Anda di halaman 1dari 27

DEPARTEMEN DERMATOVENEREOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2024


UNIVERSITAS HASANUDDIN

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA AWAL


DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun Oleh:
A. Achmad Fariz Andrian M. C014232127
Mohammad Reyza Junus Alkatiri C014232103
Annisa Nurul Alifiah N C014232104
Alfira Syifa Azzahra C014232064
Aliyya Nabilah C014232061
Andi Nurhalizah Aprilia Idris C014232089
Residen Pembimbing:
dr. Mohammad Syafri

Dosen Pembimbing:
dr. Sri Rimayani Malik, Sp.D.V.E, M. Tr. Adm. Kes, FINSDV, FAADV

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2024
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:


1. A. Achmad Fariz Andrian M. C014232127
2. Mohammad Reyza Junus Alkatiri C014232103
3. Annisa Nurul Alifiah N C014232104
4. Alfira Syifa Azzahra C014232064
5. Aliyya Nabilah C014232061
6. Andi Nurhalizah Aprilia Idris C014232089

Judul Referat : Diagnosis dan Tatalaksana awal Dermatitis Kontak Alergi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 8 Maret 2024


Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Sri Rimayani Malik, Sp.D.V.E, M. Tr. dr. Mohammad Syafri


Adm. Kes, FINSDV, FAADV

2
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.
Referat berjudul “Diagnosis dan Tatalaksana Awal Dermatitis Kontak Alergi” ini
merupakan salah satu persyaratan akademik guna menyelesaikan stase Ilmu
Dermatologi dan Venereologi di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Penyusunan referat ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, serta dukungan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada dr. Sri Rimayani Malik, Sp.D.V.E, M. Tr.
Adm. Kes, FINSDV, FAADV selaku dosen pembimbing dan dr. Mohammad Syafri
sebagai residen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran
dalam memberikan arahan, dorongan, serta semangat selama proses penyusunan
referat ini berlangsung.
Penulis menyadari tugas referat ini masih terdapat banyak kekurangan di
dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun
demi menyempurnakan tugas ini agar tujuan dan manfaat tersebut dapat dicapai di
kemudian hari.

Makassar, 14 Maret 2024

Penulis

3
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................2
KATA PENGANTAR...................................................................................................3
DAFTAR ISI.................................................................................................................4
BAB I............................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................7
2.1 Definisi......................................................................................................................7
2.2 Epidemiologi.............................................................................................................7
2.3 Etiologi......................................................................................................................9
2.4 Patogenesis.............................................................................................................10
2.5 Manifestasi Klinis..................................................................................................11
2.6 Diagnosis.................................................................................................................13
2.7 Diagnosis Banding.................................................................................................17
2.8 Tatalaksana............................................................................................................21
2.9 Komplikasi.............................................................................................................22
2.10 Prognosis................................................................................................................23
BAB III.......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................25

4
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau
kronis dari suatu zat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis kontak.
Pertama, dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh iritasi kimia, dermatitis
kontak alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen) dimana memunculkan reaksi
hipersensitivitas tipe IV (cell-mediated atau tipe lambat). Karena DKI bersifat toksik,
maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah paparan, batasnya tegas dan tidak
pernah menyebar. Sedangkan DKA adalah reaksi imun yang cenderung melibatkan
kulit di sekitarnya (spreading phenomenon) dan bahkan dapat menyebar di luar area
yang terkena. Pada DKA dapat terjadi penyebaran yang menyeluruh. Dalam praktek
klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit untuk membedakan.
Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan maupun alergen. DKA adalah
salah satu masalah dermatologi yang cukup sering, menjengkelkan, dan
menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis kontak akibat kerja
(Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20% alergi. Namun, data
terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa persentase dermatitis
kontak akibat kerja karena alergi mungkin jauh lebih tinggi, berkisar antara 50 dan 60
persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari kerja DKA.(1)
Pengobatan dermatitis kontak alergi bertujuan untuk menurunkan keparahan
penyakit sehingga pasien dapat beraktivitas dengan kualitas hidup yang baik.
Pemilihan pengobatan dipengaruhi oleh lokasi dan jenis lesi, umur, aktivitas, waktu,
dan kesehatan pasien secara umum. Saat ini tersedia beberapa pilihan terapi yang
diberikan sesuai algoritma penatalaksanaan dermatitis kontak alergi, seperti
pengobatan topikal, fototerapi, pengobatan sistemik, dan agen biologi. Referat ini
bertujuan memperdalam pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif mengenai

