Anda di halaman 1dari 26

Bed Site Teaching

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh:
M. Febriansyaf Cahyadi Indrawan
1910311048

Preseptor:
Dr. dr. Qaira Anum, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN


KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan Bed Site
Teaching yang berjudul “Dermatitis Kontak Iritan”.
Tulisan ini bertujuan untuk menambah wawasan serta pengetahuan penulis
serta pembaca mengenai Dermatitis Kontak Iritan dan untuk memenuhi syarat
dalam menjalani kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
di RSUP Dr. M. Djamil Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tulisan ini, terutama kepada pembimbing
yakni Dr. dr. Qaira Anum, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV yang telah meluangkan
waktunya dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan Bed Site
Teaching ini.
Dengan demikian, penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat
dalam menambah pengetahuan penulis serta pembaca mengenai laporan kasus
Dermatitis Kontak Iritan.

Padang, 3 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 4
1.2 Batasan Masalah……………………………………………. 5
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………. 5
1.4 Metode Penulisan………………………………………… 5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi……………………………………………….. 6
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko………………………………… 6
2.3 Etiopatogenesis……………………………………………. 6
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi………………………… 8
2.5 Manifestasi Klinis…………………………………………… 10
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding…………………………. 12
2.7 Pengobatan dan Pencegahan………………………………. 14
2.8 Prognosis ………………………………………………….. 14

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien…………………………………………… 16
3.2 Anamnesis………………………………………………… 16
3.3 Pemeriksaan Fisik………………………………………… 18
3.4 Resume……………………………………………………. 19
3.5 Diagnosis Kerja dan Banding…………………………….. 20
3.6 Pemeriksaan Penunjang………………………………….. 20
3.7 Diagnosis…………………………………………………. 20
3.8 Tatalaksana……………………………………………….. 20
3.9 Prognosis…………………………………………………. 21

BAB 4
DISKUSI…………………………………………………….. 23

DAFTAR PUSTAKA………………………………………… 25

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah kondisi nonimmunologic inflamasi
pada kulit yang disebabkan oleh gangguan barrier kulit akibat bahan kimia, fisik
atau agent biologi. DKI menyumbang 80% dari semua kasus dermatitis kontak,
dan paling sering disebabkan oleh paparan kumulatif terhadap iritan lemah seperti
sabun dan air. Kejadian DKI ini berkaitan erat dengan pekerjaan dari pasien.
Pekerjaan berisiko tinggi untuk DKI termasuk pekerja kesehatan, pekerja layanan
makanan, pekerja logam, penata rambut, dan pekerja konstruksi. DKI ditandai
dengan kerusakan langsung pada sel-sel epidermis kulit yang memicu sistem imun
bawaan yang menyebabkan respon kulit inflamasi terhadap berbagai rangsangan
eksternal. DKI umumnya menyerang tangan dan dapat menyerang orang dari
segala usia dan jenis kelamin.1,2
DKI adalah reaksi kompleks yang dimodulasi oleh faktor intrinsik
(genetik) dan ekstrinsik (lingkungan), yang keduanya penting dalam patogenesis
DKI terutama dermatitis tangan. Usia, jenis kelamin, daerah tubuh, dan adanya
atopi mempengaruhi kerentanan terhadap DKI. Selain itu, sifat iritan, jumlah
paparan, konsentrasi, durasi, pengulangan, dan adanya faktor lingkungan dan
mekanik yang mendasarinya harus dipertimbangkan dalam mendiagnosis
keluhannya. Dermatitis atopik merupakan factor risiko utama terhadap kejadian
DKI pada tangan karena kerusakan pada fungsi barrier kulit dan batas ambang
yang rendah untuk terjadinya iritasi kulit. 2,3
Pemeriksaan patch test perlu dilakukan pada kasus dermatitis kontak iritan
kronik yang sulit dibedakan dengan dermatitis kontak alergi. Setelah DKI dapat
ditegakkan, maka terapi utama yang harus dilakukan adalah dengan edukasi
kepada pasien untuk mengenali bahan iritan yang akan mengakibatkan inflamasi
pada kulitnya dan berusaha untuk menghindari paparan terhadap zat iritan
tersebut.2

4
1.2 Batasan Masalah
Penulisan bed site teaching ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
etiopatogenesis, faktor yang mempengaruhi, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dermatitis kontak iritan sekaligus
mengenai laporan kasus DKI.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan bed site teaching ini bertujuan untuk mengetahui dan menambah
wawasan mengenai Dermatitis Kontak Iritan.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan bed site teaching ini disusun berdasarkan laporan kasus dan
studi kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

