru dari lnggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergik akibat kerja temyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari satu penelitian
ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering
dibandingkan dengan DKA akibat kerja.(2)
Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi khusus
mengenai dermatitis kontak alergi. Meski begitu, berdasarkan data dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
dilaporkan prevalensi dermatitis di Indonesia mencapai 67,8%. (4)
Insidensi DKA dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian
berdasarkan:
1. Usia
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18
sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk
terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang
dimediasi sel T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih
menganggap bahwa anak-anak jarang mengalami DKA karena sistem
kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss menyarankan bahwa
hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasnya
paparan dan bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi
alergi terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi
sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau wewangian.(1)
2. Pola Paparan
Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi bervariasi
tidak hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial, lingkungan,
kegemaran, dan pekerjaan. Meskipun sebagian besar variasi yang
berkaitan
8
dengan jenis kelamin dan geografis pada DKA telah dikaitkan dengan
faktor-faktor sosial dan lingkungan, kegemaran dan pekerjaan memiliki
efek yang lebih menonjol.(1)
3. Pekerjaan yang Umumnya Terkait dengan DKA
Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal itu
berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan tertentu.
Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja konstruksi, elektronik
dan industri lukisan, rambut, industri sektor makanan dan logam, dan
industri produk pembersih.(1)
4. Penyebab alergi
Penyebab alergi terbanyak yakni nikel (11,4%), fragrance mix
(3,5%), kobalt (2,7%), Myroxylon pereirae (1,8%), chromium (1,8%), p-
phenylenediamine (1,5%), methylchloroisothiazolinone (1,5%) dan
colophonium (1,3%).(5)
2.3 Etiologi
9
2.4 Patogenesis
11
dengan dermatitis
12
kontak iritan kronis; dengan kemungkinan penyebab campuran. DKA dapat
meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak
tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA(2)
Selain itu, terdapat juga manifestasi klinis dermatitis kontak alergi non
eczematous, sebagai berikut(3):
13
Gambar 2.3 Tabel Varian Noneczematous Dermatitis Kontak Alergi
2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis Dermatitis Kontak Alergi (DKA) didasarkan atas
kemampuan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis dapat
diawali dengan menggali keluhan utama dan berfokus pada lokasi dan onset.
Selain itu, data seperti pekerjaan, hobi, riwayat penggunaan obat topikal, obat
sistemik, kosmetik, atau bahan yang diketahui dapat menimbulkan alergi,
riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, baik dari pasien ataupun keluarga, perlu
digali melalui teknik anamnesis yang baik (2). Riwayat penggunaan produk
perawatan, seperti sabun, shampoo, kondisioner, deodoran, lotion, krim,
produk kesehatan rambut juga dapat membantu menelusuri agen penyebab
DKA. (3)
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menilai lokasi dan pola kelainan
kulit pada pasien sehingga dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan dilakukan di tempat yang cukup terang dan dilakukan pada
seluruh permukaan kulit untuk menemukan adanya kelainan kulit lainnya (2).