5
dermatitis kontak alergi. Hal ini sangat penting untuk diagnosis dan memberikan
tatalaksana awal yang sesuai dengan kondisi pasien.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menyebabkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak
selalu terjadi bersamaan, bahkan mungkin hanya satu jenis misalnya hanya
berupa papula (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi kronis.
Salah satu jenis dari dermatitis adalah dermatitis kontak. Dermatitis kontak
adalah dermatitis yang disebabkan oleh bahan/substansi yang menempel pada
kulit.(2)
Dermatitis kontak terbagi menjadi dua, yaitu Dermatitis Kontak Iritan
(DKI) dan Dermatitis Kontak Alergi. Dermatitis Kontak Alergi (DKA), sesuai
dengan namanya, adalah reaksi peradangan pada kulit yang disebabkan oleh
kontak dengan alergen eksogen tertentu yang sebelumnya telah membuat
seseorang peka terhadap alergen ini. Lebih dari 3700 bahan kimia terlibat
sebagai agen penyebab DKA pada manusia. DKA merupakan reaksi
hipersensitivitas yang dimediasi oleh sel limfosit T dan termasuk kedalam tipe
IV (delayed reaction).(3)

2.2 Epidemiologi

Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah pasien DKA lebih sedikit,


karena hanya mengenai orang dengan keadaan kulit sangat peka
(hipersensitif). Diperkirakan jumlah DKA maupun DKI makin bertambah
seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia
yang dipakai oleh masyarakat. Namun, informasi mengenai prevalensi dan
insidens DKA di

7
masyarakat sangat sedikit, sehingga angka yang mendekati kebenaran belum
didapat.(2)
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80%
dan DKA 20%, tetapi data baru dari lnggris dan Amerika Serikat
menunjukkan bahwa dermatitis kontak alergik akibat kerja temyata cukup
tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60 persen. Sedangkan, dari satu penelitian
ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja tiga kali lebih sering
dibandingkan dengan DKA akibat kerja.(2)
Di Indonesia sendiri belum ada data epidemiologi khusus
mengenai dermatitis kontak alergi. Meski begitu, berdasarkan data dari Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
dilaporkan prevalensi dermatitis di Indonesia mencapai 67,8%. (4)
Insidensi DKA dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian
berdasarkan:
1. Usia
Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18
sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk
terjadi dermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang
dimediasi sel T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih
menganggap bahwa anak-anak jarang mengalami DKA karena sistem
kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss menyarankan bahwa
hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasnya
paparan dan bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi
alergi terlihat terutama pada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi
sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel, atau wewangian.(1)
2. Pola Paparan
Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi bervariasi
tidak hanya pada usia, tetapi juga dengan faktor sosial, lingkungan,
kegemaran, dan pekerjaan. Meskipun sebagian besar variasi yang
berkaitan

8
dengan jenis kelamin dan geografis pada DKA telah dikaitkan dengan
faktor-faktor sosial dan lingkungan, kegemaran dan pekerjaan memiliki
efek yang lebih menonjol.(1)
3. Pekerjaan yang Umumnya Terkait dengan DKA
Ada banyak pekerjaan yang berhubungan dengan DKA dan hal itu
berkaitan dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan tertentu.
Ada pekerja industri tekstil, dokter gigi, pekerja konstruksi, elektronik
dan industri lukisan, rambut, industri sektor makanan dan logam, dan
industri produk pembersih.(1)
4. Penyebab alergi
Penyebab alergi terbanyak yakni nikel (11,4%), fragrance mix
(3,5%), kobalt (2,7%), Myroxylon pereirae (1,8%), chromium (1,8%), p-
phenylenediamine (1,5%), methylchloroisothiazolinone (1,5%) dan
colophonium (1,3%).(5)