5
2.1 Definisi TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2

Dermatitis kontak iritan (DKI) adalah inflamasi pada kulit, akibat respons
terhadap pajanan bahan iritan, fisik, atau biologis yang kontak pada kulit, tanpa
dimediasi oleh respons imunologis. Pada DKI tidak didahului oleh adanya reaksi
sensititasi pada system imun karena inflamasi yang terjadi diakibatkan oleh
kerusakan langsung barrier kulit.1
2.2 Epidemiologi
DKI menyumbang 80% dari semua kasus dermatitis kontak dan sering
terkait dengan pekerjaan. DKI yang disebabkan oleh produk perawatan pribadi
dan kosmetik juga sering terjadi. Namun, sangat sedikit pasien dengan reaksi
iritan ini yang mencari pertolongan medis karena mereka mengelolanya dengan
menghindari agen penyebab. Insiden DKI sulit ditentukan karena keakuratan data
epidemiologi terbatas. Data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS menunjukkan
bahwa dari 257.800 kasus penyakit akibat kerja nonfatal yang dilaporkan pada
tahun 2008 untuk semua industri termasuk industri pemerintahan negara bagian
dan lokal serta swasta, 18,9% (48.600 kasus) adalah penyakit kulit, penyebab
paling sering kedua dari semua penyakit akibat kerja yang dilaporkan.
Berdasarkan survei tahunan Biro Statistik Tenaga Kerja tingkat kejadian penyakit
akibat kerja pada populasi pekerja Amerika, dermatitis kontak merupakan 90% -
95% dari semua penyakit kulit akibat kerja, dan DKI menyumbang sekitar 80%
dari dermatitis kontak akibat kerja.2
Angka kejadian DKI di Indonesia juga sulit diketahui dan didata karena
banyaknya pasien dengan kelainan ringan tidak datang berobat atau bahkan tidak
merasakan keluhan yang berarti terhadap kelainan kulit yang dialaminya. 4

2.3 Etiopatogenesis
Iritasi kulit yang paling umum adalah pekerjaan basah yang sering
berkontak dengan sabun, deterjen, pelarut, dan minyak. Pekerjaan basah
didefinisikan sebagai:1
- Paparan kulit terhadap cairan selama >2 jam per hari.

6
- Penggunaan sarung tangan oklusif selama >2 jam per hari atau penggantian
sarung tangan >20 kali per hari.
- Sering mencuci tangan >20 kali per hari atau penggunaan disinfektan tangan
> 20 kali per hari.
Paparan terhadap pekerjaan basah dapat terjadi baik di tempat kerja
maupun di rumah. Pekerjaan berisiko tinggi yang melibatkan pekerjaan basah
termasuk pembersih, tukang daging, juru masak, ahli kecantikan, dan tenaga
medis. Sejak dimulainya pandemi COVID-19, penggunaan sabun dan pembersih
tangan berbahan dasar alkohol dan frekuensi mencuci tangan meningkat secara
signifikan mengakibatkan insiden DKI yang lebih tinggi.1
Peran faktor fisik, mekanik, dan lingkungan dalam perkembangan DKI
sering diabaikan. Faktor mekanik meliputi oklusi, gesekan, tekanan, dan getaran.
Penggunaan sarung tangan atau pakaian dapat menciptakan lingkungan yang
tertutup dan lembap, yang meningkatkan iritasi akibat panas dan keringat. Faktor
lingkungan meliputi panas, dingin, kelembaban, dan penyinaran UV. Paparan
kulit terhadap panas sering menyebabkan berkeringat. Retensi keringat dapat
menyebabkan iritasi kulit, karena keringat lebih mengiritasi daripada air. Panas,
terutama dalam kombinasi dengan oklusi, dapat memicu DKI. Paparan
kelembaban lingkungan yang rendah dan suhu dingin merupakan faktor yang
berkontribusi terhadap berkurangnya kadar air di stratum korneum dan akibatnya
meningkatkan permeabilitas iritan di kulit. Temperatur dingin juga dikaitkan
dengan pengurangan plastisitas lapisan tanduk dengan retakan stratum korneum
selanjutnya.1
Empat mekanisme yang saling terkait telah dikaitkan dengan DKI: (1)
penghilangan lipid permukaan dan zat penahan air, (2) kerusakan membran sel, (3)
denaturasi keratin epidermal, dan (4) efek sitotoksik langsung. DKI disebabkan
oleh efek toksik langsung dari iritan pada keratinosit epidermal yang
mengakibatkan gangguan sawar kulit dan memicu sistem imun bawaan. Suatu
iritan dapat secara langsung menjadi racun bagi keratinosit epidermal, seperti
halnya dengan sodium lauril sulfat, suatu iritan yang ditemukan dalam deterjen.
Aseton (pelarut organik), di sisi lain menyebabkan gangguan sawar epitel dengan
hilangnya lipid. Hal tersebut mengganggu sawar epitel yang memungkinkan