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada fase akut, seperti eritema, edema,
dan vesikel. Pada
14
fase subakut, terdapat eritema, eksudatif (madidans), dan krusta, sedangkan
pada fase kronik dapat ditemukan likenifikasi, fissura, dan skuama. DKA
yang bersifat lokalisata akan tampak lesi berbatas tegas berbentuk sesuai
bahan/alergen penyebab, sedangkan DKA sistemik akan menunjukkan lesi
yang tersebar luas/generalisata. DKA dapat dihubungkan dengan pekerjaan,
bila berhubungan dengan pekerjaan memenuhi 4 dari 7 Kriteria Mathias (5) :
1. Manifestasi klinis sesuai dermatitis kontak
2. Pada lingkungan kerja terdapat bahan yang dicurigai menjadi iritan
atau alergen
3. Distribusi anatomis sesuai dengan area terpajan
4. Terdapat hubungan temporal antara waktu terpajan dan timbulnya
manifetasi klinis
5. Penyebab lain telah disingkirkan
6. Kelainan kulit membaik saat tidak bekerja
7. Patch test atau tes provokasi dapat mengidentifikasi penyebab
15
Gambar 2.5 Alergen Berdasarkan Topografi Lesi Kulit(3)
16
Gambar 2.6 Patch test (3)
Ketika patch test dilepas, peradangan yang disebabkan iritasi
cenderung menurun dalam 24 jam. Fenomena ini disebut sebagai decresendo
phenomenon. Sebaliknya, intensitas peradangan yang biasa timbul pada pasien
DKA cenderung meningkat, atau disebut sebagai crescendo phenomenon. (12)
17
Gambar 2.8 Histopatologi Dermatitis Kontak Alergi (14)
18
tanpa dimediasi oleh proses sensitisasi sebelumnya. Predileksi
tersering ditemukan pada tangan, wajah, dan kaki. Pasien akan merasa
gatal disertai adanya rasa terbakar atau nyeri. (2,5). Kerusakan pada
epidermis merupakan temuan utama pada DKI, dibandingkan dengan
DKA yang lebih menunjukkan infiltrat inflamasi pada dermis yang
lebih banyak secara proporsional. DKI ditandai dengan kemerahan,
fissura, erosi dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), dan
nyeri. DKI akut, dapat membentuk bulla sedangkan DKI kronik
menunjukkan penebalan epidermis dan perubahan pigmen (3)
19
infantil, sifatnya lebih akut dan sebagian besar melibatkan daerah
wajah, kulit kepala, dan bagian ekstensor ekstremitas. Secara
subyektif, rasa gatal dapat sangat berat dan mengganggu kualitas tidur
pasien. Penegakan diagnosis dermatitis atopi menggunakan kriteria
Hannifin- Rajka, antara lain harus memenuhi 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor (3,5)
20
Gambar 2.13 Gambaran Klinis Dermatitis Liken Simpleks Kronik (18)
2.7.4 Dermatitis Nummularis
Lesi tunggal dapat mendahului dalam beberapa waktu sebelum
lesi lainnya muncul. Ketika lesi baru muncul, lesi lama akan meluas
sebagai papulovesikuler kecil disekitar plak utama (19). Karakteristik
dermatitis nummular atau nummular eczema, adalah lesi berbatas
tegas, plak berbentuk koin, eritema, edema dan terdiri atas papul dan
papulovesikel yang berkonfluens. Ketika vesikel pecah dan eksudat
mengering akan ditemukan krusta kekuningan. Pada permukaan,
mungkin terdapat krusta. Ukuran plak berkisar antara 1 sampai > 3 cm.
Kulit sekitar normal. Pruritus bervariasi dan dapat lebih berat di sore
hari dan pada periode istirahat (relaksasi). Resolusi pada bagian sentral
dapat terjadi, sehingga membentuk gambaran annular. Plak kronik
bersifat plak kering, berskuama, dan likenifikasi. Distribusi lesi
umumnya pada daerah ekstensor ekstremitas, terutama ekstremitas
bawah. Selain itu, dapat juga meluas ke badan, wajah, leher atau
menjadi generalisata (5). Kejadian dermatitis nummularis diperberat
ketika musim dingin (3)
21
Gambar 2.14 Gambaran Klinis Dermatitis Liken Simpleks (20)
2.8 Tatalaksana
22
Dalam kasus erupsi yang parah atau meluas, biasanya diperlukan dosis
prednison oral selama 3 minggu; rejimen dosis oral yang khas adalah 1
mg/kg/hari selama 1 minggu, diikuti dengan pengurangan dosis setiap
minggu, dengan total 3 hingga 4 minggu. Imunomodulator topikal seperti
tacrolimus juga mungkin bermanfaat. Beberapa pasien mungkin mendapat
manfaat dari fototerapi menggunakan UV A plus psoralen. Jarang terjadi pada
kasus yang parah, seseorang mungkin memerlukan agen imunosupresif seperti
mikofenolat.