2.3 Etiologi

Penyebab DKA ialah bahan kimia sederhana dengan berat molekul


rendah (< 1000 dalton), disebut sebagai hapten, bersifat lipofilik, sangat
reaktif, dan dapat menembus stratum komeum sehingga mencapai sel
epidermis bagian dalam yang hidup. Berbagai faktor berpengaruh terhadap
kejadian DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per unit area, luas
daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan lingkungan,
vehikulum dan pH. Juga faktor individu, misalnya keadaan kulit pada lokasi
kontak (keadaan stratum komeum, ketebalan epidermis), status imun
(misalnya sedang mengalami sakit, atau terpajan sinar matahari secara intens).
(2)

9
2.4 Patogenesis

2.4.1 Fase Sensitisasi


Fase sensitisasi biasanya berlangsung 10 - 15 hari dan kadang
bersifat asimptomatik. Hapten merupakan molekul lipofilik yang
melakukan penetrasi pada kulit, lalu berikatan dengan epidermal
carrier protein untuk membentuk hapten-protein complex yang
menciptakan antigen utuh. Pada dasarnya imunitas tubuh diaktivasi
oleh keratinosit yang mengeluarkan sitokin seperti IL-1, IL-8, dan IL-
18, tumor necrosis factor-α, dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor. Selanjutnya sel langerhans yang merupakan APC
pada kulit akan membawa kompleks hapten-protein lalu
mengekspresikannya pada permukaan molekul leukosit antigen
manusia, dan bermigrasi secara limfatik ke nodus limfatikus yang
merupakan tempat dimana kompleks leukosit antigen diekspresikan ke
sel T antigen spesifik naif. Sel T naive ini lalu di diferensiasikan
menjadi sel T memori dan bermigrasi ke sistem sirkulasi dimana
mereka dapat bekerja sebagai efektor dari sel target yang
mempresentasikan antigen yang sama di masa depan. Ketika terjadi
paparan dengan antigen (rechallenge), maka fase sensitisasi bertransisi
menjadi fase elisitasi yang bisa terjadi melalui berbagai macam rute,
diantaranya melalui transepidermal, subkutan, intravena,
intramuskular, inhalasi, dan ingesti oral.(3)

2.4.2 Fase Elisitasi


Pada fase elisitasi, jika terjadi paparan berulang alergen pada
orang yang telah melewati fase sensitisasi, maka reaksi itu akan
menimbulkan gejala klinis. Pertama, paparan hapten memicu
terjadinya inflamasi non-spesifik derajat rendah dan juga aktivasi toll-
like receptor dan nucleotide-binding oligomerization domain-like
receptor, yang
10
mengakibatkan aktivasi neutrofil dan sel T efektor. Jika sel T efektor
terpapar dengan kulit yang mengandung antigen target kedua molekul
akan berinteraksi dengan APC (sel langerhans & sel dendritic dermis)
pada area sekitar venula pasca kapiler. Sel T efektor lalu memberikan
respon imun, melepas sitokin proinflamasi termasuk interferon-γ, dan
tumor necrosis factor-α, dan sel inflamasi lainnya sembari
menstimulasi makrofag dan keratinosit untuk melepaskan lebih banyak
sitokin. Respon inflamasi baru terjadi pada saat sel monosit bermigrasi
ke area yang terpapar dengan alergen. Di situs alergi, monosit
bermaturasi menjadi makrofag, lalu menstimulasi lebih banyak sel T.
Reaksi inflamasi pada fase ini biasanya bertahan hingga beberapa
minggu.(3)

2.5 Manifestasi Klinis


Gambaran klinisnya polimorfik, sangat bervariasi bergantung stadiumnya(5):
1. Akut: eritem, edem, dan vesikel
2. Subakut: eritem, eksudatif (madidans), krusta
3. Kronik: likenifikasi, fisura, skuama
- Lesi dapat juga non-eksematosa, misalnya: purpurik, likenoid, pigmented,
dan limfomatoid.
- Gejala subyektif berupa rasa gatal.
Dan menurut Sri Adi Suarsito dan Retno W. Soebaryo dalam Buku
Ilmu Kulit dan Kelamin UI, Pasien umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya. Pada stadium
akut dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah
menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat tertentu,
misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh eritema dan
edema. Pada DKA kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi
dan mungkin juga fissura, berbatas tidak tegas. Kelainan ini sulit dibedakan