7
Peningkatan permeabilitas iritasi dan bahkan alergen. Cedera epitel kronis,
biasanya setelah paparan berulang terhadap iritan lemah, memicu respon imun
bawaan dengan pelepasan beberapa sitokin proinflamasi termasuk IL-1α, IL-1β,
TNF-α, GM-CSF, IL-6, dan IL-8 dari keratinosit. Pada gilirannya, sitokin ini
mengaktifkan sel Langerhan, sel dendritik dermal, dan sel endotel. Sel-sel ini
kemudian melepaskan kemokin yang menghasilkan perekrutan neutrofil, limfosit,
makrofag, dan sel mast ke epidermis yang menyebabkan peradangan lebih lanjut.2
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema, panas, nyeri,
bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan mengakibatkan kelainan kulit setelah
kontak berulang kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh
karena delipidasi menyebabkan desikasi sehingga kulit kehilangan fungsi
sawamya, Hal tersebut akan mempermudah kerusakan sel di lapisan kulit yang
lebih dalam.4

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi


a. Faktor Eksogen
Faktor-faktor yang harus diperhatikan meliputi: (1) sifat kimia iritan: pH,
keadaan fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi,
vehikulum, dan kelarutan; (2) karakteristik pajanan: jumlah, konsentrasi, lama dan
jenis kontak, pajanan bersamaan dengan iritan lain, dan interval setelah pajanan
sebelumnya: (3) faktor lingkungan: daerah tubuh dan suhu; (4) faktor mekanis
seperti tekanan, gesekan, atau abrasi; dan (5) radiasi ultraviolet (UV). Umumnya,
waktu pajanan yang lama dan volume yang besar meningkatkan penetrasi ke
dalam kulit. Larmi et al menunjukkan bahwa radiasi UVB mengurangi reaksi
nonimunologis yang disebabkan oleh iritasi yang diinduksi sodium lauril sulfat
(SLS), mungkin sebagai akibat dari efek antiinflamasi.5
Pengaruh lingkungan, seperti kelembaban yang rendah dan suhu yang
dingin, merupakan faktor penting dalam menurunkan kadar air pada stratum
korneum. Suhu yang dingin saja dapat menurunkan kelenturan lapisan tanduk,
sehingga menyebabkan retaknya stratum korneum. Kulit normal memiliki pH
berkisar sekitar 5,5 meski beberapa peneliti berpendapat bahwa pH kulit berkisar
antara 6-7. Kisaran pH kulit ditentukan oleh adanya mantel asam yaitu lapisan

8
tipis yang ditinggalkan oleh keringat dan bersifat asam. Bakteri anggota
mikroflora kulit memerlukan pH tertentu untuk dapat melaksanakan pertumbuhan
optimum. Terdapat perbedaan pH untuk pertumbuhan setiap jenis bakteri,
misalnya S.aureus membutuhkan pH 7,5 untuk pertumbuhannya, sedangkan
P.aureus memerlukan pH antara 6 – 6,5. Larutan deterjen memiliki pH 9,5 dan
jika digunakan berulang–ulang selama beberapa hari, pH kulit akan naik menjadi
8. Kondisi kulit yang demikian tidak menjadi sarana yang baik bagi pertumbuhan
mikroflora yang penting untuk menjaga lapisan matel asam. Saat terpajan dengan
iritan yang sama dengan kondisi yang sama pula, perkembangan tingkat iritasi tiap
individu berbeda –beda.6
b. Faktor Endogen
- Umur dan lokasi
Kerentanan kulit terhadap efek iritasi zat iritan menurun seiriing dengan
usia. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi sawar. Penelitian menunjukkan
bahwa iritabilitas kulit terhadap sodium lauril sulfat mencapai puncaknya selama
masa kanak – kanak dan menurun selama dewasa, mencapai tingkat terendah saat
dekade keenam. Lokasi dengan rekativitas tertinggi adalah kulit wajah, leher,
skrotum, dan punggung tangan lebih rentan terhadap DKI. Telapak tangan dan
telapak kaki secara komparatif lebih tahan. Perbedaan reaktivitas berdasarkan
lokasi ini terjadi karena adanya perbedaan fungsi sawar kulit dari masing-masing
lokasi.2,7
- Ras
Tidak ada penelitian yang menunjukkan pengaruh yang signifikan dari
jenis kulit pada perkembangan DKI. Karena eritema sulit untuk diukur pada kulit
gelap, penelitian awal menggunakan eritema sebagai satu-satunya parameter untuk
mengukur iritasi mungkin menyebabkan interpretasi yang salah bahwa kulit hitam
lebih tahan terhadap iritasi daripada kulit putih. 2
- Jenis Kelamin
Hubungan kerentanan kulit terkait gender, demografi ini mungkin
mencerminkan fakta bahwa wanita memiliki paparan yang lebih luas terhadap
iritan dan pekerjaan basah dan lebih mungkin untuk mencari pengobatan daripada
laki-laki. Di sisi lain, ada laporan yang menunjukkan bahwa siklus menstruasi