2. Terapi Sistemik
Antihistamin seperti hidroksizin dan cetirizine direkomendasikan
untuk mengendalikan pruritus. Steroid sistemik disarankan pada kasus yang
parah namun harus dikurangi secara bertahap untuk mencegah kekambuhan.
Gesekan harus dihindari begitu pula penggunaan sabun, pewangi, dan
pewarna. Emolien digunakan untuk menghidrasi kulit. Salep tacrolimus dan
krim pimecrolimus merupakan obat imunomodulasi yang menghambat
kalsineurin dan membantu mengatasi dermatitis kontak alergi (21).
3. Non Medikamentosa
a. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen tersangka dan
kemungkinan reaksi silang.
b. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan,
apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit.
2.9 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat DKA, antara lain (5):
1. Adanya infeksi sekunder yang timbul akibat penatalaksanaan yang tidak
adekuat
23
2. Terjadinya perubahan warna kulit seperti lesi hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi pasca inflamasi.
2.10 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad Malam
Dermatitis Kontak Alergi merupakan kelainan kulit inflamasi yang bersifat
kronis berulang, penderita dermatitis kontak alergi akan terus menerus terkena
dampak penyakitnya sepanjang hidupnya. Namun tergantung dari
penatalaksanaan untuk mencegah kekambuhan karena tujuan dari pengobatan
adalah untuk mengendalikan respon inflamasi. Penghindaran terhadap alergen
perlu diterapkan. Semakin lama seseorang mengidap DKA, semakin lama
pula waktu yang dibutuhkan untuk mengatasinya. (5,22)
24
BAB III
KESIMPULAN
25
DAFTAR PUSTAKA
26
12. Anzengruber F, Alotaibi F, Kaufmann LS, Ghosh A, Oswald MR, Maul JT, et
al. Thermography: High sensitivity and specificity diagnosing contact
dermatitis in patch testing. Allergology International. 2019 Apr;68(2):254–8.
13. Garg V, Brod B, Gaspari AA. Patch testing: Uses, systems, risks/benefits, and
its role in managing the patient with contact dermatitis. Clin Dermatol. 2021
Jul;39(4):580–90.
14. Bouceiro Mendes R, Aguado Lobo M, Espinosa Lara P, Soares de Almeida L.
Histopathological study of allergic contact dermatitis. Portuguese Journal of
Dermatology and Venereology. 2023 Aug 4;80(1).
15. Dickel H. Management of contact dermatitis. Allergo J Int. 2023 Mar
20;32(3):57–76.
16. Girolomoni G, de Bruin-Weller M, Aoki V, Kabashima K, Deleuran M, Puig
L, et al. Nomenclature and clinical phenotypes of atopic dermatitis. Ther Adv
Chronic Dis. 2021 Jan 26;12:204062232110029.
17. Charifa A, Badri T, Harris BW. Lichen Simplex Chronicus. 2024.
18. Xu J, Song G, Yin Z. Lichen simplex chronicus secondary to scald injury and
skin flap transplantation. Indian J Dermatol. 2020;65(1):47.
19. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA. Andrews’ Diseases of the
Skin Clinical Dermatology. 13th ed. Elsevier; 2019.
20. Azez MA Al. Nummular Eczema. Basic Medical Key. 2016;
21. Litchman G, Nair PA, Atwater AR, Bhutta BS. Contact Dermatitis. 2024.
22. Murphy PB, Atwater AR, Mueller M. Allergic Contact Dermatitis. 2024.
23. Muthupalaniappen L, Jamil A. Prick, Patch or blood test? A simple guide to
allergy testing. Malaysian Family Physician. 2021 May 31;16(2):19–26.
doi:10.51866/rv1141
27