11
dengan dermatitis

12
kontak iritan kronis; dengan kemungkinan penyebab campuran. DKA dapat
meluas ke tempat lain, misalnya dengan cara autosensitisasi. Skalp, telapak
tangan dan kaki relatif resisten terhadap DKA(2)

Gambar 2.1 Dermatitis Kontak Alergi Kronis(6)

Gambar 2.2 Dermatitis Kontak Alergi Akut atau Subakut (6)

Selain itu, terdapat juga manifestasi klinis dermatitis kontak alergi non
eczematous, sebagai berikut(3):

13
Gambar 2.3 Tabel Varian Noneczematous Dermatitis Kontak Alergi

Gambar 2.4 Gambaran Klinis Dermatitis Kontak Alergi Noneczematous (7–11)

2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis Dermatitis Kontak Alergi (DKA) didasarkan atas
kemampuan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik. Anamnesis dapat
diawali dengan menggali keluhan utama dan berfokus pada lokasi dan onset.
Selain itu, data seperti pekerjaan, hobi, riwayat penggunaan obat topikal, obat
sistemik, kosmetik, atau bahan yang diketahui dapat menimbulkan alergi,
riwayat penyakit kulit, riwayat atopi, baik dari pasien ataupun keluarga, perlu
digali melalui teknik anamnesis yang baik (2). Riwayat penggunaan produk
perawatan, seperti sabun, shampoo, kondisioner, deodoran, lotion, krim,
produk kesehatan rambut juga dapat membantu menelusuri agen penyebab
DKA. (3)
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk menilai lokasi dan pola kelainan
kulit pada pasien sehingga dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Pemeriksaan dilakukan di tempat yang cukup terang dan dilakukan pada
seluruh permukaan kulit untuk menemukan adanya kelainan kulit lainnya (2).
Gambaran klinis yang dapat ditemukan pada fase akut, seperti eritema, edema,
dan vesikel. Pada

14
fase subakut, terdapat eritema, eksudatif (madidans), dan krusta, sedangkan
pada fase kronik dapat ditemukan likenifikasi, fissura, dan skuama. DKA
yang bersifat lokalisata akan tampak lesi berbatas tegas berbentuk sesuai
bahan/alergen penyebab, sedangkan DKA sistemik akan menunjukkan lesi
yang tersebar luas/generalisata. DKA dapat dihubungkan dengan pekerjaan,
bila berhubungan dengan pekerjaan memenuhi 4 dari 7 Kriteria Mathias (5) :
1. Manifestasi klinis sesuai dermatitis kontak
2. Pada lingkungan kerja terdapat bahan yang dicurigai menjadi iritan
atau alergen
3. Distribusi anatomis sesuai dengan area terpajan
4. Terdapat hubungan temporal antara waktu terpajan dan timbulnya
manifetasi klinis
5. Penyebab lain telah disingkirkan
6. Kelainan kulit membaik saat tidak bekerja
7. Patch test atau tes provokasi dapat mengidentifikasi penyebab

Sebagian besar, penyebab pasti DKA belum dapat diidentifikasi


apabila hanya didasari atas anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga
diperlukan pemeriksaan tambahan yang dapat menunjang pelaksanaan
pemeriksaan penunjang. Lokasi lesi, dapat menjadi petunjuk yang
bermakna mengenai alergen yang menjadi penyebab DKA pada pasien.
Sebagai contoh, dermatitis pada daerah umbilicus menunjukkan
kemungkinan alergi terhadap bahan logam, seperti ikat pinggang. Selain
itu, respon alergi di daerah rambut dan belakang telinga, menunjukkan
kemungkinan alergi terhadap bahan dasar produk perawatan rambut
(pewarna rambut, shampoo, dan kondisioner) (3).