9
Dapat mempengaruhi sensitivitas wanita terhadap iritasi primer dan dapat
mempengaruhi respon dermatologis mereka.2
- Riwayat Atopi
Penderita atopi rentan terhadap efek iritasi. Trans-epidermal water loss
(TEWL) lebih tinggi pada subjek dengan riwayat dermatitis setelah terpajan
deterjen. Abnormalitas sawar kulit atopi dari menurunnya ambang iritasi
merupakan faktor penyebab kerentananya terhadap iritasi.2

2.5 Manifestasi Klinis


Dikatakan bahwa sebelum efek inflamasi dan kulit kering terlihat oleh
mata, secara histopataologik pada kulit sudah terjadi kerusakan. Karena DKI
kumulatif disebabkan oleh zat iritan lemah, maka kelainian kulit yang
diakibatkannya bersifat kronis. Efek iritasi yang terjadi dapat merupakan gejala
yang dapat diobservasi oleh penglihatan dan berupa keluhan subjektif. Lesi
kulitnya berupa eritematosa, likenifikasi, ekskoriasi, skuama, hiperkeratosis, dan
kulit pecah dengan batas yang tidak tegas. Sedangkan keluhan subjektif yang
timbul dapat berupa gatal, panas, dan nyeri akibat pecahnya kulit yang
hiperkeratotik. 8
Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat iritan.
Iritan kuat memberi gejala akut, sedang iritan lemah memberi gejala kronis.
Berdasarkan penyebab dan pengaruh berbagai faktor tersebut, ada yang
mengklasifikasikan DKI menjadi beberapa jenis, yaitu :
a. Dermatitis Kontak Iritan Akut
Dermatitis iritan kuat terjadi setelah satu atau beberapa kali olesan bahan
bahan iritan kuat, sehingga terjadi kerusakan epidermis yang berakibat
peradangan. Biasanya dermatitis iritan kuat terjadi karena kecelakaan kerja.
Bahan-bahan iritan ini dapat merusak kulit karena terkurasnya lapisan tanduk,
denaturasi keratin, dan pembengkakan sel. 8
Tipe reaksinya tergantung pada bahan apa yang berkontak, konsentrasi
bahan kontak, dan lamanya berkontak. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi
merah atau coklat. Kadang-kadang menjadi edema dan rasa panas, atau ada
papula, vesikula, pustula, kadang-kadang terbentuk bula yang purulen dengan

10
kulit di sekitarnya normal. Contoh bahan kontak untuk dermatitis iritan kuat
adalah asam dan basa kuat yang sering digunakan dalam industri. 8 b. Dermatitis
Kontak Iritan Akut Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi lesi baru muncul
8 - 24 jam setelah berkontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium
klorida, asam hidrofluorat. Sebagai contoh ialah dermatitis yang disebabkan oleh
bulu serangga (dermatitis venenata) dimana keluhan dirasakan pedih keesokan
harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema kemudian terjadi vesikel atau bahkan
nekrosis.4
c. Dermatitis Kontak Iritan Kronis (DKI Kumulatif)
DKI Kronis adalah jenis manifestasi klinis tersering pada DKI disebabkan
oleh iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan air) dengan
pajanan yang berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan. Kelainan
kulit baru muncul setelah berkontak beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun
dengan bahan iritan. Sehingga waktu dan rentetan pajanan merupakan faktor yang
paling penting. Gejala berupa kulit kering, eritema, skuama, dan lambat laun akan
menjadi hiperkertosis dan dapat terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung. 4
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih
banyak ditemukan pada tangan dibandingkan dengan bagian lain dari tubuh
(contohnya: tukang cuci, kuli bangunan, montir bengkel, juru masak, tukang
kebun, penata rambut). 4
d. Reaksi Iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritan subklinis pada seseorang
yang terpajan dengan pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama, misalnya
penata rambut dan pekerja logam. Secara klinis menunjukkan reaksi akut
monomorfik yang dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustul, serta erosi, dan
biasanya terlokalisasi di dorsum dari tangan dan jari. Biasanya hal ini terjadi pada
orang yang terpajan dengan pekerjaan basah. Reaksi iritasi dapat sembuh,
menimbulkan penebalan kulit atau dapat menjadi DKI kumulatif.1

11
e. Reaksi Traumatik (DKI Traumatik)
Reaksi traumatis dapat berkembang setelah trauma kulit akut seperti luka
bakar atau laserasi dan paling sering terjadi pada tangan dan bertahan selama
sekitar 6 minggu atau lebih. Proses penyembuhan pada dermatitis jenis ini
berlangsung lama, dan eritema, scaling, papula, atau vesikel dapat muncul.
Perjalanan klinis dapat menyerupai dermatitis numularis.2
f. Dermatitis Kontak Iritan Non-eritematous
Juga disebut reaksi suberitematous. Pada tingkat awal dari iritasi kulit,
kerusakan kulit terjadi tanpa adanya inflamasi, namun perubahan kulit terlihat
secara histologi. Gejala umum yang dirasakan penderita adalah rasa terbakar,
gatal, atau rasa tersengat. Iritasi suberitematous ini dihubungkan dengan
penggunaan produk dengan jumlah surfaktan yang tinggi. Penyakit ini ditandai
dengan perubahan sawar stratum korneum tanpa tanda klinis (DKI subklinis). 4
g. Dermatitis Kontak Iritan Subyektif
Juga disebut DKI sensori; karena kelainan kulit tidak terlihat, namun
pasien merasa seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak
dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat atau setelah menggiling cabe. 4

2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi alergen dan iritan potensial,
dan menyingkirkan diagnosis banding lainnya. Pasien dengan DKI biasanya
memiliki gejala dalam beberapa menit hingga beberapa jam setelah terpapar iritan.
Ruam terbatas pada area yang bersentuhan dengan iritasi. Secara klasik, rasa sakit,
terbakar, menyengat, atau tidak nyaman melebihi rasa gatal. Penting untuk
menanyakan tentang aktivitas sehari-hari, termasuk pekerjaan dan hobi. Tanyakan
tentang penggunaan sarung tangan atau peralatan pelindung. Tanyakan tentang
pekerjaan basah, penggunaan sarung tangan oklusif, dan pembersih di tempat
kerja. Perbaikan gejala ketika pasien menghindari bahan yang diduga iritan dapat
mengarahkan diagnosis DKI. Tanyakan tentang apakah pekerja lain juga
terpengaruh yang mungkin mengarah kepada DKI. Penting untuk mendapatkan
daftar obat topikal dan oral yang sudah digunakan oleh pasien, karena penggunaan
obat kortikosteroid sebelum pemeriksaan dapat menyamarkan lesi khas pada DKI.
Menanyakan faktor predisposisi untuk DKI meliputi

12
Dermatitis atopik yaitu, penyakit pernapasan atopik, atau penyakit inflamasi kulit
lainnya; oleh karena itu, penting untuk menanyakan tentang ini, dan alergi kontak
yang diketahui. Tanyakan tentang riwayat keluarga atopi, psoriasis, dan kondisi
kulit kronis lainnya.3
Pada pemeriksaan fisik, distribusi dermatitis seringkali merupakan satu
satunya petunjuk paling penting untuk diagnosis dermatitis kontak. Lokasi erupsi
biasanya di area kontak dengan iritan. Karena sensitisasi tidak memerlukan reaksi
sensititasi, DKI dapat muncul segera setelah terpaparan terhadap iritan kuat,
misalnya asam kuat atau basa atau paparan berulang terhadap iritan lemah. Pada
pemeriksaan fisik di daerah lesi, akan ditemukan status dermatologikus dari lasi
sesuai dengan pembagian manifestasi klinis.3
Anamnesis terperinci, termasuk pekerjaan, hobi, dan riwayat medis masa
lalu, dan pemeriksaan klinis yang teliti penting untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Riwayat paparan gesekan, pekerjaan basah, sabun, dan deterjen atau
paparan pelarut organik atau basa; dan/atau kelembaban relatif lingkungan kurang
dari 35% merupakan faktor kunci yang mendukung diagnosis DKI. Ketika
komponen alergi dipertimbangkan, uji tempel diagnostik harus dilakukan. Biopsi
seringkali tidak dapat membedakan dermatitis alergi, iritan, atau atopik , tetapi
mungkin membantu dalam menyingkirkan psoriasis, dalam kasus keterlibatan
palmar. Mengukur kehilangan air transepidermal (TEWL) dapat menunjukkan
gangguan sawar kulit tetapi tidak dapat membedakan antara DKA dan DKI. Patch
test seringkali penting untuk membedakan DKA dari DKI. Tes tempel negatif
mungkin mendukung diagnosis DKI. Sebaliknya, uji tempel dengan iritan yang
jelas, atau bahan kimia atau campuran yang tidak standar dapat menyebabkan
hasil uji tempel positif palsu. Reaksi uji tempel iritan dapat muncul sebagai
eritema dengan atau tanpa papula dan sering tetap terbatas pada tempat uji dan
berbatas tegas. Reaksi iritan ini juga menunjukkan pola decrescendo, di mana
keparahan penurunan terlihat, meskipun ini tidak selalu merupakan indikator yang
dapat diandalkan.2

13
2.7 Pengobatan dan Pencegahan
a. Non Medikamentosa9
 Identifikasi dan penghindaran terhadap bahan iritan tersangka. - Anjuran
penggunaan alat pelindung diri (APD), misalnya sarung tangan apron,
sepatu bot. Pada beberapa kondisi oklusif akibat penggunaan sarung
tangan terlalu lama dapat memperberat gangguan sawar kulit. - Edukasi
mengenai prognosis, informasi mengenai penyakit, serta perjalanan
penyakit yang akan lama walaupun dalam terapi dan sudah modifikasi
lingkungan pekerjaan, perawatan kulit.
 Anjuran penggunaan barrier cream/krim pelindung. Krim diaplikasikan
sebelum dan sesudah bekerja.
b. Medikamentosa 9
 Sistemik: simtomatis, sesuai gejala dan sajian klinis
o Derajat sakit berat: dapat ditambah kortikosteroid oral setara
dengan prednison 20 mg/hari dalam jangka pendek (3 hari).
 Topikal:
o Pelembap setelah bekerja/after work cream. Disarankan pelembap
yang kaya kandungan lipid, seperti petrolatum.
o Sesuai dengan sajian klinis

• Basah (madidans): beri kompres terbuka (2-3 lapis kain kasa)


dengan larutan NaCl 0,9%.