15
Gambar 2.5 Alergen Berdasarkan Topografi Lesi Kulit(3)

Patch test adalah bentuk pemeriksaan penunjang yang dijadikan


sebagai gold standard untuk mengidentifikasi alergen yang dapat
menyebabkan DKA. Tes ini dapat digunakan dengan alergen standar, alergen
tertentu (kosmetik, sepatu, dll) serta alergen tambahan dari barang yang
dicurigai (bahan pabrik tempat kerja). Alergen ditempatkan pada bagian
belakang dibawah oklusi, dilepas setelah 48 jam dan pembacaan dilakukan
setelah 72 atau 96 jam. Pembacaan dilakukan dalam interval 20 menit setelah
patch test dilepaskan. Pada situasi tertentu, pembacaan juga dapat dilakukan
hingga 7-10 hari, khususnya pada alergen seperti logam, antibiotik, dan
kortikosteroid. (3)

16
Gambar 2.6 Patch test (3)
Ketika patch test dilepas, peradangan yang disebabkan iritasi
cenderung menurun dalam 24 jam. Fenomena ini disebut sebagai decresendo
phenomenon. Sebaliknya, intensitas peradangan yang biasa timbul pada pasien
DKA cenderung meningkat, atau disebut sebagai crescendo phenomenon. (12)

The International Contact Dermatitis Research Group


merekomendasikan untuk menggunakan skala penilaian untuk patch test
positif berdasarkan uraian Wilkinson dan rekannya, dengan sistem penilaian +
hingga
+++, dimana + mewakili reaksi nonvesikuler lemah dengan eritema teraba, ++
mewakili reaksi edema atau vesikuler yang kuat, dan +++ mewakili reaksi
ekstrem berupa bulla dan ulseratif. (3)

Gambar 2.7 Interpretasi Patch Test (13)


Penegakan diagnosis juga dapat dilakukan melalui studi laboratorium,
melalui pemeriksaan darah lengkap, didapatkan kadar eosinofil yang normal
atau meningkat. Pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran spongiosis
pada dermis. Vesikel spongiosis akan terbentuk pada level epidermis yang
beragam. Pada seluruh stadium, infiltrat superfisial perivaskuler sebagian
besar mengandung limfosit dan monosit. Tipe dan distribusi sel inflamasi
akan membantu penegakan diagnosis DKA. Pada DKA, eosinofil paling
banyak ditemukan. (14)

17
Gambar 2.8 Histopatologi Dermatitis Kontak Alergi (14)

Dalam membantu menyingkirkan diagnosis banding, dapat juga


dilakukan skin prick test atau tes tusuk. Biasa digunakan pada pasien yang
dicurigai mengalami urtikaria atau alergi pada makanan. Prinsip dari tes ini
adalah mengaktivasi IgE pada sel mast. Alergen dalam bentuk cairan
diteteskan pada kulit 2 cm dari aspek fleksor lengan bawah. Jarum atau lanset
steril ditusukkan pada permukaan kulit melalui droplet, sehingga jarum akan
mendorong allergen ke lapisan dermis. Area pemeriksaan dinilai setelah 15-20
menit, Pembengkakan dengan diameter 3 mm atau lebih dianggap sebagai

indikasi reaksi positif. (23)


Gambar 2.9 Interpretasi Skin Prick Test (23)

2.7 Diagnosis Banding


2.7.1 Dermatitis Kontak Iritan
Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan pada kulit
yang bersifat non-immunologik, dimana terjadi kerusakan pada kulit

18
tanpa dimediasi oleh proses sensitisasi sebelumnya. Predileksi
tersering ditemukan pada tangan, wajah, dan kaki. Pasien akan merasa
gatal disertai adanya rasa terbakar atau nyeri. (2,5). Kerusakan pada
epidermis merupakan temuan utama pada DKI, dibandingkan dengan
DKA yang lebih menunjukkan infiltrat inflamasi pada dermis yang
lebih banyak secara proporsional. DKI ditandai dengan kemerahan,
fissura, erosi dan eksudasi membentuk lesi yang basah (oozing), dan
nyeri. DKI akut, dapat membentuk bulla sedangkan DKI kronik
menunjukkan penebalan epidermis dan perubahan pigmen (3)