• Kering: beri krim kortikosteroid potensi sedang, misalnya flusinolon


asetoid.

• Bila dermatitis berjalan kronis dapat diberikan mometason furoate


intermiten.
 Pada kasus yang berat dan kronis, atau tidak respons dengan steroid bisa
diberikan inhibitor kalsineurin (pimekrolimus) atau fototerapi dengan
BB/NB UVB atau obat sistemik misalnya azatioprin atau siklosporin. Bila
ada superinfeksi oleh bakteri: antibiotika topikal/sistemik. 9

14
2.8 Prognosis
DKI kronik mempunyai prognosis yang meragukan, karena sering terjadi
rekurensi akibat kesulitan untuk menghindari pajanan terhadap zat iritan sehari-
hari di rumah maupun di lingkungan kerja. Resolusi lesi kulit berjalan lambat dan
terkadang tidak sempurna. Untuk itu selain pengobatan perlu diperhatikan cara
untuk menjaga agar fungsi sawar kulit berjalan dengan baik. Faktor yang turut
memperburuk prognosis adalah jika terdapat dermatitis atopik.8

15

3.1 Identitas Pasien LAPORAN KASUS


BAB 3

Nama : Tn, XN
Umur/Tanggal Lahir : 21 tahun / 22 November 2002
Jenis Kelamin : Laki laki
Pekerjaan : Mahasiswa
Status : Belum Menikah
Agama : Buddha
No. HP : 0812xxxxxxxx
Tanggal Pemeriksaan : 3 Mei 2023
Alamat : Jl. Diponegoro No. 105

3.2 Anamnesis
Seorang pasien Laki laki berusia 21 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Mei 2023 dengan :
a. Keluhan Utama:
Bercak kemerahan disertai kulit kering, kasar dan mengelupas yang terasa
panas pada ujung-ujung jari tangan yang memberat sejak 2 bulan yang lalu.
b. Riwayat penyakit sekarang :

• Keluhan awalnya muncul enam bulan yang lalu, keluhan berupa kemerahan
disertai dengan kulit terkelupas dan terasa panas pada ujung jari. Lama
kelamaan bercak kemerahan tersebar semakin luas dan panas. Keluhan
hilang timbul dan muncul kembali saat pasien terkena detergen cair yang
digunakan untuk mencuci pakaian.

• Pasien merasakan keluhan semakin memberat sejak 2 minggu ini berupa


bercak kemerahan disertai kulit kering, kasar dan mengelupas yang terasa
panas pada telapak tangan, ujung-ujung jari tangan, keluhan ini meningkat
ketika berkontak dengan detergen cair (Rinso). Pasien belum ada melakukan
pengobatan pada keluhan dalam 1 bulan ini

16
Namun, saat ini pasien hanya berkontak dengan detergen cair 2-3 kali
seminggu.

• Pasien tidak pernah menggunakan sarung tangan apabila mencuci.

• Gatal jarang, namun pernah pasca mencuci baju.

• Pasien juga mengeluhkan panas pada telapak tangan dan jari jari tangan

• Pasien pernah menggunakan pelembab 6 bulan yang lalu dan keluhan

berkurang namun kelainan kulit sering kambuh jika tangan pasien terkena
detergen lagi.

• Pasien mandi 2 kali sehari menggunakan sabun mandi antiseptic yaitu nuvo.

• Bercak merah atau kulit kering dan mengelupas di bagian tubuh lain tidak
ada.

• Riwayat alergi makanan, obat, cuaca tidak ada.

• Riwayat bersin-bersin, hidung berair, dan sesak di pagi hari tidak ada.

c. Riwayat Penyakit dahulu


Pasien sering mengalami keluhan kulit seperti ini pada telapak tangan
sebelumnya dan telah terjadi secara berulang. Keluhan sering hilang timbul.
d. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah menggunakan pelembab untuk keluhan kulit pada telapak
tangannya 6 bulan yang lalu sehingga keluhan berkurang.

17
e. Riwayat Penyakit Keluarga / Atopi / Alergi

• Tidak ada keluarga dengan keluhan seperti ini

• Terdapat keluarga dengan Riwayat penyakit kulit (dermatitis numularis)

• Tidak ada riwayat bersin-bersin di pagi hari yang disertai mata merah

•Tidak ada riwayat ruam-ruam merah

• Tidak ada riwayat asma

• Tidak ada riwayat alergi obat

• Tidak ada riwayat alergi makanan

• Tidak ada riwayat alergi terhadap cuaca tertentu.

f. Riwayat Pekerjaan, Sosial, dan Kebiasaan

• Pasien merupakan seorang mahasiswa di Padang.