Gambar 2.10 Gambaran Klinis Dermatitis Kontak Iritan (3,15)

Gambar 2.11 Tabel Perbandingan DKA dan DKI (3)


2.7.2 Dermatitis Atopi
Lesi eksim akut ditandai dengan papulovesikel yang bersifat
eritem, seringkali dengan krusta pinpoint. Lesi subakut ke kronik,
biasanya menunjukkan lesi berupa skuama, ekskoriasi dan likenifikasi.
Distribusi lesi bervariasi berdasarkan usia dan aktivitas penyakit. Pada

19
infantil, sifatnya lebih akut dan sebagian besar melibatkan daerah
wajah, kulit kepala, dan bagian ekstensor ekstremitas. Secara
subyektif, rasa gatal dapat sangat berat dan mengganggu kualitas tidur
pasien. Penegakan diagnosis dermatitis atopi menggunakan kriteria
Hannifin- Rajka, antara lain harus memenuhi 3 kriteria mayor dan 3
kriteria minor (3,5)

Gambar 2.12 Gambaran Klinis Dermatitis Atopi (16)


2.7.3 Liken Simpleks Kronik/Neurodermatitis
Liken simpleks kronis atau yang juga dikenal sebagai
neurodermatitis merupakan peradangan kulit kronis, gatal,
sirkumskrip, ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih
menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu, akibat garukan
atau gosokan yang berulang-ulang karena berbagai rangsangan
pruritogenik
(2) Stress emosional yang meneybabkan iritasi dan dorongan untuk
menggaruk seringkali bersifat seperti siklus, dengan plak yang
dihasilkan, menyebabkan lebih banyak sstress dan gatal kronis,
perubahan pigmen kulit, dan penyebaran ke area yang lebih besar. Ini
adalah gangguan yang bersifat pruritus, meskipun bisa disebabkan oleh
gangguan barrier kulit, dapat juga menjadi sekunder terhadap penyakit
kulit lain seperti xerosis, psoriasis, dan atopi. (17)

20
Gambar 2.13 Gambaran Klinis Dermatitis Liken Simpleks Kronik (18)
2.7.4 Dermatitis Nummularis
Lesi tunggal dapat mendahului dalam beberapa waktu sebelum
lesi lainnya muncul. Ketika lesi baru muncul, lesi lama akan meluas
sebagai papulovesikuler kecil disekitar plak utama (19). Karakteristik
dermatitis nummular atau nummular eczema, adalah lesi berbatas
tegas, plak berbentuk koin, eritema, edema dan terdiri atas papul dan
papulovesikel yang berkonfluens. Ketika vesikel pecah dan eksudat
mengering akan ditemukan krusta kekuningan. Pada permukaan,
mungkin terdapat krusta. Ukuran plak berkisar antara 1 sampai > 3 cm.
Kulit sekitar normal. Pruritus bervariasi dan dapat lebih berat di sore
hari dan pada periode istirahat (relaksasi). Resolusi pada bagian sentral
dapat terjadi, sehingga membentuk gambaran annular. Plak kronik
bersifat plak kering, berskuama, dan likenifikasi. Distribusi lesi
umumnya pada daerah ekstensor ekstremitas, terutama ekstremitas
bawah. Selain itu, dapat juga meluas ke badan, wajah, leher atau
menjadi generalisata (5). Kejadian dermatitis nummularis diperberat
ketika musim dingin (3)

21
Gambar 2.14 Gambaran Klinis Dermatitis Liken Simpleks (20)

2.8 Tatalaksana

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis kontak adalah


upaya pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab, dan menekan
kelainan kulit yang timbul.
1. Terapi Topikal
Untuk dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema,
edema, vesikel atau bula, serta eksudatif (madidans) dapat diperikan
kortikosteroid dalam jangka pendek, misalnya pemberian prednison 30
mg/hari. Untuk topikal cukup dikompres dengan larutan garam faal atau
larutan asam salisilat 1:1000, atau pemberian kortikosteroid atau
makrolaktam (pimecrolimus atau tacrolimus) secara topikal. (2)
Kortikosteroid topikal menjadi terapi medis lini pertama untuk
dermatitis kontak alergi yang terbatas kurang dari 20% tubuh. Apabila lesi
sudah mengenai lebih dari 20% tubuh, maka kortikosteroid oral dapat
dijadikan pilihan. Untuk serangan Dermatitis Kontak Alergi akut yang
terlokalisasi akibat paparan alergen yang tidak disengaja atau tidak disengaja,
kortikosteroid topikal adalah pengobatan lini pertama dan biasanya diperlukan
selama 2 hingga 3 minggu penggunaan untuk mencegah kambuhnya kembali
penyakit tersebut.(3)

22
Dalam kasus erupsi yang parah atau meluas, biasanya diperlukan dosis
prednison oral selama 3 minggu; rejimen dosis oral yang khas adalah 1
mg/kg/hari selama 1 minggu, diikuti dengan pengurangan dosis setiap
minggu, dengan total 3 hingga 4 minggu. Imunomodulator topikal seperti
tacrolimus juga mungkin bermanfaat. Beberapa pasien mungkin mendapat
manfaat dari fototerapi menggunakan UV A plus psoralen. Jarang terjadi pada
kasus yang parah, seseorang mungkin memerlukan agen imunosupresif seperti
mikofenolat.

2. Terapi Sistemik
Antihistamin seperti hidroksizin dan cetirizine direkomendasikan
untuk mengendalikan pruritus. Steroid sistemik disarankan pada kasus yang
parah namun harus dikurangi secara bertahap untuk mencegah kekambuhan.
Gesekan harus dihindari begitu pula penggunaan sabun, pewangi, dan
pewarna. Emolien digunakan untuk menghidrasi kulit. Salep tacrolimus dan
krim pimecrolimus merupakan obat imunomodulasi yang menghambat
kalsineurin dan membantu mengatasi dermatitis kontak alergi (21).

3. Non Medikamentosa
a. Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan alergen tersangka dan
kemungkinan reaksi silang.
b. Anjuran penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan,
apron, sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit.

2.9 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat DKA, antara lain (5):
1. Adanya infeksi sekunder yang timbul akibat penatalaksanaan yang tidak
adekuat

23
2. Terjadinya perubahan warna kulit seperti lesi hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi pasca inflamasi.

2.10 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad Malam
Dermatitis Kontak Alergi merupakan kelainan kulit inflamasi yang bersifat
kronis berulang, penderita dermatitis kontak alergi akan terus menerus terkena
dampak penyakitnya sepanjang hidupnya. Namun tergantung dari
penatalaksanaan untuk mencegah kekambuhan karena tujuan dari pengobatan
adalah untuk mengendalikan respon inflamasi. Penghindaran terhadap alergen
perlu diterapkan. Semakin lama seseorang mengidap DKA, semakin lama
pula waktu yang dibutuhkan untuk mengatasinya. (5,22)

24
BAB III

KESIMPULAN

Dermatitis Kontak Alergi merupakan reaksi peradangan pada kulit yang


disebabkan oleh kontak dengan alergen eksogen tertentu yang sebelumnya telah
membuat seseorang peka terhadap alergen ini. Penyebab DKA ini merupakan bahan
kimia sederhana yang disebut hapten. Terdapat juga berbagai faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis per
unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan kelembapan
lingkungan, vehikulum dan pH. Faktor individu juga berperan seperti keadaan kulit
pada lokasi kontak dan status imun penderita. Diagnosis DKA dapat ditegakkan
berdasarkan riwayat klinis dan pemeriksaan fisis, tapi terkadang dibutuhkan
penunjang lain jika terdapat indikasi. Tatalaksana awal dalam penanganan DKA ialah
pencegahan pajanan ulang dengan alergen penyebab dan menekan kelainan kulit yang
timbul. Ada beberapa pilihan terapi yang dapat ditentukan berdasarkan tingkat
keparahan penyakit, namun harus juga disesuaikan dengan pilihan pasien dan
biayanya. Penderita dermatitis kontak alergi akan terus menerus terkena dampak
penyakitnya sepanjang hidupnya. Penghindaran yang ketat terhadap alergen perlu
diterapkan. Semakin lama seseorang mengidap DKA, semakin lama pula waktu yang
dibutuhkan untuk mengatasinya.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuliharti T, Made Mas Rusyati L. DERMATITIS KONTAK ALERGI. E-