• Pasien saat ini masih sering berkontak dengan detergen dan sabun antiseptik.

• Pasien kadang-kadang pernah menggunakan pelembab setelah mandi.

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Generalisata
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Nadi : 80 x / menit
Nafas : 17 x / menit
Tekanan darah : 125 / 82 mmHg
Suhu : 36,7°C
Tinggi badan : 172 cm
Berat badan : 59 kg
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-/-), KGB :
Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thoraks : Dalam batas normal
18

b. Status Dermatologikus
Lokasi : jari-jari tangan kanan dan kiri

Distribusi : Terlokalisir
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tidak tegas
Ukuran : Lentikular-Plakat
Effluoresensi : Makula eritem disertai skuama putih halus dan terdapat
fissura.
3.4 Resume
Seorang pasien laki laki usia 21 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Mei 2023 dengan Bercak
kemerahan disertai kulit kering, kasar dan mengelupas yang terasa panas pada
ujung-ujung jari tangan sejak 2 bulan yang lalu setelah berkontak dengan detergen
cair. Keluhan sudah sering berulang sejak 6 bulan yang lalu.
Gatal pernah terjadi, Pasien pernah menggunakan pelembab untuk keluhan
kulit pada telapak tangannya 6 bulan yang lalu sehingga keluhan berkurang.
Namun keluhan panas dan terkelupas sering kambuh setelah mencuci. Riwayat
berkontak orang dengan kelainan serupa tidak ada, keluarga dengan keluhan
serupa tidak ada, dan pasien tidak memiliki riwayat atopi.
Pada pemeriksaan fisik status dermatologikus didapatkan lesi pada jari jari
tangan kanan dan kiri dengan efloresesnis Makula eritem disertai skuama putih
halus dan terdapat fissura.

3.5 Diagnosis Kerja


Dermatitis kontak iritan kronik et causa suspek deterjen cair.
Diagnosis Banding
- Dermatitis kontak alergi
- Dermatitis atopik

3.6 Pemeriksaan Rutin


Tidak dilakukan
Pemeriksaan anjuran : patch test.

3.7 Diagnosis
Dermatitis kontak iritan kronik et causa deterjen

20
3.8 Tatalaksana
a. Umum

• Memberikan penjelasan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita disebabkan


oleh adanya kontak yang berulang antara kulit dengan deterjen yang bersifat
iritan terhadap kulit. Upaya pencegahan terhadap kejadian berulang yang
dialami oleh pasien adalah menghindari kontak langsung dengan bahan iritan
yaitu deterjen.

• Memberikan saran / alternatif pilihan berupa proteksi dengan penggunaan sarung


tangan pada saat mencuci pakaian.

• Menjelaskan kepada pasien bahwa kondisi kulit yang kering juga dapat
memperberat gejala gatal dan iritasi pada kulit sehingga diperlukan hidrasi yang
cukup dan penggunaan moisturizer untuk menjaga kelembaban kulit.
b. Khusus

• Pengobatan topikal : pemberian krim urea 10% 2x1 setelah mandi yang
berfungsi sebagai pelembab dan krim desoximetasone 0,05% 2x1 sebagai
antiinflamasi.

3.9 Prognosis

• Quo Ad Vitam : Bonam

• Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam

• Quo Ad Functionam : Bonam

• Quo Ad Kosmetikum : Dubia ad bonam


21

Resep

dr. Febriansyaf
Praktik Umum
Jl. Universitas Andalas No.01, Andalas , Padang
Senin-sabru pukul 18.00-20.00 WIB
Padang, 3 Mei 2023

R/ krim urea 10% tube 40 gr No. I


S.u.e applic.loc.dol (2x1/hari)
R/ krim desoximethasone 0,05% tube 15 gr No. I
S.u.e applic.loc.dol (2x1/hari)

Pro : Tn. Xavier


Usia : 21 tahun
Alamat : Jl. Diponegoro No. 105 22
BAB 4
DISKUSI

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien laki laki usia 2 tahun di


Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 3 Mei
2023 dengan diagnosis dermatitis kontak iritan kronik et causa suspek deterjen
cair.
Diagnosis pada pasien ditegakan berdasar anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Dari anamnesis didapatkan keluhan utama, yaitu bercak kemerahan disertai
kulit kering, kasar, dan mengelupas yang terasa panas pada jari jari tangan yang
semakin meningkat sejak dua minggu ini. Keluhan awalnya muncul 6 bulan yang
lalu berupa kemerahan disertai dengan kulit terkelupas pada jari jari kedua tangan
dan terasa panas. Lama kelamaan bercak kemerahan tersebur semakin luas.
Keluhan hilang timbul dan muncul kembali saat pasien terkena deterjen saat
mencuci pakaien. Pasien tidak pernah menggunakan sarung tangan apabila
mencuci.
Gatal pernah terjadi , Pasien sudah mencoba berobat dengan pelembab
sehingga keluhan berkurang. Namun lesi kulit tidak membaik dan panas masih
sering kambuh setelah mencuci. Berkontak dengan orang sekitar pasien
dengan kelainan serupa tidak ada, keluarga dengan keluhan serupa tidak ada. Hal
ini sesuai dengan teori yang ada bahwa pada dermatitis kontak iritan kronis
kumulatif muncul gejala panas dan perih serta gatal yang disebabkan oleh iritan
lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan air) dengan pajanan yang
berulang-ulang, biasanya lebih sering terkena pada tangan. Kelainan kulit baru
muncul setelah beberapa hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Sehingga waktu dan
rentetan pajanan merupakan faktor yang paling penting. Gejala berupa kulit
kering, eritema, skuama, dan lambat laun akan menjadi hiperkertosis dan dapat
terbentuk fisura jika kontak terus berlangsung.
Pada pemeriksaan dermatologikus didapatkan lesi pada kedua telapak
tangan dengan distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan tidak khas, batas
tidak tegas, ukuran lenticular hingga plakat, dengan efloresesnis macula eritem
disertai dengan skuama putih kasar dan terdapat pula fissura. Hal ini sesuai dengan
gambaran dermatitis kontak iritan. Akibat rasa gatal dan perih pada telapak
tangannya mengakibatkan pasien sering menggaruk telapak tangan sehingga
timbul erosi pada kulit yang sebelumnya sudah kering dan eritem. Pasien
diberikan tatalaksana umum dan khusus. Tatalaksana umum pada pasien ini
berupa edukasi bahwa penyakitnya disebabkan oleh adanya kontak dengan bahan
iritan deterjen sehingga dianjurkan untuk berhenti menggunakan deterjen atau
menggunakan sarung tangan atau alat pelindung diri apabila terpaksa harus kontak
dengan bahan iritan, serta senantiasa menjaga kebersihan dan kelembapan tangan.
Tatalaksana khusus yang diberikan berupa Krim urea 10% dioleskan 2 kali sehari
di lesi setelah mandi untuk menjaga kelembapan kulit sehingga mengurangi rasa
tidak nyaman yang akan mengakibatkan pasien sering menggaruk-garuk kulit
kering dan erosi serta infeksi sekunder dapat dicegah. Pada pasien juga diberikan
krim desoksimetason 0,05% 2 kali sehari setelah pemakaian krim urea untuk
meredakan proses inflamasi yang tejadi pada telapak tangan pasien sehingga
lesinya tidak menyebar dan semakin mengenai lapisan lebih dalam kulit.
Prognosis pada pasien ini adalah quo ada sanationam dubia ad bonam
karena akan terjadi keluhan yang sama dan berulang apabila pasien tidak
menghindari bahan iritan. Quo ad vitam bonam, quo ad kosmetikum dubia ad
bonam karena pada luka bekas erosi maupun ekskoriasi akan meninggalkan
macula hiperpigmentasi pada pasien. Sedangkan quo ad functionam adalah
bonam.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Patel K, Nixon R. Irritant Contact Dermatitis. Current Dermatology Reports.


2022;11:41-51.

2. Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.


8th Ed. New York : Mc Graw Hill; 2012.

3. Bains SN, Nash P, Fonacier L. Irritant Contact Dermatitis. Clinic Rev Allerg
Immunol. 2018.

4. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th
Ed. Jakarta : FKUI; 2016.

5. Soebaryo RW. Prediksi Klinis Dermatitis Kontak – Tangan Pada Pekerja


Dengan Kondisi Diatesis Atopi-Kulit. Program Pasca sarjana Universitas
Indonesia: Jakarta; 1999.10-39.

6. Zienicke H. Skin Hydration (Transsepidermal water loss). Measuring Methods


and Dependence on washing Procedure. In : Barun – Falco O, Korting HC,
Eds. Donna Partogi : Dermatitis Kontak Iritan, 2008. USU e Repository.
2009. Skin Cleansing With Synthetic Detergents. Berlin Heidelberg :
Springer – Verdag.1990; 130 -7.

7. Wigger – Aloberti W, Elsner P. Contact Dermatitis Due to Irritation . In :

Kanerva E, Elsner P, Whalberg , Maibach HI. Handbook of


Occupational Dermatologfy. Berlin Heidelberg 2000 : 99 -108.

8. Wigger – Albert W, Live D, Elsner P. Contact Dermatitis Due to Irritation In :


Adams RM Occupational Skin Diseases 3 rd Ed. Philadelphia 1999 : 1– 9.

9. Siswati AS. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan
Venereologi Indonesia. Jakarta : PERDOSKI. 2021. 259-261.

25

Anda mungkin juga menyukai