Jurnal Medika Udayana. 2013;2(8).
2. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Menaldi SLS, editor.
Vol. 2. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016.
3. Kang S, Amagai M, Bruckner A, Enk AH, McMichael A, Orringer JS, et
al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. Vol. 2. McGraw Hill LLC;
4. Hutagalung AL, Hazlianda CP. Tingkat pengetahuan dan sikap pekerja binatu
terhadap dermatitis kontak di kelurahan padang bulan tahun 2017. 2017;46(3).
5. Siswati Sri A, Rosita C, Triwahyudi D, Budianti WK, Mawardi P, Dwiyana
RF. Panduan Praktis Klinis. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia (PERDOSKI); 2021.
6. González-Muñoz P, Conde-Salazar L, Vañó-Galván S. Allergic Contact
Dermatitis Caused by Cosmetic Products. Actas Dermo-Sifiliográficas
(English Edition). 2014 Nov;105(9):822–32.
7. Wiedemeyer K, Jappe U, Enk A. Erythema Multiforme Following Allergic
Contact Dermatitis: Case Report and Literature Review. 2007.
8. Elmas ÖF, Akdeniz N, Atasoy M, Karadag AS. Contact dermatitis: A great
imitator. Clin Dermatol. 2020 Mar;38(2):176–92.
9. Perez A, Lazzarotto B, Carrel JP, Lombardi T. Allopurinol-Induced Oral
Lichenoid Drug Reaction with Complete Regression after Drug Withdrawal.
Dermatopathology. 2020 Aug 12;7(2):18–25.
10. Kyriakou G, Glentis A. Skin in the game. Int J Pediatr Adolesc Med. 2021
Jun;8(2):68–75.
11. Forte Amarante C. Lymphomatoid contact dermatitis: the importance of its
diagnosis, treatment and follow up. Journal of Dermatology & Cosmetology.
2018 Apr 4;2(2).

26
12. Anzengruber F, Alotaibi F, Kaufmann LS, Ghosh A, Oswald MR, Maul JT, et
al. Thermography: High sensitivity and specificity diagnosing contact
dermatitis in patch testing. Allergology International. 2019 Apr;68(2):254–8.
13. Garg V, Brod B, Gaspari AA. Patch testing: Uses, systems, risks/benefits, and
its role in managing the patient with contact dermatitis. Clin Dermatol. 2021
Jul;39(4):580–90.
14. Bouceiro Mendes R, Aguado Lobo M, Espinosa Lara P, Soares de Almeida L.
Histopathological study of allergic contact dermatitis. Portuguese Journal of
Dermatology and Venereology. 2023 Aug 4;80(1).
15. Dickel H. Management of contact dermatitis. Allergo J Int. 2023 Mar
20;32(3):57–76.
16. Girolomoni G, de Bruin-Weller M, Aoki V, Kabashima K, Deleuran M, Puig
L, et al. Nomenclature and clinical phenotypes of atopic dermatitis. Ther Adv
Chronic Dis. 2021 Jan 26;12:204062232110029.
17. Charifa A, Badri T, Harris BW. Lichen Simplex Chronicus. 2024.
18. Xu J, Song G, Yin Z. Lichen simplex chronicus secondary to scald injury and
skin flap transplantation. Indian J Dermatol. 2020;65(1):47.
19. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA. Andrews’ Diseases of the
Skin Clinical Dermatology. 13th ed. Elsevier; 2019.
20. Azez MA Al. Nummular Eczema. Basic Medical Key. 2016;
21. Litchman G, Nair PA, Atwater AR, Bhutta BS. Contact Dermatitis. 2024.
22. Murphy PB, Atwater AR, Mueller M. Allergic Contact Dermatitis. 2024.
23. Muthupalaniappen L, Jamil A. Prick, Patch or blood test? A simple guide to
allergy testing. Malaysian Family Physician. 2021 May 31;16(2):19–26.
doi:10.51866/rv1141

27

Anda mungkin juga menyukai